Sunday, July 29, 2012

Lailatul Qadar. Malam Seribu Bulan; difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” [Ad-Du-khaan: 3]


Lailatul Qadar. Malam Seribu Bulan; difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” [Ad-Du-khaan: 3]


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Sebab Penamaan Malam Mulia Ini Dengan Nama Lailatul Qadr
Para ulama رحمهم الله berselisih pendapat me-ngenai persoalan ini, sebagai berikut:

Pertama, sesungguhnya pada malam lailatul Qadar ini, Allah menetapkan (at-taqdiir) semua rizki, ajal kematian dan semua peristiwa untuk setahun ke depan, dan para Malaikat mencatat semua hal itu.

Kedua, pendapat kedua menyatakan bahwa kemulian (al-Qadr), kehormatan dan suasana malam ini disebabkan oleh diturunkannya (permulaan) al-Qur-an, atau pada malam ini para Malaikat turun atau turunnya keberkahan, rahmat dan maghfirah pada malam kemuliaan ini.

Ketiga, pendapat berikutnya, bahwa orang yang menghidupkan malam ini akan mendapatkan al-Qadr (kemuliaan) yang besar, yang belum pernah dia miliki sebelumnya. Malam ini akan menambah kemuliaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan masih terdapat pendapat lainnya. [1]

Keberkahan Lailatul Qadar Dan Keutamaannya
Lailatul Qadar ini merupakan malam yang paling utama. Malam ini dimuliakan oleh Allah daripada malam-malam lainnya. Maka, ia merupakan malam yang penuh keberkahan sebagaimana yang difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” [Ad-Du-khaan: 3]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allah mensifati malam ini dengan keberkahan, karena Dia menurunkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai berkah, kebaikan dan pahala pada malam yang mulia ini.” [2]

Maka, lailatul Qadr yang penuh barakah ini mengandung berbagai keutamaan yang agung dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama : Pada malam mulia ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan persoalan ini lewat firman-Nya:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan: 4]

Makna kata yufraqu adalah yufashshal (dijelaskan, dirinci). Dan makna kata hakiim adalah al-muhkam (yang tepat, teliti dan sempurna).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa dicatat dari Ummul Kitab pada lailatul Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke depan berupa kebaikan, keburukan, rizki, ajal hingga keberangkatan menuju ibadah Haji. [3]

Kedua : Amal-amal yang dikerjakan pada malam mulia ini akan dilipatgandakan dan pengampunan dosa-dosa orang yang menghidupkan lailatul Qadr ini. Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa berfirman dalam surat al-Qadr:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر ِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seri-bu bulan.” [Al-Qadr: 2-3]

Para mufassir (ahli Tafsir) menyatakan, “Maknanya adalah amal shalih (yang dilakukan pada) lailatul Qadr lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan (yang dilakukan) di luar lailatul Qadr. Dan ini merupakan karunia yang agung, rahmat dari Allah pada hamba-hamba-Nya, serta barakah yang besar lagi nyata yang dimiliki oleh malam yang mulia ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang mendirikan lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [4]

Kata qaama (mendirikan) pada hadits di atas dapat diwujudkan dalam bentuk shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al-Qur-an dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.

Ketiga : Turunnya al-Qur-an pada lailatul Qadr.
Di antara keutamaan dan keberkahan lailatul Qadr, bahwa al-Qur-an al-Karim -yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat- telah diturunkan pada malam ini.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur-an) yang men-jelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...” [Ad-Dukhaan: 1-3]

Dan Dia berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Disebutkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah turunnya al-Qur-an secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama (Baitul ‘Izzah-pent) pada lailatul Qadr, selanjutnya diturunkan secara bertahap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa maksud ayat di atas adalah permulaan turunnya al-Qur-an terjadi pada lailatul Qadr. [5] Wallaahu a’lam.

Keempat : Keberkahan lain dari lailatul Qadr ini, yaitu turunnya para Malaikat pada malam yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Qadr:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ

“Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan.” [Al-Qadr: 4]

Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Banyak Malaikat yang turun pada malam ini, karena banyaknya barakah lailatul Qadr ini. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya barakah dan rahmat, sebagaimana halnya ketika mereka hadir di waktu-waktu seperti ketika al-Qur-an dibacakan, mereka mengelilingi majelis-majelis dzikir, dan bahkan pada waktu yang lain mereka meletakkan sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu sebagai sikap penghormatan mereka terhadap sang penuntut ilmu tersebut. [6] Menurut jumhur ahli tafsir maksud kata “war-ruuh” adalah Jibril Alaihissallam. Artinya para Malaikat turun bersama Jibril. Dan Jibril dikhususkan penyebutannya sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap dirinya. [7]

Kelima : Lailatul Qadr adalah suatu malam yang penuh kesejahteraan. Seluruhnya berisi kebaikan, tidak ada keburukan di dalamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai ter-bit fajar.” [Al-Qadr 5]

Disebutkan berkenaan dengan makna salaamun yaitu, bahwa pada malam ini tidak terjadi munculnya sebuah penyakit, dan tidak ada satu syaitan pun yang dilepas. Pendapat yang lain menyatakan makna salaamun adalah kebaikan dan keberkahan. [8] Maka pada sepanjang malam ini yang terdapat hanya kebaikan, tidak ada kejelekan, hingga terbit fajar. Dan pendapat yang lain lagi menyebutkan, bahwa maksudnya adalah para Malaikat mendo’akan keselamatan buat mereka yang menghidupkan masjid (ahlul masjid) pada sepanjang lailatul Qadr ini.

Wallaahu A’lam.

Inilah beberapa keberkahan dan keutamaan yang sangat nyata dan fenomenal dari malam yang mulia ini.

Kapan Terjadinya Lailatul Qadr ?
Jumhur ulama bersepakat bahwa lailatul Qadr ini hanya ada pada bulan Ramadhan.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an...” [Al-Baqarah: 185]

Dan firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Namun mereka berbeda pendapat dalam penentuan malam keberapakah dari bulan Ramadhan ini. Pendapat yang kuat (ar-raajih) adalah yang dipegang oleh Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada malam-malam yang ganjil.

Dan dalil atas pendapat tersebut adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum untuk lebih giat beramal pada masa tersebut.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah lailatul Qadr pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” [9]

Begitu perhatiannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau beri’tikaf, dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.

Dan mengenai ketentuan waktu jatuhnya lailatul Qadr ini terdapat banyak pendapat di kalangan ulama. Namun mengenai indikasi-indikasi terkuat mengenai saat terjadinya lailatul Qadr ini bahwa matahari terbit pada pagi harinya dengan cerah.

Hikmah dari disembunyikannya lailatul Qadr ini dari pengetahuan manusia, -wallaahu a’lam- menunjukkan keagungan seluruh malam di bulan Ramadhan, dan agar manusia bersungguh-sungguh dalam berharap untuk mendapatkannya sehingga ganjaran yang diperolehnya semakin besar pula.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Adapun hikmah dirahasiakannya lailatul Qadr ini, agar kesungguhan para hamba dalam upaya meraih keutama-annya benar-benar terwujud secara optimal, sebagaimana (hikmah) disembunyikannya waktu-waktu yang dikabulkan pada hari Jum‘at... [10] dan seterusnya.

Maka, sudah menjadi keharusan bagi kaum muslimin untuk mencari waktu (pada sepuluh malam terakhir-pen) sehingga benar-benar tepat pada lailatul Qadar, kemudian memuliakannya dan menghidupkannya dengan ibadah dan merendahkan diri kepada Allah dengan do’a, dzikir dan istighfar serta memperbanyak ibadah-ibadah Sunnah kepada Allah sehingga mereka mendapatkan ridha dari Allah Yang Mahatinggi dan Maha Pemurah serta memberikan ganjaran dan pahala yang sangat banyak.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Keberkahan Makan Sahur



Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


DEFINISI
(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2]

Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”[3]

WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar,[4] maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“...Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] yaitu fajar...” [Al-Baqarah: 187]

Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”[6]

Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.” [7]

HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” [8]

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ."

”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” [9]

Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.” [10]

Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun minuman. [11]

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.” [12]

Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13] , ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:

"هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ."

“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.” [14]

Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga terbit Fajar.” [15]

Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.

Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied [16] berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang yang melaku-kan puasa.’” [17]

Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.

Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

"السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدْعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يُجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحَّرِيْنَ."

“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.” [18]

Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah ini, hingga memperoleh keber-kahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Ramadhan, Bulan Penuh Berkah



Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i

KEWAJIBAN BERPUASA RAMADHAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah: 183]

Allah berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendak-lah ia berpuasa pada bulan itu.” [Al-Baqarah: 185]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسِيْنَ...

“Islam dibangun di atas lima (sendi).”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya, berpuasa di bulan Ramadhan. Kaum muslimin juga telah sepakat atas wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan.

Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai (dasar) penamaan bulan ini dengan nama Ramadhan. Ada pendapat yang menyatakan (dari perspektif maknawi -pent) bahwa dinamakan Ramadhan karena turmadhu (تُرمَضُ) fiihidz Dzunuub (pada bulan ini dosa-dosa manu-sia dibakar) dan الرَّمْضَاءُ شِدَّةُ الْحُرِّ (ar-ramdhaa’ maknanya panas membara).[1] Pendapat yang lainnya menyatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena orang-orang Arab ketika mentransfer nama-nama bulan dari bahasa kuno, mereka menamakan bulan-bulan itu berdasarkan realita dan kondisi yang terjadi ketika zaman itu. Lalu secara kebetulan bulan ini jatuh tepat pada cuaca yang panas membakar, maka dinamakan bulan ini dengan nama Ramadhan. [2]

KEBERKAHAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAANNYA
Bulan Ramadhan memiliki banyak keberkahan, keutamaan dan berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.

Keberkahan pertama, adalah bahwa puasa Ramadhan merupakan penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan.

Sebagaimana hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [3]

Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ.

“Shalat fardhu lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara masa tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkannya.”[4]

Keberkahan kedua, pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam lailatul Qadar. Namun mengenai hal ini akan dibahas secara khusus dan tersendiri pada bab selanjutnya.

Keberkahan ketiga, terdapat banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimeaan bulan yang sangat barakah ini, di antaranya hadits yang termaktub dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

“Apabila Ramadhan datang maka pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu.” [5]

Sedangkan dalam riwayat an-Nasa-i dan Imam Ahmad terdapat tambahan: “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah.” [6]

Keberkahan keempat, di antara keberkahan bulan ini adalah kaum Muslimin dapat meraih banyak keutamaan dan manfaat puasa yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, di antaranya yaitu:

1. Keutamaan-Keutamaan Duniawi
Pertama : Ketakwaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [Al-Baqarah: 183]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahiihain:

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ.

“Puasa itu adalah perisai, jika suatu hari salah seorang di antara kalian dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia tidak berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika seseorang mencela dan mencacinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” [7]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai,” maknanya bahwa puasa memelihara pelakunya dari adzab Neraka pada hari Kiamat, puasa memeliharanya dari hawa nafsu dan kemungkaran dalam kehidupan dunianya. [8] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah membimbing orang yang berpuasa untuk meninggalkan perkataan kotor dan keji, perbuatan-perbuatan yang buruk serta meninggalkan emosi kemarahan. Dan akhlak pelaku puasa yang mulia ini akan membantunya meraih derajat takwa. Itulah perangai yang terpuji.

Kedua : Pelipatgandaan Pahala.
Berdasarkan hadits yang tertera dalam kitab ash-Shahiihain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhhu:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ...

“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Akulah yang akan mengganjarnya...’”

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي.

“Setiap amal yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan. Satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Lalu Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang memberi ganjarannya. Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku semata.” [9]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Firman Allah Ta’ala yang menyatakan, ‘Dan Aku-lah yang memberi ganjarannya,’ merupakan penjelasan yang nyata tentang kebesaran karunia Allah dan melimpahnya balasan pahala-Nya karena sesungguhnya orang yang mulia dan dermawan jika mengabarkan bahwa dia sendiri yang akan menanggung balasannya, ini menunjukkan betapa besar kadar balasan yang dia persembahkan dan betapa luas pemberian yang Dia berikan.” [10]

Ketiga : Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah Ta’ala daripada wangi minyak kesturi.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.

“Demi Rabb yang jiwa Muhammad (berada) di tangan-Nya, sungguh bau mulut seorang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi minyak kesturi.”

Al-khaluuf artinya perubahan bau mulut sebagai akibat dari puasa. Namun hal ini ternyata baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahkan disukai-Nya. Hal ini menunjukkan betapa agung perkara pu-asa di sisi Allah Ta’ala. Sampai-sampai sesuatu yang menurut manusia dibenci dan dianggap jijik, ternyata di sisi Allah merupakan sesuatu yang disukai. Karena hal tersebut dibangun di atas sendi puasa yang merupakan implementasi dari ketaatan kepada Allah.

Keempat : Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu mendapatkan dua kebahagiaan
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.

“Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, berbahagia pada saat dia berbuka, berbahagia dengan puasanya itu dan pada saat ia berjumpa Rabb-nya.” [11]

Kelima : Pengistimewaan terhadap orang-orang yang berpuasa dengan masuknya mereka ke dalam Surga lewat pintu khusus yang bernama ar-Rayyaan.

Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ."

“Sesungguhnya di Surga itu ada sebuah pintu yang disebut ar-Rayyaan. Pada hari Kiamat nanti orang-orang yang suka berpuasa akan masuk Surga lewat pintu itu. Tidak ada seorang pun selain mereka yang diperkenankan (untuk masuk Surga) lewat pintu itu.” [12]

2. Manfaat Puasa Yang Bersifat Mendidik Dan Sosial
Pertama : Membiasakan diri untuk bersabar dan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan musibah.
Oleh karena itu, bulan ini disebut bulan kesabaran (syahru ash-shabri). Makna asal ash-shabru (kesabaran) adalah al-habsu (mengekang, menahan diri). Maka, di dalam puasa terdapat pengekangan atau penahanan diri dari (syahwat) makan dan sebagian (nafsu) kelezatan. [13] Hal ini akan menguatkan keinginan orang yang berpuasa.

Kedua : Pembinaan akhlak.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهِg حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh (terhadap puasanya) walaupun ia meninggalkan makan dan minumnya.” [14]

Hakekat puasa adalah berpuasanya kedua mata dari memandang sesuatu yang haram, beruasanya pendengaran dari mendengar sesuatu yang diharamkan, puasanya lisan dari perkataan dusta, keji dan sejenisnya dan berpuasanya seluruh anggota tubuh dari melakukan sesuatu yang haram. Dalam ritual puasa terdapat pendidikan bagi setiap individu mengenai persamaan antara yang fakir dan yang kaya, berbuat baik kepada kaum fakir dan miskin.

3. Manfaat Kesehatan
Pertama : Membebaskan tubuh dari lemak-lemak yang bertumpuk -apalagi pada orang-orang yang hidup mewah- yang seringkali menjadi sumber penyakit ketika lemak-lemak itu terus bertambah.

Sakit dari jenis ini merupakan penyakit kegemukan. Maka, lapar merupakan cara terbaik untuk mengatasi kegemukan tersebut.

Kedua : Membuang kotoran-kotoran tubuh, racun-racun tubuh yang bertumpuk dan cairan-cairan tubuh yang merusak. Meringankan aliran darah pada urat nadi dan menjaganya dari tertutupnya pembuluh darah.

Ketiga : Puasa memiliki pengaruh positif terhadap banyak penyakit, di antaranya untuk sakit maag, tekanan darah tinggi, stress maupun depresi. [15] Karena itu puasa mempunyai dampak positif yang mengagumkan dalam menjaga kesehatan. Apalagi puasa itu dijalani secara benar dan terarah pada waktu-waktu yang paling utama (afdhal) menurut syari’at. Secara pasti tubuh membutuhkan proses seperti puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya, at-Thibbun Nabawi. [16] Para dokter di dunia barat telah memperhatikan puasa sebagai salah satu cara yang efektif dari berbagai model terapi medis. Sebagian mereka mengatakan, “Sesungguhnya faedah lapar dalam terapi medis memiliki keunggulan yang berlipat kali dari penggunaan obat-obatan. [17] Dokter yang lainnya mengatakan, “Sesungguhnya puasa sebulan penuh dapat menghilangkan berbagai sisa-sisa kotoran badan selama setahun. [18] Inilah hal paling nyata dari manfaat puasa dan barakahnya di dunia dan akhirat, puasa yang telah diwajibkan Allah kepada kaum Muslimin sebulan penuh dalam setahun. Dia-lah puasa Ramadhan yang penuh barakah itu.

Keberkahan kelima, yaitu besarnya keutamaan amal shalih yang dilakukan dalam bulan ini, dan besarnya motivasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memacu kaum Muslimin beramal shalih pada bulan ini. Di antara amal shalih yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama : Qiyaamul lail
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi motivasi (kepada para Sahabat) untuk mendirikan qiyaam Ramadhaan (shalat malam Ramadhan) tanpa menyuruh mereka dengan paksaan. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

‘Barangsiapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.’”

Lalu setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal sekalipun, ibadah ini terus berlanjut. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dan permulaan masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. [19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Tarawih bersama Sahabat-Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, kemudian beliau meninggalkannya lantaran khawatir kaum Muslimin menganggap wajib hukumnya shalat tersebut. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berinisiatif untuk mengumpulkan orang-orang di masjid menunaikan shalat Tarawih. [20] Dan alhamdulillaah, ritual (syi’ar) seperti ini masih terus berlangsung hingga hari ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sungguh-sungguh dan giat dalam beribadah serta berdo’a pada sepuluh malam terakhir (al-‘asyrul awaakhir) dari bulan Ramadhan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya .’” [21][22]

Kedua : Ash-Shadaqah.
Imam al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu nahuma, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan. Dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan pada saat Jibril menemuinya. Maka pada saat Jibril menemuinya, ketika itulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam kebaikan dari pada angin yang berhembus.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah anjuran untuk memperbanyak berderma dan bersedekah, lebih-lebih lagi dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah ini.

Ketiga : Tilaawah al-Qur-aanil Kariim.
Disunnahkan untuk memperbanyak tilaawah al-Qur-an (membaca al-Qur-an) pada bulan Ramadhan. Pada bulan inilah al-Qur-an diturunkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang hapalannya bacaan al-Qur-annya bersama Jibril, satu kali di setiap Ramadhan. Sebagaimana yang tertera dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Dalam hadits itu disebutkan:

وَكَانَ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ.

“Jibril menemuinya setiap malam pada bulan Ramadhan hingga terbaring. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hapalan bacaan al-Qur-annya pada Jibril.” [23]

Para Salafush Shalih Radhiyallahu anhum memperbanyak bacaan al-Qur-annya di dalam shalat maupun pada kesempatan lainnya. [24]

Keempat : Al-I’tikaaf.
I’tikaaf yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahua anhuma disebutkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, (amalan ini terus dilakukannya-pent) hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau meneruskan amal ber-i’tikaf sepeninggalnya.” [25]

Tidak diragukan lagi bahwa i’tikaf akan membantu pelakunya berkonsentrasi untuk melakukan ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Jalla wa ‘Alaa. Lebih lagi pada saat-saat yang dimulia-kan, seperti bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Kelima : Al-‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan melaksanakan ‘Umrah pada bulan Ramadhan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak sempat melaksanakan haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً.

“Apabila datang bulan Ramadhan, maka laksanakanlah ‘umrah kamu, sesungguhnya ‘umrah pada bulan Ramadhan nilainya setara dengan Haji.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “(‘Umrah pada Ramadhan itu) dapat menggantikan Haji atau menggantikan Haji bersamaku.” [26] Maksudnya, nilai pahala ‘umrahnya wanita Anshar menyamai nilai pahala ber-Haji, bukannya ‘umrah tersebut dapat menggantikan kedudukan hukum wajibnya Haji, sehingga dapat menggugurkan hukum wajibnya haji tersebut, bukanlah demikian. [27]

Keberkahan keenam, bahwasanya keberkahan-keberkahan Ramadhan adalah banyak peristiwa-peristiwa besar nan mulia yang terjadi di bulan ini. Dan sesungguhnya dari sekian banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan yang penuh berkah ini, maka peristiwa yang paling fenomenal dan sangat bermanfaat untuk ummat manusia adalah peristiwa turunnya al-Qur-an al-Karim.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...” [Al-Baqarah: 185]

Sedangkan di antara peristiwa fenomenal lainnya yang sarat manfaat, adalah sebagai berikut:

Pertama, Perang Badar Kubra, yang dinamakan sebagai yaumul Furqaan (hari Pembeda).

Pada hari itu Allah memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Maka, ketika itu, kelompok minoritas yang beriman meraih kemenangan atas kelompok besar yang kafir yang jauh lebih unggul dalam hal kuantitas pasukan dan perbekalan. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedua Hijriyyah.

Kedua, Futuh Makkah
Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat besar pada kaum mukminin dengan futuh (penaklukan) yang penuh barakah ini. Orang-orang secara berbondong-bondong masuk ke dalam Islam, lalu jadilah Makkah sebagai Daarul Islam (negeri Islam), setelah sebelumnya menjadi pusat kesyirikan orang-orang musyrik. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah.

Ketiga, Perang Hiththin pada tahun 584 H.
Dalam peperangan ini kaum Salibis mengalami kekalahan yang telak. Dan Shalahuddin al-Ayubi meraih kemenangan-kemenangan besar, lalu mengembalikan hak-hak kaum muslimin dan merebut kembali Baitul Maqdis.

Keempat, Peperangan ‘Ain Jaluut
Inilah peperangan sengit yang diakhiri dengan kemenangan bagi kaum muslimin atas pasukan Tartar. Peperangan ini terjadi pada tahun 658 Hijriyyah.

Setelah kami memaparkan secara global berbagai keutamaan yang menjadi keistimewaan bulan Ramadhan, dan sekian banyak keberkahan yang terkandung di dalam bulan mulia ini, maka tidak ada upaya kecuali aku berdo’a untuk saudara-saudaraku sesama muslim agar mereka terus meneguk berbagai keutamaan itu, dan bisa meraih berkah-berkah itu sebagai implementasi dari perintah Allah Ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, dan para pendahulu dari ummat yang terpilih ini, serta sebagai upaya mendulang berbagai manfaat yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, juga dari berbagai kebaikan yang luas.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



I'tikaaf



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


DEFINISI I'TIKAAF

I’tikaaf berasal dari kata:

عَكَفَ – يَعْكُفُ – عُكُوْفًا.

Kemudian disebut dengan i’tikaaf:

اِعْتَكَفَ – يَعْتَكِفُ – إِعْتِكَافًا .

I’tikaaf menurut bahasa ialah: “Menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan.”

Allah berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? [Al-Anbiyaa : 52]

I'tikaaf berarti: "Tekun dalam melakukan sesuatu. Karena itu, orang yang tinggal di masjid dan melakukan ibadah disana, disebut mu'takif atau 'aakif".[Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits III/284 dan Lisaanul Arab (IX/341), cet. Daar Ihyaa-ut Turats al-Arabi]

Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: "Seseorang tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan sifat/ciri tertentu" [Lihat Fat-hul Baari (IV/271), Syarah Muslim (VIII/66), Mufradaat Alfaazhil Qur’an (hal. 579) ar-Raghib al-Ashfahani, Muhalla (V/179)]

DISYARI'ATKANNYA I'TIKAAF
Para ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya dan i'tikaaf yang paling utama adalah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Hal tersebut karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits:

Hadits Pertama:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللّهُ تَعَالَى ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata: Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa beri'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya" [HR. Ahmad VI/92, al-Bukhari no. 2026, Fat-hul Baari IV/271, Muslim no. 1172 (5), Abu Dawud no. 2462, dan al-Baihaqi IV/ 315, 320.]

Hadits Kedua:.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ.

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan". [HSR. Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171 (2)]

Hadits Ketiga:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَى لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan, maka beliau) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya". [HSR. Ahmad VI/41, al-Bukhari no. 2024, Muslim no. 1174, Abu Dawud no. 1376, an-Nasa-i III/218, lafazh ini milik al-Bukhari]

Maksud dari kalimat.
1. "Mengikat kainnya", adalah satu kinayah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya karena beliau selalu melakukan i'tikaaf setiap sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sedangkan orang yang i'tikaaf tidak boleh bercampur dengan istrinya.

2. "Menghidupkan malamnya", artinya beliau Shallallahu alaihi wa sallam sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan berdzikir.

3. "Membangunkan istrinya", yakni menyuruh mereka shalat malam (Tarawih) serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.

Lihat dalam Subulus Salam (II/351) karya as-Shan'aani, Fiqhul Islam Syarah Buluughil Maraam (III/257-258)

Hadits Keempat

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ.

“Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Ialah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malam lainnya". [HSR. Ahmad VI/256 dan Muslim no. 1175.]

Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya. Begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah yang mempunyai keutamaan, akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menerangkan tentang keutamaannya.

Imam Abu Dawud as-Sijistan berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?" Jawab beliau: Tidak aku dapati, kecuali sedikit riwayat dan riwayat ini pun lemah. Dan tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa i'tikaaf adalah Sunnah". [Lihat al-Mughni IV/455-456.]

HIKMAH I'TIKAAF
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Kebaikan hati dan kelurusannya dalam menempuh jalan Allah tergantung pada totalitasnya berbuat karena Allah, dan kebulatannya secara total hanya tertuju kepada Allah Azza wa Jalla. Ketercerai-beraian hati tidak bisa disatukan kecuali oleh langkah menuju Allah Azza wa Jalla. Berlebih-lebihan dalam makan, minum, pergaulan dengan manusia, pembicaraan yang banyak dan kelebihan tidur, hanya menambah ketercerai-beraian hati serta terserak di setiap tempat, memutusnya dari jalan menuju Allah, atau melemahkan, merintangi, atau menghentikannya dari hubungan kepada Allah.

Adanya rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat menyingkirkan ketamakan hati dari gejolak hawa nafsu yang menjadi perintang bagi perjalanan menuju Allah. Dia mensyari'atkan puasa sesuai dengan kemaslahatan, dimana akan memberi manfaat kepada hamba-Nya di dunia dan akhirat, serta tidak mencelakakannya dan juga tidak memutuskan dirinya dari kepentingan duniawi dan ukhrawinya.

Allah Azza wa Jalla juga mensyari'atkan i'tikaaf bagi mereka, yang maksud dan ruhnya adalah keteguhan hati kepada Allah Azza wa Jalla semata serta kebulatannya hanya kepada-Nya, berkhulwat kepada-Nya, dan memutuskan diri dari kesibukan duniawi, serta hanya menyibukkan diri beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Di mana, dia menempatkan dzikir, cinta, dan menghadapkan wajah kepada-Nya di dalam keinginan dan lintasan-lintasan hati, sehingga semua itu menguasai perhatiannya.

Selanjutnya, keinginan dan detak hati hanya tertuju kepada dzikir kepada-Nya serta tafakkur untuk mendapatkan keridhaan-Nya serta mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga keakrabannya hanya kepada Allah, sebagai ganti dari keakrabannya terhadap manusia. Sehingga ia siap dengan bekal akrabnya kepada Allah pada hari yang menakutkan di dalam kubur, saat di mana dia tidak mempunyai teman akrab. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyenangkan, selain Dia. Itulah maksud dari i'tikaaf yang agung. [Zaadul Ma'ad (II/86-87), cet. XXV thn. 1412 Muassasah ar-Risalah tahqiq dan takhrij Syu'aib al-'Arnauth dan Abdul Qadir al-'Arnauth]

HUKUM I'TIKAAF
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu:
a. Sunnat.
b. Wajib.
I'tikaaf sunnat ialah yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala daripada-Nya serta mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sepanjang tahun.

I'tikaaf seperti ini sangatlah ditekankan. I'tikaaf yang sunnah ini tidak boleh ditetapkan 1 hari atau 3 hari secara rutin kecuali yang ditetapkan syari'at. I'tikaaf yang paling utama adalah yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadhan sampai beliau Shallallahu alaihi wa sallam wafat.

I'tikaaf yang wajib, ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan, Wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. "Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam".

Nadzar ini wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ .

"Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu ketaatan kepada Allah, hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan Barangsiapa bernadzar untuk melakukan maksiat (kedurha-kaan/kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan maksiat itu". [HSR. Al-Bukhari no. 6696, 6700, Abu Dawud no. 3289, an-Nasa-i VII/17, at-Tirmidzi no. 1526, ad-Darimi II/184, Ibnu Majah no. 2126, Ahmad VI/36, 41, 224 dan al-Baihaqi IX/ 231, X/68, 75 dan Ibnul Jarud no. 934].

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ya Rasulullah, aku pernah bernadzar di zaman Jahiliyyah akan beri'tikaaf satu malam di Masjidil Haram?"?? Sabda beliau: "Penuhilah nadzarmu itu!" [HSR. Al-Bukhari no. 2032, Fat-hul Baari IV/ 274 dan Muslim no. 1656.]

WAKTU I'TIKAAF
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.

Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.

Imam asy-Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa i'tikaaf yang sunnat tidak ada batasnya. [Lihat Bidayatul Mujtahid I/229.]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Boleh seseorang beri'tikaaf siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Abu Sulaiman". [Baca al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624.]

SYARAT-SYARAT I'TIKAAF
Syarat-syarat bagi orang yang i'tikaaf ialah:
a. Seorang Muslim.
b. Mumayyiz.
c. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.

Apabila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:
1. Menurut Ibnul Qayyim: "Puasa sebagai syarat sahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf". Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Lihat Zaadul Ma'ad, II/88]

2. Menurut Imam asy-Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat sahnya i'tikaaf. Jika seorang yang beri'tikaaf mau puasa, maka ia puasa. Jika ia tidak mau, tidak apa-apa. [Baca: Al-Muhalla V/181, masalah no. 625]

3. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh". [Lihat al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/484]

Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid, maka i'tikaafnya sah.

Imam Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa orang yang i'tikaaf harus berpuasa. Hal ini berdasarkan perkataan 'Aisyah Radhiyallahu anha:

مَنِ اعْتَكَفَ فَعَلَيْهِ الصَّوْمُ .

"Barangsiapa yang i'tikaaf hendaklah ia berpuasa". [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 8037.]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ إِمْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ مَسْجِدٍ جَامِعٍ.

Aisyah Radhiyallahu anha juga berkata, "Sunnah bagi orang yang i'tikaaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak bercampur dengan istrinya dan tidak bercumbu rayu, tidak keluar dari masjid kecuali ada sesuatu yang mesti dia keluar, tidak ada i'tikaaf kecuali di masjid jami".??[HR. Abu Dawud no. 2473 dan al-Baihaqi IV/315-316, lihat Shahih Sunan Abi Dawud VII/235-236 no. 2135]

RUKUN-RUKUN I'TIKAAF
Rukun-rukun niat adalah
1. Niat, karena tidak sah satu amalan melainkan dengan niat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus". [Al-Bayyinah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى...

"Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya". [HSR. Al-Bukhari no. 1, Fat-hul Baari VI/48, Muslim no. 1907]

Niat tempatnya di hati, tidak dilafazhkan.

2. Tempatnya harus di masjid.
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Mengenai tempat i'ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala.

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid". [Al-Baqarah: 187]

Jadi, i'tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.

PENDAPAT FUQAHA' MENGENAI MASJID YANG SAH DIPAKAI UNTUK I'TIKAAF
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

1 . Sebagian ulama berpendapat bahwasanya i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Ini adalah pendapat Sa'id bin al-Musayyab.

Imam an-Nawawi berkata, "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak sah" [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/483]

2. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dilaksanakan shalat lima waktu dan didirikan jama'ah. [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/483.]

3. Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu sah dilakukan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang sah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.

Setelah membawakan beberapa pendapat tersebut, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "I'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". [Lihat al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, VI/483.]

Ibnu Hazm berkata, "I'tikaaf itu sah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik itu (masjid yang) dilaksanakan Jum'at ataupun tidak". [Lihat al-Muhalla V/193, masalah no. 633.]

Telah terjadi ittifaq (kesepakatan) di antara ulama Salaf, bahwa di antara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat di antara mereka apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid manapun (pada umumnya), bila dilihat zhahir firman Allah.

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"...Sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid...".[Al-Baqarah: 187]

Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafazhnya. Karena itu, siapa saja yang mengkhususkan makna dari ayat tersebut, mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya tiga masjid (yaitu Masjidil Haram, Nabawi dan Aqsha). Karena pendapat (yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut [Lihat al-Jami' li Ahkaamil Qur'aan karya Imam al-Qurthubi (I/222), Ahkaamul Qur'aan al-Jashshash (I/285) dan Raawa'i'ul Bayaan fii Tafsiiri Ayaatil Ahkaam (I/241-215)]

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa i'tikaaf hanya dilakukan di tiga masjid ; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam.

لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ.

"Tidak ada i'tikaaf melainkan hanya di tiga masjid". [HR. Al-Isma'ily dalam al-Mu'jam dan al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/316) dari Shahabat Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu]

Tentang keshahihan hadits ini dan takhrijnya dapat dilihat pada kitab Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah no. 2786 (jilid VI al-Qismul Awwal hal. 667-676) karya besar Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Lihat juga al-Inshaf fii Ahkaamil I'tikaaf oleh Syaikh 'Ali Hasan 'Ali Abdul Hamid.
Menurut Imam al-Albani rahimahullah bahwa ayat tentang i'tikaaf bentuknya umum sedangkan hadits mengkhususkan di tiga masjid. [Qiyaamu Ramadhan hal. 36.]

Wallaahu a'lam bish Shawab.

TENTANG WANITA YANG BERI'TIKAAF
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan sah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah sah menerangkan bahwa para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. [Lihat Fiqhus Sunnah I/402]

Tentang wanita yang beri'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri dan terpisah dari laki-laki, sedangkan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, yaitu terjadinya ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya, para ulama membolehkan namun diusahakan untuk tidak saling pandang antara laki-laki dan wanita. [Lihat al-Mughni IV/464-465, baca Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram III/260.]

WAKTU MEMULAI DAN MENGAKHIRI I'TIKAAF
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa waktu i'tikaaf sunnat adalah tidak terbatas. Maka, apabila seseorang telah masuk masjid dan berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam masjid beribadah beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar.

Dan jika seseorang berniat hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, maka hendaklah ia mulai memasuki masjid sebelum matahari terbenam.

Pendapat yang menerangkan bahwa waktu dimulainya i'tikaaf adalah sebelum matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan, yaitu pada malam ke 21, merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Hanafi, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.

Lihat Syarah Muslim VIII/68, Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/492, Fathul Baary IV/277, al-Mughni IV/489-490 dan Bidayatul Mujtahid I/230.

Dalil mereka ialah riwayat tentang i'tikaafnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di awal Ramadhan, pertengahan dan akhir Ramadhan:

عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ.

"Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan)". [HSR. Al-Bukhari no. 2027.]

Maksud "sepuluh terakhir", adalah nama bilangan malam, dan bermula pada malam kedua puluh satu atau malam kedua puluh. [Lihat Fiqhus Sunnah I/403.]

Tentang hadits 'Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: "Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak i'tikaaf, beliau shalat Shubuh dulu, kemudian masuk ke tempat i'tikaaf" [HSR. Al-Bukhari no. 2033 dan Muslim no. 1173]

Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan dari waktu i'tikaaf itu adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat al-Auza'i, al Laits dan ats-Tsauri. [Lihat Nailul Authar IV/296.]

Maksud dari hadits Aisyah di atas ialah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi, bukan masuk masjidnya ba'da Shubuh.

Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal malam sebelum terbenamnya matahari. Wallaahu a'lam bish shawaab [Lihat Fiqhus Sunnah I/403.]

Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad rahimahullah, ia disunnahkan untuk tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi, keluar dari masjid ketika ia keluar menuju lapangan untuk mengerjakan shalat 'Ied. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah matahari terbenam. [Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/230) dan al-Mughni (IV/490).]

Jadi kesimpulannya, empat Imam telah sepakat bahwa waktu i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di akhir Ramadhan.

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Mereka menganggap sunnah bermalam di masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang beri'tikaaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya langsung pergi ke lapangan (untuk shalat Idul Fitri)". [Baca al-Mughni, IV/490-491.]

Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari tertentu, atau bermaksud melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan keluar dari masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. [Lihat Bidaayatul Mujtahid, I/230, al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/494, Fiqhus Suunah I/403-404.]

Ibnu Hazm berkata, "Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari, dan keluar dari masjid bila sudah terlihat terbitnya fajar. Sebabnya karena permulaan malam ialah saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan diniatkannya". [Lihat al-Muhalla V/198, masalah no. 636.]

HAL-HAL YANG SUNNAT DAN YANG MAKRUH BAGI ORANG YANG I'TIKAAF
Disunnatkan bagi orang yang i'tikaaf memperbanyak ibadah sunnat serta menyibukkan diri dengan shalat berjama'ah dan shalat-shalat sunnat, membaca al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, berdo'a membaca shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ibadah-ibadah lain untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala. Semua ibadah ini harus dilakukan sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Termasuk juga dalam hal ini disunnahkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi 'alaihimush shalatu wa sallam dan orang-orang shalih, dan mempelajari kitab-kitab fiqh serta kitab-kitab yang berisi tentang masalah aqidah dan tauhid.

Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfaat, baik berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

"Diantara kebaikan Islam seseorang ialah, ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna". [HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di Shahiih Jami'us Shaghiir no. 5911]

Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, yakni seseorang tidak mau bicara, karena mengira bahwa hal itu mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang khutbah, tampak oleh beliau seorang laki-laki yang tetap berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para Shahabat): 'Siapakah orang itu?' Para Shahabat menjawab: 'Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus berdiri, tidak akan duduk, tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa'. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

"Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaklah ia meneruskan puasanya". [HSR. Al-Bukhari no. 6704, Abu Dawud no. 3300, ath-Thahawi di dalam kitab Musykilul Atsaar III/44 dan al-Baihaqi X/75.]

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I'TIKAAF
Pertama:
Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan batal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.

Kedua:
Murtad karena bertentangan dengan makna ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada-mu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter-masuk orang-orang yang merugi". [Az- Zumar : 65]

Ketiga: Hilang akal disebabkan gila atau mabuk.
Keempat: Haidh.
Kelima: Nifas.
Keenam: Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subahanhu wa Ta'ala

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa". [Al-Baqarah: 187] [Lihat Fiqhus Sunnah I/406]

Menurut pendapat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu: "Apabila seorang mu'takif (yang i'tikaaf) bersetubuh, maka batal i'tikaafnya dan ia mulai dari awal lagi.[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq, dengan sanad yang shahih. Lihat Qiyamur Ramadhan hal. 41 oleh Imam al-Albani]

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I'TIKAAF
Pertama:
I'tikaafnya seorang wanita dan kunjungannya kepada suaminya yang beri'tikaaf di dalam masjid.

Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya yang tengah beri'tikaaf. Dan suaminya yang sedang beri'tikaaf diperbolehkan untuk mengantar-kannya sampai pintu masjid.

Shafiyyah Radhiyallahu anha bercerita: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah beri'tikaaf (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan), lalu aku datang untuk mengunjungi beliau pada malam hari, (yang saat itu di sisi beliau sudah ada beberapa istrinya, lalu mereka pergi). Kemudian aku berbicara dengan beliau beberapa saat, untuk selanjutnya aku berdiri untuk kembali. (Maka beliau bersabda: 'Janganlah kamu tergesa-gesa, biar aku mengantarmu'). Kemudian beliau berdiri mengantarku -dan rumah Shafiyyah di rumah Usamah bin Zaid-. Sehingga ketika sampai di pintu masjid yang tidak jauh dari pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang dari kaum Anshar yang melintas. Ketika melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kedua orang itu mempercepat jalannya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Janganlah kalian tergesa-gesa, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay'. Kemudian keduanya menjawab: 'Mahasuci Allah, wahai Rasulullah'. Beliau bersabda: 'Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir syaitan itu akan melontarkan kejahatan dalam hati kalian berdua, atau beliau bersabda (melontarkan sesuatu)'". [HR. Al-Bukhari no. 2035, Muslim no. 2175]

Kedua:
Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.

Ketiga:
Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا

"Dari Aisyah Radhiyalahu 'anha, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam padahal ia (Aisyah) sedang haidh, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang beri'tikaaf di masjid. Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dimasukkan ke kamar Aisyah. Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bila sedang beri'tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau untuk menunaikan hajat. [HSR. Al-Bukhari no. 2029, 2046, Muslim no. 297 (6-7), Abu Dawud no. 2467, at-Tirmidzi no. 804, Ibnu Majah no. 1776 dan 1778, Malik I/257 no. 1, Ibnul Jarud no. 409 dan Ahmad VI/104, 181, 235, 247, 262.]

Berkata Ibnul Mundzir: "Para ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaafnya) untuk keperluan buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, (apabila tidak ada kamar mandi/wc di masjid -pent.). Dalam hal ini, sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia keluar (sekedarnya)".[Lihat Fiqhus Sunnah I/405.]

Aisyah Radhiyallahu anha juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika sedang i'tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.

KHATIMAH
Dianjurkan bagi orang-orang yang ber-i’tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan yang tidak i’tikaaf, berusa-halah memanfaatkan waktu untuk ibadah kepada Allah, perbanyaklah baca al-Qur-an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan kita ter-masuk orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar: 1-5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .

“Barangsiapa berdiri (melaksanakan ibadah) pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HSR. Al-Bukhari no. 2014, Muslim 760 (175), Abu Dawud no. 1372, an-Nasaa-i IV/157]

Dianjurkan pula banyak do’a dan dzikir ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya Lailatul Qadar:

اللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maaf-kanlah aku. [HSR. Ahmad VI/171, Ibnu Majah no. 3850, at-Tirmidzi no. 3513 dari ‘Aisyah d. Lihat Shahih at-Tirmidzi no. 2789 dan Shahih Ibni Majah no. 3105.]

Wallahu a’lam bish shawaab.

Penutup dari pembahasan ini adalah do’a:

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memujimu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) ke-cuali Engkau, aku meminta ampun dan ber-taubat kepada-Mu.[HR. An-Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 403, Ahmad VI/77. Lihat Fat-hul Baari XIII/546, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 3164.]


Fidyah Di Dalam Puasa



Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa'at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1].

Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

ا"Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui". [Al Baqarah : 184].

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)".

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه . Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

Dari 'Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir]. [3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa'di di dalam tafsirnya: "Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar".[4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah".[5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.[6]

2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7]

Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :

1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.

Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah.

Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:

اَلْمُرْضِعُ وَالْحُبْلَى إذَا خَافَـتَا عَلىَ أوْلَادِهِمَا أفْطَرَتاَ وَأَطْعَمَتَا

"Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].

Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.

Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i. [8]

Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.

Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:

إنَّ اللهَ وَضَعَ الصِّـيامَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ

"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui". [HR Al Khamsah].

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*]

Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.
Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha' (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu 'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:

إِنَّ الهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبِْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha' dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]

Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.

Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha', tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha'? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain".

Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11]

2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.

Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).

Dalil dari pendapat ini adalah:
Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)". [14]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha". [15]

Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha', kemudian mati sebelum mengerjakannya.

Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha'nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha', tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.

Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.
Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.

Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada".

Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja". [17]

Ukuran Satu Mud.
Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18]

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. [19]

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha' (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.

Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.

Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil).

Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan".

F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Maraji`:
1. Al Majmu' Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402 H.
3. Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4. Asy Syarhul Mumti', Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416 H.
5. Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
6. Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
8. Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma'rifah, Beirut.
9. Fatawa Islamiyah, Jama': Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______



sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment