Thursday, June 13, 2013

antrian calon jamaah haji Indonesia yang kini bisa mencapai 10 tahun, di beberapa tempat bisa molor jadi 15 tahun.



Antrian Lebih panjang akan dialami calon jemaah haji Indonesia, pasalnya pemerintah
Atab Saudi tahun ini akan mengurangi kuota haji untuk negara di seluruh dunia sekitar 20% termasuk Indonesia. Sehingga antrian calon jamaah haji Indonesia yang kini bisa mencapai 10 tahun, di beberapa tempat bisa molor jadi 15 tahun.

Akibat kebijakan ini menurut Direktur Jenderal Urusan Haji Deparyemen Agama Indonesia Angito Abimanyu mereka yang sudah pernah naik haji akan dicoret, dan mereka yag sudah usia lanjut untuk menunda keberangkatannya. ‘’Fisik mereka yang sudah lanjut usia akan terganggu dengan semakin padatnya Masjidil Haram yang tahun ini diperluas lagi,’’ kata dia.

Menteri Agama, Suryadharma Ali mengumumkan, Pemerintah Arab Saudi mengurangi kuota jamaah haji Indonesia 2013 sebesar 20 persen atau 42.200 orang.
Sehingga jamaah haji Indonesia yang bisa berangkat ke Tanah Suci pada 2013 turun dari 211.000 jamaah menjadi 168.800 jamaah.

"Kami mengimbau kepada calon jamaah haji yang telah melunasi dan mendapat porsi haji 2013 yang berjumlah 180.000 orang bersabar menunggu kebijakan Kemenag, setelah pembahasan dengan pihak pemerintah Saudi, beri kami waktu dua minggu," kata Menag Suryadarma Ali di Jakarta, Rabu (12/6).
Namun, kepada calon jamaah haji yang kemungkinan akan terkena kebijakan Pemerintah Saudi sehingga tak jadi berangkat, pihaknya menjamin kepastian mereka untuk mendapat alokasi kuota keberangkatannya pada 2014 tanpa, dikenakan biaya tambahan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) bila terjadi selisih lebih.

"Menteri Agama atas nama pemerintah Indonesia akan segera membahas langsung dan upaya diplomasi dengan pemerintah kerajaan Arab Saudi, khususnya dengan Menteri Hajinya dan pihak terkait mengenai kebijakan ini serta memohon dispensasi," tuturnya.

Kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu berdasarkan surat Kementerian Haji Arab Saudi pada Kamis 6 Juni 2013 yang menyebut penyebab pengurangan itu adalah keterlambatan penyelesaian rehabilitasi Masjidil Haram, dan demi menjamin keselamatan jamaah haji.

Pemerintah Saudi tidak hanya mengurangi kuota jamaah haji Indonesia saja, ujarnya, tetapi kuota haji seluruh negara pengirim jamaah haji di dunia, yakni sebesar 20 persen dari kuota dasar sesuai kesepakatan negara Organisasi Konferensi Islam (OKI).

"Keterlambatan rehabilitasi Masjidil Haram berakibat pada berkurangnya kapasitas daya tampng tempat tawaf yang semula dapat menampung jamaah sebanyak 48.000 jamaah per jam jadi tinggal 22.000 jamaah per jam," paparnya.

Pengurangan kuota haji itu, kata Suryadharma, akan diberlakukan secara proporsional untuk semua provinsi. Namun, lebih diutamakan kepada jamaah yang masih muda agar memberi kesempatan kepada jamaah yang sudah berusia lanjut lebih dulu.

Jemaah haji Indonesia akan dikurangi sebanyak 40 ribu orang atau sekitar 20 persen dari total jemaah haji Indonesia mulai tahun ini.

"Ada surat dari Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia. Jadi ada rencana pemerintah Arab Saudi untuk memotong jumlah jemaah haji Indonesia sebesar 40 ribu orang," kata Ketua Komisi VIII DPR RI, Ida Fauziah, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.

Ida menyebutkan, adanya pengurangan jemaah haji tersebut karena saat ini tengah dilakukan renovasi di sekitar areal ibadah Masjidil Haram, Mekkah.

"Alasan pengurangan itu karena pembangunan di sekitar Masjidil Haram yang belum selesai sehingga areal ibadah di sekitar Masjidil Haram akan jadi persoalan," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Oleh karena itu, Komisi VIII DPR RI akan meminta Direktrorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama untuk menjelaskan hal tersebut.

"Bagaimana caranya mengantisipasi. Harus ada langkah dari pemerintah agar pemotongan itu tidak menimbulkan persoalan. Kita berharap pemerintah, khususnya Kementerian Agama melakukan upaya lobi," kata Ida.

Pemotongan jumlah jemaah haji akan berdampak kepada daftar tunggu jemaah haji di Tanah Air.
"Waiting list kita sudah 12 tahun. Kalau dipangkas 40 ribu orang, calon yang sudah masuk waiting list dan sudah siap berangkat, akan tertunda. Semakin panjang daftar tunggunya," kata Ida Fuaziah.

Sunday, June 2, 2013

UTAMAKAN MENIKAH




Acara Pernikahan antara Nina Kirana putri pertama M.Yusuf dan Siti Masfufah (paling kiri)
dengan Indra Santoso putra pertama Bapak Slamet
UTAMAKAN MENIKAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada suatu kebiasaan yang sudah meyebar, yaitu adanya gadis remaja atau orang tuanya menolak orang yang melamarnya, dengan alasan madih hendak menyelesaikan studinya di SMU atau di Perguruan Tinggi, atau sampai karena untuk mengajar dalam beberapa tahun. Apa hukumnya ? Apa nasihat Syaikh bagi orang-orang yang melakukannya, bahkan ada wanita yang sudah mencapai usia 30 tahun atau lebih belum menikah ?

Jawaban.
Nasehat saya kepada semua pemuda dan pemudi agar segera menikah jika ada kemudahan, karena Nabi Shallallau 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya". [Muttafaq 'Alaih]

Sabda beliau juga.

"Artinya : Apabila seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu untuk melamar, maka kawinkanlah ia ( dengan putrimu), jika tidak niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi ini". [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dengan sanad Hasan]

Sabda beliau lagi.

"Artinya : Kawinkanlah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi ummat-umat lain dengan jumlah kalian pada hari kiamat kelak".

Menikah juga banyak mengandung maslahat yang sebagiannya telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti terpalingnya pandangan mata (dari pandangan yang tidak halal), menjaga kesucian kehormatan, memperbanyak jumlah ummat Islam serta selamat dari kerusakan besar dan akibat buruk yang membinasakan.

Semoga Allah memberi taufiqNya kepada segenap kaum Muslimin menuju kemaslahatan urusan agama dan dunia mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Dekat

[Fatwa Syaikh Bin Baz di dalam Majalah Al-Da'wah, edisi 117]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]


KONSEP ISLAM TENTANG PERKAWINAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [Al-Baqarah : 30].

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". [An-Nisaa' : 21].

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.

Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". [Ar-Ruum : 30].

A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]

B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :

"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku".[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :

"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". [An-Nur : 32]
.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu].

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". [Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

[2]. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

[3]. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :

"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". [Al-Baqarah : 229].

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". [Al-Baqarah : 230]

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Sialm dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu: Harus Kafa'ah dan Shalihah.

[a]. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya [Al-Hujurat : 13]

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". [Al-Hujurat : 13].

Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". [Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175]

[b]. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :

"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". [An-Nisaa : 34]

Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

[4]. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? "Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". [Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih].

[5]. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". [An-Nahl : 72]

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :

[1]. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

[2]. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

[3]. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". [Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah]

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". [Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri].

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.

[1]. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya "Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.

[2]. Tukar Cincin.
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zifaf, Syaikh Nashiruddin Al-AlBani)

[3]. Menuntut Mahar Yang Tinggi.
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. [Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348].

[4]. Mengikuti Upacara Adat.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". [Al-Maaidah : 50]

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". [Ali-Imran : 85].

[5]. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.

Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa' Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : "Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?". 'Aqil menjelaskan :

"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". [Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain].

Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah:

"Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"

Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

"Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a baiynakuma fii khoir) Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148].

[6]. Adanya Ikhtilath.
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.

[7]. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.

KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".[Ar-Ruum : 21].

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsiya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian".

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala [Ali-Imran : 19]

"Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 140].

Amiin.
Wallahu a'alam bish shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Th I/1415-1994. Diterbitkan Oleh Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran 241A Surakarta 57152]

Sumber; http://almanhaj.or.id/content

SAAT TERINDAH DALAM HIDUP MANUSIA




SAAT TERINDAH DALAM HIDUP MANUSIA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



Pernakah Anda mengalami saat-saat terindah dalam hidup Anda? Apa yang Anda rasakan kala itu ? Tentu sangat bahagia. Sehingga Anda berharap saat-saat itu terulang kembali.

Setiap insan tentu pernah merasakan saat-saat terindah dalam hidupnya. Dan masing-masing individu menilai saat-saat terindah itu, sesuai dengan apa yang mendominasi hati dan jiwanya.

Seorang pebisnis menganggap saat terindah adalah ketika dia berhasil meraup keuntungan besar dan berlipat ganda. Orang yang berambisi besar untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan merasa saat yang terindah adalah ketika dia berhasil meraih jabatan yang diidamkannya.

Demikianlah sekilas gambaran manusia dalam menilai saat-saat terindah dalam hidup mereka. Melalui tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk memperhatikan dan merenungkan dengan seksama, manakah di antara semua itu yang merupakan kebahagiaan dan keindahan sejati ? Sehingga orang yang meraihnya berarti dia telah benar-benar merasakan saat terindah dalam hidupnya.

RENUNGAN TENTANG KEINDAHAN DAN KEBAHAGIAAN HIDUP YANG SEJATI
Imam Ibnul Qayyim t mengatakan, "Sesungguhnya bentuk-bentuk kebahagiaan (keindahan) yang diprioritaskan oleh jiwa manusia ada tiga (macam) :

1. Kebahagiaan (keindahan) di luar diri manusia. Keindahan ini merupakan pinjaman dari orang lain. Dia akan sirna dengan dikembalikannya pinjaman tersebut. Inilah kebahagiaan (keindahan) dengan sebab harta dan kedudukan (duniawi).

Keindahan seperti ini adalah seperti keindahan seseorang dengan pakaian (indah) dan perhiasannya, tapi ketika pandanganmu melewati penutup dirinya maka ternyata tidak ada satu keindahanpun yang tersisa pada dirinya!

Dalam sebuah kisah diceritakan, ada seorang Ulama yang menumpang sebuah kapal laut bersama para saudagar kaya. Kemudian kapal tersebut pecah (dan tenggelam bersama seluruh barang-barang muatan). Maka para saudagar tersebut serta merta menjadi orang-orang yang hina dan rendah diri, padahal sebelumnya mereka merasa mulia (bangga) dengan kekayaan mereka. Sedangkan Ulama tersebut sesampainya di negeri tujuan, beliau dimuliakan dengan berbagai macam hadiah dan penghormatan (karena ilmu yang dimilikinya). Ketika para saudagar yang telah menjadi miskin itu ingin kembali ke negeri asal, mereka bertanya kepada Ulama tersebut, "Apakah Anda ingin menitip pesan atau surat untuk kaum kerabat anda ? Ulama itu menjawab, "Ya, sampaikanlah kepada mereka, 'Jika kalian ingin mengambil harta (kemuliaan) maka ambillah harta yang tidak akan tenggelam (hilang) meskipun kapal tenggelam, oleh karena itu jadikanlah ilmu sebagai (barang) perniagaan (kalian)."

2. Kebahagiaan (keindahan) pada tubuh dan fisik manusia, seperti kesehatan, fisik dan anggota badan ideal, cakep, kulit yang bersih dan fisik yang kuat. Keindahan ini, meskipun lebih dekat (pada diri manusia) dibandingkan dengan yang pertama, namun pada hakikatnya keindahan ini di luar diri dan zat manusia, karena manusia itu dianggap sebagai manusia dengan ruh dan hatinya, bukan (cuma sekedar) dengan tubuh dan raganya, sebagaimana ucapan seorang penyair :

Wahai pemerhati fisik, betapa besar kepayahanmu dengan mengurus tubuhmu
Padahal kamu (disebut) manusia dengan sebab ruhmu bukan dengan sebab tubuhmu

Inilah[1] keindahan semu dan palsu milik kaum munafik yang tidak dibarengi dengan keindahan jiwa dan hati, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka dalam firman-Nya :

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ

Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka Berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar [al-Munâfiqûn/63:4].

Artinya, mereka memiliki penampilan fisik yang indah, tapi hati dan jiwa mereka penuh dengan keburukan, ketakutan dan kelemahan, tidak seperti penampilan lahir mereka.[2]

3. Kebahagiaan (keindahan) yang sejati, keindahan dalam hati dan jiwa manusia yaitu keindahan dengan ilmu yang bermanfaat yang berbuah amal shaleh.

Kebahagiaan inilah yang tetap dan kekal (pada diri manusia) dalam semua keadaan, selalu menyertainya dalam perjalanan (hidupnya), bahkan pada semua alam yang akan dilaluinya, yaitu: alam dunia, alam kubur dan alam akhirat. Dengan inilah seorang hamba akan meniti tangga kemuliaan dan derajat kesempurnaan."[3]

BERBAHAGIALAH DENGAN SAAT TERINDAH DALAM HIDUPMU !
Berdasarkan uraian di atas, kita tahu bahwa keindahan dan kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan amalan shaleh yang dicintai Allâh Azza wa Jalla dan mengutamakannya di atas segala sesuatu yang ada di dunia.

Inilah kebahagiaan sejati yang direkomendasikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, "Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." [Yûnus/10:58]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar berbangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan mulia dari semua kesenangan dunia yang dikejar-kejar oleh mayoritas manusia.

”Karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al Qur'ân”. Keduanya adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). [4]

Syaikh 'Abdurrahman as-Sa'di t mengatakan, "Kenikmatan agama (iman) yang bergandengan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat tidak bisa dibandingkan dengan semua kenikmatan duniawi yang hanya sementara dan akan sirna."[5]

Inilah kebahagiaan hakiki yang digambarkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ucapan beliau, "Semua perintah Allâh, hak-Nya (ibadah) yang diwajibkan kepada para hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul 'uyûn (penyejuk pandangan), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati. Dengannya hati akan terobati, bahagia, senang dan merasakan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang dikumpulkan (oleh manusia)" [Yûnus/10:57-58] "[6]
Berdasarkan ini, berarti saat yang paling indah dalam hidup seseorang adalah ketika Allâh Azza wa Jalla melimpahkan taufik-Nya kepada orang itu untuk mengikuti jalan Islam dan memberi petunjuk kepadanya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya guna mencapai keridhaan-Nya.

Inilah yang disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mulia, Ka'ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu , ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat al-Qur'ân[7] tentang taubat Ka'ab Radhiyallahu anhu dan dua orang shahabat lainnya Radhiyallahu anhum yang diterima Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya dengan wajah berseri-seri, "Berbahagialah dengan hari terindah yang pernah kamu lalui sejak kamu dilahirkan ibumu."[8]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menobatkan hari diterimanya taubat seorang hamba oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai saat terindah dalam hidupnya. Karena taubat itu menyempurnakan keislaman seorang hamba. Ketika dia masuk Islam itulah awal kebahagiaannya dan ketika Allâh Azza wa Jalla menerima taubatnya itulah penyempurna dan puncak kebahagiaannya, sehingga hari itu adalah saat terindah dalam hidupnya.[9]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam hadits ini terdapat argumentasi (yang menunjukkan) bahwa hari terindah dan paling utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah ketika dia bertaubat kepada Allâh dan Allâh menerima taubatnya.… Kalau ada yang bertanya, 'Bagaimana (mungkin) hari ini (dikatakan) lebih baik daripada hari dia masuk Islam ?' Jawabannya, "Hari ini adalah penyempurna dan pelengkap hari dia masuk Islam. Hari dia masuk Islam adalah awal kebahagiaanya, dan hari taubatnya adalah penyempurna dan pelengkap kebahagiaanya, wallahu musta'ân[10] .

Senada dengan hadits di atas, ucapan shahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang menggambarkan kegembiraan para shahabat g ketika mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata, "Kami tidak pernah merasakan kegembiraan setelah (kegembiraan dengan) Islam melebihi kegembiraan kami tatkala mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Engkau (akan dikumpulkan di surga) bersama orang yang kamu cintai." Maka aku mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar Radhiyallahu anhu , Umar Radhiyallahu anhu , dan aku berharap akan bersama mereka dengan sebab cintaku kepada mereka meskipun aku belum mampu melakukan seperti amalan mereka." [11]

Hadits ini menunjukkan bahwa saat terindah bagi orang-orang yang sempurna imannya, seperti para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika mereka mendapat hidayah untuk menempuh jalan Islam dan ketika mereka memahami serta bisa mengamalkan petunjuk Allâh Azza wa Jalla demi mencapai ridha-Nya.

SAAT YANG PALING INDAH DI AKHIRAT KELAK ADALAH KETIKA BERTEMU ALLAH AZZA WA JALLA
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan Allâh dengan apapun dalam beribadah kepada-Nya [al-Kahfi/18:110].
Inilah saat terindah yang dinanti-nanti oleh insan yang beriman dan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu saat ketika bertemu dengan-Nya untuk mendapatkan balasan kebaikan dan kemuliaan dari-Nya.[12]

Dalam sebuah do'a, Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, "Ya Allâh, jadikanlah sebaik-baik amalan kami sebelum ajal (menjemput) kami, dan jadikanlah sebaik-baik hari (bagi) kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu."[13]

Mereka inilah orang-orang yang mencintai perjumpaan dengan Allâh Azza wa Jalla maka Allâh pun demikian. Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allâh maka Allâh mencintai perjumpaan dengannya."[14]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kegembiraan orang yang bertakwa ketika bertemu Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (yaitu) kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya"[15]

Kemudian, saat terindah bagi orang-orang yang beriman ketika berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla adalah saat mereka memandang wajah-Nya yang maha mulia. Ini kenikmatan tertinggi yang Allâh Azza wa Jalla janjikan bagi mereka yang melebihi kenikmatan lainnya di surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (yaitu melihat wajah Allâh). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya” [Yûnus/10:26]
.
Kata “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, yaitu kenikmatan memandang wajah Allâh Azza wa Jalla . Dan beliau n adalah orang yang paling paham makna firman Allâh Azza wa Jalla.[16]

Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allâh Azza wa Jalla Berfirman, “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga) ? Maka mereka menjawab, 'Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami ? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (adzab) neraka ?' Lalu Allâh membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa Jalla ” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas [17] .

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”(Kenikmatan) teragung dan tertinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allâh yang maha mulia. Karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allâh berikan kepada para penghuni surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allâh.”[18]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan kenikmatan tertinggi ini dengan sifat kekasih Allâh Azza wa Jalla yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu selalu merindukan perjumpaan dengan-Nya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam do'a beliau, “(Ya Allâh) aku meminta kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia), tanpa adanya bahaya yang mencelakakan dan fitnah yang menyesatkan”[19]

Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighâtsatul Lahafân [20] menjelaskan keterkaitan dua hal ini. Yaitu kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allâh Azza wa Jalla ) adalah balasan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada orang yang selalu mengharapkan dan merindukan pertemuan dengan Allâh Azza wa Jalla . Mereka adalah kekasih-Nya yang telah merasakan kesempurnaan dan manisnya iman, wujudnya berupa perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya.

Dengan kata lain, orang yang akan menjumpai saat terindah di akhirat ini (yaitu saat melihat wajah Allâh Azza wa Jalla ) adalah orang yang ketika di dunia, dia merasa bahwa saat terindah dalam hidupnya adalah ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Dzat yang dicintainya, Allâh Azza wa Jalla .

NASEHAT DAN PENUTUP
Demikianlah gambaran saat-saat terindah bagi kekasih Allâh Azza wa Jalla di dunia dan akhirat. Bandingkanlah dengan saat-saat terindah versi manusia sekarang ini ! Lalu tanyakan kepada diri kita sendiri, "Apakah yang kita anggap sebagai saat terindah dalam hidup kita ?"

Berbahagialah hamba Allâh yang menjadikan saat terindah dalam hidupnya ketika dia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Berbahagialah dengan kabar gembira dari Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami adalah Allâh” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (beristiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan memberi kabar gembira), “Janganlah kamu merasa takut dan bersedih hati; dan bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allâh kepadamu. Kamilah penolong-penolongmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta”. Sebagai hidangan (balasan yang kekal bagimu) dari (Allâh) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Fusshilat/41:30-32].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali (kekasih) Allâh itu, tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allâh. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar [Yunus/10: 62-64].

Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk mendapatkan kebaikan dari-Nya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MENURUT SUFI, SEBAGIAN ORANG TIDAK PERLU BERIBADAH LAGI (?!)

Oleh
Ustadz Abu Minhal



Ketika seseorang (atau suatu golongan) tidak berpijak pada nash syar’i dengan pemahaman yang lurus, tidak mengherankan bila kemudian akan muncul pemahaman, keyakinan, perilaku, bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan syariat, bahkan juga benar-benar bertentangan dengan syariat. Naûdzubillâh minal khudzlân

Sebut saja golongan Sufi yang cukup mendominasi di tengah masyarakat. Golongan satu ini sebenarnya sarat dengan –kalau boleh dikatakan- keanehan-keanehan yang jelas bertabrakan dengan syariat yang dibawa Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Salah satu pandangan (keyakinan) mereka, ada sebagian orang yang tidak perlu lagi menjalankan syariat Allâh Azza wa Jalla atas dirinya di kehidupan dunia ini. Kedekatan kepada Allâh lah yang membuat hukum taklîf gugur dari pundak mereka. Kewajiban shalat lima waktu, zakat dan kewajiban-kewajiban lain yang terkandung dalam seluruh perintah Allâh Azza wa Jalla gugur atasnya demi kedudukannya yang tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Bahkan tidak ini saja, mereka juga memandang sosok-sosok ‘istimewa’ ini boleh melakukan tindakan haram, seperti zina, minum khomr dan perbuatan lain yang secara dzat memang haram dalam syariat Islam.

Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan tentang keanehan keyakinan Sufi tersebut. Beliau t mengatakan, “Satu sekte Sufi mengklaim bahwa wali-wali Allâh Azza wa Jalla itu lebih utama ketimbang seluruh nabi dan rasul(?!). Mereka mengatakan, “Siapa saja telah mencapai derajat tertinggi dalam kewalian, niscaya seluruh (tanggungan) syariat gugur pada dirinya seperti shalat (lima waktu), puasa (Ramadhân), (membayar) zakat dan lainnya. Perkara-perkara haram semisal zina, minum khamer dan lainnya menjadi halal bagi dirinya. Akibatnya, mereka ini pun menghalalkan menggauli istri-istri orang.” [1]

Inilah aqidah yang sering kali dipakai oleh sebagian masyarakat untuk membela sosok yang mereka tokohkan bila melakukan hal-hal yang tampak jelas melanggar syariat. Mereka mengatakan, “Dia khan wali Allâh , sudah mencapai ma’rifat”. Atau mengelu-elukan seseorang dengan ekstra dengan satu alasan, lantaran telah mencapai derajat ma’rifah meski secara lahiriah tidak tampak dirinya berkomitmen dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

HUKUM KEYAKIAN INI
Sungguh aneh, seseorang bisa bebas dari tanggungan ibadah dan bebas melanggar syariat Ilahi dengan dalih telah mencapai derajat tinggi di sisi Rabbnya. Berdasarkan logika sehat saja, pandangan di atas sudah dapat disimpulkan hukumnya dalam Islam. Keyakinan di atas secara tidak langsung mendustakan sejarah yang menyebutkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat , insan-insan yang jelas jauh lebih baik dari mereka, tetap beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla sampa akhir hayat. Bagaimana mungkin seorang hamba Allâh Azza wa Jalla di dunia ini akan mencapai sebuah fase dimana ia bebas lepas dari aturan syariat?! Karenanya, tidak heran bila keyakinan ini di vonis kufur, dhalâl (sesat) dan jahl (kebodohan nyata). [2]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilainya dengan vonis kufur dan ilhâd (menyimpang) dari agama Islam. Setelah menukil perkataan salah seorang mereka yang mengatakan, “Kedekatan haqiqi memindahkan seorang hamba dari kondisi zhahir kepada alam batin serta mengistirahatkan tubuh dan anggota badan dari kelelahan akibat beramal (ibadah),” selanjutnya beliau t mengatakan, “Kekufuran dan penyimpangan mereka ini sangat besar. Sebab, telah menyingkirkan ‘ubûdiyah (dari manusia) dan berkeyakinan bahwa mereka itu tidak perlu lagi melakukan ibadah karena merasa telah puas dengan khayalan-khayalan batil yang berasal dari angan-angan dan tipu daya setan.” [3]

IBADAH KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA, KEWAJIBAN SAMPAI AJAL TIBA
Manusia sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla , berkewajiban mengabdikan diri kepada al-Khâliq dengan berbagai macam cara yang sudah ditentukan oleh-Nya. Dunia sebagai ladang akhirat juga menguatkan akan hal ini, bahwa penghambaan manusia kepada Allâh Azza wa Jalla Rabbul Alamin tidak boleh berhenti kecuali ketika nafasnya telah dihentikan. Tentang kewajiban beribadah selama hayat masih di kandung badan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]

Inilah ayat yang disalahpahami oleh mereka. Mereka mengartikan al-yaqîn dengan ma’rifah. Ini jelas tidak bersandar pada apapun yang dibenarkan dalam menafsirkan ayat. Berdasarkan ayat ini, menjalankan ibadah seperti shalat dan lainnya tetap wajib hukumnya atas setiap insan selama akal sehat (tetap ada). Khusus tentang kewajiban melaksanakan shalat, maka shalat itu dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang disanggupi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Imrân bin Hushain z , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Kerjakanlah shalat dengan berdiri, bila tidak mampu, (kerjakan) dengan duduk. Bila tidak mampu (kerjakan) dengan berbaring [HR. al-Bukhâri no. 1117][4]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjadi dalil kesalahan kaum mulhid (pelaku kekufuran) yang berpendapat bahwa pengertian al-yaqîn (dalam al-Hijr 15/99) adalah ma’rifah. (Sehingga menurut versi mereka) siapa saja yang telah mencapai derajat ma’rifah, maka tanggungan (taklîf)nya gugur. Ini adalah bentuk kekufuran, kesesatan dan kebodohan. Para nabi ‘alaihimus salâm dan para sahabat mereka merupakan orang-orang yang paling mengenal Allâh Azza wa Jalla , paling tahu hak-hak dan sifat-sifat-Nya dan segala bentuk pengagungan yang menjadi hak Allâh Azza wa Jalla , meski demikian mereka adalah insan-insan yang paling tinggi penghambaan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla dan paling banyak beribadah dan berbuat kebaikan sampai ajal datang. Yang dimaksud dengan al-yaqîn di sini adalah kematian, seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya”.[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,, “Sesungguhnya, semakin dekat seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla , maka jihâdnya (kesungguhannya dalam beribadah) akan lebih besar” Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allâh dengan jihad yang sebenar-benarnya. [al-Hajj/22:78]

Kemudian beliau t menjadikan potret kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat sebagai bukti nyata. Beliau t berkata, “Cermatilah kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat. Ketika mereka kian menapaki derajat kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla (yang tinggi), maka kesungguhan mereka dalam beribadah semakin tinggi”.

PENUTUP
Menafsirkan ayat bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan perangkat banyak yang harus dikuasai seseorang untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla , termasuk di dalamnya mengenal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya telah memberitahukan bahwa al-yaqîn bermakna kematian, bukan ma’rifah. Wallâhu a’lam

Daftar Pustaka:
1. Bayâni Mauqifil Ibnil Qayyim min Ba`zhil Firaq, DR. ‘Awwâd bin ‘Abdullâh al-Mu’tiq hlm. 141-143
2. Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm, Imam Ibnu Katsîr, Dar Thaiba 4/553-554

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MENJADI HAMBA ALLÂH 24 JAM

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


Sungguh, Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu untuk beribadah kepada Allâh semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Dalam ayat ini, Allâh n menuntut dua perkara dari kita. Pertama, beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang sesuai syariat-Nya. Kedua, tidak menyerahkan ibadah itu kepada selain-Nya.

Artinya, seorang mukmin harus menjadi hamba Allâh Azza wa Jalla selama hayatnya. Statusnya sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla ini tidak boleh lepas darinya walaupun sesaat. Itulah tujuan kita diciptakan. Itulah status dan gelar tertinggi yang diraih seorang insan, yaitu menjadi hamba Allâh Azza wa Jalla yang sejati. Allâh Azza wa Jalla telah menyematkan gelar ini kepada hamba-Nya yang paling mulia, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

Maha suci Allâh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [al-Isrâ’/17:1]

Umur yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita ini adalah sebuah karunia dan anugerah yang tiada ternilai. Satu hari Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberi kita 24 jam. Itulah waktu yang harus kita pergunakan sebaik-baiknya agar menjadi hamba Allâh yang sejati.

Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebuah wasiat yang sangat agung bagi kita, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ, وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ, وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ, وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ, وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Pergunakanlah yang lima sebelum datang yang lima (yaitu) masa mudamu sebelum datang masa tua; masa sehatmu sebelum datang masa sakit; masa kayamu sebelum datang masa miskin; masa luangmu sebelum datang masa sibuk; masa hidupmu sebelum datang kematian.[1]

Sesungguhnya hidup adalah kumpulan hari-hari. Alangkah ruginya kita, bila terus dibuai angan-angan sehingga lupa memperbaiki diri. Mestinya, kita berpindah dari satu bentuk ibadah kepada bentuk ibadah lainnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap [al-Insyirah/94:7-8]

Ketika menjelaskan ayat ini, syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu tugas maka bersiap-siaplah mengerjakan tugas yang lainnya, janganlah menyia-nyiakan kesempatan. Oleh karena itu, kehidupan orang yang berakal adalah kehidupan yang penuh semangat. Setiap kali selesai mengerjakan satu tugas, ia bersiap mengerjakan tugas yang lain. Karena waktu akan terus berlalu, baik kita dalam keadaan terjaga maupun tidur, sibuk maupun lowong. Waktu terus berjalan, tidak ada seorangpun yang mampu menahannya. Sekiranya semua manusia bersatu padu untuk menahan matahari supaya waktu siang bertambah panjang niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya. Tidak ada seorangpun yang dapat menahan waktu. Karena itu, jadikanlah hidupmu hidup yang penuh semangat. Jika engkau selesai mengerjakan sebuah pekerjaan, lanjutkanlah dengan pekerjaan yang lainnya. Jika engkau selesai mengerjakan urusan dunia, hendaklah engkau melanjutkannya dengan mengerjakan urusan akhirat. Sebaliknya, jika engkau selesai mengerjakan urusan akhirat lanjutkanlah dengan urusan dunia. Apabila engkau telah selesai mengerjakan shalat Jum'at, bertebarlah di muka bumi dan carilah karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Shalat Jum'at diapit oleh dua urusan dunia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴿٩﴾فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, (padahal engkau dalam keadaan sibuk mengurus urusan dunia) maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh dan ingatlah kepada Allâh sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. [Al-Jumu'ah/62:9-10]

Jika ada yang mengatakan, 'Jika aku terus-menerus serius dan sungguh-sungguh setiap waktu, aku pasti letih dan bosan." Jawabannya adalah istirahatmu untuk menyegarkan dirimu dan mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Maksudnya pekerjaan dan amalan itu tidak harus bergerak. Waktu istirahatmu untuk mengembalikan gairah kerja termasuk pekerjaan dan amalan. Yang paling penting adalah jadikanlah seluruh hidupmu dalam kesungguh-sungguhan dan amal. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap [al-Insyirah/94:8]

Maksudnya, apabila engkau selesai mengerjakan tugas-tugas lalu diikuti dengan pekerjaan yang lainnya maka berharaplah kepada Allâh agar engkau mendapatkan pahala. Tetaplah memohon pertolongan kepada Allâh, sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal mintalah pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan setelah beramal, berharaplah pahala dari Allâh Azza wa Jalla.[2]

Tabib penyakit hati, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Memanfaatkan waktu lebih berat daripada memperbaiki masa lalu dan masa depan. Memanfaatkan waktu berarti melakukan amal-amal paling utama, paling berguna bagi diri dan paling banyak membawa kebahagiaan. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa tingkatan. Demi Allâh, itulah kesempatanmu mengumpulkan bekal untuk menyongsong akhirat, ke surga ataukah ke neraka...."[3]

Waktu terus berjalan, usia kita terus bertambah. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita mengisi waktu itu sebaik-baiknya. Hari demi hari yang berlalu dan yang akan kita jalani ini, apakah sudah kita manfaatkan sebaik-baiknya seperti yang diwasiatkan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Sungguh merugi, orang yang tidak mengisi harinya untuk menjadi hamba Allâh yang sejati. Manusia seperti ini laksana mayat hidup yang berjalan, mati sebelum waktunya. Hidupnya tidak bermakna sama sekali !

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Merupakan hak Allâh atas hamba-Nya di setiap waktu yang berlalu dalam hidupnya untuk menunaikan kewajiban ubudiyah yang ia persembahkan kepada Allâh dan untuk mendekatkan dirinya kepada-Nya. Jika seorang hamba mengisi waktunya dengan ibadah yang wajib ia lakukan, maka ia akan maju menuju Allâh. Sebaliknya, jika ia isi dengan mengikuti hawa nafsu, bersantai ria atau menganggur, ia akan mundur. Seorang hamba kalau tidak melangkah maju, ia pasti bergerak mundur. Tidak ada yang berhenti di tengah jalan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ

(yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur [ al-Mudattsir/74:37][4]

Beliau rahimahullah melanjutkan, "Jika tidak maju, ia pasti mundur. Seorang hamba senantiasa berjalan, tidak berhenti. Kalau tidak ke atas, pasti ke bawah; Kalau tidak maju, pasti mundur.....Itulah detik-detik kehidupan yang berlalu dengan cepat menuju surga atau neraka! Ada yang melaju cepat dan ada pula yang bergerak lamban. Ada yang terus maju dan ada pula yang mundur. Tidak ada seorangpun yang berhenti di tengah jalan! Hanya saja dalam perjalanan ini ada yang berbeda arah tujuan dan ada pula yang berbeda akselerasi kecepatannya!"[5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

Setiap hari semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya! Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakanya ![6]

Dalam hadits lain disebutkan :

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ

Wahai Ka'ab bin 'Ujrah, semua orang tengah melanjutkan perjalanan hidupnya ..... "[7]

Setiap insan melanjutkan perjalanannya, ada yang menjual dirinya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allâh telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah untuk mereka [at-Taubah/9:111]

Dan ada pula yang menjualnya kepada setan yang senantiasa mengintai.[8]
Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan, "Barangsiapa tidak mengisi waktunya untuk Allâh dan dengan petunjuk Allâh maka baginya mati lebih baik daripada hidup ! Apabila seorang hamba sedang mengerjakan shalat, maka ia hanya memperoleh bagian shalat yang ia lakukan dengan khusyuk. Ia tidak memperoleh bagian apapun dari hidupnya kecuali yang dijalaninya dengan petunjuk Allâh dan ditujukannya semata-mata untuk Allâh."[9]

Lalu, mampukah kita mengisi 24 jam yang Allâh berikan ini untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla ? Jawabnya, kita mampu mengisinya dengan ibadah. Hal itu bila kita memaknai ibadah dengan maknanya yang luas. Yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah membuka pintu-pintu kebaikan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita amal-amal kebaikan yang bisa mendekatkan diri kita kepada-Nya. Bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى الجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَ لَيْسَ شَيْءٌ يُقَرِّبُكُمْ إِلَى النَّارِ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

Tidak satupun amal yang bisa mendekatkan kalian ke surga melainkan telah aku memerintahkannya kepada kalian. Dan tidak satupun amal yang bisa mendekatkan kalian ke neraka melainkan aku telah melarang kalian darinya."[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sunnah-sunnah yang dapat dikerjakan oleh seorang muslim sehari semalam. Simaklah penuturan Imam adz-Dzahabi rahimahullah berikut ini :
“Seandainya seseorang menamatkan al-Qur’ân dengan tartil dalam waktu satu pekan, dan ia secara rutin mengamalkannya tentu akan menjadi amalan yang utama. Sesungguhnya agama ini mudah. Demi Allâh, membaca sepertujuh al-Qur’ân dengan bacaan yang tartil dalam shalat tahajjud disertai dengan menjaga shalat-shalat nawafil lainnya, seperti shalat Dhuha dan Tahiyyatul masjid, disertai dengan dzikir-dzikir yang ma’tsûr dan shahih, doa sebelum tidur dan ketika bangun darinya, doa dan dzikir sesudah shalat-shalat fardhu, pada waktu sahur, disertai dengan menuntut ilmu yang bermanfaat dan menyibukkan diri dengannya secara ikhlas, disertai pula dengan amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan kepada orang jahil, memberi teguran kepada orang fasik dan semacamnya. Disertai pula dengan melaksanakan shalat-shalat fardhu berjama’ah dengan khusyu’ dan thuma’ninah, dengan ketundukan dan keimanan, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan dosa-dosa besar, memperbanyak doa dan istighfâr, memperbanyak sedekah, menyambung tali silaturrahim, bersikap tawadhu’ dan ikhlas dalam melaksanakan itu semua, sungguh merupakan suatu kesibukan yang sangat agung, dan merupakan maqam (kedudukan) golongan kanan dan wali-wali Allâh serta orang-orang yang bertakwa. Sungguh, semua itu adalah perkara yang dituntut.”[11]

Seandainya kita menerapkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan oleh imam adz-Dzahabi t di atas niscaya separuh hari kita terpakai untuk mengamalkannya, seperti kata beliau, itu merupakan sebuah kesibukan yang agung yang menghabiskan sebagian besar waktu kita. Dan hanya tersisa sedikit kesempatan saja untuk menganggur tanpa amal kebaikan.

Hanya saja, manusia sering ditimpa dua penyakit yang menghalanginya dari semua itu. Yaitu penyakit malas dan taswif (menunda-nunda amal). Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berlindung dari sifat malas ini. Salah satu doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Ya Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka dan siksa kubur.[12]

AMALAN SEHARI SEMALAM
Beberapa bentuk amal yang dapat kita lakukan sehari semalam diantaranya :

1. Shalat fardhu lima kali sehari semalam. Ini merupakan rukun Islam yang kedua dan wajib dilakukan oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Kewajiban ini tidak gugur bagaimanapun keadaannya, kecuali wanita yang sedang haidh dan nifas.

Shalat wajib dikerjakan dengan berdiri, jika tidak bisa dengan berdiri, maka dilakukan sambil duduk, kalau tidak bisa duduk dikerjakan sambil berbaring, kalau tidak bisa juga maka dengan isyarat.

2. Shalat-shalat sunnat rawatib yang mengiringi shalat fardhu.
Abdullah bin Syaqîq Radhiyallahu anhu bercerita, "Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sunnat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab, 'Beliau shalat empat rakaat di rumahnya sebelum shalat Zhuhur, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengerjakan shalat berjama’ah, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah dan shalat empat rakaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Maghrib berjama’ah kemudian beliau pulang dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau shalat Isya berjama’ah lalu pulang ke rumahku dan shalat dua rakaat. Beliau mengerjakan shalat malam sembilan raka'at termasuk shalat witir. Beliau mengerjakan shalat malam panjang sekali dengan berdiri dan kadang-kadang beliau kerjakan sambil duduk. Apabila beliau membaca surat dengan berdiri maka beliau ruku' dan sujud juga berdiri. Namun bila beliau membaca surat sambil duduk maka beliau rukuk dan sujud juga sambil duduk. Apabila fajar sudah menyingsing maka beliau shalat dua raka'at (shalat sunnat fajar).”[13]

3. Shalat Duha, termasuk di dalamnya shalat Awwabiin yaitu shalat yang dilakukan di akhir waktu dhuha dan shalat Isyrâq yang dilakukan di awal waktu dhuha, yakni begitu matahari muncul.

Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus bersedekah. Setiap tasbih
bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat digantikan dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha.[14]

4. Shalat malam. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, seperti hadits Abu Mâlik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا أَعَدَّهَا اللَّهُ لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَلَانَ الْكَلَامَ وَتَابَعَ الصِّيَامَ وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di dalam surga tersedia kamar-kamar yang bagian dalamnya terlihat dari luar dan bagian luarnya terlihat dari dalam. Kamar-kamar itu Allâh sediakan untuk orang-orang yang suka memberi makan, melembutkan tutur bicara, memperbanyak puasa, menebarkan salam dan mengerjakan shalat malam di kala manusia tertidur pulas[15]

Shalat malam ini dikerjakan dua rakaat-dua rakaat, hingga terbit fajar.

5. Shalat sunnat sesudah bersuci.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, kemudian shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam hati (yakni dikerjakan dengan khusyu’) selama mengerjakannya niscaya Allâh akan mengampuni dosanya.[16]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilâl Radhiyallahu anhu setelah shalat fajar, “Wahai Bilâl, ceritakanlah kepadaku amalanmu dalam Islam yang paling engkau harapkan. Karena sesungguhnya aku mendengar suara terompahmu di hadapanku dalam surga." Bilal berkata, ”Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan melainkan setiap kali aku bersuci pada malam atau siang hari aku selalu mengerjakan shalat yang bisa aku lakukan.”[17]

6. Shalat sunnat dua rakaat sesudah Ashar selama cahaya matahari belum menguning.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan: Dua rakaat sebelum shalat Subuh dan dua rakaat sesudah shalat Ashar.”[18]

7. Shalat taubah.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, "Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّي ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهُ، إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ

Tidaklah seorang hamba melakukan perbuatan dosa kemudian dia berdiri, lalu berwudhu’ dan mengerjakan shalat, kemudian memohon ampun kepada Allâh kecuali Allâh akan mengampuninya.”[19]

8. Shalat witir sebelum pergi tidur.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kekasihku telah mewasiatkan kepadaku tiga perkara, aku tidak akan meninggalkannya sampai aku mati: Puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan mengerjakan shalat Witir sebelum pergi tidur.”[20]

9. Menjaga wudhu’.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يُحَافِظُ عَلَى الوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

Tidak ada orang yang menjaga wudhu’ kecuali dia orang mukmin[21]

10. Dzikir-dzikir sesudah shalat fardhu.
11. Dzikir-dzikir mutlak,
Maksudnya adalah dzikir-dzikir yang boleh dibaca tanpa terikat tempat maupun waktu tertentu. Misalnya yang disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهَا

Perbanyaklah membaca syahadat lâ ILÂHA ILLALLÂH sebelum sebelum kalian terhalang darinya[22].

Dan hadits :

لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

Aku mengucapkan SUBHÂNALLÂH WAL HAMDULILLÂH WA LÂ ILÂHA ILLALLÂH WALLÂHU AKBAR, lebih aku sukai daripada terbitnya matahari[23]

Dan masih banyak lagi amal-amal lain yang dapat kita kerjakan sehari semalam.

Merutinkan amalan-amalan ini pasti akan mendatangkan keutamaan. Diantaranya, apabila kita jatuh sakit atau terhalang dari perbuatan tersebut karena bersafar misalnya, maka akan tetap ditulis pahala amal yang rutin kita kerjakan itu. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits.

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Apabila seorang hamba jatuh sakit atau tengah bersafar, niscaya Allâh Azza wa Jalla tetap menuliskan pahala baginya sebagaimana yang biasa dilakukannya pada waktu sehat dan mukim (tidak bersafar)[24]

Disamping itu, apabila kita berniat sungguh-sungguh untuk mengamalkannya akan tetapi terhalang dengan sesuatu yang tidak bisa kita hindari, maka niat ini akan tetap menghasilkan pahala. Misalnya, seseorang yang berniat sungguh-sungguh akan bangun malam untuk mengerjakan shalat tahajjud, lalu ia terkalahkan oleh tidurnya, maka ia tetap terhitung pahala baginya. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلَاةٌ بِلَيْلٍ فَغَلَبَهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَجْرَ صَلَاتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ

Tidaklah seseorang yang meniatkan shalat malam lalu terkalahkan oleh tidurnya (tertidur) melainkan Allâh akan menuliskan baginya pahala shalat malam dan tidurnya itu menjadi sedekah atasnya[25].

Abu Darda’ Radhiyallahu anhu mengatakan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Barangsiapa mendatangi pembaringannya dengan meniatkan bangun malam untuk mengerjakan shalat malam akan tetapi ia dikalahkan oleh kedua matanya (tertidur) hingga shubuh maka dituliskan baginya apa yang telah ia niatkan dan tidurnya menjadi sedekah baginya dari Rabbnya Azza wa jalla [26]

Oleh karena itu, tidur dan istirahat seorang mukmin juga bisa bernilai ibadah dan berpahala, apabila beristirahat dengan niat agar lebih bergairah dalam ibadah.

Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bermudzakarah tentang amal-amal shalih.

Mu’adz Radhiyallahu anhu berkata, “Hai Abdullah, bagaimanakah cara engkau membaca al-Qur'an?”
Abu Musa Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku secara rutin membacanya setiap waktu.”[27]

Abu Musa bertanya, “Lalu bagaimana cara engkau membacanya hai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku membacanya di awal malam lalu aku bangun sesudah aku menuntaskan bagian waktuku untuk tidur. Aku membaca apa yang Allâh mudahkan bagiku. Aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharap pahala dari saat aku terjaga.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Mu’adz Radhiyallahu anhu bertanya kepada Abu Musa Radhiyallahu anhu, “Bagaimana cara engkau membaca al-Qur'ân?”

Abu Musa menjawab: “Aku membacanya di kala berdiri dan duduk, dan di atas kendaraanku, aku rutin membacanya setiap waktu.”

Mu’adz menimpali: “Adapun aku, aku bangun dan aku juga tidur. Aku mengharap pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharap pahala dari saat aku terjaga.”[28]

al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan, “Maknanya, ia memohon pahala pada saat-saat senggang seperti ia memohon pahala pada saat-saat lelah beramal. Karena waktu senggang apabila digunakan untuk membantu meningkatkan gairah beribadah juga akan menghasilkan pahala.”[29]

Demikian pula amal-amal duniawi lainnya seperti makan dan minum, bisa bernilai ibadah dan pahala apabila diniatkan untuk membantu meningkatkan gairah beribadah.

Intinya, kesempatan untuk menjadi hamba Allâh 24 jam sebenarnya terbuka lebar bagi setiap mukmin yang dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:
1- Panduan Amal Sehari Semalam.
2- Meraih Kebahagiaan Tanpa Batas.
3- Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Ibnu Utsaimin.
4- Tafsir al-Qur'anil Azhim, Ibnu Katsir.
5- Fathul Bâri, Syarhu Shahîhil Bukhâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



AL-HAYIYYU, YANG MAHA PEMALU

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A



DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah ini disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits yang shahîh:

1. Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

Sesungguhnya Rabb-mu (Allâh) Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa [1] .

2. Dari Ya'la bin Umayyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang mandi di tanah lapang terbuka tanpa kain penutup, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, memuji Allâh dan menyanjung-Nya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

Sesungguhnya Allâh 'Azza wa Jalla Maha Pemalu lagi Maha Menutupi, Dia mencintai (sifat) malu dan menutup (aib/aurat). Maka jika seseorang di antara kalian mandi, hendaklah dia menutup (auratnya)[2] .

Berdasarkan hadits-hadits di atas, para Ulama menetapkan nama al-Hayiyyu (Yang Maha Pemalu) sebagai salah satu dari nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah. Di antara mereka adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah [3] , Syaikh 'Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah [4] , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah[5], Syaikh 'Abdur Razzâq al-Badr hafizhahullâh [6] dan lain-lain.

MAKNA AL-HAYIYYU SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah lawan dari sifat al-waqâhah (tebal muka/tidak tahu malu)[7] .

al-Fairûz Abâdi rahimahullah menjelaskan di antara makna asal kata nama ini adalah al-hisymah (kesopanan yang tinggi)[8].

Ar-Râghib al-Ashfahâni rahimahullah menjelaskan bahwa arti nama Allâh ini adalah (Dzat) yang meninggalkan semua keburukan dan melakukan semua kebaikan[9] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-HAYIYYU
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam qashîdah (syair) an-Nûniyyah karya beliau yang terkenal:

Dialah al-Hayiyyu (Maha Pemalu) maka Dia tidak akan mempermalukan hamba-Nya
(di dunia) ketika hamba-Nya itu berbuat maksiat terang-terangan

Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs rahimahullah ketika menjelaskan makna bait syair ini dengan berkata: "(Sifat) malu Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat yang sesuai dengan (kebesaran dan keagungan)-Nya, tidak sama dengan (sifat) malu (pada) makhluk-Nya yang bermakna perubahan (sikap) dan (sifat) berkecil hati yang terjadi pada seseorang ketika dia mengkhawatirkan sesuatu aib atau celaan (pada dirinya). Adapun arti sifat malu (pada Allâh Subhanahu wa Ta’ala) adalah meninggalkan sifat (perbuatan) yang tidak selaras dengan kemahaluasan rahmat-Nya serta kemahasempurnaan kebaikan dan kemuliaan-Nya"[10] .

Lebih terperinci, Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa'di rahimahullah menjelaskan makna sifat yang mulia ini dalam ucapan beliau: "Sifat (malu Allâh Subhanahu wa Ta’ala) ini adalah dari rahmat-Nya, kemuliaan-Nya, dan kesempurnaan serta (sifat) penyantun-Nya. Seorang hamba yang berbuat maksiat (kepada-Nya) secara terang-terangan, padahal hamba tersebut sangat membutuhkan (rahmat)-Nya, bahkan dia tidak mungkin bisa berbuat maksiat kecuali dengan nikmat-nikmat (yang dilimpahkan) Allâh (kepadanya) sehingga dia mempunyai kekuatan untuk (melakukan) perbuatan maksiat tersebut, Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha sempurna kekayaan/ketidakbutuhan-Nya terhadap semua makhluk-Nya, karena kemuliaan/kemurahan-Nya, Dia merasa malu untuk membuka aib dan mempermalukan hamba tersebut, serta menimpakan siksaan kepadanya (di dunia). Bahkan Dia K menutupi (aib) hamba-Nya itu dengan berbagai sebab yang dimudahkan oleh Allâh Azza wa Jalla baginya agar aibnya tertutupi., serta memaafkan dan mengampuni (kesalahan) hamba tersebut.

Allâh Azza wa Jalla senantiasa berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya dengan (melimpahkan) berbagai nikmat (kepada mereka), sementara mereka (justru) berbuat buruk dengan bermaksiat kepada-Nya. Karunia-Nya (turun) kepada mereka (secara terus-menerus) seperti jumlah kerdipan mata manusia, sedangkan keburukan (yang) mereka (lakukan) selalu naik (kepada-Nya).

(Allâh) Yang Maha Kuasa dan Pemurah senantiasa naik kepada-Nya semua perbuatan maksiat dan keburukan dari hamba-hamba-Nya, (tapi bersamaan dengan itu) Dia Subhanahu wa Ta’ala malu untuk menyiksa seseorang yang telah beruban dalam Islam, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia k menolaknya dengan hampa, dan Dia k menyeru hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya serta menjanjikan pengabulan doa bagi mereka"[11] .

Nama yang agung ini menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat hayâ' (malu) yang sesuai dengan kemahabesaran dan kemahasempurnaan-Nya, tidak sama dengan sifat malu yang ada pada makhluk-Nya, sebagaimana keadaan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan Allâh Subhanahu wa Ta’ala lainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [asy-Syûra/42:11]

Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allâh. Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:74]

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-HAYIYYU
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mencintai terlihatnya pengaruh positif nama-nama dan sifat-sifat tersebut pada makhluk-Nya secara nyata, karena hal itu termasuk konsekuensi kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengamalkan kandungan dan konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan mereka untuk memiliki sifat malu, suka berbuat baik, penyayang, pemurah dan pemaaf, sehingga hamba yang paling dicintai-Nya adalah yang memiliki sifat-sifat yang diridhai-Nya, sedangkan hamba yang paling dibenci-Nya adalah yang memiliki sifat-sifat yang tidak diridhai-Nya. Dalam hal ini, dikecualikan beberapa sifat tertentu yang tidak pantas dimiliki oleh makhluk, seperti sifat merasa besar dan mengagungkan diri, karena sifat-sifat ini tidak sesuai dengan keadaan seorang hamba yang seharusnya selalu merendahkan dan menghambakan diri di hadapan-Nya, sehingga memiliki sifat-sifat tersebut di atas berarti menganiaya diri sendiri [12] .

Perlu disampaikan di sini bahwa sifat malu yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala cintai pada hamba-Nya adalah sifat terpuji dan mulia yang selalu membawa kepada kebaikan, dan bukanlah seperti yang dipahami sebagian orang awam, bahwa keengganan untuk berbuat baik dan meninggalkan keburukan adalah sifat malu.

Anggapan mereka ini jelas keliru dan bertentangan dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Sesungguhnya termasuk hal yang diketahui oleh manusia dari ucapan kenabian yang terdahulu: jika kamu tidak merasa malu maka berbuatlah (keburukan) sekehendakmu [13]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Para Ulama telah menjelaskan bahwa (sifat) malu yang sebenarnya adalah suatu perangai yang selalu memotivasi (seorang hamba) untuk meninggalkan (perbuatan) yang buruk dan mencegahnya dari (sifat) kurang dalam (menunaikan) hak orang-orang yang memiliki hak (terhadapnya)"[14] .

Kemudian, pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allâh yang maha agung ini dapat kita ambil dari penjelasan makna hadits di atas. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemalu dan Dia mencintai orang-orang yang memiliki sifat malu.

Oleh karena itu, hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang paling dicintai-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemalu. Hal ini berdasarkan ucapan Sahabat yang mulia, Abu Sa'îd al-Khudri Radhiyallahu anhu: "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu (melebihi) gadis perawan dalam kamar pingitannya, sehingga jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sesuatu yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sukai, maka kami (sudah bisa) mengetahui hal itu pada wajah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam"[15] .

Dalam banyak hadits yang shahih terdapat penjelasan tentang kautamaan sifat malu, anjuran untuk memilikinya dan pengaruh positifnya dalam memotivasi kebaikan bagi seorang hamba.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Iman itu (terdiri dari) lebih 70 cabang, yang paling tinggi adalah ucapan (persaksian): Lâ ilâha illallâhu (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan (sifat) malu adalah salah satu cabang dar iman"[16] .

Dari 'Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "(Sifat) malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) selain kebaikan", dalam riwayat lain: "(Sifat) malu itu semuanya adalah kebaikan"[17] .

Dan sifat malu yang paling agung dan paling wajib untuk dilakukan adalah malu terhadap Allâh Subhanahu wa Ta’ala [18] . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Malulah kalian terhadap Allâh dengan malu yang sebenarnya". Para Sahabat Radhiyallahu anhum berkata: Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh kami sudah merasa malu kepada-Nya, alhamdulillâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Bukan itu (maksudnya), akan tetapi merasa malu kepada Allâh dengan malu yang sebenarnya adalah dengan menjaga kepala dan (anggota badan) yang ada padanya (dari perbuatan maksiat), menjaga perut dan (anggota badan) yang berhubungan dengannya (dari perkara yang haram), dan (selalu) mengingat kematian dan kehancuran tubuh (dalam kubur), barangsiapa yang menginginkan (balasan kebaikan di) akhirat, maka dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan itu semua berarti dia telah merasa malu kepada Allâh dengan malu yang sebenarnya"[19] .

Di samping itu, ada beberapa perbuatan baik yang termasuk konsekuensi sifat malu terhadap Allâh Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi perbuatan-perbuatan tersebut tidak wajib hukumnya, seperti menutupi aurat meskipun di saat sendirian. Hal ini berdasarkan hadits dari Mu'âwiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: "Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika salah seorang dari kami sedang sendirian, (apakah dia boleh bertelanjang)?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Allâh lebih berhak untuk (seorang hamba) malu terhadap-Nya dibandingkan (kepada) manusia".

Para Ulama memahami perbuatan dalam hadits ini sebagai anjuran (keutamaan) dan bukan kewajiban, karena mereka beralasan bahwa sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang tersembunyi dari-Nya, baik ketika mereka telanjang ataupun ketika berpakaian [20] .

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan melimpahkan taufik dan kemudahan kepada kita untuk memiliki sifat malu yang dicintai-Nya serta semua sifat-sifat baik dan mulia lainnya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Wallâhu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


HINANYA HATI YANG KERAS

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai



أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allâh hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allâh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata [az-Zumar/39:22]

RINGKASAN TAFSIR[1]
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allâh hatinya untuk (menerima) agama Islam”, yaitu dengan dipermudah untuk mengenal-Nya, bertauhid kepada-Nya, taat akan perintah-Nya dan menjadi bertambah semangat untuk mengerjakan ajaran Islam. Dan ini adalah pertanda yang baik bagi seseorang.

“Lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya”, yaitu cahaya kebenaran yang membuat hatinya bertambah yakin. Apakah mereka itu sama dengan orang yang hatinya keras? Tentu saja tidak sama.

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allâh”, yaitu mereka yang hatinya tidak lunak ketika diingatkan akan Allâh, tidak khusyû’, tidak paham, tidak sadar dan selalu membangkang.

“Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” yang akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan.

HATI MEMILIKI SIFAT
Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Sifat-sifat tersebut pun bisa berubah-ubah setiap waktu. Begitu pula hati, dia pun memiliki sifat. Hati bisa menjadi sehat dan juga bisa menjadi sakit. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allâh penyakitnya .... [al-Baqarah/2:10]

Hati juga bisa menjadi lunak dan juga bisa menjadi sekeras batu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi [al-Baqarah/2:74]

Begitu pula hati bisa mengkilap, bersinar dan bisa juga menjadi hitam kelam sebagaimana diterangkan di beberapa hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Muslim memperhatikan kondisi hatinya setiap saat, jangan sampai menjadi hati yang keras atau mulai mengeras sehingga nantinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

BAHAYA HATI YANG KERAS
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa orang yang hatinya keras sangat tercela dan dalam kesesatan yang nyata. Mâlik bin Dînâr rahimahullah pernah berkata, "Seorang hamba tidaklah dihukum dengan suatu hukuman yang lebih besar daripada hatinya yang dijadikan keras. Tidaklah Allâh Azza wa Jalla marah terhadap suatu kaum kecuali Dia akan mencabut rasa kasih sayang-Nya dari mereka.[2]

TANDA-TANDA HATI YANG KERAS ATAU MULAI MENGERAS
Hati yang keras atau mulai mengeras memiliki tanda-tanda sebagai berikut:

1. Bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan suatu kemaksiatan.

2. Tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat al-Qur’ân yang dibacakan. Berbeda dengan kaum mu’minîn, hati mereka akan bergetar jika dibacakan ayat-ayat al-Qur’ân atau diingatkan akan Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal. [al-Anfâl/8:2]

3. Tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman yang artinya:

أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ

Dan tidakkah mereka (orang-orang munâfiq) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? [at-Taubah/9:126]

4. Tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allâh Azza wa Jalla

5. Bertambahnya kecintaan terhadap dunia dan mendahulukannya di atas akhirat

6. Tidak tenang hatinya dan selalu merasa gundah

7. Bertambahnya dan meningkatnya kemaksiatan yang dilakukannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka. Dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik [ash-Shaf/61:5]

8. Tidak mengenal atau tidak membedakan perbuatan ma’ruf dan munkar.

SEBAB-SEBAB KERASNYA HATI
Hati menjadi keras tentu ada penyebabnya. Penyebab-penyebab kerasnya hati di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Kesyirikan, Kekufuran Dan Kemunafikan.
Inilah sebab yang paling besar yang dapat menutupi hati seseorang dari menerima kebenaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا ۖ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ ۚ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, karena mereka telah mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim [Ali ‘Imrân/3:151]

2. Melanggar Perjanjian Yang Dibuat Kepada Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka kami laknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. [al-Mâ-idah/5:13]

Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh Abu Bakr Al-Jazâiri, “Melanggarnya (perjanjian) dengan (car) tidak konsisten dengan apa yang ada di dalamnya yang berupa perintah dan larangan.”[3]

3. Tertawa Berlebihan
Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُكْثِرُوا الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah kalian banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati [4]

4. Banyak Berbicara Dan Banyak Makan
Bisyr bin al-Hârits pernah berkata, "(Ada) dua hal yang dapat mengeraskan hati: banyak berbicara dan banyak makan.”[5]

5. Banyak Melakukan Dosa
Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ ، صُقِلَ قَلْبُهُ ، فَإِنْ زَادَ ، زَادَتْ ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ : [[ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ]]

Sesungguhnya seorang Mukmin jika melakukan dosa, maka akan ada bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan berhenti (dari dosa tersebut) serta memohon ampunan, maka hatinya akan mengkilap. Apabila dia terus melakukan dosa, maka bertambah pula noktah hitam itu. Itu adalah ar-rân (penutup) yang disebutkan oleh Allâh di kitab-Nya: ‘Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka [al-Muthaffifîn/83:14]

6. Lalai Dari Ketaatan
Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allâh) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu seperti binatang-binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai [al-A’râf/7:179]

7. Nyanyian Dan Alat Musik
‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:

الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ

Lagu-laguan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati [6]

8. Suara Wanita Yang Menggoda
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Maka janganlah kamu tunduk (menghaluskan suara) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik [al-Ahzâb/33:32]

9. Melakukan Hal-Hal Yang Merusak Hati
Hal-hal yang merusak hati sangatlah banyak. Akan tetapi, dari semua itu ada lima hal yang menjadi faktor perusak hati. Kelima hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah : “Adapun lima hal yang merusak hati adalah banyak bergaul (berkumpul dengan manusia), (banyak) berangan-angan, tergantung kepada selain Allâh Azza wa Jalla , kekenyangan (banyak makan) dan (banyak) tidur. Inilah kelima hal utama yang dapat merusak hati ”[7]

OBAT HATI YANG KERAS
Hati yang keras juga memiliki obat agar dia bisa kembali melunak. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat melunakkan hati:

1. Beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan selalu meningkatkan keimanan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allâh niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya [at-Taghâbun/64:11]

2. Banyak mengingat Allâh (ber-dzikr) dan membaca al-Qur’ân dengan men-tadabburi-nya (memahami dan merenungi maknanya).

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram [ar-Ra’d/13 : 28]

3. Belajar ilmu syar’i (ilmu agama)
Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu syar’i dapat membimbing seseorang untuk menjadi hamba Allâh Azza wa Jalla yang bertakwa. Di awal surat Ali ‘Imrân, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang dalam. Tahukah pembaca, doa apakah yang mereka ucapkan? Doa yang diucapkan oleh mereka adalah:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati-hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia) [Ali ‘Imrân/3:8]

Merekalah yang lebih tahu akan Rabb-nya bila dibandingkan orang-orang awam dan mereka juga lebih tahu bahwa hati manusia bisa berubah-ubah, sehingga mereka berdoa dengan doa tersebut.

4. Berlindung kepada Allâh dari hati yang tidak khusyû’ dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam , yang berbunyi:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

Ya Allâh! Aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang bermanfaat, dari hati yang tidak khusyû’, dari jiwa yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan[8]

5. Berbuat baik terhadap anak yatim dan orang miskin
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya seseorang mengadu kepada Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hatinya yang keras. Beliau Sallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim [9]

6. Banyak mengingat kematian
Diriwayatkan dari Shafiyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya seorang wanita mendatangi ‘Âisyah Radhiyallahu anhuma dan mengadukan keadaan hatinya yang keras. Kemudian ‘Âisyah pun berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Kemudian wanita itu pun mengerjakannya. Setelah itu, dia pun mendapatkan petunjuk di hatinya dan bersyukur kepada ‘Âisyah radhiallâhu 'anhâ.[10]

Sa’îd bin Jubair[11] dan Rabî’ bin Abi Râsyid[12] rahimahumallâh pernah berkata:

لَوْ فَارَقَ ذِكْرُ الْمَوْتِ قَلْبِي سَاعَةً خَشِيت أَنْ يَفْسُدَ قَلْبِي

Seandainya mengingat kematian terpisah dari hatiku sekejap saja, saya takut hatiku akan menjadi rusak

7. Banyak berziarah kubur
Abu Thâlib, seorang murid Imam Ahmad, pernah berkata, “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillâh (Imam Ahmad) tentang bagaimana melunakkan hatinya. Beliau pun menjawab, ‘Masuklah ke dalam pemakaman dan usaplah kepala anak yatim.’.”[13]

8. Menghadiri majlis ta’lim dan majlis nasihat
Menghadiri majlis-majlis seperti ini sangat berpengaruh terhadap hati manusia. Mari kita perhatikan apa yang dikatakan oleh al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu, “Pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat, kemudian menghadap ke kami dan memberikan nasihat yang sangat menyentuh, yang membuat mata-mata menangis dan hati-hati menjadi takut.”[14]

9. Menjauhi sebab-sebab terjadinya fitnah dan dosa
Agar hati kita tidak menjadi keras, maka kita berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi sebab-sebab terjadinya dosa atau fitnah. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla melarang para Sahabat bertanya atau meminta sesuatu hal kepada istri-istri Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dari belakang tabir.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka [al-Ahzâb/33:53]

10. Makan makanan yang halal
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Dengan apa hati bisa menjadi lunak?” Kemudian beliau pun menjawab, “Ya bunayya (wahai anakku)! Dengan makan makananan yang halal.”[15]

11. Shalat malam

12. Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh di waktu sahûr (sebelum Subuh)

13. Berteman dengan orang-orang yang soleh,
Ibrâhim al-Khawwâsh rahimahullah pernah berkata:

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاء : قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ, وَخَلَاءُ الْبَطْنِ, وَقِيَامُ اللَّيْلِ, وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحْرِ, وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ

Obat hati ada lima macam, yaitu: membaca al-Qur’ân dengan men-tadabburi-nya, mengosongkan perut, shalat malam, mendekatkan diri (kepada Allâh) di waktu sahûr dan duduk-duduk (berteman) dengan orang-orang yang soleh[16]

KESIMPULAN
1. Hati memiliki sifat-sifat yang bisa berubah-ubah.
2. Orang yang telah dibukakan hatinya untuk menerima agama Islam dan taat kepada Allâh tidak sama dengan orang yang berhati keras.
3. Orang yang berhati keras akan mendapatkan ancaman yang sangat besar
4. Orang yang berhati keras memiliki sifat-sifat tertentu seperti yang sudah dipaparkan di atas. Seyogyanya seorang Muslim selalu melakukan introspeksi diri.
5. Hati bisa menjadi keras disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita menjauhi sebab-sebab tersebut.
6. Hati yang keras pun dapat diobati dengan berbagai cara yang telah disebutkan.
7. Orang-orang yang telah terjerumus kepada kemaksiatan atau merasa bahwa hatinya sangat keras, maka harus segera bertaubat dan Allâh akan mengampuni orang-orang yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.

Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh selalu menjaga hati kita agar tetap lunak. Amin.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ وَطَاعَتِكَ. آمِيْن

DAFTAR PUSTAKA
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri.
2. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin 'Âsyûr. 1997. Tunusia: Dar Sahnûn.
3. Dzammu Qaswatil-Qalb. Al-Hâfizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dan muqaddimah muhaqqiq-nya, Abu Maryam Thâriq bin ‘Âtif Hijâzi. Dâr Ibni Rajab.
4. Dzammul-Hawâ. ‘Abdurrahmân bin Abil-Hasan al-Jauzi. Tahqîq : Mushthafâ ‘Abdul-Wâhid.
5. Jâmi'ul-Bayân fî ta'wîlil-Qur'ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. Beirut: Muassasah ar-Risâlah.
6. Ma'âlimut-tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
7. Madârijus-Sâlikîn. Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Beirut: Dâru Ihyâ’ At-Turâts Al-‘Arabi.
8. Syu’abul-Îmân. Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi. 2003 M/1423 H. Riyâdh: Maktabatur-Rusyd.
9. Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm. Ismâ'îl bin 'Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
10. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


DENGAN BIAT, AMAL DUNIA JADI LADANG AKHIRAT

Oleh
Ustadz DR. Arifin Badri MA


PENDAHULUAN
Segala puji hanya milik Allâh Subhanahu wa Ta’ala , shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kelurga dan sahabatnya.

Allâh Azza wa Jalla telah menggariskan bahwa kehidupan umat manusia bukan hanya sekali, namun dua kali. Kehidupan dunia yang fana sebagai awal dari kehidupan dan akan dilanjutkan dengan kehidupan akhirat yang kekal abadi. Sukses Anda di dunia belum tentu berkelanjutan hingga di akhirat. Namun sebaliknya, sukses di akhirat menjadikan Anda lupa akan kegagalan selama hidup di dunia, bagaimanapun beratnya. Apalagi bila Anda ternyata hidup di dunia sukses dan akhirat surga menjadi milik Anda.

ANTARA SIAL DUNIA DAN BERKAH AKHIRAT
Di dunia ini banyak ditemukan pasar, tempat orang mengais kesuksesan di dunia. Dan tentunya ada pula pasar-pasar akhirat, tempat menaburkan benih-benih pahala. Karenanya tidak layak bila kesibukan mewujudkan sukses di dunia, melalaikan Anda dari akhirat. Terlalai dari akhirat karena sibuk menumpuk dunia berarti sengsara selamanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ

Semoga kesengsaraan menimpa para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (harta kekayaan), bila diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan terus menerus menderita. Dan bila ia tertusuk duri, semoga tiada yang sudi mencabut duri itu darinya. [HR. Bukhâri]

Sebaliknya, lalai dari dunia karena sibuk membangun akhirat berarti sukses di dunia akhirat.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ

... Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupinya. Sesungguhnya Allâh (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya Allâh telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." [at Thalâq/65:2-3]

Selanjutnya terserah kepada Anda, ingin sukses dunia akhirat atau sengsara selamanya, walau hidup di lumbung harta benda. Sahabat Ali Radhiyallahu anhu berkata :

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

Kehidupan dunia bergegas menjauh, sedang akhirat kian mendekat, dan masing-masing memiliki pengikut, maka jadilah pengikut akhirat, serta janganlah engkau menjadi pengikut dunia. Karena sejatinya sekarang ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab, sedangkan esok (di akhirat) adalah waktu hisab dan bukan beramal. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 8/155]

DENGAN KETULUSAN NIAT, ANDA PASTI BERUNTUNG
Suatu yang wajar bila dalam suatu perniagaan ada yang beruntung dan ada pula yang merugi. Namun keuntungan adalah cita-cita setiap insan, termasuk Anda. Bukankah demikian saudaraku ? Karenanya, sudikah Anda saya tunjukkan kepada kiat-kiat meraih keuntungan dan tidak pernah bunting ? Sukses di dunia dengan untung segunung dan di akhirat keuntungan Anda tiada berujung ?
Tahukah Anda kiat apakah itu? Ketahuilah, kiat itu adalah dengan menjaga hati Anda sehingga selalu tulus karena Allâh atas apapun yang Anda kerjakan, baik ibadah ataupun amal kebiasaan Anda. Dengan niat yang baik, apalagi tulus karena Allâh, amal kebiasaan Anda bernilai ibadah, tanpa mengurangi sedikitpun dari fungsi amal kabiasaan Anda. Demikianlah dahulu para ulama’ menjalani kehidupan mereka. Sahabat Mu’âz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata :

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِى نَوْمَتِى مَا أَرْجُو فِى قَوْمَتِى

Adapun aku, maka aku tidur dan juga shalat malam, namun dari tidurku aku mengharapkan (bisa meraih) apa yang aku harapkan (bisa diraih) dari shalat malamku. [Muttafaqun ‘alaih]

Akan tetapi, sebaliknya, karena lalai dari niat, maka bisa menyebabkan amal ibadah Anda hanya bernilai kebiasaan dan rutinitas semata. Dahulu dinyatakan:

عِبَادَاتُ أَهْلِ الْغَفْلَةِ عَادَاتٌ، وَعَادَاتُ أَهْلِ الْيَقْظَةِ عِبَادَاتٌ

Amal ibadah orang yang lalai hanyalah rutinitas, namun rutinitas orang yang waspada semuanya bernilai ibadah (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhamad Ibnu Utsaimin, hlm. 9)

Subhanallah, walaupun Anda tidur pulas hingga mendengkur, namun itu tidak menghalangi pahala mengalir ke lembaran-lembaran amal Anda. Dengan demikian, indahnya dunia dapat Anda nikmati dan pahala akhirat pun terus mengalir tiada henti. Enak bukan ?

STATUS AMALAN ANDA SELARAS DENGAN NIAT ANDA
Setelah mengetahui bahwa dengan niat, rutinitas Anda dapat bernilai ibadah, mungkin Anda berkata, "Apabila benar demikian, betapa mudahnya jalan menuju surga ?" Betul saudarku, namun walau demikian, ternyata selama ini Anda berjalan di tempat dan sehingga tetap saja jauh dari pintu surga. Untuk membuktikannya, perkenankan saya bertanya, "Berapa amalankah yang Anda kerjakan ketika Anda membaca tulisan saya ini ?"

Tahukah anda, bahwa sejatinya saat ini Anda sedang mengerjakan beratus-ratus amalan dan mungkin beribu-ribu amalan? Anda terkejut keheranan dan bahkan tidak percaya ?

Untuk membuktikanya, izinkan saya kembali bertanya, "Apakah saat ini Anda sedang berzina ? Apakah saat ini Anda sedang memakan daging babi ? Apakah saat ini Anda sedang menyembah patung ? Apakah saat ini Anda sedang mencari sanjungan (riya’ dan sum’ah) ? Apakah saat ini Anda sedang memakan riba ? Apakah saat ini Anda sedang minum khamer? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa yang sudah pasti jawabannya adalah, "Tidak". Walau demikian, selama ini Anda tidak menyadari bahwa Anda sedang mengerjakan semua amalan tersebut ketika Anda membaca tulisan ini atau beraktifitas lainnya. Bila demikian adanya, tentu Anda tidak mendapatkan pahala darinya, padahal Anda telah melakukannya.

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Yang benar, meninggalkan suatu amalan tanpa disertai niat tidak mendapatkan pahala. Anda hanya mendapat pahala bila Anda dengan sadar meninggalkan suatu hal. Sehingga barang siapa di hatinya tidak terbetik sama-sekali tentang suatu amal maksiat, tentu tidak sama dengan orang yang mengingatnya, lalu ia menahan diri darinya karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla .” [Fathul Bari 1/15]

Penjelasan Ibnu Hajar ini menggambarkan betapa pentingnya menghadirkan niat baik dalam setiap aktifitas Anda. Tanpa perlu waktu, tenaga atau bekal apapun, lautan pahala menjadi milik Anda. Semua itu dengan mudah Anda gapai hanya berbekal niat baik dalam hati anda.

Ibnul Qayyim rahimahullah lebih jauh menjelaskan, “Sungguh tujuan dan keyakinan hati diperhitungkan pada setiap perbuatan, dan ucapan, sebagaimana diperthitungkan pula pada amal kebaikan dan ibadah. Tujuan, niat dan keyakinan dapat menjadikan satu amalan halal atau haram, benar atau salah, ketaatan atau maksiat. Sebagaimana niat dalam amal ibadah menjadikannya dihukumi wajib atau sunnah, haram atau halal, dan benar atau salah. Dalil-dalil yang mendasari kaedah ini terlalu banyak untuk disebutkan di sini.” [I’lâmul Muwaqî’in, 3/118]

Hadits berikut adalah salah satu dalil yang melandasi penjelasan ulama’ di atas :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amalan pastilah disertai dengan niat. Dan setiap pelaku amalan hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka orang yang berhijrah karena menaati perintah Allâh dan rasul-Nya, maka ia mendapatkan pahala dari Allâh karenanya, dan orang yang berhijrah karena urusan dunia, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hanya itulah yang akan ia dapatkan (tidak mendapatkan pahala di akhirat. [Muttafaqun alaih]

MENGENAL DUA MACAM AMALAN
Untuk dapat menjadikan setiap aktifitas Anda bernilai ibadah, maka terlebih dahulu Anda harus mengenali berbagai aktifitas Anda dan niat-niat Anda pada setiap amalan. Para Ulama’ menjelaskan bahwa secara global amalan terbagi menjadi dua :

1. Amalan Yang Tidak Sah Bila Tanpa Niat.
Contoh amalan jenis ini ialah berbagai amal ibadah murni, seperti shalat, puasa, haji, wudhu dan lain sebagainya. Andai Anda melakukan amal ini tanpa disertai dengan niat, niscaya amalan Anda tertolak dan tidak mendapatkan pahala. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ

Tiada (ada) puasa bagi orang yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum terbit fajar. [HR. Abu Dâwud, at-Tirmizi dan lainnya]

2. Amalan Yang Sah Walau Tanpa Niat.
Berbagai amal ibadah yang mendatangkan manfaaat bagi pelakunya atau orang lain adalah contoh nyata dari amalan jenis ini. Misalnya menolong orang kesusahan, menyambung tali silaturahmi, sedekah, dan yang serupa. Dan diantara contoh amalan ini ialah amalan dalam bentuk meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam syari’at. Misalnya, bersuci najis, mengembalikan barang rampasan, membayar hutang, dan yang semisal denganya. Bila Anda mengamalkan amalan jenis ini tanpa niat, maka amalan Anda sah alias menggugurkan kewajiban, namun Anda tidak mendapatkan pahala darinya.

BEDA ANTARA SAH DAN DITERIMA.
Mungkin Anda bertanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara sah dengan diterima ? Ketahuilah saudaraku, bahwa setiap amalan yang diterima pastilah sah, namun belum tentu amalan yang sah diterima Allâh Azza wa Jalla . Karenanya, walaupun ibadah orang-orang munafiq sah di dunia, namun di akhirat tidak diterima. Sebagaimana shalat orang yang mendatangi dukun sah di dunia, namun di akhirat tidak mendapatkan pahala, alias tidak diterima.

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya sesuatu kepadanya, maka tidak akan diterima satu shalatpun darinya selama empat puluh hari. [HR. Muslim]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksud hadits ini, shalatnya tidak mendapat pahala, walaupun sah dan bisa menggugurkan kewajiban si pelaku dan tidak perlu diulang.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi rahimahullah, 14/227]

DUAM MACAM NIAT
Para ulama’ juga menjelaskan bahwa Anda dituntut untuk menghadirkan dua jenis niat, pada setiap kali beramal :

1. Niat menjalankan amalan alias mengamalkan amalan dengan sadar
Niat macam ini merupakan syarat sah suatu amalan. Niat dengan kategori inilah yang biasanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Bila Anda berenang di kolam renang, namun Anda lupa bila Anda sedang junub, maka walaupun sekujur tubuh Anda telah basah kuyup sebagaimana orang mandi junub, namun tetap saja janabah Anda belum sirna. Karena Anda melupakan niat yang merupakan syarat sah mandi junub.

2. Niat menjalankan amalan karena Allâh Azza wa Jalla (ikhlas).
Dengan niat macam ini Anda mendapatkan pahala dari amalan ibadah Anda.
Imam as Suyuthi rahimahullah berkata: “Sebagian ulama’ terkini menegaskan bahwa ikhlas adalah suatu yang lebih sebatas niat. Keikhlasan tidaklah mungkin terwujud tanpa niat, namun sebaliknya niat bisa saja terwujud walaupun tanpa ikhlas. Sedangkan para Ulama’ ahli fikih biasanya hanya membicarakan sebatas niat, dan berbagai hukum yang mereka sebutkan hanya berkisar padanya. Adapun keikhlasan, maka itu hanya Allâh yang mengetahuinya." [al-Asybâh wan Nazhâir, hlm. 20]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya para Ulama’ telah sepakat bahwa suatu amalan yang tidak mungkin diamalkan melainkan sebagai ibadah, tidak sah kecuali dengan niat. Berbeda dengan amalan yang kadang dilakukan sebagai amal ibadah dan di lain kesempatan sebagai suatu rutinitas, semisal menunaikan amanat dan membayar piutang. [Majmû’ Fatâwâ, 18/259]

Niat jenis ini merupakan syarat diterimanya setiap amalan. Sehingga amal apapun tidak mungkin diterima dan mendapatkan pahala bila dilakukan dengan tidak ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla .

AMALAN YANG DAPAT BERNIALAI IBADAH DENGAN NIAT.
Amalan yang dapat memiliki nilai ibadah karena Anda melakukannya dengan niat yang baik ialah amalan rutinitas yang baik. Bila Anda melakukan amal rutinitas dengan niat yang baik, maka amalan tersebut bernilai ibadah. Namun bila Anda melakukannya karena sebatas rutinitas semata, tanpa memaksudkannya untuk meraih pahala, maka Anda tidak mendapatkan pahala darinya.

Dan yang dimaksud bernilai ibadah ialah Anda mendapatkan pahala dari rutinitas tersebut, tanpa mengurangi fungsi dan manfaat dari rutinitas Anda itu. Sebagai contoh; berhubungan badan dengan istri, adalah cara Anda untuk melampiaskan kebutuhan biologis Anda. Namun bila Anda membubuhkan niat demi menjaga diri Anda dan istri Anda dari maksiat, tentu amalan ini mendatangkan pahala bagi Anda, tanpa mengurangi kepuasan Anda dari hubungan badan tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

)وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ(. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: (أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ، فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ).

"Dan dengan melampiaskan syahwat birahimu engkau bisa mendapatkan pahala”. Spontan para sahabat bertanya keheranan, "Wahai Rasûlullâh, mungkinkah dengan melampiaskan syahwat birahi, kita mendapatkan pahala karenanya ?" Rasûlullâh balik bertanya, “Apa pendapat kalian bila ia melampiaskannya pada perbuatan haram, bukankah ia berdosa ? Demikian pula sebaliknya bila ia melampiaskannya di jalan yang halal, maka tentu ia mendapatkan pahala.” [HR. Muslim]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa dengan niat baik, amalan mubah dapat bernilai ibadah. Hubungan badan –misalnya- bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat memenuhi hak istri, atau memperlakukannya dengan cara yang baik sebagaimana yang Allâh peritahkan. Demikian juga dengan tujuan mendapatkan keturunan yang shaleh, atau menjaga dirinya atau istrinya dari perbuatan haram. Dan bisa juga dengan maksud melindungi keduanya dari memandang hal haram, membayangkan, atau menginginkannya atau niat-niat baik yang lain.” [Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 7/92]

Kalau ini baru Anda ketahui, berarti selama ini, Anda rugi besar, karena begitu banyak amal rutinitas Anda yang dapat mengalirkan pahala, namun selalu Anda sia-siakan. Setiap pagi Anda makan dan minum, namun hanya sekedar menuruti selera perut semata. Andai Anda membubuhkan niat agar dapat kembali kuat sehingga bisa menjalankan ibadah, tentu segunung pahala dapat menjadi milik Anda.

Dengan demikian, niat-niat yang selama ini mendorong Anda melakukan berbagai rutinitas Anda, seakan-akan sia-sia belaka. Kepuasan biologis, kesenangan, refresing dan lainnya pastilah tercapai dari rutinitas Anda, baik Anda meniatkannya atau tidak. Namun tidak demikian dengan pahala dan keridhaan Allâh Azza wa Jalla . Tanpa niat yang baik nan tulus, Anda tidak mungkin meraihnya.
Sekali lagi renungkan ! Anda memberi uang belanja kepada istri, tentu membuat mereka senang dan akhirnya setia kepada anda. Namun bila Anda membubuhkan niat menjalankan kewajiban yang telah diamanatkan oleh Allâh kepada Anda sebagai suami, tentu ini akan menjadi amal ketaatan yang bernilai tinggi. Disamping istri Anda tetap senang dan dengan izin Allâh semakin setia kepada Anda.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya tidaklah engkau membelanjakan suatu harta demi mendapatkan keridhaan Allâh, melainkan engkau mendapat pahala darinya. Sampai pun sesuap makanan yang engkau berikan kepada istrimu. [Muttafaqun ‘alaih]

Bila demikian, manakah yang lebih menguntungkan, memberi nafkah hanya sebagai rutinitas belaka, atau membubuhkan niat mengharap keridhaan Allâh Azza wa Jalla padanya ? Jawabannya, tentu yang kedua.

MENGGABUNGKAN NIAT DUNIA DAN AKHIRAT
Setelah membaca keterangan di atas, mungkin Anda menduga bahwa Anda tidak dibenarkan untuk menggabungkan niat menikmati rutinitas dengan mencari keridhaan Allâh Azza wa Jalla ?

Tidak demikian saudaraku! Menggabungkan antara keduanya adalah sah-sah saja, namun tentu nilai ibadah Anda pun berbeda. Semakin Anda berhasil memurnikan niat pada rutinitas Anda hanya karena Allâh, semakin besar pula pahala Anda. Namun sebaliknya semakin besar keinginan Anda untuk mewujudkan kepentingan pribadi Anda, maka semakin kecil pula nilai ibadah amalan Anda. Renungkan kisah berikut dari Nabi Shallallahu ‘alaii wa salam:

)أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَال:َ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لاَ، غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ(

Ada seorang lelaki hendak menjenguk saudaranya yang berdomisili di kampung lain. Maka Allâh memerintahkan seorang malaikat untuk mencegatnya di tengah jalan. Tatkala lelaki itu melintasi malaikat tersebut, malaikat bertanya, "Kemanakah engkau hendak pergi ?" Ia menjawab, "Aku hendak menjenguk saudaraku di kampung ini." Kembali malaikat bertanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu kepentingan yang hendak engkau selesaikan darinya ?" Kembali ia menjawab, "Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala ." Mendengar jawaban itu, malaikat itupun berkata, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allâh untuk menkabarkan kepadamu bahwa Allâh telah mencintaimu, sebagaimana engkau telah mencintai saudaramu karena-Nya.” [HR. Muslim]

Berkunjung ke sahabat atau saudara, pasti mendatangkan banyak manfaat di dunia. Namun tatkala lelaki di atas tidak memiliki niat lain dari kunjungannya terhadap saudaranya itu selain karena upaya melanggengkan hubungannya yang tulus karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh-pun mencintainya. Suatu pahala yang sangat besar yang sangat didamba oleh setiap insan yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , termasuk Anda.

Dan dari alur kisah hadits di atas, dapat dipahami bahwa andai lelaki itu memiliki kepentingan lain yang tidak bertentangan dengan ketulusan cintanya, tentu ia tidak mendapatkan keutamaan tersebut.

PENUTUP
Apa yang telah saya paparkan pada tulisan sederhana ini tentunya hanya sekelumit dari pembahasan tentang niat. Terlalu banyak pembahasan tentang niat yang seyogyanya kita ketahui, terlebih-lebih kiat-kiat mewujudkan niat yang tulus dan benar dalam hidup nyata. Hati Anda walau terletak dalam dada anda, namun tidak mudah untuk menundukkannya. Sufyan ats-Tsauri berkata :

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نَفْسِي مَرَّةً لِي وَمَرَّةً عَلَيَّ

Aku tidak pernah membenahi suatu hal yang lebih berat dibanding jiwaku sendiri. Kadang kala patuh dengan keinginanku dan sering pula tidak.”

Ya Allâh, Wahai Pembolak-balik hati, tetapkanlah niat kami di atas ketaatan kepada-Mu. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber: http://almanhaj.or.id