Sunday, March 30, 2014

Mengenal Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Mengenal Allah Subhanahu Wa Ta'ala


Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari


Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada perkara yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Karena tidak ada yang lebih mulia daripada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka ilmu mengenal Allâh merupakan ilmu yang paling mulia. Cara mengenal Allâh itu bisa dilakukan melalui :

• Ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda keagungan Allâh pada alam semesta atau seluruh makhlukNya), dan

• Ayat-ayat syar’iyah (tanda-tanda keagungan Allâh, pada syari’at atau agama-Nya).

Mengenal Allâh Azza wa Jalla mencakup 4 bagian yaitu :
1. Mengenal keberadaan Allâh.
2. Mengenal keesaan rububiyah Allâh.
3. Mengenal keesaan uluhiyah Allâh (hak Allâh untuk diibadahi)
4. Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla

Keempat bagian ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipisah-pisahkan. Berikut ini penjelasan singkat tentang empat perkara di atas.

1. MENGENAL ADANYA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Kita wajib meyakini bahwa Allâh Pencipta seluruh makhluk benar-benar ada, walaupun kita tidak pernah bertemu, melihat, mendengar secara langsung. Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun (yakni tanpa Pencipta), ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? [ath-Thûr/52:35]

Maksudnya, keadaan manusia atau makhluk yang sudah ada ini tidak lepas dari salah satu dari tiga keadaan :

a. Mereka ada tanpa Pencipta. Ini tidak mungkin. Tidak ada akal sehat yang bisa menerima bahwa sesuatu itu ada tanpa ada yang membuatnya.

b. Mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini lebih tidak mungkin lagi. Karena bagaimana mungkin sesuatu yang awalnya tidak ada menciptakan sesuatu yang ada.

c. Inilah yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan mereka, Dialah Sang Pencipta, Penguasa, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allâh Azza wa Jalla?” Dia menjawab, “Subhânallâh (Maha Suci Allâh)! Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathîf (Allâh Yang Maha Baik) al-Khabîr (Maha Mengetahui).”

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang hal ini, beliau menjawab, “Ada sebuah benteng yang kokoh, halus, tidak ada pintu dan jendela. Luarnya seperti perak putih, dalamnya seperti emas murni. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah, lalu keluarlah darinya seekor binatang yang dapat mendengar dan melihat, memiliki bentuk yang indah dan suara yang merdu.”

Yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah seekor ayam yang keluar dari telurnya. [Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]

Sesungguhnya keyakinan adanya Sang Pencipta, Allâh Azza wa Jalla , merupakan fithrah makhluk. Oleh karena itulah Fir’aun, bahkan Iblis, juga meyakini hal ini. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan kaumnya yang mengingkari mu’jizat Nabi Musa Alaihissallam :

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ

Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. [an-Naml/27:14]

Oleh karena itu, tidaklah semata-mata seseorang meyakini adanya Allâh berarti dia adalah orang Islam atau beriman.

2. MENGENAL KEESAAN RUBUBIYAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Kita wajib meyakini keesaan rububiyah Allâh, yaitu bahwa hanya Allâh yang mencipta, memiliki, menguasai, dan mengatur seluruh makhluk. Hanya Allâh Azza wa Jalla yang menghidupkan, mematikan, memberi rizqi, mendatangkan kebaikan, mendatangkan bencana. Tidak ada sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh perkara di atas, baik malaikat, nabi, wali, jin, ruh, atau lainnya.
Rububiyah (mencipta, memiliki, dan mengatur/menguasai) seluruh alam semesta ini hanyalah bagi Allâh semata. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Rabb (Pemilik, Penguasa) semesta alam. [al-Fâtihah/1:2]

Jenis tauhid ini tidak diingkari oleh orang-orang musyrik di zaman Rasûlullâh, bahkan mereka mengakuinya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa ayat al-Qur’ân. Antara lain, firman Allâh Azza wa Jalla .

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

"Katakanlah, "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan" Maka mereka (orang-orang musyrik jahiliyah) menjawab, "Allâh". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" [Yunus/10: 31]

Demikian juga Iblis mengakui hal ini, dia mengakui bahwa Allâh-lah yang telah menciptakannya dari api.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

Allah berfirman, "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". [al-A’râf/7:12]

Oleh karena itulah, seseorang yang meyakini adanya Allâh dan keesaan kekuasaan-Nya belum bisa disebut orang Islam atau orang beriman, sampai dia mengimani keesaan uluhiyah Allâh, juga mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

3. MENGENAL KEESAAN ULUHIYAH ALLAH (HAK-NYA UNTUK DIIBADAHI).
Kita meyakini bahwa yang berhak diibadahi hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allâh, walaupun kepada makhluk yang dekat kepada-Nya, seperti malaikat atau rasul Allâh Azza wa Jalla . Apalagi kepada makhluk yang derajatnya di bawah mereka, seperti: manusia, jin, binatang, pohon, batu, senjata, planet, bintang, ataupun lainnya.

Tauhid inilah makna yang terkandung di dalam perkataan Lâ ilâha illa Allâh, karena maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah,"Bahwasanya Ilahmu (yang kamu ibadahi) adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)". [al-Anbiyâ’/21:108]

Keimanan terhadap keesaan uluhiyah Allâh (hakNya untuk diibadahi) ini adalah inti dakwah seluruh rasul. Dan inilah yang diingkari oleh orang-orang musyrik dan kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ﴿٤﴾أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. [Shad/38: 4-5]

Tujuan dari pengenalan keesaan uluhiyah Allâh ini adalah supaya kita mencintai Allâh, tunduk kepada-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta mengesakan ibadah hanya kepada-Nya.

Ibadah kepada Allâh yaitu merendahkan diri dan taat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kecintaan, pengagungan, mengharapkan rahmat, dan takut terhadap siksa. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.

Adapun ruang lingkup ibadah yaitu segala yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla , baik berupa perkataan dan perbuataan, yang lahir maupun yang batin.

Ibadah akan diterima oleh Allâh dengan dua syarat yaitu ikhlas dan mutâba’ah. Ikhlas yaitu: mencari ridha Allâh semata, sedangkan mutâba’ah, yaitu mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad.

Oleh karena itu orang yang meyakini keesaan hak Allâh untuk diibadahi, dia akan mempersembahkan segala jenis ibadah hanya kepada-Nya semata. Di antara jenis-jenis ibadah adalah ketaatan yang mutlak dengan harap dan takut; kecintaan yang disertai ketundukan mutlak; do'a; niat di dalam beribadah (ikhlas); menyembelih binatang; takut; tawakal; dan lainnya.

4. MENGENAL NAMA-NAMA DAN SIFAT ALLAH
Yaitu mengimani dan menetapkan seluruh nama-nama Allâh dan sifat-sifat-Nya, yang tersebut di dalam Kitab al-Qur’ân dan Sunnah yang shahih, dengan tanpa menyerupakan dengan makhluk.

Allâh Azza wa Jalla berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Hanya milik Allâh asmâ-ul husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmâ-ul husnâ itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7: 180]

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Paling Tahu segala perkara, termasuk yang paling tahu tentang Allâh adalah Allah Azza wa Jalla sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ

Katakanlah: "Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allâh?" [al-Baqarah/2: 140]

Demikian juga yang paling mengetahui tentang Allâh di antara semua makhluk adalah Rasul-Nya. Sehingga penjelasan para Rasul tentang Allâh Azza wa Jalla adalah haq. Sedangkan perkataan orang-orang kafir dan musyrik tentang Allâh hanyalah dugaan semata. Allâh berfirman :

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ﴿١٨٠﴾وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ﴿١٨١﴾ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Maha suci Rabbmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas Para rasul, dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. [ash-Shâffât/37: 180-182]

Oleh karena itulah mengenal nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla hanyalah lewat jalan wahyu. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ يَنْزِلُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا

Sesungguhnya Allâh turun ke langit dunia

Atau :

إِنَّ اللهَ يُرَى فِي الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Allâh akan dilihat pada hari kiamat

Dan yang serupa dengan hadits-hadits ini, "Kami beriman kepadanya dan membenarkannya, dengan tanpa (bertanya) bagaimana, tanpa (menetapkan) makna (yang lain), tanpa menolak sesuatu darinya. Dan kami mengetahui bahwa semua yang dibawa oleh Rasûlullâh n adalah haq, kami tidak menolak Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kami tidak mensifati Allâh lebih dari yang Dia menyifati diri-Nya dengan tanpa batasan dan akhir. (Allâh Azza wa Jalla berfirman :)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11]

Dan kami mengatakan (tentang sifat Allâh) sebagaimana Dia berkata; Kami menyifati-Nya dengan semua sifat yang Allâh pergunakan untuk menyifati diri-Nya; Dan kami tidak melanggar batasan itu. Dan penyifatan dari orang-orang yang menyifati-Nya tidak sampai kepada hakikat-Nya. Kami beriman kepada al-Qur’ân semuanya, baik yang muhkam (maknanya jelas) dan mutasyabih (maknanya samar). Dan kami tidak akan menghilangkan dari-Nya satu sifat pun dari sifat-sifat-Nya karena kekejian yang dibuat-buat, kami tidak melanggar batas al-Qur’ân dan al-Hadîts. Dan kami tidak mengetahui hakekatnya keculai dengan membenarkan Rasûlullâh n dan menetapkan al-Qur’ân.” [Lum’atul I’tiqâd, hlm. 3]

Inilah bagian-bagian mengenal kepada Allâh dan beriman kepada-Nya. Semoga penjelasan ini menambah ilmu bagi kita semua, dan semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Aamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Asas Penetapan Halal Dan Haram Dalam Islam.


Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc


يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui. [al-Baqarah/2:168-169]

PENJELASAN AYAT:
KAUM MUKMININ DIPERINTAH UNTUK MENGKONSUMSI YANG HALAL DAN BAIK
Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memanggil seluruh umat manusia, baik yang beriman ataupun manusia yang kufur kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan mereka akan anugerah berupa perintah kepada mereka untuk memakan apa saja yang ada di bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-buahan, serta daging hewan dan binatang dengan dua kriteria: حَلاَلاً (yang dihalalkan bagi mereka), bukan barang yang diharamkan atau didapatkan melalui cara yang haram seperti ghashab, mencuri dan lainnya. Kedua, طَيَّباً (yang baik), maksudnya bukan barang yang khabîts (buruk) seperti bangkai, darah, daging babi dan barang-barang bersifat buruk lainnya. [1]

Maksud sesuatu yang halal adalah segala yang diizinkan oleh Allah. Sementara makna thayyib, yaitu segala yang suci, tidak najis dan tidak menjijikkan yang dijauhi jiwa manusia. Dengan demikian, dzat makanan (dan minuman) tersebut baik, tidak membahayakan tubuh dan akal mereka. [2]

Pada ayat lain, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah semakna secara khusus kepada kaum Mukminin semata dengan berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allâh, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu beribadah [al-Baqarah/2:172].

Di sini, Allâh Azza wa Jalla mengarahkan perintah ini secara khusus kepada kaum Mukminin karena mereka sajalah pada hakekatnya yang dapat mengambil manfaat dari perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, didorong keimanan mereka kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang baik-baik dari rezeki yang diberikan kepada mereka dan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas kenikmatan yang tercurahkan dengan cara mempergunakannya dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan bekal untuk tujuan itu.

Bila pandangan kita arahkan pada ayat ini, perintah mengkonsumsi makanan yang tertuang di dalamnya hanya mempersyaratkan makanan yang baik-baik saja, tidak menyinggung status halalnya. Hal ini dikarenakan keimanan yang tertanam pada kalbu seorang Mukmin akan menghalanginya mengambil sesuatu yang tidak halal.[3]

Demikianlah semestinya seorang Mukmin, selalu memastikan apa yang masuk ke perutnya adalah barang-barang halal, menghindari sesuatu yang masih meragukan dan mencurigakan agar terhindar dari yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Dan jangan pernah berpikir untuk memakan makanan haram atau mencarinya dengan cara-cara yang terlarang. Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri berpesan, “(Ayat ini menunjukkan) kewajiban (seorang Mukmin) mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup meskipun dalam kondisi sulit”.[4]

Dengan rahmat dan kasih-Nya, Allâh Azza wa Jalla memberi ruang gerak yang lebih luas bagi manusia untuk memilih makanan dan minuman. Ini lantaran makanan yang diharamkan jauh lebih sedikit ketimbang yang dihalalkan. Di pasar tradisional misalnya, bila dibandingkan jumlah dagangan yang halal dengan jualan yang dilarang, tentu lebih banyak yang pertama, bahkan jauh lebih banyak. Walillâhil hamd.

ASAS PENGHALALAN DAN PENGHARAMAN DALAM ISLAM
Syariat Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan makanan selalu mempertimbangkan kemaslahatan dan madharat (bahaya). Segala yang diharamkan pastilah mengandung seratus persen bahaya atau memuat unsur bahaya yang dominan.[5] Demikianlah diantara keistimewaan syariat Islam, karena bersumber dari Allâh Azza wa Jalla , Dzat Yang Maha Bijaksana (al-Hakîm) dan Maha Mengetahui (al-‘Alîm) akan segala kemaslahatan bagi hamba.

Selain dua ayat yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa ayat lain yang menggariskan dan menerangkan asas dan manhaj Islam dalam penetapan halal dan haramnya satu makanan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

Allâhlah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta member kamu rezeki dengan sebagian yang baik-baik [al-Mukmin/40:64].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan di (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [al-A’râf/7:157].

Mari kita perhatikan kaedah yang telah disimpulkan Syaikh Shaleh al-Fauzân mengenai manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan yang menunjukkan salah satu keindahan Islam : 'Setiap barang yang thâhir (suci lawan dari najis), yang tidak mengandung bahaya sama sekali, seperti biji-bijian, buah-buahan, hewan-hewan hukumnya halal. Dan setiap barang najis, seperti bangkai dan darah, atau barang yang mutanajjis (terkena najis) dan setiap barang yang mengandung madharat (bahaya) semisal racun dan lainnya hukumnya haram (dikonsumsi)' (al-Ath'imah hlm. 28).

Tampak bahwa yang halal adalah hal-hal yang baik, dan yang diharamkan adalah hal-hal yang buruk dan berbahaya.

Dalil yang menunjukkan diperhitungkannya kesucian (tidak najisnya) barang yang dikonsumsi firman Allâh Azza wa Jalla:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi [al-Mâidah/5:3]

Bangkai darah dan daging babi merupakan barang najis secara dzat, dan barang najis adalah khabîts (buruk).[6]

Sementara di antara dalil yang mengharuskan bebasnya barang konsumsi dari unsur yang berbahaya firman Allâh Azza wa Jalla.

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [al-Baqarah/2:195]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu membunuh dirimu [an-Nisâ/4:29]

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa segala yang khabîts atau membahayakan diharamkan dikonsumsi dan dimanfaatkan. [7]

Demikian manhaj penghalalan dan pengharaman sesuatu seperti manhaj Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang mengedepankan kemaslahatan dan perlindungan terhadap jiwa, badan, akal. Sementara di masa Jahiliyah, penetapan halal dan haram merujuk hawa nafsu dan taklid buta terhadap ajaran nenek moyang. Begitu pula yang terjadi pada agama Nasrani, halal dan haram berdasarkan kehendak pemuka agama mereka.

Dari sini, seorang Mukmin harus mengutamakan dan mendahulukan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya saat berhadapan dengan ketetapan adat atau budaya yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Islam, atau sebaliknya menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Islam. Sebab secara prinsip, penetapan halal dan haram adalah hak Allâh Azza wa Jalla . Barang siapa mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram pada hakekatnya telah memposisikan diri sebagai sekutu Allâh Azza wa Jalla dalam hak tasyrî' (penetapan syariat). Karenanya, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum Yahudi dan Nasrani karena ketaatan mereka yang berlebihan terhadap para pemuka agama mereka, sampai menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikatakan oleh pemuka agama mereka. Dengan ini, mereka telah menjadikan para pendeta itu sebagai tandingan-tandingan Allâh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allâh [at-Taubah/9:31]

Begitu pula, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin pada masa Jahiliyah yang menghalalkan bangkai yang telah diharamkan Allâh Azza wa Jalla dan mengharamkan beberapa jenis binatang ternak yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla , karena mengikuti warisan budaya nenek moyang dan hawa nafsu mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ﴿١٠٣﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Allâh sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sâibah, washîilah dan hâm, akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allâh , dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul, mereka menjawab, Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâidah/5:103-104].

BAHAYA KONSUMSI HARAM
Konsumsi barang halal dan baik berpengaruh positif pada kejernihan hati dan dikabulkannya doa dan diterimanya ibadah oleh Allâh Azza wa Jalla . Sebaliknya, makanan haram akan menghalangi diterimanya doa dan ibadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang kaum Yahudi.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿٤١﴾سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

Mereka itu (orang Yahudi) adalah orang-orang yang Allâh tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram [al-Mâidah/5:41-42].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Allâh itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik (saja), dan sesungguhnya Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan yang diperintahkanNya kepada para rasul. Allâh berfirman : {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”} (al-Mukminûn/23:51). Allâh berfirman: {“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”} . Selanjutnya, beliau menceritakan seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, dalam keadaan rambut acak-acakan, berdebu, ia menengadahkan dua tangannya ke arah langit (seraya berdoa) ya rabbi, ya rabbi, ya rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram serta dirinya dinutrisi dengan haram, bagaimana doanya dikabulkan?”. [HR. Muslim no. 1015]

LARANGAN MENGIKUTI LANGKAH SETAN
Setelah memerintahkan para hamba-Nya untuk mematuhi perintah-Nya karena akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, Allâh melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan. Yang dimaksud langkah-langkah setan adalah segala cara dan upaya setan untuk menyesatkan para pengikutnya, seluruh maksiat yang ia perintahkan seperti kekufuran, perbuatan fusûq )keluar dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan perbuatan kezhaliman yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Di antara contoh langkah setan adalah mengharamkan bahîrah, sâibah dan washîlah[9] serta lainnya.

Ini berdasarkan hadits ‘Iyâdzh bin Himâr al-Mujâsyi Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

كُلُّ مَا نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلَالٌ وَإِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَـفَاءَ كلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَْيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ

Allâh berfirman: “Sesungguhnya setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka itu adalah halal bagi mereka. Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Lalu setan mendatangi mereka, dan menyeret (menyimpangkan) mereka dari agama mereka (yang lurus), serta mengharamkan atas mereka yang Aku halalkan bagi mereka”. [HR. Muslim hadits no.2865]

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla memberitahukan alasan agar kita semua menjauhi langkah-langkah setan karena merupakan musuh yang nyata kaum Mukminin. Permusuhan setan kaum Mukminin sangat jelas. Setan tidak menghendaki kecuali menipu dan menjadikan mereka penghuni neraka Sa’ir. Di sini, Allâh Azza wa Jalla tidak hanya melarang mengikuti langkah-langkah setan, akan tetapi juga menyebutkan permusuhannya yang sangat besar agar kita mewaspadainya serta menerangkan bahwa segala yang diperintahkan dan dibisikkan setan adalah perkara-perkara yang paling buruk dan mendatangkan kerusakan paling parah. [10]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya setan , musuh kalian itu, menyuruh kalian melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Yang lebih keji (parah dari itu), menyuruh berbuat faahisyah (perbuatan keji) seperti perzinaan dan lainnya. Dan (menyuruh) yang lebih buruk lagi dari itu, yaitu mengatakan sesuatu tentang Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (dari-Nya). Termasuk orang yang berkata mengenai Allâh Azza wa Jalla tanpa dasar ilmu (sembarangan) adalah setiap orang kafir dan orang yang berbuat bid’ah”. [11]

RENUNGAN
Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah mengajak kita sekalian untuk melakukan introspeksi diri. Setelah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla hanya memerintahkan kepada keadilan, kebaikan, dan memberi kaum kerabat dan melarang dari perbuat keji, mungkar dan kezhaliman beliau berkata, “Hendaknya seseorang melihat dirinya, apakah ia mengikuti seruan Allâh yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan abadi bagi dirinya di dunia dan akherat, atau mengikuti ajakan setan yang merupakan musuh manusia yang hanya menginginkan keburukan baginya dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk membinasakannya di dunia dan akherat? ”.[12]

BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT:
1.Kewajiban mencari rezeki halal dan membatasi diri dengannya saja dalam hidup.

2. Hukum asal makanan dan minuman adalah ibâhah (diperbolehkan) untuk dikonsumsi maupun dimanfaatkan, sampai ada larangan khusus.

3. Yang halal adalah segala yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan yang haram adalah yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dalam masalah ini, akal tidak berperan sama sekali.

4. barang haram ada dua jenis: barang yang memang diharamkan dzatnya, sesuatu yang khabiits (jelas keburukannya), lawan dari thayyib, atau diharamkan karena berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak Allâh Azza wa Jalla karena didapatkan melalui cara yang haram atau melanggar hak sesama manusia karena diambil dari orang lain dengan paksa misalnya.

5. Wajib menjauhi segala hal yang buruk dan keji yang dibisikkan oleh setan.

6. Haramnya mengikuti langkah-langkah setan yang mencakup setiap keyakinan, perbuatan dan perkataan yang dilarang syariat. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber  http://almanhaj.or.id

Saturday, March 22, 2014

PERDAMAIAN ITU LEBIH BAIK

PERDAMAIAN ITU LEBIH BAIK

Oleh
Syaikh Dr. Su’ud asy-Syuraim –hafidzahullah–


Kaum Muslimin rahimakumullâh
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya taqwa kepada Allâh Azza wa Jalla adalah bekal terbaik bagi setiap orang yang mengharap rahmat-Nya. Dengan taqwa, seseorang akan mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka dan dia akan mendapatkan kemudahan setelah kesusahan, dan kelapangan setelah kesempitan. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

"Ingatlah sesungguhnya wali-wali (kekasih-kekasih) Allâh itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati.(Yaitu ) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. [Yunus/10: 62 – 63]

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Sesungguhnya pengetahuan manusia, keinginan, dan watak mereka itu berbeda-beda meskipun mereka berasal dari bapak dan ibu yang sama (yaitu Nabi Adam dan Hawa). Dan sebenarnya ini merupakan ujian, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Dan kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. [al-Furqân/25:20]

Sebagian orang ada yang berkepribadian bijak, arif dan penuh toleran. Dia tidak mudah emosi dengan sedikit kalimat yang dia dengar.

Sebagian lagi, ada juga yang ceroboh, nekat, mudah tertipu, tidak sabar, mudah tersulut perkataan lalu berlaku konyol. Lisan dan tindak-tanduknya mendahului akalnya.

Kaum Muslimin rahimakumullâh
Seorang Mukmin adalah seorang juru damai yang agung, yang bisa menghimpun bukan memecah belah, yang memperbaiki bukan merusak; Bijak dalam mendamaikan pihak yang bertikai. Dan sebagai imbal baliknya, banyak orang yang mendoakan kebaikan untuknya dan memujinya karena dia telah mendamaikan dan menyelamatkan dari perpecahan.

Orang yang memperhatikan realita saat ini, dia akan dapati adanya keretakan yang menggores kemurnian kecintaan dan jalinan persaudaraan. Hal ini nampak dari hawa nafsu yang dituruti, kebakhilan dan ketamakan yang diikuti, dan kebanggan terhadap pendapat sendiri.

Sungguh benar Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ

Sesungguhnya syaitan telah putus asa dari (mendapatkan) penyembahan dari orang-orang yang shalat di jazirah arab, akan tetapi dia akan selalu mengadu domba di antara mereka. [HR. Muslim no. 2812]

Ketika terjadi pertengkaran dan pertikaian, maka perdamaian menjadi suatu yang sangat terpuji. Jika perselisihan adalah keburukan, pertengkaran dan pertikaian adalah aib, maka sebaliknya, perdamaian dan usaha mendamaikan adalah sebuah rahmat. Meski perbedaan pendapat pada manusia adalah hal yang telah digariskan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagaimana firman-Nya :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِين

Jikalau Rabbmu menghendaki , tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. [Hud/11:118]

Namun Allâh mengecualikan darinya orang-orang yang mendapat rahmat-Nya.

إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. [Hud/11:119]

Perdamaian yang terwujud pada umat akan menjadikannya indah, namun jika hilang maka berbagai buruk tidak akan terhindarkan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan perdamaian itu lebih baik [an-Nisâ/4:128]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Sebab itu bertaqwalah kepada Allâh dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu. [al-Anfâl/8:1]

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia. [an-Nisâ/4:114]

إِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. [al-Hujurât/49:9]

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara. [al-Hujurât/49:10]

Dan sungguh tidak ada di dunia juru damai yang sekelas dengan Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mendamaikan suku-suku, antar individu-individu dan kelompok masyarakat. Beliau juga mendamaikan pasangan suami-istri, dua orang yang berutang-piutang, dan juga juru damai dalam penegakkan hak harta, nyawa dan kehormatan. Bagaimana tidak, padahal beliau sendiri bersabda :

أَلاَ أُخْبِركُمُ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّياَمِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا: بَلَى، قَالَ: صَلاَحُ ذَاتِ البَيْنِ؛ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ البَيْنِ هِيَ الحَالِقَةُ

Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sedekah ? Para sahabat menjawab, “Tentu wahai Rasûlullâh.” Beliau bersabda, “Yaitu mendamaikan perselisihan diantara kamu, karena rusaknya perdamaian diantara kamu adalah pencukur (perusak agama)”. [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]

Disebutkan di dalam sebuah hadits:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَهْلَ قُبَاءَ اقْتَتَلُوْا حَتَّى تَرَامَوا بِالْحِجَارَةِ، فَأَخْبَرَ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، فَقَالَ: اذهبُوا بنا نُصلِح بينهم

Dari Sahal bin Sa'ad Radhiyallahu anhu bahwa penduduk Quba' telah bertikai hingga saling lempar batu, lalu Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam dikabarkan tentang peristiwa itu, maka beliau bersabda: Mari kita pergi untuk mendamaikan mereka. [HR. Bukhari]


Wahai kaum muslimin, semoga Allâh selalu menjaga kita semua.
Sesungguhnya perdamaian termasuk diantara sebab munculnya rasa cinta dan perekat keretakan. Terkadang perdamaian itu lebih baik daripada hukum yang diputuskan hakim. Dalam perdamaian, ada pahala dari Allâh Azza wa Jalla dan ada dosa yang dihapuskan. Termasuk didalamnya, pertikaian dalam rumah tangga.

Namun untuk kita sadar bersama, bahwa semua upaya damai itu tidak akan terwujud kecuali dibarengi keinginan kuat yang nyata serta niat tulus dari semua pihak, antara juru damai dan yang didamaikan. Karena Allâh Azza wa Jalla mengaitkan perdamaian itu dengan adanya kemauan yang baik dari semua pihak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an-Nisâ/4:35]

Suatu ketika, Imam Hasan al Bashri rahimahullah didatangi oleh dua orang yang bertikai dari Tsaqif. Lalu sang Imam berkata, “Kalian berdua masih satu kelompok dan satu kerabat, (kenapa) masih saja bertikai ?” Mereka menjawab, “ Wahai Abu Sa’id, kami hanya ingin damai.” Beliau rahimahullah berkata, “Ya. Kalau begitu kalian bicaralah!” Akan tetapi keduanya malah saling melempar tuduhan dusta ke lawannya. Melihat ini, sang Imam menjawab, “Demi Allâh ! Kalian dusta ! Bukan perdamaian yang kalian inginkan, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufiq kepada suami – istri itu. [an -Nisâ/4:35]

Oleh karenanya bertakwalah wahai para hamba Allâh ! Sudahi dan hentikanlah pertengkaran dan pertikaian, terutama yang disebabkan hal-hal remeh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan ) Allâh. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. [asy-Syûrâ/42:40]

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberkahi saya dan anda semuanya dengan al-Qur’an dan mencurahkan manfaat dari isinya berupa ayat-ayat dan hikmahNya yang Maha Bijak. Itulah yang aku ucapkan, jika itu benar maka kebenaran dari Allâh. Jika ada yang salah maka dari diri saya sendiri dan dari syetan. Dan aku beristighfar kepada Allâh, sesungguhnya Ia Maha Pengampun.

(Khutbah jum’at Syaikh Dr. Su’ud asy-Syuraim –hafidzahullah– dengan judul “ash-Shulhu Khair (Perdamaian Itu Lebih Baik)”, di Masjidil Haram pada tanggal 12-02-1433 H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

SHAHIH AL-BUKHARI DALAM PANDANGAN ULAMA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Fenomena kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai pembaharu dan intelektual yang menggugat dan merendahkan kedudukan Shahîh al-Bukhâri, ditambah lagi dengan ketidaktahuan sebagian kaum Muslimin terhadap sumber rujukan besar dalam mengenal islam ini menjadikan masalah ini sangat perlu dipaparkan kepada khalayak ramai. Apalagi menyebarnya agama syi’ah yang banyak menggugat dan mempertanyakan hadits-hadits dalam kitab Shahîh al-Bukhâri ini bahkan tidak mengakui keberadaannya.

KEDUDUKAN KITAB SHAHIH AL-BUKHARI
Kitab yang memiliki nama lengkap al-Jâmi’ ash-Shahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi karya al-Imam al-Bukhâri dikenal khalayak ramai dengan Shahîh al-Bukhâri. Kitab ini memiliki kedudukan tinggi dan penting serta memiliki kekhususan yang tidak dimiliki karya-karya tulis lainnya. Hampir semua tempat yang tersentuh dakwah islam mesti di sana ada kitab Shahîh al-Bukhâri.

Kitab ini adalah pendorong penting umat islam untuk menggelari beliau rahimahullah dengan gelar Imam Muhadditsîn dan amîrul Mukminin dalam hadits. Belum ada karya seorang ulamapun yang mendapatkan keutamaan dan sambutan seperti kitab Shahîh al-Bukhâri ini.

Syeikh Abdussalâm al-Mubarakfûri rahimahullah menyifati kitab ini dengan pernyataan beliau rahimahullah , "al-Jâmi’ ash-Shahîh adalah sebuah kitab yang seandainya kita berusaha menyusun sejarahnya dan menjelaskannya dari semua sisi, tentu akan membutuhkan berjilid-jilid tebal kitabnya. [Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159].

Sedemikian tinggi dan pentingnya Shahîh al-Bukhâri ini sehingga al-‘Allâmah Ibnu Khaldun rahimahullah menyatakan, "Sungguh aku telah mendengar para guru kami –Rahimahumullâhu- menyatakan, "Syarah (penjelasan) kitab al-Bukhâri adalah hutang yang ditanggung umat ini. [Muqaddimah ibnu Khaldun 3/1142 Dinukil dari Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159]

Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah abad ke-8 yang wafat diawal abad ke-9 dan menyelesaikan kitab Muqaddimahnya pada tahun 779 H. Beliau rahimahullah menyampaikan pernyataan ini sesuai dengan pengetahuan yang sampai padanya. Oleh karena itu imam Abul Khari as-Sakhâwi rahimahullah salah seorang murid imam Ibnu Hajar rahimahullah ketika mengomentari kitab Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri menyatakan, “Seandainya Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarah shahîh al-Bukhâri hingga sekarang adalah hutang yang ditanggung umat ini membaca kitab ini tentu akan senang dan mengakui (hutang) itu sudah tertunaikan dan cukup” [at-Tabar al-Masbûk, hlm. 231. Lihat kitab Ibnu Hajar wa Dirasatuhu, karya DR. Syâkir Muhammad Abdulmun’im, hlm. 323]

Demikianlah kitab Shahîh al-Bukhâri ini mendapatkan sambutan dari umat Islam. Kitab ini sebelumnya telah dikritisi dan diteliti oleh para Ulama baik dimasa beliau masih hidup maupun setelah beliau rahimahullah wafat. Diantara Ulama yang mengkritisi hadits-hadits yang ada dalam Shahîh al-Bukhâri adalah al-Imâm ad-Daraquthni dalam kitab at-Tatabbu’ wal Ilzâmât. Namun akhirnya umat islam menerimanya sebagai kitab paling Shahîh setelah al-Qur’an.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengungkapkan, "Para ulama –rahimahumullâhu- telah sepakat menyatakan bahwa kitab yang paling Shahîh setelah al-Qur`an adalah ash-Shahîhain ; Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim. Ummat telah menerima keduanya dengan baik. Kitab Shahîh al-Bukhâri adalah yang tershahîh dari keduanya dan lebih banyak mengandung faedah dan pengetahuan, baik yang nampak maupun masih samar. Memang benar bahwa imam Muslim dahulu termasuk yang mengambil faedah dari al-Bukhâri dan mengakui bahwa al-Bukhâri tiada tandingannya dalam ilmu Hadits. Semua yang telah kami sampaikan berupa tarjîh kitab Shahîh al-Bukhâri adalah madzhab terpilih yang menjadi pendapat mayoritas Ulama pakar dan ahli dalam masalah-masalah detail hadits. [al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim 1/14. Lihat Fiqhud Dakwah min Shahîh al-Bukhâri, 1/28]

Pernyataan imam Nawawi rahimahullah ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa tinggi dan penting kedudukan Shahîh al-Bukhâri.

Kedudukan ini selain karena izin dan anugrah dari Allâh Azza wa Jalla, juga tidak lepas dari sebab ketakwaan dan kehati-hatian beliau rahimahullah dalam memasukkan hadits-hadits ke dalam kitab ini. Beliau rahimahullah tidak memasukkan satu hadits kecuali setelah mandi dan shalat dua rakaat. Ini disampaikan Abul Haitsâm al-Kasymihani setelah mendengar Muhammad bin Yusuf al-Farabri t menyatakan, "al-Bukhâri t pernah menyatakan, 'Aku tidak meletakkan satu hadits dalam kitab as-Shahîh kecuali aku mandi sebelumnya dan shalat dua rakaat. [Hâdi as-Sâri, Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

Syeikh Abdussalâm al-Mubârakfûri rahimahullah menyampaikan juga pernyataan orientalis barat bernama Tomas William Bill yang menyatakan, "Shahîh al-Bukhâri dimuliakan melebihi kitab apapun juga setelah al-Qur`an dan dijadikan sandaran dalam urusan ruhani dan keduniaan."

Tomas juga menyatakan, "Kitab ini tidak hanya memuat wahyu yang turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilham, perbuatan dan perkataan beliau saja, bahkan bersamanya juga berisi tafsir mayoritas bagian yang sulit dalam al-Qur`an. [lihat Sîratul Imâm al-Bukhâri, hlm. 163]

MASA PENYUSUNANNYA
Al-Imam al-Bukhâri rahimahullah telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama enam belas tahun sehingga menjadi seperti yang kita lihat dan baca hari ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh imam al-Bukhâri dan juga dari para Ulama lainnya.

Al-Warâq menyampaikan pernyataan imam al-Bukhâri, "Aku susun kitab al-Jâmi’ dari enam ratus ribu hadits dalam waktu enam belas tahun." (Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489). Juga Ibnu ‘Adi menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa imam al-Bukhâri menyusun judul bab dalam shahihnya antara kuburan Nabi dengan mimbarnya dan beliau shalat dua rakaat untuk setiap judul babnya. [Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

Demikian juga al-Warâq menceritakan bahwa suatu ketika beliau bersama imam al-Bukhâri ketika beliau menyusun kitab at-Tafsîr (salah judul dalam shahihnya) dan beliau dapati imam al-Bukhâri shalat di satu malam hingga lima belas sampai dua puluh kali.

Berita-berita ini menunjukkan kesungguhan dan konsentrasi beliau rahimahullah dalam menyusun kitab Shahihnya ini. Setelah tersusun beliau rahimahullah tidak lupa menyampaikanya kepada para guru beliau untuk dilihat dan dikoreksi serta mengambil arahan dan bimbingan mereka.

Abu Ja’far al-‘Uqaili berkata, "Ketika al-Bukhâri menyusun kitab Shahîh, beliau menyerahkannya kepada Ali Ibnu al-Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan yang lainnya. Lalu mereka menerima kitab tersebut dengan baik dan memastikan keshahihannya kecuali empat hadits." al-'Uqaili menyatakan, "Yang benar dalam hal ini adalah pendapat al-Bukhâri dan keempat hadits tersebut shahih. [Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489]

PERHATIAN ULAMA TERHADAP KITAB INI[1]
Urgensi kitab Shahîh al-Bukhâri begitu jelas, sehingga para Ulama sejak dahulu memberikan perhatian besar, baik dengan membacakan dan mengajarkannya, meringkasnya atau menulis penjelasan (syarah)nya.

Semua ini terbukti dengan banyaknya karya tulis seputar kitab shahîh al-Bukhâri. Diantaranya adalah:

1. Mereka yang meringkas kitab Shahîh al-Bukhâri :
• Jamaluddin Ahmad bin Umar al-Anshâri al-Qurthubi, wafat tahun 656 H dalam kitab Mukhtashar Shahîh al-Bukhâri

• Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdillathif asy-Syarji az-Zabîdi, wafat tahun 894 H dalam kitab at-Tajrîd ash-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi’ ash-Shahîh

• Abdullah bin Sa’ad bin Abi Jamrah al-Azdi, wafat tahun 675 H dalam kitab an-Nihâyah fi Bad`i al-Khair wal Ghâyah

2. Mereka yang mensyarah judul bab (Tarâjum al-Bâb), Diantaranya :
• Imam Nashiruddin Ahmad bin al-Munayyir dalam kitab al-Mutawâri ‘ala Tarâjum al-Bukhâri.

• Muhammad bin Manshûr bin al-Hamâmah al-Maghribi dalam kitab Fakku Aghrâdhi al-Bukhâri al-Mubhamah fil Jam’i bainal Hadîts wat Tarjamah

• Abu Abdillah ibnu Rasyid as-Sibti dalam kitab Turjamân at-Tarâjum

• Asy-Syâh Waliyullahi ad-Dahlawi dalam kitab Syarah Tarâjum Abwâb Shahîh al-Bukhari

3. Mereka yang mensyarah kitab Shahîh al-Bukhâri, diantaranya :
• Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Busti al-Khathâbi (wafat tahun 308 H) dalam kitab I’lâm as-Sunan

• Muhallab bin Abi Shafrah al-Azdi (wafat tahun 435 H) dalam kitab Syarh al-Muhallab

• Abu Abdillah Muhammad bin Khalaf al-Murâbith (wafat tahun 485 H) dalal kitab Mukhtashar Syarh al-Muhallab

• Ibnu Abdilbarr Abbu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdilbarr (Wafat tahun 463 H) dalam kitab al-Ajwibah ‘ala al-Masâ`il al-Musta’ribah Minal Bukhâri

• Abul Hasan Ali bin Khalaf bin Abdilmalik Ibnu Bathâl (wafat tahun 449 H) dalam Syarah Ibnu Bathâl

• Abu Hafsh Umar bin al-Hasan bin Umar al-‘Auzi al-Isybili (wafat tahun 460 H) dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri

• Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Karmâni wafat tahun 786 H dalam kitab al-Kawâkib ad-Darari

• Sirajuddin Umar bin Ali bin Ahmad Ibnu al-Mulaqqin wafat tahun 804 H dalam kitab Syawâhidut Taudhîh

• Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad al-halabi Sibthi ibni l’Ajmi wafat tahun 837 H dalam kitab at-Talqîh li Fahmil Qâri ash-Shahîh

• al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni wafat tahun 852 H dalam Fathul Bâri Syarhu Shahîh al-Bukhari

• Abul Hasan Ali bin Husein bin ‘Urwah al-Mushili wafat tahun 837 H dalam kitab al-Kawâkib as-Sâri fi Syarhil Jâmi’ ash-Shahîh lil Bukhâri

• Badruddin Abu Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-‘Aini wafat tahun855 H dalam kitab ‘Umdatul Qâri

• Syihabudin Ahmad bin Muhammad al-Khathîb al-Qusthalâni wafat tahun 923 H dalam kitab Irsyâdus Sâri

Demikian selintas perhatian Ulama terhadap kitab Shahîh al-Bukhâri. Semoga dapat memotivasi kita untuk mengenal lebih jauh dan mempelajarinya.
Wabillahitaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: http://almanhaj.or.id/