Friday, August 30, 2013

Keteladanan Nabi Yusuf Alaihissallam Dalam Menghadapi Godaan Wanita




Keteladanan Nabi Yusuf Alaihissallam Dalam Menghadapi Godaan Wanita


Oleh
Ustadz 'Ashim bin Musthafa


قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ﴿٣٣﴾فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Yusuf berkata: "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh. Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Yusuf/12:33-34]


PENJELASAN AYAT
• Kilas Balik Fitnah Wanita Yang Mengancam Nabi Yusuf Alaihisallam.
Setelah selamat dari lubang sumur dan berpindah-tangan ke pejabat besar Mesir, kemudian Nabi Yusuf Alaihissallam tinggal dalam kemewahan. Beliau ternyata diperlakukan dengan baik, bukan layaknya budak belian pada umumnya. Tatkala usianya menginjak remaja, ketampanan paras menjadi simbol yang melekat pada beliau. Dalam peristiwa Isra` Mi'râj, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya di langit tingkat ketiga dan beliau berkomentar: "Sungguh, ia diberi separuh ketampanan (penduduk dunia)".[1]

Ketampanan Nabi Yusuf Alaihissallam ini telah membuat istri majikannya terpikat, dan ia pun membuat rencana untuk memperdaya dan menjerumuskan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam perbuatan fâhisyah (perzinaan). Namun, Allah Subhanahu wa Ta’alamelindungi beliau dari perbuatan maksiat tersebut.

Berita tergodanya istri pembesar Mesir dengan budaknya menyebar sampai ke telinga-telinga kaum Hawa pada masa itu. Awalnya, mereka mencela istri pembesar Mesir atas kejadian tersebut. Akan tetapi, wanita istri pembesar Mesir tidak kurang akal. Ia menempuh sebuah cara supaya wanita-wanita itu membenarkan dirinya sehingga sampai terpikat dengan seorang remaja bernama Yusuf Alaihissallam .

Maka didatangkanlah wanita-wanita itu supaya menyaksikan sendiri ketampanan Nabi Yusuf Alaihissallam . Ternyata benar, mereka benar-benar tersihir oleh keelokannya. Bahkan mereka menganggapnya sebagai malaikat, lantaran sedemikian tampan paras beliau.

Keterpukauan dan kekaguman ini sampai mengakibatkan mereka tidak menyadari telah mengiris tangan-tangan mereka sendiri dengan pisau-pisau yang sengaja telah disediakan oleh istri pembesar Mesir, untuk membalas tipu daya wanita-wanita tersebut, yang sebenarnya juga memendam hasrat besar untuk menyaksikan keelokan wajah Nabi Yusuf Alaihissallam dengan mata kepala mereka sendiri. Bukan murni untuk mencela istri sang pembesar Mesir itu.

Selanjutnya, istri pembesar Mesir memberitahukan kepada para wanita yang hadir, mengenai kepribadian bagus yang tertanam pada diri Nabi Yusuf Alaihissallam . Yaitu, sifat 'iffah (ketangguhan untuk menjaga kehormatan diri), tidak sudi menyambut ajakan berbuat tidak senonoh. Karena penolakan itu, muncullah ancaman dari mulut wanita istri pembesar Mesir itu. Yakni dijeblosankannya Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam penjara dan hidup dalam keadaan terhina.

• Nabi Yusuf Alaihissallam Memohon Perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saat itulah Nabi Yusuf Alaihissallam berlindung diri dengan Rabbnya, dan beliau memohon pertolongan kepada-Nya dari keburukan dan tipu-daya.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ

(Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku).

Ini menunjukkan bahwa para wanita itu menyarankan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya patuh terhadap tuan putrinya, dan mengupayakan untuk memperdaya Yusuf Alaihissallam dalam masalah ini. Akan tetapi, Nabi Yusuf Alaihissallam lebih menyukai terkurung dalam penjara dan siksaan duniawi ketimbang kenikmatan sesaat yang akan mendatangkan siksaan pedih.[2]

Sekaligus, ayat di atas juga mencerminkan bahwasanya istri pejabat masih saja mendesak Nabi Yusuf Alaihissallam untuk mau menerima ajakannya, dan mengancamnya dengan penjara dan kurungan, bila menolak ajakan itu. Pasalnya, seandainya wanita itu tidak menekan dan melancarkan ancaman, maka mustahil membuat Nabi Yusuf Alaihissallam sampai mengatakan "Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku".[3]

Walaupun banyak kondisi yang sangat mendukung terjadinya perbuatan zina yang nanti akan dikemukakan satu-persatu, tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam lebih mengutamakan ridha dan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu juga kecintaan kepada-Nya, telah mendorongnya untuk memilih hari-harinya hidup di bui daripada berbuat zina. [4]

وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ

[Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)]

Jika Engkau (wahai Rabbku) menyerahkan pengendalian urusan ini kepada diriku sendiri, sesungguhnya aku lemah, tiada daya, tidak mempunyai kekuatan, tidak sanggup mendatangkan bahaya dan kemanfaatan kecuali dengan bantuan dan kekuatan-Mu. Engkaulah tempat memohon pertolongan, kepada-Mulah tempat sandaran, jangan Engkau serahkan pada diriku sendiri [5]

وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

(dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh).

Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan: "Dengan kecondonganku kepada mereka, aku akan menjadi orang-orang yang tidak mengetahui hak-Mu dan menentang perintah dan larangan-Mu"[6]

Penyambutan terhadap ajakan itu, menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa dan berhak menyandang celaan atau telah bertindak dengan perbuatan orang-orang yang tolol. Karena berarti lebih mengutamakan kenikmatan sesaat, dan akan sangat menyengsarakannya di akhirat kelak daripada kenikmatan abadi dan kesenangan yang beraneka macam di Jannatun-Na'im. Orang yang memilih ini daripada itu, apakah ada orang yang lebih bodoh darinya?[7] Dan berdasarkan ijma' para ulama, orang yang dipaksa berzina dengan ancaman penjara, tetap saja tidak boleh untuk melakukannya.[8]

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Ia mengetahui kalau dirinya tidak mampu menghindarkan diri dari ajakan itu. Seandainya Rabbnya tidak menjaga dan menyelamatkannya dari makar para wanita itu, atas dasar nalurinya akan condong kepada mereka dan termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh. Ini merupakan indikasi kesempurnaan ma'rifat beliau kepada Alllah dan dirinya (yang lemah)".[9]

Dengan ini, Nabi Yusuf Alaihissallam berarti telah mencapai kedudukan yang sempurna. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya perzinaan, seperti usianya yang remaja dan anugerah ketampanan dan kesempurnaan pribadi, digoda oleh majikan wanita, seorang istri pejabat Mesir yang juga berwajah elok, kaya dan berkedudukan, namun keadaan seperti itu tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi Yusuf Alaihissallam . Beliau lebih memilih hidup terhina dalam jeruji penjara daripada melakukan perbuatan buruk, karena belaiu takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladan berharap pahala dari-Nya.[10]

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menyebutkan rahasia Nabi Yusuf Alaihissallam dapat selamat dari keadaan genting tersebut. Yakni, (setelah taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), juga karena ilmu dan akal pikiran sehat yang mengajaknya untuk lebih mengutamakan kemaslahatan dan kenikmatan yang terbesar, serta lebih mengedepankan perkara yang kesudahannya terpuji.[11]

Artinya, ketika aspek jahâlah (kebodohan) membelenggu manusia, baik masih dalam taraf yang ringan ataupun sudah pekat. Hawa nafsu manusia selalu berbisik kepada obyek yang buruk-buruk, yang tidak bermanfaat lagi membahayakannya di hari esok. Demikian ini, lantaran sisi jahâlah (kebodohan) yang menguasai jiwa tersebut. Oleh karena itu, siapa saja yang mencermati Al-Qur`anul-Karim, maka akan berhenti pada kesimpulan bahwa faktor kebodohanlah yang menjadi pemicu terjadinya dosa-dosa dan maksiat. Tidak mengherankan bila Nabi Yusuf Alaihissallam , seperti yang diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alapada ayat di atas, akan menilai dirinya sebagai manusia bodoh jika menyambut ajakan wanita istri penguasa Mesir, majikannya. Nabi Yusuf Alaihissallam berkata: "Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata: "Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa, ia melakukannya karena dorongan unsur jahâlah (kebodohan pada dirinya, Red.)"[12]. Begitu juga Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafizhahullah mengatakan, al-jahlu (ketidaktahuan/tidak mengenal) Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, janji baik dan ancaman, serta tidak mengenal syariatnya merupakan penyebab terjadinya setiap kejahatan di dunia.[13] Banyak ayat yang menjelaskan pengertian yang sama (al-jahlu) dengan ayat di atas.

Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman saat menceritakan kaum Nabi Musa Alaihissallam.

قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ۚ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Bani Israil berkata: "Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". Musa menjawab : "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)". [al-A'râf/7:138]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ﴿٥٤﴾أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat(nya)?" Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". [an-Naml/27: 54-55]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ

Katakanlah:"Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?" [az-Zumâr/39:64].

Oleh sebab itu, siapa saja yang bermaksiat kepada Allah dan melakukan perbuatan dosa, maka orang itu adalah jâhil (bodoh), sebagaimana telah menjadi kenyataan yang dimaklumi oleh generasi Salafush-Shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya… [an-Nisâ`/4:17].

Makna bi jahâlah adalah kebodohan (ketidaktahuan) pelakunya terhadap akibat buruk dari perbuatannya, yang dapat mendatangkan kemurkaan dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia bodoh ditinjau dari segi ini. Kendatipun ia mengetahui (memiliki ilmu) kalau perbuatan itu memang diharamkan; kebodohannya terhadap pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kebodohannya terhadap dampak maksiat yang bisa mengurangi keimanan atau menghapuskannya.

Qatadah rahimahullah berkata,"Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkumpul, dan mereka memandang setiap perkara yang dengannya Allah didurhakai, berarti itu bentuk jahâlah (kebodohan), baik dikerjakan dengan sengaja maupun tidak."

As-Suddi rahimahullah berkata: "Selama seseorang masih bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti ia masih bodoh".[14]

• Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mengabulkan Permohonan Nabi Yusuf Alaihissallam .

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ

(Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf ) saat memanjatkan doa kepada-Nya.

فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ

(dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka): wanita itu masih saja bernafsu menggoda Nabi Yusuf Alaihissallam , dan ia menempuh segala cara yang mampu ia lakukan, tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam bergeming, dan membuatnya patah arang, dan Allah pun memalingkan tipu-daya mereka dari Nabi Yusuf Alaihissallam.

إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

(Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar): doa Nabi Yusuf Alaihissallam saat ia berdoa supaya Allah menghindarkannya dari tipu daya kaum wanita, dan doa setiap makhluk-Nya (lagi Maha Mengetahui), keinginan dan kebutuhan Nabi Yusuf Alaihissallam dan setiap hal yang dapat memperbaiki kondisinya serta mengetahui kebutuhan seluruh makhluk, dan hal-hal yang dapat memperbaiki keadaan mereka[15]. Ini merupakan wujud pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’alakepada Nabi Yusuf Alaihissallam dari fitnah yang menghimpit dan berat ini.[16]

Mengapa disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alamemperkenankan doa Nabi Yusuf Alaihissallam , padahal tidak ada doa yang muncul dari bibirnya, dan Nabi Yusuf Alaihissallam hanya memberitahukan jika penjara lebih disukainya daripada bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Jawabnya, lantaran dengan itulah Nabi Yusuf Alaihissallam menyampaikan pengaduan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aladan [Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)] mengandung makna permohonan doa Nabi Yusuf Alaihissallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’alauntuk menghindarkan dari makar para penggoda. Oleh karena itu, lantas Allah Subhanahu wa Ta’alamengabulkan doanya.[17]

Dalam konteks ini, sudah tentu Nabi Yusuf Alaihissallam masuk dalam kandungan hadits tujuh golongan yang meraih naungan Allah Subhanahu wa Ta’alapada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ (وفيه) وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ

Ada tujuh golongan, Allah akan menaungi mereka dengan naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali naungan dari-Nya. (Salah satunya disebutkan): Seorang lelaki yang diajak seorang wanita yang memiliki kedudukan dan paras elok (untuk berbuat zina), akan tetapi ia mengatakan: "Saya takut kepada Allah". [HR al-Bukhari dan Muslim].

WANITA, FITNAH PALING BERBAHAYA BAGI LELAKI
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kaum lelaki, bahwa fitnah wanita merupakan fitnah terberat yang dirasakan seorang lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalkan sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita. [HR al-Bukhari dan Muslim].

Bahkan sejumlah ulama menyimpulkan, bahwasanya makar dan tipu daya wanita lebih berbahaya dari pada tipu daya setan. Yaitu dengan membandingkan penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’alatentang tipu daya setan dengan tipu daya wanita dalam surat ini.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’alatentang tipu daya setan, (karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah) -an-Nisâ`/4 ayat 76- sedangkan mengenai tipu-daya wanita, Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman (Sesungguhnya tipu daya mereka itu sangat besar) -Yusuf/12 ayat 28. Komparasi ini menunjukkan bahwa tipu daya wanita lebih berbahaya daripada tipu daya setan.[18]

ALANGKAH DAHSYAT FITNAH YANG MENIMPA NABI YUSUF ALAIHISSALLAM[19]
Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menyampaikan betapa besarnya fitnah perzinaan yang menghadang Nabi Yusuf Alaihissallam . Banyak faktor yang dapat menjerumuskan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam lembah kenistaan, yang tidak pernah dijumpai oleh siapapun.

Penjelasannya sebagai berikut.
1. Naluri Nabi Yusuf Alaihissallam sebagai lelaki, beliau memiliki hasrat terhadap perempuan.

2. Status sebagai pemuda, yang umumnya memiliki rangsangan nafsu syahwat yang kuat. Terlebih lagi statusnya juga masih lajang, tanpa ataupun budak perempuan yang dapat dijadikan untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, sekaligus tak ada anggota keluarga yang membebaninya.

3. Ketampanan yang dimiliki Nabi Yusuf Alaihissallam menjadi sumber daya pikat yang sangat berpengaruh, sehingga menyebabkan wanita tertarik kepadanya.

4. Keberadaannya sebagai orang asing, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Kebiasaan orang yang bermukim di lingkungan sendiri akan merasa malu berbuat tidak senonoh. Khawatir bila perbuatan nistanya terbongkar, yang pada gilirannya kehormatannya pun bisa terpuruk di mata masyarakatnya. Akan tetapi, meski di tempat asing, Nabi Yusuf Alaihissallam tidak ternoda godaan.

5. Statusnya yang seperti mamlûk (budak belian). Seorang budak, ia sering keluar-masuk ke tempat majikan. Dia pun tidak terlalu memikirkan hal-hal yang dihindari oleh seseorang yang merdeka.

6. Si wanita penggoda memiliki status sosial tinggi, sekaligus rupawan.

7. Yang memulai menggoda adalah wanita itu, bukan Nabi Yusuf Alaihissallam . Sehingga hilanglah beban seorang lelaki untuk melancarkan jurus-jurus cinta untuk bisa merayu seorang wanita. Hilang pula perasaan takut ditolak wanita itu. Belum lagi agresivitas wanita tersebut dalam mendekati Yusuf Alaihissallam , yang berarti tindakannya itu bukan ditujukan untuk menguji ketahanan dan kesucian Nabi Yusuf Alaihissallam , tetapi benar-benar mengajaknya berbuat nista. Akan tetapi, Nabi Yusuf Alaihissallam bisa menjaga diri sehingga terhindar dari perbuatan yang menjijikkan.

8. Tempat kejadian berada di dalam rumah yang berada dalam kekuasaan pemilik, yaitu wanita penggoda tersebut. Sehingga ia leluasa dan mengetahui waktu-waktu yang sepi, hingga memungkinkannya melakukan perzinaan tanpa diketahui orang lain. Wanita itu pun melakukan ancaman bila hasratnya tidak dipenuhi, Tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam menghindar dan menolaknya.

9. Begitu pula wanita pemilik rumah telah mengunci pintu-pintu dengan rapat, untuk mengantipasi masuknya seseorang secara mendadak. Keadaan rumah benar-benar kosong kecuali Nabi Yusuf Alaihissallam dan wanita itu. Tetapi Nabi Yusuf Alaihissallam bergeming untuk tidak melakukannya.

10. Ketika gagal merayu Nabi Yusuf Alaihissallam , maka wanita istri pembesar itu mengundang kaum wanita lainnya, sehingga timbul opini untuk memojokkan Nabi Yusuf Alaihissallam.

11. Adapun suami wanita pembesar itu tidak terlalu memperlihatkan kecemburuan, sehingga memisahkan keduanya. Terhadap perbuatan nista istrinya, sang pembesar hanya meminta agar Nabi Yusuf Alaihissallam melupakan kejadian tersebut, dan menuntut istrinya untuk bertaubat. Padahal, kecemburuan seorang suami dapat menjadi penangkal yang tepat dalam kasus semacam ini, supaya tidak terulang di kemudian hari.

Walaupun sangat mencekam, Nabi Yusuf Alaihissallam tidak sudi menyambut ajakan wanita itu. Dia lebih mengutamakan hak Allah Subhanahu wa Ta’aladaripada hak majikan wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menjaga kehormatannya. Mengapa Nabi Yusuf Alaihissallam dikatakan berhasil menjaga kehormatannya, padahal Al-Qur`ân menyatakan kalau Nabi Yusuf pun memiliki keinginan.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَىٰ بُرْهَانَ رَبِّهِ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. [Yusuf/12:24]

Jawabnya [20], al hamm (keinginan) yang muncul dari beliau hanya sekedar khatharât (bisikan hati semata), yang kemudian ia singkirkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta’alamembalasnya dengan kebaikan. Sedangkan hasrat yang berkecamuk pada wanita itu adalah hamm ishrâr (hasrat yang terus-menerus). Dia mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya. Akan tetapi gagal. Jadi, dua keinginan yang ada pada Nabi Yusuf Alaihissallam dengan wanita itu berbeda.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Keinginan itu ada dua macam, hamm khatharât dan ishrâr. Hammul-khatharât tidak diperhitungkan sebagai dosa, dan hammul-ishrâr diperhitungkan sebagai dosa ".

Ringkasnya, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memberikan perlindungan kepada Nabi Yusuf Alaihissallam dengan berbagai faktor pendukung, sehingga beliau terhindar dari perbuatan nista tersebut. Faktor-faktor itu meliputi: ketakwaan kepada Allah, memperhatikan hak majikan yang telah memuliakannya, memelihara diri dari tindakan aniaya yang tidak akan membuat pelakunya selamat. Begitu juga, Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan anugerah berupa keteguhan iman, sehingga menghasilkan ketaatan untuk mengerjakan perintah-perintah dan menghindari larangan-larangan-Nya.

Substansi dari perlindungan itu, Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memalingkan Nabi Yusuf Alaihissallam dari keburukan dan perbuatan keji, karena ia tergolong hamba-Nya yang ikhlas kepada-Nya dalam beribadah. Allah juga telah mengikhlaskan hati, memilih dan mengistimewakannya bagi diri-Nya, mencurahkan kepadanya berbagai kenikmatan, dan menyelamatkannya dari berbagai keburukan. Dengan pemeliharaan Allah itu, ia pun menjadi insan pilihan-Nya.

كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih. [Yusuf/12:24].

Syaikhul-Islam rahimahullah berkata: "Seandainya Nabi Yusuf Alaihissallam telah berbuat dosa, niscaya akan bertaubat. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’alatidak menyebutkan kejadian dosa pada nabi kecuali disertai dengan taubat. Sedangkan (di sini), Allah Subhanahu wa Ta’alatidak menyebut masalah taubat. Sehingga dalam kasus yang dialaminya itu dapat diketahui, beliau q sama sekali tidak berbuat dosa. Wallahu a'lam". [21]

PELAJARAN AYAT
1. Nabi Yusuf Alaihissallam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta’aladarinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api.

2. Nabi Yusuf Alaihissallam memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun dibawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman.

3. Nabi Yusuf Alaihissallam memilih bahaya yang lebih ringan. Ini merupakan kaidah syar'iyyah yang telah dipakai oleh ulama-ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang lebih berat.

4. Menghuni penjara tidak selalu menjadi petunjuk bahwa orang itu berkelakukan buruk. Sebab, seperti dicontohkan, Nabi Yusuf Alaihissallam adalah kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang lebih baik.

5. Jika seorang hamba menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-faktor penggoda untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjau darinya.

6. Mewaspadai bahaya khalwat, Yaitu berduaan dengan wanita (laki-laki) asing, yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Juga, harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan memantik bahaya.

7. Hasrat yang muncul pada Nabi Yusuf Alaihissallam terhadap wanita tersebut, yang kemudian ia singkirkan karena Allah, menjadi salah satu tangga yang mengangkatnya kepada Allah menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya.

8. Seorang hamba, seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat, kemudian berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya.

9. Seseorang tidak terpelihara dari maksiat kecuali karena pertolongan dari Allah Azza wa Jalla .

10. Allah tidak akan menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang hamba yang muhsin.

11. Seseorang yang sudah tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah pada semua perbuatannya. Allah Subhanahu wa Ta’alaakan menyingkirkan berbagai kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman dan keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allah Subhanahu wa Ta’alatelah berfirman, yang artinya: Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

12. Kisah ini menunjukkan keindahan batin Nabi Yusuf Alaihissallam , yaitu sifat iffah (penjagaan kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat.

13. Sesungguhnya ilmu yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya kepada kebaikan dan menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan menjerumuskan seseorang selalu memperturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun merupakan maksiat yang berbahaya bagi pelakunya.

14. Kisah dalam ayat ini memperlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jahil).

Maraji`:
1. Al-Qur`ân dan Terjemahannya, Cet. Mujamma' Malik Fahd, Madinah.
2. Ad-Dâ` wad-Dawâ`, Imam Ibnul-Qayyim, KSA, Cet. III, Th. 1419 H – 1999 M.
3. Adhwâul-Bayâni fi Idhâhil-Qur`âni bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi, Maktabah Ibni Taimiyyah, Kairo, Mesir, 1415 H - 1995 M.
4. Ahkâmul-Qur`ân, Abu Bakr Muhammad bin 'Abdullah (Ibnul-'Arabi), Tahqiq: 'Abdur-Razzâq al- Mahdi, Dârul-Kitâbil 'Arabi, Cet I, Th. 1421 H – 2000 M.
5. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah 'Ulum wal-Hikam, Madinah.
6. Al-Jâmi li Ahkâmîl-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqiq: 'Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-'Arabi, Cet. IV, Th. 1422H - 2001M.
7. Asbâbu Ziyâdatil-Imân wa Nuqshâni, Prof. Dr. 'Abdur-Razzâq bin Abdul-Muhsin al-'Abbâd, Penerbit Ghirâs, Cet. III, Th. 1424 H - 2003 M.
8. Ithâful Ilf bi Dzikril-Fawâidil-Alfi wan-Naif min Sûrati Yûsuf q , Muhammad bin Mûsa Alu Nashr dan Salîm bin 'Id al-Hilâli, Maktabah ar-Rusyd, Cet. I, Th. 1424 H - 2003 M.
9. Jami'ul-Bayân 'an Ta`wîl Ay Al-Qur`ân, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cet. I, Th. 1423 H – 2002 M.
10. Ma'âlimut-Tanzîl, Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad 'Abdullah an-Namr, 'Utsmân Jum'ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy Dâr Thaibah, Th. 1411 H.
11. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma'îl bin 'Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Riyâdh, Cet. I, Th. 1422 H - 2002 M.
12. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 'Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa'di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Pentingnya Memperhatikan Pendidikan Para Pemuda



Oleh
Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân.



Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Berpegang teguhlah dengan tali Allah. Ingatlah, kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan berpegang teguh dengannya. Bersyukurlah kepada Allah. Dengan bersyukur, niscaya kenikmatan itu akan senantiasa bertambah.

Masa muda merupakan masa keemasan, masa produktif. Masa yang paling gemilang untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya menuju akhirat. Sehingga Islam sangat memperhatikan kepada para pemuda. Demikian halnya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau sangat memberikan perhatian kepada para pemuda. Di antaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ

Tujuh orang yang akan dilindungi oleh Allah pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, (yaitu) pemimpin yang adil dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah. [Muttafqun alaihi].

Tanggung jawab untuk terbentuknya pemuda-pemuda tangguh dan generasi yang taat, itu merupakan kewajiban dan tugas yang besar di pundak para orang tua, agar mendidik anak-anaknya semenjak dini dengan pendidikan yang benar, yaitu pendidikan yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak-anak kalian agar menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya. [HR Abu Dâwud].

Hadits ini, meskipun berhubungan dengan mendidik anak dalam masalah shalat, akan tetapi, sesungguhnya mencakup pendidikan lainnya dari syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ibnu ‘Abbâs yang pada saat itu beliau masih kecil:

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

Wahai, anak kecil! Sesunguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia selalu di hadapanmu; apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya. [HR Tirmidzi].

Didiklah mereka dengan pendidikan Islam. Berilah para pemuda itu dengan pengarahan yang benar. Hendaklah orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya, sehingga menjadikannya sebagai qudwah hasanah.

Salah satu wasilah yang sangat membantu dalam membentuk kepribadian anak, adalah dengan membersihkan rumah-rumah kita dari berbagai sarana yang dapat membawa kepada kerusakan, sehingga seorang anak akan selamat dari berbagai penyelewengan, akan selalu terjaga fithrahnya, dan menjadi anak shâlih yang akan memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya; tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengumpulkannya bersama kedua orang tuanya di surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. [ath-Thûr/52 ayat 21]

Untuk mencapai kemuliaan yang agung ini, tentu membutuhkan kesabaran, perjuangan, dan perhatian yang besar dari para orang tua. Terlebih lagi pada zaman sekarang ini, berbagai fasilitas tersedia dan sangat mudah membahayakan akhlak dan kepribadian seorang anak. Pemuda pada zaman ini, ia bagaikan seekor kambing yang berada dalam kerumunan serigala yang siap menyantapnya.

Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa para salafush-shalih sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka berusaha menjadikan anak-anaknya sebagai penghafal Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para pengajar yang amanah. Bahkan tidak sedikit harta yang mereka keluarkan. Masa dan waktu yang panjang mereka luangkan. Semua ini, mereka korbankan demi mengharapkan tercapainya cita-cita, yaitu memiliki generasi yang taat kepada Allah. Mereka tidak membiarkan waktu-waktu yang ada kosong begitu saja menghiasi anak-anaknya, karena waktu yang kosong dapat berbahaya bagi seorang pemuda. Oleh karena itu, seorang pemuda yang memiliki kekuatan dan keinginan, harus memanfaatkan waktunya dengan kesibukan. Jagalah waktu mereka dengan sebaik-baiknya. Demikian pula, jangan memberikan kepada mereka harta yang berlebihan, tetapi berikanlah sesuai dengan kebutuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [al-Furqân/25:67].

Adapun para guru atau para pendidik, sesungguhnya mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak-anak kaum muslimin. Menjadikan mereka generasi Rabbani; generasi yang selalu berjalan di atas ketentuan Allah dan Rasul-Nya, generasi yang meneruskan perjuangan para sahabat, generasi yang siap mengemban dakwah Islam. Ajarkanlah kalimat tauhid, ajarkanlah sunnah-sunnah Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ajarkanlah akhlak mulia. Itulah tugas seorang guru yang merupakan tugas yang agung dan amanah yang besar.

Ketahuilah, sesungguhnya para musuh selalu berusaha merusak kepribadian pemuda Islam. Mereka selalu membuat makar untuk menjerumuskan para pemuda ke jurang kebinasaan. Para musuh Islam menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menjerumuskan kepada syahwat untuk merusak akhlak pemuda Islam, seperti obat-obat terlarang untuk merusak akal sekaligus badan, bahkan para musuh Islam menyusup melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran yang tidak sesuai dengan norma-norma Islam. Pelajaran yang mengandung kemaksiatan, bahkan kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tujuan utama para musuh itu ialah agar kaum muslimin berpaling dari ilmu Islam dan sibuk dengan ilmu-ilmu yang mereka inginkan. Itulah makar dan tipu daya musuh untuk menghancurkan kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. [al-Baqarah/2 : 105].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari makar dan tipu daya orang kafir dengan firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُون

Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. [al-Anfâl/8 : 36].

Akan tetapi, sungguh musuh-musuh Islam itu akan terkalahkan. Tetapi kapankah mereka dapat dikalahkan? Jawabanya, yaitu jika kaum muslimin tetap konsisten dengan perintah dan larangan Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berusaha menerapkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan mereka, dan selalu berhati-hati dengan makar mereka.

Anak-anak kaum muslimin adalah tumpuan untuk masa yang akan datang. Merekalah yang akan membawa panji Islam. Semua itu akan terwujud, apabila pendidikan yang benar dimulai semenjak dini, dan yang paling berperan ialah orang tua dan guru. Sungguh, generasi yang shâlih akan mendatangkan manfaat, khususnya bagi kedua orang tuanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila salah seorang meninggal maka akan terputus semua amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. [HR Muslim].

Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memegang amanah yang agung ini. jagalah anak-anak, para pemuda kita dari api neraka Jahannam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66 : 6].

(Diringkas dari al-Khutab al-Mimbariyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/

Wednesday, August 28, 2013

Dua Usaha Yang Tidak Bisa Bersanding




Dua Usaha Yang Tidak Bisa Bersanding


Saudaraku kaum muslimin ! Sesungguhnya aturan dalam syari'at Islam yang mulia ini telah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan memberi solusi terbaik untuk individu maupun masyarakat. Syari'at juga mengatur bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan Allâh, berintraksi dengan sesama. Semua aturan dan solusi yang dibawakan dalam syari'at ini tidak keluar dari batas kehalalan atau perkara mubah yang disyari'atkan, yang sentiasa menjaga hak-hak, memelihara kemaslahatan serta menyingkirkan bahaya dan kerusakan.

Sebagaimana Islâm mensyari'atkan aqidah yang benar dan ibadah mulia yang bisa menghubungkan seorang hamba dengan Rabbnya, jika dipraktekkan sesuai dengan petunjuk al-Qur’ân dan Sunnah; Islam juga telah menggariskan suatu manhaj yang lurus yang mengatur muamalah (intraksi) antara manusia. Sebuah manhaj yang diatur dengan kaidah-kaidah syar’i dan adab-adab yang harus dijadikan pedoman dalam bermu'amalah. Dengan demikian, tidak ada kekacauan, tidak ada tindakan zhalim, permusuhan, melampaui batas, merampas, menipu, mangkir dari hutang, berbuat curang dan berbagai tindakan buruk lainnya. Yang ada hanya keadilan, saling menghormati, jujur, transparan dan penjagaan terhadap hak-hak orang lain.

Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam surat an-Nisâ/4:29-30

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا﴿٢٩﴾وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali lewat perdagangan yang dilandasi rasa suka sama suka diantara kalian, dan janganlah kalian membunuh diri akalian. Seseunggunya Allâh Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan dzalim akan Kami masukkan dia ke neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allâh.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kalian makan harta diantara kalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan cara dosa padahal kamu mengetahui. [al-Baqarah/2:188]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah di Arafah :

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَلَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا (رواه مسلم)

Sesungguhnya darah kalian haram atas kalian seperti haramnya hari ini, di bulan ini dan di negeri ini [HR. Muslim dan yang lain-lain]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّبًا وإنَّ اللهَ تَعَالىَ أمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ, فَقَالَ : ﴿ يَأيُّهَا الرُسُلُ كُلُوا مِنَ الطَيِّبَاتِ وَ اعْمَلُوا صَلِحًا إنِّى بِمَا تَعْملُوْنَ عَلِيْمٌ ﴾ وَقَالَ :﴿يَأَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَ رَزَقْنَاكُمْ﴾ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَفَرَ, أشْعَثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلىَ السَمَاءِ يَا رَبِّ ! يَا رَبِّ ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَ غُذِيَ بِالحَرَامِ فَأنَّى يُسْتَجَابُ لِذَالِك

Sesungguhnya Allâh itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allâh memerintahkan kaum mukminin sebagaimana Allâh memerintahkan para rasul-Nya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca (firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya),“Wahai para Rasul ! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kaalian kerjakan”(al Mukminûn/23:51). Dan firman Allâh(yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ! Makanlah dari rejeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allâh, jika kamu hanya beribadah kepada-Nya”. (al-Baqarah/2:172). Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan tentang seorang yang sedang melakukan perjalan jauh, rambutnya kusut dan kakinya berdebu, ia menadahkan tangannya ke langit, dia berdo’a : "Ya Rabb… Ya Rabb.., Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia tumbuh dengan sesuatu yang haram, maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan ?! [HR. Muslim, no.1015]

Sudah merupakan kewajiban bagi seorang muslim ketika bermuamalah (seperti dalam jual beli, utang-piutang, gadai dan perniagaan) untuk berlaku sesuai dengan syari'at Allâh Azza wa Jalla . Karena semuanya telah diatur dalam syari'at kita. Betapa banyak orang yang tersesat karena membatasi pemahaman dien ini hanya dalam ibadah saja. Mereka memisahkan agama ini dengan kehidupan nyata dan dengan aturan-aturan dalam bermu'amalah. Sehingga mereka memberlakukan harta titipan Allâh Azza wa Jalla semaunya. Mereka tidak peduli, apakah harta mereka dari usaha halal atau haram ? Mereka berusaha tidak menjauhkan diri dari muamalah atau cara-cara yang haram dalam memperoleh harta. Cinta dunia telah menguasai jiwa mereka. Mereka terfitnah dengan harta. Mereka tinggalkan agamanya demi meraih dunia yang sangat sedikit. Na'udzubillah. Mereka lupakan kewajiban mempertanggungjawabkan amalan dihadapan Allâh Azza wa Jalla . Mereka tidak takut resiko buruk kelakukan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ

.. Dan orang-orang yang zhalim akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali. [Asy Syu’arâ/26:227]

Sesungguhnya baik dan buruknya usaha yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan pengaruh yang sepadan pada diri pelaku sendiri, jika baik maka baik pengaruhnya begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan :

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap daging yang tumbuh dari yang tidak halal, maka neraka yang lebih utama baginya. [HR. Ahmad 3/321, Tirmidzi, no. 614, Ibnu Hibbân, no. 1723, dan Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabîr, 19/136 dari Jâbir bin Abdullâh dan Ka’ab bin ‘Ujrâh Radhiyallahu anhuma]

Imam Ahmad rahimahullah juga Baihaqi rahimahulla dalam Syu’abul Iman membawakan riwayat dengan sanad hasan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَلاَيَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرامٍ فَيُنفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ وَلاَيَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إلاَّ كاَنَ زَادَهُ إلى النّارِ إنَّ اللّهَ لاَ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالسَّيْءِ وَلكِنْ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالْحَسَنِ إنَّ الْخَبِيْثَ لاَ يَمْحُوْ الْخَبِيْثَ

Tidak ada orang yang memperoleh harta dengan cara haram lalu diinfakkan kemudian diberkahi, atau disedekahkan lalu diterima sedekahnya, tidak juga ditinggal mati melainkan hanya akan lebih mendekatkan dirinya ke neraka. Sesungguhnya Allâh tidak menghapus keburukan dengan keburukan, akan tetapi Allâh menghapus keburukan dengan kebaikan. Sesungguhnya kejelekan tidak bias menghapus kejelekan [Musnad 1/387 dan Syu’abul Iman 5524].

Dengan ini kita tahu bahwasa bisnis dan muamalah yang haram merupakan penyebab keburukan, kekacuan dan fitnah di dunia serta adzab di akhirat kelak. Layakkah seorang muslim yang mendengar ancaman ini dan mengetahui bahayanya kemudian ia tidak peduli dengan usahanya ? Jika ya, maka disamping menunjukkan agama orang itu kurang juga merupakan cacat dan ketidakmampuannya untuk merenung.

Imam Bukhâri rahimahullah dalam shahihnya meriwatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh bersabda :

يَأتِي عَلَى النَاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أمِنَ الْحَلاَلِ أمْ مِنَ الحَرَامِ

Akan datang satu zaman kepada manusia. Saat itu orang sudah tidak peduli lagi dari mana mereka mengambil hartanya? Apakah dari hasil yang halal atau yang haram ? [HR. Bukhâri, no. 2059]

Perhatikanlah sekitar kita ! Bisnis haram dan usaha kotor begitu banyak dan mudah didapatkan bahkan mendominasi. Sehingga banyak kaum muslimin terjebak. Mereka berusaha meraih harta dengan cara menipu atau mengkhianati tugas yang dibebankan dipundaknya. Misalnya, seorang pegawai yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya atau bahkan mangkir dari tugasnya. Pegawai seperti ini berarti telah mengkhianati amanah yang dibebankan kepada dirinya. Pada saat yang sama berarti dia membiarkan dirinya terancam mengkonsumsi suatu yang haram yaitu gaji dari tugas yang tidak dia kerjakan. Bahkan terkadang dengan tanpa malu dia menerima uang sogok. Sekali lagi ini merupakan penipuan terhadap kaum Muslimin dan pengkhianatan terhadap pemimpin.

Contoh lainnya, seorang pedagang yang berbisnis dengan cara riba, utang-piutang yang diharamkan, menyembunyikan cacat barang saat berjualan, mengurangi takaran atau timbangan, atau berbisnis barang haram, seperti alat-alat musik, narkoba, khamer dan lain sebagainya.

Demikian juga orang yang menzhalimi para pekerja atau pembantunya, dengan menunda-nunda pembayaran gaji, apalagi kemudian tidak memberikan mereka gaji sama sekali.

Termasuk juga orang-orang yang berkecimpung dalam perjudian, lotre dan asuransi yang bathil. Juga orang-orang yang menumpuk harta dengan cara merampas, menipu atau berbohong, baik membohongi individu atau instansi resmi pemerintah.

Semua yang disebutkan adalah secuil dari sekian banyak contoh perilaku haram disekitar kita yang tidak mampu disebutkan oleh lisan karena malu kepada Allâh Azza wa Jalla . Namun amanah lidah yang dibebankan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada kita menuntut kita memberikan peringatan kepada seluruh kaum Muslimin agar menjauhi berbagai praktek haram ini.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing langkah-langkah kita sehingga kita tidak terjerumus dalam kubangan praktek dan bisnis haram.

Praktek haram ini tidak hanya terjadi dalam bidang bisnis, bahkan –na'udzubillah- terjadi juga di lembaga yang mestinya menjadi penegak hukum. Ya, itulah lembaga peradilan. Akhir-akhir ini sering kita dengar atau baca tentang kisruh yang melanda lembaga-lembaga itu, akibat ulah-ulah para pengkhianat amanat dalam merekaya kasus demi memenangkan pihak-pihak tersalah namun berkantong tebal. Hasrat mereka untuk menegakkan hukum takluk dan bertekuk lutut pada kerakusan jiwa terhadap materi. Mereka tertipu dengan kilauan harta yang digambarkan setan. Nas'alullah 'afiyah. Semoga Allah melindungi kita dari segala tindakan yang bisa merugikan kaum Muslimin atau merampas hak-hak mereka.

Hendaknya kita senantiasa menanamkan ketaqwaan dalam diri kita didalam melakukan segala tindakan.

Wahai kaum Muslimin yang menjadi pedagang ! Hendaklah kalian berlaku jujur kepada Allâh Azza wa Jalla dan juga kepada manusia. Jauhilah segala tindak kedzaliman dan penipuan kepada manusia. Alangkah beruntung dan berbahagianya orang memliki usaha baik dan halal ! Dan alangkah celaka orang-orang yang badannya tumbuh dari suatu yang haram. Hendaklah mereka segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semoga Allâh Azza wa Jalla berkenan menerima taubat kita semua.

Kalau kita ingin selamat dari murka Allâh Azza wa Jalla , maka hendaknya kita berusaha melepaskan dan membebaskan diri kita dari segala hak-hak orang lain yang pernah kita zhalimi sebelum ajal datang menjemput. Jika ajal sudah menjemput sementara hak-hak itu belum sempat kita serahkan, maka hanya penyesalan akan mendera kita. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَاَنَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأخِيْهِ, مِنْ مَالٍ أوْ عِرْضٍ فَليَأتِِهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْ قَبْلِ أنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ, وَ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ فَإنْ كَانَتْ لَهُ حَسَنَاتٌ أخِذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لِصَاحِبِهِ وَ إلاّ أخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang pernah berbuat kedzaliman kepada saudaranya pada harta atau kehormatannya, maka hendaklah ia bergegas mendatanginya lalu meminta dihalalkan sebelum nyawanya dicabut. Ketika itu dinar dan dirham sudah tidak ada lagi. Apabila ia memiliki kebaikan maka kebaikan itu akan diambil dan diserahkan kepada orang yang ia dzalimi. Jika tidak memiliki kebaikan, maka keburukan orang yang ia dzalimi akan diambil kemudian dibebankan kepadanya (pelaku kezhaliman). [HR. Bukhâri, no. 2449, 6534 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu])

Kita berdo'a kepada Allâh, semoga Allâh menganurahkan rizki yang halal kepada kita semua. Ya Allah, cukupkanlah kami dengan rizki yang halal dari-Mu dan jadikanlah kami tidak butuh pada yang haram.

Wahai kaum Muslimin, hendaknya kita senantiasa bertaqwa kepada Allâh dan selalu berpegang teguh dengan syari'at-Nya yang full dengan kebaikan. Hendaknya kita memperhatikan halal dan haram. Jika kita mendapatkan kesulitan, maka hendaknya kita bertanya kepada para Ulama. Hendaknya kita menjauhi perkara-perkara yang syubhat (yang belum jelas hukumnya) apalagi yang haram.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِعهِ وَمَنْ وقَعَ فِي الشُّبْهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang menjauhkan dirinya dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus kedalam perkara yang syubhat, maka ia terjerumus dalam perkara yang haram.[HR.Bukhâri, no. 52; Muslim, no. 1599 dari Nu’mân bin Basyîr Radhiyallahu anhu]

Hendaklah kita mnghiasi diri kita dengan sifat jujur dan amanah dalam setiap perbuatan dengan landasan ikhlas kepada Allâh, agar apa yang kita dapatkan menjadi halal. Karena harta halal akan mendatangkan barakah bagi kita, keluarga dan masyarakat. Ingatlah, pada tiap rupiah yang kita hasilkan itu akan ada pertanyaan yang mesti kita jawab, darimana kita memprolehnya dan dibelanjakan untuk apa ? Marilah kita berlaku jujur dalam segala aktifitas. Semoga Allah k menggolongkan kita kedalam para hamba-Nya yang berbahagia dan beruntung di dunia dan akhirat.

(Diangkat oleh ustadz Raditya dari Kaukabah, al-Khutabul Muniifah, hlm.317)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MEWASPADAI FITNAH (UJIAN) DI ZAMAN MODERN

Oleh
Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh Al Fauzân


Sudah menjadi fithrah manusia, jika mengalami atau tertimpa suatu musibah, maka dia akan berusaha menyelamatkan diri dengan segala cara yang mungkin dilakukannya. Namun, ada juga sebagian orang yang pasrah, berputus asa dan tidak mau mencari jalan keluar, akhirnya kebinasaan menjadi pungkasannya. Ada juga yang tidak menyadari dirinya sedang dalam musibah, sehingga tidak tergerak untuk mencari solusi, akhirnya penyesalan pun tak terelakkan.

Pada saat ini, banyak sekali bahaya yang mengintai kita sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang fitnah akhir zaman. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul yang penuh kasih sayang kepada umatnya, tidak hanya memberitahukan tentang fitnah ini saja, tapi juga memberitahukan solusinya. Al-Qur'ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan solusi yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau tidak, kesengsaraan mesti akan menimpa. Allâh Azza wa Jalla befirman :

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى ﴿١٢٣﴾ٰ وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ

Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia, "Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?" Allâh berfirman, "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, lalu kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". [Thaha/20:123-126]

Kini, fitnah-fitnah itu sudah banyak sekali disekitar kita, siap menerkam siapa saja yang lalai. Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa waspada dan menjaga diri.

Diantara ujian-ujian itu adalah ujian harta. Diriwayatkan dari Ka'ab bin 'Iyadh Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya masing-masing umat itu ada fitnahnya dan fitnah bagi umatku adalah harta [HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibni Hibbân dalam shahihnya]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Demi Allâh ! Bukan kefakiran yang saya khawatirkan atas kalian, namun yang saya khawatirkan adalah kalian diberi kemakmuran dunia sebagaimana pernah diberikan kepada umat sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka. Sehingga akhirnya dunia menyebabkan kalian binasa sebagaimana mereka. [HR. Bukhâri dan Muslim]

Harta itu ujian dari semua sisi. Dimulai saat mengumpulkan dan mengembangkannya, kesibukan ini sering melalaikan seseorang dari beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Juga kegemaran menumpuk harta yang tidak pernah bisa mencapai titik klimaks, diperparah lagi dengan prilaku menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisinya. Harta juga menjadi fitnah atau musibah bagi yang empunya saat harta dibelanjakan di jalan yang tidak dibenarkan syari'at atau enggan mengeluarkan zakat yang menjadi kewajibannya. Akibatnya, berbagai keburukan pun bermunculan akibat harta.

Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang suatu masa, saat itu manusia tidak lagi peduli dengan cara apa dia menghasilkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah haram ! [HR. Bukhâri]

Diantara ujian yang juga ada pada saat ini yaitu keburukan yang datang melalui media elektronik dan media cetak. Karya tulisan menyesatkan, foto dan gambar wanita dengan dandanan seronok, nyanyian pembangkit nafsu syahwat, pentas yang sering membuat suatu keburukan menjadi tidak jelas bahkan membalikkan fakta, yang buruk dianggap bagus dan indah, semuanya ada di media. Terkadang suatu yang tidak pantas ikut serta ditayangkan, seperti cara mencuri atau aksi kriminal lainnya. Semua keburukan ini ditayangkan di berbagai channel tv, baik dalam maupun luar negeri dan dengan mudah bisa diakses lewat internet. Sehingga betapa sedih hati dan tercabiknya hati kita ketika mendengar berbagai perbuatan kriminal yang dilakukan oleh para pelajar yang bahkan diantara mereka sangat muda belia dan seakan tidak bisa dipercaya kalau dia melakukan kriminalitas yang seharusnya hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa.

Sebagian orang, na'udzu billah, merasa tidak cukup dengan berbagai keburukan di atas, dia menambahkannya dengan membeli atau menyewa kaset CD film porno yang sangat tidak layak lalu diputar di tengah keluarganya. Tidakkah dia tahu keburukan di sekitarnya sudah begitu banyak meski dia tidak menghendaki keburukan itu datang ke rumahnya ? Ataukah dia merasa keburukan itu belum lengkap ? na'udzu billah. Dimanakah rasa cemburu itu dicampakkan ? Tidakkah para penyebar keburukan ini takut ketika mereka dimintai pertanggungjawaban atas beragam keburukan yang diakibatkan keburukannya ? Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada kita semua untuk tetap istiqamah di atas jalan yang telah tetapkan syari'at.

Saat ini, betapa banyak rumah kaum Muslimin yang seharusnya bersinar dengan dzikrullah justru hampa darinya. Rumah-rumah itu menjadi tempat yang di senangi setan dan di jauhi para Malaikat pembawa rahmat. Bahkan ada yang lancang mengundang para pemuda untuk serta begadang, pentas atau menghidupkan budaya yang bertentangan dengan nilai agama.

Ini merupakan fitnah besar yang menimbulkan kekhawatiran yang harus kita waspadai. Kita wajib menjaga anak-anak kita agar tidak terjebak dalam perangkap setan. Hendaklah kita senantiasa memohon pertolongan kepada Allâh agar kita diberik kekuatan dan kesabaran.

Diantara ujian yang juga sangat mengkhawatirkan pada zaman ini yaitu fitnah yang ditimbulkan kaum wanita. Dalam hadits yang diriwayatkan Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِِِِِِِِِِّسَاء
ِ
Saya tidak meninggalkan satu fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain (ujian) wanita [HR. Bukhâri dan Muslim]

Ujian yang diakibatkan prilaku kaum wanita pada masa ini semakin parah, karena prilaku sebagian wanita yang tidak merasa malu sema sekali. Dengan dalih mengikuti perkembangan zaman, mereka mengenakan pakaian tipis nan ketat, sehingga bentuk anggota tubuh mereka nampak dengan jelas.

Ada juga yang berdalih untuk menambah penghasilan, semua dilakukan tanpa memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan syari'at. Akibatnya, bukan kebaikan yang timbul namun sebaliknya. Berbagai media massa, sekan tidak pernah sepi dari perbuatan kriminal akibat dari ujian ini. Tidakkah kita mau mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa menyedihkan ini ? Akankah kita membiarkan diri kita, saudara atau keluarga kita terjebak dalam ujian ini ?

Diantara ujian yang juga harus diwaspadai adalah ujian yang merupakan efek negatif dari era informasi. Arus informasi yang lancar dan cepat menjadikan batas antar Negara seakan tidak ada. Suara dan gambar bisa ditransfer dalam hitungan detik. Banyak faidah yang bisa kita ambil darinya. Namun kita tidak boleh lengah, karena setan dan musuh-musuh Allah tidak pernah tinggal diam. Mereka akan memanfaatkan semua fasilitas modern ini untuk menyebarkan keyakinan rusak dan kebiasaan buruk mereka serta untuk menjaring mangsa. Semoga Allah Azza wa jalla menjaga kita dan keluarga kita dari segala keburukan yang disebarkan oleh setan dan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla itu.

Namun ujian yang paling besar dan paling berbahaya bagi kaum Muslimin yang selalu kita waspadai yaitu ujian dajjal yang akan datang menjelang hari kiamat. Maka hendaklah kita senantiasa waspada dan menjaga diri serta keluarga kita. Hendaklah kita memperbanyak do'a kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa menjaga kita dari keburukan berbagai fitnah ini.

الم ﴿١﴾ أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi ? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allâh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. [al-Ankabut/29:1-3]

(Diangkat dari Al-Khuthab Al-Minbariyah, Shâlih Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzân, 2/415)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SIFAT-SIFAT ORANG-ORANG KAFIR

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad al-Qâsim



Allâh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk dengan qudrah-Nya, kemudian dengan anugerah-Nya, Allah Azza wa Jalla memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan dengan keadilan-Nya, Allah Azza wa Jalla menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya. Semua ini tertulis pada lauhul mahfûdz. Allâh berfirman :

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allâh Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” [at-Taghâbun/64 : 2]

Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan jalan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan serta orang-orang yang celaka. Allah Azza wa Jalla memuji para hamba yang bertakwa dan mencela orang-orang kafir. Allah Azza wa Jalla juga mengingatkan para hamba-Nya agar tidak latah meniru sifat-sifat orang kafir. Dalam al-Qur’ân banyak penjelasan tentang perbuatan dan keyakinan rusak orang-orang kafir serta perangai dan sifat-sifat mereka yang buruk. Diantaranya, mengingkari hari kebangkitan dan menganggapnya mustahil, tidak beriman kepada takdir, mengeluh dan berkeluh kesah ketika tertimpa musibah, tidak punya harapan kepada Allah Azza wa Jalla , dusta, sombong, berpaling dari ayat-ayat-Nya, hati mereka penuh hasad (rasa iri) terhadap kaum Mukminin yang telah mendapatkan nikmat iman dan mereka berharap nikmat iman itu sirna dari kaum Muslimin. Hasad inilah yang mendorong mereka berusaha menyesatkan orang beriman. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).[an-Nisâ/4:89]

Tak henti-hentinya, orang-orang kafir membuat makar dan menipu kaum Muslimin, berusaha mencelakakan dan merampas kenikmatan dari kaum Muslimin. Mereka berpura-pura amanah, berprilaku dan berperangai terpuji supaya bisa mengambil manfaat dibalik semua ini. Namun, Allah Azza wa Jalla membongkar kedok mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang yang di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” [Ali Imrân/3:118)]

Membungkus kedustaan dengan kejujuran, khianat dengan amanah, sering membela kebatilan dan menyembunyikan kebenaran. Meski tipu daya mereka terhadap kaum Muslimin sangat luar biasa, namun Allah Azza wa Jalla tidak akan tinggal diam. Allah Azza wa Jalla pasti akan menghancur leburkan tipu daya mereka serta akan merendahkan dan menghinakan mereka.

Allah melarang rasul-Nya mentaati orang-orang kafir. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ

Hai Nabi, bertakwalah kepada Allâh dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. [al-Ahzâb/33:1]

Karena ilmu mereka hanya sebatas dunia. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah mengatakan, "Seluruh amalan dan urusan orang kafir pasti ada cacatnya sehingga manfaatnya tidak pernah maksimal.” Orang-orang kafir tidak tahu menahu ilmu akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [ar-Rûm/30:7]

Mereka hidup penuh kebingungan dan kebimbangan. Tujuan yang selalu mereka kejar dalam hidup hanya sebatas bersenang-senang, makan dan minum, tanpa peduli halal dan haram.

Orang-orang kafir itu selalu menghalangi perbuatan baik, tidak bisa berterima kasih dan mengkonsumsi barang haram. Allâh berfirman :

يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ

Mereka mengetahui nikmat Allâh, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir. [an-Nahl/16:83]

Mereka hidup dalam kegelapan, kesesatan serta hanya memperturutkan hawa nafsu. Anggota tubuh yang mestinya merupakan sarana menggapai hidayah sudah tidak berfungsi lagi. Hati mereka mati, telinga mereka tuli dan mata mereka buta, tidak mau mendengar dan melihat kebenaran. Setan menggiring mereka untuk selalu bermaksiat dan mencari kesenangan-kesenangan nafsu sesaat. Sehingga apa yang mereka lakukan seperti debu yang berterbangan. Amal kebaikan mereka tidak berguna. Di dunia mereka letih dan di akherat mereka akan merintih tersiksa. Allâh tidak mencintai mereka bahkan Allah Azza wa Jalla mengkhabarkan bahwa Dia musuh orang-orang kafir. Jika Allah Azza wa Jalla benci terhadap seorang hamba, Dia memanggil malaikat Jibril Alaihissallam, “Wahai Jibril sesunggunya Aku benci kepada Fulan, maka bencilah dia ! Dan Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru seluruh penduduk langit bahwa Allah Azza wa Jalla membenci Fulan, maka bencilah dia ! Maka penghuni langit pun membencinya. Kemudian ditetapkan baginya kebencian di muka bumi.” [HR. Bukhâri dan Muslim]

Jiwa orang kafir menjerit pedih akibat dosa-dosa yang telah ia perbuat dan karena jauh dari Allah Azza wa Jalla , dadanya terasa sesak serta tidak pernah merasakan manisnya iman. Laknat dan murka menimpa mereka. Mereka adalah makhluk Allâh yang paling buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98 : 6]

Kematian seorang kafir akan menimbulkan ketenangan dan ketentraman bagi penduduk dunia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika melihat rombongan membawa jenazah :

الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

Hamba yang beriman akan istirahat dari keletihan dan derita dunia menuju rahmat Allah sementara hamba yang fâjir (bergelimang maksiat, jika dia mati-red) maka manusia, negeri, pepohonan dan binatang melata akan terbebas dari keburukannya [HR. Bukhâri]

Pada hari kiamat, orang-orang kafir akan dibangkit untuk dihisab dengan wajah hitam pekat, berdebu serta bermuka masam. Kedua mata mereka terbelalak karena terperangah kaget dan takut; leher mereka terikat dengan rantai sebagai balasan yang setimpal.

Inilah ini sebagian dari sifat-sifat buruk orang-orang kafir beserta balasan yang akan mereka terima. Keburukan yang bertumpuk-tumpuk tanpa henti, maka hendaklah kita berhati-hati dan tetap menjaga diri kita agar tidak terjerumus kedalam kekufuran. Kepedihan akibat dari sifat-sifat buruk mereka, hendaknya kita jadikan pelajaran berharga agar tidak mudah membeo prilaku mereka yang terkadang menipu dan tidak mudah mengamini ucapan-ucapan dan janji-janji manis mereka. Ingatlah sabda nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَادِرُوْا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ, يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا, وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا, يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا قَلِيْل

Bersegeralah melakukan amal shaleh sebelum datangnya fitnah seperti malam gelap gulita; pada pagi hari seseorang beriman dan sore harinya menjadi kafir, atau sore hari dia mu’min kemudian pada pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan sedikit dari dunia [HR Ahmad]

Dan hendaklah kita senantiasa waspada agar tidak terjebak arus mengikuti orang-orang kafir. Marilah kita senantiasa mengikuti jalannya orang-orang yang bertakwa. Shalat yang menjadi batas antara keimanan dengan kekufuran, batas antara keimanan dan kemunafikan, hendaklah senantiasa dijaga dan dilaksanakan dengan cara berjama'ah di masjid-masjid. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Pembatas antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, berarti dia telah kafir

Setelah mengetahui berbagai sifat buruk dan belasan dari keburukan yang dilakukan orang-orang kafir, mestinya kita berusaha maksimal menghindari sikap membeo dan meniru-meniru mereka. Generasi shahabat, tabi'in dan tabi'in yang merupakan generasi awal umat ini sekaligus generasi terbaik, hendaklnya kita jadikan panutan. Karena keserupaan atau kesamaan fisik bisa menyebabkan kesamaan atau keserupaan bathin. Oleh karena itu hendaknya kita berusaha menyerupai dan meniru generasi awal umat ini. Semoga agama dan akhlaq kita sedikit demi sedikit bisa meniru akhlak dan agama mereka. Sebaliknya, janganlah kita latah meniru dan menyerupai penampilan orang-orang kafir. Karena penyerupaan bisa menyeret kita untuk berperilaku buruk sebagaimana mereka, minimalnya akan menimbulkan rasa suka dan loyal kepada mereka, padahal mestinya kita bara' dari mereka dan perilaku buruk mereka. Sebagai insan yang beriman, kita wajib berusaha menyelisihi perilaku dan keyakinan orang kafir. Janganlah kita menjadikan mereka sebagai wali ! Bencilah mereka karena keyakinan mereka yang bathil ! Dan hendaknya kita bangga beragama Islam dan bersemangat untuk mendakwahi mereka kepada Islam.

Marilah kita tetap berusaha mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allâh semata ! Perbanyaklah memuji Allah Azza wa Jalla yang telah memberikan petunjuk kepada kita.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla , semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita agar tetap istiqamah dalam melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

(Diterjemahkan secara bebas oleh M. Syahid.Ridlo dari al-Khuthabul Minbariyyah, hlm. 62-67 karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad al-Qâsim (Imam dan khatib Masjid Nabawi).)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/

BAHAYA MENGGUNJING



BAHAYA MENGGUNJING

Oleh
Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid



Kami berwasiat kepada diri saya sendiri, dan juga kepada kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Dan barangsiapa yang takut kepada manusia, maka sesungguhnya, manusia tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun di hadapan Allah Azza wa Jalla . Kita juga harus menyadari, bahwa tidak ada yang bisa mendapatkan rahmat kecuali orang-orang yang bertakwa. Tidaklah mendapatkan pahala, kecuali orang-orang yang berada di atas ketakwaan.

Nasihat untuk bertakwa ini sangatlah banyak. Akan tetapi, betapa disesalkan, karena yang melaksanakannya ternyata sangat sedikit. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajak bicara akal, hati, perasaan dan jiwa, akhlak dan pendidikan. Agama yang mulia ini menggariskan adanya peraturan-peraturan agar seorang muslim dapat memiliki hati yang selamat, perasaan yang bersih, menjaga kehormatan lisan, dan menjaga rahasia pribadinya, serta dapat berakhlak mulia terhadap Rabb-nya, dirinya dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. [al Hujurat/49 : 12].

Pesan al Qur`an ini, merupakan jawaban atas fenomena yang kita lihat saat ini. Yakni, agar kita terhindar dari perbuatan ghibah (menggunjing), mencari-cari kesalahan orang lain. Karena menggunjing ini dapat menyebabkan terlanggarnya kehormatan, keselamatan hati dan ketenangan di masyarakat. Perbuatan menggunjing, merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan, merusak agama para pelakunya, baik sebagai pelaku ataupun orang yang rela ketika mendengarkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al Qur`an :

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al Hujurat/49 : 12].

Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah, yang semuanya disebutkan al Qur`an. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan.

Apabila yang Anda sebutkan tentang saudara Anda itu ada padanya, maka inilah ghibah. Apabila Anda menyampaikan semua yang Anda dengar, maka ini adalah ifku. Dan apabila yang Anda sebutkan tidak ada pada diri saudaramu, maka ini adalah buhtan.

Ghibah (menggunjing) adalah, setiap yang dapat dipahami dengan maksud penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini, juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi fisik, akhlak, harta dan keturunannya. Barangsiapa yang mencela ciptaan Allah, berarti ia telah mencela penciptanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.

Tentang bahaya menggunjing ini, al Hasan berkata : “Ghibah, demi Allah, lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh mayit”.

Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai ahlul haq dan ahlul iman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing), sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah Ta’ala mengingatkan :

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? [al Hujarat/49 : 12].

Seburuk-buruk ghibah, yaitu menggunjing para pemimpin, para ulama, orang-orang berkedudukan, orang-orang shalih, dan orang yang mengajak berbuat adil. Pelaku ghibah ini telah mencabik-cabik kehormatan orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan. Pelaku ghibah ini juga merendahkan kedudukan mereka, menghilangkan kewibawaan mereka, menghilangkan kepercayaan terhadap mereka, mencela perbuatan dan usaha mereka, dan meragukan kemampuan mereka.

Bayangkan, tidak disebut seorang yang mulia di hadapannya, kecuali direndahkannya. Tidaklah muncul seorang yang mulia, kecuali dicelanya. Tidak pula orang shalih, kecuali dia akan menuduhnya. Pelaku ghibah ini, senang menuduh orang-orang terpercaya, menggunjing orang-orang shalih. Pelaku ghibah menanamkan permusuhan dan membingungkan orang-orang kebanyakan, memutuskan silaturahmi dan memecah persatuan.

Allahu Akbar! Apakah seorang muslim layak bersikap demikian kepada saudaranya?

Wahai pelaku ghibah! Setiap orang pasti dicintai dan dibenci, diridhai dan dimarahi, disukai dan dimusuhi.

Orang yang berakal, dalam mencintai kekasihnya, ia tidak akan berbuat secara berlebihan; sebab, mungkin suatu hari orang yang dikasihinya tersebut akan dibencinya. Sebaliknya, manakala seorang muslim harus membenci, maka dia pun bersikap sewajarnya; sebab, mungkin suatu hari orang yang dibencinya akan menjadi kekasihnya. Oleh karena itu, jadilah orang yang selalu menegakkan kebenaran dan bersikap adil. Jangan sampai ketidak-sukaan membuatmu bersikap zhalim. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [al Maidah/5 : 8].

Jika dikatakan kepada Anda : “Fulan telah meggunjingmu, sampai kami merasa kasihan kepadamu”. Maka jawablah dengan perkataan : “Seharusnya, dialah yang seharusnya engkau kasihani”.

Bertakwalah kita kepada Allah. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan diri, tidak berlebihan dalam berbicara. Sungguh beruntung orang yang bisa menguasai lisannya. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari menggunjing orang lain, karena ia mengetahui yang ada pada dirinya. Sungguh beruntung orang yang berpegang dengan petunjuk al Qur`an, kemudian menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, lisan yang jujur, dan ikhlas mencintai saudaranya.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. [al Hasyr/59 : 10].

Kami mengingatkan kembali, hendaklah kita jauhi perbuatan ghibah atau menggunjing orang lain. Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah, ia mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Sehingga orang yang mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa, kecuali jika ia mengingkari dengan lisannya, atau dengan hatinya. Apabila bisa, hendaklah ia tinggalkan majelis atau tempat tersebut, atau memutusnya dengan mengalihkan kepada pembicaraan yang lain. Karena, orang yang diam ketika mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya. Sehingga Ibnu Mubarak mengingatkan: “Pergilah dari orang yang menggunjing, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.

Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kita jangan merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain. Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu! Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغِيبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah, maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka. [1]

وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Barangsiapa yang berkata tentang seorang mu`min yang tidak ada padanya, (maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia keluar dari apa yang dia ucapkan.[2]

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain), hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya.

(Diangkat dari Khuthbah Jum’at Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid, di Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


ZANADIQAH MENYELUSUP LEWAT SYI’AH

Oleh
Ustadz Abu Minhal



Dalam pembahasan mengenai aqidah, tak lepas dengan kata zindiq, terutama saat berbicara tentang kekufuran ataupun aqidah yang menyimpang. Pembicaraan tentang zindiq (jamaknya : zanadiqah) terasa begitu penting, karena berhubungan kuat dengan pemikiran-pemikiran Yunani kuno, Hindu dan Persia. Pengaruh-pengaruh buruknya mencengkeram pada sebagian golongan Islam begitu kental. Selain itu, dalam sejarah Islam, mereka juga merupakan provokator yang mengakibatkan pemberontakan.

Yang juga pantas untuk diwaspadai, kaum orientalis kafir (dan orang-orang yang membebeknya), telah melahirkan berbagai tulisan tentang mereka. Seperti biasanya, isinya sangat kontra dengan Islam. Oleh karena itu, pembelaan terhadap mereka (tokoh-tokoh zindiq) merupakan kandungan utama buku-buku tersebut.

ASAL KATA ZINDIQ
Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, kata zandaqah berasal dari bahasa Persia yang diserap bahasa Arab, setelah kemenangan Islam (atas mereka).[1]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan pula: “Para pengikut Zanadiqah (jamak dari zindiq) adalah para pengikut Daishan, Manni dan Mazdak. Muara aqidah mereka, cahaya dan kegelapan bersifat qadim. Kemudian bercampur jadi satu membentuk alam semesta. Orang yang jelek berasal dari unsur kegelapan dan orang yang baik berasal dari cahaya”[2].

Dalam Islam, kata zindiq dipakai untuk mewakili beberapa makna. Sebagian mengarahkannya kepada kaum Majusi, seperti tercantum pada beberapa kamus Arab, misalnya : Tajul ‘Arus dan Mukhtaru ash Shihah. Atau digunakan untuk menggantikan sebutan orang Dahri, sebagaimana terdapat di dalam Lisanu al ‘Arab (10/147). Sebagian lagi menyebutnya untuk makna orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Ibnul Qayyim rahimahullah menyinggung makna ini dalam Ighatsatu al Lahafan (2/246).

Sementara itu, menurut para fuqaha, zindiq adalah orang munafik.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Adapun kata zindiq yang disebut-sebut oleh para fuqaha, yang diterima taubatnya secara lahiriyah, yang dimaksud adalah orang munafik yang memperlihatkan Islam dan menyembunyikan kekufuran”.[3]

Begitu pula al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Kata zindiq diarahkan kepada orang yang menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan Islam. Sampai-sampai Imam Malik berkata,’Zandaqah merupakan kebiasaan yang ada pada kaum Munafiqin’. Demikian pula yang dikatakan oleh sejumlah ulama Syafi’iyyah dan lainnya, bahwa zindiq adalah orang yang memperlihatkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran”[4].

Generasi Salaf menyematkan kata zindiq kepada orang-orang dari Sekte Jahmiyah, seperti yang dilakukan oleh Imam ‘Utsman bin Sa’id ad Darimi rahimahullah dalam kitab ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, halaman 352 dan kitab ar Raddu ‘alal Bisyr al Mirrisi, halaman 475. Sedangkan Ibnul Jauzi, menggolongkan Zanadiqah sebagai salah satu sekte Jahmiyah dalam Talbisu Iblis, halaman 31. Imam Ahmad bin Hambal menilai golongan Mu’tazilah sebagai Zanadiqah. Sebagamana disebutkan dalam Manaqibu al Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi, hlm. 158, beliau berkata : “Ulama Mu’tazilah Zanadiqah”.

AQIDAH KAUM ZANADIQAH
Secara ringkas, dapat dijelaskan bahwa aqidah mereka menyimpan sekian banyak kekufuran yang sangat jelas dan riddah. Seperti pernyataan mereka tentang hulul, kultus individu, menyerupakan Allah dengan makhlukNya, pengingkaran kenabian Nabi Muhammad, kadang klaim kenabian pada mereka, pengingkaran terhadap hari Kiamat, pengingkaran terhadap Surga dan Neraka, menghalalkan hal-hal yang diharamkan.

Penjelasan secara lengkap dijelaskan di dalam al Farqu Baina al Firaq, karya Abdul Qahir al Baghdadi.

PENGARUH ZANADIQAH
Secara otomatis, lantaran sedemikian buruk aqidah yang mereka diyakini, maka pengaruh buruklah yang muncul atas kaum Muslimin. Mereka menyulut berbagai gejolak politik. Menghancurkan negeri-negeri dan penduduknya, seperti yang dilakukan oleh Qaramithah, Isma’iliyyah dan lain-lain. Sebagian golongan Islam pun telah tersusupi pemikiran Zandaqah, sehingga keluar dari Islam. Misalnya, para penganut Jahmiyah dan Syi’ah yang ekstrem.

Secara khusus, Jahm bin Shafwan sebagai tokoh Jahmiyah telah meninggalkan bekas-bekas kerusakan yang besar pada kaum Muslimin. Kesesatan tokoh ini lantaran terpengaruh dengan firqah Sumaniyah dari India, yang menyatakan tidak adanya Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad di dalam ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, halaman 65-66.

Ibnul Jauzi rahimahullah membeberkan sebagian pentolan Zanadiqah dengan bertutur: “Siapa saja yang menganalisa kondisi Ibnul Rawandi, maka akan menilainya sebagai orang mulhid. Ia telah menulis kitab berjudul ad Damigh (artinya penghancur). Dengan kitab ini, katanya, ia ingin melenyapkan syari’at. Maha Suci Allah, yang akhirnya membinasakannya saat ia masih berusia muda”.

Ibnu Rawandi mengklaim, bahwa al Qur`an mengandung kontradiksi di dalamnya, tidak menunjukkan ketinggian bahasanya. Penilaian seperti ini jelas keliru, sebab bangsa Arab dahulu (pada zaman Nabi) sampai keheranan dibuat berdecak kagum oleh keindahan gaya bahasa yang ada dalam kitab suci ini. Banyak dalil yang menjelaskan tentang keindahan dan ketinggian bahasa al Qur`an.

Tokoh Zanadiqah lainnya yang menunjukkan karakter mulhidnya adalah Abul ‘Ala al Ma’arri. Nampak jelas pada bait-bait syair karangannya yang menggambarkan tentang ilhad. Tokoh ini sangat memusuhi para nabi. Dalam kehidupannya, ia merasa terancam oleh hukuman bunuh, dan akhirnya mati dengan mengusung kerugiannya sendiri. [Lihat Talbisu Iblis, halaman 121-122.]

Perlu diketahui pula, golongan Syi’ah pun mempunyai peranan besar dalam penyebaran pemikiran kaum zindiq ini dan melakukan kerusakan di negeri kaum Muslimin. Kaum Zanadiqah menjadikan orang-orang Syi’ah sebagai kendaraan untuk memuluskan tujuan busuk mereka terhadap kaum Muslimin. Mereka memanfaatkan golongan Syi’ah untuk merealisasikan niat jahat mereka terhadap kaum Muslimin. Syi’ah dijadikannya sebagai kamuflase untuk menutupi jati diri mereka yang penuh kekufuran.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan : “Di antara mereka ada yang memasukkan kerusakan pada agama, yang tidak diketahui efeknya kecuali Allah, Pencipta manusia. Orang-orang mulhid dari kalangan Isma’iliyyah, Nushairiyyah dan sekte kebatinan lainnya serta kaum munafiqin, menyusup melalui mereka. Musuh-musuh kaum Muslimin, baik orang-orang musyrik, Ahli Kitab, melalui mereka dapat mencapai tujuan. Melalui merekalah, kaum kuffar berhasil menguasai daerah-daerah kekuasaan Islam, menawan para wanita muslimah, merampas harta-benda, menumpahkan darah. Sebab pada asalnya, kemunculan Zanadiqah di tangan kaum munafikin yang dihukum oleh Amirul Mukminin Radhiyallahu anhu. Beliau membakar sebagian dari mereka”. [Lihat Minhajus Sunnah (1/10-11)]

Di dalam kitab ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, al Imam ad Darimi mengatakan : “Ada seseorang berkata kepada satu orang zindiq –yang telah berinteraksi dan mengetahui arah pemikirannya- ‘Aku tahu kalian tidak akan kembali ke pangkuan agama Islam, dan tidak mengakui kebenarannya. Sebenarnya, apakah yang mendorong kalian untuk menjadi Syi’ah dan mengusung slogan cinta kepada Ali?’.”

Ia menjawab,”Baiklah, aku akan jujur. Apabila kami langsung memperlihatkan pemikiran yang kami yakini, sudah tentu kami akan dituduh dengan kekufuran dan zandaqah. Kami menjumpai segolongan orang yang mengusung slogan cinta kepada Ali dan menampilkannya. Mereka pun mencela siapapun yang mereka kehendaki, dan berkeyakinan dengan apa saja yang mereka inginkan. Mereka pun bebas berkata apapun. Mereka dikenal sebagai Rafidhah dan Syi’ah. Kami kemudian memandang, tidak ada jalan yang lebih mulus dari mengadopsi slogan cinta terhadap lelaki itu (‘Ali). Kami pun bisa berkata apa saja, berkeyakinan bebas dan mencela siapa saja yang kami inginkan. Bila kami disebut Rafidhah atau Syi’ah, lebih kami sukai daripada disebut sebagai orang-orang zindiq yang kafir. Padahal dalam pandangan kami, ‘Ali pun tidak lebih baik dari orang-orang yang kami cela.”

Al Imam ad Darimi mengomentari pernyataan ini dengan berkata: “Orang itu benar-benar jujur tentang dirinya, tidak mengada-ada. Itu sudah jelas dari pernyataan sebagian pembesar dan para ahlinya, mereka memanfaatkan kedok Syi’ah, menjadikannya topeng bagi ucapan dan kekeliruan mereka, tangga dan akses untuk memancing orang-orang yang lemah iman dan lalai”.

KEBIJAKAN BEBERAPA KHALIFAH DALAM MEMERANGI KAUM ZINDIQ
Demi melindungi agama dan kaum Muslimin, para khalifah benar-benar serius dalam menangani dan memadamkan gerakan Zanadiqah sampai akar-akarnya.

Contohnya, Khalifah ‘Ali Radhiyallahu anhu. Beliau mengambil kebijakan membakar mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari (Fathul Bari, 12/267). Juga Al Mahdi, salah seorang khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyah, ia terkenal dengan perhatiannya yang kuat terhadap persoalan ini. Al Mahdi menunjuk salah seorang untuk mengawasi kaum Zanadiqah.

Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 167 H : “Pada tahun ini, al Mahdi mencari-cari sekelompok orang dari Zanadiqah di seluruh penjuru negeri. Dia menghadirkan dan membunuhi mereka dalam keadaan terikat di hadapannya”.

Pesan ini pula yang ia sampaikan kepada putranya, yaitu Musa al Hadi, sebagai khalifah sepeninggalnya. Jejak ayahnya ia ikuti. Ibnu Katsir rahimahullah mengisahkan dalam peristiwa tahun 169 H : “Al Hadi berusaha mencari orang-orang zindiq di seluruh penjuru. Dia berhasil membinasakan mereka dalam jumlah yang banyak, persis seperti ayahnya”.

Pada tahun 311 H, seperti yang dikisahkan Ibnu Katsir juga, salah seorang khalifah yang bernama al Muqtadir membakar buku-buku orang-orang zindiq seberat kurang lebih 204 kg, termasuk karya al Hallaj. Kemudian, pada tahun 488 H, Ahmad bin Khaqan dibunuh. Sebabnya adalah, karena ia telah terbukti memiliki keyakinan Zanadiqah. (Lihat al Bidayah wan Nihayah, 11/148, 12/149).

Pada tahun 726 H, hari Selasa 21 Rabi’ul Awwal, Nashir bin asy Syarf Abu al Fadhl al Haitsi di penggal di pasar kuda, lantaran kekufurannya serta penghinaannya terhadap ayat-ayat Allah serta berteman akrab dengan orang-orang zindiq. Vonis matinya dihadiri para ulama, tokoh dan pembesar negara. Dia hafal kitab at Tanbih, dan suaranya merdu saat membaca al Qur`an. Dia pun seorang yang cerdas. Namun kemudian, ia lepas dari itu semua. Pembunuhannya menjadikan Islam semakin perkasa dan menciutkan nyali orang-orang zindiq dan ahli bid’ah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Aku menyaksikan eksekusinya. Syaikh kami, Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah termasuk yang hadir. Beliau sudah menghampiri dan menegurnya dengan tegas sebelum dieksekusi. Lalu ia dipenggal, dan aku melihatnya”. [Lihat al Bidayah wan Nihayah, 14/122-123].

Eksekusi ini merupakan jawaban terakhir bagi orang-orang zindiq. Tujuannya agar bumi ini bersih dari kotoran kekufuran Tetapi eksekusi semacam ini tidak boleh dilakukan oleh individu. Yang berhak melakukan eksekusi hanyalah penguasa.

Semoga Allah memperbaiki kualitas keagamaan kita, sehingga kita berlindung dari pemikiran yang sesat ini. Apalagi waktu-waktu belakangan, kemurtadan serta intervensi pemikiran Barat.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

(Diringkas dari Maqalata fi al Madzahabi wa al Firaq, karya ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Ali al ‘Abdul Lathif, Darul Wathan, Riyadh. Cetakan I, Th. 1413H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

HAK-HAK UKHUWWAH

Oleh
DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla , yang telah menjadikan kaum Muslimin bersaudara dan saling menyayangi, yang memerintahkan mereka agar saling tolong-menolong dalam kemaslahatan dunia dan agama. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang haq diibadahi kecuali Allah Azza wa Jalla, tiada sekutu bagi-Nya’ Dan aku bersaksi bahwa Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga keselamatan tercurahkan kepadanya, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla mewajibkan ukhuwah dan tolong menolong kepada sesama muslim dalam kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah Azza wa Jalla , supaya kamu mendapat rahmat. [al-Hujurât/ 49:10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلَ الْجَسَدِالْوَاحِدِ ,إِذَااشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.[HR Muslim no. 4658]

Apabila ini yang menjadi kewajiban kaum Muslimin, maka ukhuwah ini mewajibkan mereka saling memenuhi hak satu dengan lainnya. Di antara hak tersebut adalah :

A. Mencintai Karena Allah Azza wa Jalla .
Yaitu tanpa membedakan nasab di antara mereka, juga tanpa egoisme yang membawa mereka kepada sifat tidak baik, akan tetapi karena Allah Azza wa Jalla semata-mata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِى

Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[HR Bukhari no. 12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya: “Ada 3 hal, barang siapa yang berada padanya ia akan merasakan manisnya iman, pertama: hendaklah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dia cintai dari pada selainnya; kedua: dia mencintai seseorang semata-mata karena Allah Azza wa Jalla ; ketiga: dia enggan untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagimana dia juga enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”[HR Bukhari no. 15]

B. Mendamaikan Mereka.
Apabila ada perselisihan dan perpecahan di antara mereka, maka kewajiban seorang muslim adalah mendamaikannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah hubungan antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."[Al-Anfal/8:1]

Islâh maknanya adalah meluruskan masalah yang diperselisihkan dan mengembalikannya kepada kaum Muslimin serta memperbaiki kedua pihak yang berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap perbuatan mendamaikan kaum Muslimin sebagai sedekah, maka kewajiban mereka yaitu jika ada perselisihan atau perpecahan di antara mereka, hendaknya mereka damaikan dan luruskan perselisihan tersebut dengan adil, sehingga ukhuwah kembali terjalin di antara mereka.

C. Jujur Dalam Bermuamalah.
Hendaknya mereka bermuamalah dengan jujur, tidak berdusta, tidak berkhianat dan tidak menipu dalam jual beli. Hendaknya muamalah jual beli tersebut dilakukan atas dasar niat yang baik, tanpa menutupi aib yang ada pada barang yang dijual dan tanpa berbohong dalam harganya. Kejujuran adalah keselamatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila dua orang muslim bermuamalah jual beli, maka ada khiyar (hak memilih) bagi keduanya. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan mendapat barakah dari jual belinya, dan jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka barakah akan dihilangkan dari jual belinya.”

D. Mendoakan Kebaikan Kepadanya, Mendoakannya Dengan Maghfirah, Agar Diberi Kemaslahatan Dunia dan Agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.[Muhammad/ 47:19]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “ Hak muslim satu dengan lainnya ada 6, yaitu apabila engkau bertemu dengannya, berilah salam kepadanya; apabila dia mengundangmu, penuhilah udangannya; apabila dia meminta nasehat kepadamu, maka nasehatilah; apabila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh, maka doakanlah; apabila dia sakit, maka jenguklah; dan apabila dia meninggal, maka iringilah jenazahnya.”

Pertama: Apabila seorang muslim bertemu dengan saudaranya, hendaknya dia mendahuluinya dengan salam. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) [an-Nisâ`/ 4:86]

Hendaknya kaum Muslimin menyebarkan salam di antara mereka. Abdullah bin Salam mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “ Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin-red), sambunglah silaturahmi dan shalatlah pada malam hari ketika manusia dalam sedang tidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”[HR Ibnu Majah no. 1324]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan perintah mengucap salam dan memberi makan (fakir miskin) karena hal itu akan menumbuhkan rasa kecintaan antar kaum Muslimin dan menghilangkan kegelisahan.

Kedua: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia mengundangmu , maka penuhilah.” Maksudnya, apabila dia mengundangmu untuk walimah atau hadir dalam suatu resepsi, hendaknya engkau datang, kecuali apabila ada udzur syar`i yang menyebabkan berhalangan hadir atau memberatkanmu. . Akan tetapi jika pada walimah atau resepsi tersebut ada kemungkaran dan engkau mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka engkau wajib datang dan mengubahnya. Akan tetapi jika tidak mampu mengubahnya, janganlah engkau menghadirinya. Kehadiranmu yang tidak bisa mengubah kemungkaran itu, merupakan tanda engkau setuju dengan hal tersebut.

Ketiga: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia minta nasehat, maka nasehatilah.” Maksudnya, apabila dia meminta nasehat kepadamu dalam suatu perkara dan meminta pendapat kamu yang baik, maka hendaknya kamu bersungguh-sungguh menasehatinya, baik dalam hal yang dia sukai maupun tidak.

Keempat : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia bersin dan memuji Allah Azza wa Jalla , doakanlah dia.” Bersin merupakan nikmat dari Allah Azza wa Jalla karena mengosongkan udara buruk yang ada di tubuh. Apabila dia bersin, ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla yang perlu disyukuri. Sehingga apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla , wajib bagi orang yang berada di sisinya untuk mendoakanya dengan mengucapkan: “ Yarhamukallâh”. Kemudian orang yang bersin mengucapkan: “ Yahdîkumullâh wa yushlih bâlakum.” Ini merupakan perilaku Muslimin yang baik, maka hukumnya wajib untuk menjawab orang yang bersin apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla.

Kelima : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia sakit, maka jenguklah.” Menjenguk orang sakit mengandung kebaikan yang banyak, di antaranya bisa mengurangi beban orang yang sakit dan keluarganya. Mengunjunginya, duduk di sampingnya dan mendoakannya, maka akan membuat dia bahagia dan menguatkan rajâ`nya kepada Allah Azza wa Jalla . Di antara adab menjenguk orang sakit, pertama: hendaknya secara berkala; jangan setiap hari karena hal itu akan memberatkannya, kecuali dia suka yang demikian. Kedua: mendoakan kesembuhan baginya, memberi motivasi kepadanya agar segera sembuh, melapangkan bebannya, dan menghiburnya. Ketiga: hendaknya jangan berlama-lama duduk di sampingnya agar tidak membebaninya, kecuali dia menginginkannya.

Keenam : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya.” Hal itu karena ada doa, permohonan ampun kepadanya, menyenangkan wali dan kerabatnya dan ada unsur memuliakan kedudukan orang yang meninggal. Barang siapa yang menghadiri jenazah, menyalatkan dan mendoakannya, maka dia akan memperoleh pahala satu qirâth. Barang siapa menyalatkan dan mengiringinya sampai pemakaman, dia akan memperolah 2 qirâth. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu dua qirâth?” Beliau menjawab “Seperti dua gunung yang besar.”

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan jagalah hak-hak saudara kalian. Allah Azza wa Jalla berfirman

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla , Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla amat berat siksa-Nya. [al-Mâidah/ 5:2]

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa di antara hak-hak kaum Muslimin satu dengan lainnya adalah amar ma`ruf dan nahi munkar. Maka, apabila engkau melihat saudaramu berada dalam kemaksiatan dan penyelisihan kepada syariat atau lainnya engkau tidak boleh mendiamkannya. Akan tetapi engkau harus menasehatinya secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan dia. Dan hendaknya engkau menunjukkannya pada kebaikan dan memperingatkannnya dari keburukan.. Hendaknya engkau perbaiki dengan cara yang baik, hingga dia bisa mengetahui bahwa kamu adalah saudaranya dan engkau sangat memperhatikannya.

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan bersemangatlah dalam menunaikan hak-haknya sebagaimana engkau juga meminta agar hak engkau dipenuhi oleh saudaramu.

Maraji’:
Al-Khuthab al-Mimbariyah cet.Dar Ashimah hl, 191-198 oleh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/