Sunday, April 28, 2013

Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan



Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Enam

يُقْبَلُ قَوْلُ اْلأُمَنَاءِ فِي الَّذِي تَحْتَ أَيْدِيْهِمْ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ وَاْلإِتْلاَفِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ مَا خَالَفَ الْحِسَّ وَالْعَادَةَ

Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan, Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan Kebiasaan[1]


Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara pemilik harta dan orang yang diserahi amanah[2] untuk mengelola harta tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta (pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti dirinya.

Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi barang mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah kebakaran. Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran, maka perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah kebakaran, kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang dititipi harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa barang yang dititipkan itu tidak ikut terbakar, sementara orang yang diserahi amanah menyatakan bahwa barang itu juga terbakar, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah.[3]

Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia berkata kepada yang diserahi amanah, "Engkau wajib mengganti karena engkau tidak menjaga harta itu!" Sementara orang yang diserahi amanah menyanggahhh, "Saya sudah sungguh-sungguh menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti." Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan barang, diterima.

2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik harta berkata, "Engkau belum menawarkan pakaian itu !" Dan orang yang diserahi amanah berkata, "Saya telah menawarkannya." Maka, dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta, diterima.

3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka dalam hal ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya memang ia telah mendapatkan izin dari pemilik harta untuk membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.

Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang tersebut ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si peminjam tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi kecuali apabila ia tidak benar-benar menjaganya (tafrith) atau berlebihan dalam pemanfaatannya (ta'addi).[4]

4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata bahwa barang tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka perkataan si penyewa diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah.[5]

5. Dalam akad mudahrabah,[6] perkataan mudharib (pengelola barang mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan dengan penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad yang ia lakukan dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan pengelolaan barang yang diamanahkan kepadanya.[7]

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau belum. Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta yang diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si pemilik menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama menjelaskan, apabila si penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama sekali pada harta tersebut, maka perkataannya diterima. Namun apabila dia memiliki kepentingan, maka perkataannya ditolak.(apabila harta yang diamanahkan tersebut semata-mata untuk maslahat si pemilik harta maka asalnya perkataan orang yang diserahi amanah diterima. Namun, apabila orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari harta yang diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah diterima).[8]

Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta uang yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang tersebut sudah dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan Hasan dan ia tidak dituntut untuk mendatangkan bukti pengembalian. Karena Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya. Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat ihsan :

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [at-Taubah/9:91]

2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan mengatakan bahwa ia telah mengembalikan semua harta yang ia selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-Taubah di atas.[9]

3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama, terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini, hukum berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang tersebut adalah untuk kepentingan dirinya serta untuk mengambil manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak diterima kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang tersebut.

4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan. Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan. Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia membawa mobil untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat darinya. [10]
Wallohu A'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kaidah Ke. 25 : Pengundian Disyariatkan Apabila Yang Berhak Tidak Diketahui


QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh lima

تُشْرَعُ الْقُرْعَةُ إِذَا جُهِلَ الْمُسْتَحِقُّ وَتَعَذَّرَتِ الْقِسْمَةُ

Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak Tidak Diketahui
Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan



Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian[1] -saat tidak diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ

Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam pengundian [ash-Shâffât/37:141]

Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus Alaihissallam ketika meninggalkan kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau, sehingga sampailah beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar, maka beliau pun naik ke kapal tersebut. Ternyata muatan kapal tersebut terlalu penuh muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila muatan tidak dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu, mereka mengadakan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikeluarkan dari kapal. Setelah dilakukan undian, keluarlah nama Nabi Yunus Alaihissallam. Selanjutnya beliau dilemparkan keluar dari kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan dan tinggal beberapa waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.[2]

Contoh lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ

Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. [Ali ‘Imrân/3:44]

Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani Israil yang berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak mengasuh Maryam. Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk mengundi siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-pena mereka, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang penanya tidak hanyut terbawa arus sungai, maka dia lah yang berhak mengasuh Maryam. Ternyata pena Nabi Zakariya Alaihissallam lah yang tidak hanyut terbawa air sungai, sehingga beliau lah yang berhak mengasuh Maryam.[3]

Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ, فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهَ.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata : Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin bepergian, maka beliau mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka beliau akan pergi bersamanya [4]

Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia antaranya adalah sebagai berikut :

1. Apabila ada dua orang berebut untuk mengumandangkan adzan, sedangkan keduanya bukan muadzin râtib[5] dan tidak ada kelebihan salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan, maka penentuan yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan dengan pengundian.

2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama berkeinginan menjadi imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan bacaan, kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi imam ditentukan dengan pengundian.

3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang tertentu, baik berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang paling layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang. Ternyata sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang yang sama, dan sulit ditentukan siapa di antara mereka yang paling layak mendapatkan barang tersebut. Maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.

4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan disholatkan maka jenazah orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat dengan imam [6]. Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya, maka yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan pengundian.

5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan dalam satu liang lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau tenaga pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke liang lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah orang yang paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang paling berilmu dan paling banyak menghafal al Qur’ân [7] Namun, apabila kedua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dalam ilmu dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke liang lahat ditentukan dengan undian.

6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa suatu barang tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka orang yang berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian. Namun demikian, apabila barang tersebut bisa dibagi dan keduanya bersepakat untuk membagi barang tersebut menjadi dua bagian dan masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini diperbolehkan.[8]

7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan suatu barang atau perkara mubâhât[9] , dan barang tersebut tidak mungkin dimiliki secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan sama-sama berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di dalam masjid, maka dalam hal ini penentuan yang berhak duduk di tempat tersebut dilakukan dengan pengundian.

8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan pernikahan dan seluruh karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan menjadi wali nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali nikah dilakukan dengan pengundian.

9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak, kemudian ia membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah yang ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.

Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, perlu dipahami bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini termasuk perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân, Sunnah, dan Ijmâ'. Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus berikut:

1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh dua orang. Kemudian keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.

2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang kepada si Fulan (seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan pengundian, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya keluar dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini termasuk dalam kategori perjudian. [10] Wallâhu a'lam.[11]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kaidah Ke. 24 : Yang Tercepat Yang Lebih Baik



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Empat

مَنْ سَبَقَ إِلَى الْمُبَاحَاتِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut


Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat tertentu, tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.

Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.[1]

Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih berhak terhadap tanah itu.[2]

Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara mubâhât lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang disebutkan dalam hadits diatas.

Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :

1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut. Maka dalam hal ini yang paling didahulukan adalah sawah yang posisinya paling tinggi, karena biasanya posisinya lebih dekat dengan suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan telah cukup maka barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.

2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan tersebut. Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian pula keberadaan kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput, barangsiapa lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak mendapatkannya.

3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di suatu tempat di masjid mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid datang dan menyuruh Ahmad berdiri, kemudian Zaid duduk di tempat tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan. Karena Ahmad lebih dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih berhak untuk duduk di sana.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا

Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran dan keluasan.[3]

4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah, rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang diwakafkan. Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-barang tersebut, dia lebih berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk ditempati oleh fakir miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu sampai ke rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya, sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.

Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir (pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada persetujuan nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih dahulu sampai pada barang-barang itu.

5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah tersebut.

Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah itu tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur di area tanah tersebut sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa dilakukan dengan mengalirkan air ke tanah tersebut baik dari sungai, atau selainnya untuk mengairi tanah tersebut. Atau dengan membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air, atau benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi miliknya.[4]

6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini dikarenakan orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga dia lebih berhak, Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ, حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau mengizinkannya.[5]

7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang pahala yang besar yang akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan berundi.[6]

Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada orang lain setelahnya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kaidah Ke. 23 : Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Tiga [1]


الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati Kecuali Syarat Yang Mengharamkan Suatu Yang Halal Atau Menghalalkan Suatu Yang Haram


Sebagaimana kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[2]

Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.

Syarat-syarat yang diperbolehkan sebagaimana hukum asalnya itu banyak, diantara contohnya :

1. Dalam akad jual beli.
a. Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat agar ia masih diberi hak untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya kepada Zaid dengan harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati rumah itu selama satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.

b. Seseorang membeli barang dengan syarat pembayarannya ditunda sampai jangka waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli sebuah rumah dari Zaid dengan harga tertentu, dengan syarat setengah dari harga tersebut langsung dibayarkan ketika akad, sedangkan setengahnya dibayarkan sebulan kemudian.

c. Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan dibelinya harus memiliki sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin membeli budak dan ia mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus mempunyai keahlian tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian lainnya. Demikian pula apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia mensyaratkan kepada si penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi susunya banyak atau selainnya.

2. Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang menghutangi menetap syarat harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada orang yang berhutang. Misalnya Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Kemudian Zaid berkata, “Saya mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”

3. Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang mewakafkan suatu barang disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan barang wakaf itu harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si pewakaf, selama syarat tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang mewakafkan sebidang tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid. Maka pemanfaatan tanah tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan pewakaf.

4. Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh pasangan suami isteri dalam ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita berkata kepada calon suaminya, “Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya tetap tinggal di kampung kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan supaya tidak dipoligami atau syarat-syarat semisalnya. Maka hokum asal dari persyaratan-persyaratan tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

Sesungguhnya syarat yang paling wajib kalian tunaikan adalah syarat-syarat untuk menghalalkan pernikahan.[3]

Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syarat-syarat tersebut tidak boleh dipenuhi dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah dalam kasus jual beli budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan syarat kalau budak itu nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang baru) maka wala’nya [4] untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan budak.[5]

Syarat-syarat yang diharamkan itu terbagi menjadi dua :

1. Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.

Demikian pula syarat tahlîl dalam pernikahan. Apabila seorang wanita telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si suami tidak bisa ruju’ bekas isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut telah dinikahi laki-laki lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya yang baru tersebut dan telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa ada unsur rekayasa. Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar wanita tersebut, kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah dan berhubungan suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlîl dalam perrnikahan.
Syarat mut’ah dan syarat tahlîl adalah syarat yang fâsid (rusak) yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini bertentangan dengan tujuan awal pernikahan disyari’atkan.

2. Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan akadnya batal.
Misalnya, pernikahan dengan syarat tanpa mahar. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tanpa memberikan mahar kepada isterinya.

Demikian pula apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tidak memberikan nafkah kepada isterinya, atau dengan syarat bahwa isterinya tersebut mendapatkan giliran lebih banyak atau lebih sedikit daripada isteri-isterinya yang lain.

Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang fasid (rusak) namun tidak sampai menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru sebatas menafikan hal-hal yang wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak isteri atas suaminya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kaidah Ke. 22 : Shulh (Berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Dua


الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan Suatu Perkara Yang Halal


Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[1]

Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian) antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya.

Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :

1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia, misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam itu mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan inilah disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.

Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.

2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berkepanjangan, akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya akan memberikanmu sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” Jika orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”

3. Berdamai dalam khiyâr 'aib (hak pembeli untuk membatalkan transaksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikannya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si penjual mengatakan, "Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?"

Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori berdamai yang diperbolehkan.

4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad dan mengatakan, "Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang."

Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah di atas.

5. Berdamai dalam hak syuf'ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak syuf'ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini. Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut diyât, maka jumlahnya telah ditentukan dalam syari'at yaitu sejumlah 100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, "Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?" Apabila Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang diperbolehkan.

8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya, kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, "Aku ingin tetap menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku dikurangi." Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka. [an Nisâ'/4:128]

Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka hal tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik lewat perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari perdamaian itu adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram.

Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :

1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Zaid. Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, "Aku juga lupa berapa jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang sebenarnya lebih besar dari itu." Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia telah menghalalkan perkara yang haram.

2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya. Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, "Berilah tenggang waktu kepadaku selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 100.000 dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu." Jika Zaid setuju, maka perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.
Wallâhu a'lam.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُُرُوْطِهِمْ diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin 'Amr bin 'Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi' bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.


Lalai Dari Mohon Petunjuk, Bahaya Sombong, Iri, Emosi Dan Nafsu Syahwat


LALAI DARI MEMOHON PETUNJUK

Oleh
Hamd bin Ibrâhim al-‘Utsmân


Jika seseorang berpikir tentang orang-orang yang tersesat, baik orang yang telah mendahuluinya maupun yang semasa dengannya, maka dia akan mendapati banyak di antara mereka itu ternyata orang-orang yang cerdas.

Kecerdasan semata tidaklah menjamin pemiliknya untuk meraih petunjuk dan kebenaran, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Akan tetapi Allâh menunjuki siapa yang Dia kehendaki [al-Baqarah/2:272]

Inilah yang diakui oleh orang-orang yang telah memperoleh hidayah, yang mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla dan keutamaan-Nya pada mereka. Al-Barâ’ bin ‘Azib berkata, “Dahulu pada perang Ahzâb, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ikut bersama kami memikul tanah, dan aku melihat perut beliau yang putih terkotori tanah, seraya mengucapkan,

لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

Ya Allâh, sekiranya bukan karena-Mu pasti kami tidak akan mendapat petunjuk, dan kami akan bersedekah dan menunaikan shalat [HR. al-Bukhâri Muslim]

Allâh Azza wa Jalla telah berfirman tentang para penduduk surga :

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

Para penduduk surga berkata, “Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami surga ini, kami tidak akan mendapat petunjuk kiranya Allâh tidak menunjuki kami” [al-A’râf /7:43]

Ada banyak hal yang menimbulkan masalah, perbedaan pendapat dan pertentangan. Akibatnya, kebenaran pun menjadi begitu samar bagi orang yang mencarinya. Karena itu, kita harus memohon petunjuk kepada Allâh Dzat yang Maha pemberi Petujuk, Maha mengetahui, dan Maha memutuskan urusan yang diperselisihkan oleh manusia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terkadang suatu perkara menjadi samar di permulaannya, kemudian Allâh Azza wa Jalla menunjuki orang-orang yang beriman kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya setelah (dia) memohon pertolongan dan petunjuk kepada Allâh Azza wa Jalla , serta merasa butuh kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla akan menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.”[1]

Beliau juga menegaskan, “Pada dasarnya, seorang hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk yang dia mohon dan minta dari Allâh Azza wa Jalla . Maka, dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla dan merasa butuh kepada-Nya, Allâh Azza wa Jalla akan memberinya petunjuk, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali yang aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan menunjuki kalian [HR. Muslim no. 4674]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan permohonan hidayah dalam doa berikut:

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allâh, Rabb Jibrîl, Mikâil, dan Isrâfîl, pencipta langit dan bumi, yang Maha mengetahui hal yang gaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perkara yang diperselisihkan para hamba-Mu, maka tunjukilah aku kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya engkau menunjuki kepada siapa pun yang engkau kehendaki ke jalan yang lurus [HR. Muslim no. 1289]

Beliau juga mengatakan, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[3]

Beliau pun berkata, “Barang siapa yang telah melihat kebenaran dengan jelas, maka dia harus mengikutinya, dan barangsiapa yang masih samar, maka dia harus diam sampai Allâh Azza wa Jalla memberikan kejelasan baginya. Hendaklah dia mencari pertolongan dengan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla.

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi Mûsâ Alaihissallam :

عَسَىٰ رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ

Mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar [al-Qashash/28:22]

Al’allâmah as-Sa’di rahimahullah berkata, “Seseorang yang mendalami sebuah ilmu, ketika hendak mengamalkannya atau berbicara tentangnya, jika belum jelas baginya kebenaran salah satu dari dua pendapat setelah menginginkan kebenaran dengan hatinya dan mencarinya, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan orang yang demikian. Ini seperti yang telah terjadi pada Nabi Mûsâ Alaihissallam, tatkala hendak pergi menuju kota Madyan dalam keadaan tidak tahu jalan menuju ke sana, beliau memanjatkan doa yang artinya ‘mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar’ dan Allâh Azza wa Jalla telah menunjuki dan mewujudkan harapan serta impiannya.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika tujuan itu semakin besar, dan rekan yang berilmu lagi pemberi nasehat telah bersamamu, maka berangkatlah dengan segenap semangat di hadapan pendahulumu, dan hendaklah kamu senantiasa ingat dengan Dzat yang telah mengajarkan kebenaran pada Ibrâhim Alaihissallam.”[4]

(Diadaptasi dari ash-Shawârif ‘Anil Haqqi, Hamd bin Ibrâhim al-‘Utsmân, Dar Imâm Ahmad Cet. II Th).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shafadiyyah hlm. 1/295
[2]. Majmû Fatâwa 4/39
[3]. Majmû Fatâwa 5/118
[4]. Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/32


BAHAYA SOMBONG, IRI, EMOSI DAN NAFSU SYAHWAT

Sendi-sendi kekufuran itu ada empat : al-kibr (kesombongan), al-hasad (rasa iri), al-ghadab (marah atau emosi) dan asy-syahwat (nafsu syahwat)

Kesombongan akan menghalangi seseorang dari berbuat taat. Rasa iri menghalangi seseorang dari menerima atau memberikan nasehat. Marah menghalangi seseorang dari berbuat adil. Nafsu menghalangi seseorang dari memfokuskan diri pada ibadah. Artinya, jika sendi kesombongan itu sirna, maka seseorang akan dengan mudah melakukan ketaatan. Jika tidak ada rasa iri dengki, maka seseorang akan mudah menerima atau memberikan nasehat. Jika tidak emosi, maka seseorang bisa berlaku adil dan tawaddhu’ (merendahkan diri) dengan mudah. Jika syahwat tidak ada, maka dengan mudah seseorang bisa bersabar, menahan diri dan memfokuskan diri untuk beribadah.

Keempat sifat tercela ini tidak bisa hilang begitu saja. Gunung yang kokoh lebih mudah sirna dibandingkan empat sifat ini. Terutama jika sifat-sifat ini sudah menjadi perangai yang melekat, maka tidak ada satu amalan pun yang bisa dilakukan dengan konsisten serta jiwa pelakunya tidak bisa bersih selama sifat-sifat buruk ini masih melekat meskipun dia melakukan amal shalih. Tiap kali berusaha melakukan amal shalih, empat sifat ini datang merusaknya. Dan semua bencana yang menimpa seseorang bermula dari empat sifat ini. Jika sifat-sifat sudah bertengger di hati, dia akan mengubah pandangan hati, yang bathil terlihat haq dan yang haq terlihat bathil, yang ma’rûf terlihat mungkar dan begitu sebaliknya. Sifat-sifat ini akan mendekatkan pelakunya kepada dunia dan menjauhkannya dari akhirat.

Jika kita merenungi kekufuran berbagai umat, kita akan dapati bahwa kekufuran mereka itu berawal dari sifat-sifat tercela ini. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan adzab. Berat atau ringannya adzab tergantung pada berat atau ringannya sifat-sifat buruk ini pada seseorang. Barangsiapa memberi kesempatan kepada sifat-sifat ini untuk bertengger dihatinya, berarti dia telah membuka seluruh pintu keburukan bagi dirinya, di dunia dan akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menutup celah bagi sifat-sifat ini, berarti dia telah menutup semua jalan keburukan. Sifat-sifat buruk ini menghalangi seseorang dari ketaatan, ikhlas, taubat, menerima kebenaran, menerima nasehat serta menghalangi dari tawaddhu’ kepada Allah Azza wa Jalla dan sesama makhluk.

Sifat-sifat buruk ini bisa muncul disebabkan oleh ketidak-tahuan seorang hamba terhadap Rabb-nya dan ketidak-tahuannya terhadap dirinya. Orang yang mengenal Rabb-nya dengan berbagai sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya, juga mengenal dirinya sendiri dengan berbagai aib dan kekurangannya, maka dia tidak akan sombong, tidak akan emosi dan tidak akan merasa iri dengan nikmat yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada orang lain. Memendam rasa iri sebenarnya termasuk pembangkangan terhadap Allah Azza wa Jalla . Karena dia membenci anugerah Allah Azza wa Jalla yang ada pada seorang hamba, padahal Allah Azza wa Jalla menyukai pemberian ini. Si pendengki ini menginginkan anugerah Allah Azza wa Jalla itu lenyap dari si hamba, padahal Allah Azza wa Jalla sebaliknya. Dengan demikian, berarti si pendengki menentang Allah Azza wa Jalla dalam qadha’, mahabbah dan kemurahan-Nya. Dengan sebab sifat sombong dan iri dengki inilah, setan menjadi musuh hakiki bagi Allah Azza wa Jalla .

Kedua sifat tercela ini bisa ditakhlukkan dengan mengenal Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan-Nya, merasa ridha dengan Allah Azza wa Jalla serta bertaubat kepada-Nya.

Sifat murka atau emosi bisa ditundukkan dengan mengenal diri sendiri dan menyadari bahwa dia tidak pantas untuk murka demi membela hawa nafsu. Jika dia marah demi membela hawa nafsu, berarti dia lebih memilih menyenangkan hawa nafsunya dan murka terhadap Allah Azza wa Jalla . Padahal, seorang Mukmin tidak boleh seperti itu. Cara paling jitu untuk menghilangkan sifat marah yaitu membiasakan diri untuk merasa marah hanya karena Allah Azza wa Jalla atau ridha hanya karena Allah Azza wa Jalla . Karena setiap kali marah dan ridha seperti ini datang, maka lawannya akan menghilang, begitu pula sebaliknya.
Sedangkan obat hawa nafsu yaitu dengan meyakini bahwa mengikuti semua keinginan nafsu sebenarnya menjadi penyebab utama terhalangnya nafsu kepada kenikmatan hakiki; dan memelihara nafsu itu menjadi penyebab utama bagi terhalangnya nafsu untuk mendapatkan kenikmatan. Setiap kali engkau membuka pintu syahwat berarti sama saja engkau berusaha menghalanginya dari kenikmatan yang hakiki, dan setiap kali engkau menghalanginya nafsu syahwat berarti engkau berusaha untuk menghantarkan nafsu agar bisa mencapai kenikmatan yang hakiki.

Rasa marah terhadap takdir itu sama seperti binatang buas. Jika dilepas, dia akan mulai menerkam pemiliknya.

Syahwat itu ibarat api. Ketika dinyalakan, dia siap membakar orang yang menyalakannya. Rasa sombong itu seperti kaum pemberontak, jika dia tidak berhasil membunuhmu, maka dia akan mengusirmu dari wilayah kekuasaanmu, dan rasa iri itu sama seperti pembangkang terhadap Dzat yang lebih berkuasa darimu (yaitu Allah Azza wa Jalla )

Jika orang yang berhasil menaklukkan syahwat dan emosinya, maka setan akan menjauhinya; sedangkan orang yang bertekuk lutut terhadap nafsu syahwat dan emosinya, maka dia takut terhadap bayang-bayangnya sendiri.

Ya Allah, jadikanlah jiwa-jiwa kami jiwa yang bertakwa, bersihkanlah ia. Engkaulah Dzat terbaik yang bisa membersihkan jiwa-jiwa kami

(Diangkat dari Fawâidul Fawâid, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqîq Syaikh Ali Hasan bin `Ali bin `Abdul Hamîd al-halaby al-atsary, hlm. 288-290)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/

_

Saturday, April 27, 2013

MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA



MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.”

TAKHHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim (no. 2699).
2. Ahmad (II/252, 325).
3. Abu Dâwud (no. 3643).
4. Tirmidzi (no. 1425, 2646, 2945).
5. Ibnu Mâjah (no. 225).
6. Ad-Dârimi (I/99).
7. Ibnu Hibbân (no. 78- Mawâriduzh Zham-ân).
8. Ath-Thayâlisi (no. 2439).
9. Al-Hâkim (I/88-89).
10. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 127).
11. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/63, no. 44).

Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Seorang Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain (bahkan ia wajib menolong dan membelanya)[1] . Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, maka Allâh menutupi (aib)nya pada hari Kiamat.[2]

SYARAH HADITS
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya), “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.”

Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

Sesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]

Al-Kurbah (kesempitan) ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan (at-tanfîs) maksudnya berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj (upaya melepaskan) dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]

Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan lainnya.

Seorang Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Kiamat.

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya : “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.”

Kenapa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab (kesulitan-kesulitan) yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

...يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ : أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟...

“...Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, ‘Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian...’” dan seterusnya.[7]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,

تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ : فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ : اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَ

Kalian akan dikumpulkan (pada hari Kiamat) dalam keadaan telanjang kaki, telanjang (tidak berpakaian) dan tidak berkhitan.” ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling melihat (aurat) yang lain?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, " (Yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” (Al-Muthaffifiin/83:6), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ

Salah seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ

Pada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga mereka

Dalam lafazh Muslim,

إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ

Sesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْـجَامًا.

Apabila hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian (panas) matahari membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara[11].

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”

Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا

... Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/25:26]

Memberi kemudahan kepada yang kesulitan (dalam utang) ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara :

Pertama : Memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]

Kedua : Dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar hutangnya.

Kedua perbuatan ini memiliki keutamaan besar.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ : تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ

Dahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita (dari dosa-dosa),’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]

Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ

Siapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan (hutang) atau membebaskan hutangnya.[13]

Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِ

Barangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya [14]

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”

Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]

Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ : لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya (meskipun ia berada) di rumah.[16]

Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok :
Pertama : Orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh diperbincangkan karena itu termasuk ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/24:19]

Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.

Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma'ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah (yang telah mengaku berzina). Dan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”

Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup aibnya.

Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang lain.

Kedua : Orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan yang lainnya. Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd (hukuman had). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـا

Hai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia ! [17]

Orang seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang lainnya.

Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya.

Begitu juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Islam.

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya."

Dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadisebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

...وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ

“...Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah/5:2]

Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, ‘Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat ‘Umar ?”[18 . Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’lam.

Mujahid rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhumadiperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]

Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


SYARAH HADITS
• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya jalan ke surga.”

Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Jadi, ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla.[21] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَـيْرًا يُفَقِـّهْهُ فِـي الدِّيْنِ، وَإِنَّـمَـا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِـيَ أَمْرُ اللهِ

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allâh, Dia akan menjadikannya faham tentang agama. Sesung-guhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allâh-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, mereka tidak bisa dicelakai oleh orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allâh (hari Kiamat)[22].

Ilmu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat seperti yang dijelaskan oleh para Ulama:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) t mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dan ilmu perdagangan.”[23]

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat membimbing kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’aladan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Ilmu ini menyebabkan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap dan tawakkal kepada Allâh serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’alaberikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan fisik dan bathin serta ucapan. Ilmu ini menuntut orang yang mengetahuinya agar bergegas melakukan apa yang dicintai dan diridhai Allâh Subhanahu wa Ta’aladan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan dua hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meski sedikit dan merasa kenyang dengannya. Ini menjadikannya qana’ah dan zuhud terhadap dunia.”[24]

Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) t juga berkata, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir al-Qur-ân, penjelasan makna hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tâbi’în, Tâbi’ut Tâbi’în dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...”[25]

Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adapun yang datang dari selain mereka bukan ilmu.”[26]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lâmul Muwaqqi’în (2/149) mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan, ‘Ilmu adalah firman Allâh, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan para Shahabat. Semuanya tidak bertentangan...’”

Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah mengatakan :

Seluruh ilmu selain al-Qur-ân hanyalah menyibukkan,
kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.
Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, haddatsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’.
Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan.[27]

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.”

Dalam hadits ini terdapat janji Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna. Pertama, menempuh jalan dengan makna fisik, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama. Kedua, menempuh jalan (metode) yang bisa mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari).

“Allâh akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan masuk surga bagi orang yang menuntut ilmu dengan tujuan mencari wajah Allâh, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allâh akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari kiamat ketika melewati “shirâth” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.[28]

Ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla , yang maknanya, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan al-Qur-ân untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?” [al-Qamar/54:17]

Salah seorang ulama Salaf berkata, “Maksud ayat di atas, ‘Adakah penuntut ilmu sehingga ia akan dibantu dalam mencarinya?” Bisa jadi yang dimaksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah Allâh Subhanahu wa Ta’alamemberi kemudahan kepada penuntut ilmu jika ia menuntutnya dengan niat mendapatkan wajah Allâh, mengambil manfaat darinya, dan mengamalkan konsekuensinya. Jadi, ilmu menjadi penyebab ia mendapatkan petunjuk dan masuk surga.

Terkadang Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepada penuntut ilmu untuk menguasai ilmu-ilmu lain yang bermanfaat dan bisa mengantarkannya ke surga. Ada yang mengatakan, "Barangsiapa mengamalkan ilmunya, maka Allâh memberinya ilmu yang belum ia ketahui." Ada juga yang mengatakan, "Pahala kebaikan ialah kebaikan sesudahnya."

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

“Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk...” [Maryam/19:76]

Diantara pengertian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.” ialah Allâh Azza wa Jalla mempermudahnya melewati jalan (jalan dalam makna hakikinya) ke surga pada hari Kiamat, seperti melewati shirâth serta berbagai kesulitan sebelum dan sesudah sirâth. Itu semua dimudahkan bagi penuntut ilmu. Karena ilmu bisa membimbing seseorang mengenal Allah Azza wa Jalla lewat jalur terdekat. Jadi, barangsiapa menempuh jalan ilmu dan tidak berpaling, ia akan bisa sampai kepada Allâh dan surga-Nya melalui jalur terdekat dan mudah. Karenanya, semua jalan ke surga di dunia dan akhirat menjadi mudah bagi penuntut ilmu. Tidak ada jalan untuk mengenal Allâh, mencapai keridhaan-Nya, sukses dengan mendapatkan kedekatan dengan-Nya di dunia dan akhirat kecuali dengan ilmu yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul-Nya dan diturunkan dalam kitab-Nya. Sehingga kitab itu menjadi panduan baginya yang bisa membimbingnya dalam gelapnya kebodohan, syubhat dan keraguan. Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menamakan kitab-Nya dengan an-nûr (cahaya).

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allâh dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allâh memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allâh mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjuk ke jalan yang lurus.” [al-Mâidah/5:15-16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan para pengemban ilmu (para Ulama) seperti bintang-bintang di langit yang dijadikan sebagai petunjuk dalam kegelapan. Jika bintang-bintang itu hilang dan sirna, maka alam semesta akan mengalami kehancuran. Jika ilmu syar’i tetap ada di tengah manusia, maka manusia senantiasa berada di atas petunjuk. Dan ilmu itu tetap ada selama para Ulama masih ada. Jika para Ulama dan orang-orang yang mengamalkannya sudah tidak ada lagi, maka manusia akan terjatuh dalam kesesatan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Sesungguhnya Allâh Ta’ala tidak mencabut ilmu dari para hamba sekaligus, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila sudah tidak ada lagi seorang yang alim, manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh, mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan orang lain.”[29]

Ubâdah Radhiyallahu anhu pernah memberitahukan bahwa ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia adalah kekhusu'an. Ubadah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu mengatakan seperti itu karena ilmu itu ada dua jenis :

Pertama : Ilmu yang buahnya ada di hati manusia. Ilmu ini adalah ilmu tentang Allâh, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya yang menjadikan orang takut kepada Allâh, segan kepada-Nya, mengagungkan-Nya, tunduk kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, dan lain sebagainya. Itulah ilmu yang bermanfaat.

Kedua : Ilmu di lidah. Itulah hujjah Allâh bagimu atau atasmu.
Jadi, ilmu yang pertama kali diangkat ialah ilmu batin yang menyatu dengan hati dan memperbaikinya. Sedang yang tersisa ialah ilmu di lidah manusia; para ulama atau selain mereka, menyia-nyiakannya dan tidak mengamalkannya. Kemudian ilmu hilang dengan kematian para ulama, akibatnya, al-Qur-ân hanya ada di mushhaf tanpa ada yang mengerti makna-maknanya, batasan-batasannya dan hukum-hukumnya. Hal tersebut berkembang terus hingga akhir zaman kemudian tidak ada yang tersisa di mushaf dan hati. Setelah itu, kiamat terjadi.[30]

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang maknanya, “Tidaklah suatu kaum duduk di salah satu rumah Allâh (masjid); mereka membaca Kitabullah dan mengkajinya sesama mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.”

Ini menunjukkan duduk di masjid-masjid untuk membaca al-Qur-ân dan mempelajarinya disunnahkan. Jika pengertian hadits diatas dibawa ke makna mempelajari dan mengajarkan al-Qur'ân, maka semua Ulama' sepakat bahwa itu disunnahkan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur'ân.[31]

Abu ‘Abdurrahman as-Sulami rahimahullah berkata, “Inilah yang membuatku duduk di tempat dudukku ini." Beliau mengajarkan al-Qur'ân sejak zaman ‘Utsman bin ‘Affân hingga zaman al-Hajjâj bin Yûsuf.[32]

Jika sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dipahami dengan makna yang lebih umum maka ini mencakup berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari al-Qur'ân secara mutlak, karena terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang membacakan al-Qur'ân agar beliau dapat mendengarkan bacaannya, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu agar membacakan al-Qur'ân untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu pernah menyuruh seseorang membacakan al-Qur'ân untuknya dan untuk rekan-rekannya. Mereka semua mendengarkannya. Terkadang ‘Umar Radhiyallahu anhu menyuruh Abu Musa Radhiyallahu anhu dan terkadang menyuruh ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.[33]

Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa berkumpul untuk mempelajari al-Qur'ân itu disunnahkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan berkumpul untuk berdzikir itu sunnah, sementara membaca dan mempelajari al-Qur'ân adalah dzikir terbaik.

Diriwayatkan dari Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke salah satu halaqah Shahabat-Shahabat beliau kemudian bersabda, “Apa yang membuat kalian duduk?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan memuji-Nya karena Dia telah memberi kami petunjuk kepada Islam dan menganugerahkan nikmat kepada kami.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allâh, apakah kalian duduk karena itu semua ?” Mereka menjawab, “Demi Allâh, kami tidak duduk kecuali karena tujuan tersebut.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا إِنِّـيْ لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ ، وَلَكِنَّهُ أَتَانِـيْ جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِـيْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِيْ بِكُمُ الْـمَلَائِكَةَ

Sesungguhnya aku tidak meminta kalian bersumpah karena menuduh kalian, karena Jibril telah datang kepadaku kemudian memberitahuku bahwa Allâh Azza wa Jalla membanggakan kalian kepada para malaikat.[34]

Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mereka berdzikir masing-masing, tidak berjama’ah dan tidak juga dengan suara yang keras. Jadi, hadits-hadits di atas dan yang semakna dengannya tidak menunjukkan adanya dzikir berjama’ah. Karena dzikir jama’i tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum. Bahkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menegur dengan keras orang yang berdzikir jama’i sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih.[35]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pahala orang yang duduk di salah satu rumah Allâh (masjid) guna mempelajari al-Qur'ân ada empat :[36]

1. Ketenangan turun kepada mereka. Diriwayatkan dari al-Barâ' bin ‘Azib Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seseorang membaca surat al-Kahfi dan di sampingnya terdapat kuda kemudian ia ditutupi awan. Awan itu berputar-putar dan mendekat hingga kuda orang itu lari dari awan tersebut. Keesokan harinya, orang tersebut menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِ

Itulah ketenangan yang turun bagi al-Qur'ân.[37]

Kejadian serupa juga dialami oleh Usaid bin Khudair Radhiyallahu anhu[38]

2. Diliputi rahmat. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "... Sesungguhnya rahmat Allâh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” [al-A’râf/7: 56]

3. Para malaikat mengelilingi mereka.

4. Allâh Azza wa Jalla menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman,

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِـيْ ، وَأَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكُرُنِـيْ ، إِنْ ذَكَرَنِـيْ فِيْ نَفْسِهِ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ نَفْسِيْ ، وَإِنْ ذَكَرَنِـيْ فِـيْ مَلَإٍ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ

‘Aku sesuai dugaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia ingat (dzikir) kepada-Ku sendirian maka Aku ingat kepadanya sendirian dan jika ia ingat (dzikir) kepada-Ku di kelompok maka Aku ingat kepadanya di kelompok yang lebih baik daripada mereka.[39]

Bentuk ingatnya Allâh Subhanahu wa Ta’alakepada hamba-Nya ialah Allâh memujinya dihadapan para malaikat, membanggakannya.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kalian kepada Allâh sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dia-lah yang bershalawat kepada kalian dan malaikat-Nya supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Dan Allah itu Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin” [al-Ahzâb/33:41-43]

Bentuk shalawat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ialah Allâh Subhanahu wa Ta’alamenyanjungnya dihadapan para malaikat-Nya dan memujinya dengan ingat kepadanya. Itulah yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan disebutkan oleh imam Bukhâri dalam kitab Shahîhnya.[40]

• Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya (dalam meraih derajat yang tinggi-red), maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya"

Maksudnya, amal perbuatanlah yang bisa mengantarkan seseorang meraih derajat tinggi di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat karena apa yang dikerjakannya.” [al-An’âm/6:132]

Jadi, barangsiapa amalnya lamban untuk mencapai tingkatan tinggi di sisi Allâh, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya untuk meraih derajat tersebut. Karena Allâh Azza wa Jalla menentukan pahala berdasarkan amalan dan bukan nasab. Allâh Subhanahu wa Ta’alaberfirman, yang artinya, "Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” [al-Mukminûn/23:101]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin bergegas meraih ampunan dan rahmat Allâh dengan amalannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allâh mencintai orang yang berbuat kebaikan.” [Ali ‘Imrân/3:133-134]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ketika ayat ke-214 surat Asy-Syu'ara diturunkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا بَنِيْ عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلِيْنِى مَاشِئْتِ مِنْ مَالِيْ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا

Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kalian, sebab aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai Bani ‘Abdu Manaf, aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Shafiyyah bibi Rasûlullâh, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun bagimu di hadapan Allâh.[41]

Itu semua diperkuat oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ آلَ أَبِيْ فُلَانٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِيْ ، إِنَّمَـا وَلِـيِّيَ اللهُ وَصَالِحُ الْـمُؤْمِنِيْنَ.

Sesungguhnya keluarga ayahku bukan waliku-waliku. Wali-waliku ialah Allâh dan orang-orang Mukmin yang shalih[42].

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa hubungan kewalian (kedekatan) tidak bisa didapatkan dengan nasab, namun diperoleh dengan iman dan amal shalih. Jadi, barangsiapa iman dan amal shalihnya paling sempurna, maka kewaliannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat agung kendati secara nasab kekeluargaan jauh. Salah seorang penyair berkata,

لَعَمْرُكَ مَـــــا الإِنْسَانُ إِلَّا بِدِيْـنِهِ فَلَا تَتْرُكِ التَّقْوَى اِتِّكَالًا عَلَى النَّسَبْ
لَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَـانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ الشَّقِيَّ أَبَا لَـهَبْ

Aku bersumpah kepadamu bahwa manusia itu sejatinya dengan agamnya. Jangan kautinggalkan takwa karena bersandar pada nasab.
Sungguh, Islam telah meninggikan Salman al-Farisi dan syirik merendahkan si celaka Abu Lahab.[43]

FAWAA-ID HADITS
1. Keutamaan membantu kebutuhan dan kesulitan kaum Muslimin.
2. Menolong dan melapangkan kesusahan seorang Muslim merupakan cara mendekatkan diri kepada Allâh dan cara meraih rahmat-Nya.
3. Menetapkan akan adanya hari Kiamat.
4. Pada hari Kiamat ada kesulitan yang sangat besar.
5. Anjuran memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan (utang).
6. Balasan itu sesuai dengan jenis amalnya.
7. Anjuran untuk menutup aib seorang Muslim.
8. Menolong sesama Muslim dalam kebaikan adalah sebab yang mengundang pertolongan Allâh
9. Wajib menuntut ilmu syar’i.
10. Keutamaan berjalan atau safar untuk menuntut ilmu syar’i.
11. Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan menuju Surga.
12. Ilmu yang paling utama adalah mempelajari Kitâbullâh (al-Qur'ân) dengan membaca, memahami dan mengamalkannya, kemudian mempelajari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya wajib dipahami menurut pemahaman Salafush Shalih.
13. Membaca al-Qur'ân dan mempelajarinya akan mendatangkan ketenangan, rahmat, dikelilingi malaikat dan disebut-sebut oleh Allâh di hadapan paar Malaikat-Nya.
14. Menetapkan adanya Malaikat.
15. Keutamaan berkumpul di rumah Allâh (masjid) untuk mempelajari ilmu.
16. Kebahagiaan abadi diraih dengan amal shalih, bukan dengan nasab atau garis keturunan.
17. Kemuliaan di sisi Allâh bisa digapai dengan takwa dan amal shalih, bukan dengan nasab dan harta.

MARAAJI’
1. Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.
2. Shahiih al-Bukhari.
3. Shahiih Muslim.
4. Musnad Imam Ahmad.
5. Sunan Abu Dawud.
6. Sunan at-Tirmidzi.
7. Sunan an-Nasa-i.
8. Sunan Ibni Majah.
9. Mustadrak Hakim.
10. Sunan ad-Darimi.
11. Shahiih Ibni Hibban (at-Ta’liiqaatul Hisaan).
12. Hilyatul Auliyaa’, karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.
13. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi.
14. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf.
15. Fat-hul Baari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy.
16. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
17. Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
18. Syarhul Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
19. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
20. Tuhfatul Ahwadzi, karya ’Abdurrahman bin ’Abdurrahim al-Mubarakfuri.
21. Kitaabul ’Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
22. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, karya Yazid bin ’Abdul Qadir Jawas.
23. Majmuu’ al-Fataawaa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


KEBAHAGIAAN MANA YANG INGIN ANDA RAIH?

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari



Sebagian orang berkata, 'Hidup itu yang penting happy'. Dari situ kemudian mereka berbuat semaunya. Mereka tidak peduli dengan segala macam aturan. Mereka ingin hidup bahagia, tapi melakukan perbuatan maksiat yang membahayakan dirinya di akherat. Mereka tertipu dengan kebahagiaan sesaat yang mereka rasakan di dunia ini, sehingga mereka tetap berani dan tetap nekad melakukan perbuatan yang dilarang agama. Memang, hidup bahagia merupakan dambaan setiap makhluk. Namun banyak orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan akherat.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui [al-‘Ankabût/29: 64]

Ketika menjelaskan maksud ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, "Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam rangka) memberitakan betapa dunia itu hina, akan hancur dan akan sirna (pada saat yang telah ditentukan). Dan dunia ini tidak kekal, dan sekedar mendatangkan kelalaian dan bersifat permainan. Dia berfirman, “dan sesungguhnya akherat itulah yang sebenarnya kehidupan”, maksudnya (akherat itu) adalah kehidupan yang kekal, yang haq, yang tidak akan binasa dan tidak sirna. Kehidupan akherat berlangsung terus-menerus selama-lamanya. Firman-Nya (yang artinya,) “kalau mereka mengetahui”, maksudnya, jika manusia tahu, maka sungguh mereka akan lebih mengutamakan sesuatu yang bersifat baqa’ (kekal) daripada yang fana (akan binasa).” [1]

Oleh karena itu, agar tidak salah langkah, tujuan dan prioritas dalam mengejar kebahagiaan yang kita inginkan, di sini akan kami sampaikan beberapa hal terkait kebahagiaan di dunia dan akherat.

1. BAHAGIA DI DUNIA, BAHAGIA DI AKHIRAT
Inilah puncak kebahagiaan. Inilah yang selalu dimohon oleh hamba-hamba Allâh Azza wa Jallayang shalih, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya :

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿٢٠١﴾ أُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا ۚ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a, "Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akherat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari (amal) yang mereka usahakan; dan Allâh sangat cepat perhitungan-Nya [al-Baqarah/2: 201-202]

Ini juga merupakan do'a dan permohonan Nabi Musa Alaihissallam dan kaumnya yang shalih, sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam kitab-Nya :

وَاكْتُبْ لَنَا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

(Mereka juga berdo'a), “Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada-Mu [al-A’râf/7: 156]

Derajat tertinggi ini akan diraih oleh orang-orang yang bertaqwa dan berbuat ihsan, sebagaimana kita ketahui bahwa ihsân adalah derajat agama yang tertinggi, berdasarkan kandungan hadits Jibrîl Alaihissallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ ۚ قَالُوا خَيْرًا ۗ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۚ وَلَدَارُ الْآخِرَةِ خَيْرٌ ۚ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Rabbmu?" Mereka menjawab: "(Allâh telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat ihsân (sebaik-baiknya) di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akherat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa [an-Nahl/16: 30]

2. SENGSARA DI DUNIA, BAHAGIA DI AKHERAT
Ada lagi orang yang meraih kebahagiaan di akherat, walaupun di dunia mendapatkan berbagai macam musibah dan ujian, bahkan kesusahan dan kecelakaan. Jenis manusia ini diberitakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Pada hari Kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling banyak mendapatkan kenikmatan, namun dia termasuk penduduk neraka. Lalu dia dimasukkan sebentar di dalam api neraka, kemudian dia ditanya, “Hai anak Adam, pernahkah engkau melihat kebaikan ? Pernahkah engkau mendapatkan kenikmatan?” Maka dia menjawab, “Tidak, demi Allâh, wahai Rabbku”.

Selanjutnya, akan didatangkan seorang yang paling sengsara di dunia, namun dia termasuk penduduk surga. Lalu dia dimasukkan sebentar ke dalam surga, kemudian dia ditanya, “Hai anak Adam, pernahkah engkau melihat kesengsaraan? Pernahkah engkau menderita kesusahan?” Maka dia menjawab, “Tidak, demi Allâh, wahai Rabbku. Aku tidak pernah mendapatkan kesengsaraan sama sekali, dan aku tidak pernah melihat kesusahan sama sekali”. [HR. Muslim,no. 2807 dan lainnya]

3. BAHAGIA DI DUNIA, CELAKA DI AKHERAT
Hadits shahîh dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu di atas juga menjelaskan adanya jenis manusia yang berbahagia –secara lahiriyah- di dunia, namun di akherat akan mengalami kesengsaraan yang sangat berat. Kita lihat bahwa kebanyakan tokoh masyarakat yang berharta dan berpangkat adalah penentang dakwah para rasul. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ ﴿٣٤﴾ وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ ﴿٣٥﴾قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Dan mereka berkata, "Harta dan anak- anak kami lebih banyak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab”.Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui" [Saba’/34: 34-36]

Cobalah perhatikan, orang kafir di bawah ini, bagaimana dia bergembira dan berbahagia di dunia, namun di akherat dia mendapatkan penderitaan yang tidak akan tertahan. Allâh Azza wa Jallaberfirman :

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ ﴿١٠﴾ فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا ﴿١١﴾وَيَصْلَىٰ سَعِيرًا ﴿١٢﴾ إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا ﴿١٣﴾ إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ

Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: "Celakalah aku". Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). (Bukan demikian), yang benar, sesungguhnya Rabbnya selalu melihatnya. [al-Insyiqâq/84:10-15]

Lihatlah tokoh-tokoh kafir zaman dahulu dan sekarang. Lihatlah Fir’aun, Hâmân, Qorun, dan lainnya. Janganlah kita tidak silau dengan kebahagiaan mereka yang bersifat sementara, tidak terperangah dengan limpahan harta yang mereka miliki, karena tempat kembali orang-orang kafir adalah neraka.

Oleh karena itu, jangan sampai seseorang bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia saja. Karena dunia itu bersifat sementara, akan hancur dan sangat hina di sisi Allâh Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jallamencela orang-orang yang berdo'a dan memohon kepada-Nya hanya untuk mendapatkan kebaikan dunia. Allâh Azza wa Jallaberfirman:

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang berdo'a, "Ya Rabb kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akherat [al-Baqarah/2:200]

4. CELAKA DI DUNIA, CELAKA DI AKHIRAT
Jenis manusia terakhir, adalah orang yang celaka di dunia dan akherat. Nas`alullâh as-salâmah wal 'âfiyah. Orang yang tidak memahami dan jauh dari ajaran Islam yang benar dan jauh dari kemudahan rezeki di dunia, hidup sengsara, namun anehnya ia memiliki cita-cita dan keinginan yang sangat buruk (seperti berbuat maksiat atau merusak bila memiliki kekayaan).

Sesungguhnya keempat jenis manusia ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda beliau sebagai berikut:

وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ:عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dan aku akan menyampaikan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda: Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:

• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertakwa kepada Rabbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rezekinya, dan dia mengetahui hak bagi Allâh padanya. Hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allâh).

• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa ilmu, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki berupa harta. Dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan, “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat (baik) seperti perbuatan si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.

• Hamba yang Allâh berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia (Allâh) tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allâh padanya. Jadilah hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allâh).

• Hamba yang Allâh tidak memberikan rezeki kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya memiliki harta, aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[2]

Inilah berbagai jenis kebahagiaan yang ada, jangan sampai kita salah langkah dalam memilih dan menggapai hakekat kebahagiaan. Karena sesungguhnya orang yang berakal akan lebih mengutamakan akherat yang kekal abadi ketimbang kenikmatan duniawi yang fana. Hanya Allâh yang memberikan taufik. Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SADARILAH REALITA INI!


Pernahkah kita berfikir, berapa orang yang meninggal dunia di kota kita selama satu bulan ? Atau selama satu tahun ? Atau bahkan setiap hari di seluruh penjuru bumi ini ? Ketetapan Allâh terus berjalan. Ada yang lahir ke dunia dan sebagian lagi meninggal dunia. Suatu saat nanti, pasti kita akan mendapatkan giliran. Ini sebuah realita kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sangat disayangkan, banyak orang lupa atau melupakan kematian.

Padahal dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak membicarakan tentang kematian kepada para sahabat, sementara kondisi hati mereka hidup. Ini sangat berbeda dengan realita sangat ini. Betapa banyak acara yang dibuat, upaya yang dirancang untuk mengalih perhatian dari kematian. Padahal kita sangat membutuhkannya untuk menyadarkan kita dari kelalaian dan melunakkan hati yang sudah mengeras !! Kalau kita mau menjawab dengan jujur, Siapakah yang lebih butuh terhadap pembicaraan tentang kematian, kita ataukah para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jawabnya, tentu kita.

Oleh karena itu, pembicaraan tentang kematian kami angkat. Pembicaraan tentang sebuah peristiwa yang amat mengerikan. Peristiwa yang memutuskan seluruh kesenangan dan mengubur seluruh angan-angan. Kematian berarti berpisah dengan orang-orang yang dicintai. Kematian memutus kesempatan beramal, dan mengantarkan ke gerbang hisab!

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehati kita dengan nasehat yang menyentuh. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ , وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena kematian itu, jika diingat oleh orang yang sedang dalam kesusahan hidup, maka akan bisa meringankan kesusahannya. Dan jika diingat oleh orang yang sedang senang, maka akan bisa membatasi kebahagiaannya itu [1]

Mengingat kematian itu dapat menghidupkan hati. Orang yang benar-benar malu terhadap Allâh Azza wa Jalla tidak akan melalaikan kematian serta tidak akan meremehkan persiapan menghadapi kematian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”. Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi (yang dimaksud) benar-benar malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya; dan hendaklah engkau mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan itu, berarti dia telah benar-benar malu kepada Allâh Azza wa Jalla [2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Bila ada kesempatan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingatkan para sahabatnya tentang kematian dan berbagai rentetan persistiwa yang akan mengiringinya.

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ فَجَلَسَ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَبَكَى حَتَّى بَلَّ الثَّرَى ثُمَّ قَالَ يَا إِخْوَانِي لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا

Dari al-Bara’ Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada (penguburan-red) suatu jenazah, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada tepi kubur, kemudian beliau menangis sehingga tanah menjadi basah, lalu beliau bersabda: “Wahai saudara-saudaraku! Bersiap-siaplah untuk yang seperti ini !” [3]

Dalam riwayat lain, al-Barâ’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu mengatakan.

بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ بَصَرَ بِجَمَاعَةٍ فَقَالَ : عَلَامَ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ هَؤُلَاءِ؟ قِيْلَ : عَلَى قَبْرٍ يَحْفِرُوْنَهُ ، قَالَ : فَفَزِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَدَرَ بَيْنَ يَدَيْ أَصْحَابِهِ مُسْرِعًا حَتَّى انْتَهَى إِلَى الْقَبْرِ فَجَثَا عَلَيْهِ ، قَالَ : فَاسْتَقْبَلْتُهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ لِأَنْظُرَ مَا يَصْنَعُ ، فَبَكَى حَتىَّ بَلَّ الثَّرَى مِنْ دُمُوْعِهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا قَالَ: أَيْ إِخْوَانِي ! لِمِثْلِ الْيَوْمِ فَأَعِدُّوْا

Ketika kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok orang, maka beliau bertanya, ‘Untuk apa mereka berkumpul?’ Dikatakan kepada beliau, ‘Mereka berkumpul pada kuburan yang sedang mereka gali’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terperanjat, lalu bergegas mendahului para sahabat sehingga sampai di kuburan, lalu beliau berlutut ke arah kuburan. Bara’ berkata, ‘Maka aku menghadap di depan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat apa yang akan beliau lakukan’. Kemudian beliau menangis sehingga tanah menjadi basah karena air mata beliau. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada kami dan bersabda, “Wahai saudara-saudaraku! Bersiap-siaplah untuk yang sepertil hari ini!” [4]

Demikian juga Salafus Shalih, mereka mengingat kematian dan mengingatkan orang lain dengannya. Diriwayatkan bahwa Uwais al-Qarni rahimahullah berkata kepada penduduk Kufah, “Wahai penduduk Kufah, sesungguhnya ketika kamu tidur, kamu berbantalkan kematian. Oleh karena itu, jika kamu telah bangun, jadikanlah kematian itu selalu di hadapanmu.”

Mengingat kematian itu memiliki pengaruh besar dalam menyadarkan jiwa dari kelalaian. Kematian merupakan pelajaran terbesar. Seorang ahli zuhud ditanya, “Apakah pelajaran yang paling berpengaruh?” Dia menjawab, “Melihat tempat orang-orang yang mati”. Ahli zuhud yang lain mengatakan, “Orang yang tidak berhenti dari kemaksiatan dengan (nasehat) al-Qur’ân dan kematian, seandainya gunung-gunung bertabrakkan di hadapannya, dia juga tidak akan berhenti!”

Sungguh, ziarah kubur, menyaksikan jenazah, melihat orang sekarat, merenungkan sakaratul maut, merenungkan wajah mayit setelah matinya, akan mengekang jiwa dari berbagai kesenangannya serta akan mengusir kegembiraan hati.

Orang yang mempersiapkan diri menghadapi kematian, dia akan beramal dengan sungguh-sungguh dan memperpendek angan-angan.

Al-Lubaidi berkata, “Aku melihat Abu Ishâq rahimahullah di waktu hidupnya, selalu mengeluarkan secarik kertas dan membacanya. Ketika dia telah wafat, aku melihat kertas tersebut, ternyata tertulis padanya ‘Perbaguslah amalanmu, sesungguhnya ajalmu telah dekat !! Perbaguslah amalanmu, sesungguhnya ajalmu telah dekat !!! ’.

Saudara-saudaraku, sesungguhnya orang yang hidup dengan tetap mewaspadai akhir kehidupan, dia akan menjalani kehidupan dengan terus mempersiapkan diri. Sehingga ketika kematian menjelang, dia tidak menyesal atau kalau pun menyesal tapi tidak terlalu.

Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhi rahimahullah berkata, “Bersiaplah ! Jika kematian mendatangimu, engkau tidak berteriak sekuat tenaga memohon kehidupan. Namun permohonanmu tidak akan dikabulkan”.

Dengan nasehat ini aku ingin membangunkan hati dari tidurnya, menghentikan jiwa dari bergelimang dalam kesesatan dan syahwatnya.

Dengan nasehat ini aku ingin orang yang shalih bertambah keshalihannya dan orang yang lalai segera bangun sebelum menyesal atau sebelum kematiannya.

Kalian telah melihat kehidupan ini berlalu dengan cepat, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Ada yang lahir sementara yang lain meninggal. Rahim mengeluarkan bayinya, sementara bumi menelan mayit.

Saudara-saudaraku, kehidupan di dunia ini terbatas waktunya. Dia pasti akan berakhir. Orang-orang shalih akan mati, begitu juga orang-orang jahat. Orang-orang bertaqwa akan meninggal, begitu juga yang bergelimang dosa.

Para pahlawan dan mujahid, para penakut dan orang yang lari meninggalkan medan jihad, semua akan mati. Orang-orang mulia yang hidup untuk akhirat dan orang-orang tamak yang hidupnya hanya untuk kesenangan dunia, semuanta tak akan luput dari kematian.

Orang-orang yang memiliki cita-cita tinggi atau hidup hanya untuk syahwat kemaluan dan perut, semuanya pasti dicabut nyawanya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. [ar-Rahmân/55: 26]

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. [Ali Imrân/3:185]

Semua makhluk yang bernyawa akan mengalami kematian. Ia merupakan hakekat, namun kita selalu berusaha lari darinya. Kematian merupakan hakekat, yang bisa menjungkalkan.

• Keangkuhan orang-orang yang bersombong
• Penentangan orang-orang yang menyimpang
• Kezhaliman para thagut yang mengangkat dirinya sebagai tuhan yang harus ditaati.

Kematian merupakan hakekat yang akan dialami oleh semua yang bernyawa, bahkan para Nabi dan Rasul. Allâh berfirman.

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ? [al-Anbiyâ’/21:34]

Kematian merupakan realita yang terdengar sepanjang zaman dan di setiap tempat. Dia terdengar di telinga, masuk ke pemikiran semua orang yang berakal dan mengetuk hati semua orang yang hidup. Dia membisikan bahwa semua orang akan mati, kecuali Dzat yang memiliki kemuliaan dan keperkasaan.

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allâh. [Al-Qashshash/28:88]

Kematian merupakan realita yang mungkin dihindari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allâh), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". [al-Jum’ah/62: 8]

Ya, kematian itu pasti akan menemui kamu...di mana saja kamu berada, kamu akan mati,
Wahai orang-orang kuat ...
Wahai orang-orang kuat, nan muda usia ...
Wahai orang-orang cerdas dan jenius ...
Wahai pemimpin, pembesar ...
Wahai orang fakir dan rakyat jelata ...
Semua orang yang menangis (karena kematian orang yang dicintai), dia juga akan membuat orang lain menangis (ketika dia mati) ...
Semua pembawa berita kematian, dia juga akan diberitakan kematiannya...
Semua harta simpanan akan binasa ...
Semua yang disebut-sebut akan dilupakan ...
Tidak ada yang kekal selain Allâh.
Jika ada orang yang merasa tinggi, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala lebih tinggi.

Ketahuilah, semoga Allâh menjagamu, orang yang hidup pasti akan mati ... dan orang yang mati akan hilang (dari kehidupan) ... dan semua yang akan datang pasti akan tiba waktunya ...

مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allâh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allâh itu, pasti datang. [Al-Ankabut/29: 5]

Wahai saudaraku, kehidupanmu yang hakiki akan mulai setelah kematianmu … Persiapkanlah segala sesuatu untuk bekal menjalani kehidupanmu yang sebenarnya. Amal kebaikan, itulah bekal menghadap Allâh Azza wa Jalla.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari makalah berjudul Ablaghul ‘Izhaat, karya syaikh Khalid ar-Raasyid)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-5/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



http://almanhaj.or.id/
_______