Sunday, April 28, 2013

Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan



Kaidah Ke. 26 : Jika Terjadi Perselisihan



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Enam

يُقْبَلُ قَوْلُ اْلأُمَنَاءِ فِي الَّذِي تَحْتَ أَيْدِيْهِمْ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ وَاْلإِتْلاَفِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ مَا خَالَفَ الْحِسَّ وَالْعَادَةَ

Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan, Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan Kebiasaan[1]


Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara pemilik harta dan orang yang diserahi amanah[2] untuk mengelola harta tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta (pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti dirinya.

Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi barang mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah kebakaran. Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran, maka perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah kebakaran, kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang dititipi harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa barang yang dititipkan itu tidak ikut terbakar, sementara orang yang diserahi amanah menyatakan bahwa barang itu juga terbakar, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah.[3]

Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia berkata kepada yang diserahi amanah, "Engkau wajib mengganti karena engkau tidak menjaga harta itu!" Sementara orang yang diserahi amanah menyanggahhh, "Saya sudah sungguh-sungguh menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti." Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan barang, diterima.

2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik harta berkata, "Engkau belum menawarkan pakaian itu !" Dan orang yang diserahi amanah berkata, "Saya telah menawarkannya." Maka, dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta, diterima.

3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka dalam hal ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya memang ia telah mendapatkan izin dari pemilik harta untuk membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.

Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang tersebut ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si peminjam tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi kecuali apabila ia tidak benar-benar menjaganya (tafrith) atau berlebihan dalam pemanfaatannya (ta'addi).[4]

4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata bahwa barang tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka perkataan si penyewa diterima karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah.[5]

5. Dalam akad mudahrabah,[6] perkataan mudharib (pengelola barang mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan dengan penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad yang ia lakukan dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan pengelolaan barang yang diamanahkan kepadanya.[7]

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau belum. Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta yang diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si pemilik menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama menjelaskan, apabila si penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama sekali pada harta tersebut, maka perkataannya diterima. Namun apabila dia memiliki kepentingan, maka perkataannya ditolak.(apabila harta yang diamanahkan tersebut semata-mata untuk maslahat si pemilik harta maka asalnya perkataan orang yang diserahi amanah diterima. Namun, apabila orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari harta yang diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah diterima).[8]

Implementasinya sebagai berikut :
1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta uang yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang tersebut sudah dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan Hasan dan ia tidak dituntut untuk mendatangkan bukti pengembalian. Karena Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya. Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat ihsan :

مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [at-Taubah/9:91]

2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan mengatakan bahwa ia telah mengembalikan semua harta yang ia selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti ini, perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-Taubah di atas.[9]

3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama, terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini, hukum berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang tersebut adalah untuk kepentingan dirinya serta untuk mengambil manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak diterima kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang tersebut.

4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan. Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan. Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia membawa mobil untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat darinya. [10]
Wallohu A'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kaidah Ke. 25 : Pengundian Disyariatkan Apabila Yang Berhak Tidak Diketahui


QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh lima

تُشْرَعُ الْقُرْعَةُ إِذَا جُهِلَ الْمُسْتَحِقُّ وَتَعَذَّرَتِ الْقِسْمَةُ

Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak Tidak Diketahui
Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan



Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian[1] -saat tidak diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ

Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam pengundian [ash-Shâffât/37:141]

Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus Alaihissallam ketika meninggalkan kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau, sehingga sampailah beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar, maka beliau pun naik ke kapal tersebut. Ternyata muatan kapal tersebut terlalu penuh muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila muatan tidak dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu, mereka mengadakan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikeluarkan dari kapal. Setelah dilakukan undian, keluarlah nama Nabi Yunus Alaihissallam. Selanjutnya beliau dilemparkan keluar dari kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan dan tinggal beberapa waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.[2]

Contoh lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ

Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. [Ali ‘Imrân/3:44]

Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani Israil yang berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak mengasuh Maryam. Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk mengundi siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-pena mereka, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang penanya tidak hanyut terbawa arus sungai, maka dia lah yang berhak mengasuh Maryam. Ternyata pena Nabi Zakariya Alaihissallam lah yang tidak hanyut terbawa air sungai, sehingga beliau lah yang berhak mengasuh Maryam.[3]

Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ, فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهَ.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata : Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin bepergian, maka beliau mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka beliau akan pergi bersamanya [4]

Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia antaranya adalah sebagai berikut :

1. Apabila ada dua orang berebut untuk mengumandangkan adzan, sedangkan keduanya bukan muadzin râtib[5] dan tidak ada kelebihan salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan, maka penentuan yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan dengan pengundian.

2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama berkeinginan menjadi imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan bacaan, kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi imam ditentukan dengan pengundian.

3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang tertentu, baik berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang paling layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang. Ternyata sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang yang sama, dan sulit ditentukan siapa di antara mereka yang paling layak mendapatkan barang tersebut. Maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.

4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan disholatkan maka jenazah orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat dengan imam [6]. Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya, maka yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan pengundian.

5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan dalam satu liang lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau tenaga pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke liang lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah orang yang paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang paling berilmu dan paling banyak menghafal al Qur’ân [7] Namun, apabila kedua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dalam ilmu dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke liang lahat ditentukan dengan undian.

6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa suatu barang tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka orang yang berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian. Namun demikian, apabila barang tersebut bisa dibagi dan keduanya bersepakat untuk membagi barang tersebut menjadi dua bagian dan masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini diperbolehkan.[8]

7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan suatu barang atau perkara mubâhât[9] , dan barang tersebut tidak mungkin dimiliki secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan sama-sama berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di dalam masjid, maka dalam hal ini penentuan yang berhak duduk di tempat tersebut dilakukan dengan pengundian.

8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan pernikahan dan seluruh karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan menjadi wali nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali nikah dilakukan dengan pengundian.

9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak, kemudian ia membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah yang ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.

Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, perlu dipahami bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini termasuk perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân, Sunnah, dan Ijmâ'. Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus berikut:

1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh dua orang. Kemudian keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.

2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang kepada si Fulan (seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan pengundian, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya keluar dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini termasuk dalam kategori perjudian. [10] Wallâhu a'lam.[11]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Kaidah Ke. 24 : Yang Tercepat Yang Lebih Baik



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Empat

مَنْ سَبَقَ إِلَى الْمُبَاحَاتِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut


Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat tertentu, tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.

Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.[1]

Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih berhak terhadap tanah itu.[2]

Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara mubâhât lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang disebutkan dalam hadits diatas.

Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :

1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut. Maka dalam hal ini yang paling didahulukan adalah sawah yang posisinya paling tinggi, karena biasanya posisinya lebih dekat dengan suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan telah cukup maka barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.

2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan tersebut. Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian pula keberadaan kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput, barangsiapa lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak mendapatkannya.

3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di suatu tempat di masjid mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid datang dan menyuruh Ahmad berdiri, kemudian Zaid duduk di tempat tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan. Karena Ahmad lebih dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih berhak untuk duduk di sana.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا

Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran dan keluasan.[3]

4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah, rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang diwakafkan. Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-barang tersebut, dia lebih berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk ditempati oleh fakir miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu sampai ke rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya, sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.

Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir (pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada persetujuan nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih dahulu sampai pada barang-barang itu.

5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah tersebut.

Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah itu tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur di area tanah tersebut sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa dilakukan dengan mengalirkan air ke tanah tersebut baik dari sungai, atau selainnya untuk mengairi tanah tersebut. Atau dengan membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air, atau benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi miliknya.[4]

6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini dikarenakan orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga dia lebih berhak, Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ, حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau mengizinkannya.[5]

7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang pahala yang besar yang akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan berundi.[6]

Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada orang lain setelahnya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kaidah Ke. 23 : Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Tiga [1]


الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati Kecuali Syarat Yang Mengharamkan Suatu Yang Halal Atau Menghalalkan Suatu Yang Haram


Sebagaimana kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[2]

Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.

Syarat-syarat yang diperbolehkan sebagaimana hukum asalnya itu banyak, diantara contohnya :

1. Dalam akad jual beli.
a. Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat agar ia masih diberi hak untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya kepada Zaid dengan harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati rumah itu selama satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.

b. Seseorang membeli barang dengan syarat pembayarannya ditunda sampai jangka waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli sebuah rumah dari Zaid dengan harga tertentu, dengan syarat setengah dari harga tersebut langsung dibayarkan ketika akad, sedangkan setengahnya dibayarkan sebulan kemudian.

c. Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan dibelinya harus memiliki sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin membeli budak dan ia mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus mempunyai keahlian tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian lainnya. Demikian pula apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia mensyaratkan kepada si penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi susunya banyak atau selainnya.

2. Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang menghutangi menetap syarat harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada orang yang berhutang. Misalnya Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Kemudian Zaid berkata, “Saya mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”

3. Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang mewakafkan suatu barang disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan barang wakaf itu harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si pewakaf, selama syarat tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang mewakafkan sebidang tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid. Maka pemanfaatan tanah tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan pewakaf.

4. Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh pasangan suami isteri dalam ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita berkata kepada calon suaminya, “Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya tetap tinggal di kampung kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan supaya tidak dipoligami atau syarat-syarat semisalnya. Maka hokum asal dari persyaratan-persyaratan tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

Sesungguhnya syarat yang paling wajib kalian tunaikan adalah syarat-syarat untuk menghalalkan pernikahan.[3]

Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syarat-syarat tersebut tidak boleh dipenuhi dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah dalam kasus jual beli budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan syarat kalau budak itu nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang baru) maka wala’nya [4] untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan budak.[5]

Syarat-syarat yang diharamkan itu terbagi menjadi dua :

1. Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.

Demikian pula syarat tahlîl dalam pernikahan. Apabila seorang wanita telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si suami tidak bisa ruju’ bekas isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut telah dinikahi laki-laki lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya yang baru tersebut dan telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa ada unsur rekayasa. Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar wanita tersebut, kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah dan berhubungan suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlîl dalam perrnikahan.
Syarat mut’ah dan syarat tahlîl adalah syarat yang fâsid (rusak) yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini bertentangan dengan tujuan awal pernikahan disyari’atkan.

2. Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan akadnya batal.
Misalnya, pernikahan dengan syarat tanpa mahar. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tanpa memberikan mahar kepada isterinya.

Demikian pula apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tidak memberikan nafkah kepada isterinya, atau dengan syarat bahwa isterinya tersebut mendapatkan giliran lebih banyak atau lebih sedikit daripada isteri-isterinya yang lain.

Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang fasid (rusak) namun tidak sampai menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru sebatas menafikan hal-hal yang wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak isteri atas suaminya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kaidah Ke. 22 : Shulh (Berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Dua


الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan Suatu Perkara Yang Halal


Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[1]

Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian) antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya.

Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :

1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai pengakuan)
Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia, misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam itu mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan inilah disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.

Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.

2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai pengingkaran)
Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berkepanjangan, akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya akan memberikanmu sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” Jika orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”

3. Berdamai dalam khiyâr 'aib (hak pembeli untuk membatalkan transaksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikannya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si penjual mengatakan, "Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?"

Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori berdamai yang diperbolehkan.

4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad dan mengatakan, "Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang."

Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah di atas.

5. Berdamai dalam hak syuf'ah.
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak syuf'ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini. Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.
Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut diyât, maka jumlahnya telah ditentukan dalam syari'at yaitu sejumlah 100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, "Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?" Apabila Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang diperbolehkan.

8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya, kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, "Aku ingin tetap menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku dikurangi." Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka. [an Nisâ'/4:128]

Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka hal tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik lewat perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari perdamaian itu adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram.

Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :

1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya kepada Zaid. Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, "Aku juga lupa berapa jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang sebenarnya lebih besar dari itu." Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia telah menghalalkan perkara yang haram.

2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya. Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, "Berilah tenggang waktu kepadaku selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 100.000 dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu." Jika Zaid setuju, maka perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.
Wallâhu a'lam.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُُرُوْطِهِمْ diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin 'Amr bin 'Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi' bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.


Lalai Dari Mohon Petunjuk, Bahaya Sombong, Iri, Emosi Dan Nafsu Syahwat


LALAI DARI MEMOHON PETUNJUK

Oleh
Hamd bin Ibrâhim al-‘Utsmân


Jika seseorang berpikir tentang orang-orang yang tersesat, baik orang yang telah mendahuluinya maupun yang semasa dengannya, maka dia akan mendapati banyak di antara mereka itu ternyata orang-orang yang cerdas.

Kecerdasan semata tidaklah menjamin pemiliknya untuk meraih petunjuk dan kebenaran, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla lah yang memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Akan tetapi Allâh menunjuki siapa yang Dia kehendaki [al-Baqarah/2:272]

Inilah yang diakui oleh orang-orang yang telah memperoleh hidayah, yang mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla dan keutamaan-Nya pada mereka. Al-Barâ’ bin ‘Azib berkata, “Dahulu pada perang Ahzâb, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ikut bersama kami memikul tanah, dan aku melihat perut beliau yang putih terkotori tanah, seraya mengucapkan,

لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

Ya Allâh, sekiranya bukan karena-Mu pasti kami tidak akan mendapat petunjuk, dan kami akan bersedekah dan menunaikan shalat [HR. al-Bukhâri Muslim]

Allâh Azza wa Jalla telah berfirman tentang para penduduk surga :

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

Para penduduk surga berkata, “Segala puji bagi Allâh yang telah menunjuki kami surga ini, kami tidak akan mendapat petunjuk kiranya Allâh tidak menunjuki kami” [al-A’râf /7:43]

Ada banyak hal yang menimbulkan masalah, perbedaan pendapat dan pertentangan. Akibatnya, kebenaran pun menjadi begitu samar bagi orang yang mencarinya. Karena itu, kita harus memohon petunjuk kepada Allâh Dzat yang Maha pemberi Petujuk, Maha mengetahui, dan Maha memutuskan urusan yang diperselisihkan oleh manusia.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terkadang suatu perkara menjadi samar di permulaannya, kemudian Allâh Azza wa Jalla menunjuki orang-orang yang beriman kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan seizin-Nya setelah (dia) memohon pertolongan dan petunjuk kepada Allâh Azza wa Jalla , serta merasa butuh kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla akan menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.”[1]

Beliau juga menegaskan, “Pada dasarnya, seorang hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk yang dia mohon dan minta dari Allâh Azza wa Jalla . Maka, dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla dan merasa butuh kepada-Nya, Allâh Azza wa Jalla akan memberinya petunjuk, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali yang aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan menunjuki kalian [HR. Muslim no. 4674]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan permohonan hidayah dalam doa berikut:

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allâh, Rabb Jibrîl, Mikâil, dan Isrâfîl, pencipta langit dan bumi, yang Maha mengetahui hal yang gaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perkara yang diperselisihkan para hamba-Mu, maka tunjukilah aku kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya engkau menunjuki kepada siapa pun yang engkau kehendaki ke jalan yang lurus [HR. Muslim no. 1289]

Beliau juga mengatakan, “Jika seorang hamba merasa butuh kepada Allâh Azza wa Jalla, kemudian senantiasa merenungi firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Rasul-Nya, perkataan para Sahabat, Tâbi’în dan imam kaum Muslimin, maka akan terbuka jalan petunjuk baginya.”[3]

Beliau pun berkata, “Barang siapa yang telah melihat kebenaran dengan jelas, maka dia harus mengikutinya, dan barangsiapa yang masih samar, maka dia harus diam sampai Allâh Azza wa Jalla memberikan kejelasan baginya. Hendaklah dia mencari pertolongan dengan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla.

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi Mûsâ Alaihissallam :

عَسَىٰ رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ

Mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar [al-Qashash/28:22]

Al’allâmah as-Sa’di rahimahullah berkata, “Seseorang yang mendalami sebuah ilmu, ketika hendak mengamalkannya atau berbicara tentangnya, jika belum jelas baginya kebenaran salah satu dari dua pendapat setelah menginginkan kebenaran dengan hatinya dan mencarinya, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan orang yang demikian. Ini seperti yang telah terjadi pada Nabi Mûsâ Alaihissallam, tatkala hendak pergi menuju kota Madyan dalam keadaan tidak tahu jalan menuju ke sana, beliau memanjatkan doa yang artinya ‘mudah-mudahan Rabbku menunjuki aku jalan yang benar’ dan Allâh Azza wa Jalla telah menunjuki dan mewujudkan harapan serta impiannya.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika tujuan itu semakin besar, dan rekan yang berilmu lagi pemberi nasehat telah bersamamu, maka berangkatlah dengan segenap semangat di hadapan pendahulumu, dan hendaklah kamu senantiasa ingat dengan Dzat yang telah mengajarkan kebenaran pada Ibrâhim Alaihissallam.”[4]

(Diadaptasi dari ash-Shawârif ‘Anil Haqqi, Hamd bin Ibrâhim al-‘Utsmân, Dar Imâm Ahmad Cet. II Th).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shafadiyyah hlm. 1/295
[2]. Majmû Fatâwa 4/39
[3]. Majmû Fatâwa 5/118
[4]. Miftâhu Dâris Sa’âdah 1/32


BAHAYA SOMBONG, IRI, EMOSI DAN NAFSU SYAHWAT

Sendi-sendi kekufuran itu ada empat : al-kibr (kesombongan), al-hasad (rasa iri), al-ghadab (marah atau emosi) dan asy-syahwat (nafsu syahwat)

Kesombongan akan menghalangi seseorang dari berbuat taat. Rasa iri menghalangi seseorang dari menerima atau memberikan nasehat. Marah menghalangi seseorang dari berbuat adil. Nafsu menghalangi seseorang dari memfokuskan diri pada ibadah. Artinya, jika sendi kesombongan itu sirna, maka seseorang akan dengan mudah melakukan ketaatan. Jika tidak ada rasa iri dengki, maka seseorang akan mudah menerima atau memberikan nasehat. Jika tidak emosi, maka seseorang bisa berlaku adil dan tawaddhu’ (merendahkan diri) dengan mudah. Jika syahwat tidak ada, maka dengan mudah seseorang bisa bersabar, menahan diri dan memfokuskan diri untuk beribadah.

Keempat sifat tercela ini tidak bisa hilang begitu saja. Gunung yang kokoh lebih mudah sirna dibandingkan empat sifat ini. Terutama jika sifat-sifat ini sudah menjadi perangai yang melekat, maka tidak ada satu amalan pun yang bisa dilakukan dengan konsisten serta jiwa pelakunya tidak bisa bersih selama sifat-sifat buruk ini masih melekat meskipun dia melakukan amal shalih. Tiap kali berusaha melakukan amal shalih, empat sifat ini datang merusaknya. Dan semua bencana yang menimpa seseorang bermula dari empat sifat ini. Jika sifat-sifat sudah bertengger di hati, dia akan mengubah pandangan hati, yang bathil terlihat haq dan yang haq terlihat bathil, yang ma’rûf terlihat mungkar dan begitu sebaliknya. Sifat-sifat ini akan mendekatkan pelakunya kepada dunia dan menjauhkannya dari akhirat.

Jika kita merenungi kekufuran berbagai umat, kita akan dapati bahwa kekufuran mereka itu berawal dari sifat-sifat tercela ini. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan adzab. Berat atau ringannya adzab tergantung pada berat atau ringannya sifat-sifat buruk ini pada seseorang. Barangsiapa memberi kesempatan kepada sifat-sifat ini untuk bertengger dihatinya, berarti dia telah membuka seluruh pintu keburukan bagi dirinya, di dunia dan akhirat. Sebaliknya, barangsiapa yang menutup celah bagi sifat-sifat ini, berarti dia telah menutup semua jalan keburukan. Sifat-sifat buruk ini menghalangi seseorang dari ketaatan, ikhlas, taubat, menerima kebenaran, menerima nasehat serta menghalangi dari tawaddhu’ kepada Allah Azza wa Jalla dan sesama makhluk.

Sifat-sifat buruk ini bisa muncul disebabkan oleh ketidak-tahuan seorang hamba terhadap Rabb-nya dan ketidak-tahuannya terhadap dirinya. Orang yang mengenal Rabb-nya dengan berbagai sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya, juga mengenal dirinya sendiri dengan berbagai aib dan kekurangannya, maka dia tidak akan sombong, tidak akan emosi dan tidak akan merasa iri dengan nikmat yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada orang lain. Memendam rasa iri sebenarnya termasuk pembangkangan terhadap Allah Azza wa Jalla . Karena dia membenci anugerah Allah Azza wa Jalla yang ada pada seorang hamba, padahal Allah Azza wa Jalla menyukai pemberian ini. Si pendengki ini menginginkan anugerah Allah Azza wa Jalla itu lenyap dari si hamba, padahal Allah Azza wa Jalla sebaliknya. Dengan demikian, berarti si pendengki menentang Allah Azza wa Jalla dalam qadha’, mahabbah dan kemurahan-Nya. Dengan sebab sifat sombong dan iri dengki inilah, setan menjadi musuh hakiki bagi Allah Azza wa Jalla .

Kedua sifat tercela ini bisa ditakhlukkan dengan mengenal Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan-Nya, merasa ridha dengan Allah Azza wa Jalla serta bertaubat kepada-Nya.

Sifat murka atau emosi bisa ditundukkan dengan mengenal diri sendiri dan menyadari bahwa dia tidak pantas untuk murka demi membela hawa nafsu. Jika dia marah demi membela hawa nafsu, berarti dia lebih memilih menyenangkan hawa nafsunya dan murka terhadap Allah Azza wa Jalla . Padahal, seorang Mukmin tidak boleh seperti itu. Cara paling jitu untuk menghilangkan sifat marah yaitu membiasakan diri untuk merasa marah hanya karena Allah Azza wa Jalla atau ridha hanya karena Allah Azza wa Jalla . Karena setiap kali marah dan ridha seperti ini datang, maka lawannya akan menghilang, begitu pula sebaliknya.
Sedangkan obat hawa nafsu yaitu dengan meyakini bahwa mengikuti semua keinginan nafsu sebenarnya menjadi penyebab utama terhalangnya nafsu kepada kenikmatan hakiki; dan memelihara nafsu itu menjadi penyebab utama bagi terhalangnya nafsu untuk mendapatkan kenikmatan. Setiap kali engkau membuka pintu syahwat berarti sama saja engkau berusaha menghalanginya dari kenikmatan yang hakiki, dan setiap kali engkau menghalanginya nafsu syahwat berarti engkau berusaha untuk menghantarkan nafsu agar bisa mencapai kenikmatan yang hakiki.

Rasa marah terhadap takdir itu sama seperti binatang buas. Jika dilepas, dia akan mulai menerkam pemiliknya.

Syahwat itu ibarat api. Ketika dinyalakan, dia siap membakar orang yang menyalakannya. Rasa sombong itu seperti kaum pemberontak, jika dia tidak berhasil membunuhmu, maka dia akan mengusirmu dari wilayah kekuasaanmu, dan rasa iri itu sama seperti pembangkang terhadap Dzat yang lebih berkuasa darimu (yaitu Allah Azza wa Jalla )

Jika orang yang berhasil menaklukkan syahwat dan emosinya, maka setan akan menjauhinya; sedangkan orang yang bertekuk lutut terhadap nafsu syahwat dan emosinya, maka dia takut terhadap bayang-bayangnya sendiri.

Ya Allah, jadikanlah jiwa-jiwa kami jiwa yang bertakwa, bersihkanlah ia. Engkaulah Dzat terbaik yang bisa membersihkan jiwa-jiwa kami

(Diangkat dari Fawâidul Fawâid, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqîq Syaikh Ali Hasan bin `Ali bin `Abdul Hamîd al-halaby al-atsary, hlm. 288-290)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/

_

No comments:

Post a Comment