Thursday, April 11, 2013

AMAR MA’RÛF NAHI MUNKAR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH




AMAR MA’RÛF NAHI MUNKAR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنَ لَـمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْـمَـانِ».

Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh :
1. Muslim (no. 49).
2. Ahmad (III/10, 20, 49, 52-53, 54).
3. Abu Dâwud (no. 1140, 4340).
4. An-Nasâ'i (VIII/111-112).
5. At-Tirmidzi (no. 2172).
6. Ibnu Mâjah (no. 1275, 4013).
7. ‘Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf (no. 5649).
8. Abu ‘Awanah (I/35).
9. Ibnu Hibbân (no. 306, 307) dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
10. Abu Ya’la (no. 1005, 1198).
11. Al-Baihaqi dalam Sunannya (III/296-297) dan dalam Syu’abul Iimân (no. 7153).
12. Ath-Thayâlîsi dalam Musnadnya(no. 2310).
13. Ibnu Mandah dalam al-Iimân (no. 179-182).
14. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (VII/304, no. 10611; X/27, no. 14387).

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari banyak jalur.

SYARAH HADITS
Hadits di atas menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan. Pengingkaran terhadap kemungkaran hukumnya wajib, karena orang yang hatinya tidak mengingkari kemungkaran, menunjukkan iman telah hilang dari hatinya.[1]

1. Definisi Amar Ma’rûf Nahi Munkar
A. Definisi al-Ma’ruf
ar-Râghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama bagi setiap perbuatan yang diketahui kebaikannya oleh akal atau syari’at, sedangkan al-munkar adalah apa yang diingkari oleh keduanya.”[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan, “al-Ma’rûf adalah satu nama yang mencakup segala yang dicintai oleh Allâh, berupa iman dan amal shalih.”[3]

Sedang menurut syari’at, al-ma’rûf adalah segala hal yang dianggap baik oleh syari’at, diperintah melakukannya, dipuji dan orang yang melakukannya dipuji pula. Segala bentuk ketaatan kepada Allâh masuk dalam pengertian ini. al-Ma'rûf yang paling utama adalah mentauhidkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya.[4]

B. Definisi al-Munkar
al-munkar adalah segala yang dilarang oleh syari’at atau segala yang menyalahi syari’at.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “al-Munkar adalah satu nama yang mencakup segala yang di larang Allâh.”[6]

Ketika menerangkan sifat umat Islam, Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengakatakan, “Sesungguhnya mereka menyuruh kepada (perbuatan) yang ma’rûf dalam syari’at ini dan melarang dari yang mungkar. Dan yang dijadikan tolok ukur bahwa sesuatu itu ma’rûf atau mungkar adalah al-Kitab (al-Qur'ân) dan as-Sunnah.”[7]

Dari penjelasan ini, jelas bahwa menentukan suatu keyakinan, perkataan atau perbuatan itu ma’rûf atau munkar bukanlah hak pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Namun semua itu dikembalikan kepada penjelasan al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.[8]

2. Keutamaan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 689 H) mengatakan, “Ketahuilah, bahwa amar ma’rûf nahi munkar adalah poros yang paling agung dalam agama. Ia merupakan tugas penting yang karenanya Allâh mengutus para Nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan di mana-mana dan dunia akan hancur.”[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Amar ma’rûf nahi munkar merupakan penyebab Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para Rasûl-Nya, serta bagian inti agama.”[10]

Di antara keutamaan amar ma’rûf nahi munkar yaitu:

a. Termasuk kewajiban paling penting dalam Islam.
b. Sebagai sebab keutuhan, keselamatan dan kebaikan bagi masyarakat.
c. Menghidupkan hati.
d. Sebagai faktor yang bisa mengundang pertolongan, kemuliaan dan kekuasaan di bumi.
e. Amar ma’rûf nahi munkar termasuk shadaqah.
f. Menolak marabahaya.
g. Orang yang mencegah dari perbuatan mungkar akan diselamatkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
h. Amar ma’rûf nahi mungkar termasuk sifat-sifat orang mukmin yang shalih.
i. Amar ma’rûf nahi munkar adalah jihad yang paling utama.
j. Amar ma’rûf nahi munkar termasuk sebab dosa diampuni.
k. Amar ma’rûf nahi munkar adalah perkataan yang paling baik dan seutama-utama amal.

3. Akibat dan Pengaruh Jelek Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Mendapat laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , celaan dan kehinaan
b. Kerusakan akan semakin parah.
c. Mendapat hukuman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
d. Dikuasai oleh musuh-musuh Islam.
e. Do'a tidak dikabulkan.
f. Akan dibinasakan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
g. Akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.
h. Jatuh dalam kebinasaan, membuat hati sakit atau bahkan mematikannya.

4. Hukum Mengingkari Kemungkaran
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu ada dua :

Pertama : Fardhu kifayah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang ma’rûf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Ali ‘Imrân/3:104]

Mengenai tafsir ayat ini, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini ialah hendaklah ada segolongan dari umat ini yang siap memegang peran ini (amar ma’rûf nahi munkar)...”[11]

Imam Ibnul ‘Arabi berkata, “Ayat ini dan ayat berikutnya merupakan dalil bahwa amar ma’rûf nahi munkar itu fardhu kifâyah...”[12]

Oleh karena itu wajib bagi ulil amri (pemerintah) untuk menunjuk sejumlah orang yang memiliki kemampuan dan persiapan untuk menjalankan tugas ini. Karena ada beberapa perbuatan mungkar yang tidak bisa diubah kecuali oleh sejumlah orang tertentu yang memiliki ilmu, pemahaman yang benar dan sikap hikmah. Misalnya untuk membantah firqah Bâthiniyah (shufiyah) dan menjelaskan kekeliruan keyakinan mereka dan lainnya. Apabila lembaga ini menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya.[13]

Pengingkaran kemungkaran dengan tangan dan lisan, wajib dilakukan sesuai kemampuan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا عُمِلَتِ الْـخَطِيْئَةُ فِـي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا كَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً : أَنْكَرَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

Jika sebuah kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya kemudian membencinya (Beliau n pernah bersabda: lalu mengingkarinya) sama seperti orang yang tidak melihatnya sementara orang tidak melihatnya namun merestuinya maka sama seperti orang yang melihatnya.[14]

Kedua, Fardhu ‘ain.
Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya...,” menunjukkan bahwa mengingkari kemungkaran wajib atas setiap individu yang memiliki kemampuan serta mengetahui kemungkaran atau melihatnya.[15]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya amar ma’rûf nahi munkar adalah fardhu kifâyah kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia.”[16]

Jadi, orang yang melihat kesalahan kemudian membencinya dengan hati, sama seperti orang yang tidak melihatnya namun tidak mampu mengingkarinya dengan lisan dan tangannya. Sementara orang yang tidak melihat kesalahan itu kemudian merestuinya, ia sama seperti orang yang melihatnya, namun tidak mengingkarinya padahal ia mampu mengingkarinya. Karena merestui kesalahan-kesalahan termasuk perbuatan haram yang paling buruk serta menyebabkan pengingkaran dalam hati tidak dapat dilaksanakan padahal pengingkaran dengan hati merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan tidak gugur dari siapa pun dalam semua kondisi.[17]

Dari penjelasan dapat diketahui bahwa mengingkari kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap Muslim dalam semua kondisi, sedang mengingkarinya dengan tangan dan lidah itu sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْـمَعَاصِيْ يَقْدِرُوْنَ عَلَـى أَنْ يُغَيِّرُوْا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوْا إِلَّا يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ.

Tidaklah suatu kaum yang dikerjakan ditengah-tengah mereka berbagai kemaksiatan yang mampu mereka mencegahnya namun tidak mereka cegah, melainkan Allâh pasti akan menurunkan hukuman kepada mereka semua.[19]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ الْعَبْدَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ : مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ الْـمُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ : يَا رَبِّ ، رَجَوْتُكَ ، وَفَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ.

Sesungguhnya Allâh pasti bertanya kepada seorang hamba pada hari Kiamat hingga Dia bertanya, ‘Apa yang menghalangimu dari mengingkari sebuah kemungkaran jika engkau melihatnya?’ Jika Allâh telah mengajarkan hujjah kepada hamba-Nya tersebut, hamba tersebut berkata, ‘Rabb-ku, aku berharap kepada-MU, dan aku tinggalkan manusia.[20]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam khutbahnya,

أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رُجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

Ingatlah, janganlah sekali-kali rasa segan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika ia mengetahuinya.

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menangis kemudian berkata, “Sungguh, demi Allah, kita melihat banyak hal kemudian kita segan.”

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dengan tambahan,

فَإِنَّهُ لَا يُقَرِّبُ مِنْ أَجَلٍ وَلَا يُبَاعِدُ مِنْ رِزْقٍ أَنْ يُقَالَ بِحَقٍّ أَوْ يُذْكَرَ بِعَظِيْمٍ

Karena mengucapkan yang haq atau mengingatkan tentang suatu yang besar tidak mendekatkan kepada ajal dan tidak menjauhkan dari rezeki.[21]

Hadits tersebut ditafsirkan bahwa penghalang untuk mengingkari kemungkaran itu hanya sekedar segan dan bukannya takut yang menghapus kewajiban mengingkari kemungkaran.[22]

Bagaimana Hukum Mengingkari Kemungkaran Kepada Penguasa?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الْـجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ (وفي رواية: عَدْلٍ) عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

Jihad terbaik ialah mengatakan kalimat yang haq (dalam riwayat lain: adil) kepada pemimpin yang zhalim.[23]

Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anuhma, ‘Aku memerintah kebaikan kepada penguasa dan melarangnya dari kemungkaran?’ Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menjawab, ‘Jika engkau takut dia membunuhmu, jangan engkau lakukan.’ Aku mengulangi perkataanku itu tadi, namun Ibnu ‘Abbâs c menjawab seperti jawaban semula. Aku mengulangi perkataanku namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tetap berkata seperti semula dan berkata, ‘Jika engkau memang harus melakukannya, maka kerjakan secara empat mata dengannya.’[24]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajibannya[25]

Sedangkan membelot dari penguasa dengan mengangkat pedang (senjata) maka dikhawatirkan menimbulkan sejumlah fitnah yang menyebabkan pertumpahan darah kaum Muslimin. Jika seseorang ingin maju mengingkari kemungkaran para penguasa namun pada saat yang sama dikhawatirkan tindakannya akan membawa dampak negatif kepada keluarga dan tetangganya, maka ia sebaiknya tidak melakukannya. Karena tindakannya akan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Itulah yang dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyâdh t dan yang lainnya. Jika seseorang khawatir dirinya dibunuh, atau dicambuk, atau dipenjara, atau diborgol, atau diasingkan, atau hartanya dirampas, dan ancaman-ancaman lainnya, maka kewajiban menyuruh para penguasa melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran menjadi gugur darinya. Ini ditegaskan para imam, diantaranya Imam Mâlik rahimahullah, Ahmad rahimahullah, Ishâq rahimahullah dan lain-lain.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau, “Barangsiapa meneliti fitnah besar dan kecil yang terjadi dalam Islam, dia akan tahu bahwa fitnah itu disebabkan karena melalaikan pokok kaidah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemungkaran. Menuntut hilangnya kemungkaran, tetapi lahir darinya kemungkaran yang lebih besar. Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu kemungkaran besar di Makkah dan Beliau n tidak bisa mengubahnya. Bahkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala taklukkan Makkah menjadi negeri Islam, Beliau bertekad mengubah Ka’bah dan mengembalikannya sesuai pondasi bangunan Nabi Ibrahim Alaihissallam , tetapi tercegah (walaupun Beliau mampu) oleh kekhawatiran munculnya keburukan yang lebih besar, yaitu khawatir orang-orang Quraisy tidak bisa menerimanya karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan kekufuran. Oleh karena itu, tidak diizinkan mengingkari penguasa dengan tangan, karena menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.”[26]

5. Tingkatan Dalam Mencegah Kemunkaran
Amar ma’rûf nahi munkar memiliki tingkatan yang harus diketahui oleh pelakunya sehingga apa yang dilakukannya sesuai dengan tuntutan syari’at dan adab-adab yang mesti diperhatikan. Tingkatan ini telah diterangkan oleh para Ulama dahulu dan yang sekarang, dan mereka senantiasa menasihati para pelaku amar ma’rûf nahi mungkar dengannya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syari’at ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat ke lawannya, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah cermin keadilan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya, pemeliharaan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla dan kejujuran Rasûl-Nya.”[27]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk mengingkari kemungkaran agar terealisasi perbuatan ma’rûf yang dicintai Allâh dan Rasûl-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai oleh Allâh dan Rasûl-Nya maka tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya meskipun Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka, karena hal itu adalah sumber dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”[28]

Beliau rahimahullah melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:

1. Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
2. Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
3. Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
4. Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih berat (lebih besar).

Tingkatan yang pertama dan kedua disyari’atkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketiga –tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad-, dan tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).

Berikut tingkatan mengubah kemungkaran yang harus diketahui :

a. Mengetahui kemungkaran.
b. Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan syarat-syaratnya.
Tingkatan ini disyaratkan dengan adanya kekuasaan, kemampuan, hikmah, pemahaman, dan jauh dari hawa nafsu.
c. Mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tahapan-tahapannya.
Tahapan pertama, memberikan pengertian dan pelajaran dengan lemah lembut.
Tahapan kedua, melarang dengan cara memberikan pelajaran dan nasihat.
Tahapan ketiga, tegas dalam memberikan nasihat.
Tahapan keempat, mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
d. Mengingkari kemungkaran dengan hati
e. Mengingkari kemungkaran dengan pedang atau senjata

6. Perbedaan Tingkatan Tanggung Jawab Manusia Dalam Mengingkari Kemungkaran
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan semua kita melakukan amar ma’rûf nahi munkar sesuai dengan kemampuan. Tetapi yang perlu diperhatikan ialah manusia itu berbeda-beda tingkatannya dalam kewajiban ini. Seorang muslim yang awam (minim ilmu) wajib mengerjakan kewajiban ini sesuai kemampuannya. Ia harus menyuruh istri dan anak-anaknya dengan perkara-perkara agama yang telah diketahuinya.

Sedang para ulama memiliki kewajiban yang tidak dimiliki selain mereka karena mereka adalah pewaris para nabi. Jika mereka meremehkan tugas ini maka berbagai kekurangan akan menimpa umat ini, sebagaimana terjadi pada Bani Israil.

Sementara kewajiban pemerintah pada tugas ini sangat besar karena mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa banyak orang untuk kembali dari kemungkaran. Sebab orang yang terpengaruh dengan nasihat dan wejangan itu sangat sedikit. Apabila pemerintah menyepelekan tugas ini, maka ini merupakan bencana besar karena akan menyebabkan tersebarnya kemungkaran serta para pelaku kebatilan dan kefasikan semakin berani melakukan aksi-aksi batil mereka terhadap orang-orang yang berpegang pada kebenaran dan orang-orang yang mengadakan perbaikan.[29]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


AMAR MA’RÛF NAHI MUNKAR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



7. Mengingkari Kemungkaran Yang Terlihat dan Sudah Diketahui Sebagai Kemungkaran
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran.”

Ini menunjukkan bahwa pengingkaran kemungkaran itu terkait dengan penglihatan. Jika kemungkaran itu tersembunyi dan tidak terlihat, namun seseorang mengetahuinya, maka -dalam sebagian besar riwayat dari Imam Ahmad- orang yang mengetahuinya ini tidak boleh menyelidikinya dan memeriksa sesuatu yang ia ragukan. Di riwayat lain disebutkan dari Imam Ahmad bahwa orang tersebut harus menyingkapnya jika terbukti. Contoh, jika seseorang mendengar suara lagu yang diharamkan atau alat-alat hiburan dan ia mengetahui sumber suara itu, maka ia harus mengingkarinya. Karena kemungkarannya telah terbukti dan ia tahu tempatnya, sehingga sama seperti ia melihat langsung. Itu ditegaskan Imam Ahmad dan beliau berkata, “Jika ia tidak mengetahui tempat kemungkaran, maka tidak terkena kewajiban untuk mengingkari.”

Adapun memanjat tembok untuk mengetahui orang-orang yang berkumpul dalam kemungkaran, maka ini dibenci para imam, seperti Sufyân ats-Tsauri dan lain-lain, karena tindakan tersebut masuk dalam kategori memata-matai yang dilarang. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, “Celaka Walid bin ‘Uqbah, jenggotnya meneteskan minuman keras.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh melarang kita memata-matai.”[30]

8. Mengingkari Kemungkaran Dengan Hati
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِـي أُمَّةٍ قَبـْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَـخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ، وَيَفْعَلُوْنَ مَا لَا يُؤْمَرُوْنَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيْمَـانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.

Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allâh pada salah satu umat sebelumku melainkan ia mempunyai pengikut setia dan orang-orang yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah itu, datang generasi-generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa melawan mereka dengan tangannya, ia orang mukmin. Barangsiapa melawan mereka dengan lisannya, ia orang mukmin. Dan barangsiapa melawan mereka dengan hatinya, ia orang mukmin. Dan di belakang itu tidak ada iman sebesar biji sawi pun.[31]

Ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Sabda beliau tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang sanggup mengerjakan salah satu bagian dari iman itu lebih baik daripada orang yang meninggalkannya dan tidak sanggup mengerjakannya.

Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan, baik yang hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah adalah sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan. Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah fardhu ‘ain yang tidak bisa gugur bagaimana pun keadaannya. Hati yang tidak mengetahui perbuatan ma’rûf dan tidak mengingkari kemungkaran adalah hati yang kosong dan hampa dari iman. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mendengar orang berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak melarang dari kemungkaran,” kemudian Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :

هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ

Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.[33]

Maksud beliau Radhiyallahu anhu ialah bahwa mengetahui perbuatan ma’rûf dan kemungkaran dengan hati itu adalah kewajiban yang tidak gugur dari siapa pun. Adapun dengan tangan dan lisan sesuai dengan kemampuan. Dan ridha terhadap kemungkaran adalah dosa dan kesalahan yang paling jelek. Tanggung jawab seorang hamba tidak hilang dengan mengingkari kemungkaran dengan hati sampai ia benar-benar tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan dengan sebab bahaya yang mengancam badan atau harta serta ia tidak mempunyai kemampuan menanggung bahaya tersebut.

Faedah mengingkari kemungkaran dengan hati itu sangat sedikit, sedangkan faedah mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu sangat banyak.[34]

9. Mengingkari Kemungkaran yang Telah Disepakati Sebagai Kemungkaran
Kemungkaran yang wajib kita hilangkan ialah kemungkaran yang telah disepakati kaum muslimin sebagai kemungkaran seperti syirik, menyekutukan Allâh Azza wa Jalla , menyembah kubur, berdo’a dan meminta kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sihir, datang ke dukun ramal, mengada-ada perkara yang baru dalam agama yang tidak ada contoh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau bid’ah, riba, zina, minum khamr (minuman keras), tabarruj (bersolek bagi wanita untuk selain mahramnya), meninggalkan shalat dan yang sepertinya.

Adapun perkara-perkara yang masih diperselisihkan di antara ulama tentang hukum haram atau wajibnya, maka perlu ada perincian. Jika perselisihan dalam permasalahan itu lemah dan hujjah para ulama yang mengharamkannya kuat, maka orang yang melakukan perbuatan yang diperselisihkan hukumnya ini boleh diingkari. Namun jika perselisihan pendapat dalam masalah itu tajam, susah untuk memilih pendapat yang kuat dan tarjih hanya mampu dilakukan oleh para ulama yang berkompeten (mumpuni), maka orang yang melakukan perbuatan seperti ini -wallâhu a’lam- tidak boleh diingkari.[35]

Berkaitan dengan masalah kemungkaran yang jelas menyalahi nash dan bukan masalah ijtihâdiyah maka hal ini harus diingkari. Sebab betapa banyak bid’ah, syirik, maksiat dan kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dianggap masalah khilâfiyah dan ijtihâdiyah, padahal perbuatan tersebut adalah syirik, bid’ah dan menyimpang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang menyalahi dan menyelisihi al-Qur'ân dan Sunnah yang masyhur atau menyalahi kesepakatan generasi Salaf maka tidak diterima udzur (alasan)nya, maka diberlakukan muamalah terhadapnya seperti muamalah terhadap ahlul bid’ah yaitu wajib mengingkari mereka.”[36]

10. Kaidah-Kaidah Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’rûf nahi munkar
Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu itu ma’rûf atau munkar adalah Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang menjadi kesepakatan Salafush Shalih, dan bukan perkara-perkara yang menyelisihi syari’at namun dianggap baik oleh manusia.

Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikat amar ma’rûf nahi munkar
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata kepada para da’i yang mengajak manusia ke jalan Allâh dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar, “Hendaklah engkau berada di atas bayyinah dalam dakwahmu, maksudnya berada di atas ilmu. Jangan engkau menjadi orang yang tidak tahu terhadap apa yang engkau dakwahkan :

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku ! Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan bashirah (ilmu)...” [Yûsuf/12:108]

Maka harus ada ilmu, karena ilmu adalah wajib. Karena itu jauhilah olehmu berdakwah di atas kebodohan, jauhilah olehmu berbicara tanpa ilmu, karena orang yang tidak tahu itu hanya bisa menghancurkan dan tidak bisa membangun serta hanya bisa merusak dan tidak bisa memperbaiki.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bekal pertama yang harus dimiliki oleh para da’i yang mengajak ke (jalan) Allâh Azza wa Jalla ialah hendaklah ia berada di atas ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Adapun dakwah tanpa ilmu maka itu adalah dakwah di atas kebodohan, sedang dakwah di atas kebodohan maka lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, karena seorang da’i telah menempatkan dirinya sebagai seorang pembimbing dan pendidik; apabila ia bodoh maka ia menjadi orang yang sesat dan menyesatkan. Wal’iyâdzu billâh.”[37]

b. Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting
Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma’rûf nahi munkar. Yaitu hendaklah pelaku amar ma’rûf nahi munkar memulai dengan memperbaiki yang ushûl (pokok-pokok) ‘aqidah. Jadi, pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan melarang perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat; Kemudian ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat; kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.

c. Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata menjelaskan kaidah ini, “Amar ma’rûf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemungkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat daripadanya.”[38]

Syari’at Islam dibangun di atas kaidah mendatangkan maslahat (kebaikan) dan menyempurnakannya serta mencegah mafsadat (kerusakan) dan menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma’rûf nahi munkar ialah memperkirakan maslahat sehingga disyaratkan dalam amar ma’rûf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar dari kemungkaran atau yang sepertinya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka kewajiban mengingkari kemungkaran itu menjadi gugur bahkan tidak boleh dilakukan.

11. Memperhatikan Sikap Hikmah dalam Mengingkari Kemungkaran dan Menyuruh kepada Perbuatan Ma’ruf
Allâh Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah (berdebatlah) mereka dengan cara yang baik...” [an-Nahl/16:125]

Di antara bentuk hikmah ialah memperhatikan keadaan orang yang akan kita perintah dan kita larang. Maka di satu kesempatan harus dengan lemah lembut dan bersikap halus sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ﴿٤٣﴾فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [Thâhâ/20:43-44]

Dan pada kesempatan lainnya digunakan sikap tegas dan keras. Allâh Azza wa Jalla

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka...” [at-Taubah/9:73]

Oleh karena itu, orang yang mengemban tugas ini wajib memiliki sifat-sifat tertentu. Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: (1) lemah-lembut dalam menyuruh dan melarang, (2) adil dalam menyuruh dan melarang, dan (3) mengetahui sesuatu yang ia perintahkan dan yang ia larang.”[39]

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Semua manusia butuh sikap lemah lembut dalam amar ma’rûf bukan sikap keras kecuali terhadap orang yang memperlihatkan kefasikan, maka sikap keras tidak diharamkan terhadapnya.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Jika sahabat-sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berjalan melewati suatu kaum yang mereka lihat melakukan sesuatu yang mereka benci, mereka mengatakan, “Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian. Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian.”[40]

12. Pelaku Amar Ma’rûf Nahi Munkar Hendaklah Menjadi Teladan Bagi Orang Lain
Menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain merupakan sifat dan perilaku yang harus ada pada diri da’i dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Karena pengaruh mencontoh dan taklid kepadanya mempunyai nilai yang besar dalam jiwa orang yang diseru dan diajak. Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang baik dan panutan yang shalih sehingga manusia mengikuti beliau dalam perkataan dan perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33:21]

Apabila perbuatan pelaku amar ma’rûf nahi munkar menyalahi perkataannya maka bahayanya tidak hanya mengancam dirinya sendiri bahkan biasanya mengancam orang lain karena ia menjadi teladan yang buruk bagi masyarakatnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? [al-Baqarah/2:44]

Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang diceritakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

يُـجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِـي النَّارِ فَيَدُوْرُ كَمَـا يَدُوْرُ الْـحِمَـارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا فُلَانُ مَا شَأْنُكَ، أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْـمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْـمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَا آتِيْهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْـمُنْـكَرِ وَآتِيْهِ.

Seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke Neraka sehingga usus-ususnya keluar di dalam Neraka, lalu dia berputar-putar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Penghuni Neraka berkumpul mengelilinginya dan mereka berkata, ‘Wahai fulan! Ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau menyuruh kami melakukan kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Dia menjawab, ‘Dulu aku menyuruh kalian melakukan kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya, dan dulu aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku sendiri melakukannya.[42]

13. Bahaya Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Apabila kaum muslimin, baik penguasa, Ulama, maupun rakyat, meremehkan dan meninggalkan tugas amar ma’rûf nahi munkar, maka kehinaan dan perbuatan keji akan tersebar dan orang-orang yang fasik akan menguasai orang-orang yang shalih. Sehingga kebenaran dianggap kebatilan dan kebatilan dianggap kebenaran. Ini menyebabkan umat Islam akan mendapatkan malapetaka, di antaranya :[43]

Dijauhkan dari rahmat Allâh sebagaimana Ahlul Kitâb ketika mereka meninggalkan tugas penting ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ﴿٧٨﴾كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dâwud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, amat buruk apa yang mereka perbuat.” [al-Mâidah/5:78-79]

1. Akan mendapat kebinasaan di dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِـيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْـمَـاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِـيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَـمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا.

Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allâh (melaksanakan hukum-hukum Allah) dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allâh seperti satu kaum yang berundi (mengundi pembagian tempat) di atas perahu. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, dan mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya.[44]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِـمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ.

Sungguh, apabila manusia melihat pelaku kezhaliman (kemungkaran), tetapi tidak menghentikan (mengubahnya) dengan tangannya, hampir saja Allâh meratakan adzab kepada mereka.[45]

2. Tidak dikabulkannya do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْـمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.

Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan.[46]

Jika seorang hamba terjatuh dalam kemungkaran maka ia telah menjerumuskan dirinya sendiri untuk mendapatkan hukuman dari Allâh Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya, karena itu, wajib atas seorang muslim menyelamatkan saudaranya dari hukuman dan kemurkaan Allâh yaitu dengan melarangnya dari kemungkaran yang dilakukannya. Dan ini adalah bentuk kasih sayang kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِـي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِـي السَّمَـاءِ...

Orang-orang yang menyayangi orang lain, mereka disayangi oleh (Allâh) Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kalian disayangi oleh (Allâh) yang berada di langit...[47]

Karena Allâh-lah yang berhak ditaati, tidak boleh dimaksiati, wajib diingat tidak boleh dilupakan, wajib disyukuri tidak boleh diingkari, dan dibela dengan jiwa dan harta dari pelanggaran-pelanggaran yang Dia haramkan. Barangsiapa memperhatikan tingkatan tersebut dan tingkatan sebelumnya, maka gangguan apa saja yang ia temui di jalan Allâh menjadi kecil tidak bermakna dan tidak tertutup kemungkinan ia malah berdoa untuk orang yang mengganggunya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang nabi yang dipukuli kaumnya kemudian ia mengusap darah dari wajahnya sambil berkata, “Rabb-ku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.”[48]

FAWAA-ID HADITS
1. Hadits ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. karena itulah Imam Muslim mengeluarkan hadits ini dalam Kitâbul Iimân, bab: Penjelasan bahwa Amar ma’rûf Nahi Munkar termasuk Iman.

2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mandat kepada seluruh umatnya untuk mengingkari kemungkaran, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran...”

3. Tidak boleh mengingkari suatu perbuatan hingga yakin bahwa perbuatan itu mungkar. Ini ditinjau dari dua sisi; pertama, yakin bahwa itu kemungkaran, dan kedua, yakin bahwa itu mungkar bagi diri pelakunya. Sebab terkadang ada sesuatu yang memang mungkar pada dzatnya tetapi tidak disebut kemungkaran bagi pelakunya. Contohnya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Hukum asalnya adalah mungkar, tetapi terkadang tidak menjadi mungkar bagi pelakunya misalnya ia makan karena sakit yang menyebabkan dia boleh buka, atau ia sebagai musafir, atau ia sedang haid atau nifas.

4. Tangan adalah alat untuk mencegah kemungkaran karena biasanya tanganlah yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu.

5. Seseorang yang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya maka ia wajib mengubahnya dengan hatinya yaitu dengan membencinya dan bertekad jika suatu mampu mengubahnya dengan tangan atau lisannya maka ia akan melakukannya.

6. Tidak ada kesusahan dalam agama. Maksudnya kewajiban dalam agama itu dilaksanakan dengan syarat mampu.

7. Mengingkari kemungkaran dengan tangan tidak boleh dilakukan oleh setiap orang pada setiap kemungkaran, karena berpotensi menimbulkan banyak kerusakan dan bahaya.

8. Mengingkari kemungkaran dilakukan dengan tangan, lisan, dan hati. Dan mengingkari kemungkaran dengan hati konsekuensinya adalah meninggalkan tempat kemungkaran.

9. Iman adalah amal dan niat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tingkatan ini termasuk iman. Mengingkari dengan tangan dan lisan adalah amal, sedang hati adalah niat dan ia termasuk perbuatan hati.

10. Orang yang khawatir bahaya menimpa diri, harta atau keluarganya, kewajibannya mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya menjadi gugur.

11. Mengingkari kemungkaran mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam bahkan dapat menyamai ganjaran generasi pertama, bila terpenuhi syarat dan ketentuannya.

12. Mengingkari kemungkaran dengan lisan sama dengan dakwah di jalan Allâh, dilakukan dengan perkataan yang hak, lemah lembut, memberikan nasihat dan pelajaran yang baik.

13. Kemungkaran dan maksiat di muka bumi sangat banyak, karena itu wajib bagi setiap da’i atau ustadz untk mencegahnya.

14. Orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka ia akan binasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma

15. Bahaya meninggalkan amar ma’rûf nahi munkar sangat besar, di antaranya ialah dijauhkan dari rahmat Allâh, mendapatkan hukuman, tidak dikabulkannya do’a, dan lain-lain.[49]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN

Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA


KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , "Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât 'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ'/17:19]

Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].

Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak."[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.

Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.

Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma'rûf.[6]

Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.

Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah" tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.

Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau

SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.

Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.

Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat".[9]

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.

Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.

Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?

Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ' karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni (773-852 H).

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.

Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.

Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]

Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, "Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya."[12]

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau."

Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.

Mari kita cermati nash-nash berikut :

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13]

Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?". Hal ini mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan 'saingan' Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .

Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ

Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]

Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.

Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.

Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ

Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].

Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata". Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?

Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan -wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]

Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an); mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.

Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]

Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!" atau "Wahai Nabiyullâh!".

Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; "shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini "Hasan sahih gharib"].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.

Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.

"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam firman-Nya :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]

Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]

Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya" [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid'ah.

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".

(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku". [HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ' al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].

Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.

Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]

Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:

Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.

Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.

Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam

Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH, MENDATANGKAN KETENANGAN?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Kebiasaan membaca shalawat Nariyâh sudah sangat populer, tidak terkecuali masyarakat Muslim di tanah air. Hal ini tiada lain –diantaranya- disebabkan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar yang disebutkan bagi orang yang membaca shalawat tersebut. Bahkan banyak dari mereka yang meyakini bahwa membaca shalawat ini merupakan perwujudan cinta dan pengagungan besar kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keterangan yang mereka sebutkan tentang shalawat ini, barangsiapa yang membaca shalawat ini sebanyak 4444 kali, dengan niat menghilangkan kesusahan atau memenuhi hajat (kebutuhan), maka semua itu akan terpenuhi[1] (??!!). Ada juga yang mengatakan bahwa dengan membaca shalawat ini hati menjadi tenang dan dada menjadi lapang (??!!). Benarkah semua itu dapat dicapai dengan membaca shalawat tersebut?

SUMBER KETENANGAN DAN PENGHILANG KESUSAHAN YANG HAKIKI
Setiap orang yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berdzikir kepada kepada Allâh Azza wa Jalla, membaca al-Qur’ân, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan sibuk dalam ketaatan kepada-Nya.

Allâh Jalla Jalaluhu berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat) Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh hati menjadi tenteram [ar-Ra’du/13:28]

Maksudnya, dengan mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala (berdzikir), segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan keceriaan[2] . Bahkan tidak ada sesuatu pun yang lebih mendatangkan ketenteraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berdzikir untuk mengingat Allâh Jalla Jalaluhu[3] .

Salah seorang ulama Salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Kemudian ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”. Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan merasa bahagia ketika berdzikir serta melakukan amal ketaatan kepada-Nya”[4] .

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah , “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum memasuki surga di dunia ini, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[5] .

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma'rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berdzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allâh Azza wa Jalla satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya, yang sekaligus merupakan qurratul 'ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala [6] .

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh, niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya [ ath-Thalâq/65:2-3]

Ketakwaan yang sempurna kepada Allâh tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah dan menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allâh Jalla Jalaluhu[7] .

Dalam ayat berikutnya, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya [ath-Thalâq/65:4]

Artinya, Allâh Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, dan menyediakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[8] .

BENARKAH SHALAWAT NARIYAH MERUPAKAN SUMBER KETENANGAN JIWA DAN PENGHILANG KESUSAHAN
Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa menilai dengan benar, apakah membaca shalawat Nariyâh termasuk bentuk dzikir dan amal ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sehingga dikatakan sebagai sumber ketenangan jiwa dan penghilang kesusahan?

Kalau kita merujuk literatur yang menyebutkan shalawat ini, kita dapati bahwa shalawat ini sama sekali tidak bersumber dari al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun keterangan Sahabat . Bahkan tidak juga dijumpai dari keterangan salah seorang Ulama Ahlus Sunnah yang terkenal, seperti Imam Abu Hanîfah, Imam Mâlik bin Anas, Imam Syâfi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan imam-imam lainnya.

Salah satu situs di internet menyebutkan bahwa shalawat ini disusun oleh salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bernama Syaikh Nâriyah, dia selalu membaca shalawat ini, dan suatu malam dia membacanya sebanyak 4444 kali sehingga dia mendapat kemuliaan dan keutamaan besar dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala [9]. Akan tetapi, kisah yang lebih pantas disebut dongeng ini terlalu jelas bukti kebohongannya seperti jelasnya matahari di siang bolong! Pertama, karena kisah ini tidak disertai penyebutan sanad (mata rantai periwayatan)nya, juga tidak disebutkan kitab hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau riwayat para Sahabat Radhiyallahu anhum yang menukilnya, sehingga bisa diteliti keabsahannya. Kedua, dalam kitab-kitab para ulama yang memuat nama-nama dan biografi para Sahabat Radhiyallahu anhum , tidak ada satu keterangan pun yang menyebutkan adanya seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah.

Kalau demikian, berarti shalawat ini –tidak diragukan lagi- termasuk perkara bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11] .

Atas dasar itu, tidak mungkin shalawat bid’ah seperti ini akan mendatangkan ketenangan jiwa bagi orang yang membacanya, apalagi sampai menjadi sumber penghilang kesulitan baginya. Sebab, hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketantraman.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allâh telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitâb (al-Qu`ân) dan al Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Ali ‘Imrân/3:164]

Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allâh Subhanahu wa Ta’ala)[12] .

Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur`ân) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allâh Azza wa Jalla turunkan dari langit, karena air hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allâh wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allâh turunkan ke bumi…"[13] .

Bahkan bukti terbesar yang menunjukkan kebatilan dan kerusakan shalawat ini adalah isinya yang mengandung kesyirikan. Perhatikan teks shalawat tersebut di bawah ini:

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang utuh kepada junjungan kami (Nabi) Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat teratasi, semua kesusahan dapat dihilangkan, semua hajat dapat terpenuhi, dan semua harapan yang diinginkan serta husnul khatimah (kematian yang baik) dapat diraih, serta hujanpun turun dari awan berkat wajahnya yang mulia. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.

Kalimat-kalimat di atas jelas sekali mengandung kesyirikan yang nyata, dengan menyandarkan pemenuhan (penyelesaian) hajat, penghilang kesulitan dan pencapaian husnul khatimah (kematian yang baik) kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal semua perkara tersebut merupakan kekhususan bagi Allâh Azza wa Jalla yang tidak mampu dilakukan oleh seorang makhlukpun.

Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu ketika menyanggah kandungan shalawat yang rusak ini, beliau berkata: “Kandungan shalawat ini adalah kebatilan dan tidak berlandaskan dalil sama sekali. Karena tauhid yang diserukan oleh al-Qur`ân yang mulia dan diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, mewajibkan bagi setiap Muslim untuk meyakini bahwa Allâh satu-satunya Dzat yang berkuasa mengatasi semua kesulitan, menghilangkan semua kesusahan, memenuhi semua kebutuhan, dan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Tidak diperkenankan bagi seorang Muslim menyeru kepada selain-Nya untuk menghilangkan kegundahannya atau menyembuhkan penyakitnya, meskipun yang diseru itu malaikat atau nabi yang mulia. (Dalam) al-Qur`ân, (Allâh) mengingkari (perbuatan) menyeru kepada para nabi dan wali selain Allah. Allâh berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلا. أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allâh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan aDzab-Nya. sesungguhnya a Dzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti [Al-Isrâ/17:57]

Bagaimana mungkin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha jika dikatakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penuntas kesulitan dan penghilang kesusahan, padahal (Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam) al-Qur`ân berfirman dan memerintahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: ”Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan, kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” [al-A’râf/7:188]

Seorang lelaki pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Tergantung) apa yang Allâh kehendaki dan yang engkau kehendaki”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kamu (ingin) menjadikan aku tandingan (sekutu) bagi Allâh? Katakanlah, (Tergantung) apa yang Allâh kehendaki semata-mata!”[14] Hadits hasan riwayat an-Nasâ’I [15] .

KETENANGAN YANG PALSU
Kalau ada yang berkata, “Fakta menyatakan, di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin setelah membaca shalawat ini maupun dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah (yang tidak diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lainnya”.

Jawabannya, kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar terlihat indah di mata manusia.

Allâh Jalla Jalaluhu berfirman:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allâh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya [Fâthir/35:8]

Maksudnya, setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka [16] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia) [al-An’âm/6:112]

Artinya, para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[17] .

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan dzikir-zikir (wirid-wirid) bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allâh Jalla Jalaluhu, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan anehnya, sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca dzikir-dzikir (wirid-wirid) bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan dzikir-dzikir (wirid-wirid) yang bersumber dari wahyu Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnul Qayyim membuat perumpaan hal ini[18] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong dan telah rusak?

Jawabnya, jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allâh Azza wa Jalla, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang Sahabat Radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan (melakukan) keburukan tersebut”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar. Segala puji bagi Allâh yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[19] .

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah (tanda) kemurnian iman”[20] .

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

1. Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan, itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya

2. Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia merupakan tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya [21] .

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika ada yang mengatakan kepada beliau: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Maka ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menjawab: “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[22] .

NASEHAT DAN PENUTUP
Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat seputar masalah ini dari Syaikh Muhammad bin Jamîl Zainu yang berbunyi: “Wahai saudaraku sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk dzikir dan wirid bid’ah, yang akan menjerumuskanmu ke dalam (jurang) syirik (menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Berkomitmenlah dengan dzikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang insan yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu (melainkan dari wahyu Allâh Jalla Jalaluhu). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (kita akan meraih) hidayah Allâh Azza wa Jalla dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak” [HR Muslim]”[23] . Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

MENGKHAWATIRKAN GUGURNYA PAHALA AMALAN

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar, Lc



Manakala beramal dengan berbagai jenisnya, seorang Muslim sangat berharap agar seluruh amalannya diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Hal ini didorong oleh kesadarannya untuk menjadikan seluruh hidupnya di dunia ini sebagai kesempatan memperbanyak kebaikan di sisi Allâh Azza wa Jalla.

Namun perlu diketahui, sesungguhnya limpahan pahala yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala janjikan hanyalah akan didapatkan bagi orang yang melakukan amalan dengan ikhlas dan berharap pahala dari-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya setiap amalan memiliki motivasi dan tujuan. Sebuah amalan tidaklah terhitung sebagai ketaatan kecuali jika didasari dengan keimanan, yakni bukan hanya terdorong oleh sekedar rutinitas (kebiasaan), hawa nafsu, atau mencari pujian semata. Motivasinya harus iman dan tujuannya adalah menggapai ridha dan pahala dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan keimanan dan harapan pahala dalam banyak hadits.....”.[1]

SEBUAH KEKHAWATIRAN YANG BERALASAN
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Mereka menyadari bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka [al-Mukminûn/23:60]

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas, 'Aisyah Radhiyallahu anhuma bertanya, “Apakah mereka adalah orang-orang yang minum khamer dan mencuri?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak wahai puteri Abu Bakar ash-Shiddîq. Mereka itu adalah yang melakukan ibadah shaum, shalat, dan bersedekah, namun mereka takut jika amalan mereka tidak diterima oleh Allâh Azza wa Jalla . Mereka itu adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam segala kebaikan dan mereka selalu menjadi yang terdepan”.[2]

Ketakutan mereka bukanlah terhadap janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang akan melimpahkan balasan pahala atas kebaikan amal ibadah mereka, tapi rasa kekhawatiran jika Allâh Azza wa Jalla tidak menerima amal ibadah mereka manakala mereka melalaikan syarat-syarat yang harus mereka penuhi agar menjadi amal yang shalih. Mereka mengkhawatirkan gugurnya pahala amal mereka. Dan hal ini merupakan bagian dari kesempurnaan iman yang mereka miliki. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka tidaklah merasa aman dari ancaman adzab Allâh melainkan orang-orang yang merugi [al-A`râf/7:99]

PENGGUGUR AMALAN, PENGHAPUS PAHALA
Penggugur pahala amalan yang dimaksud dalam pembahasan tema ini berlandaskan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Bahwa penggugur hakiki yang dapat menghapus seluruh bagian iman dan amalan adalah yang disebabkan oleh kekafiran, kesyirikan, kemurtadan dan kemunafikan. Adapun penggugur yang dapat membatalkan sebagian amalan oleh sebab kemaksiatan, atau berkurangnya balasan pahala, atau tertundanya manfaat baik sebuah amalan pada waktu yang dibutuhkan adalah penggugur yang bersifat relatif dan tidak sampai berakibat mengugurkan dasar keimanan.[3]

Berikut ini adalah penggugur-penggugur amalan, di antaranya:

1. Syirik Dan Riddah (Kemurtadan).
Keduanya jelas menjadi penghalang diterimanya sebuah amalan di hadapan Allah Azza wa Jalla , sebaik dan seindah apapun amalan itu, karena Allah Azza wa Jalla membenci syirik dan kemurtadan serta tidak menerima segala jenis kebaikan apapun dari mereka manakala mereka mati dalam kondisi demikian.
Tentang syirik, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada engkau -wahai Muhammad - dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum engkau: "Jika kamu berbuat syirik (kepada Allah ), niscaya akan gugur terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi [az-Zumar/39:65][4]

Dan tentang bahaya kemurtadan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang gugur sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya [al-Baqarah/2:217] [5]

2. Riya’
Yaitu seseorang beramal dan memperlihatkan amalannya kepada manusia, mengharapkan suatu kebaikan duniawi bagi dirinya ketika mereka melihatnya. Riya’ tergolong syirik kecil yang memiliki beragam jenis dan bentuknya. Banyak sekali hadits yang menyatakan kekhawatiran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap riya’ yang akan dialami oleh umatnya.

Ma`qil bin Yasâr menuturkan sebuah kisah, "Aku pernah bersama Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu pergi menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Wahai Abu Bakar, pada kalian ada syirik yang lebih tersembunyi daripada langkah seekor semut”. Abu Bakar bertanya, “Bukankah syirik adalah seseorang telah menjadikan selain Allâh sebagai sekutu bagi-Nya?”… Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Demi Allâh, Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya Subhanahu wa Ta’ala, syirik (kecil) lebih tersembunyi daripada langkah seekor semut. Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu (doa) yang jika engkau mengucapkannya, maka akan lenyaplah (syirik tersembunyi itu) baik sedikit maupun banyak? Ucapkanlah:

الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

(Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari perbuatan kesyirikan terhadap-Mu dalam keadaan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apapun yang aku tidak mengetahuinya)[6]

3. Mendatangi Dukun, Peramal Dan Sejenisnya.
Mempercayai omong kosong, penipuan dan kedustaan dukun dan paranormal termasuk penyakit yang menjangkiti sebagian masyarakat. Dengan adanya kemajuan teknologi, seseorang tanpa sadar telah mendatangi atau membenarkan dukun (paranormal) meski tidak mendatangi tempat praktek manusia-manusia itu. Pasalnya, berbagai media massa sering kali menyediakan produk-produk mereka (para dukun) seperti zodiak (ramalan bintang), primbon biro jodoh, ramalan pekerjaan dan keberuntungan, transfer kekuatan jarak jauh dan penglaris dagangan, serta produk perdukunan lainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mengecam siapapun yang mempercayai mereka dengan ancaman kekufuran, atau dengan gugurnya pahala shalat akibat menanyakan sesuatu kepada mereka sekalipun tidak mempercayainya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun dan mempercayai ucapannya, maka sungguh dia telah kufur terhadap (syariat) yang diturunkan kepada Muhammad [7]

Dalam lafazh lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

Barangsiapa mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya tentang sesuatu maka tidaklah diterima shalatnya sepanjang empat puluh hari [8]

4. Durhaka Terhadap Kedua Orang Tua, Mengungkit-Ungkit Sedekah Yang Diberikan, Mendustakan Takdir.
Pelaku tiga perbuatan ini diancam dengan gugurnya pahala amalan yang mereka kerjakan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا : عَاقٌّ، وَمَنَّانٌ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ

Ada tiga golongan manusia yang Allâh tidak akan menerima dari mereka amalan wajib (fardhu), dan tidak pula amalan sunnat (nafilah) mereka pada hari Kiamat kelak; seorang yang durhaka kepada orang tuanya, seorang yang menyebut-nyebut sedekah pemberiannya, dan seorang yang mendustakan takdir [9]

5. Bergembira Atas Terbunuhnya Seorang Mukmin
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang Mukmin dan berharap pembunuhannya, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima darinya amalan wajib (fardhu) maupun amalan sunnat (nafilah)”.[10]

6. Mengakui Selain Ayahnya Sebagai Orang Tuanya
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mengakui selain ayahnya (sebagai orang tua nasabnya), atau mengakui selain tuannya sebagai majikan pemiliknya karena membencinya, maka baginya laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, laknat para malaikat dan seluruh manusia, serta Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan wajib maupun sunnahnya”.[11]

7. Melanggar Batasan-Batasan Keharaman Allâh Subhanahu Wa Ta’ala Saat Sendirian
Hal ini mungkin salah satu di antara yang dilalaikan atau bahkan diabaikan oleh banyak di kalangan kaum Muslimin. Mungkin karena mereka belum tahu atau tidak mau tahu. Padahal berdampak pada gugurnya pahala amalan. Sudah seharusnya kita waspada terhadapnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku mengetahui banyak di kalangan umatku yang akan datang pada hari Kiamat nanti dengan berbekal kebaikan sebanyak gunung-gunung Tihâmah, namun Allâh menjadikannya bagaikan debu yang beterbangan”. Tsauban bertanya, “Wahai Rasûlullâh,, tunjukkan kepada kami sifat mereka"! Jelaskan kepada kami siapa mereka, agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa kami sadari”. Lantas Rasûlullâh menjawab, “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian, dari jenis kalian, mereka melakukan shalat tahajud sebagaimana yang kalian lakukan, namun mereka adalah orang-orang yang apabila berada dalam kesendirian, mereka melanggar batasan keharaman-keharaman Allâh (berbuat maksiat, red) [12].

8. Bersumpah Dengan Nama Allâh Subhanahu Wa Ta’ala Dan Bersaksi Bahwa Allâh Subhanahu Wa Ta’ala Tidak Akan Mengampuni Seseorang.
Ketahuilah bahwa rahmat Allâh Azza wa Jalla sangat luas, menaungi siapapun yang Dia Subhanahu wa Ta'ala kehendaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengampuni dosa apapun selain syirik, sebagai gambaran betapa besar kebaikan dan limpahan karunia dari-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Maka, seseorang tidak berhak menghalang-halanginya dari siapapun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang yang berkata “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuni si Fulan”. Padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Siapakah orangnya yang telah bersumpah atas nama-Ku (dan bersaksi) bahwa Aku tidak memberikan ampunan kepada si Fulan?!.. Sungguh Aku telah ampuni si Fulan itu dan Aku gugurkan amalmu”.[13]

Orang yang melakukan hal tersebut telah menyebabkan orang lain berputus asa dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan semakin menjadikannya tenggelam dalam kemaksiatan. Maka, seorang yang menjadi penyebab tertutupnya pintu kebaikan dan terbukanya pintu keburukan berhak untuk digugurkan pahala amalannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagai balasan yang setimpal.

9. Meninggalkan Shalat Ashar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka telah gugur amalnya”.[14]

Hadits ini memperingatkan kita agar selalu menjaga shalat lima waktu, khususnya shalat Ashar.

10. Pecandu Khamer (Minuman Keras).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa minum khamer, tidak diterima shalatnya empat puluh hari, jika dia bertaubat maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya. Jika dia mengulanginya, tidaklah diterima shalatnya empat puluh hari, jika dia bertaubat maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya. Jika dia mengulanginya tidaklah diterima shalatnya empat puluh hari, jika dia bertaubat maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya. Jika dia mengulangi lagi ke empat kalinya tidaklah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerima shalatnya empat puluh hari, jika dia bertaubat Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima taubatnya, dan kelak Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan memberikannya minum dari sungai khabal”. Wahai Abu 'Abdirrahmân, apa itu sungai khabal? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungai (berisi) nanah penduduk neraka”.[15]

11. Kedurhakaan Isteri Kepada Suaminya
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ada tiga golongan manusia, shalat mereka tidak melampaui telinga mereka; budak yang kabur dari majikannya sampai dia kembali, seorang isteri yang melewati malam hari dalam keadaan suaminya murka kepadanya, seorang imam bagi sekelompok kaum padahal mereka membencinya”.[16]

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menggugah hati kita untuk mewaspadai segala hal yang akan menggugurkan amalan kita atau mengurangi keberkahannya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


KEMUDAHAN DARI ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DAN MENGAPA KITA HARUS BERAMAL?

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said YaiLc



ِAllâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٦﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [al-Lail/92:5-10]

TAFSIR RINGKAS
Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa aktifitas yang dilakukan manusia itu bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang buruk. Yang baik akan berbuah kebahagian dunia dan akhirat, sebaliknya yang buruk akan menyeret pelakunya ke lembah penderitaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

“Adapun orang yang memberikan” segala yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla baik berupa ibadah harta, seperti zakat, kafarat, nafkah, sedekah, infak dalam kebaikan; atau ibadah badan, seperti shalat, puasa dan sejenisnya; ataupun perpaduan antara ibadah badan dan harta, seperti; haji dan umrah. “Dan bertakwa” maksudnya menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allâh.

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

“Dan membenarkan adanya ganjaran yang terbaik (al-husnâ)”, maksudnya, mengimani kandungan ‘lâ ilâha illallâh’ dan segala keyakinan agama yang berhubungan dengannya serta beriman dengan konsekuensinya berupa ganjaran berlipat ganda di akhirat yang telah dijanjikan oleh Allâh Azza wa Jalla . Untuk orang seperti ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman,

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

Maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. Maksudnya, Allâh Azza wa Jalla akan mempermudah orang tersebut untuk senantiasa melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan buruk. Ini adalah “buah” usaha-usaha yang telah ia lakukan.

وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang bakhil” dengan tidak mengeluarkan infak yang wajib yaitu zakat, apalagi infak sunat serta tidak menunaikan berbagai ibadah yang menjadi kewajibannya. "Dan merasa dirinya cukup” sehingga enggan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla ; tidak merasa butuh dengan Allâh Azza wa Jalla ; "Serta mendustakan pahala terbaik” maksudnya, dia tidak beriman terhadap apa yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan kepada para hamba-Nya untuk diimani. Untuk orang seperti ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

"Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”, maksudnya, dia akan dipermudah untuk terus melakukan perbuatan buruk dan meninggalkan perbuatan baik, yang pada akhirnya akan menyeretnya ke neraka.[1]

AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT-AYAT DI ATAS
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang senantiasa melakukan amal shaleh maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kemudahan kepadanya untuk terus beramal shaleh. Sebaliknya, apabila seseorang terbiasa melakukan suatu yang buruk, maka Allâh Azza wa Jalla akan mempermudah jalannya melakukan keburukan. Di dalam Al-Qur’an kita akan mendapatkan banyak sekali ayat-ayat seperti ini, di antaranya adalah sebagai berikut :

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh Azza wa Jalla memalingkan hati mereka. Dan Allâh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik [ash-Shaff /61:5]

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Dan Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur’ân) pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. [al-An’âm/6:110]

Begitu pula bisa dilihat pada Surat at-Taubah/9:127, al-Mâidah/5:49, an-Nisâ’/4:115 dll.

ALLAH AZZA WA JALLA SUDAH MENTAKDIRKAN SEGALA SESUATU, UNTUK APA KITA BERAMAL?
Pertanyaan itu pernah ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabannya, sebagaimana pada hadîts berikut :

عَنْ عَلِيٍّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-... قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ ؟ قَالَ:(اعْمَلُوا, فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ, أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ, وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى} الآيَةَ.

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya Rasûlullâh! Apakah kita pasrah saja dengan apa yang tuliskan untuk kita dan kita tidak beramal ?”Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah kalian beramal ! Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan tujuan dia diciptakan. Barangsiapa yang tergolong orang-orang yang berbahagia [2] maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang berbahagia tersebut. Barangsiapa yang yang tergolong orang-orang yang sengsara[3] maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang sengsara itu.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Qs al-Lail/92:5-7)[4]. [Dalam riwayat Imam Muslim, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sampai dengan firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya," Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar]

Begitulah jawaban dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam buat para shahabat beliau yang bertanya tentang ini. Lalu bagaimanakah respon para shahabat g setelah mendengar jawaban Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Simaklah riwayat berikut ini !

عَنْ بَشِيرِ بْنِ كَعْبٍ ، قَالَ : سَأَلَ غُلاَمَانِ شَابَّانِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ...قَالَ : ((اعْمَلُوا ، فَكُلٌّ عَامِلٌ مُيَسَّرٌ لِعَمَلِهِ الَّذِي خُلِقَ لَهُ.)) قَالاَ : (فَالآنَ نَجِدُّ وَنَعْمَلُ.)

Diriwayatkan dari Basyîr bin Ka’b Radhiyallahu anhu , ada dua budak yang masih muda bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pertanyaan mereka mirip dengan pertanyaan dalam hadits diatas) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beramallah! Setiap orang yang beramal akan dimudahkan untuk beramal sesuai dengan takdirnya diciptakan.” Kemudian mereka berkata, “Inilah saatnya! Kami akan berusaha keras dan beramal.”[5]

Begitu pula diriwayatkan dari Surâqah bin Ju’syum Radhiyallahu anhu ketika beliau bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pertanyaan yang mirip dan dijawab dengan jawaban yang mirip pula, kemudian Surâqah Radhiyallahu anhu berkata:

فَلَا أَكُوْنُ أَبَدًا أَشَدَّ اِجْتِهَادًا فِيْ اْلعَمَلِ مِنّي الآن

Aku tidak pernah sesemangat sekarang ini dalam beramal. (yaitu setelah mendengar hadîts tersebut-pen)[6]

APAKAH ORANG YANG SUDAH BERAMAL SHALEH BOLEH MERASA AMAN DARI ANCAMAN NERAKA?
Seseorang yang sudah dan terus menerus beramal shaleh, sudah sepantasnya dia bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena kekonsistenannya (keistiqamahannya) dalam melakukan amalan shaleh itu tiada lain hanyalah berkat pertolongan dan taufiq dari Allâh Azza wa Jalla .

Meski demikian, seorang Mukmin harus tetap waspada terhadap ancaman neraka, karena dia tidak tahu akhir kehidupannya, padahal amalan seseorang di akhir hidupnya sangat menentukan nasibnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

Sesungguhnya ada seorang hamba yang senantiasa beramal dengan amalan ahli neraka, tetapi ternyata dia termasuk ahli surga. Dan ada juga yang senantiasa beramal dengan amalan ahli surga ternyata dia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung bagaimana akhirnya.[7]

KESIMPULAN
1. Ayat ini diturunkan berhubungan dengan perbuatan Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu yang memerdekakan budak-budak Muslimin di Mekah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh! Berikan ganti untuk orang yang berinfak ! Lenyapkanlah (harta) orang yang tidak berinfak !”

2. Allâh memberikan balasan yang setimpal untuk setiap amalan. Apabila amalannya baik, maka Allâh akan membalasnya dengan kebaikan; Sebaliknya, apabila amalan seseorang itu buruk maka Allâh akan membalasnya dengan keburukan.

3. Allâh Azza wa Jalla akan mempermudah orang-orang yang beriman, yang beramal shaleh dan meninggalkan maksiat untuk senantiasa melakukan amal shaleh, sehingga nanti akan mengantarkannya ke surga.

4. Allâh Azza wa Jalla akan mempermudah orang-orang yang bakhil, orang-orang yang merasa tidak butuh dengan Rabb-nya untuk terus-menerus berlaku buruk dan akan mempersulit mereka untuk melakukan kebaikan. Ini semua akibat ulah mereka sendiri, sehingga ini akan menyeret mereka ke neraka.

5. Dalam ayat-ayat diatas terdapat penegasan sunnatullah yaitu pemberian dari taufiq Allah kepada seorang hamba tergantung pada kesukaan, pilihan, usaha yang dilakukan seorang hamba, antusiasmenya serta usahanya untuk mengendalikan hawa nafsunya dalam menggapai taufiq itu sendiri. Jika sebaliknya, maka hasil yang diprolehnya sejalan dengan usaha dan pilihannya.

6. Kendatipun kita mengetahui bahwa Allâh telah menetapkan takdir setiap insan, sampai-sampai Allâh Azza wa Jalla menakdirkan apakah nanti dia akan masuk surga atau neraka, kita tetap diperintahkan untuk beramal dan berusaha.

7. Orang-orang yang senantiasa beriman dan beramal shaleh serta menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat harus bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , karena ini merupakan ciri kebaikan untuknya. Meskipun demikian, dia tidak boleh merasa aman dari ancaman neraka, karena amalan seseorang itu tergantung dengan bagaimana akhir hayatnya nanti.

Tamma bifadhlillahi wa karamihi. Mudahan tulisan ini bermanfaat untuk semua.Amin.

Daftar Pustaka
1. al-Qur'ân dan terjemahannya. Cet. Madinah: Kompleks Percetakan Mushhaf Raja Fahd.
2. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabatul Ulûm wal-hikam
3. al-Jâmi' li ahkâmil-Qur'ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Mesir: Dârul kutubil Mishriyah.
4. Jâmi'ul Bayân fî Ta'wîlil-Qur'ân. Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
5. Ma’ârijul-Qabûl bi syarhi sullamil-wushûl ilâ ‘ilmil-ushûl. Hâfizh binAhmad Al-Hakami. 1410 H/1990 M. Dammâm: Dâr Ibnil-Qayyim.
6. Ma'âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas'ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
7. Shahîh Al-Bukhâri. Muhammad bin Isma’îl Al-Bukhâri. Riyâdh: Dârus-Salâm.
8. Shahîh Ibni Hibbân bi tartîb Ibni Balabân. Muhammad binHibbân Al-Busti. Tartîb: Ibnu Balabân. Tahqîq Syu’aib Al-Arnauth. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
9. Shahîh Muslim. Muslim bin Al-Hajjâj. Riyâdh: Dârus-Salâm.
10. Syifâ’ul-‘Alîl fi Masâilil-Qadhâ’ wal-Qadar wal-Hikmah wat-Ta’lîl. Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah. Beirut: Dârul-Ma’rifah.
11. Tafsîr Al-Qur'ân Al-'Adzhîm. Ismâ'îl bin 'Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
12. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa'di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______

No comments:

Post a Comment