Wednesday, March 27, 2013

PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN





.

PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


5. Nikah Syighar.
Yaitu wali menikahkan gadis yang diurusnya kepada seorang pria dengan syarat dia menikahkannya pula dengan gadis yang diurusnya.

Nafi’ berkata: "Syighar ialah seorang laki-laki menikahi puteri laki-laki lainnya dan dia pun menikahkannya dengan puterinya tanpa mahar. Atau seorang laki-laki menikahi saudara perempuan laki-laki lainnya lalu dia menikahkannya pula dengan saudara pe-rempuannya tanpa mahar."[33]

An-Nawawi berkata: "Para ulama bersepakat bahwa pernikahan ini terlarang."[34]

Adapun hadits-hadits tentang pengharaman pernikahan ini ialah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْـلاَمِ.

"Tidak ada nikah syighar dalam Islam."[35]

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar."[36]

At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ جَلَبَ وَلاَ جَنَبَ وَلاَ شِغَارَ، وَمَنِ انْتَهَبَ نُهْبَةً فَلَيْسَ مِنَّا.

"Tidak boleh berbuat kejahatan, tidak boleh membangkang, tidak boleh melakukan syighar. Dan barangsiapa melakukan perampasan, maka dia bukan golongan kami."[37]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang syighar. Dan syighar ialah menikahkan seseorang dengan puterinya dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan puterinya pula, tanpa ada mahar di antara keduanya.[38]

Beberapa Pernyataan Para Ulama :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Allah telah mewajibkan mahar dan tidak mewajibkan para saksi. Barangsiapa yang mengatakan bahwa pernikahan itu sah tanpa adanya mahar dan tidak sah kecuali dengan adanya para saksi, maka dia telah menggugurkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya dan mewajibkan apa yang tidak diwajibkan Allah.

Inilah di antara yang membuktikan bahwa pendapat penduduk Madinah dan ahli hadits itu lebih shahih daripada pendapat penduduk Kufah mengenai pengharaman nikah syighar. Alasannya hanyalah karena meniadakan mahar. Jadi, bilamana mahar tersebut ada, maka pernikahan pun menjadi sah."[39]

6. Nikah Tahlil.
Yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama. Ini adalah salah satu dosa besar dan perbuatan keji yang Allah melarangnya dan melaknat pelakunya, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan muhallal lahu."[*] [40]

Arti muhallil berasal dari tahlil, yakni orang yang menikahi wanita yang ditalak tiga dengan niat untuk diceraikannya setelah menyetubuhinya agar orang yang mentalak tiga tersebut dapat menikahinya kembali.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: "Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?" Mereka menjawab: "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Ia adalah muhallil, semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu."[41]

Pendapat-Pendapat Ulama :
At-Tirmidzi rahimahullah berkata: "Pengamalan atas hal ini dilakukan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selainnya, serta ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.[42]

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut."[43]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa secara keseluruhan, pernikahan muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat semua ahli ilmu, baik wali mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu menyetubuhinya,” maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada pernikahan di antara keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama kalinya maka dia harus menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa pernikahan tersebut sah tetapi syaratnya tidak sah.

Asy-Syafi'i berkata: “Kedua bentuk yang pertama tidaklah sah, sedangkan untuk yang ketiga terdapat dua pendapat.

Ibnu Mas’ud berkata "Muhallil dan muhallal lahu dilaknat melalui lisan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mempunyai riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.'"[44]

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata ketika beliau berkhutbah: "Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lahu melainkan aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina." Dan karena pernikahan hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang menghalangi kelangsungan pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah mut'ah.

Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria bertanya kepadanya: "Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi (mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu." Ia menjawab: "Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika mengagum-kanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah. Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perzinaan."[45]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pen-dapat para Imam kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama.-ed.):

لاَ حَتَّى تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ.

‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’[46]
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang diselisihi oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan sesudahnya."[47]

Beliau juga ditanya tentang tahlil yang dilakukan manusia pada hari ini: "Jika terjadi pada apa yang mereka lakukan berupa pemberian hak, kesaksian, dan siasat-siasat lainnya; apakah itu sah ataukah tidak?"

Beliau menjawab: "Tahlil yang mereka sepakati bersama suami -baik lafal maupun kebiasaan- agar menceraikan wanita itu, atau suami meniatkan demikian adalah diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat-nya.

7. Dan Di Antara Pernikahan Yang Diharamkan:
a. Nikah dalam masa ‘iddah dan menikahi wanita kafir selain kitabiyyah (wanita Yahudi dan Nasrani):

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah/2: 221]

b. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena ikatan perkawinan).

Berdasarkan firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara pe-rempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisaa’/4: 23]

c. Diharamkan menikahi wanita-wanita yang diharamkan karena persusuan; berdasarkan ayat tadi dan sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam bab: Wanita yang Dihalalkan dan yang Diharamkan.

d. Demikian pula tidak boleh menghimpun antara wanita dengan bibinya.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.

"Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak bapak) dan wanita dengan bibinya (dari pihak ibu)."[49]

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah, ia mengatakan: "Lalu diperlihatkan kepada kami, bahwa bibi ayahnya (dari pihak ibu) mempunyai status (kedudukan) yang sama."[50]

e. Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak ketiga, dan tidak dihalalkan untuknya hingga menikah dengan suami selainnya dengan pernikahan yang wajar (bukan tahlil).[**]

Berdasarkan firman-Nya:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah...” [Al-Baqarah/2: 230].

f. Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ.

"Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh pula meminang."[51]

g. Tidak boleh menikahi wanita yang masih bersuami, dan tidak boleh menikahi wanita pezina.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang ber-zina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nuur/24: 3]

h. Diharamkan menikah lebih dari empat wanita.
Berdasarkan firman-Nya:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” [An-Nisaa’/4: 3].

Syaikh bin Baaz pernah ditanya tentang menikah dengan wanita kitabiyyah (Nasrani atau Yahudi): "Apakah Islam membolehkan menikahi wanita kitabiyyah pada saat seorang muslim berada di negeri Kristen, dan dia membutuhkan orang yang memperhatikan kehidupannya serta khawatir melakukan penyimpangan?"

Beliau menjawab: "Boleh menikahi kitabiyyah jika wanita tersebut memelihara diri lagi bukan pezina. Karena Allah mensyaratkan hal itu pada wanita-wanita yang menjaga kehormatannya. Jika wanita kitabiyyah ini diketahui memelihara dirinya dan jauh dari sarana-sarana kenistaan, maka Allah membolehkan hal itu, dan Dia menghalalkan wanita-wanita dan makanan mereka untuk kita.

Tetapi di masa sekarang ini berbagai dampak buruk dikhawatir-kan akan menimpa pria muslim yang menikahi mereka. Sebab, adakalanya mereka mengajaknya kepada agama mereka, atau hal itu menyebabkan anak-anaknya menjadi Nasrani. Bahayanya sangat besar, dan yang terbaik untuk kaum mukminin ialah tidak menikahinya. Karena wanita kitabiyyah pada umumnya tidak terhindar dari perbuatan nista dan (dikhawatirkan akan) mengatasnamakan padanya anak-anak dari pria lainnya. Sikap paling hati-hati bagi seorang mukmin, meskipun yang nampak bahwa wanita ini tidak berzina dan memelihara diri, ialah tidak menikahinya dan berusaha semaksimal mungkin untuk menikahi wanita muslimah-mukminah. Tetapi tidak mengapa jika memang membutuhkan hal itu, sehingga dia dapat memelihara kemaluannya dan memelihara pandangannya dengannya. Di samping itu dia berupaya untuk mengajaknya kepada Islam, serta berhati-hati terhadap keburukannya dan upayanya untuk menyeret dirinya atau menyeret anak-anaknya kepada kekafiran."[52]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]



WANITA YANG DIHALALKAN DAN YANG DIHARAMKAN (UNTUK DINIKAHI)

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban..." [An-Nisaa'/4: 23-24]

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, "Tujuh (golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh (golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan)." Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu...”[1]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: "Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur selain maula Ibnu 'Abbas, dari Ibnu 'Abbas, disebutkan di akhir hadits tersebut, ‘... kemudian dia membaca: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ ‘Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca, وَأُمَّهَاتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ ‘Ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan,’ hingga ayat, وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ ‘Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,’ dan membaca: وَلاَ تَنكِحُـوا مَـا نَكَحَ ءَ ابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.’ (An-Nisaa'/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah semenda.’"[2]

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: "Menyebut sepersusuan dengan semenda (shahr) adalah boleh, demikian pula isteri orang lain. Mereka semua (haram untuk dinikahi selamanya), kecuali menghimpun di antara dua saudara dan isteri orang lain.

Termasuk dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan ialah mantan isteri kakek, dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Demikian pula nenek dari pihak ayah, dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula cucu perempuan dari anak perempuan, dan anak perempuan keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan keponakan perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan keponakan laki-laki dari saudara laki-laki, saudara perempuan, dan bibi (dari pihak ayah) dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi ibu, baik dari pihak bapak maupun ibunya, dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi bapak (dari pihak ibu), nenek isteri dan seterusnya ke atas, dan anak perempuan dari anak tiri perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan dari anak tiri laki-laki, isteri cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak perempuan, serta meng-himpun antara seorang perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu."[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena nasab, maka ketetapannya bahwa semua kerabat seorang pria dari nasab adalah haram atasnya; kecuali anak-anak perempuan pamannya, baik dari pihak bapak maupun ibu, dan anak-anak perempuan bibinya, baik dari pihak bapak maupun ibu. Keempat golongan inilah yang dihalalkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin...’” [Al-Ahzaab/33: 50]

Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari wanita-wanita itu, empat golongan; dan Allah tidak menjadikan hal itu sebagai kekhususan bagi beliau sehingga tidak berlaku untuk kaum mukminin lainnya. Kecuali wanita yang menghibahkan dirinya (menawarkan diri untuk dinikahkan), maka Dia menjadikan hal ini sebagai kekhususannya. Beliau boleh menikahi wanita yang menghibahkan dirinya tanpa mahar, dan ini tidak berlaku untuk selain beliau; berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”[4]

Kemudian, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: "Adapun yang berkaitan dengan wanita yang diharamkan karena semenda, maka semua wanita semenda halal baginya kecuali empat golongan. Dan ini bertolak belakang dengan sanak famili, di mana keseluruhannya haram untuk dinikahi kecuali empat golongan.

Kaum kerabat kedua pasangan suami-isteri semuanya halal, kecuali empat golongan, yaitu mantan isteri ayah, mantan isteri anak laki-laki, ibu isteri (mertua), dan anak-anak isteri. Diharamkan atas kedua pasangan suami-isteri (untuk memihak) orang tua dan anak-anak masing-masing.

Diharamkan atas laki-laki menikahi ibu isterinya; termasuk nenek isteri dari pihak ibu dan ayah serta seterusnya ke atas. Ia juga diharamkan menikahi anak perempuan isterinya, yaitu anak tiri dan cucu perempuan dari anak perempuan isterinya serta seterusnya ke bawah. Juga anak perempuan dari anak tiri perempuan pun adalah haram.

Ia diharamkan menikah dengan isteri ayahnya dan seterusnya ke atas, dan isteri anak laki-lakinya serta seterusnya ke bawah.

Keempat golongan itulah yang diharamkan dalam Kitabullah karena semenda. Keempat golongan itu diharamkan dengan akad; kecuali anak tiri, maka ia tidak diharamkan hingga (kecuali) sang pria telah mencampuri ibunya.

Adapun anak-anak perempuan dari kedua wanita berikut ini dan (anak-anak perempuan dari) ibunya, maka tidak diharamkan. Ia boleh menikahi anak perempuan isteri ayahnya [*] dan (anak perempuan dari isteri) anak laki-lakinya [**] berdasarkan kesepakatan ulama; sebab dia bukan isteri. Berbeda halnya dengan anak perempuan tiri, karena anak dari anak tiri adalah cucu tiri. Begitu juga anak perempuan ibu isteri (ibu mertua) tidak diharamkan, [***] karena dia bukan ibu yang sesungguhnya. Karena itu kalangan fuqaha mengatakan: ‘Anak-anak perempuan dari wanita-wanita yang diharamkan adalah diharamkan -kecuali anak-anak perempuan bibi dari pihak bapak dan dari pihak ibu- begitu juga ibu isteri, dan mantan isteri ayah dan anak juga diharamkan.’ Dia menggolongkan anak perempuan dari anak tiri perempuan sebagai wanita yang diharamkan; namun tidak memberlakukan hal tersebut pada anak-anak ketiga wanita di atas. Inilah yang tidak saya ketahui ada perselisihan di dalamnya.”[5]

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far meng-himpun antara puteri 'Ali dan isteri 'Ali.

Ibnu Sirin berpendapat tidak mengapa. Sedangkan al-Hasan semula memakruhkannya, kemudian berpendapat tidak mengapa.[6]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ia mengatakan: “وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ (An-Nisaa’/4: 24), para wanita yang bersuami lagi merdeka adalah haram, إِلاَّ مَـا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ (An-Nisaa’/4: 24). Ia berpendapat, tidak mengapa seseorang mengambil hamba sahaya wanitanya dari hamba sahaya laki-lakinya.”

Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Kebanyakan yang dimaksud dengan muhshanaat ialah para wanita yang bersuami, yakni bahwa mereka adalah haram, dan yang dimaksud dengan pengecualian dalam firman-Nya, إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ ialah para tawanan wanita; jika mereka bersuami, maka mereka halal bagi siapa yang menawannya."[7]

Diharamkannya Anak Tiri Perempuan Dan Menghimpun Dua Wanita Bersaudara.

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ

“... Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum ber-campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan)...” [An-Nisaa’/4: 23]

Menurut Ibnu ‘Abbas Radhyallahu anhu, (yang dimaksud dengan) dukhul (mencampuri), masis dan lamas (menyentuh) ialah jima’ (bersetubuh). [8]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Zainab, dari Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: "Aku bertanya: 'Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan puteri Abu Sufyan?' (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah saudara perempuanku, puteri Abu Sufyan’). Beliau menjawab: 'Aku akan berbuat apa?' Aku mengatakan: 'Engkau menikahinya.' Beliau bertanya: 'Apakah engkau suka?' Aku menjawab: 'Aku tidak cemburu kepadamu, dan wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah saudara perempuanku.' Beliau bersabda: 'Ia tidak halal untukku.' Aku mengatakan: 'Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.' Beliau bertanya: 'Puteri Ummu Salamah maksudnya?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau mengatakan: 'Seandainya dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku dan ayahnya sama-sama disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, jangan menawarkan puteri-puteri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.'"[9]

Menurut al-Hafizh rahimahullah, yang dimaksud dengan rabibah adalah anak perempuan isteri (anak tiri). Kemudian dia mengatakan: ‘Abdurrazzaq, Ibnul Mundzir dan selainnya mengatakan dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid dari Malik bin Aus. Ia mengatakan: “Aku mempunyai isteri yang sudah melahirkan anak untukku. Ketika dia mati, aku melihat di pangkuannya. Lalu ketika aku bertemu ‘Ali bin Abi Thalib, dia bertanya: ‘Apa yang menimpamu?’ Aku pun menceritakan kepadanya. Dia bertanya: ‘Apakah dia mempunyai anak wanita (yakni dari pria selain kamu)?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Dia bertanya: ‘Apakah ia dalam pengasuhanmu?’ Aku menjawab: ‘Tidak, ia di Tha-if.’ Dia mengatakan: ‘Nikahilah!’ Aku bertanya: ‘Lalu bagaimana dengan firman-Nya, وَرَبَـائِبُكُم ‘Dan anak-anak perempuan isterimu?’ Dia menjawab: ‘Ia tidak dalam pengasuhanmu.’” Atsar ini shahih dari 'Ali Radhyallahu anhu.[10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pengharaman menghimpun dua wanita bersaudara berdasarkan nash (teks) al-Qur-an; dan tidak boleh pula (menggabungkan) antara wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan antara wanita dengan bibinya dari pihak ibu. Tidak boleh wanita yang lebih tua dinikahi setelah saudara wanitanya yang lebih muda (dinikahi), atau sebaliknya. Karena telah termaktub dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam. melarang hal itu. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:

أَنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ بَيْنَ أَرْحَامِكُمْ.

‘Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutuskan ikatan kekerabatan di antara kalian.’

Walaupun salah satu dari keduanya merelakan yang lainnya untuk dinikahi, tetap tidak boleh. Sebab, tabi’at itu berubah-ubah. Karena itu, ketika Ummu Habibah menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam agar menikahi saudara perempuannya, beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu suka?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak lagi sendirian, dan wanita yang paling berhak menyertaiku dalam kebajikan adalah saudara perempuanku.’ Tapi beliau mengatakan: ‘Ia tidak halal bagiku.’ Dikatakan kepada beliau: ‘Kami berbincang-bincang bahwa engkau akan menikahi gadis puteri Abu Salamah.’ Beliau menjawab:

لَوْلَمْ تَكُنْ رَبِيْبَتِيْ فِيْ حِجْـرِيْ لَمَا حَلَّتْ لِيْ، فَإِنَّهَا بِنْتُ أَخِيْ مِنَ الرَّضَاعِ، أَرْضَعَتْنِيْ وَأَبَاهَا أَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ أُمُّ أَبِيْ لَهَبٍ، فَلاَ تَعْرُضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ.

‘Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam pengasuhanku, dia tetap tidak halal bagiku; sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan. Aku dan ayahnya disusui oleh Tsu-waibah, ibunda Abu Lahab. Oleh karena itu, janganlah menawarkan anak-anak perempuan kalian atau saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’[11] Dan hal ini disepakati oleh kalangan ulama."[12]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang wanita dinikahi bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayah maupun dari pihak ibu."[13]

Diharamkan Dari Sepersusuan Sebagaimana Yang Diharamkan Dari Nasab:[14]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti ‘Abdurrahman bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di sisinya dan dia mendengar suara seorang pria yang meminta izin di rumah Hafshah. Ia mengatakan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, ada orang yang meminta izin di rumahmu.' Beliau mengatakan: 'Aku melihatnya si fulan.' Ternyata paman Hafshah dari sepersusuan." ‘Aisyah bertanya: "Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah dari sepersusuan- apakah dia boleh menjengukku?" Beliau menjawab: "Ya, sepersusuan diharamkan sebagaimana seperanakan."[15]

Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: "Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam: 'Mengapa engkau tidak menikahi puteri Hamzah?' Beliau menjawab: 'Ia adalah puteri saudaraku sepersusuan.'"[16]

Masa Penyusuan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang pria, maka sepertinya wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal itu. ‘Aisyah berkata, "Ia saudaraku." Beliau bersabda:

اُنْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ.

"Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai penyelamatan dari) kelaparan."[17]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Al-Muhlib berkata: "Diharamkannya sepersusuan hanyalah (yang terjadi) di masa kecil hingga penyusuan itu mengatasi kelaparan." Abu ‘Ubaid berkata: "Arti "perhatikan apa yang ada pada saudara-saudara kalian... dan seterusnya," adalah bayi yang lapar, dan makanan yang mengenyangkannya adalah susu dari penyusuan." Sabda beliau: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai) penyelamatan dari kelaparan", maksudnya penyusuan yang menetapkan keharaman, dan dihalalkan ‘Aisyah berdua dengannya adalah apabila yang disusui itu masih bayi, di mana susu itu mengatasi kelaparannya. Di antara hadits-hadits pendukungnya ialah hadits Ibnu Mas’ud: "Tidak ada penyusuan kecuali apa yang dapat menguatkan tulang dan me-numbuhkan daging."[18] Dan hadits Ummu Salamah: "Tidak diharamkan dari sepersusuan kecuali yang mengenyangkan usus-usus."[19]

Kemudian, al-Hafizh v berkata: “Ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa sekali susuan tidaklah menjadi haram, karena tidak menghilangkan rasa lapar." Al-Hafizh mengatakan tentang masa penyusuan. Dikatakan, tidak lebih dari usia dua tahun. Ini adalah riwayat Wahb dari Malik, dan demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Argumen mereka adalah hadits Ibnu ‘Abbas: "Tidak ada penyusuan kecuali dalam (usia) dua tahun."[20]

Jumlah Susuan.
Para ulama berselisih tentang jumlah penyusuan yang menyebabkan haramnya (pernikahan). Ada sejumlah hadits yang berbeda-beda dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ada yang menyebutkan sepuluh kali, tujuh kali, dan lima kali susuan; dan yang paling shahih adalah riwayat Muslim yang menyebutkan lima kali susuan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah tentang sepuluh susuan yang telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan lima susuan yang telah dikenal. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam wafat, dan itulah yang dibaca."[21]

Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: "Tidak menyebabkan haram kurang dari lima susuan yang dikenal."[22] Imam Asy-Syafi’i berpendapat demikian. Ini pun termasuk riwayat Ahmad dan pen-dapat Ibnu Hazm. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dengan sanad yang shahih bahwa dia mengatakan: "Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan tiga kali susuan." Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang lima kali susuan. Adapun (maksud) hadits: "Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan dua kali susuan," maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang kurang dari lima kali. Jika tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga kali susuan dan seterusnya hanyalah diambil dari mafhum (konteks) hadits. Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.[23]

Menyusu Dari Air Susu.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah, dia bercerita kepadanya bahwasanya Aflah, saudara Abul Qu’ais, datang untuk meminta izin kepadanya -ia adalah pamannya sepersusuan- setelah turun ayat tentang hijab. ‘Aisyah berkata: "Tapi aku menolak memberi izin kepadanya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam datang, aku memberitahukan kepada beliau tentang apa yang aku lakukan, maka beliau menyuruhku agar mengizinkannya menemuiku."

Dalam satu riwayat: "Sebab, dia adalah pamanmu. Semoga engkau diberkahi."

Abul Qu’ais adalah suami wanita yang menyusui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.[24]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______


LARANGAN HIDUP MEMBUJANG

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Arti tabattul (membujang), Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "Tabattul di sini ialah menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah karena ingin terus beribadah kepada Allah."[1]

Hadits-hadits yang melarang hidup membujang cukup banyak, di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak hal itu pada ‘Utsman bin Mazh’un. Seandainya beliau membolehkan kepadanya untuk hidup membujang, niscaya kami membujang."[2]

2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang pemuda dan aku takut memberatkan diriku, sedangkan aku tidak mempunyai sesuatu untuk menikahi wanita.' Tetapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi kepada beliau, tapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Hurairah, pena telah kering dengan apa yang engkau temui (alami); mengebirilah atau tinggal-kan.'"[3]

Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata -mengomentari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Mengebirilah atau tinggalkan"-: "Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

‘Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir.' [Al-Kahfi/18: 29]

Dan ayat ini bukannya membolehkan kekafiran."[4]

Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ditemui oleh Sa’id bin Hisyam seraya bertanya kepadanya: "Aku ingin bertanya kepadamu tentang hidup membujang; bagaimana menurutmu?" Ia menjawab: "Jangan lakukan! Bukankah engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...’ [Ar-Ra’d/13: 38]

Oleh karena itu, janganlah engkau hidup membujang."[5]

Tidak Ada "Kepasturan (Kerahiban)" Dalam Islam.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Aku menjenguk Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash as-Salamiyyah, dan dia adalah isteri 'Utsman bin Mazh'un.” Ia melanjutkan: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi tubuhnya yang buruk, beliau bertanya kepadaku: ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang memperburuk kondisi Khuwailah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ia seorang wanita yang mempunyai suami yang selalu berpuasa di siang hari dan bangun malam (untuk shalat). Ia seperti orang yang tidak mempunyai suami. Oleh karenanya, ia membiarkan dirinya dan menyia-nyiakannya.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada ‘Utsman bin Mazh’un (agar ia datang menghadap). Ketika dia datang kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Wahai ‘Utsman, apakah engkau membenci Sunnahku?’ Ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, bahkan Sunnahmu yang aku cari.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidur, shalat, puasa, berbuka, dan menikahi beberapa orang wanita; maka bertakwalah kepada Allah wahai ‘Utsman, karena isterimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.'"[6]

Asy-Sya’bi meriwayatkan: Ka’ab bin Sur pernah duduk di sisi ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu seorang wanita datang seraya berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak melihat seorang pun yang lebih baik daripada suamiku. Demi Allah, dia senantiasa beribadah pada malam harinya dan senantiasa berpuasa pada siang harinya." Mendengar hal itu ‘Umar memohonkan ampunan untuknya dan memujinya, tetapi wanita ini merasa malu dan beranjak pulang. Ka’ab berkata: "Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau membantu wanita ini (mendapatkan hak) atas suaminya. Sebab, dia telah menyampaikan keluhannya kepadamu." ‘Umar berkata kepada Ka’ab: "Putuskanlah perkara di antara keduanya, karena engkau memahami urusan apa yang tidak aku fahami." Ia mengatakan: "Aku melihat sepertinya dia seorang wanita bersama tiga isteri lainnya, dan ia keempatnya. Oleh karenanya, aku memutuskan tiga hari tiga malam di mana dia (pria ini) beribadah di dalamnya, dan untuknya (wanita ini) sehari semalam." ‘Umar berkata: "Demi Allah, pendapatmu yang pertama tidak lebih mengagumkan dari-pada yang terakhir. Pergilah! Engkau menjadi qadhi (hakim) atas Bashrah. Sebaik-baik qadhi adalah dirimu."[7]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, benarkah apa yang aku dengar bahwa engkau selalu berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalat malam?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah, karena tubuh mempunyai hak atasmu, kedua matamu mempunyai hak atasmu, isterimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak atasmu. Cukuplah engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena engkau akan mendapatkan pada setiap kebajikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, itu seperti puasa sepanjang masa." Ketika aku bersikeras, maka aku sendiri yang akhirnya kesulitan. Aku mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku masih memiliki kesanggupan." Beliau bersabda: "Kalau begitu berpuasalah dengan puasa Dawud Alaihissallam dan jangan menambahnya." Aku bertanya: "Bagaimana puasa Nabi Allah Dawud Alaihissallam?" Beliau menjawab: "Separuh masa." ‘Abdullah berkata setelah tua: "Duhai sekiranya aku menerima keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[8]

Al-Marwazi mengatakan: Abu ‘Abdillah -yakni Ahmad bin Hanbal- berkata: "Hidup membujang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi 14 isteri, dan beliau wafat meninggalkan sembilan isteri. Seandainya Basyar bin al-Harits menikah, niscaya urusannya menjadi sempurna. Seandainya manusia tidak menikah, niscaya tidak ada peperangan, tidak ada haji, dan tidak ada begini dan begitu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah, sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa, dan beliau wafat meninggalkan 9 isteri serta memilih menikah dan menganjurkan akan hal itu. Beliau melarang hidup membujang. Barangsiapa yang membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di atas selain kebenaran. Ya’qub, dalam kesedihannya, masih menikah dan mendapatkan anak. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Dimasukkan ke dalam hatiku kecintaan kepada para wanita."[9]

Aku mengatakan kepadanya, diceritakan dari Ibrahim bin Ad-ham bahwa dia mengatakan: "Sungguh, rasa takut seorang laki-laki yang menanggung beban keluarga yang berat..." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba dia (memotongnya serta) berteriak kepadaku dan mengatakan: 'Kita terperangkap di jalan-jalan yang sempit.' Lihatlah -semoga Allah menyelamatkanmu- apa yang dilakukan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya." Kemudian dia mengatakan: "Sungguh tangisan anak di hadapan ayahnya karena meminta roti kepadanya, itu lebih baik daripada demikian dan demikian. Bagaimana mungkin ahli ibadah yang membujang bisa menyamai orang yang menikah?"[10]

Syubhat:
Makna Tabattul Dalam Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: Di antara hal yang patut untuk disebutkan bahwa al-Qur-an memerintahkan tabattul dalam firman-Nya:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا

“Sebutlah Nama Rabb-mu, dan bertabattullah (beribadahlah) kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil/73: 8].

Makna ayat ini adalah perintah agar menggunakan seluruh waktunya untuk Allah dengan ibadah yang ikhlas.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah/98: 5].

Sementara ada larangan tabattul dalam Sunnah. Dan yang dimaksud dengannya ialah memutuskan hubungan dari manusia dan komunitas, menempuh jalan kependetaan untuk meninggalkan pernikahan, dan menjadi pendeta di tempat-tempat sembahyang. Jadi, tabattul diperintahkan dalam al-Qur-an dan dilarang dalam Sunnah. Kaitan perintah berbeda dengan kaitan larangan; maka keduanya tidak kontradiktif. Dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus untuk menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, Syarh an-Nawawi (III/549).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5074) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3212) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1848) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 1517).


MEMILIH ISTERI DAN BERBAGAI KRITERIANYA

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Terdapat banyak kriteria yang dituntut dari diri wanita, dan dianjurkan menikahi wanita yang memiliki berbagai kriteria tersebut. Kita cukupkan dengan menyebut kriteria-kriteria terpenting.

Pertama:
MENTAATI AGAMA DAN SANGAT MENCINTAI-NYA.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...” [Al-Hujuraat/49: 13].

Dia berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“… Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” [An-Nisaa’/4: 34].

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung."[1]

Wahai saudaraku, ini bukan berarti bahwa kecantikan itu tidak diperlukan. Tetapi yang dimaksud ialah jangan membatasi pada kecantikan, karena itu bukan prinsip bagi kita dalam memilih isteri. Pilihlah karena agamanya; dan jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia. Yakni, berlumuran dengan tanah berupa aib yang bakal terjadi padamu setelah itu disebabkan isteri tidak mempunyai agama.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’, ia mengatakan: "Jangan menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa jadi kecantikannya itu akan memburukkannya; dan jangan menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi hartanya membuatnya melampui batas. Tetapi, nikahilah wanita atas perkara agamanya. Sungguh hamba sahaya wanita yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama adalah lebih baik."[2]

Syaikh al-‘Azhim Abad berkata: "Makna ‘fazhfar bidzaatid diin (ambillah yang mempunyai agama)’ bahwa yang pantas bagi orang yang mempunyai agama dan adab yang baik ialah agar agama menjadi pertimbagannya dalam segala sesuatu, terutama berkenaan dengan pendamping hidup. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kan supaya mencari wanita beragama yang merupakan puncak pencarian. Taribat yadaaka, yakni menempel dengan tanah."[3]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ أَمَرَهَـا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ.

"Seorang mukmin tidak mengambil manfaat sesudah takwa kepada Allah, yang lebih baik dibandingkan wanita yang shalihah: Jika memerintahnya, ia mentaatinya; jika memandang kepadanya, ia membuatnya senang; jika bersumpah terhadapnya, ia memenuhi sumpahnya; jika bepergian meninggalkannya, maka ia tulus kepadanya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya."[4]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مِنْ سَعَـادَةِ ابْنُ آدَمَ ثَلاَثَةٌ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْـكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنُ آدَمَ: اَلْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.

"Kebahagiaan manusia ada tiga: Wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Sedangkan ke-sengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk (perangainya), tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk."[5]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Tsauban, ia mengatakan: "Ketika turun (ayat al-Qur-an) mengenai perak dan emas, mereka bertanya: 'Lalu harta apakah yang harus digunakan?' ‘Umar berkata: 'Aku akan memberitahu kepadamu mengenai hal itu.' Lalu dia mengendarai untanya hingga menyusul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Lalu dia bertanya: 'Wahai Rasulullah, harta apakah yang akan kita gunakan?' Beliau menjawab: 'Hendaklah salah seorang dari kalian mempunyai hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, dan isteri beriman yang dapat mendukung (me-motivasi) salah seorang dari kalian atas perkara akhirat.'"[6]

Ini Adalah Perumpamaan Hidup Tentang Wanita Yang Taat Beragama, Dan Banyak Bertanya Tentangnya (Juru Bicara Kaum Wanita).
Dari Asma' binti Yazid al-Anshariyyah, ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di tengah-tengah Sahabatnya seraya mengatakan: "Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku utusan para wanita kepadamu. Ketahuilah -diriku sebagai tebusanmu- bahwa tidak seorang wanita pun yang berada di timur dan barat yang mendengar kepergianku ini melainkan dia sependapat denganku. Sesungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan wanita, lalu kami beriman kepadamu dan kepada Rabb-mu yang mengutusmu. Kami kaum wanita dibatasi; tinggal di rumah-rumah kalian, tempat pelampiasan syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, kaum pria, dilebihkan atas kami dengan shalat Jum’at dan berjama’ah, men-jenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, haji demi haji, dan lebih utama dari itu ialah jihad fii sabiilillaah. Jika seorang pria dari kalian keluar untuk berhaji, berumrah atau berjihad, maka kami memelihara harta kalian, membersihkan pakaian kalian, dan merawat anak-anak kalian. Lalu apa yang bisa membuat kami mendapatkan pahala seperti apa yang kalian dapatkan, wahai Rasulullah?" Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para Sahabatnya, kemudian bertanya: "Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita yang lebih baik daripada wanita ini dalam pertanyaannya tentang urusan agamanya?" Mereka menjawab: "Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka ada seorang wanita yang men-dapat petunjuk seperti ini." Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya seraya berkata kepadanya: "Pergilah wahai wanita, dan beritahukan kepada kaum wanita di belakangmu bahwa apabila salah seorang dari kalian berbuat baik kepada suaminya, mencari ridhanya dan menyelarasinya, maka pahalanya menyerupai semua itu." Kemudian wanita ini berpaling dengan bertahlil dan bertakbir karena gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]

Ilustrasi Mengenai Wanita Yang Rasa Malunya Tidak Menghalanginya Untuk Bertanya Tentang Agamanya.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?' Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jika dia melihat air.’” Ummu Salamah menutupi wajahnya dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah wanita bermimpi?" Beliau menjawab: "Ya, semoga engkau beruntung, lantas dari mana anaknya dapat mirip dengannya?"[8]

Mereka Adalah Kaum Wanita Yang Mengetahui Keutamaan Ilmu Dan Mencarinya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika kaum wanita merasakan keutamaan ilmu, mereka pergi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau suatu majelis yang khusus untuk mereka. Abu Sa’id menuturkan: "Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: 'Wahai Rasulullah, kaum pria pergi dengan membawa haditsmu, maka berikan untuk kami sehari dari waktumu di mana kami datang kepadamu pada hari itu agar engkau mengajarkan kepada kami dari apa yang Allah ajarkan kepadamu.' Beliau bersabda: 'Berkumpullah kalian pada hari ini dan hari itu di tempat demikian dan demikian.' Mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka untuk mengajarkan kepada mereka apa yang Allah ajarkan kepada beliau. Kemudian beliau bersabda: 'Tidaklah seorang wanita dari kalian mendahulukan tiga perkara dari anaknya, melainkan itu menjadi hijab baginya dari api Neraka.' Maka seorang wanita dari mereka berkata: 'Wahai Rasulullah, dua?' Ia mengulanginya dua kali. Kemudian beliau bersabda: 'Dua, dua, dua.'"[9]

Dalam riwayat an-Nasa-i disebutkan: "Dikatakan kepada mereka: 'Masuklah ke dalam Surga.' Mereka mengatakan: 'Hingga bapak-bapak kami masuk.' Maka diperintahkan: 'Masuklah kalian beserta ayah-ayah kalian.'"

Kedua:
TIDAK MENGENAL KATA-KATA YANG TERCELA.
Ditanyakan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Siapakah wanita yang paling utama?" Ia menjawab: "Yaitu wanita yang tidak mengenal kata-kata yang tercela dan tidak berfikir untuk menipu suami, serta hatinya kosong kecuali berhias untuk suaminya dan untuk tetap memelihara keluarganya."

Seorang Arab mengabarkan kepada kita tentang wanita yang sebaiknya dijauhi, ketika berfikir untuk menikah.

Ia mengatakan: "Jangan menikahi enam jenis wanita, yaitu yang annanah, mannanah, hannanah, dan jangan pula menikahi haddaqah, barraqah, dan syaddaqah."

Annanah ialah wanita yang banyak merintih, mengeluh serta memegang kepalanya setiap saat. Sebab, menikah dengan orang yang sakit atau pura-pura sakit tidak ada manfaatnya.

Mannanah ialah wanita yang suka mengungkit-ungkit (kebaikan) di hadapan suaminya, dengan mengatakan: "Aku telah melakukan demikian dan demikian karenamu."

Hannanah ialah wanita yang senantiasa rindu kepada suaminya yang lain (yang terdahulu) atau anaknya dari suami yang lain. Ini pun termasuk jenis yang harus dijauhi.

Haddaqah ialah wanita yang memanah segala sesuatu dengan kedua matanya lalu menyukainya dan membebani suami untuk membelinya.

Barraqah mengandung dua makna:
1. Wanita yang sepanjang hari merias wajahnya agar wajahnya menjadi berkilau yang diperoleh dengan cara meriasnya.

2. Marah terhadap makanan. Ia tidak makan kecuali sendirian dan menguasai bagiannya dari segala sesuatu. Ini bahasa Yaman. Mereka mengatakan: “Bariqat al-Mar-ah wa Bariqa ash-Shabiyy ath-Tha’aam,” jika marah pada makanan itu.
Dan syaddaqah ialah wanita yang banyak bicara.[10]

Ketiga:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH BERSABAR DAN TIDAK BERSEDIH.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menuturkan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَـا بَدُعَـاءِ الْجَـاهِلِيَّةِ.

'Bukan termasuk golonganku orang yang menampar pipi dan merobek saku baju serta berseru dengan seruan Jahiliyyah (ketika mendapat musibah).'"[11]

Seruan Jahiliyah, sebagaimana kata al-Qadhi: "Ialah meratapi mayit dengan mengutuk."

Dalam kitab ash-Shahiihain, dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: "Abu Musa sakit keras, lalu dia pingsan dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang isterinya, maka isterinya berteriak dan Abu Musa tidak mampu mencegahnya sedikit pun. Ketika siuman, dia berkata: 'Aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri shaliqah, haliqah, dan syaqqah.[12] '"[13]

Abu Dawud meriwayatkan dari seorang wanita yang turut membai’at Rasulullah, ia mengatakan: "Di antara isi janji yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kami di dalam kebaikan yang mana kami tidak boleh melanggarnya ialah: ‘Kami tidak boleh mencakar-cakar wajah, tidak boleh mengutuk, tidak boleh merobek-robek baju, dan tidak boleh mengacak-acak rambut.’"[14]

Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: "Ketika Abu Salamah meninggal, aku mengatakan: 'Ia asing dan di bumi asing.' Sungguh aku akan menangisinya dengan tangisan yang akan terus dibicarakan orang. Aku telah siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang wanita dari dataran tinggi bermaksud menyertaiku (dalam tangisan). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadangnya seraya bertanya: 'Apakah engkau ingin memasukkan syaitan ke dalam rumah yang telah Allah bebaskan darinya?' Diucapkannya dua kali. Lalu aku menahan tangisan, sehingga aku tidak menangis."[15]

Keempat:
DIA TIDAK MEREMEHKAN DOSA.
Ahmad meriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَـاءَ ذَا بِعُوْدٍ، حَتَّـى انْضَجُوْا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكُهُ.

'Janganlah kalian meremehkan dosa-dosa kecil, seperti kaum yang berada di perut lembah lalu masing-masing orang membawa sepotong kayu sehingga dapat menanak roti mereka. Sesungguhnya bila dosa-dosa kecil itu pelakunya dihukum, maka dosa-dosa tersebut akan mencelakakannya.'"[16]

Kelima:
IA BERAKHLAK MULIA.
Inilah wanita yang senantiasa mempergauli suaminya dengan akhlak mulianya.
Ibnu Ja’dabah berkata: “Di tengah kaum Quraisy ada seorang pria yang berakhlak buruk. Tetapi tangannya suka berderma, dan dia orang yang berharta. Bila dia menikahi wanita, dipastikan dia akan menceraikannya karena akhlaknya yang buruk dan kurang-nya ketabahan isterinya. Kemudian dia meminang seorang wanita Quraisy yang berkedudukan mulia. Ia telah mendapatkan kabar tentang keburukan akhlaknya. Ketika mahar diputuskan di antara keduanya, pria ini berkata: ‘Wahai wanita, sesungguhnya pada diriku terdapat akhlak yang buruk dan itu tergantung pada ketabahan, jika engkau bersabar terhadapku (maka kita lanjutkan pernikahan ini), namun jika tidak, maka aku tidak ingin memperdayamu terhadapku.’ Wanita ini mengatakan: ‘Sesungguhnya orang yang akhlaknya lebih buruk darimu ialah orang yang membawamu kepada akhlak yang buruk.’ Akhirnya wanita ini menikah dengannya, dan tidak pernah terjadi di antara keduanya kata-kata (cerai) hingga kematian memisahkan di antara keduanya."[17]

Keenam:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH TIDAK MENCERITAKAN TENTANG WANITA LAINNYA KEPADA SUAMINYA.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تُبَاشِرُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا.

"Janganlah wanita bergaul dengan wanita lainnya lalu menceritakannya kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihatnya."[18]

Ketujuh:
IA TIDAK MEMAKAI PARFUM (MINYAK WANGI) KETIKA KELUAR DARI RUMAHNYA DAN MEMELIHARA HIJABNYA.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menutur-kan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَ.

'Siapa pun wanita yang mengasapi dirinya dengan pedupaan (sebagai parfum), maka janganlah ia mengikuti shalat 'Isya' yang terakhir bersama kami.'"[19]

Hal ini dalam hubungannya dengan shalat; maka bagaimana halnya dengan wanita yang keluar rumah dengan berhias serta memakai parfum untuk selain shalat?!

Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa shalatnya ini tidak diterima, sekiranya dia pergi ke masjid dengan keadaan seperti ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa dia bertemu seorang wanita yang memakai parfum hendak menuju ke masjid, maka dia berkata: "Wahai hamba Allah Yang Mahaperkasa, engkau hendak ke mana?" Ia menjawab: "Ke masjid." Abu Hurairah bertanya: "Untuk ke masjid engkau memakai parfum?" Ia menjawab: "Ya." Abu Hurairah berkata: "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ تَطَيَبَّتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلاَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ.

'Wanita mana saja yang memakai parfum kemudian keluar menuju masjid, maka tidak diterima shalatnya hingga ia mandi.'"[20]

Dalam riwayat Ahmad:

فَتَغْتَسِلُ مِنْ غَسْلِهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.

"Maka dia harus mandi seperti dia mandi dari janabah."

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita memakai wewangian di rumahnya lalu keluar sehingga orang-orang mencium aromanya, maka dia adalah pezina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لَيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ.

"Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melintas di hadapan orang-orang agar mereka mencium aromanya, maka dia adalah pezina."[21]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]



MEMILIH ISTERI DAN BERBAGAI KRITERIANYA

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Kedelapan:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH DIA TIDAK MELIHAT AURAT WANITA LAINNYA.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, dari ayahnya bahwa beliau bersabda:

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ.

"Janganlah seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan jangan pula wanita melihat aurat wanita lainnya. Seorang pria tidak boleh bersama pria lainnya dalam satu kain, dan tidak boleh pula wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain."

Dalam sebuah riwayat:

وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَـى عُرْيَةِ الْمَرأَةِ.

"Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya."[22]

Kesembilan:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH DIA MENTAATI SUAMINYA.
Jika wanita mentaati suaminya selain kemaksiatan kepada Allah, maka ia termasuk penghuni Surga, insya Allah.

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang kaum pria kalian yang berada di Surga?" Kami menjawab: "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Nabi berada di Surga, ash-Shiddiq berada di Surga, orang yang mengunjungi saudaranya di sudut negeri hanya semata-mata karena Allah berada di Surga. Maukah aku kabarkan tentang kaum wanita kalian yang berada di Surga?" Kami menjawab: "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Wanita yang pengasih dan subur (banyak anak) -yakni sayang kepada suaminya dan mentaatinya serta banyak melahirkan anak-. Jika suaminya marah atau dibuat kesal olehnya, maka ia mengatakan: 'Ini tanganku di tanganmu, aku tidak akan tidur sampai engkau ridha.'"[23]

Kesepuluh:
ISTERI YANG BERIMAN TIDAK MEMINTA CERAI KEPADA SUAMINYA.
Jika seorang isteri bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak akan meminta cerai kepada suaminya selamanya, hingga seandainya orang tuanya memerintahkan demikian kepadanya.

Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu anhu, bahwa dia menuturkan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

'Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mendapatkan aroma Surga.'"[24]

An-Nasa-i meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfu’:

اَلْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.

"Wanita-wanita yang meminta cerai, mereka adalah wanita-wanita munafik."[25]

Al-Muntazi’aat ialah wanita yang menceraikan dirinya sendiri dengan hartanya dari pelukan suaminya tanpa kerelaannya.

Dengan demikian, seandainya dia mentaati kedua orang tuanya untuk meminta cerai dari suaminya, maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Semestinya mereka mengetahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.

"Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf."[26]

Kesebelas:
IA TIDAK MELEPAS PAKAIANNYA DI SELAIN RUMAHNYA, DAN IA SENANTIASA MEMELIHARA HIJABNYA DI LUAR RUMAH DAN DI DEPAN ORANG-ORANG ASING (BUKAN MAHRAM).
Di antara sifat wanita muslimah mukminah ialah tidak melepas pakaiannya kecuali di rumahnya atau rumah saudaranya, ayahnya, paman (dari pihak ayah)nya, atau paman(dari pihak ibu)nya, jika dia merasa aman bahwa tidak seorang pun dari orang-orang asing yang melihatnya.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِيْ غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا، فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ

"Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah menyingkap tabir antara dirinya dengan Allah Azza wa Jalla."[27]
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَـابَهَا فِيْ غَيْرِ بَيْتِهَا، خَرَّقَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَنْهَا سِتْرَهُ.

"Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla merusak tirai-Nya darinya."[28]

Para ulama menetapkan, dia boleh menanggalkan pakaiannya jika merasa aman bahwa orang-orang asing tidak melihatnya, di tempat orang yang dipercayainya, di mana mereka mengetahui ketentuan-ketentuan Allah, tidak melihat aurat muslimah dan tidak pula memperlihatkannya kepada seseorang.

Ia harus memelihara hijabnya yang disyari’atkan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan dalam firman-Nya:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka me-nutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampak-kan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [An-Nuur/24: 31]

Dari Abu Adzinah ash-Shadafi Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ نِسَائِكُمُ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ، الْمُوَاتِيَةُ الْمُوَاسِيَةُ، إِذَا اتَّقَيْنَ اللهَ، وَشَرُّ نِسَائِكُمُ الْمُتَبَرِّجَاتِ الْمُتَخَيِّلاَتُ، وَهُنَّ الْمُنَافِقَاتُ، لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْهُنَّ إِلاَّ مِثْلَ الْغُرَابِ اْلأَعْصَمِ.

"Sebaik-baik isteri kalian ialah yang pengasih dan subur (banyak anak), giat dan cekatan, jika mereka bertakwa kepada Allah. Dan seburuk-buruk isteri kalian ialah yang gemar bersolek dan cari akal (untuk menipu suami); mereka adalah wanita-wanita munafik yang tidak akan masuk Surga kecuali seperti burung gagak yang kedua kaki dan paruhnya berwarna merah.[*]"[29]

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid secara marfu’:

ثَلاَثَةٌ لاَ تَسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ، وَعَصَى إِمَامَهُ، وَمَاتَ عَاصِيًا، وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ، وَامْرَأَةُ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَـاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ، فَلاَ تَسْأَلُ عَنْهُمْ، وَثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ نَـازَعَ اللهَ عَزَّوَجَلَّ رِدَاءَهُ فَإِنَّ رِدَاءَهُ الْكِبْرِيَاءُ وَإِزَارَهُ الْعِزَّةُ، وَرَجُلٌ شَكَّ فِي أَمْرِ اللهِ، وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ.

"Ada tiga golongan yang mereka tidak ditanya (pada hari Kiamat); orang yang memisahkan diri dari jama’ah, mendurhakai pemimpinnya dan mati dalam keadaan durhaka, hamba sahaya wanita atau hamba sahaya pria yang melarikan diri (dari tuannya), kemudian mati dan wanita yang ditinggal pergi suaminya dalam keadaan kebutuhan duniawinya dicukupinya lalu dia bersolek selepas kepergiannya. Dan tiga golongan lainnya tidak akan ditanya (pada hari Kiamat), orang yang merenggut selendang Allah Azza wa Jalla, dan selendang-Nya ialah kesombongan dan sarung-Nya ialah kemuliaan, orang yang ragu tentang perkara Allah, dan orang yang ber-putus asa dari rahmat Allah."[30]

Keduabelas:
IA MEMBANTU SUAMINYA UNTUK MENTAATI ALLAH.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَـاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْـلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَـا فَصَلَّى، فَإِنْ أَبَـى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ.

'Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun malam untuk mengerjakan shalat lalu membangunkan isterinya sehingga dia shalat. Jika isterinya menolak, maka dia memercikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati pula wanita yang bangun malam untuk mengerjakan shalat lalu membangunkan suaminya sehingga shalat. Jika menolak, maka dia memercikkan air ke wajahnya.'"[31]

Al-Manari mengomentari: "Seperti air mawar atau bunga."

Dr. Nuruddin Tar mengatakan: "Arti nadh-h ialah percikan yang tidak mengganggu dan tidak menyebabkan terkejut. Bisa juga menggunakan yang lainnya seperti air mawar atau mengusap wajahnya dengan sedikit parfum."[32]

Ketigabelas:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH SUKA BERSEDEKAH UNTUK KEBAJIKAN.
Hal ini berdasarkan riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Zainab ats-Tsaqafiyyah, isteri ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu nanhuma. Ia menuturkan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Bershadaqahlah, wahai para wanita, walaupun dari perhiasan kalian.' Aku pun kembali kepada ‘Abdullah bin Mas’ud lalu aku katakan kepadanya, 'Engkau adalah pria yang mempunyai sedikit harta, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk bershadaqah. Datanglah kepada beliau dan tanyakan, jika dengan bersedekah kepadamu aku mendapatkan pahala, maka aku akan memberikannya kepadamu. Jika tidak, maka aku memberikannya kepada selainmu.' ‘Abdullah berkata: 'Justru, pergilah sendiri kepada beliau.' Aku pun berangkat. Ternyata ada seorang wanita Anshar di depan pintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hajatnya sebagaimana hajatku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang diberi kewibawaan. Ketika Bilal keluar menemui kami, kami berkata kepadanya: 'Datanglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kabarkan kepada beliau bahwa dua orang wanita menunggu di depan pintu untuk bertanya kepadamu: ‘Apakah shadaqah keduanya berpahala bila diberikan kepada suaminya dan anak-anak yatim dalam pengasuhannya? Jangan beritahukan siapa kami.' Bilal kemudian masuk untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menanyakan kepada beliau, maka beliau bertanya kepadanya: 'Siapa mereka berdua?' Ia menjawab: 'Seorang wanita Anshar dan Zainab.' Beliau bertanya: 'Zainab yang mana?' Ia menjawab, 'Isteri ‘Abdullah.' Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Mereka berdua mendapatkan dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala shadaqah.'"[33]

Di antara sifatnya ialah ridha dengan yang sedikit, tidak mengeluh dan suka berderma, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bab “Hak Suami.”

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]




SEORANG PEDAGANG BERHARTA MENJADI ZUHUD DAN AHLI IBADAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Al Abdul Latif



Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah tugas para nabi (semoga kesejahteraan dilimpahkan atas mereka), dan jalan para ulama rabbaniyyin, oleh karena itu berdakwah kepada Allah adalah sebuah amal pendekatan diri kepada Allah yang paling utama, dan paling agung kedudukannya.

Allah berfirman.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”[Fushilat/41 : 33]

Dan berdakwah kepada Allah itu, harus benar tujuannya, bersih manhajnya (caranya), inilah jalan dakwah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan siapa saja yang mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, sebagaimana firman Allah.

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf/12 : 108]

Sungguh para Salafush Shalih kita (semoga Allah merahmati mereka) menempuh jalan ini, mereka menyuruh kebaikan, mencegah kemungkaran dan mengajarkan manusia kebaikan, menyampaikan sejelas-jelasnya melalui berbagai cara, seperti pengajaran, harta, nasehat, fatwa, hukum dan selainnya.

Dan sungguh Salafus Shalih telah menegakkan dakwah ini untuk mengharapkan wajah Allah, mereka tidak menginginkan dari manusia balasan dan tidak pula ucapan terima kasih, dan disaat itu juga mereka menetapi keselamatan manhaj dengan mengikuti dan meninggalkan perbuatan bid’ah.

Kebangkitan Islam saat ini membutuhkan pengetahuan pada contoh-contoh perbuatan dan fenomena yang nyata dari dakwah Salafus Shalih : agar keadaan-keadaan mereka itu menjadi pendorong serta pemberi semangat untuk mencontoh mereka, dan berjalan diatas uslub (metode) mereka.

Salah seorang ulama berkata : “Barangsiapa melihat sejarah Salafush Shalih pasti ia mengetahui kekurangannya, dan ketertinggalannya dari derajat seorang manusia”.

Dan makalah ini berisikan fenomena-fenomena dakwah dari kehidupan Salafush Shalih, kami akan memaparkannya sebagaimana yang berikut ini.

Habib Al-Ajami adalah salah seorang penduduk Basrah, Pedagang berharta, suatu ketika ia menghadiri majelis Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) dan mendengarkan nasehatnya, maka nasehat itu merasuk dalam hati Habib Al-Ajami, semenjak itulah Habib Al-Ajami menjadi seorang yang paling zuhud dan ahli ibadah di kota Basrah.

Inilah kisahnya untukmu secara rinci.

‘Adalah Al-Hasan Al-Basri duduk dalam majelisnya dimana setiap hari ia mengadakan majelis ditempat itu. Adapun Habib Al-Ajami duduk dalam majelisnya dimana ahli dunia dan perdagangan mendatanginya. Dan ia lalai dengan menjelis Al-Hasan Al-Basri, dan tidak menoleh sedikitpun dengan apa yang disampaikan oleh Al-Hasan Al-Basri. Hingga suatu hari ia ingin mengetahui apa yang disampaikan Al-Hasan Al-Basri, maka dikatakan kepadanya : “Dalam majelis Al-Hasan Al-Basri diceritakan tentang surga, neraka dan manusia diberi semangat untuk mendapatkan akhirat, dan ditanamkan sikap zuhud terhadap dunia (memfokuskan segala karunia Allah untuk akhirat). Maka perkataan ini menancap dalah hatinya, lalu ia pun berkata : “Mari kita mendatangi majelis Al-Hasan Al-Basri!”, maka berkatalah orang-orang yang duduk dalam majelis kepada Al-Hasan Al-Basri : “Wahai Abu Said ini adalah Habih Al-Ajami menghadap kepadamu nasehatilah ia. Lalu Habib Al-Ajami menghadap Hasan Al-Basri dan Hasan Al-Basri menghadap kepadanya, lalu ia nasehati Habib Al-Ajami, ia ingatkan dengan syurga, ia takut-takuti dengan neraka, ia hasung untuk melakukan kebaikan, ia ingatkan untuk berlaku zuhud di dunia. Maka Habib Al-Ajami pun terpengaruh dengan nasehat itu, lalu bersedekah 40 ribu dinar. Dan iapun berlaku qona’ah (menerima) dengan hal sedikit, dan ia terus beribadah kepada Allah hingga meninggal dunia” [1]

Barangkali engkau melihat kejujuran Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) dalam dakwahnya, selamatnya tujuan dakwahnya, hingga nasehatnya membekas dalam hati Habib Al-Ajami, nasehat yang jujur itu telah memindahkan dari riuhnya suara di pasar dan perdagangan hingga menjadi sorang ahli ibadah dan ahli zuhud yang mempunyai do’a yang mustajab (doa yang dikabulkan) dan karamah yang mulia, sebagaimana ia seorang ahli bersedekah dan berinfak di jalan Allah Ta’ala.

Alangkah indahnya perkataan Malik bin Dinar dalam permasalahan ini : “Kejujuran itu nampak dalam hati dalam keadaan lemah, lalu pemilik hati itupun mencarinya, dan Allah menambahnya hingga menjadikannya berbarakah pada dirinya, dan menjadilah perkataannya obat bagi orang-orang bersalah”.

Lalu Malik berkata : “Apakah kalian tidak melihat mereka ? kemudian ia kembali kepada dirinya : “Ya, benar demi Allah kami telah melihat mereka itu : Al-Hasan Al-Basri, Said bin Jubair dan semisal mereka itu, seorang lelaki diantara mereka yang Allah hidupkan perkataannya kepada sekelompok manusia” [2]

Dan tatkala Zainal Abidin Ali bin Al-Husain mendengar nasehat Al-Hasan Al-Basri, ia berkata : “Maha suci Allah ini adalah perkataan orang yang jujur” [3]

Salah seorang ulama ditanya : “Mengapa perkataan Salafus Shalih lebih bermanfaat dari perkataan kita?” maka iapun menjawab : “Karena mereka berbicara untuk kemulian Islam, untuk keselamatan jiwa, untuk mencari ridho Allah Yang Maha Pemurah, sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri, mencari dunia dan mencari keridhaan mahluk” [4]

Dan sebab-sebab seseorang mendapatkan manfaat dari nasehat-nasehat Al-Hasan Al-Basri dan dari majelis-majelisnya, bahwasanya Al-Hasan Al-Basri (semoga Allah merahmati beliau) adalah panutan yang baik, dan tidaklah termasuk orang-orang yang mengatakan apa yang tidak ia kerjakan.

Dikatakan kepada salah seorang dari teman Al-Hasan Al-Basri : “Apakah sesuatu yang menyebabkan Al-Hasan Al-Basri mencapai kedudukannya seperti ini ? Padahal diantara kalian terdapat para ulama dan ahli-ahli fikih ? Teman Al-Hasan Al-Basri itupun berkata : “Adalah Al-Hasan Al-Basri jika memerintahkan suatu perkara maka ia adalah seorang manusia yang paling mengamalkan terhadap apa yang ia perintahkan, dan jika ia melarang dengan suatu kemungkaran maka ia adalah seorang manusia yang paling jauh meninggalkan larangan itu” [5]

Dan perkara lain yang wajib kita perhatikan terhadap kejadian diatas, yaitu perhatian Al-Hasan Al-Basri terhadap masalah-masalah yang halus, masalah zuhud, dan akhlak, sampai-sampai Al-Hasan Al-Basri mempunyai majelis khusus dalam majelisnya, yang mana ia tidak berbicara padanya melainkan makna-makna zuhud dan ibadah. Maka jika seseorang meminta untuk berbicara masalah lainnya karena merasa jemu, iapun berkata : “Sesungguhnya kita berkhalwat bersama-sama teman kami adalah untuk berdzikir” [6]

Sesungguhnya sebagian besar dari nasehat dan wasiat Al-Hasan Al-Basri adalah tentang mencela dunia, dan larangan dari memanjangkan harapan, dan perintah untuk mensucikan jiwa, serta membetulkan tujuan-tujuan dan niat-niat.

Alangkah butuhnya kita kepada semisal nasehat-nasehat itu dan larangan-larangan dari para ulama, demikianlah para ulama terdahulu, para pemberi nasehat sebagaimana yang dikatakan Ibnul Jauzi. [7]

Berkata Al-Imam Ahmad bin Hambal : “Alangkah butuhnya kita terhadap penasehat yang jujur” [8]

Dan sungguh Al-Hasan Al-Bashri pada sebagian besar keadaannya bersikap zuhud terhadap dunia, memperingatkan dari dunia, menghasung untuk akhirat, dan inilah jalan kenabian yang berpengaruh, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. yang artinya "Sesungguhnya sesuatu yang terbesar yang aku khawatirkan kepada kalian adalah apa yang dikeluarkan dari barakah bumi”, ditanyakan : “Apakah barakah bumi itu ? Beliau menjawab : “Bunga kehidupan dunia” [9]

Oleh karena itu Al-Hasan Al-Basri berkata : “Demi Allah saya tidaklah ta’ajjub (heran) dengan sesuatu seperti keheranan saya kepada seseorang yang tidak menganggap bahwa cinta dunia itu termasuk salah satu dosa besar, demi Allah sesungguhnya cinta kepada dunia adalah termasuk dosa-dosa besar, tidaklah cabang-cabang dosa-dosa besar itu melainkan dengan sebab cinta dunia? Tidaklah berhala-berhala disembah, Allah Subhanahu wa Ta’ala didurhakai melainkan karena cinta dunia ? (ya). Maka seorang yang mengetahui tidak akan mengeluh dari kehinaan dunia, dan tidak akan berlomba-lomba mendekatinya dan tidak akan putus asa karena jauh terhadap dunia” [10]

Benarlah ucapan Al-Hasan Al-Basri, sebagian dosa-dosa besar adalah tumbuh dari cinta dunia : mencuri, zina, dengki, berdusta, sombong, berbuat riya (ingin di puji) dan selainnya adalah lantaran cinta terhadap dunia, dan saling menerkam dunia, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghabarkan dalam kitabNya yang mulia bahwasanya kekafiran dan pantasnya seseorang mendapatkan siksa adalah lantaran cinta dan mengutamakan dunia daripada akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang-orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir” [An-Nahl/16 : 106-107]

Disini terdapat catatan terakhir : “Bahwasanya sebagian orang yang bertaubat menjauhi kehidupan untuk beribadah, dalam hal ini ada komentar, dimana tidak dibenarkan bahwa setiap orang yang bertaubat harus menempuh jalan ini : yaitu memutuskan dan berlaku zuhud dari mengambil sebab-sebab kehidupan dunia yang diperbolehkan, maka itulah rahbaniyyah (peribadatan dengan memutus dunia) yang kita dilarang darinya.

Maha benar Allah yang berfirman.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [Al-Qashas/28 : 77]

Karena sesungguhnya dari keistimewaan agama kita adalah berlaku lurus dan bersifat tengah

Tidak ada Rahbaniyyah dan juga tidak ada maadiyah (materialistis) dan hanyalah seorang muslim itu beribadah kepada Allah, berusaha dimuka bumi dengan beramal, artinya bekerja dengan hal yang pantas yang dapat mencukupi kebutuhannya, dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Dan tidaklah dikenal dalam Islam memutuskan hidup hanya untuk beribadah saja melainkan setelah berlalu masa yang penuh keutamaan (masa para sahabat), sejak datangnya ajaran sufi yang berbuat bid’ah (amal yang tidak terdapat tuntunannya dari agama ini), dan telah diketahui sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tiga orang yang bertanya tentang ibadah Rasulullah, shalatnya, puasanya, menikahnya. Maka tatkala mereka diberitahu seolah-olah mereka memandang amal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit. Maka mereka berketetapan untuk menyelisihi amal-amal itu, maka berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang artinya : "Demi Allah sesungguhnya aku adalah manusia yang paling takut dan taqwa kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita-wanita, maka barangsiapa benci kepada sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku”[11]

Abu Nu’aim mengutip dalam kitab “Al-Hilyah” dengan sanadnya kepada Ibrahim bin Sulaiman Az-Zayyat, dimana ia berkata :

“Adalah kami berada disisi Sufyan Ats-Tsauri, lalu datanglah seorang wanita dan mengeluhkan anak laki-lakinya, wanita itu berkata : “Wahai Abu Abdullah saya mendatangimu agar engkau menasehatinya? Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : Ya, datangkan anakmu itu”. Kemudian perempuan itu datang bersama anaknya, maka Sufyan Ats-Tsauri pun menasehati anak itu, setelah selesai berpalinglah anak itu pergi. Maka kembalillah wanita tadi sesudah beberapa waktu dan berkata : “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abu Abdullah (Sufyan Ats-Tsauri) dan ia pun menceritakan perilaku anaknya yang ia sukai setelah mendapat nasehat Sufyan Ats-Tsauri.

Setelah beberapa lama, datanglah kembali wanita itu dan berkata : “Wahai Abu Abdullah, annakku tidak pernah tidur dimalam hari, dan pada siang hari ia berpuasa, tidak makan dan tidak pula minum. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsauri : “Celaka anda, mengapa ia berbuat demikian ?” Wanita itu menjawab : “Untuk mencari hadits”. Maka Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Harapkanlah dirimu darinya pahala dari sisi Allah” [12]

Sufyan Ats-Tsauri adalah salah seorang ulama terkemuka, dan seorang yang banyak menyuruh kebaikan, tidaklah ia takut celaan orang yang suka mencela dijalan Allah, hingga berkata salah seorang diantara mereka ; “Adalah saya keluar bersama Sufyan Ats-Tsauri, maka hampir-hampir lisannya tidak putus dari menyuruh kebaikan dan melarang dari kemungkaran baik ketika pergi atau pulang” [13]

Sebagaimana ia adalah seorang yang peduli dengan keadaan kaum muslimin, dan dari kisah tentang ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Yahya bin Yaman: Sufyan Ats-Tsauri dan Ibrahim bin Adham berbincang-bincang pada malam hari hingga subuh, adalah mereka berdua memperbincangkan masalah-masalah kaum muslimin.

Dan dalam kisah ini kita melihat bagusnya perangai wanita tadi dalam menyelesaikan problematika anaknya, ia pergi ke Sufyan Ats-Tsauri dan memaparkan masalah yang ia hadapi, dan meminta dari Sufyan Ats-Tsauri agar menasehati putranya. Dan kita telah membaca bagaimana Sufyan Ats-Tsauri menerima dengan cepat permintaan wanita itu, dan bagaimana baiknya perangai dan sikap tawadhunya, maka ia bersegera memenuhi permintaan itu dan menasehati anaknya, lalu perangai anak wanita itu menjadi baik, hingga datanglah wanita itu berterima kasih kepada Sufyan Ats-Tsauri atas perbuatan baiknya, dan tidak sampai disini saja hasil nasehat Sufyan Ats-Tsauri, bahkan anak itu bertambah keistiqomahan, akhlak serta perhatiannya dalam mencari ilmu dan hadits, yang menyebabkan wanita itu mengkisahkan keadaan anaknya pada kali ketiga, ia berkata : “Anakku tidak tidur pada malam hari dan ia berpuasa pada siang hari … untuk mencari hadits”.

Demikianlah nasehat itu berbekas dihati pemuda itu, hingga ia menjadi seorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu hadits.

Sebagaimana kita menyaksikan bagaimana wanita itu memantau terus keadaan putranya, dan mengkhabarkannya kepada Sufyan Ats-Tsuri, dan ia mendapat manfaat sesudah itu dengan pendapat dan nasehat Sufyan Ats-Tsauri.

Inilah fenomena yang mulia dari dakwah Salafush Shalih, dan dalam kitab-kitab yang menjelaskan biografi salafush shalih banyak dijumpai kisah-kisah yang indah (dalam kehidupan mereka), barangsiapa ingin mengambil contoh maka hendaklah mengambil contoh orang yang sudah meninggal dunia (para sahabat nabi), karena orang yang masih hidup tidak aman darinya fitnah.

(Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863)

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 09/Th.II/2004M/1424H. “Seorang Penyanyi Yang Bertaubat Ditangan Ibnu Mas’ud Penulis Syaikh Abdul Aziz Al-Abdul Latif. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya].


sumber:    http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment