Thursday, March 21, 2013

UNTUNG SEGUNUNG ! KENAPA TIDAK?


UNTUNG SEGUNUNG ! KENAPA TIDAK?

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri


Saudaraku, Anda seorang pedagang ? Pasti Anda menginginkan keuntungan besar. Bahkan, jika bisa, dengan modal sedikit atau hanya berbekal pakaian yang melekat di badan, Anda berharap bisa mengeruk untung segunung ? Istana megah, kendaraan mewah dan uang melimpah, impian yang ingin segera diwujudkan. Tapi, saudaraku, pernahkah Anda bertanya, "Halalkah keuntungan yang berlipat ganda itu?"

Dua Prinsip Dasar Perniagaan:
Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui dua prinsip dasar perniagan dalam Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan jawaban pertanyaan diatas.

Prinsip Pertama : Asas Suka Sama Suka
Islam yang anda cintai ini menghormati hak kepemilikan umatnya. Karenanya, Islam mengharamkan kita untuk mengambil hak saudara kita tanpa kerelaannya -walau sekedar bercanda -,.

لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًا ولاَ جَادًّا وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ

Janganlah sekali-kali engkau bercanda dengan mengambil harta saudaramu, dan tidak pula bersungguh-sungguh mengambilnya. Dan bila engkau terlanjur mengambil tongkat saudaramu, hendaknya engkau segera mengembalikannya. [HR Ahmad, 4/221]

Tidak heran bila Islam menggariskan agar setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [an Nisâ'/4:29]
.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwanya. [HR Ahmad, dan dishahihkah oleh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb no:839]

Dan pada hadits lain beliau slebih tegas lagi bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka. [HR. Ibnu Mâjah dan dinyatakan shahih oleh al-Albâni].[1]

Dalam riwayat lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَتَفَرَّقُ الْمُتَبَايِعَانِ عَنْ بَيْعٍ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ

Janganlah dua orang yang berjual-beli berpisah ketika mengadakan perniagaan kecuali atas dasar suka-sama suka. [HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Albâni rahimahullah][2] .

Betapa kacau kehidupan manusia bila mereka bebas membeli harta sesama, tanpa memperdulikan kerelaan pemiliknya. Pertikaian, tindak anarkis, permusuhan bahkan pertumpahan darah tidak mungkin terelakkan.
Berdasarkan ini, para Ulama’ menyatakan, bahwa tidak sah perniagaan orang yang dipaksa tanpa alasan yang dibenarkan.

Prinsip Kedua : Tidak Merugikan Orang Lain.
Umat Islam adalah umat yang bersatu-padu, sehingga mereka merasa bahwa penderitaan sesama muslim adalah bagian dari penderitaannya. Allâh berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara." [Al- Hujurât/49:10]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya juga menegaskan hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan umat Islam dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan bahu-membahu sesama mereka seperti satu tubuh. Bila ada anggota tubuh yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya turut merasakan susah tidur dan demam. [HR. Muslim, no. 2586]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, "Hadits ini dengan tegas dan jelas menunjukkan betapa agung hak-hak sesama umat Islam. Hadits ini juga merupakan anjuran kepada mereka agar saling menyayangi, berlemah-lembut dan membantu dalam hal-hal yang tidak termasuk perbuatan dosa atau hal-hal yang dibenci."[3]

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ

Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allâh yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya.[HR. Bukhâri, no. 5717 dan Muslim, no. 2558]

Dengan dasar dalil-dalil ini dan juga lainnya, para Ulama' ahli fiqih mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum, baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.

Adakah Batas Maksimal Keuntungan Usaha ?
Tidak ditemukan satu dalilpun yang membatasi keuntungan yang boleh direngguk oleh seorang pedagang dari bisnisnya. Bahkan sebaliknya, ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa pedagang bebas menentukan prosentase keuntungannya. Berikut adalah sebagian dari dalil-dalil tersebut :

Dalil pertama:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ

Dari Urwah al Bariqi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya. [HR. Bukhâri, no. 3443]

Pada kisah ini, sahabat Urwah Radhiyallahu anhu dengan modal satu dinar, ia mendapatkan untung satu dinar atau 100 %. Pengambilan untung sebesar 100% ini mendapat restu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan bukan hanya merestui, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo'a agar perniagaan sahabat Urwah Radhiyallahu anhu senantiasa diberkahi. Sehingga sejak itu, beliau Radhiyallahu anhu semakin lihai berniaga.

Dalil kedua:
Berbagai dalil-dalil yang telah saya kemukakan pada prinsip pertama juga bisa dijadikan dalil dalam masalah ini. Betapa tidak, pedagang telah secara sah memiliki barang dagangannya, maka tidak ada alasan untuk memaksanya agar menjual barangnya dengan harga yang tidak ia sukai.

Dalil ketiga :
Sahabat Rasûlullâh, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Wahai Rasûlullâh, telah terjadi kenaikan harga, hendaknya engkau membuat ketentuan harga jual !" Menanggapi permintaan ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ

Sesungguhnya Allâh-lah yang menentukan pergerakan harga, Yang menyempitkan rezeki dan Yang melapangkannya. Sedangkan aku berharap untuk menghadap kepada Allâh dan tidak seorangpun yang menuntutku dengan satu kezhaliman, baik dalam urusan jiwa (darah) atau harta kekayaan. [HR Abu Dâwud, no.3453, Tirmidzi, no. 1314 dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab Misykâtul Mashâbîh, no. 2894]

Saudaraku! Coba anda cemati alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak untuk menentukan harga jual. Alasan beliau ini adalah isyarat nyata bahwa membatasi harga jual atau mengekang kebebasan pedagang dalam menjual dagangannya adalah bentuk kezhaliman. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang bebas dalam menentukan harga jual dan besaran keuntungan yang ia inginkan.

Catatan Penting:
Walau pada dasarnya pedagang bebas menentukan harga jual yang ia miliki, akan tetapi pada saat yang sama ia tidak dibenarkan melanggar dua prinsip niaga di atas. Karenanya, para Ulama’ ahli Fikih menegaskan bahwa para pedagang dilarang menempuh cara-cara yang tidak terpuji dalam meraup keuntungan. Karena tindak sewenang-wenang pedagang dalam menentukan prosentase keuntungan sering kali bertabrakan dengan kedua prinsip di atas. Terlebih bila pedagang menggunakan trik-trik yang tidak terpuji. Diantara trik pedagang serakah yang secara nyata menyelisihi kedua prinsip di atas :

1. Monopoli
Sebagian pedagang menimbum barang demi menuruti ambisi mengeruk keuntungan besar. Ini menyebabkan barang menjadi langka di pasaran. Akibatnya, masyarakat terus-menerus menaikkan penawarannya, guna mendapatkan barang kebutuhan mereka. Sikap pedagang nakal ini tentu meresahkan masyarakat banyak. Dan mendapatkan keuntungan dengan cara semacam ini diharamkan dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa [HR. Muslim, no. 1605]

Penimbunan barang bertentangan dengan kedua prinsip yang telah dipaparkan di atas, sehingga tidak heran bila dilarang dan diharamkan. Masyarakat pasti tidak rela dengan pergerakan harga yang tidak wajar ini dan juga meresahkan mereka.

2. Penipuan
Karena tidak ingin calon konsumennya memberikan penawaran yang rendah, sebagian pedagang berulah dengan mengatakan kepada setiap calon konsumennya, bahwa modal pembeliannya adalah sekian atau sebelumnya telah ada calon konsumen yang menawar dengan harga tinggi, padahal semuanya itu tidak benar. Trik pemasaran semacam ini tidak selaras dengan syariat Islam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ رَجُلٌ حَلَفَ عَلَى سِلْعَةٍ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى وَهُوَ كَاذِبٌ وَرَجُلٌ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ كَاذِبَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ وَرَجُلٌ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ فَيَقُولُ اللَّهُ الْيَوْمَ أَمْنَعُكَ فَضْلِي كَمَا مَنَعْتَ فَضْلَ مَا لَمْ تَعْمَلْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allâh pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, 'Sungguh tadi ada yang mau beli dengan harga yang lebih mahal', padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada di sumurnya), dan kelak Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan berfirman: Pada hari ini aku akan menghalangimu dari keutamaan/ kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu." [HR. Bukhâri, no. 2240, Muslim, no. 108]

Diantara trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. [Al-Muthaffifîn/83:1-3]

3. Pemalsuan Barang.
Tidak asing lagi, bahwa diantara trik pedagang dalam mengeruk keuntungan ialah dengan memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam pelaku manipulasi semacam ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasannya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan tersebut, lalu jari-jemari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang basah, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Apa ini ? Wahai pemilik bahan makanan." Ia menjawab, 'Terkena hujan, Wahai Rasûlullâh!' Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Mengapa engkau tidak meletakkannya dibagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang mengelabuhi maka bukan dari golonganku." [HR Muslim, no. 102]

Saya percaya anda adalah pedagang muslim yang berhati mulia, sehingga tidak sudi untuk menggadaikan keuntungan akhirat anda dengan secuil keuntungan materi.

Penutup :
Saudaraku! Mendapatkan keuntungan besar adalah cita-cita setiap pedagang, akan tetapi tidak sepantasnya menghalalkan segala cara. Cita-cita ini mesti diupayakan dengan tetap menjaga akhlaq mulia anda sebagai seorang muslim. Tidak sepantasnya cita-cita ini menghanyutkan anda, sehingga lalai untuk berbuat baik kepada saudara. Ingatlah selalu, sikap mulia yang anda tunjukkan kepada saudara anda, tidak akan sia-sia. Semua akhlaq mulia, pasti mendapatkan balasan setimpal dari Allâh Azza wa Jalla . Semoga kisah berikut cukup memotifasi anda untuk bersikap mulia, dan tidak hanyut dalam ambisi mengeruk keuntungan dunia.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُتِيَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي

Sahabat Huzaifah Radhiyallahu anhu menuturkan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, "(pada hari qiamat kelak) Allâh mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allâh bertanya kepadanya, 'Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allâh suatu kejadian)[4] Iapun menjawab, 'Wahai Rabbku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan. Aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian Allâh berfirman, 'Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." [HR Bukhari, no. 1971 dan Muslim, no. 1560]

Mudahkanlah saudara anda, dengan menentukan harga jual yang sewajarnya dan tidak memasang target keuntungan yang memberatkan konsumen. Percayalah, kekayaan dan kabahagian hidup yang anda dambakan dengan keuntungan melimpah dengan mudah dapat anda wujudkan. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat, dan bila ada khilaf, maka itu datangnya dari kebodohan saya. Wallahu a’alam bisshawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

AL-QUR'AN BUKAN UNTUK ORANG MATI

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari


Adalah kebiasaan di beberapa daerah, orang membaca kitab suci al-Qur'ân –atau membaca surat Yâsin- kemudian pahalanya dihadiahkan untuk orang yang telah mati. Bahkan sebagian orang, ada menyewa atau membayar seseorang atau sekelompok orang untuk membaca al-Qur'ân dan menghadiahkan pahalanya kepada keluarganya yang telah meninggal dunia. Pembacaan al-Qur'ân ini terkadang dilakukan di rumah duka, di kuburan atau lainnya. Benarkah perbuatan mereka itu menurut syari'at Islam?

Membaca al-Qur'ân untuk orang mati tidak dibenarkan dalam agama Islam dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Membaca al-Qur'ân lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah mati tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para sahabat dan para tabi'in. Sementara kewajiban kita dalam beragama adalah mengikuti petunjuk, bukan membuat perkara baru. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." [Ali 'Imrân/3:31]

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya pada (diri) Rasûlullâh itu telah ada suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh. [Al-Ahzâb/33:21]

2. Orang yang membolehkan membaca al-Qur'ân lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah mati, dia harus mendatangkan dalil dari al-Qur'ân atau as-Sunnah. Jika dia tidak bisa mendatangkan dalil, berarti dia telah berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah, "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allâh tanpa ilmu)" [al-A’râf/7:33]

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah mengatakan, “Berbicara tentang Allâh tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan Allâh. Bahkan itu lebih tinggi dari perbuatan syirik. Karena dalam ayat tersebut Allah Azza wa Jalla mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Berbicara tentang Allâh tanpa ilmu, meliputi berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukum Allah, syari’at-Nya dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla . Ini lebih besar dosanya daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’at dan agama Allah Azza wa Jalla .”[1]

3. Barangsiapa membolehkan membaca al-Qur'ân untuk dihadiahkan pahalanya buat orang yang telah mati, berarti dia telah membuat syari'at yang tidak diidzinkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman mengingkari orang-orang musyrik yang mengikuti syariat agama yang tidak diidzinkan oleh Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allâh) tentulah mereka telah dibinasakan. [asy-Syûrâ/42: 21]

4. Perbuatan tersebut bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53: 38-39]

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Maksudnya adalah seorang manusia hanya mendapatkan pahala dari usaha dan balasan perbuatannya sendiri. Amalan seseorang tidak bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain. Keumuman makna dalam ayat ini dikecualikan dengan semisal firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. [ath-Thûr/52:21]

Dan semisal riwayat tentang syafa'at para Nabi dan Malaikat untuk para hamba, doa orang hidup untuk orang-orang yang telah mati dan semacamnya. Orang yang mengatakan bahwa ayat ini mansûkh (hukumnya dihapus) dengan perkara-perkara tadi adalah perkataan yang tidak benar. Karena dalil yang khusus tidak menghapus dalil yang umum, namun hanya mengkhususkannya (mempersempit keumuman maknanya). Sehingga semua dalil yang menunjukkan bahwa manusia bisa mendapatkan manfaat dari selain usahanya sendiri itu adalah dalil yang mengkhususkan keumuman ayat di atas." (Fathul Qadir, tafsir surat an-Najm ayat 39)

Adapun membaca al-Qur'ân lalu pahalanya dihadiahkan buat orang yang telah mati, tidak ada dalil yang menuntunkannya.

5. Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'ân sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia. Sehingga orang hidup bisa memanfaatkannya, mengikuti petunjuknya di dunia ini dan mengamalkannya. Di akhirat, orang-orang yang seperti ini akan dituntun oleh al-Qur'ân menuju surga.

Sedangkan orang yang telah mati, maka amalannya telah terputus, dia tidak mampu menambahi atau mengurangi amalannya.

Perbuatan sebagian orang di zaman ini berlawanan dengan kondisi di atas. Ketika masih hidup, mereka meninggalkan al-Qur’ân, enggan membaca atau mendengarkannya. Mereka lebih suka menyanyi, mendengar musik, menonton film dan hal-hal lain yang tidak bermanfaat di akhirat. Jika ada orang mati, mereka membacakan al-Qur'ân buat jenazah tersebut pada acara pemakamannya atau di kuburnya.

Mereka ini ibarat orang mogok makan sampai mati kelaparan. Setelah dia mati, orang-orang mendatanginya membawakan makanan agar dia memakannya. Al-Qur'ân hanya bermanfaat bagi orang yang hidup selama masih berada di dunia, ladang beramal. Adapun setelah mati, maka dia telah pindah dari fase beramal menuju fase pembalasan amal. Pada waktu itu al-Qur'ân tidak bermanfaat baginya, karena ketika hidup dia meninggalkan al-Qur'ân, padahal dia mampu mengambil manfaat darinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Al-Qur'ân itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. [Yâsîn/36:69-70]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman,

كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ ۚ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْرًا مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا خَالِدِينَ فِيهِ ۖ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلًا

"Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qur'ân). Barangsiapa berpaling dari al-Qur'ân, maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat." [Thâha/20:99-101]

6. Membaca al-Qur'ân adalah ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah, artinya harus mengikuti tuntunan. Jika seseorang beribadah tanpa tuntunan, berarti dia beribadah kepada Allâh semaunya sendiri, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ! Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ?,Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). [al-Furqân/25:43-44]

7. Pahala suatu amal belum tentu diraih oleh orang yang mengamalkannya. Bagaimana mungkin ia menghadiahkan sesuatu yang belum pasti kepada orang lain. Karena amalan akan diterima dengan beberapa syarat :

1. Iman
2. Ikhlas
3. Sesuai tuntunan syari’at
4. Bersih dari hal-hal yang membatalkan amal, seperti riyâ’, ‘ujub dan lainnya.
Seseorang tidak tahu, apakah amalnya diterima atau tertolak.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata, “Jika aku tahu shalatku diterima (oleh Allâh), maka aku benar-benar mengharapkan kematian, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa. [al-Mâidah/5:27]

8. Membaca al-Qur'ân pada acara kematian atau di depan jenazah atau di kuburan merupakan perkara baru dalam agama, sedangkan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allâh; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah]

Perbuatan tersebut tidak ada tuntunan dari Nabi, dari Khulafaur rasyidin, dari para sahabat, dari tabi’in dan dari tabi’ut tabi’in, sehingga hukumnya bid’ah dan sesat.

9. Kalau kita tahu bahwa hal itu bid’ah, maka pasti tidak ada pahalanya, sebaliknya yang ada adalah dosa. Jika demikian keadaannya, maka menghadiahkan pahala merupakan perkataan dan perbuatan sia-sia. Ini ibarat orang yang menggenggam tangannya yang kosong, lalu dia berkata kepada orang lain yang membutuhkan bantuan, “Ambillah!”, padahal tangannya kosong.

10. Sesungguhnya semua orang sangat butuh kepada amalannya. Pada hari kiamat nanti, semua orang akan sangat mengkhawatirkan dirinya, akankah amalannya bisa menyelamatkannya ?! Masing-masing akan lebih mementingkan dirinya daripada saudaranya atau ibunya atau bapaknya. Jika demikian, berarti orang yang menghadiahkan amalannya seakan dia sudah memastikan bahwa dirinya dijamin aman, tidak rugi dan seakan tidak butuh karunia Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ

Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. [‘Abasa/80:33-37]

Demikianlah uraian singkat tentang beberapa poin penting berkaitan dengan bacaan al-Qur'ân yang dihadiahkan pahalanya buat orang yang sudah meninggal. Ada sebagian orang yang berkilah bahwa apa yang dia lakukan itu adalah tradisi atau adat. Namun itu hanya alasan saja, karena yang menjadi tujuannya adalah pahala, sementara yang namanya tradisi atau adat, pelaksanaannya bukan untuk mencari pahala. Kalau tujuannya mencari pahala, berarti itu adalah ibadah. Dan ibadah harus sesuai dengan tuntunan syari'at.

Semoga uraian singkat ini bisa bermanfaat dan menggugah kesadaran kita untuk lebih semangat dan waspada dalam melaksanakan ibadah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Catatan kaki kitab at-Tanbihatul Lathîfah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi al-‘aqidatul Wasithiyah, hlm. 34, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan, penerbit Dar Ibnil Qayyim

MENEMPA DIRI DI SEKOLAH MALAM[1]

Oleh
Syaikh 'Abdul Bâri ats-Tsubaiti hafizhahullâh



Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ ﴿١﴾ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٢﴾ نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ﴿٣﴾ أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا ﴿٤﴾ إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا ﴿٥

Hai orang yang berselimut (nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam )! Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau tambahkan lebih dari itu. Dan bacalah al Qur-ân itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnyya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat [Al-Muzammil/73:1-5]

Ini adalah seruan bagi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar segera memasuki medan penempaan dan penataran sehingga benar-benar siap menyampaikan perkataan yang agung dan risalah yang berat. Wadah penempaan itu adalah madrasah (sekolah) malam yang berfungsi untuk membuka (mata) hati, memperkokoh hubungan dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memancarkan cahaya (ketaqwaan).

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN SHALAT MALAM
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang paling kenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan paling bertakwa, sering menyendiri untuk mengingat Rabbnya. Setiap kali ada kesempatan, beliau bergegas untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila malam telah tiba dan mulai menyelimuti jagad raya, beliau pun segera menghadap Allâh Azza wa Jalla , bermunajat dan bertadharru' (menghinakan diri) di hadapan-Nya dengan berdiri, sujud dan duduk. Ini beliau lakukan hampir sepanjang malam, akan tetapi beliau tidak merasakan itu lama. Bagaimana akan merasa lama, lantara beliau sedang berkhalwat (berduaan) dengan Allâh Azza wa Jalla , Penguasa alam semesta, bermunajat kepada-Nya, merasakan nikmatnya beribadah dan menyerahkan diri sepenuhnya, hati dan jasadnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴿١٦﴾ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٧

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabb mereka dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan bagi mereka (berupa beraneka macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka amalkan". [ as-Sajdah/32:16-17]

Ada yang pernah bertanya ke Hasan al Bashri rahimahullah, "Apa gerangan yang membuat orang-orang yang sering melakukan shalat tahajjud menjadi orang yang paling elok rona wajahnya ?" Ia menjawab, "Karena mereka menyendiri dengan (Allâh) Yang Maha Penyayang, maka Allâh Azza wa Jalla pun membaluri mereka (dengan sebagian kecil) dari cahaya-Nya".

Sungguh, shalat malam merupakan ibadah yang menghubungkan hati manusia dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menjadikannya mampu menghadapi kehidupan yang penuh tipu-daya ini dan melawan hawa nafsu. Oleh karena itu, shalat malam adalah salah satu barometer yang menunjukkan keseriusan tekad seseorang dan merupakan salah satu karakter orang yang berjiwa besar.

KEUTAMAAN SHALAT MALAM DAN BEBERAPA FAEDAHNYA
Alangkah banyak faedah yang diraih oleh seseorang dalam shalat malam untuk mendidik dan memperbaiki keadaannya. Di antaranya adalah :

1. Menjadikan benih-benih keikhlasan tumbuh bersemi.
2. Merealisasikan mutâba'ah dengan meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melaksanakan shalat malam sampai pecah-pecah kedua kakinya.

Barangsiapa merenungkan al-Qur'ân saat manusia sedang tertidur, ia akan menyadari kealpaannya dan menyesali kelalaiannya. Barangsiapa khusyu' membaca al-Qur'ân dan melaksanakan shalat, niscaya air mata penyesalan dan taubatnya akan mengalir. Barangsiapa mengingat Allâh Azza wa Jalla ketika menyendiri lalu dua kelopak matanya basah (karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla ), maka Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkannya di bawah naungan 'Arsy-Nya (pada hari Kiamat), tatkala tidak ada naungan melainkan naungan-Nya dan tidak ada pemaafan melainkan pemaafan dari-Nya.

Dzikir dalam shalat malam sungguh terasa manis dan shalat di malam hari lebih mudah mendatangkan kekhusyu'an. Sesungguhnya shalat malam akan menyirami hati dengan ketentraman, kebahagiaan dan cahaya. Oleh karena itu, salah seorang dari generasi Salaf bertutur, "Orang yang terbiasa shalat malam akan merasakan kelezatan malam mereka melebihi kelezatan yang dirasakan oleh orang yang hanyut dalam perbuatan sia-sia dalam kesia-siaan mereka."

Hasan al-Bashri rahimahullah menceritakan kondisi para pendahulu umat ini. Ia berkata, "Sungguh aku telah menemani suatu kaum yang menghabiskan malam mereka untuk (mencari keridhaan) Rabb mereka dalam keadaan sujud dan berdiri (mengerjakan shalat). Mereka berdiri semalaman di atas kaki mereka, air mata membasahi pipi, kadang mereka ruku' dan kadang mereka sujud. Mereka bermunajat kepada Rabb dalam rangka membebaskan leher-leher mereka (dari api neraka, pent). Mereka tidak merasa jenuh ketika lama 'bergadang' karena hati-hati mereka telah selimuti oleh rasa optimis terhadap kemurahan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menikmati keletihan badan mereka demi menggapai ridha Allâh Azza wa Jalla dan meraih ganjaran yang baik dari-Nya. Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati orang yang mau bersaing dengan mereka, dan tidak merasa puas dengan kealpaannya dan amalannya yang sedikit. Sungguh, dunia ini akan segera berakhir, sementara amalan akan dikembalikan kepada orang yang mengamalkannya."

Shalat malam akan melahirkan kelembutan dan cahaya dalam hati. Dahulu 'Atha' al Khurasani rahimahullah berkata, "Shalat malam adalah kehidupan bagi badan, cahaya dalam hati, sinar dalam pandangan dan kekuatan pada anggota badan. Sesungguhnya bila seorang (hamba) bangun di waktu malam untuk melaksanakan shalat tahajjud, niscaya ia akan mendapatkan keceriaan dalam hatinya. Dan bilamana ia takluk oleh dua kelopak matanya hingga ia tertidur dan tidak mengerjakannya, maka ia akan merasakan kesedihan yang mendalam, hatinya hancur, seakan akan ia telah kehilangan sesuatu dan memang ia telah kehilangan suatu yang sangat besar manfaatnya."

Perlu diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla merasa takjub dengan seorang yang bangun di waktu malam (untuk melaksanakan shalat). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَجِبَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ مِنْ رَجُلَيْنِ رَجُلٍ ثَارَ عَنْ وِطَائِهِ وَلِحَافِهِ مِنْ بَيْنِ أَهْلِهِ وَحَيِّهِ إِلَى صَلَاتِهِ فَيَقُولُ رَبُّنَا أَيَا مَلَائِكَتِي انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي ثَارَ مِنْ فِرَاشِهِ وَوِطَائِهِ وَمِنْ بَيْنِ حَيِّهِ وَأَهْلِهِ إِلَى صَلَاتِهِ رَغْبَةً فِيمَا عِنْدِي وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدِي

Allâh Azza wa Jalla merasa takjub dari dua orang lelaki; seorang yang bangkit meninggalkan tempat tidurnya yang empuk dan selimutnya diantara keluarga dan (warga) kampungnya untuk melaksanakan shalat. Maka Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-Ku, ia bangkit meninggalkan kasur dan tempat tidurnyanya dan dari tengah-tengah (warga) kampungnya dan keluarganya menuju shalat karena mengharapkan apa yang ada disisi-Ku dan takut dari apa yang ada di sisi-Ku…". [HR. Ahmad dan Abu Dâwud dari jalan 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu].[2]

Perhatikanlah hadits di atas!. Alangkah mulianya shalat malam, sampai Allâh Azza wa Jalla kagum dengan orang yang melaksanakannya. Barangsiapa mengejar kemuliaan dan kehormatan (di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala), maka hendaknya ia kontinyu dalam menjalankan shalat malam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ

Kemuliaan seorang mukmin terletak pada shalatnya diwaktu malam.[3]

Shalat malam adalah kebiasaan orang-orang yang shalih, sarana pendekatan diri kepada Allâh Azza wa Jalla, penghapus dosa dan pengusir penyakit dari badan. Shalat malam adalah piranti untuk mengangkat derajat dan salah satu pintu kebaikan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan ? (1) Puasa adalah perisai, (2) bersedekah dapat memadamkan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api dan (3) shalat seseorang di pertengahan malam…" [HR. Ahmad, Ibnu Mâjah dan Tirmidzi] [4]

Ketika seorang bangun dikegelapan malam lalu pergi mengambil air wudhu', kemudian berdiri; bermunajat dan berdoa kepada-Nya dalam shalatnya, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyebutnya dan membanggakannya di hadapan para malaikat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mendengar ibtihâl (rintihan) dan istighfarnya, tasbih dan pengagungannya, juga permohonannya.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ حِينَ يَمْضِي ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ فَيَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الْمَلِكُ مَنْ ذَا الَّذِي يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ فَلَا يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يُضِيءَ الْفَجْرُ

Allâh Azza wa Jalla turun ke langit dunia pada setiap malam ketika sepertiga malam pertama berlalu, seraya berfirman, "Akulah Raja, Akulah Raja. Barangsiapa berdoa kepada-Ku, tentu akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta kepada-Ku, tentu akan Aku penuhi permintaannya dan barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, tentu akan Ku ampuni (dosa-dosa)nya.' Allâh Azza wa Jalla terus melakukan itu hingga fajar (menyingsing) menerangi (cakrawala). [Muttafaq 'alaih].[5]


Dan dari Jâbir Radhiyallahu anhu , "Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, :

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

Sesungguhnya pada malam hari itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang Muslim mendapatinya lantas ia meminta kepada Allâh suatu kebaikan dunia dan akhiratnya melainkan Allâh Azza wa Jalla akan memberikannya. Itu ada setiap malam. [HR. Muslim][6]

Suatu hari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang surga, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di surga ada sebuah kamar yang luarnya terlihat dari dalam dan dalamnya terlihat dari luar." Abu Musa al Asy'ariy Radhiyallahu anhu bertanya, 'Untuk siapa gerangan, wahai Rasûlullâh ?' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "(Diperuntukkan) bagi siapa saja yang lemah-lembut dalam bertutur-kata, memberikan makan (kepada orang lain) dan melalui malam harinya dalam mencari keridlaan Allâh Azza wa Jalla dengan berdiri (melaksanakan shalat) sementara orang-orang sedang tertidur." [HR. Ahmad]. [7]

HAL-HAL YANG MENGHALANGIi SESEORANG UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT MALAM
Fudhail bin 'Iyâdh Radhiyallahu anhu berkata, "Bila engkau tidak sanggup melaksanakan shalat (tahajjud) di malam hari dan puasa di siang hari, maka ketahuilah bahwa engkau orang yang terhalang (dari kebaikan) lagi banyak dosa."

Seorang lelaki berkata kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, "Sesungguhnya aku tidur dalam keadaan sehat, aku sangat ingin bangun melaksanakan shalat malam dan telah ku persiapkan air untuk bersuci, namun mengapa aku tetap tidak bisa bangun (disepertiga malam terakhir) ? " Beliau rahimahullah menjawab, "Engkau telah dibelenggu oleh dosa-dosamu."

Bila seseorang tidak bisa mengerjakan shalat malam, maka hendaklah dia merenungi pernyataan seorang dari generasi Salaf, "Bila engkau belum bisa mengambil bagian di waktu malam, maka janganlah engkau bermaksiat kepada Rabbmu di waktu siang."

Sahl bin Sa'ad Radhiyallahunanhu menuturkan, "Jibril Alaihissallam pernah datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Hai Muhammad! Hiduplah sesukamu, sesungguhnya kematian pasti akan menjemputmu. Cintailah siapa saja yang engkau senangi, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Dan beramallah semaumu, sesungguhnya engkau akan menuai balasannya". Kemudian Jibril berpesan, "Hai Muhammad, kemuliaan seorang Mukmin terletak pada shalat malam dan kehormatannya adalah pada saat ia tak lagi bergantung pada manusia." [HR. Thabrani dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam silsilah ahâdîtsis shahîhah, no. 831]

PEBUTUP
Barangsiapa berupaya keras dan bersungguh-sungguh untuk menggapai sesuatu, niscaya ia akan rela berkorban, menganggap enteng semua kesulitan dan merasakan kelezatan pada kesukaran apapun yang ia temukan. Orang seprti ini akan berpidah dari satu kebaikan dan ketaatan kepada kebaikan dan ketaatan lainnya, siang dan malam. Anggota badannya digunakan dalam ketaatan. Orang ini akan terlihat selalu sibuk beribadah, terlihat sedang melakukan shalat, dan bila telah selesai, ia bergegas memegang al-Qur'ân dan membacanya. Kemudian lisannya senantiasa menyuarakan kalimat-kalimat dzikir dan istighfâr, lantas ia pun akan mengangkat kedua telapak tangannya sembari berdoa. Hatinya khusyu', lisannya selalu basah dengan dzikir, matanya menangis dan anggota badannya tunduk. Ia tidak lagi tersibukkan dengan seluruh manusia karena ia telah sibuk dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , Penguasa seluruh manusia.

(Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufik kepada kita semua untuk memanfaatkan sisa usia yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada kita dalam rangka mentaati Allâh Subhanahu wa Ta'ala terutama pada malam-malam saat kebanyakan manusia tidur terbuai mimpi.-red)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


NIAT UNTUK BERBUAT BAIK MENDAPAT PAHALA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، قَالَ : «إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْـحَسَنَاتِ وَالسَّيِّـئَاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِـهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللّـهُ عَزَّوَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ؛ كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِهَـا فَعَمِلَهَا ، كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ». رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ فِـيْ صَحِيْحَيْهِمَـا بِهَذِهِ الْـحُرُوْفِ

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menuliskannya sebagai satu kesalahan.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka]

TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6491), Muslim (no. 131 [207]) dan Ahmad (I/310, 361).

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas banyak sekali. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat :

إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ

Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan).’”[1]

Dalam riwayat Muslim, disebutkan:

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا ، وَإِذَا تَـحَدَّثَ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّـئَةً ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْهَا ، فَإِذَا عَمِلَهَا فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ بِمِثْلِهَا. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَتِ الْـمَلَائِكَةُ : رَبِّ ، ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيْدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً (وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ) فقَالَ : اُرْقُبُوْهُ ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِمِثْلِهَا ، وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً ، إِنَّمَـا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّايَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ سَيِّـئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ بِمِثْلِهَا حَتَّى يَلْقَى اللهَ.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ’Jika hamba-Ku berniat mengerjakan kebaikan, maka Aku menuliskan baginya satu kebaikan selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, Aku menuliskan baginya sepuluh kali kebaikannya itu. Jika ia berniat mengerjakan kesalahan, maka Aku mengampuninya selagi ia tidak mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakan kesalahan tersebut, maka Aku menulisnya sebagai satu kesalahan yang sama.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Para malaikat berkata, ’Wahai Rabb-ku, itu hamba-Mu ingin mengerjakan kesalahan –Dia lebih tahu tentang hamba-Nya-.’ Allâh berfirman, ’Pantaulah dia. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, tulislah sebagai satu kesalahan yang sama untuknya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut, tulislah sebagai kebaikan untuknya, karena ia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.’” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dikerjakannya ditulis dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat dan setiap kesalahan yang dikerjakannya ditulis dengan satu kesalahan yang sama hingga ia bertemu Allâh.”[2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ : اَلْـحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا إِلَـى سَبْعِ مِئَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِـيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِـيْ...

Setiap perbuatan anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan yang sama hingga tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya. Ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku ...’”[3]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

يَقُوْلُ اللهُ : مَنْ جَاءَ بِالْـحَسَنَةِ ، فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِـهَا وَ أَزِيْدُ ، وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ ، فَجَزَاؤُهُ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ، أَوْ أَغْفِرُ.

Allâh berfirman, ‘Barangsiapa mengerjakan kebaikan, ia berhak atas sepuluh kebaikan yang sama dan Aku tambahkan (kebaikan kepadanya). Dan barangsiapa mengerjakan kesalahan, balasannya ialah kesalahan yang sama atau Aku mengampuninya.’” [4]

Dan dari Anas Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً ، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا ، لَـمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا ، كُتِبَتْ سَيِّـئَةً وَاحِدَةً.

Barangsiapa menginginkan kebaikan kemudian tidak mengerjakannya, maka satu kebaikan ditulis untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, maka sepuluh kebaikan ditulis baginya. Dan barangsiapa menginginkan kesalahan kemudian tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis apa-apa baginya. Jika ia mengerjakan kesalahan tersebut, maka ditulis satu kesalahan baginya.[5]

SYARAH HADITS :
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Wahai saudaraku –semoga Allâh memberikan petunjuk kepada kita semua-, lihatlah betapa sempurna kelemahlembutan Allâh Azza wa Jalla ! Renungilah untaian kalimat-kalimat ini. Sabda beliau : عِنْدَهُ (di sisi-Nya) mengisyaratkan perhatian Allâh terhadap amalan hamba. Kata : كَامِلَةً (sempurna) berfungsi sebagai penegas dan menunjukkan perhatian Allâh yang besar terhadapnya.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang keburukan yang diniatkan oleh seorang hamba namun ditinggalkannya : كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً (Maka Allâh Azza wa Jalla mencatatnya sebagai satu kebaikan sempurna). Beliau menguatnya dengan kata "Kamilah" (sempurna). Sedangkan jika ia tetap melakukan keburukan itu, maka Allâh mencatatnya sebagai satu keburukan. Di sini, kecilnya balasan dikuatkan dengan kata "wahidah" (satu) bukan dengan kata "kaamilah"..”[6]

Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang penulisan kebaikan dan kesalahan, serta penulisan terhadap keinginan mengerjakan kebaikan dan kesalahan. Jadi, di sini ada empat point :

Pertama : Mengerjakan Kebaikan
Balasan kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali hingga tujuh ratus kali kebaikan bahkan sampai tak terhingga. Pelipatgandaan satu kebaikan menjadi sepuluh, berlaku bagi seluruh kebaikan. Ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Barangsiapa berbuat kebaikan, maka dia mendapatkan balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (al-An’âm/6:160)

Adapun balasan yang lebih dari sepuluh kali lipat diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allâh seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allâh melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allâh Maha luas, Maha Mengetahui.” (al-Baqarah/2:261)

Ayat ini menunjukkan bahwa infak di jalan Allâh dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat.

Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Ada seseorang datang dengan membawa untanya yang sudah diberi tali kendali, kemudian orang itu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Unta ini untuk berjuang di jalan Allâh.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari Kiamat, engkau berhak mendapat unta sebanyak tujuh ratus ekor. Semuanya sudah diberi tanda.’”[7]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang firman Allâh dalam hadits Qudsi, “Kecuali puasa, karena ia milik-Ku dan Aku yang membalasnya,” menunjukkan bahwa pelipatgandaan pahala puasa tidak diketahui kecuali oleh Allâh Azza wa Jalla , karena puasa adalah sabar yang paling baik. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, "…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (az-Zumar/39:10)

Pelipatgandaan balasan kebaikan menjadi lebih dari sepuluh itu sesuai dengan kwalitas keislaman seseorang. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Balasan itu juga sesuai dengan keikhlasan, keunggulan suatu amalan dan kebutuhan.

Kedua : Mengerjakan Kejahatan Atau Keburukan
Satu keburukan ditulis satu keburukan tanpa dilipatgandakan, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, "…Dan barangsiapa berbuat kejahatan, maka dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).” (al-An’âm/6:160)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ”Maka ditulis untuknya satu kesalahan,” menunjukkan bahwa kesalahan tidak dilipatgandakan. Namun terkadang sebuah kesalahan bisa menjadi besar disebabkan kehormatan waktu dan tempat perbuatan buruk itu dilakukan, seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allâh ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allâh pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu...” (at-Taubah/9:36)

Tentang ayat di atas, Qatâdah rahimahullah menjelaskan, ”Ketahuilah ! Kezhaliman di bulan-bulan haram itu lebih besar dosanya daripada di bulan-bulan lainnya, kendati kezhaliman di setiap kondisi itu tetap besar, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganggap besar apa yang dikehendaki-Nya.”[8]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq) dan bertengkar (dalam melakukan ibadah) haji...” [al-Baqarah/2:197]

Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ”Fusuq pada ayat di atas maksudnya melakukan perbuatan maksiat; baik dengan berburu atau lainnya (di tanah haram-red).”[9] Dalam kesempatan lain, Ibnu ’Umar Radhiyallahu anhuma juga menjelaskan, ”Fusuq maksudnya melakukan perbuatan maksiat di tanah haram (Makkah).”[10]

Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, "…Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya (masjidil Haram-red), niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” [al-Hajj/22:25]

Banyak shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berusaha tidak tinggal di tanah haram (Makkah) karena khawatir berbuat dosa di sana, misalnya, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Hal yang sama dilakukan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Radhiyallahu anhu .

Sebuah kesalahan terkadang dilipatgandakan balasannya disebabkan pelakunya orang terpandang, banyak tahu tentang Allâh dan dekat kepada-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan melipatgandakan balasan kemaksiatan jika dilakukan oleh para hamba pilihan-Nya, padahal Allâh Azza wa Jalla telah menjaga mereka dari kemaksiatan tersebut. Pemberian ancaman ini bertujuan untuk menampakkan betapa agung nikmat Allah Azza wa Jalla kepada mereka yang telah menjaga mereka dari berbagai berbuatan maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscya engkau hampir saja condong kepada mereka, jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [al-Isrâ'/17:74-75]

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan-perbuatan keji yang nyata, niscaya adzabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allâh. Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya. Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [al-Ahzâb/33:30-32]

‘Ali bin al-Husain rahimahullah menafsirkan bahwa keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Bani Hâsyîm juga seperti istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kedekatan mereka dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]

Ketiga: Berniat Mengamalkan Kebaikan
Niat ini ditulis sebagai satu kebaikan sempurna, walaupun pelakunya tidak mengerjakannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas c dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , riwayatkan Muslim disebutkan :

إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً ؛ فَأَنَا أَكْتُبُهَا لَهُ حَسَنَةً مَا لَـمْ يَعْمَلْ

Jika hamba-Ku berniat ingin mengerjakan kebaikan, maka Aku menulis satu kebaikan baginya.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahadduts yaitu haditsunnafsi (niat) kuat yang disertai ambisi untuk beramal. Jadi, tidak hanya sekedar bisikan hati yang kemudian hilang tanpa semangat dan tekad untuk beramal.[12]

Jika niat sudah disertai perkataan dan usaha, maka balasan sudah pasti diraih dan orang itu sama seperti orang yang melakukan, seperti diriwayatkan dari Abu Kabsyah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

إِنَّمَـا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًـا فَهُوَ يَـتَّـقِيْ فِيْهِ رَبَّـهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِـمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْـهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْـمَنَازِلِ.وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًـا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِـّـيَّـةِ يَقُوْلُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِـيَّـتِـهِ فَأَجْرُهُـمَـا سَوَاءٌ , وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَلَـمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًـا فَهُوَ يَـخْبِطُ فِـي مَالِـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِـيْـهِ رَحِـمَهُ وَلَا يَعْلَمُ للهِ فِـيْـهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْـمَنَازِلِ , وَعَبْدٍ لَـمْ يَرْزُقْـهُ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًـا فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِـيْ مَالًا لَعَمِلْتُ فِيْـهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُـمَـا سَوَاءٌ

Sesungguhnya dunia hanyalah diberikan untuk empat orang : (pertama) hamba yang Allâh berikan ilmu dan harta, kemudian dia bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, dengannya ia menyambung silaturahmi, dan ia menyadari bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Inilah kedudukan paling baik (di sisi Allâh). (kedua) hamba yang Allâh berikan ilmu namun tidak diberikan harta, dengan niatnya yang jujur ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, pahala keduanya sama. (ketiga) hamba yang Allâh berikan harta namun tidak diberikan ilmu, lalu ia menggunakan hartanya sewenang-wenang tanpa ilmu, tidak bertakwa kepada Allâh dalam hartanya, tidak menyambung silaturahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada hak Allâh. Ini adalah kedudukan paling jelek (di sisi Allâh). Dan (keempat) hamba yang tidak Allâh berikan harta tidak juga ilmu, ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan.’ Maka dengan niatnya itu, keduanya mendapatkan dosa yang sama.”[13]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ”Maka pahala keduanya sama,” maksudnya sama dalam hal ganjaran pokok (balasan niat-red) dan tidak sama dalam pelipatgandaan ganjaran. Karena pelipatgandaan balasan kebaikan hanya khusus diberikan bagi orang yang sudah mengerjakannya, bukan yang sekedar meniatkannya. Jika keduanya disamakan dalam segala hal, maka ini tidak sesuai dengan hadits-hadits yang ada. Ini juga ditunjukkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allâh dengan harta dan jiwanya. Allâh melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allâh menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allâh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripadanya, serta ampunan dan rahmat. Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [an-Nisâ'/4:95-96]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan lain-lain mengatakan, ”Orang-orang yang duduk (tidak ikut perang) yang berbeda satu derajat dengan mujahidin ialah orang-orang yang tidak ikut perang karena mempunyai udzur, sedang orang-orang yang tidak ikut perang tanpa memiliki udzur berbeda banyak derajat dengan para mujahidin.”[14]

Keempat : Berniat Melakukan Keburukan, Tetapi Tidak Dikerjakan
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa orang yang berniat melakukan keburukan namun tidak dikerjakannya, maka itu ditulis sebagai satu kebaikan yang sempurna. Hal yang sama disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, ”Dia meninggalkan kesalahan tersebut karena takut kepada-Ku.” Ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits itu ialah orang yang mampu mengerjakan kemaksiatan yang ia inginkan namun kemudian ia tinggalkan karena Allâh Azza wa Jalla . Untuk orang seperti ini, pasti dituliskan baginya sebagai kebaikan. Sebab, meninggalkan maksiat karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan amal shalih.

Adapun orang yang berniat mengerjakan maksiat kemudian meninggalkannya karena takut kepada manusia atau karena riya', maka ada yang berpandangan ia tetap disiksa. Karena mendahulukan takut kepada manusia daripada takut kepada Allâh itu hukumnya haram. Begitu juga bermaksud riya’. Jadi, jika seseorang meninggalkan maksiat karena riya’, ia tetap disiksa.

Adapun orang yang berusaha mengerjakan kemaksiatan dengan segenap tenaganya kemudian dihalang-halangi takdir, maka sejumlah ulama menyebutkan bahwa ia disiksa karenanya, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ

Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari keburukan yang mereka bisikkan ke jiwa mereka selagi mereka tidak mengucapkannya atau mengerjakannya.[16]

Barangsiapa berniat dan mengerahkan kemampuannya untuk mengerjakan kemaksiatan kemudian tidak mampu mengerjakannya, maka ia termasuk orang yang telah mengerjakannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا الْتَقَى الْـمُسْلِمَـانِ بِسَيْفَيْهِمَـا ، فَالْقَاتِلُ وَالْـمَقْتُوْلُ فِـي النَّارِ. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! هَذَا الْقَاتِلُ ، فَمَـا بَالُ الْـمَقْتُوْلُ ؟ قَالَ : إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang terbunuh tempatnya di neraka.” Aku (Abu Bakrah) berkata, “Wahai Rasulullah ! Ini (berlaku) bagi pembunuh, bagaimana dengan orang yang dibunuh ?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya ia ingin sekali membunuh sahabatnya tersebut.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Selagi mereka tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” menunjukkan bahwa orang yang berniat melakukan maksiat, jika ia sudah mengutarakan keinginnnya itu dengan lisan, berarti ia berdosa karena ia telah berlaku maksiat dengan salah satu organ tubuhnya, yaitu lidahnya. Ini juga diperkuat dengan hadits yang menjelaskan tentang orang yang berkata, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti mengerjakan apa yang dikerjakan si fulan (yang bermaksiat kepada Allâh dengan hartanya),” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua-duanya sama dalam dosa”

(Ada sebagian orang berpendapat bahwa dia tidak berdosa dengan sebab mengutarakan keinginan buruknya, selama maksiat yang diinginkan itu tidak berbentuk ucapan haram seperti ghibah, dusta dan lain sebagainya. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَـحَدَّثَ عَبْدِيْ بِأَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً ؛ فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَا لَـمْ يَعْمَلْ

Jika hamba-Ku berniat mengerjakan keburukan, maka Aku ampuni dia selama ia belum mengerjakannya

Pendapat ini tidak kuat, karena kalimat tahaddatsa dalam hadits itu maksudnya bisikan hati, bukan ucapan lidah. Ini untuk menggabungkan pengertian hadits ini dengan hadits, “Selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya.”

Hadits Abu Kabsyah di atas juga menegaskan hal ini [18] . Karena ucapan seseorang, “Seandainya aku mempunyai harta, aku pasti melakukan perbuatan maksiat dengannya seperti yang dikerjakan si fulan,” (ucapan ini) bukan bentuk maksiat yang diinginkan si pembicara. Dia baru mengutarakan bentuk maksiat yang ia inginkan, yaitu ingin menggunakan harta untuk maksiat, padahal ia tidak mempunyai harta sedikit pun. Jadi, mengungkapkan keinginan melakukan perbuatan maksiat itu diharamkan, bagaimana bisa dimaafkan ? mengatakan keinginan seperti itu diharamkan.)

Bagaimana Jika Niatnya Berbuat Maksiat Melemah ?
Jika niat seseorang hilang dan tekadnya melemah tanpa ada faktor dari dirinya, apakah ia tetap disiksa karena kemaksiatan yang ia inginkan itu atau tidak ? Dalam hal ada dua masalah :

Pertama, Jika keinginan untuk mengerjakan maksiat itu hanya berupa lintasan (bisikan jiwa) yang muncul tanpa digubris oleh pelakunya dan ia tidak membiarkannya dalam hatinya, bahkan ia membencinya dan berusaha menghindarinya, maka keinginan tersebut dimaafkan, tidak berdosa. Keinginan ini seperti waswas jelek yang pernah ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ صَرِيْحُ الْإِيْمَـانِ

Itulah hakikat iman[19]

Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ

“...Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allâh memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki...” (al-Baqarah/2:284), kaum muslimin merasa resah, karena mereka mengira bisikan-bisikan hati masuk dalam cakupan ayat di atas. Kemudian turunlah ayat sesudahnya, yang diantaranya yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

... Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya... [al-Baqarah/2:286]

Ayat ini menjelaskan, apa saja yang tidak sanggup mereka kerjakan maka mereka tidak akan dibebani dan tidak disiksa karenanya.

Kedua : Tekad kuat yang ada di jiwa, terus bergelora dan disenangi pelakunya. Ini juga terbagi ke dalam dua bagian :

1. Sesuatu yang secara khusus merupakan perbuatan hati, misalnya ragu-ragu tentang keesaan Allâh Azza wa Jalla , atau kenabian, atau hari kebangkitan, kekafiran, kemunafikan, atau meyakini ketidakbenaran keesaan Allâh, dan lain sebagainya. Seorang hamba disiksa karena ini semua, ia menjadi murtad, kafir atau munafik.

Tercakup dalam cakupan poin ini adalah seluruh kemaksiatan yang biasanya dikerjakan hati, misalnya mencintai apa saja yang dibenci Allâh, membenci apa saja yang dicintai-Nya, sombong, ujub, dengki, dan buruk sangka kepada seorang muslim tanpa alasan yang benar. Meski ini tidak menjadikannya kafir tapi ia telah melakukan dosa besar.

2. Hal-hal yang bukan termasuk perbuatan hati namun merupakan perbuatan organ-organ tubuh, misalnya zina, mencuri, minum minuman keras, membunuh, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan lain sebagainya jika seseorang terus menerus menginginkan perbuatan tersebut, bertekad mengerjakannya, namun pengaruhnya tidak terlihat sama sekali secara fisik, apakah dia berdosa ? Tentang ini, para Ulama terbagi dua pendapat :

Pendapat pertama, Orang tersebut disiksa. Ibnul Mubârak rahimahullah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Sufyân rahimahullah , "Apakah seseorang disiksa karena niat dan keinginannya?" Sufyân menjawab, "Jika keinginan tersebut sudah menjadi tekad, maka dia disiksa karenanya.”

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan ,"Pendapat ini dipilih oleh banyak Ulama ahli fiqih, Ulama hadits dan ahli kalam dari sahabat-sahabat kami dan yang lainnya. Mereka berhujjah dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, "...Ketahuilah bahwa Allâh mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya...” [al-Baqarah/2:235]

Dan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, ""... Tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu...” [al-Baqarah/2:225]

Dan mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْإِثْمُ مَا حَاكَ فِـيْ صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Dosa ialah sesuatu yang menggelisahkan di hatimu dan engkau tidak suka hal itu diketahui orang [20]

Mereka menafsirkan kata haddatsa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِأُمَّتِـيْ مَـا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ

“Sesungguhnya Allâh memaafkan umatku dari apa yang diinginkan jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau mengerjakannya,” dengan lintasan (bisikan) hati.

Mereka berkata, “Maksiat yang disenangi oleh seseorang dan tertanam dalam hati, maka itu termasuk usaha dan perbuatannya. Ia tidak dimaafkan.”

Di antara mereka ada yang berkata, “Di dunia, orang tersebut disiksa dengan kesedihan dan kegalauan.” Ada lagi yang mengatakan bahwa pada hari Kiamat, Allâh menghisabnya karena perbuatan tersebut kemudian memaafkannya. Jadi hukuman orang tersebut ialah dihisab.” Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahua anhu dan ar-Rabi’ bin Anas Radhiyallahu anhu . Itu juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah . Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang bisik-bisik. Beliau berkata, “Hadits tersebut tidak berlaku umum, berlaku bagi dosa-dosa yang tidak terlihat di dunia dan bukan waswas di dada.”

Pendapat kedua, orang yang berniat itu tidak disiksa sama sekali hanya karena niatnya. Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Pendapat ini dinisbatkan ke Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Ini pendapat Ibnu Hamid, salah seorang dari sahabat kami, karena berhujjah dengan keumuman hadits (diatas). Perkataan yang sama diriwayatkan al-Aufi dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbâs dalam riwayat Muslim, “Atau Allâh menghapusnya”, maksudnya, perbuatan dosa itu bisa saja ditulis sebagai satu kesalahan untuk pelakunya, atau bisa juga dengan sebab tertentu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghapusnya dari siapa yang Dia kehendaki, misalnya dengan sebab istighfar, taubat, dan mengerjakan kebaikan-kebaikan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu, “Dan tidak ada yang dibinasa kecuali orang yang binasa“, maksudnya, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan karunia-Nya yang besar dan rahmat-Nya yang luas dengan melipatgandakan balasan kebaikan serta memaafkan kesalahan, maka tidak ada yang binasa kecuali orang yang binasa, yang menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan, berani melakukan dosa-dosa, membenci dan menjauhi berbagai amal kebaikan.

FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Kesempurnaan ilmu Allâh Azza wa Jalla . Tidak ada sedikit pun di langit maupun di bumi atau yang lebih dari itu yang lepas dari jangkauan ilmu-Nya, dan tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya. Allâh mengetahui apa yang ada dalam hati manusia.

2. Di antara tugas malaikat adalah mencatat kebaikan dan keburukan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan malaikat yang mulia kepada setiap orang, mereka mengetahui dan mencatat apa yang dikerjakannya, Allâh Azza wa Jalla menghitungnya sedang mereka melupakannya.

3. Betapa rahmat Allâh itu sangat luas dan karunia-Nya sangat agung. Allâh Azza wa Jalla tidak melipatgandakan balasan bagi perbuatan buruk seorang hamba serta memaafkan keinginan berbuat jahat (selagi tidak dilaksanakan).

4. Penjelasan tentang karunia Allâh Azza wa Jalla terhadap ummat ini. Karena kalau bukan karena karunianya, maka tidak akan ada yang masuk Surga, sebab perbuatan dosanya lebih banyak daripada kebaikannya.

5. Memberikan semangat dan juga memberian ancaman merupakan metode mendidik terbaik.

6. Menetapkan perbuatan Allâh Azza wa Jalla .

7. Karena karunia dan keadilan Allâh Azza wa Jalla , pahala kebaikan dijadikan berlipat ganda , sedangkan kejelekan dosa tidak dilipatgandakan.

8. Memikirkan berbagai kebaikan menjadi sebab yang bisa mengantar seseorang mengerjakannya.

9. Mengingatkan dan menyadarkan diri sebelum berbuat keburukan dapat mencegah diri darinya.

10. Pengaruh niat dalam perbuatan dan akibatnya.

MARAAJI’:
1. Al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Tafsîr ath-Thabari
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Sunan Abu Dâwud.
7. Sunan at-Tirmidzi.
8. Sunan an-Nasâ'i.
9. Sunan Ibni Mâjah.
10. Shahiih Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
11. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
12. Mu’jamul Kabîr.
13. Kitâb al-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi.
14. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN DI SEKITAR KITA [1]

Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, MA


Dunia mistik masih cukup kental dengan sebagian masyarakat tanah air. Keyakinan terhadap penguasa -yang mampu mendatangkan keberuntungan dan menyingkirkan marabahaya- selain Allâh Azza wa Jalla tetap mengakar pada mereka ini. Karenanya, kehidupan mereka tidak lepas dengan ritual-ritual persembahan yang variatif. Ada yang bersifat tahunan, atau pelaksanaannya ketika datang momen tertentu (pernikahan, panenan), maupun tatkala mereka dicekam oleh ancaman bencana yang dalam anggapan mereka muncul karena kemurkaan si 'penguasa' yang mereka yakini.

Guna melancarkan roda kehidupan, hajatan atau urusan mereka, mereka menghidupkan ritual-ritual persembahan tumbal maupun sesaji. Persembahan tumbal biasanya dalam bentuk binatang ternak, baik disembelih terlebih dahulu maupun dipersembahkan dalam keadaan hidup-hidup. Sementara persembahan sesaji dilakukan dengan selain hewan bernyawa.

MACAM-MACAM PENYEMBELIHAN DITINJAU DARI TUJUANNYA[2]
1. Penyembelihan Dalam Rangka Beribadah
Jenis pertama ini dilakukan guna mengagungkan Dzat Yang disembah (diibadahi) serta merendahkan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ini adalah sebuah jenis ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allâh Azza wa Jalla dengan tata cara pelaksanaan yang telah ditentukan. Mempersembahkannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla termasuk syirik besar.

2. Penyembelihan Dalam Rangka Penghormatan
Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara pernikahan. Pada asalnya, ini hukumnya mubah. Karena seseorang diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Barang siapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya [HR. al-Bukhâri no. 6018, Muslim no. 47]

3. Penyembelihan Dilakukan Untuk Memanfaatkan Sembelihannya Untuk Dikonsumsi Maupun dijual. Ini hukumnya mubah

4.Penyembelihan Untuk Selain Allâh Azza wa Jalla Dengan Tujuan Beribadah
Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) dan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada malaikat, jin, rasul, nabi, wali ataupun benda mati seperti patung dan berhala. Memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga haram, karena disembelih bukan untuk Allâh Azza wa Jalla . Allah berfirman

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]

Ada salah satu cara untuk membedakan antara sembelihan yang tujuannya adalah taqarrub dengan sembelihan yang tujuannya adalah penghormatan. Saat kunjungan penguasa ke suatu daerah, biasanya dilakukan penyembelihan binatang. Jika penyembelihan tersebut tujuannya pengagungan dan taqarrub terhadap penguasa adalah: setelah hewannya disembelih di hadapan sang penguasa, sembelihan tersebut dibiarkan begitu saja. Namun jika tujuannya adalah penghormatan dan penjamuan, maka sembelihan tersebut akan dimasak dan dimakan. [3]

Semua persembahan sembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu berhala, tokoh yang dikultuskan, jin atau makhluk apapun, merupakan perbuatan syirik

Dalilnya adalah nash umum yang melarang penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla

Di antara nash umum tersebut, firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

(Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,) (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh [HR. Muslim no. 1978]

Nash di atas mencakup seluruh penyembelihan dengan menyebut nama selain Allâh, siapapun dia.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hakekat penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla dan hukum pelakunya: "Yang dimaksud dengan penyembelihan untuk selain Allah adalah: penyembelihan dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla, seperti orang yang menyembelih untuk (mengagungkan) berhala, salib, nabi Musa, nabi Isa 'alaihimassalam, Ka'bah dan lainnya. Ini semua hukumnya haram, hasil sembelihannya tidak halal, baik si penyembelih beragama Islam, Nasrani ataupun Yahudi. Ini telah dinyatakan oleh Imam Syâfi'i rahimahullah dan disepakati ulama Syâfi'iyyah. Apabila tujuannya untuk mengagungkan dan beribadah kepada obyek yang dituju maka perbuatan itu dikategorikan kufur. Jika si penyembelih beragama Islam, maka ia dianggap murtad".[4]

Bila perkataan Imam Nawawi rahimahullah tersebut dicermati, maka akan kita dapati bahwa beliau menjadikan penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla –siapapun obyek yang dituju- tidak lepas dari dua kondisi. Pertama, ditujukan untuk taqarrub (ibadah) kepadanya dan ini hukumnya syirik besar yang sangat nyata, pelakunya menjadi murtad karenanya. Kedua, penyembelihan itu dengan menyebut salah satu nama makhluk, bukan untuk taqarrub padanya, perbuatan ini juga haram berdasarkan pendapat ulama Syâfi'iyyah juga pernyataan Imam Syâfi'i rahimahullah. Hasil sembelihan tersebut juga tidak halal, dengan tanpa mempertimbangkan agama si penyembelih maupun nama yang disebutkan saat menyembelih. [5]

Substansi pernyataan Imam Nawawi rahimahullah tentang murtadnya orang yang menyembelih untuk dipersembahkan sembelihannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla , ternyata juga diungkapkan oleh ar-Râzi rahimahullah dari para ulama lainnya. Beliau menjelaskan: "Para ulama berkata: Seandainya seorang Muslim menyembelih binatang sembelihan dan bertujuan untuk taqarrub kepada selain Allâh Azza wa Jalla, maka ia dianggap murtad dan sembelihannya dihukumi sembelihan orang murtad".[6]

PELAJARAN DARI KISAH DUA PUTRA ADAM ALAIHISSALLAM
Pada hakekatnya, persembahan sesaji untuk selain Allah pun termasuk perbuatan syirik besar, sebab secara asal persembahan pun harus diperuntukkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata. Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan kisah dua putra Nabi Adam Alaihissallam yang mempersembahkan kurban dalam firman-Nya:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

"Ceritakanlah kepada mereka kisah sebenarnya kedua putera Adam (Habil dan Qabil) ketika keduanya menyajikan persembahan. Persembahan salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan yang lain (Qabil) tidak diterima. Ia (Qabil) berkata: "Aku pasti membunuhmu!". (Habil menjawab): "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa". [al-Mâidah/5:27]

Ayat di atas menunjukkan kewajiban memurnikan persembahan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla sekurang-kurangnya dari tiga sisi:

Pertama: Dua putra Nabi Adam Alaihissallam ini telah menyajikan persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Syaikh as-Sa'di rahimahullah menafsirkan firman Allah { ketika keduanya mempersembahkan korban }: "Maksudnya ketika masing-masing dari keduanya mengeluarkan sesuatu dari harta miliknya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ".[7]

Kedua: Di antara sebab tertolaknya persembahan Qabil di sisi Allâh Azza wa Jalla karena ia tidak ikhlas dalam mempersembahkannya. Al-Khathîb asy-Syarbîni rahimahullah menerangkan makna ayat {dan tidak diterima dari yang lain}: "Maksudnya adalah Qabil, karena ia tidak terima dengan ketentuan Allâh Azza wa Jalla dan tidak ikhlas dalam persembahannya".[8]

Ketiga: Penekanan yang terdapat dalam penghujung ayat di atas, bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menerima persembahan kecuali dari orang-orang muttaqîn. Sebagaimana telah maklum bahwa di antara sifat paling menonjol orang-orang muttaqin ialah ikhlas dalam beramal karena Allâh semata, yang merupakan perwujudan konsekuensi dari persaksian Lâ Ilâha Illallâh. Qatâdah rahimahullah berkata: "Orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang komitmen dengan Lâ Ilâha Illallâh".[9]

Mengunjukkan persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata bukan untuk selain-Nya merupakan "jalan para nabi terdahulu" [10] sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qutaibah rahimahullah saat menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam (Ali 'Imrân/3:183).

Ini semakin mempertegas bahwa menyajikan persembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya syirik.

Parahnya, orang-orang yang mempersembahkan sesaji, secara sengaja bertujuan mendekatkan diri kepada jin untuk menghindarkan diri dari kejahatannya, bukan malah sebaliknya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dalam usaha mengusir jin yang ditakuti. Tindakan mereka ini menunjukkan adanya keyakinan bahwa jin memiliki kekuatan tersendiri dalam melakukan apa saja yang diinginkan, seakan itu berada di luar kekuasaan Allâh Azza wa Jalla. Inti kesyirikan dalam fenomena ini adalah menisbatkan kekuatan ghaib kepada selain Allâh Azza wa Jalla.[11]

Dari sisi lain, orang-orang melakukan persembahan sesaji kepada selain Allâh Azza wa Jalla didorong oleh keyakinan bahwa jin 'penguasa' memiliki kemampuan dalam mendatangkan marabahaya dan kebaikan, berkuasa memberi dan menghalangi, mengirimkan kebaikan dan keberkahan, serta melenyapkan keburukan dan kesulitan. Ini tidak lain merupakan tindakan syirik!.

Bukti akan adanya keyakinan tersebut dan kesyirikan mereka, -sesuai dengan pengakuan dan pernyataan mereka-, jika sedang dicekam kesulitan yang besar, manakala mereka mempersembahkan sesaji-sesaji kepada wali fulan atau jin anu, dan kesulitan tersebut sirna; dalam hati mereka terbentuk keyakinan bahwa sesaji itulah faktor penyebab datangnya kebaikan yang diharapkan dan lenyapnya bahaya yang ditakutkan.

Siapa pun yang menelaah dengan cermat al-Qur`ân dan Sunnah Nabi serta menyimak keterangan para Salafus Shaleh, ia akan mengetahui bahwa sesaji yang dipersembahkan itu sama persis dengan apa yang dipersembahkan kaum musyrikin zaman dulu kepada sesembahan mereka, yang Allah k sebutkan dalam firman-Nya:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا

Mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan (bagian) untuk Allah sembari berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan yang itu untuk berhala-berhala kami". [al-An'aam/6:136]

Tindakan mereka ini terhitung beriman kepada Jibt dan Thaghut, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t : "Sebagian orang ada yang melakukan taqarub kepada jin dengan makanan adas, mereka memasaknya lantas meletakkannya di kamar mandi atau membuangnya. Kemudian meminta hal-hal yang biasa diminta kepada setan-setan. Sebagaimana yang mereka lakukan di kamar mandi dan tempat serupa dengannya. Ini termasuk beriman kepada Jibt dan Thaghut".[12]

RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN TUMBAL DAN SESAJI DI TANAH AIR
Berikut ini beberapa contoh ritual menyimpang yang berkembang di tengah sebagian masyarakat tanah air dalam berbentuk persembahan sesaji maupun tumbal. Ritual-ritual yang sudah tentu sangat berbahaya bagi keimanan seorang muslim bila melakukannya.

1. Ritual Labuhan. Dalam prakteknya, dilakukan pemendaman kepala kerbau di puncak gunung Merapi di awal bulan Muharram dan di penghujung bulan Rajab setiap tahunnya sebagai persembahan kepada Kiai Sapujagad yang diklaim merupakan jin penguasa gunung Merapi. Mereka beranggapan, bila acara ini tidak diselenggarakan akan mengakibatnya timbulnya berbagai mara bahaya bagi masyarakat setempat.[13]

2. Ritual yang dilaksanakan oleh penduduk kota Cilacap Jawa Tengah dengan mempersembahkan kepala kerbau bagi Nyai Roro Kidul yang diyakini merupakan penguasa laut selatan guna menghindari kemurkaannya dan berharap keberkahan darinya.[14] Ritual serupa juga dilakukan di Yogyakarta di pantai Samas [15] dan di pantai Parangkusumo [16] dan di kota Tulung Agung Jawa Timur di pantai Popoh.[17]

3. Sebagian orang menyembelih sapi untuk dipersembahkan kepada 'penguasa' laut selatan agar berkenan membantu penyelesaian proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan antara kota Surabaya dan Madura yang kemudian dikenal dengan jembatan SURAMADU.[18]

4. Ritual yang dilakukan sebagian pedagang pasar tradisional Banyumas Jawa Tengah dengan mempersembahkan kepala kambing dan beragam makanan untuk sungai Serayu dengan cara melarungnya di sungai tersebut. Ritual ini termasuk dalam kegiatan Festival Sedekah Pasar Banyumas. Tujuan penyelenggaraannya, menjauhkan takdir-takdir buruk dari mereka (?!). [19]

5. Sebagian penduduk kota Kulon Progo Jawa Tengah, sebelum pelangsungan akad nikah, mereka mempersembahkan kurban berupa ayam, padi dan macam-macam makanan kepada arwah kakek-nenek mereka agar selalu dinaungi keselamatan, sehingga perhelatan pesta perkawinan berjalan sesuai rencana. Persembahan ini sering disebut dengan istilah sesajen Murni Lasti.[20]

6. Disembelihnya kerbau oleh para penggarap proyek di Batudatar Purwakarta Jawa Barat untuk dipersembahkan kepada jin yang dikenal dengan sebutan Haji Kamilin agar tidak terjadi kecelakakan pada jalan yang sedang mereka kerjakan.[21]

7. Sebagian penduduk sekitar Rawa Pening Ambarawa Jawa Tengah melakukan ritual persembahan berupa ayam, nasi dan lainnya kepada penguasa danau kecil ini yang mereka sebut Mbah Baru Klinting, agar mendapatkan kemudahan darinya dalam bekerja, sebagai bentuk syukur kepadanya sekaligus harapan memperoleh keberkahan darinya.[22]

8. Demikian pula, sebagian warga Yogyakarta melakukan persembahan berupa rokok, pisang, padi dan setetes darah ayam jika mereka akan melangsungkan walimahan. Tujuannya, agar jin penunggu desa mereka tidak mengusik jalannya acara. Dikenal dengan Uba Rampe.[23]

9. Sebelum melakukan pembangunan pabrik, jembatan atau bangungan besar lainnya, sebagian orang menyembelih sapi atau kerbau dan kemudian melumuri pondasi dengan darah sembelihan itu. Selanjutnya, kepala hewan tersebut dipendam di daerah proyek bangunan agar proyek berjalan lancar sesuai rencana, tanpa gangguan jin. Dengan itu pula, mereka berharap agar bangunan setelah jadi mendatangkan banyak manfaat.[24]

Seluruh fenomena di atas merupakan contoh persembahan sembelihan untuk selain Allah, adapun persembahan sesaji yang tidak ada unsur sembelihannya, di antara contohnya di tanah air:

10. Ritual yang dikerjakan oleh sebagian penduduk desa Sigentong Sicabe di Brebes Jawa Tengah, ketika menjelang panenan atau melangsungkan hajatan. Mereka menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesajen di kuburan Dul Jalab yang berada di desa tersebut. Ritual ini menurut mereka sebagai bentuk permohonan izin (restu) kepadanya. Menurut anggapan mereka, bila acara ini tidak dilangsungkan, maka mara bahaya akan menimpa mereka.[25]

11. Persembahan yang diperuntukkan bagi Dewi Sri, Dewi penguasa padi dan pemberi kemakmuran, yang dilangsungkan sebelum musim panen.[26]

12. Keyakinan sementara kalangan bahwa kematian sebagian pelancong Belanda yang mendaki gunung Merapi disebabkan dahulu para penjajah Belanda yang sempat membangun beberapa bangunan di lereng gunung itu tidak mempersembahkan sesaji kepada Kyai Sapu Jagad, 'yang mbaurekso' gunung tersebut.[27]

13. Persembahan makanan, minuman, kain dan rokok yang dilakukan dukun Mbah Bejo untuk jin penghuni bangunan kuno Larang sewu di Semarang untuk menghindarkan gangguan-gangguan jin tersebut.[28]

14. Persembahan tahunan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Lemah Putih di Nganjuk Jawa Timur bagi jin penghuni sumur Putri untuk meredam bahayanya karena suka menakut-nakuti orang-orang yang berjalan melewatinya.[29]

15. Persembahan berupa tebu, padi dan jagung yang masih dalam bulirnya ketika menghuni rumah baru guna mengusir bahaya jin penghuni rumah dan mendapatkan kebaikan. [30]

16. Ritual persembahan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Kandat Kediri Jawa Timur bagi jin penghuni rumah kosong di desa tersebut supaya tidak mengganggu gadis-gadis perawan desa setempat. [31]

17. Persembahan yang dilakukan sebagian orang bagi jin penghuni jembatan rel kereta api tua di Pabuaran Subang Jawa Barat sebagai bentuk lantaran mereka melihatnya dalam mimpi agar rasa aman tetap terjaga.[32]

18. Keyakinan sebagian penduduk dekat jembatan Gorowong Karawang bahwa penyebab terjadinya bencana yang menimpa mereka adalah tidak dilaksanakannya persembahan bagi jin penguasa jembatan tersebut.[33]
19. Ritual Sedekah Nyusur Taneuh dan Sedekah Dugna yang diselenggarakan oleh sebagian penduduk propinsi Jawa Barat pada hari yang bertepatan dengan kematian seseorang berupa persembahan makanan dan minuman yang disukainya saat masih hidup di rumah dan kuburnya.[34]

Inilah sebagian ritual di tanah Jawa yang berisi persembahan tumbal maupun sesaji yang kebanyakan diperuntukkan bagi jin yang dianggap berkuasa dan sanggup mendatangkan kebaikan dan bahaya bagi manusia. Tidak menutup kemungkinan di pulau lain di luar Jawa terdapat ritual-ritual yang substansinya sama.

SYUBHAT DAN SANGGAHANNYA
Sebagian orang mungkin akan menolak vonis kufur terhadap praktek persembahan tumbal dengan binatang yang disembelih kepada jin dan lainnya dengan dalih bahwa orang-orang yang menyembelih sembelihan itu ketika melakukan penyembelihan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla (mengucapkan basmalah). Bagaimana bisa disebut menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla ?

Jawabannya: jika memang demikian yang terjadi berarti ada perbedaan antara keyakinan hati dan ungkapan lisan. Dalam kondisi seperti ini yang dijadikan sebagai ukuran adalah apa yang diyakini hati, bukan apa yang dilontarkan lisan. Ini merupakan kaedah umum dalam seluruh amal ketaatan. [35]

Alasan pengharaman perbuatan tersebut kembali kepada niat. Penyebutan nama Allâh Azza wa Jalla dengan lisan dalam keadaan hati berniat untuk selain-Nya; tidak merubah status hukum keharaman. Imam Ibnu Katsîr t telah menyatakan secara tegas bahwa menyembelih sembelihan dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla namun dalam keadaan hati bertujuan untuk mempersembahkannya kepada selain-Nya tetap merupakan perbuatan syirik.

Saat menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

….(Dan diharamkan bagimu memakan) yang disembelih untuk berhala…[al-Mâidah/5:3]

Beliau berkata: "Mujâhid dan Ibnu Juraij menyatakan, "an-Nushubu (berhala-berhala) merupakan bebatuan (yang disembah) di sekitar Ka'bah. Menurut Ibnu Juraij berjumlah 360 patung. Dahulu bangsa Arab di masa Jahiliyah mereka melakukan penyembelihan binatang ternak di sekelilingnya. Kemudian mereka memerciki patung yang mengarah ke Ka'bah dengan tetesan darah binatang sembelihan, dilanjutkan mengiris-iris daging dan meletakkannya di atas berhala itu. Demikian keterangan beberapa ulama.

Allâh Azza wa Jalla melarang kaum mukminin dari perbuatan tersebut dan mengharamkan atas mereka untuk memakan sembelihan-sembelihan yang proses penyembelihannya dilangsungkan di sisi berhala-berhala. Kendatipun mengucapkan basmalah saat menyembelihnya di sisi berhala itu. Ini tetap termasuk perbuatan syirik yang diharamkan oleh Allâh dan Rasul-Nya".[36]

Guna memperjelas lagi, kondisi penyembelihan untuk selain Allâh ada beberapa macam, dan semuanya merupakan perbuatan syirik [37]:

1. Disembelih dengan menyebut nama Allâh (basmalah), namun diniati untuk selain Allâh Azza wa Jalla. Ini termasuk syirik dalam ibadah
2. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh, sekaligus diniati untuk selain Allâh Azza wa Jalla . Ini termasuk syirik dalam permohonan tolong juga ibadah.
3. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh dan memperuntukkan hasil sembelihan untukAllâh Azza wa Jalla . Jenis ini termasuk syirik dalam rububiyah

PENUTUP
Itulah sebagian contoh dari ritual persembahan untuk selain Allah yang masih bertebaran di sekeliling kita. Kewajiban kita adalah meluruskan perilaku menyimpang tersebut dengan cara yang santun dan bijak, tanpa mengorbankan prinsip akidah, apalagi larut dalam ritual tersebut, walaupun dengan alasan dakwah. Wallahul muwaffiq ila aqwamith tharîq…

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




TUMBAL DAN SESAJEN, TRADISI SYIRIK WARISAN JAHILIYAH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus (jin) yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu tiada lain merupakan kebiasaan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di sebagian masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kekuatan untuk memberikan kebaikan (rezeki, jodoh, anak dan lainnya) atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.

Ternyata ritual ini sudah berkembang sejak jaman Jahiliyah sebelum Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

Dan bahwasanya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan [al-Jin/72 :6]

Maksudnya, orang-orang di jaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernazar, meminta pertolongan dan lain-lain[1] .

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan (ingatlah) hari di waktu Allâh menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): "Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia". Lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): "Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allâh berfirman: "Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allâh menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” [al-An’âm/6:128]

Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan ketika manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”[2] .

HUKUM TUMBAL DAN SESAJEN DALAM ISLAM
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala [3] , adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh k berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” [al-An’âm/6:162-163].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu (Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah [al-Kautsar/108:2)]

Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala [4] .

Oleh karena itu, perbuatan mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allâh Azza wa Jalla , baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia, dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir) [5] .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah berkata: “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sesembahan (selain Allâh Azza wa Jalla) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya” [6] .

Dalam sebuah hadits shahih, dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâh melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya” [7] .

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya berupa laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allâh Azza wa Jalla, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allâh Azza wa Jalla dan dijauhkan dari rahmat-Nya [8] .

Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Azza wa Jalla semata-mata.

Jadi, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan sepele, seperti seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar [9] .

Dalam sebuah atsar dari Sahabat mulia, Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu beliau berkata: "Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan: "Tidak ada seorang pun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita)". Maka mereka berkata kepada orang yang pertama: "Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!", tapi orang itu enggan – dalam riwayat lain: orang itu berkata: "Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allâh Azza wa Jalla –. Maka dia pun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu mereka berkata kepada orang yang kedua: "Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!", Dalam riwayat lain: orang itu berkata: "Aku tidak mempunyai sesuatu untuk dikurbankan" Maka mereka berkata lagi: “Persembahkanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!". (Dengan menyepelekan), orang itu berkata: "Apalah artinya seekor lalat". Lalu dia pun berkurban dengan seekor lalat. Dalam riwayat lain: maka mereka pun mengizinkannya lewat, kemudian (di akhirat) dia masuk neraka" [10] .

HUKUM BERPARTISIPASI DAN MEMBANTU DALAM ACARA TUMBAL DAN SESAJEN
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual Jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar" [an-Nisâ'/4:48]

Atas dasar itu, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini, dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk berta’awun (saling menolong) dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu perbuatan syirik.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allâh amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yakni perbuatan al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan saling membantu dalam perbuatan dosa dan maksiat” [11] .

Larangan berpartisipasi dalam perbuatan maksiat dan dosa juga dikuatkan oleh hadits hadits tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini. Dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu dia berkata: “Rasûlullâh Shalallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa)” [12].

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya perbuatan) batil (maksiat)” [13] .

HUKUM MEMANFAATKAN MAKANAN/HARTA YANG DIGUNAKAN UNTUK TUMBAL/SESAJEN
Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut telah dipersembahkan kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai [14] . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: "Semua hewan yang disembelih untuk selain Allâh tidak boleh dimakan dagingnya" [15] .

Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla jika mengharamkan memakan sesuatu maka Dia (juga) mengharamkan harganya (haram diperjualbelikan) [16].

Jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, sebagian ulama mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla [17].

Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allâh, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdul 'Aziz bin Bâz rahimahullah yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.

Syaikh ‘Abdul 'Azîz bin Bâz rahimahullah berkata: "(Pendapat yang mengatakan) bahwa uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu) kepada nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.

Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) Lâta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (Sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ûd ats-Tsaqafi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) Lâta sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).

Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) melakukan perbuatan syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allâh Azza wa Jalla), dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku syirik itu bahwa perbuatan tersebut termasuk syirik, supaya tidak timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan tersebut, adalah bukti yang menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasehati orang yang melakukannya.

Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala) tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan) dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan harta lainnya (halal untuk diambil), seperti yang telah dijelaskan. Wallâhu a’lam” [18].

PENUTUP
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Sumber:     http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment