Monday, December 31, 2012

ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP




ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari



Dien Islam yang kaffah ini telah melarang segala bentuk pengerusakan terhadap alam sekitar, baik pengerusakan secara langsung maupun tidak langsung. Kaum Muslimin, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam sekitar. Oleh karena itu, seyogyanya setiap Muslim memahami landasan-landasan pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua umat manusia sebagai pemikul amanah untuk menghuni bumi Allâh Azza wa Jalla ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan merusak lingkungan hidup karena bisa membahayakan kehidupan manusia di muka bumi. Karena bumi yang kita tempati ini adalah milik Allâh Azza wa Jalla dan kita hanya diamanahkan untuk menempatinya sampai pada batas waktu yang telah Allâh Azza wa Jalla tetapkan. Oleh karena itu, manusia tidak boleh semena-mena mengeksplorasi alam tanpa memikirkan akibat yang muncul.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ ۗ وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعَالَمِينَ

Itulah ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar dan tiadalah Allâh berkehendak untuk menganiaya hamba-hambaNya. [Ali Imrân/3:108]

Allah Azza wa Jalla menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini merupakan sarana bagi manusia untuk melaksanakan tugas pokok mereka yang merupakan tujuan diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat beribadah hanya kepada Allâh semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. [Ali Imrân/3:191]

Syariat Islam sangat memperhatikan kelestarian alam, meskipun dalam jihâd fi sabîlillah. Kaum Muslimin tidak diperbolehkan membakar dan menebangi pohon tanpa alasan dan keperluan yang jelas.

Kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini merupakan akibat dari perbuatan umat manusia. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan firmanNya :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ar-Rûm/30:41]

Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, “Zaid bin Râfi’ berkata, 'Telah nampak kerusakan,' maksudnya hujan tidak turun di daratan yang mengakibatkan paceklik dan di lautan yang menimpa binatang-binatangnya.”

Mujâhid rahimahullah mengatakan, “Apabila orang zhâlim berkuasa lalu ia berbuat zhâlim dan kerusakan, maka Allâh Azza wa Jalla akan menahan hujan karenanya, hingga hancurlah persawahan dan anak keturunan. Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kerusakan.” Kemudian Mujâhid rahimahullah membacakan ayat di atas.

Tapi, apakah kerusakan yang terjadi itu hanya disebabkan perbuatan manusia yang merusak lingkungan atau mengekplorasi alam semena-mena ataukah juga disebabkan kekufuran, syirik dan kemaksiatan yang mereka lakukan ? Jawabnya adalah kedua-duanya.

Ibnu Katsîr rahimahullah telah menjelaskan dalam tafsirnya: “Makna firman Allâh (yang artinya) “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,” yaitu kekurangan buah-buahan dan tanam-tanaman disebabkan kemaksiatan. Abul ‘Aliyah berkata, “Barangsiapa berbuat maksiat kepada Allâh di muka bumi, berarti ia telah berbuat kerusakan padanya. Karena kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Oleh karena itu apabila nabi ‘Isa turun di akhir zaman, beliau akan berhukum dengan syariat yang suci ini pada masa tersebut. Beliau akan membunuh babi, mematahkan salib dan menghapus jizyah (upeti) sehingga tidak ada pilihan lain kecuali masuk Islam atau diperangi. Dan di zaman itu, tatkala Allâh telah membinasakan Dajjal dan para pengikutnya serta Ya’jûj dan Ma’jûj, maka dikatakanlah kepada bumi, “Keluarkanlah berkahmu.” Maka satu buah delima bisa dimakan oleh sekelompok besar manusia dan mereka bisa berteduh di bawah naungan kulitnya. Dan susu unta mampu mencukupi sekumpulan manusia. Semua itu tidak lain disebabkan berkah penerapan syariat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka setiap kali keadilan ditegakkan, akan semakin banyaklah berkah dan kebaikan. Karena itulah disebutkan dalam hadits shahih, yang artinya, "Sesungguhnya apabila seorang yang jahat mati, niscaya para hamba, kota-kota, pepohonan dan binatang-binatang melata merasakan ketenangan.”[1]

Salah satu bukti bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan alam sekitar adalah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyingkirkan gangguan dari jalan yang beliau jadikan sebagai salah satu cabang keimanan, perintah beliau untuk menanam pohon walaupun esok hari kiamat. Disamping kita telah menjaga kehidupan manusia di sekitar kita. Bukankah satu pohon adalah jatah untuk dua orang ?

Dalam hal ini pemerintah berhak memerintahkan rakyat untuk menanam pohon. al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya, "Bercocok tanam termasuk fardhu kifâyah. Imam (penguasa) berkewajiban mendesak rakyatnya untuk bercocok tanam dan yang semakna dengan itu, seperti menanam pohon.”[2]

Bahkan untuk memotivasi umat beliau agar gemar menanam pohon beliau bersabda :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ غَرَسَ غَرْسًا فَأَكَلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ أَوْ دَابَّةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Muslim mana saja yang menanam sebuah pohon lalu ada orang atau hewan yang memakan dari pohon tersebut, niscaya akan dituliskan baginya sebagai pahala sedekah.[3]

Bahkan pohon itu akan menjadi asset pahala baginya sesudah mati yang akan terus mengalirkan pahala baginya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

سَبْعٌ يَجْرِي لِلعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَ هُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لََهُ بَعْدَ مَوْتِهِ .

Tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir bagi seorang hamba sesudah ia mati dan berada dalam kuburnya. (Tujuh itu adalah) orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampunan untuknya sesudah ia mati.[4]

Menebang pohon, menggunduli hutan, membuang limbah ke sungai, membakar areal persawahan dan lain-lainnya sudah jelas termasuk perbuatan merusak alam yang bisa mendatangkan bencana bagi umat manusia. Banjir bandang, kabut asap, pemanasan global adalah beberapa diantara akibatnya. Namun sadarkah kita, bahwa kerusakan alam bukan hanya karena faktor-faktor riil seperti itu saja. Kekufuran, syirik dan kemaksiatan juga punya andil dalam memperparah kerusakan alam. Bukankah banjir besar yang melanda kaum Nuh Alaihissallam disebabkan kekufuran dan penolakan mereka terhadap dakwah Nuh Alaihissallam ? Bukankah bumi dibalikkan atas kaum Luth sehingga yang atas menjadi bawah dan yang bawah menjadi atas disebabkan kemaksiatan yang mereka lakukan ?

Sebaliknya, keimanan, ketaatan dan keadilan juga berperan bagi kebaikan dan keberkahan bumi.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Diantara pengaruh buruk perbuatan maksiat terhadap bumi adalah banyak terjadi gempa dan longsor di muka bumi serta terhapusnya berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati kampung kaum Tsamûd, beliau melarang mereka (para sahabat) melewati kampung tersebut kecuali dengan menangis. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang mereka meminum airnya, menimba sumur-sumurnya, hingga beliau memerintahkan agar menggunakan air yang mereka bawa untuk mengadon gandum. Karena maksiat kaum Tsamûd ini telah mempengaruhi air di sana. Sebagaimana halnya pengaruh dosa yang mengakibatkan berkurangnya hasil panen buah-buahan.

Imam Ahmad telah menyebutkan dalam Musnadnya, ia berkata, “Telah ditemukan dalam gudang milik Bani Umayyah sebutir gandum yang besarnya seperti sebutir kurma. Gandum itu ditemukan dalam sebuah kantung yang bertuliskan, “Biji gandum ini tumbuh pada masa keadilan ditegakkan.”

Kebanyakan musibah-musibah yang Allâh Azza wa Jalla timpakan atas manusia sekarang ini disebabkan perbuatan dosa yang mereka lakukan.

Sejumlah orang tua di padang pasir telah mengabarkan kepadaku bahwa mereka pernah mendapati buah-buah yang ukurannya jauh lebih besar daripada buah-buahan yang ada sekarang.”[5]

Barangkali ada yang bertanya apakah maksiat yang tidak ada sangkut pautnya dengan alam bisa juga merusak alam ? Jawabnya, ya bisa. Bukankah Hajar Aswad menghitam karena maksiat yang dilakukan oleh manusia ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

نَزَلَ الحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الجَنَّّةِ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الثَّلْجِ ، فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ

Hajar Aswad turun dari surga lebih putih warnanya daripada salju, lalu menjadi hitam karena dosa-dosa anak Adam.[6]

Begitulah pengaruh dosa dan maksiat! Hajar Aswad yang turun dari surga dalam keadaan berwarna putih bersih lebih putih dari salju bisa menghitam karena dosa. Ini membuktikan bahwa dosa dan maksiat juga memberikan pengaruh pada perubahan yang terjadi pada alam sekitar.

Apabila manusia tidak segera kembali kepada agama Allâh Azza wa Jalla , kepada sunnah Nabi-Nya, maka berkah itu akan berganti menjadi musibah. Hujan yang sejatinya, Allâh turunkan untuk membawa keberkahan dimuka bumi, namun karena ulah manusia itu sendiri, hujan justru membawa berbagai bencana bagi manusia. Banjir, tanah longsor dan beragam bencana muncul saat musim hujan tiba. Bahkan di tempat-tempat yang biasanya tidak banjir sekarang menjadi langganan banjir !

Tidakkah manusia mau menyadarinya? Atau manusia terlalu egois memikirkan diri sendiri tanpa mau menyadari pentingnya menjaga alam sekitar yang bakal kita wariskan kepada generasi mendatang !?

Allâh Azza wa Jalla memberi manusia tanggung jawab untuk memakmurkan bumi ini, mengatur kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menuntut tanggung jawab itu di akhirat kelak.

Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim seharusnya memahami arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Mereka punya kewajiban untuk melestarikan alam semesta.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. [al-A’râf/7:56]

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini sebagai berikut, "Firman Allâh Azza wa Jalla (yang maknanya-red), 'Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.' Allâh melarang tindakan perusakan dan hal-hal yang membahayakan alam, setelah dilakukan perbaikan atasnya. Sebab apabila berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik lalu setelah itu terjadi perusakan, maka hal itu lebih membahayakan umat manusia. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla melarang hal itu dan memerintahkan para hamba-Nya agar beribadah, berdoa, dan tunduk serta merendahkan diri kepada-Nya.”

Sesungguhnya dengan akal yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan, manusia lebihkan dari makhluk-makhluk lainnya. Kita lebih mulia dari hewan. Coba anda lihat, hewan saja memiliki kesadaran menjaga keseimbangan alam dan lingkungan hidup, lalu apakah kita selaku manusia justru menghancurkannya ? Janganlah kamu berbuat kerusakan sesudah Allâh memperbaikinya! Maka kita punya tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan hidup demi kesejahteraan hidup manusia di bumi ini. Bukankah Allâh Azza wa Jalla telah berfirman :

وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. [al-Hijr/15:19]

Ya, semua sudah ada ukurannya, semua ada aturannya. Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan semua itu dengan sangat detail dan teratur.

Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa Dia yang telah menciptakan bumi, membentangnya, menjadikannya luas dan terhampar, menjadikan gunung-gunung diatasnya yang berdiri tegak, lembah-lembah, tanah (dataran), pasir, dan berbagai tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang sesuai. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata tentang firman Allâh Azza wa Jalla “Segala sesuatu dengan ukuran” Mauzun artinya adalah diketahui ukurannya (proporsional dan seimbang). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Qatâdah dan ulama yang lainnya. Di antara para ulama ada yang mengatakan, “maksudnya ukuran yang telah ditentukan.” Sedang Ibnu Zaid mengatakan, “Maksudnya yaitu dari setiap sesuatu yang ditimbang dan ditentukan ukurannya.”

Dalam ayat lain Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan tentang siklus hidrologi yang menjadi salah satu elemen terpenting bagi kelangsungan kehidupan makhluk di muka bumi.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allâh membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu Lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira. [ar-Rûm/30:48].

Begitulah proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal sebagai siklus hidrologi, mencakup proses evaporasi, kondensasi, hujan dan aliran air ke sungai, danau dan laut.

Kewajiban ini kita laksanakan dengan menjalankan syariat Allâh Azza wa Jalla di muka bumi, memakmurkannya dengan tauhid dan sunnah. Sembari terus menumbuhkan kesadaran bahwa kita tidak sendiri hidup di muka bumi. Ada makhluk-makhluk Allâh Subhanahu wa Ta’alaainnya selain kita di sekitar kita.

Dan juga dengan menjauhi kekafiran, syirik dan maksiat. Karena dosa dan maksiat akan mendorong manusia untuk merusak dan mengotori alam ini dengan noda-noda maksiat mereka. Mereka inilah inilah yang sebenarnya tidak memahami tujuan penciptaan alam semesta ini.

Referensi:
1. al-Qur'ân al-Karîm.
2. Umdatut Tafsîr Ibnu Katsîr.
3. Tafsir ath-Thabari.
4. al-Fawâid, Ibnul Qayyim.
5. Shahîh al-Bukhâri.
6. Shahîh Muslim.
7. Riyadhus Shâlihîn, an-Nawawi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhâri (6512).
[2]. Tafsîr al-Qurthubi (III/306).
[3]. HR Bukhâri (6012).
[4]. Dishahihkan oleh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (3602) dari Anas.
[5]. al-Fawâid, hlm. 65.
[6]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (I/166), Ibnu Khuzaimah (I/271) dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (2618).




BERBUAT KERUSAKAN DI MUKA BUMI

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA



Kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang ini, hanya menjadikan perkara-perkara lahir yang kasat mata sebagai barometer dalam menilai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Ini merupakan efek dari dominasi hawa nafsu dan cinta dunia dalam diri mereka.

Mereka tidak tergerak untuk memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara gaib (yang tidak nampak) dan mereka melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai [ar-Rûm/30:7]

Sebagai contoh yang nyata, dalam memahami arti kerusakan di muka bumi yang sedang mencuat belakangan ini. Saat ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum Muslimin, yang mengartikan kerusakan di muka bumi hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengerusakan hutan, penyakit menular yang mewabah, banjir bandang, pemanasan global dan lain sebagainya. Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata yang lebih parah efek buruknya. Padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya. Kerusakan inilah yang menjadi penyebab kerusakan-kerusakan yang di permukaan bumi.

ARTI KERUSAKAN DI BUMI YANG SEBENARNYA
Allâh Jalla Jalaluhu berfirman :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar-Rûm/30:41]

Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa penyebab utama semua kerusakan[2] yang terjadi di muka bumi dengan berbagai bentuknya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti kerusakan yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Imam Abul 'Aliyah ar-Riyâhi [3] mengatakan, "Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allâh di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena bumi dan langit itu baik dengan sebab ketaatan (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pent)" [4]
.
Imam asy-Syaukâni rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan, “(Dalam ayat ini) Allâh menjelaskan bahwa perbuatan syirik dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[5]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jallaberfirman :

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

Dan musibah apa saja yang menimpa kamu maka itu disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri [asy-Syûra/42:30]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[6]
.
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri, sering terjadi pertengkaran, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.

Inilah makna yang terungkap dalam ucapan salah seorang ulama Salaf yang mengatakan, "Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allâh, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…"[7] .

Oleh sebab itu pula, Allâh Azza wa Jalla menamakan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Qs al-Baqarah/2:11-12).

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi merupakan bentuk perusakan lantaran perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, sehingga terjangkiti penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. (Penyebab lain perbuatan maksiat disebut dengan perusakan-red) adalah karena perbaikan (yang merupakan lawan dari pengerusakan-red) di muka bumi dilakukan dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allâh Azza wa Jalla . Inilah tujuan Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka agar bisa menopang mereka dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allâh (maksiat) berarti mereka telah berusaha merusak dan menghancurkan tujuan utama penciptaan bumi”[8] .

Oleh karena itu, kematian para pelaku maksiat merupakan sebab utama penurunan angka kerusakan di muka bumi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terhindar dari kerusakan akibat perbuatan maksiatnya) [9]

SYIRIK DAN BID’AH SEBAB TERBESAR KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Karena perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini pun sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatâdah [10] rahimahullah dan as-Suddi rahimahullah berkata: “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik. Inilah kerusakan yang paling besar”[11]
.
Demikian juga perbuatan bid’ah [12] . Semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hakekatnya merupakan sebab terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta. Sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama kerusakan di muka bumi.
Atas dasar itu, Imam Abu Bakar Ibnu 'Ayyâsy al Kûfi[13] ketika ditanya tentang makna firman Allâh Jalla Jalaluhu:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…[al-A'râf/7:56]

Beliau mengatakan, "Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad n kepada umat manusia, (ketika) mereka dalam keadaan rusak. Lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi"[14]

CARA MENGATASI DAN MEMPERBAIKI KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Sebab utama kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut yaitu dengan bertaubat dengan benar (nasûh)[15] dan kembali ke jalan Allâh. Karena taubat nasûh akan menghilangkan semua dampak negatif perbuatan dosa yang pernah dilakuakan oleh seseorang.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali) [16]

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalladi atas,

لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

…supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar Rûm/30:41].

Artinya, agar mereka bertaubat dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang menimbulkan kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga kemudian keadaan mereka akan baik dan sejahtera [17]

Dalam hal ini, Sahabat yang mulia, Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah mengucapkan dalam doanya, “Ya Allâh, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”[18] .

Jadi, kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikannya dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla Dzat yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya [19] untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allâh dan seruan Rasûl-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[20] hidup bagimu" [al-Anfâl/8:24].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya bisa diraih dengan memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya maka dia tidak akan merasakan (kebahagiaan-red) hidup, meskipun dia masih hidup sebagaimana binatang yang paling hina (sekalipun). Maka hidup bahagia yang hakiki adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allâh dan Rasûl-Nya secara lahir maupun batin"[21] .

Dalam ayat lain Allâh Jalla Jalaluhu berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, Kami pasti akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [al-A’râf/7:96]

Artinya, kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amal shaleh serta merealisasikan ketakwaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allâh akan membukakan (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi bagi mereka. Allâh Azza wa Jalla akan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat) dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka. (Mereka akan hidup) dalam kebahagiaan dan rezeki yang berlimpah, tanpa ada jerih payah, keletihan maupun penderitaan. Namun (kenyataanya-red) mereka tidak beriman dan bertakwa, akhirnya Allâh menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [22]
.
Oleh karena itu, orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi yang sebenarnya itu adalah orang-orang yang menyeru manusia agar kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan tauhid dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan. Mereka ikut merasakan kebaikan tersebut. Sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allâh untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[23] .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ

Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan… .[24]

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia. Ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah [25] pernah mengatakan, “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[26] .

PENUTUP
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalladan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsîr al-Qur'ânil 'Azhîm karya Ibnu Katsîr (3/576).
[2]. Karena huruf alif dan lam di awal kata al fasâd bermakna lil istigrâq yang memberikan makna semua atau seluruh-red
[3]. Beliau adalah Rufâi' bin Mihrân ar-Riyâhi (wafat tahun 90 H). Seorang Tabi'in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat Taqrîbut Tahdzîb hlm. 162
[4]. Dinukil oleh Imam Ibnu Katsîr dalam tafsir beliau (3/576).
[5]. Fathul Qadîr (5/475)
[6]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 759
[7]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab ad-Dâ'u Wad Dawâ' hlm. 68
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 42
[9]. HSR al-Bukhâri (6512) dan Muslim (no. 2245)
[10]. Beliau adalah Qatâdah bin Di'âmah as Sadûsi al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H). Beliau adalah imam besar dari kalangan Tabi'in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb, hlm. 409).
[11]. Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau 14/40
[12]. Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Beliau adalah imam dari kalangan Atba'ut Tâbi'în senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam (wafat 194 H). Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb hlm. 576
[14]. Tafsir Ibni Abi Hâtim ar Râzi (6/74) dan ad Durrul Mantsûr (3/477).
[15]. Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu
[16]. HR. Ibnu Mâjah no. 4250 dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 10281 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan Syaikh al-Albâni. Lihat adh-Dha’îfah no. 615
[17]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 643
[18]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dalam Fathul Bâri (3/443).
[19]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya. Ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allâh Subahnahu wa Ta'ala, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 131).
[20]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
[21]. al-Fawâ-id (hlm. 121- cet. Muassasatu Ummil Qurâ').
[22]. Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 298).
[23]. Lihat kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah (1/64) dan Faidhul Qadîr (4/268).
[24]. HR at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Mâjah (no. 223), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[25]. Beliau adalah al-Hasan bin abil Hasan Yasar al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).
[26]. Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab “as-Sunan” (no. 324) dengan sanad yang shahih.



JANGAN BERBUAT KERUSAKAN DI BUMI

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. [al-A’râf/7:56]

Saat menjelaskan maksud ayat ini, Abu Bakar bin ‘Ayyâsy rahimahullah (wafat th. 194 H) berkata, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk bumi ketika mereka sedang dalam kerusakan, lalu Allâh Azza wa Jalla memperbaiki mereka dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka barangsiapa mengajak kepada sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia benar-benar termasuk orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Tafsîr Ibnu Abi Hâtim ar-Râzi 4/124 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah]

Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) mengatakan, “Maksud dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Adalah janganlah engkau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau berbuat maksiat di muka bumi, karena perbuatan seperti itu adalah pengerusakan yang sebenarnya di muka bumi.

بَعْدَ إِصْلَاحِهَا, yakni setelah Allâh memperbaiki bumi itu untuk orang-orang yang menaati Allâh Azza wa Jalla, dengan mengutus para rasul kepada mereka yang menyeru kepada kebenaran, dan menjelaskan hujjah-hujjah kepada mereka.”

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا yakni ikhlaskanlah semua doa dan amal hanya untuk Allâh Azza wa Jalla dan janganlah engkau menyekutukan-Nya dengan apapun juga seperti ilah-ilah, berhala dan lainnya. Serta hendaklah semua yang engkau lakukan itu didasari dengan rasa takut kepada siksa-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.” [Tafsîr ath-Thabari 5/515 cet. Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah].

Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) mengatakan, “Mayoritas ahli tafsir mengatakan, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengajak ketaatan kepada selain Allâh Azza wa Jalla setelah Allâh Azza wa Jalla memperbaikinya dengan mengutus para rasul dan menerangkan syariat serta mengajak supaya taat kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena sesungguhnya menyembah selain Allâh, berdoa kepada selain-Nya dan melakukan perbuatan syirik kepada-Nya adalah kerusakan yang paling besar di muka bumi. Bahkan kerusakan bumi pada hakekatnya hanyalah disebabkan oleh syirik kepada Allâh dan menyalahi perintah-Nya.

Dengan demikian perbuatan syirik, berdoa kepada selain Allâh Azza wa Jalla , mengagungkan sesembahan selain-Nya dan mentaati selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan terbesar di muka bumi. Semua ini tidak mendatangkan kebaikan sama sekali untuk bumi dan juga untuk penduduknya kecuali kalau Allâh menjadi satu-satunya Dzat yang mereka ibadahi dan taati, memohon kepada-Nya dan tidak taat kepada selain Allâh Azza wa Jalla , kemudian selalu menaati rasul-Nya dan mengikuti (petunjuk)nya, bukan yang lain. Makhluk selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya wajib ditaati jika menyerukan ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika menganjurkan perbuatan maksiat dan menyuarakan hal-hal yang menyalahi syariat-Nya, maka ia tidak boleh didengar dan ditaati.

Barangsiapa memperhatikan kondisi alam, maka ia akan dapati bahwa setiap kebaikan di muka bumi ini bersumber pada tauhidullâh (mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla ), beribadah kepada-Nya dan menaati Rasul-Nya. Sebaliknya, setiap kejahatan, fitnah, malapetaka, kekeringan, berkuasanya musuh atas umat Islam dan bencana lainnya, penyebabnya adalah menyalahi Rasul-Nya dan menyeru kepada selain Allâh dan Rasul-Nya.” [Badâi’ul Fawâid, hlm. 385, tahqîq Basyîr ‘Uyûn dan lihat juga Badâi’ut Tafsîr hlm 1/404 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dikumpulkan oleh Yusra as-Sayyid Muhammad].

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan tentang ayat ini, “Allâh Azza wa Jalla melarang perilaku merusak dan hal-hal yang membahayakannya, setelah Allâh Azza wa Jalla melakukan perbaikan di muka bumi. Karena jika berbagai macam urusan sudah berjalan dengan baik dan setelah itu terjadi kerusakan, maka kondisi demikian ini lebih berbahaya bagi umat manusia. Maka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang hal itu, dan memerintahkan hamba-hamba-Nya agar beribadah, berdoa, merendahkan diri kepada-Nya dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya-red), “…Berdoalah kepada-Nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap...” Maksudnya, takut terkena siksa Allâh Azza wa Jalla dan berharap bisa meraih pahala melimpah di sisi-Nya.

Kemudian Allâh berfirman (yang artinya), “…Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” Allâh menggunakan kata قَرِيبٌdan bukan قَرِيْبَةٌ (padahal kata رحمة itu untuk muannats, mestinya menurut bahasa harus menggunakan قَرِيْبَةٌ –red), karena yang dijelaskan adalah kandungan dari kalimat rahmat yaitu tsawâb (pahala), atau karena kata rahmat itu disandarkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena itu, Allâh mengatakan :

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allâh sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik [Tafsîr al-Qurânil ‘Azhîm 3/429, tahqîq Sâmi bin Muhammad Salâmah, cet. Ke-IV Dârut Thayyibah th. 1428 H].

Fawâid ayat ini
Dari uraian di atas, kita bisa mengambil beberapa faidah [1] :

1. Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi dengan melakukan perbuatan syirik, maksiat dan kerusakan lainnya.

2. Sesungguhnya perbuatan maksiat itu merusak akhlak, amal dan rezeki

3. Para rasul diutus untuk memperbaiki kehidupan di muka bumi

4. Wajib berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh keikhlasan, karena doa adalah ibadah

5. Beramal dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla harus dilandasi dengan rasa takut dan penuh harap

6. Dianjurkan untuk berbuat ihsan (berbuat kebaikan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân oleh Syekh Abdurrahmân as-Sa’di t dan Aisarut tafâsîr oleh Syekh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri dan kitab-kitab lainnya).



sumber:    http://almanhaj.or.id

KENALI PENYAKIT YANG MEMPERLEMAH KEKUATAN UMAT ISLAM[1]







KENALI PENYAKIT YANG MEMPERLEMAH KEKUATAN UMAT ISLAM[1]

Oleh
Syaikh 'Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis



Saudara-saudaraku,
Fenomena ketidakberdayaan umat Islam dan para musuh yang menguasai diri kita merupakan musibah besar dan ujian mendalam. Kita wajib menyingkirkannya. Proses ini tidak dapat terwujud kecuali dengan proses analisa yang benar. Dalam proses analisa penyakit ini, kita tidak boleh mencampurbaurkan antara penyakit utama dan dampak yang menyertainya. Berapa banyak pihak yang mencampuradukkan antara penyakit sesungguhnya dengan dampak-dampak yang menyertai. Akhirnya, terapi dan solusi yang mereka tampilkan pun kabur.

Sebagian orang berpandangan bahwa penyakit yang sedang menimpa umat ialah makar para musuh dan kekuatan besar mereka atas umat Islam. Atas dasar analisa ini, mereka menyimpulkan bahwa solusi problematika umat ialah menyibukkan kaum Muslimin untuk mengenali musuh, program-program, pernyataan-pernyataan dan laporan-laporan mereka.

Golongan kedua menyatakan bahwa penyakit yang sedang menguasai umat Islam adalah keberadaan penguasa-penguasa yang berbuat zhalim di sebagian negara Islam. Berdasarkan cara pandang ini, maka jalan yang ditempuh guna menghilangkan penyakit umat yaitu menyingkirkan para penguasa zhalim itu dan memprovokasi masyarakat untuk membenci para penguasa tirani tersebut.

Pihak ketiga menganggap penyakit yang menjadi sumber kelemahan kaum Muslimin adalah tercerai-berainya umat Islam di banyak negara. Maka, atas dasar ini, solusinya adalah mempersatukan dan memadukan mereka sehingga menjadi kekuatan yang berjumlah banyak.

Dengan merujuk keterangan al-Qur`ân dan Hadîts, mereka semua telah melakukan kekeliruan dalam menganalisa penyakit umat yang sebenarnya. Akibatnya, solusi yang ditawarkan pun tidak tepat.

Sisi kesalahan pendapat pertama, bahwa tipu-daya musuh tidak akan membahayakan kaum Muslimin, bila mereka benar-benar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu sedikit pun. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala apa yang mereka kerjakan. [Ali Imrân/3:120]

Adapun sisi kekeliruan anggapan kedua, yaitu para penguasa yang zhalim itu pada dasarnya merupakan hukuman yang Allah Azza wa Jalla timpakan kepada orang-orang yang berbuat zhalim. Maksudnya, orang zhalim itu bisa berkuasa karena kezhaliman dan dosa-dosa rakyat yang dipimpin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. [al-An'âm/6:129]

Jadi, bukanlah para penguasa zhalim itu yang menjadi sumber penyakit umat. Tetapi, sumber penyakit itu muncul dari orang-orang yang mereka pimpin yang telah berbuat zhalim dan berbuat dosa.

Kesalahan pernyataan ketiga dapat diketahui dari sisi bahwa kuantitas besar yang dipadukan menjadi satu tidak banyak bermanfaat bila terdapat dosa-dosa yang dilakukan oleh individu-individu yang dipersatukan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dan bercerai-berai. [at-Taubah/9:25]

Coba lihat, bagaimana dosa ujub (silau terhadap diri sendiri) akibat jumlah pasukan yang banyak menyebabkan kaum Muslimin (para Sahabat Rasulullah yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri) mengalami kekalahan di perang Hunain.

Termasuk tindakan dosa lain, mempersatukan umat dengan kaum ahli bid'ah dari kalangan Sufi, Asy'ari dan Mu'tazilah. Karena, mereka itu harus diingkari, minimal dengan hati yaitu dengan menjauhi mereka dan tidak duduk-duduk bersama mereka.

Dari sini tampaklah kekeliruan pernyataan 'Mari kita saling mendukung dalam perkara-perkara yang kita sepakati dan saling memberi toleransi dalam urusan yang kita perselisihkan'.

Selanjutnya, mungkin ada orang yang akan melontarkan pertanyaan, engkau telah menunjukkan kesalahan-kesalahan analisa-analisa golongan-golongan dalam meraba-raba penyakit yang sedang memperlemah kekuatan umat. Jadi, apa sebenarnya analisa yang tepat mengenai penyakit yang sedang menimpa umat berdasarkan al-Qur`ân dan Hadîts? Maka kita katakan, bahwa terdapat banyak ayat al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan musibah-musibah yang menimpa umat manusia karena dosa-dosa mereka. Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla :

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. [Ali 'Imrân/3: 165]

Saat menjelaskan ayat di atas, Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan : "Ketika ditimpa musibah kekalahan di Uhud, kalian saling berkata bagaimana bisa (kami kalah)? Dari mana datangnya sebab kekalahan yang telah menimpa kami ini ? Padahal kami kaum Muslimin sementara mereka kaum musyrikin, terlebih lagi, ada Nabi di tengah kami yang mendapatkan wahyu dari langit. Para musuh kami adalah orang-orang yang kafir dan musyrik kepada Allah.” Maka katakanlah wahai Muhammad kepada para Sahabatmu yang beriman kepadamu "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Karena kalian melanggar perintahku dan tidak taat kepadaku. Jadi, sebab kekalahan kalian bukan dari orang lain." [2]

Ibnu Taimiyyah raimahullah berkata : "Kemenangan kaum kafir terjadi karena dosa-dosa kaum Muslimin yang mengakibatkan keimanan mereka menurun. Jika mereka bertaubat dengan menyempurnakan iman mereka, maka Allah Azza wa Jalla akan memenangkan mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. [Ali 'Imrân/3:139] [3]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata: "Sehubungan dengan kemenangan, Allah Azza wa Jalla mempergilirkannya. Kadang-kadang dialami kaum kafir sebagaimana kaum Mukminin juga dimenangkan atas kaum kafir. Ini telah dialami para Sahabat Nabi Muhammad saat menghadapi musuh. Hanya saja, akhir yang baik menjadi milik kaum Mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), [Ghâfir/40:51]

Kelemahan kaum Muslimin, dan kemenangan orang-orang kafir itu disebabkan oleh dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kaum Muslimin. Baik karena kurang perhatian dalam menjalankan kewajiba-kewajiban secara batiniah dan lahiriah. Atau karena mereka telah bersikap melampaui batas secara batiniah maupun lahirian. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَلَّوْا مِنْكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا

Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) [Ali Imrân/3:155]

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. [Ali 'Imrân/3: 165]

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. [al-Hajj/22: 40-41]

Di antara cobaan terbesar yang dialami umat ini yaitu ketidakberdayaan umat Islam dan keperkasaan musuh. Dari sini tampak jelas bahwa penyakit yang menimpa kaum Muslimin sesungguhnya adalah taqshîr (kurang peduli) terhadap ajaran Islam dan pelanggaran mereka terhadap syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagai efek nyata dari penyakit itu adalah kemenangan kaum kafir atas kaum Muslimin hingga umat Islam selalu dikendalikan oleh mereka serta keberadaan penguasa-penguasa zhalim di sebagian negeri Islam.

Bukankah praktek syirik masih menjerat dengan jaring-jaringnya. Bahkan syiar-syiar syirik berkibar di mana-mana. Lihatlah bagaimana tauhid yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla malah diperangi di dunia Islam ? Kalau demikian kondisi dunia Islam yang masih dilingkupi dosa terbesar di hadapan Allah (syirik besar), bagaimana mungkin kita sekalian mengharapkan kemenangan dan kejayaan?

Selain syirik, maksiat-maksiat jenis lain, seperti kerancuan berpikir tentang Islam dan aplikasinya yang bermacam-macam beserta memperturutkan nafsu syahwat juga telah berkembang di tengah dunia Islam. Jika memang kita mau jujur dan berempati terhadap kondisi umat, maka janganlah kita menyibukkan diri dengan efek-efek samping dari penyakit umat hingga melupakan upaya penyembuhan penyakit sesungguhnya. Empati itu hendaklah kita wujudkan dengan berusaha mengembalikan umat kepada agama mereka yang murni.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua menuju shirâthul mustaqîm dan menyejukkan pandangan kita dengan kejayaan Islam dan Muslimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


KEKELIRUAN FATWA DALAM KASUS KONTEMPORER (NAWAZIL) [1]


Allah Azza wa Jalla menutup dakwah para Rasul dengan dakwah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah Azza wa Jalla memenangkan risalah beliau hingga hari kiamat nanti. Allah Azza wa Jalla ciptakan generasi Sahabat dan Tabi'in yang bertugas menegakkan hujjah kepada manusia. Juga memerintahkan mereka untuk menjaga syariat Islam dan bertafaqquh fiddîn (belajar ilmu agama). Allah Azza wa Jalla berfirman:

كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitâb dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imrân/3:79]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. [at-Taubah/9:122]

Dalam ayat yang mulia ini Allah Azza wa Jalla membagi mereka menjadi dua kelompok. Salah satunya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dan yang lainnya diperintahkan menuntut ilmu agama. Hal ini agar kaum Muslimin dapat merujuk dan bertanya kepada mereka dalam permasalahan kontemporer (nawâzil) yang terjadi di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:43]

SYARAT BERFATWA DALAM NAWAZIL
Tidak dipungkiri lagi ijtihâd para Ulama dalam memberikan fatwa pada masalah kontemporer (Nawâzil) sangat dibutuhkan umat ini. Apalagi permasalahan kontemporer (Nawâzil) sangat banyak dan terus bermunculan . Namun tentunya, yang bisa berbicara untuk memutuskan permasalahan ini hanyalah para ulama yang memenuhi syarat, di antaranya:

1. Seorang mujtahid (ahli ijtihad/memiliki kemampuan untuk berijtihad –red), walaupun bukan mujtahid mutlak dan hanya bisa berijtihad dalam sebagian bidang ilmu.

2. Harus memiliki gambaran jelas dan pemahaman yang benar terhadap permasalahan yang akan dijadikan sebagai obyek ijtihdya.

3. Dalam menetapkan hukum, dia bersandar pada dalil syari yang mu'tabar (yang dibenarkan).

BEBERAPA KEKELIRUAN FATWA YANG SERING DITEMUI DALAM KASUS KONTEMPORER
Para Ulama yang berfatwa dalam masalah Nawâzil terkadang keliru walaupun secara kuantitas tiga syarat di atas sudah terpenuhi. Kekeliruan tersebut bertingkat-tingkat, tidak sama, ada yang jelas dan ada yang samar. Berikut ini beberapa kekeliruan yang samar dalam fatwa nawâzil:

1. Menetapkan hukum pada suatu kasus yang terdiri dari beberapa permasalahan berdasarkan hukum asal dari masing-masing permasalahan pembenruk kasus tersebut tanpa melihat bagaimana hukumnya ketika maslah-masalah itu digabung.

Sebagai contoh adalah jual beli murâbahah [2]. Jual beli yang tersusun dari tiga akad yaitu akad wâkalah (perwakilan), akad Muwâ'adah bisy-Syirâ' (janji membeli) dan akad jual beli kredit. Ketiga akad ini sah dan dibenarkan. Berdasarkan hal ini maka jual beli murâbahah adalah akad yang shahîh.

Inilah yang disampaikan orang yang mensahkan jual beli ini, tanpa menengok kepada pengertian yang muncul apabila ketiga akad itu disatukan..

Sedangkan Ulama yang melarangnya, berpendapat bahwa walaupun jual beli murâbahah ini tersusun dari tiga akad tersebut, namun keadaan dan faktor pendorong pengadaan dan penyebarannya menunjukkan hanyalah rekayasa riba. Di mana penjual -yaitu bank pembiaya- ingin meminjamkan uang kepada pembeli dengan profit (bunga). Demikian juga pembeli ingin meminjam dari bank dengan bunga. Barang tersebut hanya dijadikan rekayasa hingga berubah bentuk menjadi pinjaman dengan bunga yang kemudian dinamakan jual beli murâbahah.

Contoh lainnya adalah fatwa sebagian Ulama tentang al-Ijârah al-Muntahiyah bit-tamlîk (finance leasing), ketika menyatakan sebagai adalah akad yang sah, karena tersusun dari ijârah (sewa menyewa), jual beli (Bai') atau pemberian (Hibah). Ijârah jelas disepakati kebolehannya. Kemudian apabila masa ijârah (sewa-menyewa) selesai, maka pemilik barang memiliki kebebasan penuh untuk menjual barangnya atau menghibahkannya kepada siapa yang ia sukai atau tetap menahan barang itu sebagai miliknya. Tidak ada seorangpun yang mampu mencegah pemilik barang beraktifitas dalam barang miliknya dengan jual beli atau dihibahkan.

Bukan maksud di sini memaparkan pendapat yang membolehkan atau yang melarang dalam masalah ini atau lainnya. Tetapi hanya memberikan peringatan tentang pentingnya mengkompromikan antara melihat kepada permasalahan menyeluruh (an-Nazhar al-Kulli al-Ijmâli) dengan melihat permasalahan secara rinci (an-nazhar al-Juz'i at-tafshîli) ketika hendak menetapkan satu hukum pada sebuah nawazil. Juga hendak menjelaskan bahwa membatasi hanya dengan salah satu sisi tinjauan saja dapat menjerumuskan pada kesalahan.

Sudah menjadi kewajiban seorang ulama ahli fikih untuk melihat dengan teliti permasalahan dan akad transaksi kontemporer dan memahami hakekatnya serta meninjau akibat yang ditimbulkannya.

2. Berkelit dari Realita.
Banyak mufti yang apabila ditanya tentang masalah kontemporer, dia menjawab dengan menerangkan hukum masalah tersebut dari sisi hukum asal, kemudian menyampaikan syarat-syarat hukumnya. Padahal pada kenyataannya syarat tersebut sangat sulit dilaksanakan.

Sebagai contoh: sebagian mufti (ahli fatwa) ketika ditanya tentang hukum financial leasing (al-Ijârah al-Muntahiyah bit-Tamlîk) menjawab bahwa itu boleh. Tetapi penanya melanjutkan lagi bahwa mereka mengharuskan asuransi. Maka sang mufti menjawab : kamu jangan setuju dengan asuransinya; ambil saja mobilnya tanpa asuransi dan asuransinya tidak mengikat.

Mufti ini seharusnya memperjelas gambaran yang ada dalam praktek. Semua financial leasing (ijârah al-muntahiyah bit-Tamlîk) dalam praktek ternyata berisi asuransi.

Semestinya ia menjelaskan , financial leasing dengan syarat mengikuti asuransi itu boleh atau tidak? Kemudian setelah itu dia bisa memberikan penjelasan tambahan bahwa financial leasing itu boleh dilakukan bila sudah memenuhi beberapa syarat. Dilanjutkan dengan penjabaran syarat-syarat tersebut, Bila syarat-syarat tersebut dilanggar maka hukumnya begini dan begitu.

Contoh lain: seorang ditanya tentang hukum kompetisi sepak bola, lalu dia menjawab bahwa pada asalnya hal itu diperbolehkan, kecuali bila terdapat hal-hal yang dilarang syari’t.

Perhatikanlah jawaban ini, tidak sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan penanya tersebut tidak lepas dari kenyataan yang terlihat di lapangan. Kompetisi ini tidak lepas dari berbagai pelanggaran syari’at seperti membuang-buang waktu, membuka aurat, kerusakan akhlak, menghabiskan umur dan membuang-buang harta. Hal-hal ini jelas bertentangan dengan maqâshid syari'at (tujuan syariat) dari banyak sisi.

Kemudian juga, si penanya tidak menanyakan hukum asal. Seandainya si penanya menanyakan hukum asal, maka si mufti seharusnya mengingatkan si penanya tentang realita yang terjadi di lapangan setelah menjelaskan hukum asalnya.

Kesimpulannya, seorang mufti sebaiknya tidak menjawab dengan cara di atas dan berusaha untuk memperhatikan dua perkara:

a. Menjelaskan bentuk realitanya dan tidak lupa menjelaskan hukumnya; karena tidak menjelaskan kenyataan atau berkelit darinya adalah kekeliruan yang berbahaya.

b. Menyampaikan hukum asal dengan penjelasan ketentuan dan syarat-syarat yang mencakup kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan akan ada.

Fatwa yang memenuhi dua hal ini akan menjadi lebih jelas dan baku.

3. Permasalahan istilah dan bahasa yang umum.
Merupakan satu keniscayaan ketika hendak menetapkan hukum terhadap satu masalah kontemporer untuk melihat hakekat permaslahannya, tidak silau dengan nama-nama atau pun istilahnya. Karena hukum syara' hanya berhubungan dengan hakekat dan pengertian, bukan kepada lafadz dan susunan kata.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bermain dengan istilah-istilah agama menjadi fenomena pada banyak transaksi-transaksi yang tidak benar dewasa ini. Buktinya, bila melihat seluruh transaksi yang muncul dari bank-bank syari'at atau konvensional, tidak akan ada pelayanan yang menggunakan nama riba secara terang-terangan. Namun, apakah ini semua menunjukkan seluruh transaksi tersebut bukan ribawi?

Perhatikanlah pula pengorbanan dan keberanian yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimn Palestina yang lemah saat berhadapan dengan orang-orang Yahudi, musuh kaum Muslimin. Sebagian mereka menamakannya ‘amaliyah istisyhadiyyah (usaha untuk mendapatkan mati syahid –re), sementara orang lain menamainya dengan ‘amaliyah intihariyyah (perbuatan bunuh diri –red). Padahal setiap penamaan memiliki makna tersendiri. Yang menjadi problem dalam pemberian nama yaitu ketika tidak peduli dengan makna dan kandungan nama itu. Tidak logis, kalau kita menghukumi perbuatan diatas dengan hukum haram sementara pada saat yang sama kita menamainya dengan ‘amaliyah istisyhadiyyah. Sebaliknya, bagaimana bisa perbuatan itu dihukumi sesuai dengan syari’at, sementara dia digelari ‘amaliyah intihariyyah.

Kaedah baku dan standar dalam hal ini adalah sedapat mungkin menggunakan nama-nama syar'i dalam penamaan seluruh perkara. Namun bila ada permasalahan yang baru dan tidak ada nama yang syar’I untuknya, maka wajib menamainya dengan nama yang dikenal secara bahasa, yang pas dan yang menunjukkan hakekat permasalahan tersebut.

4. Tidak cermat dalam melihat perkembangan dan perubahan nawâzil.
Ini termasuk kesalahan karena hakekat nawâzil terkadang mengalami sedikit perubahan dan pergeseran. Perubahan ini terkadang merubah hakekat nawâzil secara keseluruhan dari hakekat sebelumnya. Meski terjadi perubahan, namun istilah nawazil tetap melekat pada keduanya, baik sebelum ataupun setelah terjadi perubahan.

Memberikan fatwa hanya berdasarkan gambaran pertama dari suatu permasalahan pada suatu kejadian akan melahirkan tashawwur (gambaran) yang keliru dan kesalahan dalam memahaminya (miss understanding).

Kalau demikian, orang yang ingin memahami kejadian tersebut secara sempurna, sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.

Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan serta adat yang berlaku. Dari sini sudah seharusnya seorang mufti memperhatikan waktu, tempat, kondisi dan keadaan yang berhubungan dengannya, serta adat yang berlaku dalam hukumnya terhadap satu permasalahan kontemporer.

Untuk itu, kewajiban mufti dalam urusan kontemporer ini adalah menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta memperhatikan sumber hukumnya. Akan lebih baik lagi bila diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah sikap Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa'di rahimahullah dalam salah satu fatwanya. Beliau rahimahullah menyampaikan bahwa sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat). Kemudian beliau rahimahullah memberikan komentar: “Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap al-mutslah. Mereka bisa melakukannya terhadap orang yang masih hidup dengan keridhaan dan keinginan terhadap aneka ragam pengobatan. Sehingga saya cenderung seandainya para ahli fikih terdahulu menyaksikan keadaan ini tentu mereka akan memperbolehkan membedah perut orang hamil, dengan sebab keberadaan bayinya masih hidup dan demi mengeluarannya. Khususnya bila masa hamil sudah usai dan diketahui atau besar kemungkinan bayinya akan bisa diselamatkan”.

Setelah menyampaikan kecenderungan beliau rahimahullah, syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan : “al-mutslah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk melarang tindakan ini menunjukkan asumsi ini “[3]

5. Cenderung mempermudah dan meringankan fatwa, tanpa melihat kepada maqâshid syari'at.
Anggapan mereka bahwa inilah yang paling sesuai dengan keadaan manusia di zaman ini. Karena (kebanyakan –red) manusia saat ini tidak lagi berpegang teguh dengan hukum-hukum agama dan sibuk dengan gemerlap kehidupan. Untuk itu, harus dilakukan pendekatan agama kepada mereka yang berjiwa lemah dan yang lainnya, supaya mereka bisa menerima dan mencari hukum-hukum syara’. Ini upaya yang wajib dilakukan. Namun pendapat yang memberikan kemudahan tersebut harus memiliki dasar yang kuat yang menopangnya berupa nash atau qiyas atau pendapat imam ahli fikih yang diikuti.

Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang membolehkan seorang wanita bepergian haji dengan teman-teman yang dipercaya tanpa mahram.[4]

6. Kecenderungan untuk memperberat dan melarang tanpa memperhatikan maqashid syari'at.
Dengan asumsi in lebi hati-hati dan cocok dengan keadaan sebagian kaum Muslimin yang sering meremehkan dan tidak mau melaksanakan tugas-tugas syari'at. Terkadang sikap meremehkan ini pada akhirnya bisa menyeret seseorang meninggalkan aturan-aturan agama sama sekali.

Di antara contohnya adalah fatwa sebagian Ulama yang menyatakan tidak boleh melempar jumrah di malam hari, juga fatwa yang menyatakan bahwa bayi tabung hukumnya haram secara mutlak.

7. Berhujjah hanya dengan fatwa Jamâ`i dan menjadikannya tanpa merasa butuh dengan yang lain.
Yang dimaksud dengan fatwa` Jamâ`i adalah semua fatwa dan ketetapan ataupun penjelasan dikeluarkan oleh sebagian al-Majâmi' (konferensi) dan lajnah ilmiyah. Tetapi terkain dengan hal ini, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:

a. Fatwa yang bersumber dari banyak Ulama lebih pantas untuk diterima dibandungkan fatwa perorangan.

b. Harus membedakan antara fatwa yang disampaikan mayoritas Ulama namun masih ada Ulama yang menyelisihinya dengan masalah Ijmâ'. Juga harus diketahui bahwa fatwa jama’i tidak sampai pada martabat ijmâ' , baik dalam peran sebagai hujjah dan kesepakatan.

c. Kelemahan fatwa secara berjama`ah yaitu terkadang fatwa itu muncul karena tekanan fihak tertentu dan biasanya tidak memiliki sarana informasi yang memadai.

d. Terkadang pendapat yang dikeluarkan konferensi (al-Majma') adalah pendapat minoritas, walaupun dikeluarkan dengan kesepakatan mereka semuanya. Sebab tidak semua Ulama dunia bisa ikut serta dalam konferensi tersebut.

e. Di antara ide yang sering dilontarkan yaitu ide pembentukan perkumpulan para Ulama dunia yang independen, tidak berada di bawah satu kekuatan atau satu pemerintahan. Perkumpulan ini yang akan mempelajari dan meneliti masalah-masalah kontemporer yang terjadi di tengah umat dengan tanpa tekanan dari fihak manapun.

8. Berhujjah dengan fatwa perorangan, mengamalkannya serta pasrah kepadanya.
Yang dimaksud dengan fatwa perorangan (al-Iftâ` al-Fardi) adalah fatwa dan ketetapan yang keluar dari seorang Ulama.

Tetapi dalam hal in ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan:
a. Fatwa perorangan adalah penyempurna dan sekaligus unsure pembentuk fatwa kelompok (al-Iftâ al-Jamâ'i).

b. Kebenaran terkadang ada pada satu individu bukan pada mayoritas. Ini adalah perkara yang sudah diakui oleh syara' dan nyata.

c. Sebagian fatwa mufti tidak dianggap. Karena, terkenal suka meremehkan suatu permasalahan dan mengikuti hawa nafsu.

d. Pendapat seorang mufti atau lebih, kadang tersiarkan dan tersebar luas hingga orang menyangka ini adalah pendapat mayoritas, padahal sebenarnya tidak demikian.

Demikian sebagian kekeliruan yang nampak dalam banyak fatwa kontemporer, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MENGENAL FIKIH NAWAZIL

Fiqh nawâzil terangkai dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu fiqh dan nawâzil. Sebelum kita mengetahui makna fiqh nawâzil setelah dirangkai menjadi satu dan menjadi sebuah nama, maka terlebih dahulu kita sebaiknya mengetahui makna dua kata tersebut.

Fiqh, secara bahasa berarti memahami, sedangkan menurut istilah artinya memahami hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan amal perbuatan berdasarkan dalil-dalil rinci dari al-Qur'ân dan hadits.

Nawâzil adalah bentuk plural dari kata nâzilah yang memiliki makna asal "yang turun atau yang mampir." Namun kata ini sudah menjadi sebuah nama bagi bencana yang menimpa. Dari sini kemudian kita kenal qunut nâzilah.

Kemudian kata ini terkenal penggunaannya di kalangan Ulama ahli fiqh untuk menggambarkan suatu permasalahan baru yang terjadi di tengah umat dan menuntut adanya ijtihâd dan penjabaran hukum.

Makna ini terfahami dari perkataan beberapa Ulama, misalnya, perkataan Ibnu Abdil Barr rahimahullah, dalam kitab Jâmi' Bayânil 'ilmi wa fadhluhu :

بَابُ اجْتِهَادِ الرَّأْيِ عَلَى الأُصُوْلِ عِنْدَ عَدَمِ النُّصُوْصِ فِي حِيْنِ نُزُوْلِ النَّازِلَةِ

Sebuah bab tentang berijtihâd dengan akal berdasarkan kaidah-kaidah pokok saat tidak ada (keterangan) dari nash-nash (al-Qur'ân dan Sunnah) ketika nâzilah (permasalahan baru yang menuntut ijtihâd dan penjabaran hukum-pent) terjadi.

Juga perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan salah satu sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

... وَفِيْهِ اجْتِهَادُ الأَئِمَّةِ فِي النَّوَازِلِ وَرَدُّهَا إِلَى الأًصُولِ

… dalam hadits ini terdapat (pelajaran) tentang kebolehan para pemimpin melakukan ijtihad pada masalah-masalah baru dan mengembalikan permasalahan ini kepada kaidah-kaidah pokok[1]

Juga Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : "Ini sebuah fasal yang menjelaskan bahwa para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ijtihâd pada nawâzil (perkara-perkara baru yang sedang terjadi)[2] .

Makna inilah yang diinginkan dalam kalimat fiqih nawâzil.

Jadi fikih nawâzil adalah

مَعْرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ لِلْوَقَائِعِ الْمُسْتَجِدَّةِ الْمُلِحَّةِ

memahami hukum-hukum syari'at terkait dengan kejadian-kejadian baru yang mendesak.

Kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa sebuah permasalahan dapat dikategorikan nawâzil apabila :

a. Sudah terjadi. Ini berarti permasalahan yang belum terjadi tidak bisa dikategorikan nawâzil. Namun permasalahan yang ditengarai besar mungkinan akan terjadi sebaiknya dibahas dan diperhatikan.

b. Baru, maksudnya permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya, tidak bisa dimasukkan nawâzil.

c. Syiddah, maksudnya permasalahan ini menuntut segera ditetapkan hukum syari'at [3] . Kejadian-kejadian baru tidak dikategorikan nawâzil jika tidak menuntut dan memerlukan hukum syari'at. Misalnya kejadian-kejadian baru, yang hanya memerlukan analisa tenaga medis, seperti keberadaan penyakit baru. Juga terkait dengan kekacauan ekonomi dan suhu politik suatu negara. Kedua contoh ini tidak bisa dikategorikan nawâzil.

Juga, kejadian-kejadian baru yang tidak terjadi di tengah masyarakat Muslim. Ini juga tidak bisa dikategorikan nawâzil, kecuali jika jika dikhawatirkan akan terjadi di tengah masyarakat Muslim.

(Diangkat oleh Ahmad Nusadi dari kitab Nawazil 1/18-25 karya Muhamamad Husain al-Jizani)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarah Shahîh Muslim 1/213. perkataan ini disebutkan saat menjelaskan sabda Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ...

[2]. I'lâmul Muwaqqi'în 1/203
[3]. Yang perlu diperhatikan


SEBAB TERJADINYA NAWAZIL


Setiap zaman memiliki nawâzil (kasus-kaus baru) yang khusus. Pada zaman ini perkembangan nawâzil begitu cepat. Kemungkinan penyebabnya kembali kepada dua perkara:

Pertama: Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Tekhnologi.
Abad ini telah terjadi revolusi teknologi yang sangat besar. Dengan adanya penemuan tenaga listrik maka sarana-sarana transportsi-pun berubah, yaitu dengan diciptakan mobil, pesawat terbang dan kereta api. Berkembang pula sarana-sarana komunikasi, informasi, dan pengajaran; ditandai denan pengadaan telepon, radio, komputer, parabola dan internet. Dikembangkan pula alat-alat medis modern yang belum dikenal sebelumnya, Sebagaimana juga ditemukan juga berbagai nutrisi dan obat-obat baru yang bisa dipergunakan pada manusia, hewan dan tanaman. Berbagai perkembangan yang mengagumkan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya nawâzil dan masalah-masalah yang muncul.

Kedua: Penyimpangan.
Yaitu sikap manusia yang kurang konsekwen dalam menjalankan hukum-hukum agama. Akibat dari perbuatan mereka yang kurang konsekwen itu atau bahkan ini merupakan wujud dari tidak konsekwenan mereka yaitu bermewah-mewah dalam berbagai kenikmatan seperti ; makanan, perumahan, kendaraan, pakaian; tersibukkan dengan berbagai permainan, usaha memperbanyak pemasukan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Kondisi seperti ini telah diisyaratkan dalam perkataan ‘Umar bin Abdul Azîz rahimahullah : “Permasalahan-permasalahan akan bermunculan seukuran dengan penyimpangan yang dilakukan manusia”.[1]

HUKUM IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd dalam nawâzil hukumnya wajib kifayah bagi umat ini. Namun terkadang menjadi wajib ‘ain bagi orang-orang (Ulama-pent) yang ditugaskan untuk mengkaji berbagai nawâzil. Bagi orang-orang ini, mengkaji nawazil hukumnya wajib ‘ain pada mereka itu.[2]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas Ulama tidak suka memikirkan masalah-masalah yang belum terjadi, dan (membenci) memperpanjang pembicaraan tentang sesuatu yang belum terjadi. Mereka menilainya sebagai perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.[3]

Tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ad-Dârimi di dalam Sunannya, 1/49, dari Wahb bin ‘Umair, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَعْجَلُواْ بِالْبَلِيَّةِ قَبْلَ نُزُوْلِهَا فَإِنَّكُمْ إِنْ لاَ تَعْجَلُوْهَا قَبْلَ نُزُوْلِهَا لاَ يَنْفَكُّ الْمُسْلِمُونَ وَفِيهِمْ إِذَا هِيَ نَزَلَتْ مَنْ إِذَا قَالَ وُفِّقَ وَسُدِّدَ وَإِنَّكُمْ إِنْ تَعْجَلُوْهَا تَخْتَلِفْ بِكُمْ اْلأَهْوَاءُ فَتُأْخَذُوْا هَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ

Janganlah kamu tergesa-gesa (membicarakan) suatu masalah sebelum masalah itu terjadi ! Sesungguhnya jika kamu tidak tergesa-gesa (membicarakan) masalah sebelum masalah itu terjadi, maka ketika masalah itu terjadi, di kalangan kaum Muslimin itu akan selalu ada orang yang diberi taufiq dan benar jika dia berbicara. Namun jika kalian tergesa-gesa (membicarakan) masalah itu (sebelum terjadi -pent), maka hawa nafsu-hawa nafsu akan menjadikan kalian saling berselisih. Kalina akan diseret ke sana dan ke sana”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke arah depan, ke kanan, dan ke kiri”.

Oleh karena itu di antara syarat-syarat permasalahan yang boleh diijtihâdkan, adalah masalah-masalah tersebut telah terjadi di kalangan kaum Muslimin. Sedangkan masalah-masalah yang belum terjadi, maka terkadang melakukan ijtihâd pada masalah itu hukumnya makruh, dan terkadang haram. Demikian pula tidak wajib mengkaji masalah-masalah yang hanya terjadi di tengah masyarakat kafir, seperti masalah bank sperma.

URGENSI IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd pada nawâzil zaman sekarang ini terlihat urgensinya pada point-point berikut ini :

1. Menjelaskan bahwa syari’at ini cocok untuk setiap zaman dan tempat, dan menjelaskan bahwa syari’at Islam ini merupakan syari’at yang kekal serta bisa memberikan solusi yang mujarab terhadap semua problem dan masalah yang rumit.

2. Membangkitkan dan mengingatkan umat ini terhadap bahaya berbagai masalah yang menimpa kaum Muslimin. Juga hal-hal yang sangat bertentangan dengan kaedah-kaedah dan tujuan-tujuan agama Islam. Dan Sangat disayangkan bahwa permasalahan-permasalahan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam sedangkan hakekat (hukum) syari’at terhadap permasalahan-permasalahan itu telah hilang dari mayoritas kaum Muslimin di zaman ini.

3. Memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul tersebut merupakan tuntutan dan seruan yang tegas menuju penerapan hukum syari’at di dalam seluruh sisi kehidupan. Hal itu merupakan penerapan praktis yang akan menampakkan keindahan Islam dan menunjukkan ketinggian aturan-aturannya.

4. Adanya kebutuhan untuk mewujudkan informasi lengkap berdasarkan petunjuk syari’at Islam yang mencakup permasalahan-permasalahan zaman ini dan masalah-masalah yang baru.

5. Tidak diragukan bahwa dengan memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul di setiap zaman tersebut merupakan tugas utama dalam tajdîd agama (pembaharuan menuju syari’at), dan menghidupkan rambu-rambu tajdîd yang telah pudar.

(Diterjemahkan dari kitab Fikih Nawazil 1/23-34 oleh Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




KEBATILAN PASTI AKAN TERSINGKIR

Oleh
Ustadz Arief B. bin Usman Rozali


أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. [Ar Ra'd/13:17]

Para ulama berselisih pendapat tentang tempat diturunkannya surat Ar Ra'd yang mulia ini. Di antara mereka ada yang mengatakan makkiyah, ada yang mengatakan madaniyah, ada yang mengatakan sebagian besarnya makkiyah kecuali beberapa ayat, dan ada pula yang mengatakan sebagian besarnya madaniyah kecuali beberapa ayat [1].

PENJELASAN BEBERAPA ULAMA TENTANG AYAT DI ATAS
A. Penjelasan al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
Beliau berkata:[2]
Ayat yang mulia ini mengandung dua perumpamaan, satu untuk menggambarkan kekokohan dan keabadian al haq, dan satu untuk menggambarkan kebinasaan dan kefanaan al bathil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ

"Allah telah menurunkan air dari langit …".

Maksudnya adalah air hujan.

Dan firman-Nya:

فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

"…maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya…".

Maksudnya, setiap lembah menampung air hujan tersebut sesuai dengan ukurannya. Jika lembah tersebut besar (luas), maka bisa mampu menampung air dalam jumlah yang banyak. Dan jika lembah tersebut kecil (sempit), maka akan menampung air hujan tersebut sesuai ukurannya. Semua ini, merupakan isyarat terhadap hati manusia dan perbedaannya. Diantara hati manusia, ada yang dapat menampung ilmu yang banyak, dan di antara hati manusia, ada pula yang tidak dapat menampung ilmu dalam kapasitas yang banyak. Bahkan ia sempit untuk menampungnya.

Adapun firman-Nya:

فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا

"…maka arus (air) itu membawa buih yang mengambang…".

Maksudnya; arus air yang mengalir di lembah-lembah tersebut membawa buih-buih yang mengambang di atasnya. Inilah perumpamaan pertama.

Dan firman-Nya:

وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ

"…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…".

Inilah perumpamaan kedua. Yaitu, dari apa-apa yang mereka lebur di dalam api seperti emas atau perak.

Firman-Nya:

ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ

"… untuk membuat perhiasan…".

Maksudnya, tatkala mereka melebur logam-logam untuk membuat perhiasan dari perunggu atau besi, maka akan mengambanglah sisa-sisa (karat) dari logam tersebut sebagaimana buih-buih tadi mengambang di atas aliran air.

Firman-Nya:

كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

"…Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil…".

Maksudnya. apabila keduanya berkumpul, maka sesuatu yang bathil tidak akan bertahan dan abadi. Sebagaimana buih-buih itu tidak akan pernah menetap berada di atas air. Dan sebagaimana sisa-sisa (karat) tidak akan pernah bercampur bersama logam yang asli ketika dilebur dalam api, bahkan akan hilang dan habis.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً

"…Adapun buih itu, maka dia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya…".

Maksudnya, tidak dapat dimanfaatkan lagi. Buih tersebut akan berpencar-pencar dan berada di tepi-tepi lembah, atau menyangkut pada pepohonan, atau dihembus oleh angin. Demikian pula sisa-sisa (karat) logam, baik berasal dari emas, perak, perunggu, atau pun besi, maka ia akan hilang dan binasa. Tidak tersisa suatu apapun juga. Yang tersisa hanyalah aliran air atau logam-logam yang dapat dimanfaatkan.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

"…adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan".

Juga sebagaimana firman-Nya :

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [al-'Ankabût/29:43].

Sebagian ulama salaf mengatakan : "Jika aku membaca (ayat yang berisi) perumpamaan dalam Al Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, aku menangisi diriku sendiri. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

…dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu [al-'Ankabût/29:43]

Kemudian, beliau (Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ) menjelaskan penafsiran ayat di atas dari 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhu , dan menjelaskan pula bahwa tafsir serupa diriwayatkan dari Mujâhid, al-Hasan al-Bashri, 'Athâ', Qatâdah, dan para ulama Salaf lainnya. Sebagaimana yang juga telah dibawakan sebelum beliau dengan sanad-sanadnya oleh Imam ath-Thabari t di dalam tafsirnya.[3]

B. Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Setelah membawakan ayat di atas, beliau mengatakan :[4]
(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan ilmu dengan air yang turun dari langit. Karena dengan ilmu, hati akan hidup, sebagaimana badan akan hidup dengan air. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan hati dengan lembah. Karena hati merupakan tempat ilmu, sebagaimana lembah merupakan tempat air. Maka, di antara hati (manusia), ada yang mampu menampung ilmu yang banyak, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang dapat menampung air yang banyak. Dan di antara hati (manusia), ada yang hanya mampu menampung sedikit ilmu, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang hanya dapat menampung sedikit air.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjelaskan bahwa pada air tersebut terdapat buih yang mengambang setelah bercampur-baur dengannya. Namun, lama-kelamaan menipis dan menghilang. Dan hal-hal yang masih bermanfaat bagi manusia, ia tetap eksis di bumi. Maka, demikianlah keadaan hati, ia pun dapat tercampuri oleh syahwat dan syubhat. Akan tetapi, tatkala yang tumbuh berkembang dalam hati tersebut adalah al-Haq (kebenaran), maka syahwat dan syubhat pun akan sirna. Dan yang tersisa di dalam hati hanyalah keimanan dan al-Qur'ân yang bermanfaat bagi pemilik hati tersebut dan juga orang lain.

Firman-Nya:

ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil…

Penggalan ayat ini, merupakan perumpamaan yang kedua -setelah perumpamaan yang pertama di atas-. Dan ini merupakan perumpamaan dengan api. Perumpamaan pertama menunjukkan kehidupan, dan perumpamaan yang kedua menunjukkan cahaya yang menerangi. Terdapat perumpamaan yang semisal dengan dua perumpaan di atas, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dalam surat Al Baqarah/2, ayat 17-19:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ ۚ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. .

Maka, adapun orang kafir, sesungguhnya ia berada di dalam kegelapan kekufuran dan kesyirikan. Ia tidak hidup. Seandainya pun ia hidup, kehidupannya bagaikan kehidupan hewan ternak. Sungguh, ia kehilangan kehidupan ruh yang hakiki dan tinggi, yang sebabnya adalah keimanan. Dengan keimanan itulah seseorang dapat merasakan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para Rasul sebagai perantara antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hamba-Nya, dalam menerangkan kepada mereka apa-apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi mereka. Para Rasul telah menyempurnakan kehidupan umat mereka masing-masing, baik yang berkaitan dengan kehidupan mereka di dunia, maupun di akherat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus mereka semua agar mereka mengajak umat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , menerangkan jalan yang dapat menyampaikan umat mereka kepada-Nya, dan menjelaskan keadaan umat mereka setelah sampai kepada-Nya.

C. Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
Beliau -setelah menjelaskan ayat di atas, dengan keterangan yang sangat mirip dan serupa dengan penjelasan gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,- berkata:[5]

Maksud -dari semua penjelasan di atas-, bahwa kebaikan sebuah hati (seseorang), kebahagiaan, dan keberuntungannya bergantung pada dua pokok perumpamaan di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya), dan supaya pastilah (ketetapan azdab) terhadap orang-orang kafir. [Yâsîn/36:69-70].

Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa mengambil manfaat dan peringatan dari al- Qur'ân, hanyalah dapat dilakukan oleh orang yang hidup hatinya. Hal ini seperti (yang ditunjukkan) firman-Nya pada ayat yang lain:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. [Qâf/50:37].

Dan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…". [al-Anfâl, 8:24].

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa kehidupan kita hanyalah tergantung pada apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya serukan kepada kita, berupa ilmu dan iman. Sehingga dari sini, dapat diketahui bahwa kematian sebuah hati dan kebinasaan adalah dengan sebab hilangnya ilmu dan iman itu (dari hatinya).

BEBERAPA HADITS SHAHIH YANG BERKAITAN DENGAN TAFSIR AYAT DI ATAS DAN PENJELASAN ULAMA TERHADAPNYA
A. Hadits Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ، قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانُ، لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْساً وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ

Sesungguhnya perumpamaan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu, bagaikan hujan deras yang menimpa bumi. Maka, di antara bumi ada yang baik, menyerap air dan menumbuhkan pepohonan kecil dan rerumputan yang banyak. Dan di antara bagian bumi, ada yang keras (gersang), ia menyerap air. Allah pun memberikan manfaat kepada orang-orang dengannya. Mereka dapat minum darinya, mengambil air darinya, dan menggembalakan (hewan ternak mereka). Dan di antara bumi, ada pula yang bebatuan keras, tidak menyerap air dan tidak pula menumbuhkan pepohonan kecil. Itulah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah, Allah memberikan manfaat kepadanya dengan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya. Maka ia pun mengetahui (petunjuk dan ilmu tersebut) dan mengajarkannya. Dan itulah pula perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali (terhadap petunjuk dan ilmu tersebut), dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.[6]

Setelah Imam Ibnul Qayyim t menjelaskan hadits di atas dan membagi manusia menjadi tiga golongan, beliau berkata:[7]

"Hadits yang mulia ini mengandung peringatan bahwa ilmu sangatlah mulia, demikian pula mengajarkannya. Ilmu begitu agung pengaruhnya. Sekaligus mengandung peringatan bahwa orang yang bukan ahlinya akan celaka dan sengsara. Hadits yang mulia ini pun menyebutkan golongan-golongan manusia. Di antara mereka ada yang celaka, dan di antara mereka ada pula yang bahagia. Dan yang bahagia di antara mereka, ada yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ada pula yang pertengahan (dalam kebaikan).[8]

Pada hadits ini juga terdapat dalil bahwa kebutuhan hamba akan ilmu seperti kebutuhan mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Dan mereka, jika kehilangan ilmu ini, maka mereka bagaikan bumi yang kehilangan hujan. Imam Ahmad t berkata: "Kebutuhan manusia akan ilmu lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari hanya sekali atau dua kali saja, sedangkan ilmu dibutuhkan sejumlah nafas".

Kemudian Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan ayat ke-17 dari surat Ar Ra'd di atas.

B. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلِيْ وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَاراً، فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا، وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُوْنَ مِنْ يَدِيْ

Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seorang yang menyalakan api, lalu mulailah belalang-belalang dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu, sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut. Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka, namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku[9]

BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT [10]
1. Dianjurkan menyampaikan perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman.
2. Kokohan dan kelanggengan al-Haq (kebenaran), dan kehancuran kebatilan merupakan ketetapan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala
3. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang-orang yang tunduk patuh untuk beriman dan melakukan ketaatan.
4. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang tidak mau tunduk patuh

Demikian, mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menambah ilmu, iman, dan amal shalih kita. Wallâhu A'lamu bish Shawâb .

Maraji’ & Mashadir:
1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Mâlik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahîh al-Bukhâri, Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin al Mughîrah al Bukhâri (194-256 H), tahqîq Musthafa Dîb al Bugha, Dâr Ibni Katsir, al Yamâmah, Beirut, Cet III, Th 1407 H/ 1987 M.
3. Shahih Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi an-Naisaburi (204-261 H), tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Tafsir ath-Thabari (Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmud Syâkir, Daar Ihyâ at Turâts, Beirut, Cet. I, Th. 1421 H/ 2001 M.
5. Zâdul Masîr, Abu al Faraj Jamâluddin 'Abdurrahmân bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzi al Baghdâdi (508-597 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. III, Th. 1404 H/ 1984 M.
6. Tafsir Ibnu Katsîr (Tafsir Al Qur’aan Al ‘Azhîm), Abu al Fida’ Ismâil bin Umar bin Katsîr (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Dâr ath Thayibah, Riyâdh, Cet I, Th 1422 H/2002 M.
7. Aisarut Tafâsir li Kalâmil 'Aliyyil Kabîr, Abu Bakar Jabir al Jazâiri, Maktabah al-Ulum wal Hikam, Madinah Munawwarah, KSA, Cet VI, Th 1423 H/ 2003 M.
8. An Nihâyah Fi Gharîbil Hadîtsi wal Atsar, Imam Majdud Dîn Abi as Sa’âdat al-Mubârak bin Muhammad al-Jazari Ibnu al-Atsîr (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Dârul Ma’rifah, Beirut-Libanon, cet I, th 1422 H/ 2001 M.
9. Majmû'ul Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), takhrij 'Aamir Al Jazzâr dan Anwar Al Bâz, Maktabah Al Ubaikan, Riyâdh-KSA, Cet I, Th 1419 H/ 1998 M.
10. Ighâtsatul Lahfân fî Mashâyidisy Syaithân, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), takhrîj Muhammad Nâshiruddîn al Albâni (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Dâr Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
11. Miftâhu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), muraaja'ah Syaikh Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid (1429 H), tahqiq 'Ali bin Hasan bin 'Ali al-Halabi, Dâr Ibn al Qayyim, Riyâdh-KSA, & Dâr Ibn 'Affân, Kairo-Mesir, Cet. I, Th. 1425 H/ 2004 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




TREND LABEL ISLAMI

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari



Akhir-akhir ini sering kita lihat label Islami di tengah masyarakat kita. Fenomena ini begitu memikat sehingga menyilaukan pandangan sebagian kaum muslimin khususnya. Segala sesuatu diberi label Islami untuk menegaskan kehalalannya. Muncullah bank syariat, musik islami, sinetron islami, nasyid islami, film islami, kosmetika islami, seni islami, lagu islami, sandiwara islami, kartun islami, novel islami, teater islami, pemikiran islami, wawasan islami dan lain sebagainya.

Penggunaan label-label berbau Islam ini seakan menjadi aspek legal bagi barang atau produk tersebut. Namun sejauh manakah kebenarannya? Itulah yang masih perlu dikaji lagi. Sebab, pada umumnya pihak-pihak yang menyematkan label itu tidak begitu mengerti hukum syariat, sehingga kebenaran dan kecocokannya dengan syariat masih menjadi tanda tanya. Sebagaimana yang sudah dimaklumi bersama, bahwa label buatan manusia tidak bisa dijadikan barometer isi. Bisa jadi labelnya halal tapi isinya haram, demikian pula sebaliknya. Dan label tentunya bukan menjadi jaminan isi dan tidak bisa merubah hakikat isi.

Inilah masalah yang akan kita bicarakan di sini.

Barang-barang atau apa saja yang diberi label Islami ini tidak lepas dari dua bentuk :

Pertama : Perkara-perkara duniawi yang hukum asalnya adalah mubah. Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan duniawi ini adalah mubah sampai ada dalil syariat yang melarangnya.

Kedua : Perkara-perkara ibadah yang telah ditetapkan hukumnya dalam syariat. Kaidah syari’at menyatakan bahwa hukum asal untuk urusan ibadah adalah dilarang sampai ada dalil syariat yang menyuruhnya.

Untuk bentuk pertama, label Islami di sini memberi makna bahwa barang atau benda itu adalah mubah atau halal atau memberikan penegasan bahwa ini tidak terlarang dalam syariat, misalnya pakaian Islami, makanan Islami, minuman Islami, pengobatan islami, kosmetika islami, butik islami, jilbab gaul dan sejenisnya.

Untuk bentuk kedua, label Islami di sini memberi makna bahwa perkara itu dianjurkan atau diwajibkan atau menegaskan bahwa ada perintah syariat padanya atau sejalan dengan perintah syariat, misalnya dzikir islami, doa islami, ziarah islami, umrah islami, haji islami, jihad islami dan semisalnya.

Barangkali bentuk yang kedua ini jarang terdengar, yang sering kita dengar adalah bentuk yang pertama. Istilah yang dipakai kadang kala dengan menggunakan kata Islam itu sendiri, seperti contoh di atas, atau dengan menggunakan embel-embel syariat, seperti bank syariat, atau rumah gadai syariat, simpan pinjam syariat dan sejenisnya. Atau dengan salah satu simbol dan identitas islam, misalnya Ka’bah, Mekkah, Madinah dan sejenisnya, contohnya adalah minuman dengan label mecca cola.

Indikasi yang ada menunjukkan bahwa trend ini hanyalah sebatas mencari popularitas. Gejala ini biasanya bersifat kontemporer. Masyarakat kita sekarang ini tengah dihadapkan pada suatu gejala yang disebut budaya pop atau pop culture. Sikap latah adalah salah satu ciri khasnya. Dan budaya pop ini ternyata berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, dan kaum muslimin merupakan pangsa pasar terbesarnya. Bahkan wacana ini semakin menguat dalam konteks keagamaan. Gejala ini bisa dilihat dari semakin maraknya trend-trend islami yang muncul bak jamur di musim hujan.

Umat Islam Indonesia dikenal dengan sensitifitas keislamannya. Mereka sangat sensitif dengan bentuk-bentuk pengemasan Islam yang sifatnya khas. Sehingga dengan mudahnya trend ini mendapat tempat di hati sebagian umat Islam di sini. Apalagi mendapat kesempatan untuk diekspos media massa, baik berupa media cetak maupun elektronik yang semakin meluaskan pengaruhnya. Tentunya trend islami ini akan mudah diterima oleh kalangan masyarakat yang mayoritas muslim. Ini tentunya peluang yang sangat menguntungkan bagi orang yang berpikiran bisnis. Maka trend Islami inipun berubah menjadi budaya massa. Seiring dengan itu, arus kapitalisme pun mulai mempengaruhi trend-trend budaya massa tadi. Mereka berasumsi bisa memetik keuntungan yang besar dari fenomena ini. Sehingga trend-trend islami ini menjadi komoditas yang menggiurkan bagi mereka. Akhirnya simbol-simbol agamapun dijual atau dibisniskan dan menjadi stok kebutuhan pasar.

Dari situ arahnya bisa ditebak, trend islami ini hanya untuk memuaskan konsumsi pasar yang haus dengan fenomena seperti ini disebabkan kejenuhan mereka dengan modernitas atau sekedar mencari solusi alternatif. Pasar lebih dikedepankan daripada aspek halal haramnya. Sementara nama syariat hanyalah kulit tanpa isi. Maka dari itu sebagian besar label islami ini ternyata tidak islami bahkan jauh sekali dari ruh Islam, bahkan jelas-jelas dilarang oleh Islam. Hal ini akan nampak jelas bila kita tilik satu persatu.

Sebagai contoh munculnya fenomena jilbab gaul yang dianggap sebagai busana Muslimah yang islami. Penggunaan kata jilbâb mengesankan bahwa busana ini adalah busana islami. Namun kalau dilihat dari syarat-syarat dan kriteria jilbâb yang syar’i bagi wanita jelas jauh panggang dari api. Sebutan yang tepat untuk kerudung gaul seperti ini adalah berjilbab tapi telanjang. Bayangkan, seorang muslimah mengenakan jilbâb yang sekedar melilit di leher sementara bagian dada dibiarkan terbuka, dipadu dengan dandanan modis, celana street dan baju sedemikian ketat, hingga setiap lekuk dan tonjolan tubuhnya terbentuk, bagaimana kita harus menilainya? Itulah fenomena yang kita saksikan.

Jilbab gaul seperti ini justeru memunculkan degradasi moral secara berkesinambungan yang tak dapat dihindari. kenapa demikian ? Karena jilbâb gaul hanya dijadikan trend oleh kawula muda. Lebih parah lagi, mereka merasa sudah menutup aurat dengan benar sehingga lebih sulit mengajak mereka untuk mengenakan jilbâb syar’i daripada wanita yang memang pada dasarnya belum mengenakan jilbâb sama sekali.

Kesalahpahaman tentang makna dan fungsi jilbâb yang sesungguhnya ini diakibatkan oleh banyak hal :
Pertama : Maraknya tayangan–tayangan televisi yang kurang mendidik.
Kedua : Minimnya pengetahuan seorang muslimah terhadap nilai–nilai Islam sebagai akibat kurangnya pendidikan agama di sekolah–sekolah umum.
Ketiga : Kegagalan fungsi keluarga.
Keempat : Peran para desainer yang tidak memahami dengan benar prinsip pakaian Islam.

Demikian pula gebyar musik, lagu dan nasyid islami yang marak muncul belakangan ini, bahkan di Amerika sekarang rap islami sedang digandrungi oleh anak-anak muda. Kebanyakan para pelakunya tidak mengetahui bahwa Islam melarang musik. Para Ulama Islam bahkan telah menulis buku berkenaan dengan larangan musik dan alat-alat musik. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh al-Allâmah Ibnul Qayyim t yang berjudul Kasyful Ghithâ’ ‘an Hukmi Samâ’il Ghinâ’[1] . Dalam buku itu, beliau t menyebutkan kesepakatan imam madzhab yang empat dalam masalah ini. Dalam buku itu bahkan Ibnul Qayyim t menyatakan bahwa musik-musik yang dikatakan bernafaskan islam itu justeru lebih berbahaya daripada jenis musik lainnya. Karena pembubuhan kata ‘islami’ di situ mengesankan bahwa hal itu boleh menurut syari’at Islam, padahal tidak.

Demikian pula menjamurnya bank syariat, pelabelan syariat di sini mengesankan bahwa semua sistem dan tata cara yang berlaku di dalamnya sudah sesuai dengan syari’at. Namun benarkah demikian ?

Akhir-akhir ini juga marak trend novel islami. Bermunculanlah buku-buku novel yang katanya bernafaskan Islam dengan menjual cinta! Para pembaca mengira bahwa isi novel tersebut menggambarkan sosok pribadi dan suasana yang islami. Novel-novel itu menyuguhkan kisah yang sejalan dengan harapan pembacanya yang mengidolakan nilai-nilai Islam. Dalam waktu singkat ia menjadi trend dan menjelma jadi kehebohan massal. Barangkali maksud penulis adalah menanamkan nilai-nilai agama tertentu. Namun faktanya bukan itu yang ditangkap oleh pembaca. Mereka lebih tertarik dengan anak muda yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut. Kepribadiannya dianggap sebagai contoh bagi mereka. Maka yang tertanam dalam benak mereka adalah suguhan tentang kisah percintaan dan pacaran muda mudi model Islam!? Sinetron-sinetron, sandiwara-sandiwara dan film-film yang katanya bernafaskan Islam setali tiga uang dengan ini.

Bukankah kisah yang Allah Azza wa Jalla suguhkan bagi kita dalam al-Qur'ân dan yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup menjadi ibrah bagi kita ? Sesungguhnya orang-orang Bani Isrâil binasa ketika mereka beralih kepada kisah-kisah dan meninggalkan kitab suci mereka.

Barangkali sebagian orang melakukannya dengan tujuan untuk melaksanakan islamisasi di berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia sekarang. Bahkan hal ini dianggap sebagai parameter kebangkitan dunia Islam. Namun yang perlu dicermati apakah dalam melaksanakan tujuan ini sudah selaras dengan syariat Islam itu sendiri ? Atau justeru menjadi bumerang bagi islamisasi itu sendiri, bak senjata makan tuan ? Sehingga umat terlanjur meyakini syar’inya sebuah perkara yang ternyata tidak syar’i bahkan menyimpang jauh dari syariat. Dalam hal ini sebagian orang mungkin melatahi apa yang dilakukan oleh umat lain. Bagi mereka itulah solusinya untuk menangkal arus luar yang begitu deras menyeret kaum muslimin. Umat harus diberi solusi dan ini adalah salah satu solusinya menurut asumsi mereka. Namun niat yang baik tidak menjamin cara dan prosedur juga akan baik. Seperti perkataan salah shahabat Rasûlullâh yaitu Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu , “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi dia tidak berhasil mendapatkannya ?”

Niat yang baik harus disertai dengan cara yang baik pula sehingga hasilnya juga akan menjadi baik. Camkanlah dengan baik perkataan para Ulama’ yang menerangkan kepada kita bahwa ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla kecuali jika memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


KERUGIAN YANG HAKIKI

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari


Orang yang berakal pasti akan memilih sesuatu yang baik bukan yang buruk, mengutamakan kebahagiaan yang bersifat abadi daripada kebahagiaan sejenak. Kalaulah kita merenungi dunia dan segala isinya ini, kita pasti akan sadar dan yakin bahwa dunia dan segala isinya ini hanya bersifat sementara, tidak kekal. Kebahagiaan dan kesedihan di dunia juga bersifat sementara. Bertolak belakang dengan kebahagiaan atau kesedihan di akhirat yang semua bersifat abadi. Maka alangkah ruginya, orang yang hanya mengejar materi dan kesenangan semu di dunia, karena tidak lama lagi itu semua akan berakhir dengan kematian.

Ya Allah, jangan Engkau jadikan dunia sebagai pusat perhatian kami !

PERUMPAMAAN KESENANGAN DUNIA
Orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan dunia ini ibarat orang-orang yang berada dalam sebuah permainan yang melalaikan, tidak lama lagi permainan itu akan berakhir dan menyisakan kelelahan yang tidak berarti.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ? [al-An’âm/6: 32]

Imam al-Alûsi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah semua perbuatan yang dikhususkan hanya untuk kehidupan dunia ini seperti main-main dan senda gurau, yaitu tidak bermanfaat dan tidak tetap (kekal). Dengan penjelasan ini, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama’, amal-amal shalih yang dilakukan di dunia ini tidak termasuk (main-main dan sendau gurau), seperti ibadah dan perbuatan yang dilakukan untuk kebutuhan pokok dalam kehidupan.” [1]

JANGAN TERLENA !
Karena kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal, maka mestinya tidak ada orang yang terperdaya serta tidak menyebabkan lupa urusan akhirat. Allâh Azza wa Jalla mengingatkan kaum Mukminin agar jangan sampai urusan keluarga membuatnya lupa beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. [ al-Munâfiqûn/63: 9]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hambaNya yang beriman untuk banyak mengingatNya dan melarang mereka sibuk dengan harta serta anak-anak sampai lupa dzikir. Allâh juga memberitakan kepada mereka bahwa barangsiapa terlalaikan oleh kesenangan kehidupan dunia dan segala perhiasannya dari tujuan utama penciptaannya yaitu mentaati Rabbnya dan selalu mengingatNya, maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Yang merugikan diri mereka sendiri beserta keluarga mereka pada hari kiamat.” [2]

Kemudian Allâh Azza wa Jalla menganjurkan kaum Mukminin agar berinfaq dalam rangka taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" [al-Munâfiqûn/63:10]

Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua orang yang melalaikan kewajiban akan menyesal pada saat ajal menjemput. Dia akan meminta perpanjangan waktu walau sejenak untuk mencari keridhaanNya dan memperbaiki yang telah lewat. Tetapi itu mustahil. Segala yang sudah terjadi telah berlalu dan akan terjadi apa yang akan datang. Setiap orang akan mengungkapkan penyesalannya sesuai dengan kadar kelalaiannya”. [3]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan penyesalan orang-orang kafir dengan firmanNya:

وَأَنْذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُوا رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ نُجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ ۗ أَوَلَمْ تَكُونُوا أَقْسَمْتُمْ مِنْ قَبْلُ مَا لَكُمْ مِنْ زَوَالٍ

Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka orang-orang yang zalim berkata : "Ya Rabb kami, berikanlah tangguh kepada kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan akan mengikuti rasûl-rasûl". (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah bahwa kamu sama sekali tidak akan binasa ? [Ibrâhîm/14: 44]

Juga dalam firmanNya:

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila kematian mendatangi salah seorang dari mereka, dia berkata: "Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat melakukan amal saleh pada segala yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. [al-Mukminûn/23: 99-100]

MANUSIA YANG TIDAK PERNAH RUGI
Sebagian orang mengira, bahwa dengan beriman dia telah beruntung dan terhindar dari kerugian, meskipun tetap melalaikan kewajiban. Anggapan seperti ini tidak benar. Karena semua manusia itu merugi, kecuali yang memiliki empat sifat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran. [ al-‘Ashr/103: 1-3]

Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan menggunakan waktu yaitu malam dan siang, yang merupakan saat amal perbuatan seluruh hamba dilakukan, bahwa semua manusia itu merugi, tidak beruntung. Kerugian itu bertingkat-tingkat, ada rugi total, seperti orang yang rugi dunia dan akhirat, tidak masuk surga justru masuk neraka jahim; ada yang rugi dari satu sisi, tapi tidak dari sisi yang lain. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kerugian itu menimpa semua orang, kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat :

1. Beriman terhadap perkara yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla supaya diimani. Dan iman itu tidak akan ada kalau tidak ada ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari iman. Iman tidak akan sempurna kecuali dengan ilmu.

2. Beramal shaleh. Ini mencakup seluruh perbuatan baik, yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan hak Allâh maupun hak para hambaNya, yang wajib maupun yang sunat.

3. Nasehat menasehati dengan al-haq. Al-haq adalah iman dan amal shalih. Maksudnya mereka saling menasehati, saling menganjurkan serta saling memberikan motivasi untuk melaksanakannya.

4. Nasehat menasehati supaya tetap sabar dalam melaksanakan perbuatan taat, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat dan sabar menerima takdir Allâh yang pedih.

Dengan dua (sifat) yang pertama, seseorang bisa menyempurnakan dirinya, dan dengan dua (sifat) berikutnya, dia bisa menyempurnakan orang lain. Berhasil menyempurnakan empat sifat di atas, berarti telah selamat dari kerugian dan meraih keberuntungan yang besar.” [4]

KERUGIAN HAKIKI
Banyak orang yang bersedih dan merasa rugi ketika gagal masuk ke sekolah favorit, gagal dalam bisnis, gagal meraih cita-cita dunia dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri ini memang kerugian yang harus diantisipasi. Namun jangan lupa bahwa disana ada kerugian yang berakibat sangat fatal dengan sakit yang tak terperikan yaitu kerugian akhirat. Kerugian yang diakibatkan oleh kekufuran, kesyirikan dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang berujung di neraka dan terhalang dari surga. Inilah kerugian hakiki.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan RasûlNya supaya mengumumkan kepada manusia, bahwa agama beliau adalah mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ibadah.

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي

Katakanlah: "Hanya Allâh saja yang aku ibadahi dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". [az-Zumar/39: 14]

Selanjutnya Allâh mengancam akan menimpakan kerugian yang nyata di akhirat bagi orang-orang musyrik, orang-orang yang beribadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ ۗ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. [az-Zumar/39: 15]

Apa yang menimpa orang-orang musyrik di diakhirat merupakan kerugian yang nyata. Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan firmanNya:

لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ۚ ذَٰلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ۚ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allâh menakut-nakuti para hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku Hai hamba-hamba-Ku. [Az-Zumar/39: 16]

Masuk neraka adalah kerugian hakiki, sedangkan kesuksesan yang hakiki adalah masuk surga serta diselamatkan dari neraka. Allâh berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [Ali Imrân/3: 185]

Semoga Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan kita dari tipu daya dunia dan menjadikan kita termasuk orang-orang meraih keberuntungan yang hakiki, selamat dari kerugian sebenarnya. Hanya Allâh Tempat memohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



sumber:     http://almanhaj.or.id/