Friday, May 24, 2013

MEMAHAMI MAKNA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM ADALAH USWAH HASANAH



MEMAHAMI MAKNA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM ADALAH USWAH HASANAH

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari



Sesungguhnya nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada manusia sangat banyak. Di antara nikmat besar yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada para hamba-Nya, adalah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ

Sesungguhnya Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Ali-‘Imrân/3: 164]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan yang terbaik, memiliki budi pekerti yang paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68:4)

Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk. Beliau n bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah kesesatan. [HR.Muslim no. 864]

USWAH HASANAH ADALAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dengan penjelasan di atas, maka dalam pandangan seorang Mukmin Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan (uswah hasanah) dalam semua keadaan beliau, kecuali dalam hukum-hukum yang memang dikhususkan bagi beliau n semata.

Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-Nya:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]

Walaupun ayat ini turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan tetapi hukumnya umum meliputi keadaan kapan saja dan dalam hal apa saja. Atas dasar itu, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Ayat yang mulia ini merupakan fondasi/dalil yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar, istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan”. [Tafsir Ibnu Katsir, 6/391, penerbit: Daru Thayyibah]

Demikian juga Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan kaedah menaladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan menyatakan, “Para Ulama ushul (fiqih) berdalil (menggunakan) dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau adalah meneladani (beliau) dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang ditunjukkan oleh dalil syari’at sebagai kekhususan bagi beliau. Kemudian uswah (teladan) itu ada dua: uswah hasanah (teladan yang baik) dan uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).

Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang meneladani beliau adalah orang yang menapaki jalan yang akan menghantarkan menuju kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla , dan itu adalah shirâthâl mustaqîm (jalan yang lurus).

Adapun meneladani (mengikuti orang) selain beliau, jika menyelisihi beliau, maka dia adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Sebagaimana perkataan orang-orang kafir ketika diajak oleh para rasul untuk meneladani mereka, (namun orang-orang kafir itu mengatakan):

إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. [Az-Zukhruf/43:22]

Orang yang mengikuti uswah hasanah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan mendapatkan taufik ini hanyalah orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat. Karena keimanan yang ada padanya, demikian juga rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , dan mengharapkan pahala-Nya, serta takut terhadap siksa-Nya, (semua itu) mendorongnya untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. [Taisîr Karîmir Rahmân, surat al-Ahzâb/33:21]

PRAKTEK NYATA KAEDAH 'NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ADALAH USWAH HASANAH'
Kaedah ‘Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah uswah hasanah’ adalah kaedah yang agung yang dipratekkan oleh tokoh-tokoh umat ini, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Marilah kita perhatikan hadits berikut ini, bagaimana beliau menegur salah seorang Sahabat beliau dengan kaedah agung ini:

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ:" دَخَلَتِ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ - أَحْسِبُ اسْمَهَا خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ - عَلَى عَائِشَةَ وَهِىَ بَاذَّةُ الْهَيْئَةِ فَسَأَلَتْهَا:"مَا شَأْنُكِ ؟". فَقَالَتْ :"زَوْجِى يَقُومُ اللَّيْلَ وَيَصُومُ النَّهَارَ". فَدَخَلَ النَّبِىُّ - n - فَذَكَرَتْ عَائِشَةُ ذَلِكَ لَهُ فَلَقِىَ رَسُولُ اللَّهِ – n - عُثْمَانَ فَقَالَ :"يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا أَفَمَا لَكَ فِىَّ أُسْوَةٌ فَوَاللَّهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُودِهِ ".

Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn – menurutku namanya adalah Khaulah binti Hakîm- menemui ‘Aisyah dengan pakaian seadanya. ‘Aisyah bertanya kepadanya, "Kenapa engkau ini?" Dia menjawab, "Suamiku selalu (sibuk) sholat malam dan berpuasa di siang hari". Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, ‘Aisyah pun menyampaikan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui ‘Utsmân seraya berkata, "‘Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu? Demi Allâh, aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan orang yang paling menjaga hukum-hukumNya di antara kamu’. [HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no.1782]

Allâhu Akbar, alangkah lembutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Sahabat ini, “Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu?”

Wahai orang-orang yang menelantarkan keluarganya dengan alasan dakwah dan memikirkan umat, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”

Wahai, orang-orang yang membuat-buat ibadah sendiri, tanpa tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan hanya mengikuti seorang ustadz, kyai dan figur tertentu saja, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”

Marilah kita perhatikan kejadian berikut ini:
Sahabat 'Ubaid bin Khâalid al-Muharibi Radhiyallahu anhu berkata:

إِنِّي لَبِسُوقِ ذِي الْمَجَازِ عَلَيَّ بُرْدَةٌ لِي مَلْحَاءُ أَسْحَبُهَا قَالَ فَطَعَنَنِي رَجُلٌ بِمِخْصَرَةٍ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى وَأَنْقَى( أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ) فَنَظَرْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

Aku berada di pasar Dzil Majâz mengenakan burdah (semacam selimut) bergaris-garis hitam dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang laki-laki menekanku dengan tongkatnya, sambil berkata: “Angkatlah sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih awet dan lebih bersih. (Tidakkah pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”. Lalu aku melihatnya, ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasûlullâh, lalu aku memandang ternyata sarung beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [HR. Ahmad, no:22007; tambahan dalam kurung riwayat at-Tirmidzi dalam asy-Syamâil]

Maka, orang-orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya melebihi mata kaki, dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga melakukannya tanpa kesombongan, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi mereka?”

Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri untuk tidak isbal, beliau tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya, mendapatkan rekomendasi dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia tidak melakukannya karena sombong!

Ibnu 'Umar berkata:

مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sarungku turun, maka beliau bersabda: “Wahai 'Abdullâh, angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu 'Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim, no: 2086. Riyâdhus Shâlihîn, no: 800]

Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam berkata: bahwa Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu bercerita, "Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya memakai sarung baru, kemudian beliau bertanya: “Siapa ini?” Aku menjawab: “'Abdullâh”. Beliau bersabda: “Jika engkau 'Abdullâh, maka angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menaikkannya sehingga sampai pertengahan betis”. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar sambil bersabda: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena ke sombongan, Allâh tidak akan melihatnya pada hari Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya terkadang sarungku turun”. Maka Nabi bersabda: “Engkau tidak termasuk mereka”. [HR. Ahmad, no: 6056]

Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki, sengaja melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan rekomendasi kepada Anda bahwa anda tidak sombong! Jika Anda beranggapan diri Anda seperti Abu Bakar Radhiyallahu anhu – insan terbaik dari umat ini setelah Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!

Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau sarana menuju kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jâbir bin Sulaim Radhyiallahu anhu di bawah ini:

وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ

Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka sampai kedua mata kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya itu termasuk kesombongan, dan Allâh tidak menyukai kesombongan. [HR.Abu Dâwud, no: 4084, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

PRAKTEK SAHABAT NABI TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhujjah dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan kaedah agung ini sangat banyak, berikut beberapa permisalannya.

Marilah kita amati sikap 'Abdullâh bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang dalam riwayat berikut:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: " كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ ". فَقَالَ سَعِيدٌ : "فَلَمَّا خَشِيتُ الصُّبْحَ نَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ، ثُمَّ لَحِقْتُهُ". فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ : "أَيْنَ كُنْتَ ؟". فَقُلْتُ : "خَشِيتُ الصُّبْحَ ، فَنَزَلْتُ فَأَوْتَرْتُ ".. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ:" أَلَيْسَ لَكَ فِى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ؟" فَقُلْتُ :"بَلَى وَاللَّهِ ". قَالَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ".

Dari Sa’îd bin Yasâr, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama 'Abdullâh bin ‘Umar di suatu jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku, lalu aku mengerjakan shalat witir, kemudian aku menyusulnya". 'Abdullâh bin ‘Umar bertanya, ‘Dimana saja engkau?’ Aku menjawab,"‘Aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku) untuk mengerjakan sholat witir". 'Abdullâh bin ‘Umar berkata, "Tidakkah pada diri Rasûlullâh terdapat uswah (teladan baik) bagimu?" Maka aku menjawab, ‘Ya, demi Allâh’. 'Abdullâh bin ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat witir di atas onta’. [HR. al-Bukhari, no. 999]

Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran ketika diingatkan dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Lihatlah kisah yang menakjubkan di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ طَافَ مَعَ مُعَاوِيَةَ بِالْبَيْتِ فَجَعَلَ مُعَاوِيَةُ يَسْتَلِمُ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمَ تَسْتَلِمُ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنْ الْبَيْتِ مَهْجُورًا فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ { لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ } فَقَالَ مُعَاوِيَةُ صَدَقْتَ.

Dari Ibnu 'Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama Mu’âwiyah. Lalu Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Ka'bah). Maka Ibnu 'Abbâs berkata kepadanya, “Mengapa Anda menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab, “Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka Ibnu 'Abbâs berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata, “Engkau benar!”. [HR. Ahmad, no. 1877]

Mu’âwiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat penulis wahyu di masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan terbaik di antara umat ini, beliau tidak malu menerima kebenaran dari Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu untuk terbuka menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan untuk kembali kepada kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.

PRAKTEK ULAMA TERHADAP KAEDAH DI ATAS
Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka, generasi-generasi berikutnya pun juga berjalan di atas jalan mereka (para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan bagaimana sikap Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut ini:

Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: “Imam Mâlik rahimahullah didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdullâh, dari mana aku memulai ihrom?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat berihrom Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Lelaki tadi berkata: “Aku ingin berihrom dari masjid di dekat kubur (saja)”. Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Jangan engkau lakukan (itu), aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa?” Imam Malik rahimahullah berkata: “Apakah ada musibah yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang tidak dapat diraih oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nûr/24:63). [Riwayat al-Khathîb dalam al-Faqîh wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72]

Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Mâlik rahimahullah, yang telah memberikan contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti teladan terbaik mereka.

Dengan sedikit penjelasan dan contoh-contoh di atas maka sepantasnya kita bertanya kepada diri kita, “Sudahkan kita menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi kita, dalam seluruh sisi kehidupan?”. Jika ya, maka marilah berharap dan memohon Allâh Azza wa Jalla mencurahkan rahmat-Nya dan balasan baik di akherat. Jika tidak (belum), maka kita perlu memperbaiki diri kita ke arah yang lebih baik. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Wallâhu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MENGIKUTI SYARI’AT ALLÂH TIANG KEIMANAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنِ أَبِـيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : (( لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ )). حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ ، رَوَيْنَاهُ فِيْ كِتَابِ (الحُجَّة) بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ

Dari Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’” [Hadits hasan shahîh yang kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah[1] dengan sanad shahih]

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no.104; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no.15;

Hadits ini didha’ifkan (dilemahkan) oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fii Takhrîjis Sunnah, no.15 dan Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât, I/131, no. 166.

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Menganggap hadits ini shahîh merupakan anggapan yang jauh (dari kebenaran) karena beberapa alasan :
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad al-Marwazi rahimahullah. Kendati Nu’aim bin Hammad ini dianggap sebagai perawi terpercaya oleh sejumlah imam dan haditsnya diriwayatkan imam Bukhâri, karena para ulama hadits berbaik sangka kepadanya disebabkannya keteguhannya diatas sunnah dan ketegasannya dalam menentang para pengekor hawa nafsu (ahlul bid’ah). Karenanya, para Ulama hadits mengatakan bahwa Nu’aim keliru dan meragu pada sebagian hadits. Mereka menemukan beberapa haditsnya yang mungkar, maka mereka memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if.

Shalih bin Muhammad al-Hâfizh rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in rahimahullah yang pernah ditanya tentang Nu’aim kemudian beliau rahimahullah menjawab, “Ia tidak ada apa-apanya, namun ia pengikut sunnah.”

Shâlih berkata, “Nu’aim bin Hammad al-Marwazi menceritakan hadits dari hafalannya dan mempunyai banyak hadits mungkar yang belum disetujui.” Abu Dâwud rahimahullah berkata, “Nu’aim mempunyai dua puluh hadits yang tidak ada asalnya.”

An-Nasa-i rahimahullah berkata, “Ia perawi dha’if.” Di lain waktu beliau rahimahullah mengatakan, “Ia bukan perawi terpercaya.” Imam an-Nasâ'i juga pernah berkata, “Ia banyak meriwayatkan beberapa hadits seorang diri dari para imam terkenal, sehingga ia masuk dalam kategori perawi yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Abu Zur’ah ad-Dimasyqi rahimahullah berkata, “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits tersebut dianggap mauquf oleh para ulama.” Maksudnya, ia menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’. Abu Arubah al-Harrani rahimahullah berkata, “Masalah orang ini tidak jelas.” Abu Sa’id bin Yunus rahimahullah berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari para perawi terpercaya.” Ulama lain berkata bahwa Nu’aim bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.[2]

Sanad Nu’aim bin Hammad al-Marwazi diperdebatkan. Hadits tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi dari Hisyam. Hadits tersebut juga diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami, Hisyam dan lain-lain, berkata kepada kami. Menurut riwayat tersebut, guru ats-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami berkata kepada kami, Hisyam dan lain-lain berkata kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits tersebut dari guru yang tidak diketahui namanya dan gurunya meriwayatkannya dari perawi yang tidak dikenal. Jadi, ketidakjelasan perawi semakin bertambah dalam sanad hadits ini.

Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi ‘Uqbah bin Aus as-Sadusi al-Bashri. Ada yang mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah rahimaullah meriwayatkan haditsnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dan ada yang mengatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahun anhuma. Jadi, ada kerancuan dalam sanadnya. Ia dianggap sebagai perawi terpercaya oleh al-‘Ijli, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban rahimahullah. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin kendati mulia meriwayatkan hadis darinya.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Ia Majhul (tidak diketahui identitasnya).” Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya, “Para ulama menduga bahwa ‘Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari ‘Abdullah bin ‘Amr, namun ia mengatakan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Jika demikian, riwayat ‘Uqbah bin Aus dari ‘Abdullah bin ‘Amr terputus. Wallaahu a’lam.”[3]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini:
“Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberinya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan lihat kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykaat kepada yang beliau sebutkan membuat sebuah opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini daripada Imam an-Nawawi dan al-Baghawi. Dan kenyataannya tidak seperti itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al-Qasim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.”[4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkannya dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari penilaian Imam an-Nawawi ini dengan mengatakan, “Hadits ini tidak shahih.”

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menganjurkan agar kaum Muslimin membaca syarah Ibnu Rajab dan komentarnya terhadap derajat hadits ini dalam kitab al-Arba’iin. Sebab Ibnu Rajab rahimahullah termasuk pakar hadits. Apabila ia menilai beberapa hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi rahimahullah itu cacat, maka kita akan mengetahui alasan beliau rahimahullah melemahkannya.

Jadi kesimpulannya, HADITS INI DHA’IF (LEMAH).

Akan tetapi makna hadits ini benar, sebab hawa nafsu manusia harus mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]

Hadits shahih yang semakna dengan hadits di atas yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Tidak beriman (dengan sempuna) salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia[6]

SYARAH HADITS
Makna hadits di muka yaitu seseorang tidak akan bisa meraih keimanan yang sempurna kecuali kalau kesukaannya sudah sejalan dengan syari'at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Artinya, ia suka atau mencintai semua perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenci semua larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kandungan makna seperti ini disebutkan dibanyak tempat dalam al-Qur'ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Rabb-mu, mereka tidak (disebut) beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4: 65]

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka [al-Ahzâb/33: 36]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengecam orang-orang yang membenci apa yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan mencintai apa yang Allâh Azza wa Jalla benci. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

Yang demikian itu karena mereka membenci al-Qur'ân yang diturunkan Allâh, maka Allâh menghapus segala amal mereka [Muhammad/47: 9]

Juga firman-Nya:

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

"Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allâh dan membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allâh menghapus segala amal mereka.” [Muhammad/47:28]

Jadi, setiap mukmin wajib mencintai apa yang dicintai Allâh. Kecintaan ini menuntut mereka untuk melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allâh Azza wa Jalla . Jika cintanya bertambah, maka ia akan terdorong untuk mengerjakan yang sunnah. Seorang mukmin juga harus membenci apa yang dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala , minimal dengan kebencian yang bisa menahannya dari segala yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika rasa benci ini bertambah hingga mampu mengerem dirinya dari segala yang makruh, maka itu merupakan nilai lebih yang harus disyukuri.

Ketika menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya, "Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan semua manusia." Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia bersanding dengan cinta kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga mengaitkan cinta kepada Nabi-Nya dengan cinta kepada-Nya serta mengancam orang-orang yang mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air daripada cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ

Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya serta rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allâh dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allâh memberikan keputusan-Nya...’” [at-Taubah/9:24]

Begitu juga ketika ‘Umar Radhiyallahu anhu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak wahai ‘Umar, sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Lalu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Demi Allâh, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sekarang wahai ‘Umar”[7]

Jadi, mengedepankan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada cinta kepada diri, anak, keluarga, harta, dan lainnya merupakan sebuah kewajiban. Dan cinta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempurna kecuali dengan mentaati perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allâh Maha pengampun, Maha penyayang.” [Ali ‘Imrân/3:31]

Tanda mengedepankan cinta kepada Rasul ialah apabila terjadi pertentangan antara perintah Rasul dengan sesuatu yang dia cintai, kemudian dia lebih memilih taat kepada Rasul. Ini merupakan bukti dari pengakuan cintanya kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya, jika ia lebih mengedepankan kesenangan dunia yang ia cintai daripada mentaati Rasul, maka ia belum menunaikan kewajiban iman yang dibebankan kepadanya.”[8]

Al-Hasan rahimahullah ketika menjelaskan ayat 31 dari surat Ali ‘Imrân, beliau berkata, “Para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya kami sangat mencintai Rabb kami.’ Allâh ingin menjadikan bukti cinta kepada-Nya kemudian menurunkan ayat tersebut.”[9]

Dalam Shahîh Bukhari dan Shahîh Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِيْ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ.

Tiga perkara, apabila ada pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman; (1) Allâh dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain, (2) ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allâh, dan (3) ia benci kembali kepada kekafiran setelah Allâh menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.[10]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya manusia akan merasakan manisnya iman apabila hatinya bersih dari penyakit. Apabila hati bersih dari nafsu yang menyesatkan dan syahwat yang diharamkan, maka saat itu, hati akan merasakan manisnya iman. Sebaliknya, bila hati sakit atau kotor, maka ia tidak merasakan manisnya iman, bahkan ia merasa nyaman dengan maksiat dan hawa nafsu yang akan menyeretnya ke lembah kebinasaan.”[11]

Barangsiapa mencintai Allâh dan Rasul-Nya dengan tulus dari lubuk hati, mestinya dia mencintai semua yang dicintai Allâh dan Rasul-Nya serta membenci apa saja yang dibenci Allâh dan Rasul-Nya. Cinta ini juga menyebabkan dia ridha terhadap semua yang diridhai Allâh dan Rasul-Nya serta murka kepada semua yang dimurkai Allâh dan Rasul-Nya lalu rasa cinta dan rasa benci ini diwujudkan dengan amalan fisik. Jika amalan fisiknya bertentangan dengan itu semua, misalnya ia mengerjakan sebagian yang dibenci Allâh dan Rasul-Nya, atau meninggalkan sesuatu yang dicintai Allâh dan Rasul-Nya padahal itu wajib dan ia mampu mengerjakannya, maka itu menunjukkan cintanya kurang sempurna. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan kembali menyempurnakan cinta yang wajib.

Abu Ya’qub an-Nahrajuri rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengaku mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , namun tidak menyesuaikan diri dengan Allâh dan perintah-Nya, maka pengakuannya tidak benar. Setiap orang (yang mengaku) cinta Allâh namun tidak takut kepada-Nya berarti dia tertipu.”[12]

Salah seorang dari generasi salaf berkata,
Engkau bermaksiat kepada Allâh, padahal engkau mengaku cinta kepada-Nya?
Aku bersumpah ini buruk dalam bandingan
Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat kepada-Nya
Karena sesungguhnya pecinta itu taat kepada yang ia cintai

Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allâh dan Rasul-Nya. Allâh menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun...” [al-Qashash/28: 50]

Begitu juga bid’ah-bid’ah, ia terjadi karena cinta kepada hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada syariat. Oleh karena itu, para pelaku bid’ah dinamakan juga pengekor hawa nafsu.

Begitu juga mencintai figur-figur (tokoh-tokoh tertentu). Seharusnya kecintaan kepada figur itu diselaraskan dengan syari'at yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, orang mukmin wajib mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mencintai yang dicintai Allâh, misalnya para malaikat, para rasul, para nabi, orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang shalih secara umum. Oleh karena itu, di antara indikasi seseorang sudah merasakan manisnya iman ialah ia tidak mencintai orang lain kecuali karena Allâh, tidak menjadikan musuh-musuh Allâh sebagai teman dekat (tidak berwala kepada mereka) dan semua orang yang dibenci Allâh. Dengan demikian, dia hanya taat kepada Allâh semata. Disebutkan dalam hadits,

مَنْ أَحَبَّ للهِ، وَأَبْغَضَ للهِ، وَأَعْطَى للهِ، وَمَنَعَ للهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ

Barangsiapa cinta karena Allâh, marah karena-Nya, memberi karena-Nya serta mencegah karena-Nya, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya.[13]

Sebaliknya, barangsiapa mencintai, membenci, memberi atau tidak memberi dengan dilandasi hawa nafsu, berarti keimanannya yang wajib masih kurang. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat dan kembali mengikuti syari'at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lebih mendahulukan cinta Allâh dan Rasul-Nya, serta keridhaan Allâh dan Rasul-Nya daripada cinta hawa nafsunya dan seluruh keinginannya. Hawa nafsu maksudnya adalah kebathilan, cinta hawa nafsunya artinya cinta atau cendrung kepada kebathilan. Seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

…Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh... [Shâd/38:26]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ﴿٤٠﴾فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surga-lah tempat tinggal(nya). [an-Nâzi’ât/79:40-41]

Hawa nafsu terkadang juga diartikan cinta dan kecenderungan secara umum, termasuk kecenderungan kepada kebenaran dan kebalikannya.[14]

FAIDAH HADITS
1. Peringatan kepada manusia agar tidak menjadikan akal, kebiasaan dan hawa nafsu sebagai hukum yang melebihi syari'at yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
2. Wajib bagi manusia untuk berdalil terlebih dahulu sebelum menghukumi.
3. Manusia tidak dikatakan beriman dengan keimanan yang sempurna hingga kecintaannya selaras dengan syari'at yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
4. Wajib berhukum dengan syariat Islam dalam segala hal.
5. Kecintaan seorang terhadap apa yang Allâh dan Rasul-Nya cintai merupakan indikasi sempurnanya iman.
6. Membenci syari'at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menafikan iman, dan itu bisa berpengaruh pada asas keimanan atau pada kesempurnannya.
7. Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ini merupakan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.
8. Wajib mengedepankan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada perkataan yang lain.
9. Mencintai apa-apa yang Allâh dan Rasul-Nya benci, hukumnya haram
10. Wajib mendahulukan dalil naqli (al-Qur'an dan hadits) daripada dalil akal apabila keduanya bertentangan.
11. Tidak ada hak pilih bagi seseorang pada sesuatu yang telah diputuskan oleh Allâh dan Rasul-Nya.
12. Setiap Muslim wajib mendahulukan cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya daripada cinta terhadap anak, orang tua, harta, tanah air, dan lainnya.

MARAAJI’
1. Al-Qur'ânul Karîm dan terjemahnya.
2. Tafsîr ath-Thabari.
3. Al-Istî’âb fi Bayânil Asbâb.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim.
6. Sunan at-Tirmidzi.
7. Sunan Abu Dâwud.
8. Sunan an-Nasâ'i.
9. Sunan Ibnu Mâjah
10. Musnad Imam Ahmad.
11. Al-Mu’jamul Kabîr lit Thabarani.
12. Hilyatul Auliyâ`.
13. Fat-hul Bâri fi Syarhi Shahîhil Bukhâri, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. III, Daar Ibnil Jauzi 1425 H.
14. Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât.
15. Tahdzîbut Tahdzîb.
16. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam.
17. Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh al-‘Utsaimin.
18. Al-Fawâ'id al-Mustanbathah minal Arba’in an-Nawawiyyah, ‘Abdurrahman bin Nâshir al-Barrak.
19. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



AKAD DAN RUKUNNYA DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal yang aneh, jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu juga atau beberapa waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang melatarbelakanginya. Semua yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan semata.

Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa transaksi yang dikenal pertama kali yaitu barter tunai. Yaitu ketika butuh sesuatu, ia menukar barang miliknya dengan barang orang lain yang dia butuhkan. Kemudian transaksi ini mengalami perkembangan sesuai dengan keonsep pemikiran dan agama yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai Islam membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa.

URGENSI AKAD DALAM HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia sebagai makhluk sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang disekelilingnya. Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia dengan menciptakan alam semesta untuk mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٢﴾ وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Allâh-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang berfikir. [al-Jâtsiyah/45:12-13]

Setiap orang mendapatkan rezeki dan kemudahan yang berbeda-beda. Dan apa yang sudah menjadi milik orang, maka itu tidak boleh direbut atau diambil kecuali dengan transaksi yang dibenarkan syari'at. Khususnya yang terkait dengan pengelolaan dana (harta). Akad atau transaksi itu teramat penting. Transaksi inilah yang mengatur hubungan antar pihak yang terlibat. Transaksi itu juga yang mengikat hubungan antara kedua transaktor sejak akad dimulai sampai masa berlakunya habis.

Warisan ilmu fikih yang kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar berbagai macam akad tersebut sehingga tujuan akad bisa terealisasi dan memenuhi kebutuhan umat.

Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. [al-Mâidah/5:1]

Oleh sebab itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Antusias masyarakat luas dan respon positip mereka telah mengecoh banyak kaum Muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang Muslim, kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika tidak bertentang dengan prinsip agama dan berminat, baru ikut andil. Jika bertentangan, maka tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.

DEFENISI AKAD (TRANSAKSI)
Secara bahasa, kata “akad” berasal dari bahasa arab al-‘Aqd yang dipergunakan dalam banyak makna, yang keseluruhannya kembali ke makna ikatan atau penggabungan dua hal[1] .

Bila kita memperhatikan pernyataan dan pendapat Ulama ahli fikih seputar definisi akad, kita dapati bahwa akad itu memiliki dua makna yaitu makna umum dan makna khusus. Dalam maknanya yang umum, akad adalah semua komitmen yang ingin dilaksanakan oleh manusia dan menimbulkan hukum syar’i.[2]

Pengertian ini mencakup semua jenis komitmen, baik yang berasal dari dua pihak atau lebih seperti akad jual-beli, sewa-menyewa dan akad nikah serta yang sejenisnya; ataupun komitmen yang berasal dari satu pihak saja, seperti akad sumpah, nadzar, talak, akad memberikan hadiah, shadaqah dan lain-lainnya, termasuk komitmen pribadi untuk melaksanakan semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangan dalam agama.

Menurut para ahli tafsir, makna inilah yang terkandung dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. [al-Mâidah/5:1]

Ibnul Arabi rahimahullah menyatakan, "Ikatan transaksi (akad) terkadang berhubungan dengan Allâh, terkadang dengan manusia dan terkadang dengan lisan serta terkadang dengan perbuatan."[3]

Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memasukkan komitmen untuk membebaskan budak, akad wala’, ketaatan, nadzar dan sumpah dalam kategori akad. Bahkan beliau juga menyebut kesepakatan damai antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir sebagai akad.[4]

Pengertian akad secara umum ini digunakan para Ulama ahli fikih ketika menjelaskan hukum-hukum umum yang melekat pada suatu akad.

Sedangkan akad dalam maknanya yang khusus, didefinisikan oleh para Ulama dengan beragam definisi yang hampir sama. Semua definisi itu tercakup dalam pengertian berikut, yaitu :

رَبْطُ إِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ

(akad adalah) transaksi yang ditandai dengan îjâb[5] dan qabûl[6] atau yang mewakili keduanya yang dilaksanakan sesuai dengan syari’at.[7]

Definisi akad dalam maknanya yang khusus inilah yang langsung terfahami sebagai definisi akad dalam fikih muamalat maliyah.

RUKUN-RUKUN AKAD (TRANSAKSI)
Sebelum membahas rukun akad, perlu diketahui bahwa pembahasan ini berkenaan langsung dengan akad atau transaksi dalam maknanya yang khusus bukan yang umum.

Dalam maknanya yang khusus, akad memiliki tiga rukun yaitu dua pihak yang melakukan akad (al-âqid), obyek akad (mahallul ‘aqd), serta pelafalan (shighah) akad. Berikut perinciannya

Pertama : Dua Pihak Yang Melakukan Akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut adalah :

a). Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak sah.

b). Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah.

c). Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib dan sejenisnya. [8]

Kedua : Obyek Akad (Mahallul Aqd/ al-Ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda, barang dan terkadang non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad jual beli, atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.

Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu adalah :

1. Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati para Ulama fikih. Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, "(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah) boleh diperjual-belikan. … sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa) maka harus dari sesuatu yang tidak dilarang syari'at. Dalam masalah ini, ada beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Diantara yang sudah disepakati (oleh para Ulama') adalah batalnya akad sewa-menyewa atas semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya haram. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak sah. Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak terkait dengan hak orang lain. Berdasarkan ini, para Ulama ahli fiqih melarang beberapa bentuk transaksi berikut :

a). Jika obyek akadnya adalah manusia yang merdeka (non budak), karena orang yang merdeka bukan harta, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan jaminan hutang.

b). Jika obyek akadnya adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai, anjing dan babi. Juga semua barang yang suci yang berubah menjadi najis yang tidak mungkin disucikan lagi, seperti cuka, susu dan benca cair lainnya yang terkena najis. Namun jika bisa dibersihkan, maka itu boleh dijadikan sebagai obyek akad.

c). Jika obyeknya adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, baik yang tidak dapat dimanfaatkan dalam bentuk nyata, seperti serangga atau tidak dapat dimanfaatkan karena dilarang syariat, seperti alat musik.[9]

Karena fungsi legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Komoditi yang tidak berguna ibarat barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat jadikan obyek akad.[10]

2. Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.

3. Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.

4. Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,"Barangsiapa yang melakukan jual beli As-Salm, hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas.."

Ketiga : Kalimat Transaksi (shighat al-Akad)
Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya dengan îjâb dan qabûl (serah terima)[11] , namun mereka berbeda pendapat tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab hanafiyyah, ijâb adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli, sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).

Sementara menurut jumhur Ulama, îjâb adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur Ulama, ijâb itu mestinya diucapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka msertinya berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâb sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.

Pada dasarnya ketika seseorang hendak mengungkapkan keinginannya, maka yang dia pergunakan adalah untaian kata-kata. Sehingga lafazh dan untaian kata-kata adalah cara utama dalam mengungkapkan keinginan. Namun ini terkadang bisa diwakili dengan yang lainnya seperti isyarat, tulisan, surat dan saling memberi dan lain sebagainya. Oleh karena itu shighat (kalimat transaksi) ini dapat dilakukan dengan dua cara :

1. Dengan shighat qauliyah (ucapan lisan). Ini yang dinamakan îjâb Qabûl. Ijâb qabûl ini dapat diwujudkan dengan tulisan atau utusan perwakilan. Apabila seorang menulis kepada pihak kedua lalu mengirimnya dengan faks atau mengirim orang untuk membawa faktur penjualan lalu pihak kedua menerimanya di majlis akad maka akad jual beli itu sah.

Dalam ijâb qabûl disyaratkan beberapa syarat diantaranya :
a). Ada relevansi antara qabûl dan îjâb [12] dalam masalah ukuran, kriteria, pembayaran dan tempo. Jika tidak relevan, maka akad itu tidak sah. Misalnya, penjual menyatakan, "Saya jual rumah ini seharga 300 juta.", lalu pembeli menjawab, "Saya terima rumah ini seharga 250 juta." , maka akad seperti ini tidak sah.

Apabila qabûl menyelisihi kandungan îjâb maka akad atau transaksinya tidak sah.

Namun bila qabûl menyelisihi îjâb demi kebaikan orang yang mengucapkan îjâb maka para Ulama menyatakannya sebagai akad yang sah. Misalnya, seorang wali mengucapkan îjâb dengan menyatakan, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya dengan mahar 50 ribu dolar”. lalu sang mempelai lelaki menjawab dalam qabulnya, "Saya terima nikahnya dengan mahar 100 ribu dolar”. Akad ini bisa diterima dan sah karena isinya mendatangkan kemaslahatan bagi pengijâb. Bahkan ini semakin menunjukkan keridhaan pihak penerima.

b). Ijâb dan qabûl bersambung dan ini terwujud dalam satu majlis atau dalam satu lokasi. Karena îjâb itu hanya bisa dianggap bagian dari transaksi bila ia bersambung dengan qabûl. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi jaman. Dalam kondisi tertentu, akad bisa berlangsung melalui pesawat telpon, kecuali akad nikah, akad jual beli salam dan beberapa akad lainnya yang tidak bisa via telepon. Ketika akad dilakukan via telepon, maka lokasi akad adalah masa berlangsungnya percakapan via telpon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line telpon masing tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam lokasi transaksi.

Terkait dengan syarat ijâb dan qabûl harus bersambung dan terjadi dalam satu majlis, ada beberapa akad yang diperkecualikan, karena tidak bisa dan bukan menjadi syarat, misalnynya:

• Akad wasiat (transaksi wasiat). Ijâb dalam akad ini dilakukan saat pemberi wasiat masih hidup dan qabûl dari pihak penerima wasiat tidak akan dianggap kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Akad wasiat menjadi tidak sah apabila serah terima barang yang diwasiatkan dilakukan di majlis îjâb atau setelahnya selama pemberi wasiat masih hidup.[13]

• Akad Washâyah yaitu akad penyerahan wewenang setelah kematian orang yang memiliki kewenangan tersebut. Seperti untuk melunasi hutang, mengembalikan barang titipan. Orang yang diberi wewenang dinamakan washiy dan seseorang tidak anggap washiy kecuali setelah yang memberikan wewenang itu meninggal. Karena dalam akad washâyah tidak disyaratkan îjâb dan qabûl itu dalam satu majlis.[14]

• Akad Wakalah.

c). Antara îjâb dan qabûl tidak diselingi jeda waktu lama yang mengisyaratkan ketidakinginan salah satu pihak.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri dari pihak kedua merupakan syarat, karena jika indikasi itu ada, maka bisa membatalkan îjâb. Kalau beberapa saat setelah ada indikasi penolakan itu baru ada qabûl, maka qabû itu sudah tidak berguna lagi. Karena tidak terkait lagi dengan îjâb sebelumnya secara tegas.

d). Kedua belah pihak mendengar ucapan îjâb qabûl. Apabila jual beli menggunakan saksi maka pendengaran saksi cukup untuk mengesahkan jual beli tersebut.

e). Ijâb masih berlaku sampai ada qabûl dari pihak kedua. Kalau pihak pertama telah menarik îjâbnya, lalu setalah itu ada qabûl, maka qabûl seperti ini dianggap qabûl tanpa îjâb dan tidak diperhitungkan.

2. Dengan shighatul fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga al-mu’athah yaitu serah terima tanpa ucapan. Seperti orang yang membeli barang yang sudah jelas harganya lalu ia ambil barang dan menyerahkan uang pembayaran. Ini sering terjadi di supermarket dan toko-toko zaman ini. Demikian juga aktifitas jual beli via bursa efek, dimana akad transaksi terjadi dalam hitungan menit bahkan detik dengan aturan dan sisitem yang telah disepakati perusahan dan orang-orang yang bertransaksi untuk menunjukkan keridhaan. Maka ini semua sah apabila sudah ada nota kesepakatan antara perusahaan yang terkait dengan penjual dan pembeli atas satu sistem yang mengungkapkan keridhaan semua pihak. Seperti nomor kartu visa via internet.

Demikian sebagian pembahasan tentang transaksi dan rukunnya dalam islam semoga bermanfaat.

Referensi :
1. Al-Mughni karya Ibnu Quddâmah.
2. Raudhatuth Thâlibîn karya Imam an-Nawawi
3. Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi
4. Aqsâmul Uqûd fil Fiqhil Islâmi, karya Hanân bintu Muhammad Husein Jastaniyah
Dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


IBADAH ORANG BUTA[1]


Islam sebagai agama yang penuh dengan rahmat memberikan perhatian besar terhadap semua jenis individu masyarakat. Orang-orang yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala uji dengan cacat fisik, seperti buta, tak luput dari perhatian Islam. Realisasi dari perhatian ini, misalnya dengan memotivasi agar bersabar supaya bisa meraih pahala besar. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allâh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik [Yûsuf/12:90]
.
Dalam sebuah hadits qudsi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ أَذْهَبْتُ حَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ وَاحْتَسَبَ لَمْ أَرْضَ لَهُ ثَوَابًا دُونَ الْجَنَّةِ

Allâh berfirman: Siapa yang Aku hilangkan kedua matanya lalu bersabar dan mengharap pahala, maka aku tidak ridha memberikan pahala kepadanya selain syurga. [HR. Tirmidzi no. 2325 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb]

Dalam riwayat Imam Bukhâri :

إِنَّ اللَّهَ قَالَ إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِي بِحَبِيبَتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Apabila Aku menimpakan kebutaan kepada hamba-Ku lalu ia bersabar maka aku gantikan kedua matanya dengan syurga. [HR. Bukhâri, no. 5221].

Saat menjelaskan hadits ini, al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, "Ini termasuk imbalan yang paling agung, karena kesempatan menikmati (keindahan) dengan mata akan sirna dengan sebab musnahnya dunia sementara kenikmatan syurga akan kekal dengan sebab kekalnya syurga.[2]

Demikian besarnya perhatian islam terhadap orang buta, lalu bagaimana mereka beribadah apakah hukum-hukumnya sama dengan yang tidak buta?

ORANG BUTA DALAM IBADAH.
Pada dasarnya, dalam ibadah mahdhah (ibadah murni seperti shalat, puasa), orang buta sama dengan orang-orang yang dapat melihat. Namun ada beberapa tuntunan praktis yang disusun oleh para Ulama untuk orang-orang buta dalam menjalaankan ibadah mereka, diantaranya :

Dalam Masalah Thaharah (Bersuci)
1. Apabila hendak menggunakan air lalu ada yang memberitahukannya bahwa air itu sudah najis, maka ia harus menerima pemberitahuan tersebut dengan syarat ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad sendiri. Inilah pendapat mayoritas Ulama

2. Apabila ada dua bejana (wadah air), salah satunya najis dan yang lainnya suci, lalu orang buta tersebut bingung menentukan mana yang najis, padahal dia akan shalat. Jika demikian, maka ia diperbolehkan berijtihâd dan bersuci berdasarkan dugaan terkuatnya (ghalabatuzh-zhan) dengan cara memaksimalkan indra lain yang masih berfungsi. Inilah pendapat yang rajih dari tiga pendapat para Ulama. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah dan Syâfi’iyah.

3. Apabila orang buta bingung memilih pakaian yang akan dikenakannya antara yang suci dan yang najis, maka ia berijtihâd dan berusaha semampunya untuk memilih lalu shalat dengan pakaian yang dianggapnya suci. Inilah pendapat mayoritas Ulama. Ini boleh dilakukan karena ia telah berbuat sesuai kemampuannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286]

Dalam Masalah Waktu Ibadah
Ada beberapa masalah seputar mengenal waktu ibadah bagi orang buta, diantaranya:

1. Hukum berijtihad untuk mengetahui waktu shalat
Dalam masalah ini, empat madzhab fikih terkenal yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa masuk waktu merupakan syarat sah shalat. Seandainya ia ragu, apakah sudah masuk waktu shalat atau belum ? Maka ia tidak boleh melakukan shalat sampai ia yakin bahwa waktu shalat sudah tiba.

Imam Nawawi rahimahullah dalam al-Majmû’ menyatakan, "(Ketika tidak mengetahui waktu shalat), Orang buta terkena kewajiban yang sama dengan orang yang melihat ... Orang buta berijtihad seperti orang yang melihat dalam masalah waktu shalat jika tidak ada orang tsiqah yang menyaksikan (waktu shalat) lalu memberitahukannya, .... (jika orang tsiqah yang memberitahukannya) maka ia tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut. [3]

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah menandaskan, "Orang buta apabila ragu tentang apakah waktu shalat telah tiba atau belum ? Maka ia tidak boleh shalat sampai ia yakin atau hampir yakin bahwa waktu shalat telah masuk, sebagaimana orang yang melihat (tidak buta).[4]

Demikian juga Ibnu Najjâr rahimahullah dalam kitab Syarhu Muntahal Irâdât menyatakan, "Orang yang tidak tahu waktu, sehingga tidak tahu apakah waktu shalat telah masuk atau belum ? Dan tidak bisa menyaksikan tanda-tanda masuk waktu karena buta atau ada halangan tertentu serta tidak ada yang memberitahukannya dengan yakin, maka ia boleh shalat apabila menganggap waktu telah masuk dengan dasar ijtihad atau mengukur waktu dengan tempo satu pekerjaan atau bacaan al-Qur’an, karena itu adalah perkara ijtihad sehingga cukup dengan anggapan kuat saja[5].

2. Apabila ada seorang tsiqah (kredibel) memberitahukan masuknya waktu apakah orang buta taklid kepadanya ?
Para Ulama madzhab hanafiyah, malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memandang bahwa ketika ada orang yang tsiqah memberitahukan tentang masuknya waktu shalat dengan dasar ilmu, maka pemberitahuannya wajib diterima, sebagaimana penjelasan di bawah ini :

• Imam Ibnu Abidin seorang Ulama madzhab Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) menjelaskan, "Para imam kami menjelaskan bahwa ucapan orang yang adil (takwa) dalam masalah-masalah agama diterima seperti berita tentang arah kiblat, thahârah (kesucian), najis, halal dan haram. Dengan ini jelas, bahwa berita tentang masuknya waktu shalat termasuk ibadah sehingga princian di atas bisa dijadikan pedoman. Seorang muadzdzin cukup (diterima) pemberitahuannya tentang waktu shalat apabila ia seorang baligh, berakal, mengetahui waktu, muslim, lelaki dan ucapannya dipercaya.[6]

• Imam Muhammad bin Muhammad al-Khatthâb ar-Ra’ini seorang Ulama madzhab Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan penulis kitab Mawâhibul Jalîl Syarah Mukhtashar al-Khalîl menyatakan, "Taklid kepada muadzdzin yang adil (bertakwa) yang mengetahui waktu shalat itu diperbolehkan dan pemberitahuannya (tentang masuknya waktu shalat) bisa diterima.[7]

• Imam Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ juga menyatakan, "Apabila seseorang memberitahukan apa yang dia lihat dengan mengatakan, "Aku melihat fajar telah terbit atau syafaq (warna kemerahan setelah matahari terbit) telah hilang", maka (orang yang mendengarnya) tidak boleh berijtihad dan wajib melaksanakan berita tersebut.[8]

• Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, "Apabila seorang tsiqah memberitahukan (waktu shalat) dengan dasar ilmu maka pemberitahuannya dilaksanakan." [9]

3. Orang Buta Berijtihad Untuk Mengetahui Waktu Puasa Dan Berbuka Puasa Pada Bulan Ramadhân
Orang buta diperbolehkan untuk berijtihad dan taklid kepada orang lain, karena dalam masalah ini, puasa dan waktu-waktu shalat hukumnya sama. Inilah yang dirajihkan (dinilai kuat) oleh imam as-Suyuthi t dan beliau t menisbatkan pendapat ini kepada madzhab Syâfi’iyah.[10]

Dalam Masalah Penentuan Kiblat
Menurut pendapat yang rajih, orang yang buta diperbolehkan untuk berijtihad dalam menetukan arah kiblat dan berusaha mencarinya dengan indra yang dimilikinya. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan Hanabilah. Kenapa demikian ? Karena orang buta masih memiliki kemampuan dan masih memiliki indra lain yang dapat digunakan untuk menentukan kiblat. Sehingga tidak harus meraba-raba tembok masjid dan mimbar, apabila kemudian shalat kearah bukan kiblat lalu ada yang membenarkannya maka ia berputar kearah yang benar dan meneruskan shalatnya hingga sempurna.[11]

Masih menurut mayoritas Ulama fikih, orang yang tidak bisa mengenal arah kiblat karena tidak bisa belajar lantaran tidak memiliki kemampuan atau tidak ada yang mengajarinya padahal waktunya sempit atau orang buta, maka yang wajib baginya adalah taklid (mengikuti orang lain). Dasar pendapat ini adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui [an-Nahl/16:43]

Dalam Masalah Mengumandangkan Adzan dan Menjadi Imam Shalat
Para Ulama ahli fikih memandang bahwa adzan yang dikumandangkan oleh orang buta itu sah, apabila ada orang yang mengingatkan tentang masuknya waktu shalat. Pendapat ini berdasarkan beberapa riwayat berikut ini:

1. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: )إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ( ثُمَّ قَالَ: وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bilal Radhiyallahu anhu mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan." Kemudian Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata, ' Beliau adalah orang buta yang tidak akan mengumandangkan adzan sampai ada yang mengatakan kepadanya, ' Waktu Shubuh telah tiba ! Waktu Shubuh telah tiba ! [HR al-Bukhâri, no. 582]

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyalallahu anhuma :

كَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ يُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ أَعْمَى

Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan untuk Rasûlullâh padahal beliau buta [HR. Muslim, no. 871]

Namun bila melihat perkembangan teknologi saat ini, maka orang buta dapat mengumandangkan adzan dengan benar dengan bantuan prangkat untuk mengetahui waktu adzan. Disamping itu juga banyaknya masjid yang menggunakan loudspeaker bisa membantu orang buta dalam mengetahui wakut shalat. Wallâhu a’lam.

Masalah orang buta menjadi imam dalam shalat, mayoritas Ulama fikih juga memandangnya boleh. Ini berdasarkan beberapa hadits berikut :

1. Hadits Mahmud bin ar-Rabî’ yang berbunyi :

أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى وَأَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا تَكُونُ الظُّلْمَةُ وَالسَّيْلُ وَأَنَا رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ فَصَلِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي بَيْتِي مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلَّى فَجَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فَأَشَارَ إِلَى مَكَانٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Sesungguhnya ‘Itbân bin Mâlik dulu mengimami kaumnya padahal beliau buta. Beliau berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Wahai Rasûlullâh sesungguhnya terjadi kegelapan dan banjir padahal saya buta. Wahai Rasûlullâh ! shalatlah di rumahku di satu tempat yang akan aku jadikan sebagai tempat shalatku.' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bertanya, 'Kamu menginginkan saya shalat dimana ?' ‘Itbân z memberi isyarat ke satu tempat dirumahnya. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di sana. [HR. al-Bukhâri no. 625]

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ

Sesunggunya Nabi n mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk kota madinah dan mengimami orang shalat. [HR Ibnu Hibbân dalam shahihnya no. 2134 dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan, sanadnya shahih sesuai syarat shahihain]

3. Hadits Anas bin Mâlik yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَخْلَفَ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ يَؤُمُّ النَّاسَ وَهُوَ أَعْمَى

Sesunggunya Nabi n mengangkat Ibnu Ummi Maktum (untuk kota Madinah), mengimami shalat padahal beliau buta. [HR Abu Daud no. 503 dan dinilai Hasan Shahih oleh syaikh al-Albani]

Yang rajih, status imam orang buta dengan yang tidak buta sama. Inilah pendapat imam Syâfi’i rahimahullah .

Dalam Masalah Shalat Jum’at
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jum’at bagi orang buta dalam dua pendapat :

1. Shalat Jum’at tidak wajib bagi orang buta walaupun ada yang menuntunnya, baik dengan sukarela ataupun dibayar. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Beliau rahimahullah beralasan, orang buta tidak mampu berjalan untuk menghadirinya seorang diri. Alasan lain, hukum orang buta sama dengan orang sakit yang sama-sama mengalami kesulitan dan kesusahan untuk pergi menghadiri shalat Jum’at.

2. Shalat Jum’at wajib bagi yang buta bila ada yang menuntunnya, baik sukarela ataupun dibayar. Inilah pendapat jumhur Ulama dengan alasan orang yang buta mampu berjalan sendiri. Memang ia tidak mampu pergi karena tidak mengetahui jalan, namun bila ada yang menuntunnya, maka dia akan mampu. Sehingga ia sama seperti orang yang tidak buta namun tersesat jalan. Juga terbukti sebagian orang buta ada yang bisa pergi menghadiri shalat jum’at sendiri tanpa penuntun. Mereka bisa berjalan di pasar tanpa ada yang mengiringi atau menuntunnya. Mereka ini jelas di wajibkan menghadiri shalat jum’at. Dengan demikian jelaslah yang râjih adalah pendapat jumhur ulama ini.

HUKUM SHALAT BERJAMA’AH BAGI ORANG BUTA
ParaUlama berbeda pendapat tentang masalah ini. Pendapat yang rajih adalah orang buta tetap berkewajiban melaksanakan shalat dengan berjamaah, dengan dasar hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ

Seorang buta mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid." Lalu ia memohon kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan sehingga boleh shalat di rumah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan keringanan. Ketika orang buta tersebut pergi, beliau n memanggil orang itu lagi dan bertanya, "Apakah kamu mendengar adzan ?" Ia menjawab, "Ya." Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Penuhilah panggilan (adzan) tersebut!" [HR Muslim, no. 1044]

Juga hadits Amru bin Umi Maktum Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

Beliau bertanya kepada Nabi n seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, saya orang buta, rumah saya jauh, saya memiliki penuntun namun tidak cocok. Apakah ada keringanan bagi saya untuk shalat di rumah?" Beliau n bersabda, "Apakah kamu mendengar adzan ?" Ia menjawab, "Ya." Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Saya tidak menemukan keringanan bagimu." [HR Abu Daud, no. 565]

Dalam riwayat Ibnu Hibbân, terdapat lafadz :

فَأْتِهَا وَلَوْ حَبْوًا

Datangilah shalat berjama'ah itu meskipun dengan merangkak.

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Syâfi’iyah dan Hanabilah serta Zhahiriyah.

ORANG BUTA BERHAJI
Orang buta wajib berhaji apabila memiliki perbekalan dan kendaraan serta orang yang menuntun dan menunjukkan jalan. Inilah pendapat yang rajih yang juga merupakan pendapat mayoritas Ulama dan. Wallâhu a’lam.

Demikianlah beberapa hukum dan masalah yang berkenaan dengan ibadah orang buta, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI UMAT MUHAMMAD SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALAM

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Abu 'Aisyah


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2: 286]

PENDAHULUAN
Agama Islam ini mudah, semua tuntunan ajarannya indah. Tak pernah Allâh Azza wa Jalla membiarkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kesulitan dan kebingungan yang berkepanjangan. Manakala seorang Mukmin menghadapi sebuah permasalahan, Islam selalu memberikan kemudahan jalan. Bukan seperti perkataan sebagian orang yang belum mengenal Islam lebih mendalam, “Islam begitu sulit dijalankan, berat, menetapkan hukum yang menyisakan kebuntuan tanpa solusi penyelesaian”,

Syariat Islam begitu sempurna dan tak sedikit pun membenarkan kezhaliman. Islam menetapkan formula tepat dan kehebatan ajaran yang mencakup setiap sendi kehidupan umat manusia. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla yang begitu luas terbukti menghadirkan kesejukan kalbu dan meringankan setiap hamba-Nya yang beriman dari berbagai beban berat. Hal ini dapat kita saksikan dengan seksama dalam banyak ayat-ayat suci al-Qur`ân dan sabda-sabda mulia Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan di antara ayat yang menunjukkan sifat kebijaksanaan, kasih sayang dan keagungan serta kemurahan Allâh Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya ialah akhir ayat surat al-Baqarah di atas.

KEUTAMAAN AYAT INI DAN BEBERAPA AYAT SEBELUMNYA, DI ANTARANYA :
1. Ayat tersebut merupakan bagian dari kekayaan di bawah `arsy Allâh Azza wa Jalla

2. Belum pernah seorang Nabi pun sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan yang semisal dengan ayat-ayat tersebut.

3. Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah (285-286) pada malam hari, maka dua ayat tersebut akan memberikan kecukupan sebagai perlindungan baginya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : Aku telah diberi ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah dari suatu rumah kekayaan di bawah `Arsy yang tidak pernah diberikan kepada nabi manapun sebelumku .[1]

Beliau juga bersabda (yang artinya) : Barangsiapa membaca keduanya, maka itu cukup baginya (menjadi pelindung) .[2]

SEBAB TURUN AYAT
Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenuturkan, “Pada saat ayat (284) dari surat al-Baqarah diturunkan, ayat tersebut dirasa berat oleh para Sahabat, sehingga mereka mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan bahwa mereka tidak sanggup memikulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian hendak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul kitab sebelum kalian dengan ucapan “Kami mendengar dan kami langgar”?!. Ucapkanlah oleh kalian, “Kami mendengar dan kami menaati”. Para Sahabat pun mengikrarkan dengan ucapan mereka, “Kami mendengar dan kami menaati”. Setelah mereka mengucapkannya, lisan mereka menjadi ringan untuk mengutarakannya, dan selanjutnya Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (285). Selanjutnya manakala mereka telah melaksanakannya, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (286). “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah”, Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami”. Allâh Azza wa Jalla menjawab “Ya”. “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”[3] .

KANDUNGAN MAKNA AYAT
Tentang kandungan makna ayat ini, Sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma bertutur, [4] “Maksudnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebani kaum Mukminin (di luar kemampuan mereka)... sebagaimana dalam ayat-ayat lainnya yang serupa dengan kandungan makna ayat di atas [5] . Ini merupakan petunjuk kemurahan, kasih sayang dan ihsan (kebaikan) Allâh Azza wa Jalla terhadap para makhluk-Nya.

Ayat ini menghapus apa yang sempat dirasa membebani oleh para Sahabat Nabi dalam ayat sebelumnya. Meskipun Allâh Azza wa Jalla meminta pertanggungjawaban dan memperhitungkan seluruh amalan, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak menyiksa hamba-Nya melainkan dengan apa yang dapat ia hindari. Adapun yang tidak kuasa dihindari oleh diri seorang hamba berupa bisikan-bisikan jiwa dan rayuan nafsu, maka seseorang tidak dibebani dengannya (tidak dimintai pertanggungjawaban tentang itu). Dan kebencian terhadap bisikan nafsu yang buruk itu sudah merupakan bagian dari keimanan [6] .

Allâh Azza wa Jalla al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) sangat mengetahui batas kemampuan manusia (kita semua) untuk menjalankan perintah maupun menjauh dari larangan. Allâh berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Maha lembut lagi Maha Mengetahui? [al-Mulk/14:13]

Namun ketahuilah, sesungguhnya sebagian orang telah gegabah bahkan salah kaprah dalam memahami ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai hujjah (dalil) atau celah kesempatan untuk sembarangan dalam menjalankan hukum atau norma agama Islam. Ada saja di antara mereka yang memahami bahwa apabila seseorang tidak mampu shalat karena sakit, maka dirinya boleh meninggalkan shalat. Atau mengatakan bila belum bisa (mau) mengenakan busana muslimah, maka tidak mengapa bila kaum Muslimah pamer aurat, karena Allâh Azza wa Jalla tidak membebani satu orang di luar kemampuannya (!?) dan ungkapan lainnya. Pemahaman yang keliru ini merasuki sebagian orang yang berilmu dangkal ilmu, pemahaman yang justru akan menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam lubang kenistaan dan lumpur kebinasaan. Na`ûdzubillâh

BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN BERHARGA YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT DI ATAS[7]
1. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya. Sesungguhnya bilamana Allâh Azza wa Jalla hendak membebani mereka dengan yang mereka tidak mampu sekalipun, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan melakukannya, namun Allâh Azza wa Jalla tidak membebani mereka melainkan sesuai dengan kemampuan mereka. Mungkin seseorang akan berkata, “Memang haruslah demikian! Sebab bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla akan membebani mereka dengan sesuatu di luar kesanggupan mereka padahal mereka pasti tidak menyanggupinya?! Apalah untungnya bila Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggupi mengerjakannya?!” Ungkapan demikian ini harus diluruskan; bahwa di antara pelajaran yang dapat dipetik bila Allâh Azza wa Jalla tetap membebani mereka dengan urusan yang tidak kuasa mereka kerjakan adalah jika mereka tidak menjalankannya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menghukum mereka. Hal ini merupakan kaidah agung di antara sejumlah prinsip dasar syariat Islam, dan yang semisal dengan kaidah ini banyak di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.

2. Dalam ayat ini terdapat penetapan sebuah kaidah luhur yang masyhur di kalangan Ulama, yaitu “tidak terdapat kewajiban dalam kondisi tidak mampu, dan tidak berlaku hukum haram pada saat darurat”. Akan tetapi, bilamana kewajiban yang tidak mampu diwujudkan itu memiliki pengganti (yang juga disyariatkan), maka menjadi wajib menjalankan pengganti tersebut. Dan bilamana tidak terdapat pengganti, maka hukum wajib itu gugur. Demikian halnya bila pengganti itu juga tidak dapat dilaksanakan, maka itu pun menjadi gugur. Contoh, apabila seseorang tidak sanggup bersuci dengan air, maka gugurlah kewajiban bersuci dengan air. Namun, kewajiban tersebut berpindah kepada tayamum. Dan apabila dia pun tidak mampu untuk bertayamum pula, maka gugurlah hukum tayammum tersebut. Seperti bilamana seseorang dalam kondisi terkurung dan terbelenggu ikatan; dirinya tidak mampu berwudhu tidak pula bertayamum, maka dia (diperbolehkan untuk) shalat tanpa berwudhu maupun bertayamum. Contoh yang lain, seseorang yang keliru membunuh jiwa, maka sang pembunuh berkewajiban untuk memerdekakan seorang budak. Bila dia tidak menemukannya, maka dia wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Bila dia tidak mampu, maka gugurlah kewajiban membayar kafarat.

Adapun contoh dari kaidah “tidak berlaku hukum haram pada saat darurat” adalah seperti seseorang yang terdesak secara darurat untuk makan bangkai pada saat dia tidak mendapatkan sesuatu pun untuk menghilangkan rasa laparnya selain bangkai tersebut, maka boleh bagi dirinya untuk makan bangkai itu. Namun, apakah boleh baginya untuk makan sehingga kenyang? Atau dia makan hanya sekedar untuk mempertahankan hayatnya? Jawabnya, apabila dia menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka wajib atas dirinya untuk makan (bangkai tersebut) sekedar untuk mempertahankan hayatnya saja. Namun, apabila dia tidak menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka diperbolehkan baginya untuk makan bangkai tadi sehingga kenyang. Bahkan dibenarkan baginya untuk menjadikan bangkai tersebut sebagai persediaan bila dikhawatirkan dirinya tidak mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat. Jadi pengertian darurat (di sini) ialah pada saat dia tidak mungkin meninggalkan yang haram tersebut, dan kondisi daruratnya dapat teratasi dengan hal tersebut. Bila ternyata tidak, maka tidak dibenarkan. Seperti bilamana seseorang menyangka bahwa dia berada dalam kondisi darurat untuk berobat dengan yang haram sehingga dia hendak memakannya, maka yang demikian ini tetap tidak diperbolehkan dengan beberapa alasan:

a). Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan yang demikian, dan tidaklah mungkin sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla menjadi obat bagi para hamba-Nya atau bermanfaat bagi mereka.

b). Sesungguhnya belum masuk kondisi darurat baginya untuk mengonsumsi obat haram ini, sebab boleh jadi kesembuhan (dari Allâh Azza wa Jalla ) terdapat pada sesuatu yang lain, atau bahkan dia dapat sembuh tanpa obat sekalipun.

c). Kita tidak dapat mengetahui (keberhasilan) kesembuhan pada obat tersebut. Berapa banyak kita ketahui obat halal yang dikonsumsi oleh seorang yang sakit, namun tidak bermanfaat sama sekali. Karenanya, Rasûlullâhn Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang jintan hitam, “Sesungguhnya ia (jintan hitam) merupakan penyembuh dari semua sakit kecuali kematian”[8] . Berarti, sekalipun jintan hitam adalah obat penyembuh, namun tidak dapat menghalangi kematian.

3. Sesungguhnya seseorang tidaklah memikul dosa orang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam ayat utama di atas ”dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya”.

Apabila seseorang bertanya, “Lantas bagaimana halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mempelopori suatu kejelekan dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya beserta dosa setiap orang yang mengikuti jejaknya tanpa dikurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”?! . Maka jawabnya ialah bahwa hal ini tidak berkaitan, sebab perbuatan itu telah dilakukannya terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh orang lain, sehingga perbuatan mereka merupakan dampak dari perbuatannya, dialah penyebabnya dan dialah yang memberikan contoh perbuatan tersebut, maka dia memperoleh akibat perbuatan buruknya.

4. Kemudahan dalam agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Allâh tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Dapat terpahami dari hal ini bahwa manusia berbeda-beda dalam kewajiban yang mereka jalankan. Seorang yang mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka wajib atas dirinya untuk berdiri. Adapun yang tidak mampu berdiri, maka melaksanakannya dengan duduk. Dan yang tidak mempu duduk, maka melaksanakannya dengan berbaring.... Demikian halnya seorang yang mampu melaksanakan ibadah haji dengan harta dan dirinya sendiri, maka dia wajib melaksanakannya sendiri. Adapun yang tidak mampu demikian karena kondisi fisiknya lemah secara permanen, akan tetapi dia masih mampu berhaji dengan hartanya, maka wajib atasnya untuk mewakilkan kepada orang lain berhaji untuknya. Sedangkan orang yang tidak sanggup pergi haji baik dengan harta maupun fisiknya, maka tidak wajib atasnya untuk melaksanakan haji. Karena setiap orang memiliki kemampuan yang terbatas, dalam segala hal; dalam hal ilmu, pemahaman, kekuatan hafalan, semua sesuai dengan kemampuannya.

5. Melalui ayat ini, dipahami pula sesungguhnya perbuatan manusia dilakukan berdasarkan keinginannya: “Allâh tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Ayat ini sekaligus menjadi koreksi total dan bantahan terhadap kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa sesungguhnya seorang manusia tidak memiliki kehendak (keinginan sendiri) dalam apapun yang dilakukannya. Adapun rician prinsip mereka dan bantahan terhadapnya dapat ditelaah di dalam kitab-kitab aqidah.

6. Setiap hamba akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang telah diupayakannya, tanpa dikurangi sedikit pun, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla , “Dan barangsiapa beramal shalih dan dia adalah seorang Mukmin, maka dia tidak (perlu) takut akan dizhalimi atau dikurangi haknya” (Thâhâ/20:112). Setiap amal shalih adalah keberuntungan dan setiap amal keburukan adalah kerugian.

7. Sekali lagi, Allâh Azza wa Jalla mencurahkan cinta kasih-Nya melalui bimbingan doa kepada para hamba-Nya رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا “Duhai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah”. Pada saat kaum Mukminin memanjatkan doa tersebut, Allâh Azza wa Jalla mengabulkannya seraya berfirman, “Ya, Aku telah melakukannya”. Lebih lanjut, Rasûlullâh k menegaskan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menggugurkan beban (perhitungan hisab) dari umatku dalam hal kekeliruan, lupa serta desakan paksaan”.[10] Sesungguhnya lupa dan khilaf adalah kewajaran manusiawi setiap manusia. Hikmah di balik lupa dan khilaf yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan pada manusia adalah agar manusia menyadari kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya, dan agar semakin tampak nyata karunia Allâh Azza wa Jalla padanya sehingga dia akan selalu merasa membutuhkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Pada akhirnya, dia pun memohon perlindungan dan keselamatan dari Allâh Azza wa Jalla dalam hal-hal di luar batas kemampuannya, kemudian dia memohon ampun dari segala dosa dan kekurangan.

8. Selayaknya setiap hamba untuk bertawassul dalam berdoa dengan sifat-sifat Allâh Swt yang sesuai, semisal dengan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla . Mayoritas doa al-Qur`an menyebutkan رَبَّنَا “Wahai Rabb kami” atau ربِّ “Wahai Rabbku”.

9. Lupa dan kebodohan merupakan penghalang ancaman adzab. Namun hal ini tidak bermakna tergugurkannya perintah. Sehingga barangsiapa meninggalkan suatu kewajiban karena lupa atau tidak mengetahuinya, maka ia wajib mengqodha.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang terlupa melakukan sebuah shalat, maka hendaklah ia shalat pada saat mengingatnya”[11] .

Demikian pula seorang pria yang tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat, Rasûlullâh berkata kepadanya, “Kerjakan lagi shalatmu, sesungguhnya engkau belum shalat!”[12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan udzur karena ketidak tahuannya sekalipun orang tersebut tidak dapat melakukan yang lebih baik dari shalatnya itu. Inilah yang berlaku dalam perkara-perkara berisi perintah. Adapun dalam perkara larangan; barangsiapa melanggar sebuah larangan karena tidak tahu atau lupa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula berkewajiban menunaikan kafarat. Sebagaimana apabila seorang terlupa makan pada saat dia berpuasa, maka dia tidak berdosa.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa makan atau minum karena terlupa pada saat dia berpuasa, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya”[13]

Akan tetapi, bilamana dia melakukan suatu keharaman setelah dia mengetahui hukumnya yang haram, meskipun belum mengetahui kafarat dan akibatnya, maka dia tetap berdosa dan tetap berkewajiban menjalankan kafaratnya. Sebagaimana kisah seorang yang mengadukan dirinya setelah ia menggauli isterinya di siang hari bulan Ramadhan[14] .

10. Ketundukan hati dan kesungguhan seorang hamba ketika bersimpuh memohon kepada Allâh Azza wa Jalla saat berdoa kepada-Nya merupakan bagian dari sebab terkabulnya doa dan permohonan tersebut.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa meringankan langkah kita dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, mengampuni segala dosa dan mengasihi kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Amin. Wallâhu A`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



BERTAUBAT SEBELUM TIDUR

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawwaz, Lc



Hidup di dunia ini hanya sementara. Saat kematian menjemput seseorang, berarti harus berpisah dengan dunia dan segala isinya. Dan itu pasti terjadi. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. [al-Anbiyâ’/21:35]

Dalam ayat lain Allâh berfirman :

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu (berada) dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [an-Nisâ`/4: 78]

Kematian akan menimpa semua orang, baik yang shalih atau yang durhaka, yang kaya raya ataupun yang miskin papa, yang terpandang ataupun tidak, yang ikut berjihad ataupun duduk santai di rumahnya, dan lain sebagainya. Semuanya pasti akan mati bila ajalnya telah tiba ajalnya dan semuanya akan binasa, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

Semua yang ada di bumi itu fana (tidak kekal) [ar-Rahmân/55:26]

Kemudian sesudah mati, kita semua akan dihidupkan kembali untuk mempertanggung jawabkan semua amal perbuatan kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati.” [Hûd/11:7]

MARI SEGERA BERTAUBAT KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Jika memang demikian, sementara sudah dapat dipastikan bahwa setiap manusia tidak akan luput dari kelalaian, kesalahan dan dosa kecuali yang dirahmati Allâh dan diberi al-‘ishmah (terpelihara dari salah dan dosa) seperti para nabi dan rasul, maka sudah seharusnya kita semua untuk segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menunda-nundanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak adam (manusia) pernah berbuat kesalahan, namun sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah orang yang segera bertaubat (kepada Allâh).” [HR. Ibnu Mâjah 2/1420, no.4251][1]) .

Allâh memerintahkan kita agar segera bertaubat, sebagaimana firman-Nya :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allâh, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” [an-Nûr/24:31].

Dan firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allâh dengan taubat yang benar (ikhlas). [at-Tahrîm/66:8]

Dan hendaknya kita sering beristighfâr (mohon ampun kepada-Nya) atas dosa-dosa yang telah kita perbuat selama ini. Karena Allâh Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang akan senantiasa menerima taubat dari para hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa sebesar dan sebanyak apapun. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian putus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [az-Zumar/39: 53]

Di dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allâh berfirman: Wahai anak Adam selama engkau masih berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau apa pun yang datang darimu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam walaupun dosa-dosamu mencapai batas langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, Aku akan ampuni engkau dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan sepenuh bumi dosa dan engkau tidak menyekutukan-Ku, maka Aku akan menemuimu dengan sepenuh itu pula ampunan. [HR. Tirmidzi IV/548,no.3540][2]

Hendaknya kita mempersiapkan diri dengan bekal taqwa untuk menempuh perjalanan menuju ke negeri akhirat yang merupakan tempat tinggal abadi.

BEBERAPA HAL YANG DAPAT MENDORONG SEORANG HAMBA AGAR SEGERA BERATUBAT KEPADA ALLAH SEBELUM TIDUR
Kenapa sebelum tidur ? Terdapat banyak hal yang dapat membantu seorang hamba untuk segera bertaubat kepada Allâh kapan pun dan dimanapun. Namun dalam pembahasan kali ini kami akan menyebutkan sebagian amalan yang diharapkan dapat mendorong seorang hamba bertaubat kepada Allâh sebelum tidurnya. Di antaranya:

1. Melakukan Muhâsabah (Introspeksi Diri).
Muhâsabah ialah usaha seseorang untuk mengevaluasi segala perbuatannya, baik sebelum maupun sesudah melakukannya. Sebelum tidur hendaklah seorang hamba mengintrospeksi diri atas segala perkataan maupun perbuatannya sepanjang hari, baik yang berkaitan dengan hak-hak Allâh maupun hak-hak sesama manusia. Jika dia telah melakukan amal shalih, maka hendaknya dia bersyukur dengan memuji Allâh dan memohon kepada-Nya tambahan nikmat. Dan memohon kepada-Nya pula agar senantiasa diberi taufiq dan kesanggupan untuk dapat melaksanakan amal ketaatan. Namun jika sebaliknya, maka hendaknya dia segera bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya serta bertekad untuk segera melakukan kebaikan.

Tentang muhâsabah, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allâh [al-Hasyr/59:18]

Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, dan timbanglah amal kalian sebelum ditimbang (oleh Allâh) ….”.

2. Mengingat Alam Kubur Yang Sangat Gelap Dan Dia Akan Menyendiri di sana
Ketika akan tidur, hendaknya seseorang mengingat suasana alam kubur yang sangat gelap, dia akan berada di sana seorang diri tanpa teman, hanya amalannya selama di dunia yang mendampinginya. Dengan mengingat kondisi ini, hati akan merasa takut kepada Allâh dan siksa-Nya yang sangat pedih, sehingga dia terdorong untuk segera bertaubat kepada Allâh dan banyak mohon ampun kepada-Nya.

3. Banyak Mengingat Kematian
Setiap muslim dan muslimah, yang sehat ataupun yang sedang sakit, tua maupun muda, hendaknya selalu mengingat kematian yang datang secara tiba-tiba. Ingatan ini bisa menghalangi dan menghentikan seseorang dari perbuatan maksiat serta memotivasinya untuk beramal shalih.

Mengingat kematian ketika dalam kesempitan akan bisa melapangkan hati seorang hamba. Kalau dia ingat kematian ketika hatinya sedang senang, maka dia itu menyebabkan dia tidak lupa diri. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan siap untuk pergi meninggalkan dunia dan menghadap Allâh Azza wa Jalla .

Mengingat mati bisa melembutkan hati dan menghancurkan sikap tamak terhadap dunia. Karenanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran untuk banyak mengingatnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian) [HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258][3]

Orang cerdas yang sesungguhnya ialah orang yang banyka mengingat mengingat mati dan mempersiapkan bekal untuk mati. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Aku sedang duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ ‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ

“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” [HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384]

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara : bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan antusias dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati, ia akan dihukum dengan tiga perkara : menunda taubat, tidak ridha dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu; Yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak merasakan sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya ! Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan memupus angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan tibanya hari kematianmu dan perpindahan hidupmu dari tempatmu yang sekarang?” [Lihat at-Tadzkîrah, hlm. 9].

4. Menyadari Hakikat Kehidupan Dunia Yang Fana Dan Akhirat Yang Kekal
Keberadaan makhluk di dunia ini hanyalah sementara, dan semua yang ada di alam semesta ini akan hancur kecuali Allâh semata yang kekal dan abadi. Allâh berfirman :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” [Ar-Rahman/55: 26]

Sedangkan kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang hakiki, kekal dan abadi, sebagaimana firman-Nya:

وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”. [Al’A’la/87: 17].

Dan dia mengetahui pula bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakannya di dalam kehidupan ini tiada lain hanya untuk mengujinya, siapa di antara para hamba-Nya yang paling baik amal perbuatannya, sebagaimana firman-Nya di dalam surat Al-Mulk, ayat 2.

Dengan demikian, maka diapun segera terdorong untuk bertaubat kepada Allâh, memohon ampunan kepada-Nya, dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat yang hakiki nan abadi.

Demikian tulisan singkat tentang bertaubat sebelum tidur. Mudah-mudahan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, dan menjadi amal shalih bagi penulisnya. Amin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Sumber:    http://almanhaj.or.id/