Saturday, May 18, 2013

KESALAHAN-KESALAHAN YANG DIMAAFKAN



KESALAHAN-KESALAHAN YANG DIMAAFKAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ. حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَـا

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan."

TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah (no. 2045), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VII/356-357), ad-Dâraquthni (III/403), al-Hâkim (II/198), Ibnu Hibbân (no. 7175 –at-Ta’lîqâtul Hisân), al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afâ (IV/1298)

Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam an-Nawawi t dan ditetapkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar t dalam at-Talkhîshul Habîr (I/509, no. 451), sementara Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 82) menghukuminya sebagai hadits yang shahih.

SYARAH HADITS
Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ تَـجَاوَزَ لِـيْ عَنْ أُمَّتِيْ الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan.

Yang dimaksud umatku dalam hadits diatas adalah umat ijâbah yaitu umat yang diberikan hidayah oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memeluk Islam.[1]

Tentang keliru dan lupa, al-Qur'ân menegaskan bahwa keduanya termaafkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

…Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan...” [al-Baqarah/2:286]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

…Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allâh Maha pengampun, Maha penyayang. [al-Ahzâb/33:5]

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda :

إِذَا حَكَمَ الْـحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang hakim hendak menghukumi, kemudian ia berijtihad lalu ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia hendak menghukumi, kemudian berijtihad lalu ijtihadnya salah (keliru) maka ia mendapat satu pahala.[2]

al-Hasan rahimahullah berkata, ”Seandainya Allâh Azza wa Jalla tidak menyebutkan perihal kedua orang ini –yaitu Nabi Dâwud Alaihissallam dan Sulaiman Alaihissallam, niscaya engkau melihat para hakim itu telah binasa, karena Allâh Azza wa Jalla memuji kedua nabi tersebut lantaran ilmunya dan menyanjung nabi yang satunya lagi dengan sebab ijtihadnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ

Dan (ingatlah kisah) Dâwud Alaihissallam dan Sulaimân Alaihissallam ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. [al-Anbiyâ'/21:78]

Sedangkan tentang pemaksaan, maka al-Qur'ân menegaskan bahwa itu termaafkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa kafir kepada Allâh setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan mereka akan mendapat adzab yang besar [an-Nahl/16:106][3]

Kita akan membicarakan hadits ini dalam dua pembahasan; Pertama, hukum lupa dan keliru, dan kedua, hukum paksaan.

PERTAMA, HUKUM KELIRU DAN LUPA
Orang yang melakukan kesalahan karena keliru ataupun lupa, maka ia maafkan atau tidak berdosa. Namun tidak berdosa, bukan berarti tidak ada konsekuensi hukumnya. Misalnya, seseorang yang melakukan shalat namun ia lupa berwudhu’. Ia mengira dirinya sudah dalam keadaan bersuci. Orang ini tidak berdosa karena perbuatannya tersebut, namun jika terbukti ia shalat dalam keadaan berhadats atau tidak berwudhu', maka ia wajib mengulangi shalatnya tersebut..

Jika seseorang lupa membaca BISMILLÂH ketika menyembelih hewan, maka padanya ada dua riwayat dari Imam Ahmad, namun sebagian besar Ulama ahli fiqh berpendapat bahwa hewan sembelihan tersebut boleh dimakan, tetapi wajib membaca BISMILLÂH ketika mengkonsumsinya.

Jika seseorang meninggalkan shalat karena lupa kemudian ingat, maka ia wajib mengqadha’ shalatnya saat dia teringat. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda :

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرَى

Apabila seseorang diantara kalian tertidur dari shalat atau lupa, hendaklah ia mengerjakannya saat dia teringat. Karena Allâh berfirman (yang artinya), “…Dan dirikanlanlah shalat untuk mengingat-Ku.” [Thâhâ/20:14][4]

Jika seseorang shalat dengan membawa najis yang tidak bisa ditolelir dan ia mengetahui najis tersebut setelah shalatnya atau ketika sedang shalat kemudian ia menghilangkannya; apa ia harus mengulang shalatnya atau tidak ? Ada dua pendapat dalam masalah ini dan keduanya adalah riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melepas kedua sandalnya ketika shalat dan meneruskan shalatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ جِبْريْلَ أَتَانِيْ فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ فِيْهِمَا أَذَى

Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan menjelaskan bahwa di kedua sandal tersebut ada kotoran. [5]

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengulangi shalatnya.

Jika seseorang berbicara dalam shalatnya karena lupa bahwa dirinya sedang shalat, maka apakah shalatnya batal ? Tentang hal ini ada dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah. Menurut madzhab Imam asy-Syafi’i, shalat orang tersebut tidak batal karena bicaranya.

Jika seseorang makan ketika berpuasa karena lupa, maka puasanya tidak batal karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَـا أَطْعَمَهُ اللّٰـهُ وَسَقَاهُ

Barangsiapa yang lupa kemudian makan dan minum ketika sedang berpuasa, hendaklah ia meneruskan puasanya karena ia diberi makan dan minum oleh Allâh[6]

Jika seseorang membunuh orang Mukmin karena keliru, ia wajib membayar kafarat dan diyat seperti yang ditegaskan dalam al-Qur'ân. Begitu juga jika ia merusak harta orang lain karena keliru sebab ia menduga karena harta tersebut miliknya. Hal yang sama dikatakan jumhur Ulama tentang orang ihram yang membunuh hewan buruan karena keliru atau lupa kalau dirinya dalam keadaan ihram, maka ia harus mengganti hewan buruan tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang tersebut tidak harus mengganti hewan buruan kecuali jika ia sengaja membunuhnya. Mereka berpegang dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ

“…Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan hewan buruan yang dibunuhnya...”[al-Mâidah/5:95]

Ini adalah riwayat dari Ahmad. Sedangkan menurut jumhur Ulama (mayoritas para Ulama), ayat tersebut menegaskan bahwa hukuman bagi orang yang sedang ihram lalu membunuh hewan buruan dengan sengaja ialah mengganti hewan tersebut serta mendapat murka Allâh Azza wa Jalla . Kedua hukuman ini berlaku khusus bagi orang yang membunuhnya dengan sengaja. Jika unsur kesengajaan tidak ada, maka dia mendapat murka dari Allâh dan hanya tersisa kewajiban mengganti hewan buruan tersebut berdasarkan nash lain.

Yang paling benar, wallâhu a’lam bahwa orang lupa dan keliru itu dimaafkan, maksudnya dosa mereka dihapus karena lupa dan keliru. Karena dosa itu ada sebagai akibat dari niat (buruk) dan unsur kesengajaan. Sedangkan orang yang keliru dan lupa, tidak ada unsur kesengajaan pada mereka, sehingga keduanya tidak berdosa. Adapun menghapuskan hukum atau sanksi dari orang yang keliru dan lupa, maka itu bukan maksud dari nash-nash tadi. Untuk menetapkan ada atau tidak adanya sanksi bagi orang melakukan kesalahan karena lupa dan keliru dibutuhkan dalil lain. Wallahu a’lam.

KEDUA, HUKUM ORANG YANG MELAKUKAN SESUATU KARENA TERPAKSA
Orang Yang Terpaksa Itu Ada Dua Jenis :
Pertama : Orang yang tidak memiliki pilihan sama sekali dan tidak memiliki kemampun sedikitpun untuk menolaknya. Misalnya orang yang dibawa secara paksa dan dimasukkan ke suatu tempat yang ia telah bersumpah untuk tidak memasuki tempat itu, atau ia dibawa paksa lalu dia dipukulkan ke orang lain hingga orang lain tersebut mati sedang ia tidak sanggup sama sekali untuk menolaknya, atau seorang wanita diperkosa secara paksa. Dalam berbagai contoh kasus di atas, pelaku tidak berdosa menurut jumhur (mayoritas) Ulama.

Diriwayatkan dari al-Auzâ’i rahimahullah tentang seorang wanita yang bersumpah dengan sesuatu kemudian ia dipaksa suaminya untuk melanggar sumpahnya tersebut, maka menurut al-Auzâ'i rahimahullah kaffarat (sanksi) pelanggaran sumpah tersebut dibebankan sepenuhnya kepada suaminya.

Riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah juga seperti itu dalam masalah seorang suami yang menggauli istrinya yang sedang berpuasa dengan paksa atau ketika istrinya ihram, maka kaffarat harus dibayar suaminya. Masih menurut pendapat Imam Ahmad t bahwa puasa dan haji wanita itu batal karena kejadian tersebut.

Kedua : Orang yang dipaksa dengan ancaman pukulan atau yang lainnya hingga akhirnya ia terpaksa melakukan sesuatu. Perbuatan yang dilakukan dibawah paksaan seperti ini masih terkena taklif (hukum syari'at). Karena sebenarnya ia masih bisa untuk tidak mengerjakan perbuatan yang dipaksakan kepadanya itu. Dengan demikian, berarti dia mukhtâr (tidak terpaksa) untuk melakukan pekerjaan yang dipaksakan itu, namun tujuannya berbeda dengan tujuan orang yang memaksa. Tujuannya hanya untuk menghindarkan dirinya dari bahaya yang diancamkan kepadanya. Berdasarkan cara pandang seperti ini, berarti si pelaku mukhtâr (tidak terpaksa) dari satu sisi dan terpaksa dari sisi yang lain. Oleh karena itu, para Ulama berbeda pendapat tentang orang seperti ini, apakah ia mukallaf (terkena hokum) atau tidak ?

Para Ulama bersepakat bahwa jika seseorang dipaksa membunuh orang yang terpelihara darahnya, maka orang tersebut tidak boleh membunuhnya, karena pada hakikatnya ia membunuh orang tersebut atas kemauannya sendiri demi menyelamatkan diri bahaya yang diancamkan kepadanya. Ini adalah ijma’ para Ulama yang terkenal. Pada zaman Imam Ahmad ada ulama yang menentang ijma’ tersebut, namun ia tidak dianggap perkataannya.

Jika orang yang dipaksa tersebut membunuh orang yang diisyarakan pemaksa, maka menurut jumhûr (mayoritas) Ulama, keduanya (orang yang dipaksa dan pemaksa), sama-sama terkena qishâsh (hukuman mati) karena keduanya terlibat dalam pembunuhan itu. Ini adalah pendapat Imam Mâlik rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah , dan pendapat terkenal dari Imam Ahmad rahimahullah. Ada yang mengatakan bahwa qishâsh (hukuman mati) wajib dijatuhkan kepada orang yang pemaksa karena orang yang dipaksa membunuh itu seperti alat saja. Ini pendapat Abu Hanîfah rahimahullah dan salah satu dari pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah.

Jika ada seseorang dipaksa menenggak minuman keras atau melakukan perbuatan haram lainnya, tentang boleh atau tidaknya orang itu melakukan perbuatan yang dipaksakan ada dua pendapat :

1. Ia boleh meminumnya karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa. [an-Nûr/24:33]

Ayat ini turun tentang ‘Abdullah bin Ubay ibnu Salul yang mempunyai dua hamba sahaya wanita dan keduanya ia paksa untuk melacur, namun keduanya menolak[8]. Ini pendapat jumhûr (mayoritas) Ulama, seperti Imam asy-Syâfi’i rahimahuh , Abu Hanîfah rahimahullah, dan pendapat terkenal dari Imam Ahmad rahimahullah. Pendapat yang sama diriwayatkan dari al-Hasan, Mak-hûl, Masrûq dan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.

Para Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berbeda pendapat tentang orang yang dipaksa berzina. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa orang yang dipaksa berzina boleh berzina dan ia tidak berdosa karenanya. Ini pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah dan Ibnu ‘Aqîl rahimahullah . Di antara pra Ulama ini, ada yang berpendapat bahwa orang yang dipaksa berzina tidak boleh berzina. Jika ia melakukannya, berarti ia berdosa dan hukuman had dijatuhkan kepadanya. Ini pendapat Abu Hanîfah rahimahullah, diriwayatkan dari Ahmad dan al-Hasan rahimahullah

2. Taqiyah (sikap berpura-pura) itu hanya ada dalam perkataan, tidak dalam perbuatan dan pemaksaan untuk melakukan suatu perbuatan tidak dianggap. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, Abul ‘Âliyah, Abu Sya’sya’, ar-Rabî’ bin Anas rahimahullah, adh-Dhahâk, riwayat dari Imam Ahmad, dan riwayat dari as-Suhnun.

Menurut pendapat tersebut, jika seseorang minum minuman keras atau mencuri karena dipaksa, maka dia dikenakan hukum had.

DIPAKSA UNTUK MENGUCAPKAN SESUATU
Untuk pemaksaan dalam perkataan, para Ulama sepakat menyatakan bahwa orang yang dipaksa untuk mengucapkan sesuatu boleh mengucapkannya. Artinya, jika ada seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan perkataan haram dengan ancaman bunuh, maka dia boleh mengucapkan perkataan itu demi menyelamatkan jiwanya dan dia tidak berdosa, sebagaimana yang firman Allâh Azza wa Jalla :

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ

“…Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…” [an-Nahl/16:106]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu, “Jika mereka kembali melakukannya, ulangi lagi (apa yang telah engkau katakan)”[9]

Orang-orang musyrikin menyiksa Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu agar ia mau mengatakan kekafiran yang mereka inginkan, akhirnya ia melakukannya.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada sejumlah shahabatnya, "Jangan kalian menyekutukan Allâh kendati kalian dipotong-potong atau dibakar.” Syirik yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah syirik dengan hati, seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau mentaati keduanya…” [Luqmân/31:15]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan mereka akan mendapat adzab yang besar.” [an-Nahl/16:106]

Seluruh perkataan bisa saja dipaksakan. Jika seseorang dipaksa mengatakan suatu perkataan tanpa alasan yang benar, maka hukum yang mestinya merupakan konsekuensi dari perkataan tersebut tidak berlaku. Dan perkataan tersebut tidak bermakna apa-apa karena perkataan yang keluar dari mulutnya itu tidak dilandasi keridhaan (kemauan). Jadi, ia dimaafkan dan ia tidak dikenakan hukuman di dunia dan di akhirat. Karena inilah, orang lupa berbeda dengan orang tidak tahu, baik dalam masalah-masalah akad seperti jual beli dan nikah, atau dalam masalah-masalah pembatalan seperti khulu’, perceraian, dan pemerdekaan budak. Begitu juga dalam masalah sumpah dan nadzar. Ini pendapat jumhur ulama yang juga pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad.[10]

FAWÂID
1. Allâh Azza wa Jalla mengampuni dosa yang dilakukan tanpa sengaja, lupa atau terpaksa. Ini merupakan bukti betapa rahmat (kasih sayang) Allâh Azza wa Jalla buat parahamba-Nya begitu luas

2. Keutamaan umat Islam.

3. Apabila sesuatu yang haram dilakukan karena jahil (bodoh), lupa atau dipaksa, maka si pelaku tidak berdosa.

4. Terangkatnya dosa bagi orang yang bersalah bukan berarti tidak ditegakkan hukum padanya.

5. Orang yang dipaksa mengucapkan kalimat kufur dengan ancaman bunuh, maka ia boleh mengucapkannya dan dia tidak berdosa, dengan syarat hatinya tetap beriman.

6. Allâh Maha Memaafkan atas segala kesalahan karena ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.

7. Di antara sifat Allâh adalah memaafkan hamba-hamba-Nya.

Maraaji’
1. Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim.
4. Musnad Imam Ahmad.
5. Sunan Abu Dâwud.
6. Sunan Ibnu Mâjah.
7. Shahiih Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
8. Hilyatul Auliyâ’.
9. Thabaqât Ibni Sa’d.
10. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
11. Iiqâzhul Himam al-Muntaqa min Jâmi’il ‘Ulûm wal Hikam, karya Salim bin ‘Ied al-Hilali.
12. Fat-hul Qawiyyil Matîn fii Syarhil Arba’iin, karya ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Kaidah Ke. 28 : Pengganti Menempati Posisi Yang Digantikan



QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Delapan

يَقُوْمُ الْبَدَلُ مَقَامَ الْمُبْدَلِ وَلَكِنْ لاَ يُصَارُ إِلَيْهِ إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ اْلأَصْلُ

Pengganti Menempati Posisi Yang Digantikan, Namun Pengganti Tidak Dijalankan
Kecuali Jika Pelaksanaan (Ibadah) Yang Diganti Terhalang



Ini sebuah kaidah yang masyhur di kalangan para Ulama. Kaidah ini menjelaskan bahwa badal (pengganti atau ibadah pengganti) diberi hukum yang sama dengan mubdal (yang digantikan atau ibadah yang digantikan). Artinya, jika yang digantikan adalah suatu yang wajib maka penggantinya juga wajib. Jika yang digantikan hukumnya sunnah maka penggantinya pun sunnah.[1]

Diantara dalil yang mendasari kaidah ini yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu. [al-Mâidah/5:6]

Pada ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban bersuci dengan air, kemudian Allâh Subhanahu wa Ta'ala menempatkan tanah sebagai pengganti air, ketika tidak ada air atau berbahaya jika menggunakannya. Dalam ayat ini diisyaratkan, bahwa dengan tayammum (bersuci dengan tanah atau debu) seseorang diperbolehkan mengerjakan ibadah dan hal-hal lain yang hanya boleh dikerjakan jika sudah bersuci dengan air. Di sini juga ada isyarat bahwa tayammum menempati posisi bersuci dengan air.[2]

Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الصَّعِيْدُ الطَّيِّبُ وَضُوْءُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ

Debu yang suci adalah alat bersuci bagi Muslim meskipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia telah menjumpai air maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allâh dan menyentuhkan air itu ke kulinya.[3]

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa tayammum dengan menggunakan debu merupakan pengganti air untuk bersuci apabila tidak ada air.[4]

Namun demikian, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah pengganti kecuali jika sudah ia tidak mampu untuk mengerjakan ibadah yang digantikan tersebut. Jika ia langsung mengerjakan ibadah pengganti padahal ia mampu mengerjakan ibadah yang digantikan maka itu tidak sah dan ia berdosa karena mengabaikan sesuatu yang menjadi hukum asal.[5]

Berikut ini adalah beberapa contoh implementasi kaidah ini :

1. Apabila seseorang bertayammum untuk melaksanakan shalat Dhuha dan ia tidak batal sampai waktu zhuhur tiba, maka ia boleh shalat Zhuhur dengan tayammumnya tersebut. Karena tayammum adalah pengganti wudhu, ketika tidak ada air.

2. Seseorang yang bangun dari tidur dan menyadari dirinya dalam keadaan janabah. Maka ia boleh bertayammum sebagai ganti mandi janabah, apabila tidak ada air. Jika waktu shalat Zhuhur tiba, maka ia tidak wajib bertayammum lagi untuk janabahnya. Yang wajib hanyalah bertayamum dari hadats kecil jika ia berhadats kecil di rentang waktu antara setelah bertayamum dan zhuhur.

3. Namun jika ia bertayammum dari janabah, kemudian ia menjumpai air maka ia wajib untuk mandi.[6]

4. Apabila seseorang bernadzar untuk menyembelih unta untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , namun ia tidak mendapatakan unta, lalu ia menyembelih tujuh ekor kambing sebagai gantinya, maka itu diperbolehkan. Dan kambing tersebut diberi status hukum yang sama dengan yang digantikan. Demikian pula sebaliknya.

5. Apabila seseorang tidak mampu ruku' dan sujud saat shalat, maka ia boleh untuk berisyarat sebagai pengganti dari ruku' dan sujud. Dan mestinya isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyarat ruku'. Jika ia mampu membungkukkan punggungnya untuk ruku' dan meletakkan keningnya di lantai untuk sujud, maka itulah yang wajib baginya dan tidak boleh diganti dengan isyarat.

6. Seorang jama'ah haji yang melaksanakan haji tamattu' atau qiran, wajib baginya untuk menyembelih hadyu, yaitu binatang ternak yang disembelih pada hari nahr (tanggal sepuluh Dzulhijjah). Akan tetapi jika ia tidak mampu, maka ia boleh mengerjakan penggantinya yaitu berpuasa sepuluh hari, yaitu tiga hari dilaksanakan pada masa haji dan tujuh hari setelah ia pulang ke daerah asal.[7]

7. Hukum dalam ibadah haji adalah dikerjakan oleh orang yang bersangkutan tanpa diwakilkan. Namun, jika fisiknya tidak memungkinnya berangkat haji, misalnya lumpuh, sementara ia hartanya cukup untuk ibadah haji, maka ia bisa mewakilkannya ke orang lain untuk menghajikannya. Ini adalah pengganti dari melaksanakan haji dengan badannya sendiri.

8. Seseorang yang melanggar sumpahnya wajib baginya untuk membayar kaffârah sumpah, yaitu dengan memilih salah satu dari beberapa opsi yang ditetap syari'at seperti memberikan makanan sepuluh orang miskin, atau memberikan pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak.[8] Ia boleh memilih salah satu dari ketiga hal tersebut. Namun, jika ia tidak mampu mengerjakan salah satunya, maka ia boleh mengerjakan penggantinya yaitu berpuasa selama tiga hari. Ia tidak boleh membayar kaffarah dengan puasa tiga hari kecuali jika memang tidak mampu mengerjakan salah satu dari tiga opsi di atas.

9. Berkaitan dengan kaffarah zhihar.[9] Seseorang tidak diperbolehkan memilih kaffârah urutan kedua kecuali jika ia tidak mampu mengerjakan kaffârah urutan pertama. Karena kaffarah zhihar bersifat tartib (urutan). Sehingga seseorang tidak boleh mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut jika ia mampu untuk membebaskan seorang budak. Karena posisi puasa dua bulan berturut-turut sebagai badal (pengganti) dari membebaskan budak.

Wallahu a'lam.[10]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


TUJUAN TIDAK BOLEH MENGHALALKAN SEGALA CARA

Oleh
Ustadz DR. Muhammad Nur Ihsan


"Yang penting niat dan tujuannya baik", itulah ungkapan yang sering didengar dari para pelaku perbuatan yang menyelisihi syariat, ketika tidak lagi memiliki alasan lain. Ungkapan ini dijadikan tameng untuk menangkis teguran dan kritikan yang diarahkan kepadanya.

Bahkan ada yang menjadikan ungkapan ini sebagai landasan untuk melegalkan dan menghalalkan segala cara demi mewujudkan niat baiknya, baik dalam urusan dunia maupun agama. Misalnya, demi mewujudkan niat beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , namun segala cara ditempuh termasuk cara yang mengandung bid'ah atau maksiat.

Sebagian yang lain ingin menegakkan agama dan membela kehormatan kaum Muslimin tetapi mereka menempuh cara-cara yang sangat buruk dengan melancarkan aksi teror, membunuh, mencuri serta bom bunuh diri. Ada juga yang ingin berdakwah, tetapi dengan musik dan sinetron 'Islami'.

Dalam urusan dunia, ada yang ingin menggenggam jabatan dan kedudukan, Namur dengan melegalkan suap, bohong dan tindak kedzaliman. Kekayaan dan harta melimpah termasuk diantara yang menyilaukan banyak orang sehingga segala cara untuk meraihnya ditempuh, tanpa peduli halal dan haram.

Itulah sebagian fakta zaman sekarang ini, kehidupan materialis yang sangat terwarnai fitnah syubuhât dan syahawât. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah status ungkapan 'apapun dilakukan, yang penting niat dan tujuannya baik' dalam pandangan Islam? Apakah tujuan yang baik boleh menghalalkan segala cara?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan terlebih dahulu sebuah kaedah masyhur dan agung yang berkaitan dengan tujuan (al-maqâshid) dan sarana (al-wasîlah) yang berbunyi :

الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

Sarana memiliki hukum sama dengan tujuan(nya)

Sarana adalah sesuatu atau metode yang digunakan untuk meraih atau mewujudkan maksud dan tujuan. Maksud dari kaidah di atas adalah hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika tujuan yang dicapai hukumnya wajib, maka sarananya juga demikian hukumnya wajib. Bila tujuannya haram, maka sarana untuk mencapainya pun hukunya juga haram. Dan apabila tujuannya bersifat mubah, sunat atau makruh, maka hukum sarananya begitu juga. Oleh karenanya, jika suatu kewajiban tidak mungkin terlaksana kecuali melalui suatu sarana tertentu, maka sarana (cara) tersebut wajib dilakukan. Dari sini terpahami betapa pentingnya sebuah sarana.

Namun perlu di ketahui bahwa sarana itu terbagi dua :
1. Sarana yang baik. Sarana inilah yang hukumnya sama dengan hukum tujuan atau maksud.

2. Sarana yang tidak baik. Sarana ini tidak boleh dilakukan, meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram (terlarang), seperti mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya baik.

Ini menunjukkan bahwa dalam syari'at islam, maksud yang baik harus digapai dengan sarana (cara) yang baik pula atau dibenarkan syariat. Sebab tujuan dan maksud tertentu tidak menghalalkan segala cara dan sarana, kecuali dalam kondisi yang sangat dhorurat, dan itu pun harus diukur sesuai dengan kadar kedaruratannya, tidak bebas. Hal ini berdasarkan kaedah :

الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

(Keadaan) yang dharurat menyebabkan sesuatu yang terlarang menjadi boleh

Dan kaidah lain yaitu :

الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

(Keadaan) dharurat diukur dengan kadarnya

Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah 'tujuan membolehkan segala cara" adalah sebuah kaedah yang keliru dan batil. Akan tetapi, kaedah yang benar adalah:

( الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ )

Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil

Pengertiannya, bahwa tujuan (niat) baik tidak bisa begitu saja membenarkan (menghalalkan) sarana yang terlarang, kecuali bila ada dalil yang membolehkan sarana tersebut. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang pun berdalih dengan niat atau tujuan baik untuk membolehkan sarana yang haram. Akan tetapi, ia harus memperhatikan maksud yang baik, sarana yang syar'i dan dampak yang baik sekaligus, dan bila terdapat dalil yang shahîh yang membolehkan melakukan sarana yang terlarang untuk mengaplikasikan, menyelamatkan dan memelihara tujuan yang baik, maka hukum tersebut hanya khusus untuk sarana itu saja, seperti berbohong untuk mendamaikan atau memperbaiki hubungan persaudaraan sesama Muslim, berbohong untuk menyelamatkan jiwa yang tidak berdosa dari bahaya, bohong (menipu) orang kafir dalam perang dan suami berbohong kepada istri demi terjalinnya keharmonisan dan kasih- sayang antara mereka berdua. Ini semua telah dijelaskan oleh hadits hadits yang shahîh. Nabi bersabda:

(لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ ويَقُولُ خَيْرًا ويَنْمِي خَيْرًا).

Bukanlah pembohong orang yang mendamaikan antara manusia, ia berkata baik dan menaburkan kebaikan ".

Tentang hadits ini, Ibnu Syihâb rahimahullah, termasuk perawi hadits ini mengatakan:

وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

"Saya tidak mendengar ada keringanan dalam suatu kebohongan yang dikatakan oleh manusia kecuali pada tiga perkara: dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami kepada istrinya dan pembicaraan istri kepada suaminya"[1] .

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الْحَرْبُ خُدْعَةٌ
Peperangan adalah (berisi) tipu-daya [2]

Hukum asal kebohongan itu adalah haram, akan tetapi hukumnya beralih menjadi boleh dalam kondisi di atas demi mewujudkan tujuan yang baik. Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksudnya bukan kebohongan murni, tetapi sekedar berbentuk ta'rîdh (ucapan yang tidak berterus-terang).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Para ulama telah sepakat bolehnya mengelabui orang kafir dalam peperangan dengan cara apa saja yang mungkin dilakukan, kecuali bila terdapat padanya pembatalan perjanjian dan perdamaian, ini tidak di perbolehkan. Dalam hadits yang shahîh terdapat kandungan pengertian bolehnya melakukan kebohongan dalam tiga perkara, salah satunya: dalam perang. Ath Thabari rahimahullah berkata: "Kebohongan yang hanya diperbolehkan dalam perang adalah al-ma'ârîdh (tidak berterus-terang) bukan kebohongan murni, (kalau ini) hukumnya tidak boleh', Imam Nawawi rahimahullah mengomentari : "Demikian pernyataan beliau. Walaupun yang kuat adalah bolehnya melakukan kebohongan murni, akan tetapi tentu melakukan ta'rîdh (tidak berterus-terang dalam berucap) adalah lebih afdhol (utama) Wallâhu a'lam" [3] .

Dari pemaparan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, apakah tujuan membolehkan segala sarana. Tentu saja, jawabanya: tidak!. Itu bukanlah sebuah kaedah syar'i dan prinsip agama yang mulia, namun sebuah kaedah yang diadopsi dari seorang non-Muslim, tiada lain sumbernya kecuali teori yang di cetuskan oleh seorang politikus Yahudi yang bernama Niccolo Machiaveli yang berasal dari Italia yang hidup antara tahun (1469-1527 M), oleh karenanya kaedah ini dikenal dengan teori Machiaveli [4] .

Sebuah kaedah yang jelas kebatilannya, bertentangan dengan kaedah syari' yang menjelaskan bahwa setiap amalan hanya diperbolehkan dan dihukumi sebagai amal sholeh apabila tujuannya baik, sarananya baik dan berdampak (berakibat) baik.

Di antara perkara yang menjelaskan kebatilan teori Machiaveli ini sebagai berikut [5] :

1. Islam mengharuskan manusia memperhatikan sarana (cara) sebagaimana memperhatikan maqooshid (tujuan). Siapa saja yang hanya memperhatikan tujuan, tanpa mempedulikan sarana (cara pencapaiannya), berarti orang ini telah mengambil sebagian agama, sekaligus mengesampingkan sebagian aturan syar'i yang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allâh tidak lengah dari apa yang kamu perbuat".[al-Baqarah/2 : 85]

2. Menyelisihi agama dalam pemilihan sarana (cara) seperti halnya menyelisihi agama dalam penentuan tujuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [an-Nûr/24:63]

Kata (أَمْرِهِ) dalam ayat di atas adalah sebuah kalimat nakirah (umum) yang diidhofahkan (sandarkan), maka menunjukkan makna yang umum, mencakup seluruh perkara yang berkaitan dengan sarana (cara) dan tujuan.

3. Tidak diragukan lagi bahwa kaedah ini adalah faktor utama kerusakan kehidupan dunia, merajalelanya bermacam bentuk kezhaliman, kerusuhan dan kekacauan, dan kebinasaan manusia.

Berikut perkataan sebagian ulama Islam yang menjelaskan kebatilan kaedah yahudiyyah ini, menghalalkan segala cara demi tujuan :

Imam al 'Iz Ibnu 'Abdus Salâm rahimahullah berkata: "Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allâh kecuali dengan bermacam maslahat dan kebaikan, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada-Nya dengan suatu kerusakan dan kejahatan. Berbeda dengan para raja (penguasa) yang zhalim yang (manusia) mendekatkan diri kepada mereka dengan kejahatan, seperti merampas harta, pembunuhan, menganiaya manusia, menebarkan kerusakkan, menampakkan kebangkangan dan merusak negeri, dan tidak boleh mendekatkan diri kepada Rab (Allah) kecuali dengan kebenaran dan kebaikkan"[6] .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Tidak setiap sebab (cara) yang (dengannya) manusia mendapatkan (pemenuhan) kebutuhannya disyariatkan dan diperbolehkan. Hanya diperbolehkan apabila maslahatnya lebih dominan dari mafsadah (kerusakan, bahaya)nya dari hal-hal yang diizinkan oleh syariat" .[7]

Itulah sebagian perkataan ulama Islam tentang bahaya dan larangan menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Kendatipun demikian hukumnya, akan tetapi kaedah yahudiyyah yang batil ini tetap masih banyak digunakan oleh sebagian kaum Muslimin. Mereka ini tidak mempertimbangkan dan memilih sarana dan cara yang syar'i (yang baik) demi mewujudkan tujuan dan cita-cita.

CONTOH NYATA PRAKTEK KAEDAH RUSAK INI SI TENGAH UMAT
Sangat di sayangkan, sebagian orang yang ingin mengajak kepada islam dan memperjuangkan kehormatannya dengan menggunakan kaedah yang batil ini. Berikut beberapa contoh riilnya:

1. Sebagian orang ingin menyampaikan dakwah melalui media musik dan perfilman, sehingga kita melihat akhir-akhir ini marak sebagian juru dakwah, artis , pemusik dan pelawak memanfaatkannya sebagai media dakwah(!?). Bahkan sebagian aktivis da'wah haraki menggunakan nasyid (nyanyian) dan sandiwara Islami (!) sebagai sarana dakwah dan tarbiyahnya.

Hal ini tentu telah menyelisihi prinsip agama yang mulia ini. Islam tidak mengizinkan sarana-sarana yang seperti itu yang sangat jelas mengandung perbuatan haram seperti percampuran lelaki dan perempuan, sentuhan lelaki dan perempuan yang bukan mahram, dusta, musik yang justru melalaikan hati dan kerusakan lainnya. Karenanya, tidak ada dalam kamus Islam istilah musik islami atau nyanyian islami atau film islami dan yang semisalnya. Istilah-istilah seperti itu baru muncul dan dikenal seiring dengan munculnya Jama'ah jama'ah dakwah hizbiyyah harakiyah. Panutan mereka ialah sekte-sekte Shufiyyah yang menjadikan alunan-alunan musik, irama-irama lagu dan syair-syair sebagai bagian yang tidak lepas dari mereka dalam ibadah dan praktek keagamaan. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

2. Bahkan yang lebih aneh lagi, munculnya orang orang yang menamakan diri mereka sebagai pejuang Islam dan pembela martabat kaum Muslimin (!) melalui cara melancarkan teror, intimidasi peledakan, bom bunuh diri, pembunuhan dan mencuri serta perampokan demi jihad (!?). Subhanallâh! Apakah kerusakan seperti ini dibenarkan oleh Islam? Benarkah aksi-aksi di atas termasuk jihad? Ya, benar, tetapi jihad di jalan setan, bukan jihad di jalan ar-Rahmân.

Tentu ini adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam, dan sungguh para pelakunya telah berbohong atas nama Allâh, Rasul-Nya dan agama yang mulia ini. Sebab dengan nekad, mereka menamakan kezhaliman dan perbuatan keji yang tidak manusiawi itu dengan jihad dan amar ma'ruf nahi munkar. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi alam semesta berlepas diri dari aksi-aksi tersebut dan mengutuk para pelakunya dan menghukumi mereka sebagai kaum khawârij dan para terorisme yang melakukan kerusakkan, menebarkan keresahan, kekacauan dan ketakutan di permukaan bumi ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kamu melakukan kerusakkan di permukaan bumi setelah adanya kebaikan [Al-A'râf/7:56]

Islam tidak pernah menghalalkan pencurian dan perampokkan, sekalipun untuk tujuan baik, sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allâh. Dan Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [al-Mâidah/5: 38]

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.[al-Mâidah/5:33]

Dan Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan bermacam bentuk kezdoliman, sebagaimana dalam hadits qudsi:

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan juga di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzhalimi [8]

Kesalahan dan kezhaliman para penguasa tidak membolehkan kita untuk mengingkarinya dengan sarana (cara) yang tidak diperbolehkan (tidak syar'i), seperti kudeta, demonstrasi dan angkat senjata, serta membeberkan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya di media massa dan mimbar. Sebab, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan akan menambah kerusakan dan menimbulkan fitnah yang lebih besar, akan tetapi dengan mengugnakan cara-cara yang syar'i, yaitu dengan memberikan nasehat secara langsung dengan secara berduaan (jika hal itu memungkinkan), atau menulis surat kepadanya, serta mendoakan kebaikan baginya, sebab kebaikan mereka adalah kebaikan untuk masyarakat dan negara itu sendiri, dan sabar menghadapi kezhalimannya, karena kezhaliman para penguasa disebabkan oleh kezhaliman rakyatnya sendiri, karena merupakan sunnatullâh bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan para penguasa (pemimpin) yang memiliki karakter dan keimanan seukuran dengan perilaku, karakter, kepribadian, mentalitas dan keimanan masyarakat suatu negeri. Oleh karenanya, masyarakat jangan bisa menyalahkan dan mengkritik pemerintah saja, tetapi mereka harus mengkoreksi diri dan intropeksi jiwa, sejauh mana mereka telah berbuat keadilan dan meninggalkan kezhaliman.

Tidak heran, kalau para terorisme yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan mereka menamakan aksi dan teror mereka dengan jihad sehingga mereka siap mati dan berkorban demi hal itu, karena pemikiran mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran sesat takfîri sehingga mereka meyakini hal tersebut suatu kebaikkan yang harus dilakukan dan diperjuangkan. Oleh sebab itu, mereka rela mati untuk memperjuangkan 'jihad' mereka ini. Dari sini dapat diketahui, mengapa mereka sulit untuk bertaubat dan meninggalkan aksi bom bunuh diri itu. Pasalnya, mereka telah meyakininya sebagai kebaikan dan tidak pernah ada dalam sejarah orang yang bertaubat dari kebaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita akan bahayanya pemikiran yang sesat (syubhat). Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: "Bid'ah lebih disukai oleh iblis dari maksiat, karena pelaku maksiat mudah bertaubat, dan pelaku bid'ah tidak bisa (sulit) bertaubat"[9] .

3. Sebagian yang ikut serta dalam percaturan demokrasi yang bersumber dari pemikiran kufur, tidak malu-malu untuk menjalin koalisi (bekerjasama) dengan partai partai non-Islam untuk menegakkan syari'at Islam atau daulah Islamiyah (!?), sebagaimana yang dilakukan dan didengungkan oleh sebagian partai politik atau para aktivis dakwah haraki. Dan sudah tidak malu lagi mencalonkan diri dalam pilkada sebagai wakil dari calon kepala daerah seorang wanita dengan foto berdampingan yang terpampang di banyak tempat umum.

Bahkan seluruh jama'ah dakwah hizbiyyah harakiyah dengan berbagai macam isu yang mereka usung dan latar belakang –secara umum- menggunakan kaedah yang batil ini (menghalalkan segala cara demi tujuan). Maka, tidak heran kalau kita melihat dalam dakwah mereka terdapat banyak penyimpangan dari prinsip prinsip aqidah Ahlu Sunnah dan menyelisihi sarana sarana dakwah para Nabi dan dakwah generasi Salaf.

Karena itu, mengikuti manhaj dakwah Salaf adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk mengenal Islam, mengamalkan dan mendakwahkannya. Manhaj dakwah salafiyah selalu menggunakan sarana sarana yang syar'i dan komitmen dengannya dalam mewujudkan tujuan yang mulia dan agama yang suci, indah lagi sempurna ini. Mereka selalu berjalan bersama dalil kemana saja dalil itu mengarah. Inilah salah satu satu keistimewaan dakwah yang berkah ini. Walillâhil hamd.

PENUTUP
Demikian, semoga kita semua dibimbing oleh Allâh Azza wa Jalla untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengamalkanya, dan untuk selalu memperhatikan niat (tujuan) yang baik, sarana yang baik dan dampak yang baik dalam setiap amalan yang kita lakukan. Sebab, itulah amalan yang disyariatkan oleh agama. Syaria't Islam yang sempurna dan mulia ini datang dengan membawa maksud yang baik, sarana yang baik dan memperhatikan akibat (dampak) yang baik dan melarang dari seluruh niat yang tidak baik, sarana yang keji dan dampak negatif. Wallâhu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA

Oleh
Ustadz Abu Abdir Rahman Abdullah Zaen, MA.


SEBUAH RENUNGAN DARI SEPENGGAL KISAH NYATA
Seorang preman mendapatkan hidayah mengenal manhaj Salaf. Dulu, ia dibenci masyarakat karena suka mengganggu, gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorang pun yang berani menegurnya, karena takut mendapatkan bogem mentah darinya.

Setelah mengenal dakwah Ahlu Sunnah ini, ia berubah menjadi orang yang baik (shalih) dan alim, hanya saja masyarakat tetap tidak menyenanginya, tetap membencinya, padahal ia sudah meninggalkan keburukanya dulu. Kalau dulu masyarakat tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahi, bahkan menyidangnya pula. Apa pasalnya?

Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.Dulu dibenci karena 'kepremanannya', sekarang dibenci karena 'keshalihan'nya…
Haruskah orang yang mengikuti manhaj Salaf menghadapi kebencian dari masyarakat? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?

Benar, seseorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama Salaf saja sudah terlebih dulu menghadapi tantangan. Para pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, akan tetap dihadang oleh tantangan dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibandingkan kebaikan.

Namun, yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj Salaf, murni diakibatkan keteguhan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau disebabkan factor lain, seperti tidak bisa membawa diri dengan baik di tengah masyarakat, kurang cakap dalam dalam menjelaskan prinsip dan kurang pandai dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah (dakwah Salaf) dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?

Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominant dalam melahirkan antipati masyarakat.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allâh semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.

PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:

Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur [al-Qalam/ : 4]

Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia [HR. at-Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan shahih]

APA ITU AKHLAK MULIA?
Banyak definisi yang disampaikan Ulama. Definisi yang cukup mewakili adalah:

بَذْلُ النَّدَى وَكَفُّ الْأَذَى وَاحْتِمَالُ الْأَذَى

Akhlak mulia adalah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti[1]

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:
1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.

APA MAKSUD DAKWAH DENGAN AKHLAK?
Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2]

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH
Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.

1. Gemar Membantu Orang Lain.
Banyak nash dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu Hurairah]

Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anhuma tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadîjah Radhiyallahu anhuma berkata:

كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah [HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]

Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anhuma di atas, sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai, karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadîjah Radhiyallahu anhuma menyebutkan berbagai contohnya,[4] di antaranya gemar membantu orang lain.

Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk 'berbalas budi' atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

2. Jujur Dalam Bertutur Kata
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70]

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.

Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu bercerita, bahwa tatkala turun firman Allâh Azza wa Jalla ,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. [asy-Syu'ara/26:214]

Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, "Wahai kaumku kemarilah!". Orang-orang Quraisy berkata, "Siapakah yang memanggil itu?". "Muhammad", jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?".
Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!".
"Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!" , lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 4971 dan Muslim no. 507 dengan redaksi Muslim]

Lihatlah bagaimana kejujuran Rasûlullâh dalam bertutur kata menjadi dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5]

Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.

3. Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ

Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian". [HR. Abu Dâwud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi] [6]

Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur langsung Allâh Azza wa Jalla tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza wa Jalla abadikan dalam surat 'Abasa. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Dialah 'Abdullâh Ibn Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu .

Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.

Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dia menjawab, "Orang-orang lemah dan kaum miskin". Heraklius pun menimpali, "Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa".[7]

Ketika menafsirkan Surat asy-Syu'ârâ ayat ke-111, Imam Abu Hayyân rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi, sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]

Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, termasuk orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Masyarakat cenderung lebih respek kepada ulama atau da'i yang rendah hati serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada penceramah yang hanya berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap da'i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun penceramah (Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?

Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9] , namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para da'i dan Ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan, dengan satu tujuan lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa Jalla .

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya 'Adi bin Hâtim ath-Thâ'I, seorang raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah, membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu atas kemunculan raja pesaing baru, hingga datanglah suatu hari dimana Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk mendatangi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Begitu mendengar kedatangan 'Adi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya segera bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan meninggalkan 'Adi guna mendatangi wanita tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup lama berdiri melayani kebutuhan si wanita. Melihat tawadhu' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 'Adi bergumam dalam hatinya, "Demi Allâh, ini bukanlah tipe seorang raja!".

Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggamit tangan 'Adi melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan 'Adi untuk duduk di atasnya. 'Adi pun menjawab, "Tidak, duduklah engkau di atasnya". "Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya" sahut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akhirnya, 'Adi duduk di atas bantal tersebut dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas tanah. Saat itu, 'Adi kembali bergumam dalam hatinya, "Demi Allâh, ini bukanlah karakter seorang raja!".

Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya 'Adi pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya. [10]

Lihatlah bagaimana 'Adi begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani kepentingan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalanannya mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik yang mengendap dalam hatinya terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan titik awal ketertarikan sang raja untuk memeluk Islam.

Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da'i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia telah berhasil mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, "Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!". Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da'i tersebut yaitu keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang 'kecil'. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!

4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan Kondisi Psikologis Orang Yang Dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no. 2332]

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menangkis, "Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita. Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?

Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, "Betul Pak, pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat, sehingga timbullah keseimbangan antara dua sisi tersebut".

Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menasehati para Sahabat.

Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, "Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasûlullâh, izinkan aku berzina!". Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, "Diam kamu, diam!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Mendekatlah". Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?".
"Tidak demi Allâh, wahai Rasul" sahut pemuda tersebut.
"Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai".
"Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?".
"Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!".
"Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai".
"Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?".
"Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!".
"Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai".
"Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?".
"Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!".
"Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai".
"Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?".
"Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!".
"Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai".
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, "Ya Allâh, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya".
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina". [HR. Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad shahîh].[11]

Cermatilah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin, sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Jalan dakwah memang panjang dan membutuhkan kesabaran.

Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa'di rahimahullah ketika beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ

Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh melimpahkan nikmat-Nya pada kalian. [an-Nisâ/4: 94] [12]

Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh, buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan, kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.

5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan Membalas Keburukan Dengan Kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil [al-A'râf/7:199]

Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.

Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu :

كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ: "مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!" فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ

Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan orang itu, sembari berkata, "Berilah aku sebagian dari harta yang Allâh berikan padamu!". Beliau pun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta". [HR. al-Bukhâri no. 3149 dan Muslim no. 2426]

Contoh jenis kedua antara lain, kejadian yang dikisahkan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Wahai Rasûlullâh, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari peperangan Uhud?".
Beliau menjawab, "Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa'âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, "Sesungguhnya Allâh telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu". Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, "Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Justru aku berharap, semoga Allâh berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun". [HR. Muslim no. 4629]

Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah-daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah. Ketika seorang da'i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insya Allâh dengan berjalannya waktu, hati para 'lawan' dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [13]

Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.

Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah menghadang Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.

Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.

“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allâh, maka Dia k yang akan membalas jika Dia k berkehendak!”. [14]

Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid'ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.
Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun, Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji, pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.

Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.

Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah rahimahullah , ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun , sambil mengatkan, “Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.

Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin Makhlûf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”.[15]

Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati para da'i.

6. Menahan Diri Dari Meminta-Minta Apa Yang Dimiliki Orang Lain.
Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah 'iffah atau 'afâf. Ini merupakan salah satu karakter para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam al-Qur'ân,

"يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً ".

"(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain". [Al-Baqarah: 273].

Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka dapat menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,

"مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ".

"Barang siapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka Allâh akan jadikan ia memiliki sifat 'iffah. Dan barang siapa menampakkan diri berkecukupan; niscaya Allâh akan menjadikannya kaya". [HR. al-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anuh]

Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, "Wahai Rasûlullâh, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan, aku akan disayang Allâh dan dicintai manusia!". Beliau pun menjawab:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang Allâh. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari Sahl bin Sa'd as-Sâ'idi Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah] [16]

Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.

Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da'i tersebut; jelas -dengan izin Allâh Azza wa Jalla - mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]

KIAT MENUMBUHKAN SIFAT ‘AFAF
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, ada kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan karakter mulia ini dalam diri kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat qona'ah yang berarti menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allâh Azza wa Jalla . Sebab, sebenarnya sifat 'afâf merupakan buah dari sifat qona'ah. [17]

Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona'ah? Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allâh Azza wa Jalla dan yang kita dapatkan telah dicatat Allâh Azza wa Jalla , serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.

CATATAN PENTING[18]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita 'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!

Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[19] , tahlilan[20] , maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya. Caranya? Dengan selalu berusaha berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, semisal kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.

Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.

Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.

Jawabannya:
A. Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullah berkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah"[21].

Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, "Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru, adanya prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja, tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum Muslimin"[22] .

B. Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!

Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung 'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.

Sikap ini juga kurang tepat, karena seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan memperbaiki akhlaknya yang belum baik, lalu berusaha terus-menerus menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!

PENUTUP
Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah "Bisnis afwan akhi!" [23] , yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu berupaya untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat yang jelas-jelas membutuhkan pembinaan Islami untuk menjadi lebih baik.

Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq... Wa shallallahu 'ala nabiyyina muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


METODE PENDEKATAN AKHLAK IBNU TAIMIYAH DALAM MENDAKWAHI MASYARAKAT [1]



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memandang manusia itu berbeda-beda tingkatannya. Orang yang paling afdhal dalam penilaian beliau adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesama dan memiliki keunggulan dalam ilmu atau agama. Inilah gambaran orang paling baik.[2]

Dalam bermuamalah, beliau tidak membeda-bedakan orang. Karena Allâh Azza wa Jalla tidak memandang bentuk rupa dan kekayaan, akan tetapi, memandang hati dan amalan. Allâh Azza wa Jalla menjadikan amalan shaleh seseorang sebagai standar kemuliaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allâh Azza wa Jalla ialah orang yang paling takwa diantara kamu [al-Hujurât/49:13]

Oleh sebab itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah bersikap adil terhadap kaum Muslimin. Semua orang sederajat di majlis beliau n dan dalam barisan shalat. Namun, orang yang memiliki keutamaan tertentu, diakui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seperti pada diri 'Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu , Thalhah bin 'Ubaidillâh Radhiyallahu anhu , Zubair bin 'Awwâm Radhiyallahu anhu , Sa'ad bin Muâdz Radhiyallahu anhu , Usaid bin Khudhair, 'Abbâd bin Bisyr Radhiyallahu anhu, mereka termasuk para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar yang kaya-raya. Mereka mendapatkan tempat lebih di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kaum fuqoro.[3]

NASAB BUKAN JAMINAN MULIA BAGI SESEORANG
Garis nasab tidak lantas mengangkat derajat orang secara otomatis. Garis nasab juga tidak dapat memenangkan orang dalam perolehan jabatan, rezeki dan memegang kendali hukum. Ini hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh dan ahli bid'ah.

Mengaitkan kemuliaan orang dalam agama berdasarkan nasab merupakan salah satu ciri hukum Jahiliyah yang diikuti oleh golongan Syiah dan orang-orang bodoh yang serupa dengan mereka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ فَضْلَ لِعَرِبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Tidak ada kemuliaan bagi orang Arab atau non-Arab kecuali dengan ketakwaan [4]

Karena itu, tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur`ân yang memuji atau mencela orang karena nasabnya. Manusia dipuji karena keimanan dan ketakwaannya, dan ia dicela karena kekufuran, perbuatan fasik dan maksiatnya.

Disebutkan dalam hadits shahîh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ

Empat perkara Jahiliyah yang masih ada pada umatku (yaitu) berbangga diri dengan status sosial, mencela nasab, meminta hujan dengan bintang dan niyâhah [HR. Muslim]

Dakwah Islamiyyah di setiap masa, merangkul siapa saja yang hatinya tunduk untuk mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta merelakan dirinya untuk membela agama dan umat. Tidak dilihat nasab, jabatan, warna kulit atau bahasanya. Siapapun yang lebih bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dan lebih bermanfaat bagi manusia, ia lebih pantas untuk diutamakan dan lebih berhak memperoleh penghargaan daripada orang yang lebih rendah kadar ketakwaan dan manfaatnya bagi sesama meskipun nasab dan status sosialnya tinggi.

DAI PASTI AKAN MENGHADAPI GANGGUAN DARI UMAT
Para dai akan menghadapi masyarakat yang memiliki hawa nafsu dan kesenangan yang susah mereka tinggalkan. Musuh dakwah pada umumnya adalah orang-orang yang hidup bergelimang kemewahan. Mereka takut kehilangan kedudukan bila dakwah Islamiyah menang.

Dengan kekayaan yang dimiliki, mereka dapat memanfaatkan orang-orang bayaran untuk melawan dakwah. Tidak dipungkiri, menghadapi orang-orang seperti itu tentu sangat beresiko, karena kemungkinan besar akan mengadakan perlawanan. Namun, perlu diketahui, bahwa ini selalu menjadi jalan para dai ilal haq, sebab jalan para dai tidak pernah dihiasai dengan bunga-bunga yang wangi.

Seorang dai yang mengemban tugas menyelamatkan mereka (orang-orang yang bergelimang kemewahan) dari pengaruh buruk hawa nafsu mereka sendiri dan mengentaskan umat dari mereka memerlukan kesiapan seperti keimanan kuat dan akhlak yang mulia. Maka, menjadi kewajiban para dai untuk memperbekali diri dengan akhlak mulia dimana yang paling penting dari akhlak itu adalah kesabaran, lemah-lembut, dan mudah memberi maaf serta berbuat baik kepada mereka.

DUA POKOK AKHLAK DAI DALAM BERDAKWAH
Dua pokok akhlak dai dalam menghadapi gangguan, kemarahan dan kebencian dari umat terhadap dakwah disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang [al-Balad/90:17]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka…[Ali 'Imran/3:159]

Kesabaran mengandung unsur kelembutan yang dapat mengontrol diri agar tidak membalas kejelekan dengan sikap serupa. Kesabaran merupakan inti akhlak yang agung. Sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ

Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Rabbmu [al-Qalam/68:48]

Maka menjadi kewajiban seorang dai untuk bersabar menghadapi gangguan orang dan takdir Allâh Azza wa Jalla , namun yang pertama itu lebih berat.[5]

Sementara sifat rahmat (penuh kasih-sayang) akan mendorong rasa iba akan kebodohan umat yang pada gilirannya akan mendorong untuk selalu berbuat baik kepada umat, membalas kejelekan dengan kebaikan. Bentuk akhlak yang berkebalikan dengan fadhâhah (sikap kasar). Inilah bentuk ihsân ma'nawi (kebaikan maknawi) yang disodorkan kepada orang lain. Sementara bentuk kebaikan materiil, dengan memberikan harta, jasa, sehingga serupa dengan sifat kedermawanan. Allâh Azza wa Jalla telah memadukan dua bentuk ihsan ini dalam firman-Nya yang artinya:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh [al-A'râf/7:199]

Yang menjadi kewajiban antara sesama Mukmin, menyukai bagi saudara seiman apa yang disukai bagi dirinya sendiri. Dan memenuhi hak-hak sesama Mukmin yang bertumpu pada tali keimanan, meskipun tidak ada ikatan dan hubungan duniawi yang khusus dengan mereka. Sebab dengan iman, orang menjadi saudara dengan orang Mukmin yang lain.

Syaikhul Islam berkata, "Sesunggunya Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya telah mengikat ikatan ukhuwwah antara keduanya dengan firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara [al-Hujurât/49:10]

Barang siapa belum keluar dari keimanan, maka wajib diperlakukan atas dasar itu. Kebaikannya dipuji dan atas dasar itu ia didukung, dihalangi dari perbuatan haram dan dijauhi karenanya sesuai dengan kemampuan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

Bantulah saudaramu dalam saat berbuat zhalim atau teraniaya [HR. al-Bukhâri no.2443].

Cinta, wala, permusuhan dan benci karena Allâh Azza wa Jalla harus menjadi landasan langkah setiap Muslim, sebagai wujud ketundukan terhadap perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Ia mencintai apa yang dicintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan membenci apa yang dibenci Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Barang siapa ada pada dirinya kebaikan dan keburukan, maka ia diperlakukan sesuai dengan kondisinya tersebut, seperti para pelaku maksiat. Mereka pantas mendapatkan rasa cinta dan benci berdasarkan kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya.

Rasûlullâh n adalah teladan dalam pergaulan dengan sesama manusia. Beliau diutus Allâh Azza wa Jalla dengan akhlak terbaik. Beliau memperlakukan mereka dengan baik, menyayangi, memuliakan, berlemah-lembut, bersabar, dan memaafkan mereka, tanpa meminta balasan atau mengharapkan pamrih duniawi.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, "Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasulullah sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana beliau diutus dengan mengemban ilmu dan petunjuk serta bukti-bukti kebenaran bersifat aqli dan naqli, beliau diutus juga untuk berbuat baik kepada manusia, menyayangi mereka tanpa minta imbalan dan bersabar dan bertahan menghaapi gangguan mereka…"[6]

Ketika kita berbuat kebaikan untuk sesama, siapapun dia, maka harus dilakukan dengan niat tulus karena Allâh Azza wa Jalla mengharapkan pahala dan keridhaan-Nya. Sebab, melayani umat dan berbuat baik kepada mereka merupakan bentuk ibadah yang besar sehingga orang harus berniat ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla . Tidak meminta imbalan, doa atau apa saja dari orang. Jika melakukan itu karena berharap imbalan, maka itu sudah tidak termasuk perbuatan baik kepada orang. [7]

Keinginan berbuat baik kepada orang harus berlandaskan asas, pedoman dan memperhitungkan aspek kemaslahatan. Sebagian orang ingin melakukan hal-hal yang sebenarnya berbahaya bagi dirinya sendiri dan sebagian orang tidak peduli dengan apa-apa yag bermanfaat bagi dirinya lantaran pengaruh hawa nafsu dan syahwat mereka. Karenanya, menjadi kewajiban insan-insan yang berdakwah, untuk tidak memenuhi keinginan mereka ini. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Bukan termasuk berbuat baik, melakukan hal-hal yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Sungguh, Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (al-Qur`ân) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu [al-Mukminun/23:71]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ ۚ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan [al-Hujurât/49:7]

Berbuat baik kepada mereka hanyalah dengan melakukan apa saja yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka, meskipun itu dibenci. Akan tetapi, tentu harus berlemah-lembut dengan mereka dalam perkara-perkara yang mereka tidak sukai. Dalam Shahîhain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Lembut, menyukai kelembutan dan memberikan hal-hal (baik) yang tidak didapat melalui sikap kasar [Muttafaqun alaih]

'Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, "Demi Allâh Azza wa Jalla aku pernah berniat menyampaikan kebenaran kepada orang-orang, namun aku khawatir mereka akan lari. Maka, aku bersabar dulu sampai mereka mendapatkan nikmat duniawi. Saat itulah aku menyampaikan kebenaran. …demikianlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu ketika kedatangan orang yang meminta sesuatu (memiliki kebutuhan) tidak menolaknya kecuali dengan memberikan apa yang diminta atau dengan tutur kata yang baik".

Syaikhul Islam rahimaullah berkata, "Sesunggunya jiwa tidak menyukai kepahitan kecuali bila dicampur dengan sesuatu yang manis, tidak bisa kecuali dengan itu. Karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan menta`lif (melunakkan) hati para hamba terlebih dahulu dengan menetapkan bagian sedekah bagi para muallaf".[8]

Dalam kesempatan lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah melukiskan jalan keberhasilan berinteraksi dengan manusia dengan berkata, "Bergaulah dengan mereka karena Allâh Azza wa Jalla dan mengharap pahala Allâh Azza wa Jalla dalam mempergauli mereka, tidak mengharapkan (pamrih) dari mereka di jalan Allâh Azza wa Jalla , hendaknya takut (bertakwa) kepada Allâh Azza wa Jalla saat bersama mereka dan tidak takut kepada mereka di jalan Allâh Azza wa Jalla , berbuat baik kepada mereka dengan berharap pahala dari Allâh Azza wa Jalla , bukan mengharap timbal-balik dari mereka, tidak menzhalimi mereka karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla bukan karena takut kepada mereka".

Kerjakan perintah Allâh Azza wa Jalla , meskipun mereka tidak menyukaimu. Termasuk tanda kelemahan iman, engkau mencari ridha manusia dengan melakukan hal yang membuat Allâh Azza wa Jalla murka atau mencela mereka dengan hal-hal yang tidak engkau dapatkan dari Allâh Azza wa Jalla . Demikian pesan beliau yang lain.

Beliau juga mengatakan, "Manusia akan lebih condong kepada orang yang bersifat terpuji dan menjauh dari orang yang bersifat buruk".[9]

Sesungguhnya keyakinan seseorang itu mencakup keyakinan dalam menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla dan janji-Nya bagi orang-orang yang taat, serta mencakup keyakinan terhadap takdir Allâh Azza wa Jalla , penciptaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau membuat mereka cinta kepadamu dengan melakukan hal-hal yang membuat Allâh Azza wa Jalla murka, berarti engkau belum memiliki keyakinan, tidak kepada janji atau pun rezeki dari-Nya…barang siapa mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla , itu tidak akan memberikan manfaat bagi dai sedikit pun. Orang seperti ini akan sangat takut dengan manusia, akan banuak berbuat kezhaliman bila berkuasa dan sangat terhina bila terkalahkan. Ia selalu takut kepada manusia sesuai dengan keadaan mereka. inil termasuk faktor yang memicu terjadi fitnah di tengah manusia. [10]

BUKAN SEKEDAR BERTEORI
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak hanya berada dalam tataran teoritis semata, meminta dan mengarahkan orang melakukan sesuatu sementara beliau duduk-duduk saja di majlis jauh dari masyarakat. Sebaliknya, tidaklah beliau mencapai teori-teori tersebut dan memperoleh kekuatan menyimpulkan pedoman-pedoman kecuali karena menuliskannya berdasarkan perjalanan dan praktek langsung di lapangan yang beliau jalani dengan dasar ilmu yang sangat luas dan pemahaman kuat terhadap maqashid syariat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t mencintai orang-orang dan menginginkan kebaikan bagi mereka, serta tulus dalam melayani dan berbuat baik kepada mereka, berlemah-lemah dalam berinteraksi dengan mereka. dan orang-orang pun membalas beliau dengan kecintaan pula.

Kecintaan mereka ini tampak sekali ketika mereka berjumpa dengan beliau. Bahkan ketika para pemilik toko menyaksikan beliau berjalan memasuki pasar, mereka langsung menyambut beliau dan melontarkan salam kepada beliau, serta berharap doa darinya. Dan beliau merespon salam mereka.

Apabila mendengar ada orang meninggal, beliau bersegera ikut menyolati jenazahnya. Jika terlambat, kekecewaan tampak pada muka beliau dan terkadang menyempatkan pergi ke makam untuk menyolati dan mendoakan jenazah di sana.

Setiap pekan, beliau menyempatkan mengunjungi orang-orang sakit terutama yang berada di Maristan, sebuah tempat semacam rumah sakit di zaman itu yang dibangun oleh Nûruddîn Mahmûd bin Zanki rahimahullah, penguasa masa itu yang mendukung dakwah beliau.

Majlis beliau selalu terbuka bagi siapa saja. Hati beliau menerima seluruh manusia. majlis beliau terbuka bagi orang dewasa, anak-anak, pejabat, rakyat jelata, orang merdeka, budak belian, lelaki maupun perempuan. Dan setiap orang merasakan penghormatan yang sangat besar dari beliau.

Diceritakan oleh al-Bazzâr rahimahullah bahwa beliau akan menemani orang yang mendatangi beliau sampai dia sendiri yang berpamitan, siapapun dia. Tidak menyakiti orang dengan tutur kata yang menyakitkan. Beliau menjawab dan memahamkan, serta memperlihatkan kesalahannya dengan penuh kelembutan dan kehangatan.

Ibnu 'Abdil Hâdi rahimahullah, salah seorang murid beliau menceritakan, "Orang-orang umum mencintainya, karena beliau selalu siap memberi manfaat bagi mereka siang dan malam dengan lisan dan tulisannya". [11] Karena itu, julukan Syaikhul 'Ammâh (Syaikh panutan siapa saja) juga melekat pada diri Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah .

Semoga pemaparan ini bermanfaat, menjadi cermin bagi kita terutama para dai dalam mengabdikan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan dakwah ilal haq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



MENGIMANI SHIRATH, JEMBATAN DI ATAS NERAKA

Oleh
Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra


Di akherat kelak, akan banyak sekali peristiwa yang sangat menakjubkan sekaligus menakutkan. Kita, sebagai seorang Mukmin, wajib mempercayai segala hal yang akan terjadi pada hari Kiamat, baik yang disebutkan dalam al-Qur'aan maupun yang terdapat dalam Hadits yang shahih. Kita tidak boleh membeda-bedakan dalam urusan beriman dengan segala peristiwa tersebut, baik itu sesuai dengan logika ataupun tidak. Segala hal yang akan terjadi di akherat tidak bisa kita qiyaskan dengan peristiwa di dunia ini. Karena semua peristiwa di akherat adalah peristiwa yang penuh dengan keluarbiasaan dan kedahsyatan. Di antara peristiwa yang akan menakjubkan sekaligus menakutkan di alam akhirat kelak, peristiwa melewati shirâth (jembatan) yang terbentang di atas neraka menuju ke surga. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kita untuk melewatinya kelak di akherat.

PENGERTIAN SHIRATH.
Shirâth secara etimologi bermakna jalan lurus yang terang[1] . Adapun menurut istilah, yaitu jembatan terbentang di atas neraka Jahannam yang akan dilewati oleh manusia ketika menuju Surga [2] .

DALIL-DALIL TENTANG KEBERADAAN SHIRAT
Landasan keyakinan tentang adanya shirâth pada hari Kiamat berdasarkan kepada ijma’ para ulama Ahlus Sunnah yang bersumberkan kepada dalil-dalil yang akurat dari al-Qur`ân dan Sunnah. Berikut ini kita sebutkan beberapa dalil yang menerangkan tentang adanya shirâth.

Di antara ulama berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا

Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan [Maryam/19:71]

Diriwayatkan dari kalangan para Sahabat, di antaranya; Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu, Ibnu Mas'ûd Radhiyallahu anhu dan Ka'ab bin Ahbâr bahwa yang dimaksud dengan mendatangi neraka dalam ayat tersebut adalah melewati shirâth.[3]

Sementara itu, banyak sekali riwayat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini, di antaranya:

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجَسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ

Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: "Wahai Rasûlullâh, bagaimana (bentuk) jembatan itu?". Jawab beliau, "Llicin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa'dân ..." [Muttafaqun 'alaih]


BENTUK DAN KONDISI SHIRATH.
Dalam hadits yang sudah disebutkan di atas terdapat beberapa ciri atau sifat dan bentuk shirâth, yaitu: "licin (lagi) mengelincirkan, di atasnya ada besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa'dân ...".

Dan disebutkan lagi dalam hadits bahwa shirâth tersebut memiliki cangkok-cangkok besar, yang mencankok siapa yang melewatinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

وَيُضْرَبُ جِسْرُ جَهَنَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَدُعَاءُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ وَبِهِ كَلَالِيبُ مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ أَمَا رَأَيْتُمْ شَوْكَ السَّعْدَانِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهَا مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ غَيْرَ أَنَّهَا لَا يَعْلَمُ قَدْرَ عِظَمِهَا إِلَّا اللَّهُ فَتَخْطَفُ النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ رواه البخاري

Dan dibentangkanlah jembatan Jahannam. Akulah orang pertama yang melewatinya. Doa para rasul pada saat itu: "Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah". Pada shirâth itu, terdapat pencangkok-pencangkok seperti duri pohon Sa'dân. Pernahkah kalian melihatnya?" Para Sahabat menjawab, "Pernah, wahai Rasûlullâh. Maka ia seperti duri pohon Sa'dân, tiada yang mengetahui ukuran besarnya kecuali Allâh. Maka ia mencangkok manusia sesuai dengan amalan mereka". [HR. al-Bukhâri]

Di samping itu, para Ulama menyebutkan pula bahwa shirâth tersebut lebih halus daripada rambut, lebih tajam dari pada pedang, dan lebih panas daripada bara api, licin dan mengelincirkan. Hal ini berdasarkan pada beberapa riwayat, baik yang disandarkan langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun kepada para Sahabat tetapi dihukumi marfû'. Sebab, para Sahabat tidak mungkin mengatakannya dengan dasar ijtihad pribadi mereka tentang suatu perkara yang ghaib, melainkan hal tersebut telah mereka dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Sa'id Radhiyallahu anhu berkata: "Sampai kepadaku kabar bahwa shirâth itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang" [4] .

Setelah kita amati dalil-dalil tersebut di atas dapat kita ikhtisarkan di sini sifat dan bentuk shirâth tersebut sebagaimana berikut:

1. Shirâth tersebut amat licin, sehingga sangat mengkhawatirkan siapa saja yang lewat dimana ia mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh.

2. Shirâth tersebut menggelincirkan. Para Ulama telah menerangkan maksud dari 'menggelincirkan' yaitu ia bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.

3. Shirâth tersebut memiliki besi pengait yang besar, penuh dengan duri, ujungnya bengkok. Ini menunjukkan siapa yang terkena besi pengait ini tidak akan lepas dari cengkeramannya.

4. Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak, dan tersambar oleh pengait besi atau tidak, semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing orang.

5. Shirâth tersebut terbentang membujur di atas neraka Jahannam. Barang siapa terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait, maka ia akan terjatuh ke dalam neraka Jahannam.

6. Shirâth tersebut sangat halus, sehingga sulit untuk meletakkan kaki di atasnya.

7. Shirâth tersebut juga tajam yang dapat membelah telapak kaki orang yang melewatinya. Karena sesuatu yang begitu halus, namun tidak bisa putus, maka akan menjadi tajam.

8. Sekalipun shirâth tersebut halus dan tajam, manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allâh Azza wa Jalla Maha Kuasa untuk menjadikan manusia mampu berjalan di atas apapun.

9. Kesulitan untuk melihat shirâth karena kehalusannya, atau terluka karena ketajamannya, semua itu bergantung kepada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.

BAGAIMANA KEADAAN MANUSIA KETIKA MELEWATI SHIRATH?
Setelah kita melihat sikilas tentang sifat-sifat shirâth yang tedapat dalam hadits-hadits shahih. Berikutnya kita lihat pula bagaimana keadaan manusia ketika melewati shiraath tersebut.

1. Riwayat Pertama:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ))، قَالَ : قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ: ((أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ )) رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: "Lalu diutuslah amanah dan rohim (tali persaudaraan) keduanya berdiri di samping kair-kanan shiraath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat". Aku bertanya: "Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?" Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : "Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirâth sambil berkata: "Ya Allâh selamatkanlah! selamatkanlah! Sampai para hamba yang lemah amalannya, sehingga datang seseorang lalu ia tidak bisa melewati kecuali dengan merangkak". Beliau menuturkan (lagi): "Di kedua belah pinggir shirâth terdapat besi pengait yang bergatungan untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkir ke dalam neraka". [HR. Muslim]

2. Riwayat Kedua:

الْمُؤْمِنُ عَلَيْهَا كَالطَّرْفِ وَكَالْبَرْقِ وَكَالرِّيحِ وَكَأَجَاوِيدِ الْخَيْلِ وَالرِّكَابِ فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَنَاجٍ مَخْدُوشٌ وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَمُرَّ آخِرُهُمْ يُسْحَبُ سَحْبًا ( متفق عليه)

Orang Mukmin (berada) di atasnya (shirâth), ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah tertatih-tatih dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara pelan-pelan”. [Muttafaqun 'alaih]

3. Riwayat Ketiga:

فَمِنْهُمْ مَنْ يُُوْبَقُ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ يُُخَرْدَلُ ثُمَّ يَنْجُو( متفق عليه)

Di antara mereka ada yang binasa disebabkan amalannya, dan di antara mereka ada yang tergelincir namun kemudian ia selamat [Muttafaqun 'alaih]

4. Riwayat Keempat:

وَيُضْرَبُ الصِّرَأطُ بَيْنَ ظَهْرَي جَهَنَّمَ فَأَكُونُ أنَا وَأُمَّتِيْ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَلاَ يَـَتكَلََّمُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ الرُسُلُ وَدَعْوَى الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ فَمِنْهُمْ الْمُؤُمِنُ بَقِيَ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ الْمُجَازَى حَتىَّ يُنَجَّى (رواه مسلم)

Dan dibentangkanlah shirâth di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu: "Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah……di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang dibalasi sampai ia selamat”. [HR. Muslim]

Melalui riwayat-riwayat yang kita sebutkan di atas dapat kita simpulkan di sini bagaimana kondisi manusia saat menlintasi shirâth :

1. Ketika manusia melewati shirâth, amanah dan ar-rahm (hubungan silaturrahim) menyaksikan mereka. Ini menunjukkan betapa pentingnya menunaikan amanah dan menjalin hubungan silaturrahim. Barangsiapa melalaikan keduanya, maka ia akan merasa gemetar ketika disaksikan oleh amanah dan ar-rahm saat melewati shirâth.

2. Kecepatan manusia saat melewati shirâth yang begitu halus dan tajam tersebut sesuai dengan tingkat kecepatan mereka dalam menyambut dan melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla di dunia ini.

3. Di antara manusia ada yang melewati shirâth secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat burung terbang, dan ada pula yang secepat kuda yang berlari kencang.

4. Di antara manusia ada yang melewatinya dengan merangkak secara pelan-pelan, ada yang berjalan dengan menggeser pantatnya sedikit demi sedikit, ada pula yang bergelantungan hampir-hampir jatuh ke dalam neraka dan ada pula yang dilemparkan ke dalamnya.

5. Besi-besi pengait baik yang bergantungan dengan shirâth maupun yang berasal dari dalam neraka akan menyambar sesuai dengan keimanan dan ibadah masing-masing manusia.

6. Yang pertama sekali melewati shirâth adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya.

7. Setiap rasul menyasikkan umatnya ketika melewati shirâth dan mendoakan umat mereka masing-masing agar selamat dari api neraka.

8. Ketika melewati shirat setiap mukmin agar diberi cahaya sesuai dengan amalnya masing-masing. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dalam menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

9.
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ

Pada hari itu, engkau melihat orang-orang mukmin cahaya mereka menerangi dari hadapan da kanan mereka [al-Hadîd/57:12]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Mereka melewati shirâth sesuai dengan tingkat amalan mereka. Di antara mereka ada cahayanya sepert gunung, ada cahayanya yang seperti pohon, ada cahayanya setinggi orang berdiri, yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi ampu kakinya, sesekali nyala sesekali padam” [5] .

KELOMPOK YANG MENYIMPANG DALAM MENGIMAMI
Meski banyak sekali dalil yang mengharuskan umat mengimani adanya shirâth, namun ada saja kelompok yang menyimpang dalam masalah ini, yaitu kaum Mu’tazilah. Mereka tidak mengimani adanya shirâth yang hakiki pada hari Kiamat, karena –menurut mereka- hal itu tidak masuk akal dan tidak logis (?!).

Syubhat yang merasuki hati mereka dalam pengingkaran ini, bagaimana mungkin manusia bisa melewati di atas benda yang lebih halus dari rambut, lebih tajam dari pedang, amat licin dan selalu bergerak-gerak?

Para Ulama telah membantah dan menjawab pernyataan aneh mereka ini dan orang-orang yang meragukan wujud shirâth, seperti Imam al-Qurthubi rahimahullah. Setelah menyebutkan perkataan mereka, beliau berkata, "Apa yang disebutkan oleh orang ini adalah tertolak berdasarkan hadits-hadits yang kita sebutkan, bahwa beriman dengan hal itu adalah wajib. Sesungguhnya (Allâh) Dzat yang mampu menahan burung di udara, tentu sanggup menahan orang Mukmin di atas shirâth tersebut. Baik, dengan berlari maupun berjalan. Tidak boleh dialihkan dari makna hakiki kepada makna majazi kecuali bila mustahil. Dan tidak ada kemustahilan dalam hal itu, berdasarkan hadits-hadits dan penjelasan para ulama yang terkemuka tentang hal itu. Barangsiapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allâh Azza wa Jalla , maka ia tidak akan memiliki cahaya (petunjuk)” [6] .

PELAJARAN DAN HIKMAH DIBALIK KEIMANAN KEPADA KEIMANAN
Qurthubi rahimahullaht berkata, "Coba renungkan sekarang tentang apa yang akan engkau alami, berupa ketakutan yang ada pada hatimu ketika engkau menyaksikan shirâth dan kehalusannya (bentuknya). Engkau memandang dengan matamu kedalaman neraka Jahanam yang terletak di bawahnya. Engkau juga mendengar gemuruh dan gejolaknya. Engkau harus melewati shirâth itu sekalipun keadaanmu lemah, hatimu gundah, kakimu bisa tergelincir, punggungmu merasa berat karena memikul dosa, hal itu tidak mampu engkau lakukan seandainya engkau berjalan di atas hamparan bumi, apa lagi untuk di atas shirâth yang begitu halus.

Bagaimana seandainya engkau meletakkan salah satu kakimu di atasnya, lalu engkau merasakan ketajamannya! Sehingga mengharuskan mengangkat tumitmu yang lain! Engkau menyaksikan makhluk-makhluk di hadapanmu tergelincir kemudian berjatuhan! Mereka lalu ditarik oleh para malaikat penjaga neraka dengan besi pengait. Engkau melihat bagaimana mereka dalam keadaan terbalik ke dalam neraka dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Wahai betapa mengerikannya pemandangan tersebut. Pendakian yang begitu sulit, tempat lewat yang begitu sempit"[7] .

Imam al-Qurthubi rahimahullah menambahkan, "Bayangkanlah wahai saudaraku!. Seandainya dirimu berada di atas shiraath, dan engaku melihat di bawahmu neraka Jahanam yang hitam-kelam, panas dan menyala-nyala, engkau saat itu sesekali berjalan dan sesekali merangkak"[8].

Dari pembahasan shirâth di atas terbukti kebenaran aqidah Ahlus Sunnah dalam pembahasan masalah iman:

1. Bahwa amal sholeh merupakan bagian dari iman, karena jelas sekali disebutkan dalam hadits-hadits shirâth tersebut bahwa kecepatan manusia melewatinya sesuai dengan kadar keimanan mereka masing-masing. Ini sekaligus membantah paham Murji`ah yang mengeluarkan amal sholeh sebagai bagian dari iman.

2. Bahwa iman bertambah dan berkurang. Ketika seorang Mukmin berbeda-beda tingkat kekuatan iman mereka, maka berbeda-beda pula tingkat kecepatan mereka ketika melewati shirâth.

Dalam pembahasan shirâth ini terdapat pula pelajaran bagi kita agar kita berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, sehingga termasuk orang yang paling cepat ketika melewati shirâth di akhirat kelak. Semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bish shawâb

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Sumber:   http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment