Monday, April 30, 2012

Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah


Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah



Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah.

Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissalam

“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

"Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’: 89]

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan ke-turunan…” [Ar-Ra’d: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 32]

Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallan bersabda.

"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa." [1]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya)." [2]

Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa.

Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.

"Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani." [3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.

Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu.

[1]. Nikah Adalah Sunnah Para Rasul.

Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." [4]

[2]. Siapa Yang Mampu Di Antara Kalian Untuk Menikah, Maka Menikahlah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan: "Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'" [5]

[3]. Orang Yang Menikah Dengan Niat Menjaga Kesucian Dirinya, Maka Allah Pasti Menolongnya.

Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah." [6]

[4]. Menikahi Wanita Yang Berbelas Kasih Dan Subur (Banyak Anak) Adalah Kebanggaan Bagimu Pada Hari Kiamat.

Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.’” [7]

[5]. Persetubuhan Salah Seorang Dari Kalian Adalah Shadaqah.

Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka."

Beliau bersabda: "Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma'ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah."

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?"

Beliau bersabda: "Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Anjuran Untuk Menikah : Menikah Dapat Mengembalikan Semangat Kepemudaan




Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq




[6]. Menikah Dapat Mengembalikan Semangat "Kepemudaan".

Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.

Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’” [9]

[7]. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menganjurkan Suami Isteri Agar Melakukan Aktivitas Seksual Guna Memperolah Keturunan, Dan Menikah Dengan Gadis.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia mengatakan: "Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: 'Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.' Seorang sahabatnya berkata kepadanya: 'Insya Allah.' Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.'" [10]

Dalam riwayat Muslim (disebutkan): "Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! 'Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'" [11]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah , ia mengatakan: "Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku lalu menegur: 'Jabir!' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.' Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda: 'Naiklah!' Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: 'Apakah engkau sudah menikah?' Aku menjawab: 'Sudah.' Beliau bertanya: 'Gadis atau janda?' Aku menjawab: 'Janda.' Beliau bersabda: 'Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?' Aku menjawab: 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.' Beliau bersabda: 'Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.' [12] Beliau bertanya: 'Apakah engkau akan menjual untamu?' Aku menjawab: 'Ya.' Lalu beliau membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah n sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya: 'Apakah sekarang engkau telah tiba?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bersabda: 'Tinggalkan untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.' Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: 'Panggillah Jabir kepadaku.' Aku mengatakan: 'Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.' Beliau bersabda: 'Ambillah untamu, dan harganya untukmu.'" [13]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda

"Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit." [14]

[8]. Anak Dapat Memasukkan Bapak Dan Ibunya Ke Dalam Surga.

Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: 'Masuklah ke dalam Surga.' Mereka menjawab: 'Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).' Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka: 'Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke dalam Surga.' Mereka mengatakan: 'Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?' Allah berfirman: 'Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.'" [15]

Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi "pendeta" serta tidak menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui ajaran-ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:

[9]. Tidak Menikah Karena Memanfaatkan Seluruh Waktunya Untuk Beribadah Adalah Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama "kependetaan" dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik, ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan: "Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?" Salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam selamanya." Orang kedua mengatakan: "Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka." Orang ketiga mengatakan: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.'" [16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu ‘anhu atas apa yang dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda' Radhiyallahu ‘anhuma yang telah beristeri, agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu ‘anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah terjadi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Ketika Salman mengunjungi Abud Darda', dia melihat Ummud Darda' mubtadzilah (memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus). [17] Dia bertanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia menjawab: "Saudaramu, Abud Darda', tidak membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”

Kemudian Abud Darda' datang lalu Salman dibuatkan makanan. "Makanlah, karena aku sedang berpuasa," kata Abud Darda'. Ia menjawab: "Aku tidak akan makan hingga engkau makan." Abud Darda' pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda' pergi untuk mengerjakan shalat.

Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ketika pada akhir malam, Salman berkata: "Bangunlah sekarang." Lantas keduanya melakukan shalat bersama.

Kemudian Salman berkata kepadanya: "Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya."

Kemudian Abud Darda' datang kepada Nabi n untuk men-ceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: "Salman benar." [18]

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, aku diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam hari?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu.'" [19]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Menepis Kekeliruan Pandangan Terhadap Poligami


Oleh
Ustadz Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda



Di antara petunjuk al Qur`an, yang memberikan petunjuk jalan yang lurus, yaitu dibolehkannya seorang laki-laki melakukan poligami hingga empat isteri. Meski demikian, bila seorang lelaki merasa khawatir tidak mampu berbuat adil, maka diharuskan baginya cukup mempunyai satu isteri saja atau memiliki budak perempuan, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam surat an-Nisaa ayat 3.

“Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [1]

Ada beberapa alasan mengapa seorang laki-laki boleh melakukan poligami, di antaranya ialah untuk kebaikan wanita, disebabkan terhalangnya sebagian wanita dari menikah. Juga untuk kebaikan laki-laki, supaya manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan, yang tidak mungkin optimalisasi itu terlaksana kalau hanya mempunyai satu isteri saja. Alasan lainnya, ialah untuk kebaikan ummat, yakni memperbanyak jumlah kaum Muslimin. Karena dengan banyaknya kaum Muslimin yang terlahir dari perkawinan ini, memungkinkan mereka melawan musuh untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai yang tertinggi.

Poligami merupakan syari'at Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencelanya, kecuali orang yang telah dibutakan oleh Allah Azza wa Jalla mata hatinya dengan kekufuran. Pembatasan poligami dengan empat isteri, juga merupakan pembatasan yang datangnya dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan jumlah ini bersifat tengah-tengah antara sedikit (monogami), yang menyebabkan terabaikannya sebagian manfaat kaum lelaki, atau banyak (lebih dari empat) yang dikhawatirkan tidak adanya kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangga terhadap seluruh isteri [2]

Pada akhir-akhir ini muncul generasi yang memiliki pemikiran sebagaimana orang-orang barat. Mereka mendapatkan pendidikan barat, baik di negeri sendiri ataupun di negeri orang kafir, dan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran orientalis yang memusuhi Islam.

Terkadang sangat jelas kebatilannya dan juga terkadang tampaknya baik, tetapi di balik itu terdapat penyimpangan yang disembunyikan, hingga menimbulkan kerancuan dan kekacauan pemikiran di kalangan kaum Muslimin. Yang pada akhirnya pemikiran mereka berkembang hingga taraf pengingkaran terhadap syari'at. Di antara kerancuan pemikiran mereka, yaitu dalam hal poligami. Menurut mereka, poligami dianggap sebagai perbuatan zhalim, sehingga tidak benar jika diperbolehkan. Sebagian lagi ada yang secara terang-terangan menentang poligami, sebagian lagi dengan cara halus.

Berikut kami contohkan di antara syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.

Syubhat Pertama.
Para penentang poligami menyatakan adanya larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menikahi anak perempuan Abu Jahl dan mengumpulkannya dengan Fatimah binti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].

Dengan menyandarkan kepada larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali agar tidak mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, maka sebagian penentang poligami memberikan komentar dan mengatakan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang Ali untuk menikah dengan anak perempuan Abu Jahl dan dikumpulkan bersama Fatimah. Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan, maka kami melarang para suami menikahi wanita lain bersama dengan anak-anak perempuan kami, dan kamipun tidak melakukan poligami, karena ini termasuk di antara perkara-perkara yang bisa menyakiti orang-tua maupun isteri-isteri kami.

Jawab:
Syubhat yang mereka lontarkan itu, hakikatnya sudah tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama. Berikut adalah penjelasannya.

[1]. Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ أَبَدًا

Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya.

Dalam riwayat Muslim :

مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا

Dalam satu tempat selama-lamanya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا

Pada satu laki-laki selama-selamanya.

Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.

Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,' maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[4]

Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi "Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[5]

[2]. Hadits ini menunjukkan di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu putri-putri beliau tidak boleh dimadu.[6]

[3]. Hal ini khusus bagi Fathimah, karena dia telah kehilangan ibunya dan juga saudara-saudara perempuannya, sehingga tidak tersisa lagi orang yang bisa diajak bertukar pikiran atau meringankan beban pikiran, atau untuk menyampaikan rahasia apabila muncul rasa cemburunya [7]. Berbeda dengan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena jika mereka mendapatkan problem semisal di atas, maka mereka bisa mengadu kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah tersebut, yaitu suami mereka, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini disebabkan dengan apa yang ada pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu sifat lemah-lembut, kebaikan hati, menjaga perasaan. Sehingga semua isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha dengan kebaikan akhlak dan seluruh sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga jika muncul kecemburuan, maka bisa segera teratasi dalam waktu cepat.

[4]. Sesungguhnya hal itu bukan berarti larangan, akan tetapi maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap percaya dirinya dan keteguhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan ini termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau- tidak akan mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl. Seperti perkataan Sahabat Anas bin Nadhir tatkala saudara perempuannya mematahkan gigi seri seorang wanita, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menegakkan qishash, akan tetapi Anas bin Nadhir berkata: "Apakah engkau hendak mematahkan gigi Rabi'? Tidak! Demi Allah . Engkau tidak mungkin mematahkan giginya, selama-lamanya. Maka keluarga wanita tersebut akhirnya mau menerima diyat dan gigi seri milik Rabi’tidak dipatahkan, sehingga berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

“Artinya : Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, kalau dia bersumpah dengan nama Allah, Allah berkenan mengabulkannya” [8]

Syubhat Kedua.
Para penentang poligami menyatakan, tidak mungkin bagi para suami mampu berbuat adil di antara para isteri, dengan dalih firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [An-Nisaa`: 3]

Dan Allah telah berfirman :

“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`: 129]

Jawab
Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil" dalam ayat ini adalah rasa cinta, kecondongan hati dan hubungan badan. Adapun perkara-perkara yang zhahir, seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari satu untuk berbuat adil.

Dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah: "Tidak boleh mengutamakan salah satu di antara para isteri dalam pembagian. Akan tetapi, bila dia mencintai salah satunya lebih dari yang lainnya, atau berhubungan badan lebih banyak dari yang lainnya, maka ini tidak mengapa. Dalam masalah ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat-Nya :

“Artinya : (Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian)” [An-Nisaa` : 129]

“Yaitu dalam rasa cinta dan berhubungan badan".

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan : "Adapun rasa cinta, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai 'Aisyah dibandingkan dengan yang lainnya. Dan kaum Muslimin sepakat, bahwa menyamakan rasa cinta kepada semuanya bukan suatu kewajiban, karena ini diluar kemampuan seseorang kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendakinya. Adapun adil dalam bersikap, maka demikianlah yang diperintahkan".[10]

Imam Ibnu Hajar juga berpendapat senada. Beliau berkata,"Apabila sang suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal bagi seluruh isterinya, maka tidak mengapa baginya jika dia melebihkan sebagian lainnya dalam hal kecondongan hati atau pemberian hadiah.[11]

Dalam masalah keadilan ini, Syaikh Musthafa al Adawi memberikan dua peringatan.

[1]. Menyamakan dalam berhubungan badan meskipun ini tidak wajib akan tetapi disunnahkan untuk berbuat adil dalam hal ini, ini lebih baik, lebih sempurna dan jauh dari sikap berlebih-lebihan dalam kecondongan hati, sebagaimana yang dikemukakan oleh sejumlah Ulama’. Imam Ibnu Qudaamah dalam kitab beliau “Mughni” mengatakan : Bila memungkinkan menyamakan dalam berhubungan badan maka ini lebih baik, lebih utama dan lebih sesuai dengan makna adil[12]

Dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab disebutkan, dianjurkan bagi suami untuk menyamakan dalam berhubungan badan, karena ini lebih sempurna dalam berbuat adil. Kalau dia tidak melakukannya, maka tidak mengapa. Karena dorongan untuk melakukan hubungan badan adalah nafsu syahwat dan rasa cinta. Dan tidak mungkin menyamakan di antara para isteri. Oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`:129]

Menurut 'Abdullah bin 'Abbas, yaitu dalam hal rasa cinta dan hubungan badan. 'Aisyah sendiri menjelaskan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara isteri-isteri beliau dan berbuat adil, kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: "Ya, Allah. Inilah pembagianku pada isteri-isteriku yang aku miliki, dan janganlah Engkau cela diriku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki," yaitu hati.[13] Dan di bagian lain dikatakan: "Akan tetapi dianjurkan untuk menyamakan di antara para isteri dalam berhungan badan, karena ini yang menjadi tujuan".

[2]. Seorang suami wajib untuk memenuhi kebutuhan biologis isterinya, tentunya sesuai dengan kemampuannya. Kalau ia tidak melakukannya, maka dia tidak akan merasa aman dari kerusakan, yang mungkin terjadi pada isterinya, bahkan terkadang dapat menyebabkan permusuhan, kebencian dan perselisihan di antara keduanya.[15]

Syubhat Ketiga.
Para penentang poligami berpendapat, bahwa poligami justru akan melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut.[16]

Jawab
Pendapat ini dapat kita bantah ini sebagai berikut:
Perselisihan yang muncul di antara para isteri merupakan sesuatu yang wajar, tumbuh dari rasa cemburu yang merupakan tabiat wanita. Untuk mengatasi hal tersebut, tergantung kepada kemampuan suami dalam mengatur urusan rumah tangganya, keadilannya terhadap isteri-isterinya, rasa tanggung jawab terhadap keluarganya, demikian juga tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Apabila ini semua sudah terpenuhi, maka akan tegaklah kehidupan keluarganya, diliputi dengan rasa kasih dan sayang di antara anggota keluarganya. Atau kalau tidak terpenuhi, akan hancurlah keluarga tersebut, baik keluarga yang berpoligami ataupun tidak. Kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga tampak seperti itu, walaupun menikah hanya dengan satu isteri (monogami). Bahkan banyak terjadi pertengkaran, hingga mengantarkan pada perceraian, dan menyebabkan anak-anak menjadi terlantar.

Memang ada benarnya, terkadang pertengkaran menimpa keluarga, orang yang melakukan poligami, tetapi hal ini terjadi karena kurang bertanggung jawabnya sang suami, dan karena ketidak-adilannya terhadap para isterinya. Ini membutuhkan jalan penyelesaian, bukan dengan cara menolak praktek poligami, yang di dalamnya terdapat banyak kebaikan. Perbuatan dan perilaku individu, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya poligami.

Syubhat Keempat.
Para penentang poligami mengatakan, Islam, sebagai agama yang diturunkan untuk menegakkan keadilan, sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami. Al-Qur'an surat Annisa ayat 3 kerap kali dijadikan dalih pembenar. Padahal, ulama membaca ayat tersebut tidak seragam. Setidaknya ada 3 pendapat menilai ayat tsb. Pertama, boleh tanpa syarat. Kedua, boleh dengan syarat darurat; dan Ketiga, haram lighairihi. Pendapat ketiga mengisyaratkan bahwa pada esensinya, poligami tidaklah haram. Namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram[17]

Jawab
Subhanallah! Ini merupakan kedustaan besar atas agama Allah dan ayat-ayat-Nya. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Islam sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami? Bagaimana dengan ayat yang telah disebutkan Allah Subhanhu wa Ta’ala , yaitu :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat” [An-Nisaa` : 3]

Para ulama menjelaskan tentang tafsir ayat ini, bahwasanya hukum asal berpoligami adalah boleh. Bahkan sebagian ulama mengatakan perkara ini dianjurkan bagi yang mampu.

Syaikh Mohammad Amin mengatakan dalam kitab tafsir Adwa’ul-Bayan, bahwasanya Islam membolehkan menikah dengan lebih dari satu isteri, (yaitu) dua, tiga atau empat[18]

Juga Imam Ibnu Katsir, di dalam tafsir beliau tentang ayat ini menyebutkan, nikahilah wanita yang kalian kehendaki selain dari mereka, jika kalian menghendaki dua orang, tiga orang atau empat orang [19]

Demikian juga perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Nikahilah wanita yang banyak melahirkan anak dan cinta kepada suami. Sesungguhnya aku membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lainnya".[20]

'Abdullah bin 'Abbas juga mengatakan: "Menikahlah! Sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya".[21]

Maknanya, dengan banyaknya menikah akan memperbanyak umat, dan inilah yang menjadi tujuan pernikahan. Para ulama’ menjelaskan, boleh melakukan poligami, dengan syarat harus bersikap adil. Dalam hal ini, adil yang dimaksud adalah dalam perkara yang zhahir; bukan yang batin, seperti rasa cinta, kecondongan hati, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Adapun perkataan "namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram".

Timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang dibolehkan oleh Allah dan banyak membawa kebaikan akan menimbulkan kemudharatan? Allah-lah Yang paling mengetahui tentang kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya. Maka kalau dalam berpoligami terdapat kekurangan yang disebabkan perilaku sebagian individu, maka tidaklah kemudian disama-ratakan hukumnya. Penilaian yang mengeneralisir ini, sungguh suatu penilian yang sangat keliru.

Demikian sebagian di antara pandangan keliru yang dilesatkan para musuh Islam kepada kaum Muslimin tentang poligami. Sehingga bisa jadi menumbuhkan keragu-raguan di kalangan kaum Muslimin pada umumnya. Dengan demikian, setahap demi setahap keraguan ini bisa menyebabkan penolakan terhadap syari'at Allah secara keseluruhan. Kita berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membimbing kita pada kebenaran. Tetap berpegang teguh dengan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wallahul-Musta'an.

Poligami : Kewajiban Menyamaratakan Secara Adil Semua Isteri Dalam Hal Pemberian Nafkah Materi



Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah



Di dalam kitab Al-Fatawa (XXXII/270), Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun keadilan dalam masalah nafkah dan sandang, maka yang disunahkan adalah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau sangat adil dalam memberikan nafkah di antara isteri-isterinya, sebagaimana beliau juga adil dalam membagi giliran. Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat manusia (maksud beliau adalah ulama ,-ed) mngenai pembagian ini, apakah yang demikian itu merupakan suatu hal yang wajib bagianya ataukah sunnah? Dan mereka berselisih juga soal sikap adil dalam hal pemberian nafkah, apakah yang demikian itu wajib atau sunnah? Dan hukum wajibnya lebih kuat dengan di dukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

Syaikh Mustafa Al-Adawi berkata, “Dan yang tampak secara lahiriah –wallahu a’lam- adalah bahwa pendapat yang mewajibkan itu lebih kuat dengan di dukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan pengetahuan mengenai hal itu hanya ada di sisi Allah Azza wa Jalla” [1]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Ummu Sulaim pernah mengutusnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kain yang diatasnya terdapat kurma ruthab (yang belum kering). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggamnya kemudian mengirimkannya kepada beberapa isterinya. Dan setelah itu beliau pun mengambil lagi sebagian kurma tersebut dan memberikannya kepada sebagian isterinya yang lain. Kemudian beliau duduk dan memakan sisanya, seperti makannya seseorang yang mengetahui bahwa dia sangat berselera padanya” [Hadits Riwayat Ahmad] [2]

SEKELUMIT TENTANG SIKAP ADIL PARA ULAMA SALAF

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/387) mengatakan, Abu Dawud Ath-Thayalisi mengabarkan kepada kami dari Harun bin Ibrahim, dia berkata, Aku pernah mendengar Muhammad berkata tentang seorang laki-laki yang memiliki dua orang isteri, “Dimakruhkan baginya untuk berwudhu di rumah salah seorang dari keduanya dan tidak di rumah yang lainnya”. Ini adalah atsar yang shahih.

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/387), “Jarir memberitahu kami dari Mughirah dari Abu Ma’syar dari Ibrahim mengenai seorang laki-laki yang menghimpun antara dua madunya, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya dia menyamaratakan di antara mereka semua sehingga tersisa kelebihan tepung dan makanan yang telah ditakar, lalu dia membaginya segenggam demi segenggam, hingga masih juga tersisa tetapi tidak bisa ditakar lagi”.

Atsar ini shahih. Dan Abu Ma’syar adalah Ziyad bin Kulaib, yang dia bersetatus tsiqah (dapat dipercaya).

MENGADAKAN UNDIAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA YANG AKAN IKUT DALAM SUATU PERJALANAN

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian diantara isteri-isteri beliau. Siapa diantara mereka yang mendapatkan undian itu maka beliau akan keluar bersamanya. Dan beliau biasa membagi untuk setiap orang dari isteri-isteri beliau hari dan malamnya, hanya saja Saudah binti Zam’ah telah memberikan hari dan malamnya kepada Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan mendapatkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa, jika akan melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Maka jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafshah. Dan jika malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama Aisyah sambil berbincang-bincang. Maka Hafshah berkata, “Tidakkah malam ini engkau (Aisyah) menaiki untaku dan aku akan menaiki untamu dengan sama-sama saling melihat?” Maka dia menjawab, “Ya”. Maka dia pun naik. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi unta Aisyah yang diatasnya terdapat Hafshah, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya, kemudian beliau berjalan sampai akhirnya mereka singgah. Dan Aisyah kehilangan beliau. Dan ketika mereka singgah, kedua kaki Aisyah berada di antara tumbuhan Idzkhir dan berkata, “Ya Rabb-ku, kirimkanlah kepadaku kalajengking atau ular yang akan menyengatku, dan aku tidak dapat berkata apa-apa” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/40), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Secara global dapat dikatakan bahwa seorang suami jika hendak melakukan perjalanan, lalu dia ingin membawa istrinya semua atau meninggalkannya, maka dia tidak perlu lagi melakukan undian, karena undian itu hanya diperlukan untuk menentukan pilihan diantara mereka yang akan ikut dalam perjalanan. Dan disini berarti dia telah memperlakukan sama. Dan jika dia hendak melakukan perjalanan bersama sebagian dari mereka, maka dia tidak boleh melakukan perjalanann dengannya, kecuali setelah melakukan undian. Dan inilah yang menjadi pendapat sebagian besar ulama. Dikatakan dari Malik bahwa menurutnya suami tersebut tidak perlu mengadakan undian, tetapi pendapat tersebut tidak shahih, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika akan mengadakan perjalanan, maka beliau selalu mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Siapa pun dari isteri-isteri beliau yang mendapatkan undian itu, maka beliau akan pergi bersamanya” [Muttafaq Alaih]

Dan karena perjalanan dengan salah seorang isteri tanpa melalui undian akan berarti sebagai pilih kasih sehingga tidak boleh dilakukan tanpa undian, sebagaimana dalam menentukan awal giliran.

Dan jika seorang suami ingin melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka dia juga harus melakukan undian. Aisyah telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana jika beliau akan pergi, maka beliau melakukan undian di antara isteri-isterinya sehingga undian itu jatuh pada Aisyah dan Hafshah. {Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dan kapan pun beliau akan melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka beliau menyamakan di antara mereka, sebagaimana beliau memperlakukan sama saat tidak bepergian”

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Poligami : Tidak Ada Kewajiban Bagi Suami Untuk Menyamaratakan Dalam Hal Cinta Dan Hubungan Badan




Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah




Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, Abdul Aziz bin Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dari Yahya bin Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu Abbas dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya –yang dia maksudkan adalah Aisyah-. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun tersenyum”

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit bertanya-tanya, ‘Dimana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama menunggu hari giliran Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu beliau memberikan izin kepadanya.
Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (Aisyah), Dan aku pun diam”.

Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’.
Fathimah pun menjawab, ‘Ya’
Kalau begitu, maka cintailah wanita ini’, pinta Rasulullah”

Lebih lanjut, Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami, kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya istei-isterimu meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (Aisyah),.

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya (untuk selamanya)”.

Aisyah berkata, “Maka istei-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala”.

Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah”.

Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku membela diriku”.

Aisyah berkata, “Lalu aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling darinya”.

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum :

“Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar” [Hadts Riwayat Muslim]

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan : “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal ini sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikan hati. Dan dalam masalah ini terdapat penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih berada dibawah kendali dan kekuasannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan. Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (siteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya (suami)”.

Syaikh Mushthafa Al-Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan.

Peringatan pertama : Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu wajib, hanya saja dia disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah ulama.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan’.

Di dalam kitab Al-Majmuu Syarh Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai lagi seorang suami yang memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang (hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan”.

Di dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, “…. Hanya saja yang disukai adalah menayamakan di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan”.

Peringatan kedua : Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya” [1]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Apakah Poligami Itu Dianjurkan ?




Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah



Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : … Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” [An-Nisaa : 3]

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan ?

Jawaban
Syaikh Mustafa Al-Adawi Hafizhahullah Ta’ala mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : …Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….”

Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” [At-Taghabun : 14]

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya” [An-Nuur : 33] [1]

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh”.

MEMBERI SETIAP ISTERI SEBUAH RUMAH SEBAGAI UPAYA MENGIKUTI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumahj mereka” [Al-Ahzab : 33]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-Ahzaab : 34]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” [Al-Ahzab : 53]

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sunnah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih.

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.

Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”.

Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan”

Catatan.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Wanita-Wanita Yang Dilarang Dinikahi




Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam



Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-lamanya, dan wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada tujuh orang karena hubungan nasab, yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah
[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
[4]. Anak wanita istri (anak tiri)
[5]. Anak wanita saudara
[6]. Bibi dari garis ayah
[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah.

"Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.
[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri kalian".[An-Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri, bibinya dari garis ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita pezina yang sudah bertaubat, wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]

Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian".
Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

MAKNA SECARA UMUM
Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah salah seorang Ummahatul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Dia mendapatkan kedudukan yang terpandang dan merasakan kebahagiaan atas pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya dia merasakan hal itu. Lalu dia meminta agar beliau menikahi saudarinya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merasa ta'ajub, karena bagaimana mungkin dia mentolerir suaminya menikah lagi dengan wanita lain yang akan menjadi madunya, karena wanita memiliki kecemburuan yang besar dalam hal ini. Maka beliau bertanya dengan rasa heran, "Apakah engkau menyukai hal itu?"

Dia menjawab, "Ya, aku menyukainya". Kemudian dia menjelaskan sebab kesukaannya sekiranya beliau mau menikahi saudarinya, bahwa harus ada wanita lain yang bersekutu dengannya dalam kebaikan dan dia tidak ingin kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Maka apa salahnya jika yang bersekutu dalam kebaikan ini adalah saudarinya sendiri.

Seakan-akan dia tidak mengetahui pengharaman menikahi dua bersaudara. Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberitahunya, bahwa saudarinya itu tidak boleh beliau nikahi. Lalu Ummu Habibah memberitahukan kepada beliau, bahwa dia mendengar kabar bahwa beliau akan menikahi putri Abu Salamah.

Lagi-lagi beliau bertanya, "Apakah yang engkau maksudkan putri Ummu Salamah?"??

Ummu Habibah menjawab, "Ya".

Maka beliau menjelaskan kebohongan berita itu, "Sesungguhnya putri Ummu Salamah tidak halal bagiku karena dua sebab.

Pertama : Karena dia anak tiriku yang kuasuh di rumahku, karena dia putri istriku.
Kedua : Karena dia putri saudaraku dari sesusuan, karena aku dan ayahnya, Abu Salamah pernah menyusu kepada Tsuwaibah, yaitu mantan budak Abu Lahab. Berarti aku juga merupakan pamannya.

Karena itu janganlah engkau menawarkan putri-putri kalian dan saudari-saudari kalian kepadaku. Aku lebih tahu dan lebih berhak daripada kalian untuk mengatur urusanku semacam ini".

KESIMPULAN HADITS
[1]. Pengharaman menikahi saudari istri, dan hal itu tidak diperbolehkan
[2]. Pengharaman menikahi anak tiri, yaitu putri istri yang sudah dicampuri.
[3]. Penyebutan rumah ini, di sini bukan merupakan sasaran, tapi penyebutan maksud penghindaran.
[4]. Larangan menikahi putri saudara sesusuan, karena diharamkan dari sesusuan seperti yang diharamkan dari nasab
[5]. Seorang mufti harus menyampaikan rincian fatwa jika ditanya tentang suatu masalah yang hukumnya berbeda-beda, dengan perbedaan semua sisinya.
[6]. Mufti harus mengarahkan penanya dengan penjelasan apa yang harus dipaparkan dan yang dapat diterima, apalagi terhadap orang yang memang harus dia arahkan dan dia bimbing, seperti anak dan istri.
[7]. Menurut zhahirnya, Ummu Habibah memahami pembolehan saudari istri bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk kekhususan bagi beliau. Yang demikian itu karena tidak ada qiyas antara saudari istri dan anak tiri. Tapi ketika dia mendengar beliau akan menikahi anak tirinya, padahl hal itu diharamkan berdasarkan ayat yang mengharamkan penyatuan dua bersaudara, maka dia mengira adanya pengkhususan dari keumuman ini.

"Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh menikahi wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan tidak pula dari garis ibu".

MAKNA SECARA UMUM
Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kemaslahatan, memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di antaranya, ia menyuruh kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan, permusuhan dan kebencian

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika beberapa wanita berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka, yang pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi permusuhan hubungan diantara kerabat.

Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-laki, putri saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di antara keduanya diberi anak laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya menurut perhitungan nasab.

Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian". Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi rinciannya, karena toh maknanya sudah jelas dan tidak lagi umum.

FAIDAH HADITS
Menikahi wanita bersaudara, wanita dengan bibinya dari pihak ayah, wanita dengan bibinya dari pihak ibu, adalah diharamkan, yang menurut pernyataan Ibnul Mundzir, "Saya tidak melihat perbedaan pendapat hingga saat ini tentang masalah tersebut. Para ulama sudah menyepakatinya". Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Al-Qurthuby dan An-Nawawy menukil ijma' tentang masalah ini, menurut Ibnu Daqiq Al-Id, itulah yang disimpulkan dari As-Sunnah. Kalau pernyataan Al-Kitab menetapkan pembolehan, yang didasarkan kepada firman Allah. "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian", hanya saja para imam di seluruh wilayah mengkhususkan keumuman dalam ayat di atas dengan hadits ini. Ini merupakan dalil diperbolehkannya mengkhususkan keumuman Al-Kitab dengan khabar ahad. Ini merupakan pendapat empat imam.

Menurut Ash-Shan'any, yang dimaksudkan khabar ahad di sini bukan pengabaran satu orang, tapi pengabaran selain mutawatir. Menurut Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan tiga belas sahabat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah.

Faidah lain, menikahi wanita Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat Al-Maidah. Ini merupakan pendapat jumhur salaf dan khalaf, empat imam dan lain-lainnya. Boleh jadi ada yang berkata, Allah mensifati mereka (para Ahli Kitab) dengan syirik, dalam firmanNya, "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahibnya sebagai tandingan selain Allah". Hal ini dapat dijawab sebagai berikut : Dalam dasar agama Ahli Kitab tidak ada syirik. Kalaupun mereka disifati dengan syirik, karena syirik yang mereka ciptakan. Dasar agama mereka adalah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan, yang membawa tauhid dan bukan syirik. Ini merupakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]

Tabdzir Dan Berlebih-Lebihan Dalam Pesta Pernikahan




Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Kewajiban Mensyukuri Segala Kenikmatan Dan Tidak Menggunakannya Bukan Pada Tempatnya.

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga Allah mencurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du.

Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menguji hambaNya dengan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana terjadi pada penduduk negeri ini (Saudi Arabia) pada awal abad 14 Hijriah. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya lah kami kembali". [Al-Baqarah : 155-156]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan cobaanNya berupa kenikmatan dan kelapangan rizki, sebagaimana realita kita saat ini, untuk menguji iman dan kesyukuran mereka. Dia berfirman sebagai berikut.

"Artinya : Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan Allah di sisiNya ada pahala yang sangat besar". [A-Taghabun : 15]

Kesudahan yang terpuji di dalam semua cobaan itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang amal perbuatan mereka sejalan dengan apa yang disyari'atkan Allah, seperti sabar dan hanya mengharap pahala di dalam kondisi fakir, bersyukur kepada Allah atas segala karuniaNya dan menggunakan harta pada penggunaan yang tepat di waktu kaya dan sederhana di dalam membelanjakan harta kekayaan pada tempatnya, baik untuk keperluan makan dan minum, dengan tidak pelit terhadap diri dan keluarga, dan tidak pula israf (berlebih-lebihan) di dalam menghabiskan harta kekayaan pada sesuatu yang tidak ada perlunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang sikap buruk tersebut, seraya berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (israf) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". [Al-Isra : 29]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan". [An-Nisa : 5]

Pada ayat di atas Allah melarang menyerahkan harta kekayaan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka akan membelanjakannya bukan pada tempatnya. Maka hal itu berarti bahwa membelanjakan harta kekayaan bukan pada tempatnya (yang syar'i) adalah merupakan perkara yang dilarang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.

"Artinya : Hai anak Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".[Al-A'raf : 31]

"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan".[Al-Isra : 26-27]

Israf adalah membelanjakan harta kekayaan melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan tabdzir adalah membelanjakannya bukan pada tempat yang layak.

Sungguh, banyak sekali manusia saat ini yang diberi cobaan, yaitu berlebih-lebihan di dalam hal makanan dan minuman, terutama ketika mengadakan pesat-pesta dan resepsi pernikahan, mereka tidak puas dengan sekedar kebutuhan yang diperlukan, bahkan banyak sekali diantara mereka yang membuang makanan yang tersisa dari makanan yang telah dimakan orang lain, dibuang di dalam tong sampah dan di jalan-jalan. Ini merupakan kufur nikmat dan merupakan faktor penyebab hilangnya kenikmatan.

Orang yang berakal adalah orang yang mampu menimbang semua perkara dengan timbangan kebutuhan, maka apabila ada sedikit kelebihan makanan dari yang dibutuhkan, ia segera mencari orang yang membutuhkannya, dan jika ia tidak mendapatkannya, maka ia tempatkan sisa tersebut jauh dari tempat yang menghinakan, agar dimakan oleh binatang melata atau siapa saja yang Allah kehendaki, dan supaya terhindar dari penghinaan. Maka wajib atas setiap muslim berupaya semaksimal mungkin menghindari larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi orang yang bijak di dalam segala tindakannya seraya mengharap keridhaan Allah, mensyukuri karuniaNya, agar tidak meremehkan atau menggunakannya bukan pada tempat yang tepat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".[Ibrahim : 7]

"Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari (ni'mat)-Ku". [Al-Baqarah : 152]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menginformasikan bahwa bersyukur (terima kasih) itu haruslah dengan amal, tidak hanya sekedar dengan lisan. Dia berfirman.

"Artinya : Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur". [Saba : 13]

Jadi bersyukur kepada Allah itu dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Barangsiapa yang bersyukur kepadaNya dalam bentuk ucapan dan amal perbuatan, niscaya Allah tambahkan kepadanya sebagian dari karuniaNya dan memberinya kesudahan (nasib) yang baik, dan barangsiapa yang mengingkari ni'mat Allah dan tidak menggunakannya pada yang benar, maka ia berada dalam posisi bahaya yang sangat besar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancamnya dengan adzab yang sangat pedih.

Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membimbing kita serta mereka untuk bisa bersyukur kepadaNya dan mempergunakan semua karunia dan ni'matNya untuk ketaatan kepadaNya dan kebaikan bagi hamba-hambaNya. Hanya Dialah yang Maha Kuasa melakukan itu semua. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para shabatnya.

[Ibnu Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah jilid 4, hal. 37]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Tidak Ada Kontradiksi Di Dalam Ayat Poligami



Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di dalam Al-Qur'an ada satu ayat suci yang berbicara tentang poligami yang mengatkan.

"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". [An-Nisa : 3]

Dan pada ayat yang lain Allah berfirman.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama di-nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak mungkin tercapai ? Kami mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan syaikh.

Jawaban.
Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu'asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk didalamnya masalah hubungan badan (jima') adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah Radhiyallahu anha. Beliau berkata.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo'a : 'Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya".[Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

[Fatawal Mar'ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Nikah Mut’ah, Dalil-Dalil Yang Mengharamkannya, Pernyataan Ulama Tentang Pengharamannya





Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Artinya, menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian otomatis terjadi.

Syari’at dengan tegas melarangnya, tapi sekte Syi’ah Imamiyah membolehkannya. Perkawinan seperti ini sudah populer pada saat ini di Eropa, dan mereka menyebutnya sebagai "perkawinan eksperimen". [1]

Pernikahan seperti ini juga tersiar di kalangan kaum muslimin, dengan alasan bahwa pernikahan ini tidak diharamkan oleh syari’at. Itu terjadi karena kebodohan mayorits kaum muslimin tentangnya. Oleh karenanya, saya ingin membahasnya tersendiri dalam pembahasan kita ini.

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKANNYA DARI HADITS-HADITS SHAHIH.

1). Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan: "Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya, sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa menjaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya, lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kala itu ayat al-Qur-an (yang) dibaca (dan berlaku adalah firman Allah):

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’: 24]

Hingga turun ayat:

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isteri-mu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina...” [An-Nisaa’: 23-24]

Kemudian mut’ah ditinggalkan, dan (ditetapkan) nikah permanen. Jika mau, dia boleh menceraikannya, dan jika suka, dia tetap menjadikannya sebagai isteri. Keduanya saling mewarisi, dan keduanya tidak mempunyai wewenang apa pun dalam perkara itu." [2]

2). Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi wanita dengan nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada waktu Khaibar. [3]

3). Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Saburah Radhiyalahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Fat-hu Makkah. Ia menuturkan: “Kami bermukim selama 15 hari, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada kami untuk menikahi wanita sementara waktu. Lalu aku keluar bersama seseorang dari kaumku. Aku mempunyai kelebihan atasnya dalam hal ketampanan, sedangkan dia memiliki rupa yang kurang tampan. Masing-masing dari kami mempunyai selendang. Selendangku jelek, sedangkan selendang sepupuku adalah selendang yang masih baru. Hingga ketika kami berada di wilayah Makkah yang terbawah, atau yang tertinggi, seorang gadis yang seperti unta perawan berpapasan dengan kami. Maka kami bertanya: 'Apakah salah seorang dari kami bisa menikahimu sementara waktu?' Ia bertanya: 'Apa yang akan kalian berikan?' Maka masing-masing dari kami menyerahkan selendangnya, lalu dia mulai memandang dua laki-laki ini. Ketika Sahabatku melihat dia memandang dirinya, maka ia mengatakan: 'Selendang orang ini buruk, dan selendangku masih baru.' Dia mengatakan: 'Selendang ini tidak mengapa, (diucapkannya) tiga kali atau dua kali.' Kemudian aku menikahinya sementara waktu, dan aku tidak keluar hingga Rasulullah n mengharamkannya." [4]

Dalam sebuah riwayat disebutkan.

"Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita hingga waktu tertentu, maka berikan kepadanya apa yang setara untuknya dan tidak meminta dikembalikan tentang sesuatu yang telah diberikan kepadanya, serta menceraikannya. Sebab, Allah Azza wa Jalla telah mengharamkannya hingga hari Kiamat." [5]

Dalam riwayat Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

"Barangsiapa yang memiliki sesuatu dari wanita-wanita yang dinikahinya sementara waktu, maka hendaklah dia mencerai-kannya." [6]

4). Muslim meriwayatkan dari Iyas bin Salamah, dari Labiyyah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada tahun Authas [7] untuk menikah sementara selama tiga (hari), kemudian beliau melarangnya." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[1]. ‘Audatul Hijaab (II/60).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 1121) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Musa bin ‘Ubaidah, ia dha’if, dan perawi-perawi lainnya tsiqah. Lihat ‘Aunul Ma’buud (V/58).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5115) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1406) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1135) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1961) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah. Antara hadits ini dan hadits sebelum-nya ada kemusykilan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (IX/168, 169), as-Suhaili berkata: "Berhubungan dengan hadits ini (yakni hadits ‘Ali bin Abi Thalib) ada suatu peringatan atas kemusykilan. Karena di dalamnya ter-dapat larangan nikah mut’ah pada hari Khaibar. Ini adalah sesuatu yang tidak diketahui seorang pun dari ahli sejarah dan perawi hadits. Yang nampak ialah terjadinya pendahuluan dan pengakhiran dalam lafazh az-Zuhri.

Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dari jalan Qasim bin Ashbagh bahwa al-Humaidi menyebutkan dari Ibnu ‘Uyainah bahwa larangan pada masa Khaibar ialah tentang daging keledai piaraan. Sedangkan nikah mut’ah di luar hari Khaibar.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: "Inilah pendapat yang paling banyak dipegang manusia."

Abu ‘Awanah berkata dalam Shahihnya: “Aku mendengar para ulama me-ngatakan: ‘Makna hadits ‘Ali, bahwa beliau melarang pada hari Khaibar dari makan daging keledai. Adapun tentang mut’ah, ia mendiamkannya. Beliau hanyalah mengharamkannya pada hari penaklukan kota Makkah.’”
Ada pendapat-pendapat lain untuk menghilangkan kemusykilan, yang men-dasarkan adanya larangan mut’ah pada hari Khaibar, kemudian memberikan keringanan mengenainya setelah itu, lalu mengharamkannya sekali lagi pada hari penaklukan Makkah. Tetapi ‘Ali tidak menyampaikan keringanan tersebut di dalamnya."

Atas hal ini, Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (III/460): "Tentang hadits Saburah ada riwayat-riwayat lainnya bahwa larangan itu pada haji Wada', ini adalah riwayat yang aneh, dan yang kuat ialah riwayat yang menyebutkan pada tahun penaklukan kota Makkah."



PERNYATAAN ULAMA TENTANG PENGHARAMANNYA.
1). Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Arti nikah mut’ah ialah menikahi wanita sementara waktu. Misalnya, seseorang mengatakan: ‘Aku menikahkanmu dengan puteriku selama sebulan, setahun, atau hingga berakhirnya musim.’ Ini adalah pernikahan yang bathil. Ahmad menashkannya dengan ucapannya: ‘Nikah mut’ah adalah haram.’” [9]

2). Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: “Semua nikah mut’ah adalah dilarang. Semua nikah hingga suatu masa, baik pendek maupun lama. Yaitu, seseorang berkata kepada wanita: ‘Aku menikahimu sehari, sepuluh hari, atau sebulan.’” Kemudian dia melanjutkan: “Demikian pula nikah hingga waktu tertentu atau tidak diketahui, maka pernikahannya dianggap tidak sah.” [10]

3). Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, yaitu pernikahan hingga waktu tertentu. Hal ini pernah dihalalkan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selamanya hingga hari Kiamat. [11]

4). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam syarah kitab ash-Shahiih: "Pernyataan: ‘Bab Nabi Melarang Nikah Mut’ah’, maksudnya menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian terjadi." [12]

RINGKASAN PENDAPAT TENTANG NIKAH MUT’AH.
Al-Khaththabi rahimahullah menyatakan: “Pengharaman nikah mut’ah menjadi ijma di kalangan umat Islam. Pernikahan ini pernah dibolehkan di awal-awal Islam, kemudian Allah mengharamkannya…" hingga pernyataannya: "Tidak ada lagi perselisihan tentangnya pada hari ini di antara umat, kecuali pendapat sebagian kaum Rafidhah (Syi’ah).” [13]

Di antara penya’ir yang membicarakan tentang nikah mut’ah adalah Abul Ghana-im Muhammad bin ‘Ali an-Nursi al-Kufi, yang mengatakan

Wahai sobat, beritahukan kepadaku
Tentang pendapat mengenai nikah mut’ah
Barangsiapa yang menyatakan halal
Berarti ini seperti nikah raj’ah
Kalian berdusta
Allah tidak menyukai sesuatu yang menyerupai penipuan
Wanita mempunyai dua suami dalam keadaan suci
Dan dalam keadan suci (pula) ia mempunyai tujuh
Jika yang ini menceraikannya
Maka yang itu mengambilnya dengan bantuan
Wanita ini dari semua orang
Mendapatkan mut’ah dalam rahimnya [14]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[9]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (7/571).
[10]. Al-Umm (V/113).
[11]. Al-Muhalla (IX/519).
[12]. Fat-hul Baari (IX/167).

Catatan:
Sebagian jawaban ulama tentang hadits-hadits yang membolehkan nikah mut’ah.
Hadits Jabir bin ‘Abdillah, no. 5117 dalam Shahih al-Bukhari, dari Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah bin al-Akwa', keduanya mengatakan: “Kami berada di tengah pasukan, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepada kami seraya mengatakan: ‘Allah mengizinkan kalian untuk menikah sementara, maka lakukanlah.’ Bantahan atas hal itu dari dua aspek, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mushthafa al-‘Adawi dalam Ahkaamun Nisaa':

1). Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu dan para Sahabat yang melakukan nikah mut'ah pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, mereka belum mendapatkan kabar mengenai pengharaman yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (baik dari hadits ‘Ali Radhiyallahu 'anhu maupun hadits Saburah).

2). ‘Umar Radhiyallahu 'anhu melarang nikah mut’ah lewat penuturan Jabir Radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Muslim, sedangkan ‘Umar adalah Khalifah yang mendapat petunjuk dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah Khulafa-ur Rasyidin al-Mahdiyyin.
Ibnul Qayyim v menyatakan dalam Zaadul Ma’aad (III/462), menukil dari pernyataan sebagian golongan mengenai hadits tersebut. Ia mengatakan: "Golongan kedua berpendapat tentang sahnya hadits Saburah. Seandainya pun tidak shahih, maka hadits ‘Ali Radhiyallahu 'anhu adalah shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan nikah mut’ah. Oleh karena itu, hadits Jabir wajib dipahami bahwa apa yang diberitakan tentang nikah mut’ah tersebut dengan melakukannya, karena peng-haraman mengenainya belum sampai kepadanya. Pengharaman tersebut belum populer hingga pada masa ‘Umar Radhiyallahu 'anhu. Ketika terjadi perselisihan mengenainya, pengharaman tersebut mengemuka dan menjadi populer. Dengan demikian hadits-hadits yang disinyalir tentang bolehnya nikah mut’ah tidak berlaku lagi, dan cukuplah bagi kita bahwa Jabir telah berhenti dari nikah mut’ah setelah mendengar larangan dari ‘Umar dan nasakh tersebut kuat menurutnya."

Bantahan Atas Ucapan Ibnu ‘Abbas :
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari Sunan Abi Dawud, yang dinukil dari ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/1158): “Adapun Ibnu ‘Abbas, maka dia menempuh jalan ini dalam membolehkannya ketika diperlukan dan dalam kondisi darurat, tapi tidak membolehkannya secara mutlak. Ketika sampai kepadanya bahwa banyak manusia melakukannya, maka ia menarik pendapatnya, dan mengharamkan atas orang yang tidak memerlukan-nya.”

Al-Khaththabi berkata dari al-Minhal, dari Ibnu Jubair, ia mengatakan: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: "Apakah engkau tahu apa yang telah engkau per-buat dan tentang apa yang engkau fatwakan? Orang-orang yang telah menyalah-gunakan fatwamu dan para penya’ir menyatakannya." Ia bertanya: "Apa kata mereka?" Aku menjawab: "Mereka mengatakan:
Aku berkata kepada seorang tua ketika lama tertahan
Wahai sobat, bukankah ada fatwa Ibnu ‘Abbas?
Bukankah engkau mendapatkan keringanan
Bersanding dengan gadis hingga orang-orang pergi?
Ibnu ‘Abbas berkata: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Demi Allah, tidak demikian aku berfatwa dan bukan seperti itu yang aku maksud. Aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana kehalalan bangkai, darah dan daging babi. Semuanya tidak halal kecuali untuk orang yang sangat membutuhkan (darurat). Jadi, nikah mut’ah itu tidak lain hanyalah seperti bangkai, darah dan daging babi.”

Ishaq bin Rahawaih mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas menuturkan: "Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya, sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa men-jaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya, lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kemudian ayat al-Qur-an dibaca:

"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikan-lah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’: 24]

Hingga turun ayat:

“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina…” [An-Nisaa’: 23-24]

Kemudian mut’ah ditinggalkan untuk memelihara diri. Jika suka, dia menceraikannya dan jika suka, tetap menjadikannya sebagai isteri. Keduanya saling mewarisi, dan keduanya tidak mempunyai wewenang apa pun dalam perkara itu. Kemudian Ibnul Qayyim mengatakan: “Dua riwayat yang membatasi dari Ibnu ‘Abbas ini menafsirkan maksud Ibnu ‘Abbas dari sebuah riwayat yang mutlak yang membatasi, wallaahu a’lam.”

Al-Khaththabi berkata: “Ini (riwayat pertama dari Ibnu ‘Abbas) menjelaskan kepadamu bahwa dia hanyalah menempuh jalan qiyas dan menyerupakan dengan orang yang sangat berhajat kepada makanan. Ini adalah qiyas yang tidak benar, karena darurat dalam masalah ini tidak terealisir sebagaimana darurat dalam soal makanan yang menjadi tumpuan jiwa, dan ketiadaannya akan menyebabkan kematian. Tetapi ini (nikah) adalah masalah syahwat yang mendominasi dan bersabar terhadapnya masih bisa dilakukan. Syahwat ini bisa dipupuskan dengan puasa dan amal shalih. Salah satu dari keduanya (nikah) tidak masuk dalam kategori hukum darurat sebagaimana yang lainnya (makan). Wallaahu a’lam.” (Dinukil dari Ahkaamun Nisaa', al-‘Adawi).

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan -setelah menyebutkan atsar dari Ibnu ‘Abbas tentang bab ini-: “Adapun seluruh ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi’in serta sesudah mereka dari kaum khalaf dan fuqaha muslimin, mereka semua meng-haramkan mut’ah. Di antara mereka adalah Imam Malik dari kalangan penduduk Madinah, ats-Tsauri dan Abu Hanifah dari kalangan penduduk Kufah, asy-Syafi’i di kalangan yang meniti jalannya dari ahli hadits dan fiqih serta nazhar dengan ittifaaq (kesepakatan), al-Auza’i dari kalangan penduduk Syam, al-Laits bin Sa’id dari kalangan penduduk Mesir, dan semua ahlul atsar. (At-Tamhiid (X/ 121)).

Syaikh al-‘Azhim Abad dalam Syarh Abi Dawud (VI/59) mengatakan: “Ketahuilah bahwa dia mengatakan dalam al-Hidaayah, Malik rahimahullah mengatakan: ‘Nikah mut’ah adalah boleh.’” Ibnu Hammam berkata: "Penisbatan ucapan ini kepada Malik adalah keliru." Ibnu Daqiq al-‘Ied mengatakan: "Apa yang disebutkan sebagian Hanafiyyah dari Malik tentang bolehnya nikah mut’ah adalah keliru. Sebab Malikiyyah sangat tegas melarang nikah sementara, sehingga mereka menganggap batal menentukan waktu halal dengan sebabnya." ‘Iyadh berkata: "Mereka sepakat bahwa syarat batalnya ialah menegaskan dengan syarat."
[13]. Dinukil dari ‘Aunul Ma’buud, Sunan Abi Dawud (II/558).
[14]. Az-Zawaaj fil Islaam, Ahmad al-Hushain (hal. 71-72).

sumber: http://almanhaj.or.id

Sunday, April 29, 2012

Keistimewaan-Keistimewaan Al-Qur'an


Keistimewaan-Keistimewaan Al-Qur'an



Oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu


Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimulai dengan surat al-Fatihan dan ditutup dengan surat an-Nas, bernilai ibadah bagi siapa yang membacanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م satu huruf. [HR. Bukhari].

Banyak hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan membaca surat-surat dari al-Qur’an.

Berikut ini kami paparkan sebagian keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an al-Karim: [2]

1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat Al-Fatihah-Red) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah". [HR. Bukhari-Muslim]

2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan tabdil (penggantian) sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". [al-Hijr:9]

Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil telah banyak dirubah oleh pemeluknya.

3. Al-Qur’an terjaga dari pertentangan/kontrakdiksi (apa yang ada di dalamnya) sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an-Nisa’: 82]

4. Al-Qur’an mudah untuk dihafal berdasarkan firman Allah:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran". [al-Qamar: 32]

5. Al-Qur’an merupakan mu’jizat dan tidak seorangpun mampu untuk mendatangkan yang semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menantang orang Arab (kafir Quraisy) untuk mendatangkan semisalnya, maka mereka menyerah (tidak mampu). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ

"Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya ... ". [Yunus: 38]

6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali turun pada mereka ketenangan dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka di hadapan para malaikatnya". [HR. Muslim].

7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang yang mati berdasarkan firman Allah:

لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا

"Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)". [Yaasiin: 70]

Dan firman Allah:

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya". [an-Najm:39]

Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit. Adapun bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai kepadanya, karena seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah n .

8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati badan seperti surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Yunus :57]

Begitu pula dalam firmanNya:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". (ِAl-Israa’:82)

9. Al-Qur’an akan memintakan syafa’at (kepada Allah) bagi orang yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

"Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memohonkan syafa’at bagi orang yang membacanya (di dunia)". [HR. Muslim].

10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu". [al-Maidah: 48]

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan beberapa pendapat tentang tafsir (مُهَيْمِنًا ): “Pendapat-pendapat ini mempunyai arti yang berdekatan (sama), karena istilah (مُهَيْمِنًا ) mencakup semuanya, yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna, yang diturunkan sebagai penutup kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh kebaikan (pada kitab-kitab) sebelumnya. Dan ditambah dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada dalam kitab) yang lainnya. Oleh karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi kebenaran serta hakim untuk semua kitab sebelumnya, dan Allah menjamin untuk menjaganya. [Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal. 65]

11. Berita Al-Qur’an pasti benar dan hukumnya adil. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ

"Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya" [al-An-‘aam: 115].

Qatadah rahimahullah berkata: “Setiap yang dikatakan al-Qur’an adalah benar dan setiap apa yang dihukumi al-Qur’an adalah adil, (yaitu) benar dalam pengkhabaran dan adil dalam perintahnya, maka setiap apa yang dikabarkan al-Qur’an adalah benar yang tidak ada kebohongan dan keraguan di dalamnya, dan setiap yang diperintahkan al-Qur’an adalah adil yang tidak ada keadilan sesudahnya, dan setiap apa yang dilarang al-Qur’an adalah bathil, karena al-Qur’an tidak melarang (suatu perbuatan) kecuali di dalamnya terdapat kerusakan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [al-A’raaf: 157] [Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 2 hal. 167]

12. Di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang nyata, dan tidak (bersifat) khayalan, maka kisah-kisah Nabi Musa bersama Fir’aun adalah merupakan kisah nyata. Firman Allah:

نَتْلُوا عَلَيْكَ مِن نَّبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ

"Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar". [al-Qashash: 3]

Begitu pula kisah As-Haabul Kahfi merupakan kisah nyata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ

"Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya". [Al-Kahfi: 13].

Dan semua apa yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur’an adalah haq (benar). Allah berfirman:

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ

"Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar". [ali-Imran: 62]

13. Al-Qur’an mengumpulkan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu". [al-Qashash: 77]

14. Al-Qur’an memenuhi semua kebutuhan (hidup) manusia baik berupa aqidah, ibadah, hukum, mu’amalah, akhlaq, politik, ekonomi dan. permasalahan-permasalahan kehidupan lainnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Allah berfirman:

مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ

"Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab". [al-An’aam: 38]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl: 89]

Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan firman Allah (مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ ) Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab (Al-An’aam: 38)
: “Yakni di dalam al-Lauh al-Mahfud. Karena sesungguhnya Allah l sudah menetapkan apa yang akan terjadi, atau yang dimaksud yakni di dalam al-Qur’an yaitu Kami tidak meninggalkan sesuatupun dari perkara-perkara agama kecuali Kami menunjukkannya di dalam al-Qur’an, baik penjelasan yang sudah gamblang atau global yang penjelasannya bisa didapatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , atau dengan ijma’ ataupun qias berdasarkan nash al-Qur’an”. [Juz 6 hal. 420].

Kemudian Al-Quthubi juga berkata: “Maka benarlah berita Allah, bahwa Dia tidak meninggalkan perkara sedikitpun dalam al-Qur’an baik secara rinci ataupun berupa kaedah.

Ath-Thabari berkata dalam menafsirkan ayat (وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ) “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (An-Nahl: 89): “Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan apa yang dibutuhkan manusia, seperti mengetahui halal dan haram dan pahala dan siksa. Dan sebagai petunjuk dari kesesatan dan rahmat bagi yang membenarkannya dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, berupa hukum Allah, perintahNya dan laranganNya, menghalalkan yang halal mengharamkan yang haram. …Dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri …… beliau berkata : “dan sebagai gambar gembira bagi siapa saja yang ta’at kepada Allah dan tunduk kepadaNya dengan bertauhid dan patuh dengan keta’atan, maka Allah akan berikan kabar gembira kepadanya berupa besarnya pahala di akhirat dan keutamaan yang besar. [Juz 14 hal. 161].

15. Al-Qur’an mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin.
Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) manusia maka banyak kaum musyrikin pada permulaan Islam yang terpengaruh dengan al-Qur’an dan merekapun masuk Islam. Sedangkan di zaman sekarang, saya pernah bertemu dengan pemuda Nasrani yang telah masuk Islam dan dia menyebutkan kepadaku bahwa dia terpengaruh dengan al-Qur’an ketika ia mendengarkan dari kaset. Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) jin, maka sekelompok jin telah berkata:

قُلْ أُوحِىَ إِلَىَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا {1} يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَئَامَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًا

"Katakanlah (hai Muhammad0 :" Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya : sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur'an) , lalu mereka berkata : Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseoranpun dengan Rabb kami". [al-Jin : 1-2]

Adapun orang-orang musyrik, banyak diantara mereka yang terpengaruh dengan al-Qur’an ketika mendengarnya. Sehingga Walid bin Mughirah berkata: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya. [Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443].

16. Orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkan adalah orang yang paling baik. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya." [HR. Bukhari]

17.
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

"Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala" [HR. Bukhari-Muslim].
Arti As-Safarah = para malaikat.

18. Allah menjadikan al-Qur’an sebagai pemberi petunjuk dan pemberi kabar gembira. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar". [al-Isra: 9]

19. Al-Qur’an menenangkan hati dan memantapkan keyakinan. Orang-orang yang beriman mengetahui bahwa al-Qur’an adalah tanda (mujizat) yang paling besar yang menenangkan hati mereka dengan keyakinan yang mantap. Allah berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram". [ar-Rad: 28].

Maka apabila seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, atau penyakit, maka hendaklah ia mendengarkan al-Qur’an dari seorang Qari’ yang bagus suaranya, seperti al-Mansyawi dan yang lainnya. Karena Rasulullah Shalalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:

حَسِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا

"Baguskan (bacaan) al-Qur’an dengan suaramu maka sesungguhnya suara yang bagus akan menambah keindahan suara al-Qur’an". [Hadits Shahih, lihat Shahihul Jami’ karya Al-Albani rahimahullah].

20. Kebanyakan surat-surat dalam al-Qur’an mengajak kepada tauhid, terutama tauhid uluhiyah dalam beribadah, berdo’a, minta pertolongan.
Maka pertama kali dalam al-Qur’an yaitu surat al-Fatihah, engkau dapati firman Allah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) “Kami tidak menyembah kecuali kepadaMu dan kami tidak minta pertolongan kecuali kepadaMu”. Dan diakhir dari al-Qur’an yaitu surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, engkau jumpai tauhid nampak sekali dalam firmanNya:

(قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ).

"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa ". [al-Ikhlash:], dan:

(قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ)

"Katakanlah "Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh". [al-Falaq:1] dan:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

"Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb manusia". [an-Naas:1].

Dan masih banyak ayat tauhid di dalam surat-surat al-Qur’an yang lain. Di dalam surat Jin engkau baca firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّمَآ أَدْعُوا رَبِّي وَلآ أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbmu dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya". [al-Jin: 20].

Juga di dalam surat yang sama Allah berfirman:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". [al-Jin: 18].

21. Al-Qur’an merupakan sumber syari’at Islam yang pertama yang Allah turunkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kufur, syirik dan kebodohan menuju cahaya keimanan, tauhid dan ilmu. Allah berfirman:

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

"Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". [Ibrahim: 14].

22. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara ghaib yang akan terjadi, tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ

"Golongan itu (yakni kafirin Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang". [al-Qamar: 45].

Dan sungguh orang-orang musyrik telah kalah dalam perang Badar, mereka lari dari medan peperangan. Al-Qur’an (juga) banyak memberitakan tentang perkara-perkara yang ghaib, kemudian terjadi setelah itu.

[Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dosen di Darul Hadits Al-Khairiyah di Makkah Al-Mukarramah]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Meraih Cinta Allah Subhanahu Wa Ta'ala Dengan Al Qur'an



Oleh
Abdul Aziz Musthafa


Sesungguhnya di antara sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah membaca al Qur`an dengan khusyu' dan berusaha memahaminya. Sehingga tidak mengherankan, apabila kedekatan dengan al Qur`an merupakan perwujudan ibadah yang bisa mendatangkan cinta Allah.

Para salafush-shalih, ketika membaca al Qur`an, mereka sangat menghayati makna ini. Sehingga ketika membaca al Qur`an, seolah-olah seperti seorang perantau yang sedang membaca sebuah surat dari kekasihnya.

Al Hasan al Basri berkata,"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap al Qur`an adalah surat-surat dari Rabb mereka. Pada malam hari, mereka selalu merenunginya, dan akan berusaha mencarinya pada siang hari."[1]

Seandainya kita berpikir, sungguh ini merupakan keistimewaan yang luar biasa. Allah Yang Maha Besar, Maha Tinggi, Raja Diraja, mengkhususkan khitab (pembicaraan) dan kalamNya untuk manusia yang penuh dengan kelemahan ini. Allah memberikan kepada mereka kemuliaan untuk berbicara, berkomunikasi denganNya.

Al Imam Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya melihat bagaimana Allah berlemah-lembut kepada makhlukNya dalam menyampaikan makna perkataanNya ke pemahaman mereka. Dan hendakya ia menyadari, apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Dzat yang mengucapkannya, dan hendaknya ia merenungi perkataanNya."[2]

Ibnu Shalah berkata,"Membaca al Qur`an merupakan sebuah kemuliaan yang Allah berikan kepada hambaNya. Dan terdapat dalam riwayat, bahwa para malaikat tidak mendapat kemuliaan ini, tetapi mereka sangat antusias untuk mendengarkannya dari manusia."[3]

Kemuliaan ini akan lebih sempurna apabila disertai keikhlasan. Karena ikhlas -sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi- merupakan kewajiban utama bagi pembaca al Qur`an. Dan seharusnya ia menyadari, bahwa dirinya sedang bermunajat kepada Allah.[4]

Perhatikanlah, wahai saudaraku!
Allah telah memberikan izin kepadamu untuk bermunajat kepadaNya. Dengan demikian, berarti Allah telah memberikan rahasia cintaNya kepadamu. Dan al Qur`an, merupakan bukti kecintaanNya. Karena al Qur`an memberikan petunjuk tentang Allah dan yang dicintaiNya. Maka, tentu cinta kepadaNya merupakan jalan hati dan akal untuk mengetahui sifat-sifat Allah dan hal-hal yang dicintaiNya. Melalui al Qur`an, kita bisa mengetahui nama-namaNya, apa yang layak dan yang tidak layak bagiNya, serta (mengetahui) secara rinci syari'at yang diperintahkan dan yang dilarang Allah, dan mengantarkan seseorang menuju cinta dan ridhaNya.

Oleh karena itu, ada di antara para sahabat berusaha untuk mendapatkan kecintaan Allah dengan membaca satu surat. Dia renungi dan dia cintai; yaitu surat al Ikhlash, yang mengandung sifat-sifat Allah. Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab : "Karena ia merupakan sifat Allah, dan aku sangat suka menjadikannya sebagai bacaan". Mendengar jawaban itu, Nabi bersabda :

أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ

"Beritahukan kepadanya, bahwa Allah mencintainya".[5]

Orang yang mencintai al Qur`an, mestinya cinta kepada Allah Azza wa Jalla, karena sifat-sifat Allah terdapat di dalam al Qur`an. Dan semestinya, ia juga cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliaulah yang menyampaikan al Qur`an.

'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Barangsiapa yang mencintai al Qur`an, maka ia akan cinta kepada Allah dan RasulNya." [6]

Bukti terbesar cinta kepada al Qur`an, yaitu seseorang berusaha untuk mehamami, merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta kepada al Qur`an atau tidak cinta sama sekali, yaitu berpaling tidak merenungi maknanya. Allah Azza wa Jalla mencela orang munafik, karena tidak merenungi al Qur`an dengan firmanNya :

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an Nisaa`/4 : 82] .

Mentadabburi al Qur`an dapat mengobati berbagai macam penyakit hati, membersihkannya dari kotoran, serta dapat memberikan jawaban dan bantahan terhadap syubhat yang dibawakan setan, manusia, dan jin. Berbeda dengan orang munafik, karena enggan merenungi al Qur`an dan tidak mencari petunjuk darinya, maka hati mereka sakit, penuh penyakit syubhat dan syahwat, sebagaimana firman Allah :

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta". [al Baqarah/2 : 10].

Jadi, ketika Allah Azza wa Jalla mengajak manusia untuk mentadabburi al Qur`an, pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla mengajak untuk mengobati hati mereka dari berbagai macam penyakit yang membahayakan.

Tadabbur al Qur`an, juga merupakan cara untuk mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang telah dibebankan Allah kepada para hamba. Imam al Qurthubi berkata,"Ayat ini -an Nisaa`/4 ayat 82- dan juga firmanNya

"(Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an ataukah hati mereka terkunci-QS Muhammad/47 ayat 24)" menunjukkan wajibnya mentadaburi al Qur`an supaya dapat mengetahui maknanya.[7]

Juga, kemuliaan lain yang dimiliki oleh orang yang mentadaburi al Qur`an yaitu, kebaikan yang dijanjikan oleh Rasululah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari jalan sahabat 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al Qur`an dan mengajarkanya".[8]


Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al Qur`an.

Bisyr bin as Sura berkata,"Sesungguhnya ayat al Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya," kemudian perkataan ini diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,"Benar! Maksudnya, apabila salah seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca yang berikutnya."[9]

Al Qur`an akan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah. Orang yang menjaganya, berarti ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad : "Hamilul Qur`an adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allah".[10]

Orang yang menjunjung tinggi al Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan membawa panji Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya" [al Anbiyaa`/21 : 10].

Dalam menafsirkan kata دكركم , 'Abdullah bin 'Abbas berkata,"Maksudnya, di dalamnya terdapat kemuliaan kalian."[11]

Allah juga berfirman :

"(Dan sesungguhnya al Qur`an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kalian akan diminta pertanggungan jawab". -az Zukhruf/43 ayat 44- maksudnya adalah, (al Qur`an) merupakan kemuliaan bagimu dan bagi mereka, apabila mereka menegakkan hak-haknya.[12]

Rasulullah juga memberitahukan tentang ketinggian derajat Ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

"Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain".[13]

Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al Qur`an untuk tidak seperti orang kebanyakan. 'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Hamilul Qur`an itu mestinya dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan dengan khusyu'nya ketika manusia dalam keadaan sombong."[14] Demikian ini merupakan sifat mulia yang harus dimiliki oleh Hamilul Qur`an.

Begitu pula orang yang mencintai al Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tertipu dan sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya. Allah berfirman :

"Katakanlah : "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". [Ali Imran/3:73].

Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang hendaknya tidak membanggakan kemampuan dan kekuatan dirinya. Hendaknya tidak memandang dirinya dengan perasaan puas dan menganggap dirinya bersih. Orang yang memandang dirinya penuh kekurangan, akan mengantarkannya semakin dekat denganNya."[15]

Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allah atau tidak boleh menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.

Hamilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia mengamalkannya. 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,"Wahai Qurra` (para pembaca al Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia."[16]

Az Zarkasyi berkata,"Ketahuilah, seseorang yang Allah ajarkan padanya al Qur`an, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, al Qur`an merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan dakwah Islam. Dan juga, karena Rasulullah merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah al Qur`an akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena al Qur`an merupakan kalamullah dan kitabNya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi al Qur`an hendaknya memandang, bahwa Allah Azza wa Jalla telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa al Qur`an akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.[17]

Sebagaimana juga, ia harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya, mengumpulkan dalam dirinya yang dapat menyebabkan hati menjadi hidup. Mungkin ada yang bertanya, bagaimanakah cara memaksimalkan dalam mengambil pelajaran dari al Qur`an?

Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya, al Fawaid, beliau rahimahullah menyatakan :

“Apabila engkau hendak mengambil pelajaran dari al Qur`an, maka konsentrasikanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya, pasanglah telingamu. Jadikanlah dirimu seperti orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang mengucapkannya, yaitu Allah Subhanahu w Ta'ala, karena al Qur`an merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan Allah kepadamu melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. -Qaaf/50 ayat 37-)". Karena pengaruh al Qur`an sepenuhnya tergantung dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

أن فى ذللك لذ كرى

"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan)", (ini merupakan) isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir (yang memberikan pengaruh).

Dan firmanNya :

لمن كان له قلب

"(bagi orang-orang yang mempunyai hati)" adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagaiamana Allah Azza wa Jalla berfirman :

(Al Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) –Yasin/36 ayat 69, 70-), yaitu yang hatinya hidup.
Sedangkan firman Allah :

أو ألقى السمع

"(atau yang menggunakan pendengarannya)", maknanya, orang yang mengarahkan pendengaran dan memusatkan indera pendengarannya kepada ucapan yang diarahkan kepadanya. Ini merupakan syarat bisa terpengaruh dengan ucapan.

Adapun firmanNya :

وهو شهد

"(dan dia menyaksikannya)", maknanya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,"Yakni, dia mendengarkan al Qur`an dengan penuh perhatian, tidak dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa yang dikatakan kepadanya.

Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al Qur`an dan mengambil pelajaran darinya".[18]

Setelah itu, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengamalkanya. Karena ilmu mengajak pemiliknya agar mengamalkannya. Jika diamalkan, ilmu akan terjaga. Jika tidak, maka ilmu itu akan hilang.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma'ad berkata,"Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al Qur`an turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca al Qur`an sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang yang memahami al Qur`an dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, maka dia bukan Ahlul Qur`an, meskipun dia mendudukkan huruf-hurufnya sebagaimana mendudukan busur panahnya (artinya, sangat perhatian terhadap huruf-hurufnya, Red).[19]

Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allah, maka hendaklah ia memiliki perhatian yang besar kepada al Qur`an, berusaha membacanya, merenugi dan mengamalkanya. Jika kita sudah bertekad untuk mengambil pelajaran darinya, maka hendaklah kita mengamalkan adab-adab berikut.

ADAB-ADAB MEMBACA AL QUR`AN
Imam an Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, at Tibyan, (tentang) beberapa adab-adab dan hukum saat membaca al Qur`an. Di antaranya adalah :

1. Ikhlas, hanya mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla dan menyadari bahwasannya ia sedang berkomunikasi dengan Allah.
2. Membersihkan mulutnya dengan siwak atau sejenisnya.
3. Bagi orang yang junub dan haid, diharamkan membaca al Qur`an, baik semuanya atau sebagiannya, kecuali apabila bacaan tersebut merupakan salah satu dzikir pagi dan petang, atau dzikir secara mutlak yang disunnahkan bagi seseorang untuk membacanya.
4. Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaklah membacanya di tempat yang bersih dan lebih utama melakukannya di masjid. Karena di masjid, kebersihan dan kemuliaan tempat menyatu.
5. Ketika membaca al Qur`an, hendaknya menghadap kiblat, kemudian duduk dengan tenang. Dan boleh membaca al Qur`an dengan duduk atau dengan merebahkan badan. Tetapi, cara yang pertama lebih utama.
6. Apabila memulai membaca al Qur`an, disunnahkan membaca ta'awudz disertai dengan membaca Basmalah di setiap awal surat, kecuali surat Bara'ah (At Taubah). Demikian ini yang dikatakan jumhur ulama.
7. Konsentrasi saat membacanya.
8. Menghadirkan perasaan takut kepada Allah k saat membacanya.
9. Membacanya dengan tartil. Dan para ulama telah sepakat tentang sunnahnya tartil, berdasarkan firman Allah :

"Dan bacalah al Qur`an itu dengan tartil (perlahan-lahan)". [al Muzammil/73:4]
.
Dan karena membaca dengan tartil lebih menghargai dan lebih memberikan pengaruh dibandingkan membacanya dengan cepat.

10. Disunnahkan meminta karunia dari Allah saat selesai membaca ayat-ayat tentang rahmat Allah Azza wa Jalla, memohon perlindungan dari siksa apabila selesai membaca ayat-ayat tentang adzab, dan bertasbih kepada Allah apabila melewati ayat-ayat tentang pensucian Allah Azza wa Jalla .

11. Menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi sikap hormat terhadap al Qur`an, seperti tertawa pada saat membacanya, melakukan perbuatan sia-sia, menjadikannya sebagai bahan perdebatan, atau perbuatan lainya yang bisa mengurangi keagungan al Qur`an. Berdasarkan firman Allah :

"Dan apabila dibacakan al Qur`an, maka hendaklah kalian dengarkan baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, semoga kalian mendapat rahmat". [al A'raf/7:204].

12. Tidak boleh membaca al Qur`an dengan selain bahasa Arab, sekalipun bahasa Arabnya fasih, ataupun sama sekali tidak bisa, baik dalam shalat ataupun di luar shalat.

13. Tidak boleh membaca al Qur`an, kecuali dengan qira’at as sab'ah (bacaan tujuh) yang mutawatir. Dan hendaknya tidak mencampur-adukkan bacaan yang tujuh tersebut selama dalam satu pembahasan.

14. Hendaknya membaca sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, baik saat shalat ataupun yang lainnya.

15. Membaca al Qur`an dengan cara melihat mushaf lebih utama, dibanding membacanya dengan cara menghafal, tentunya di luar shalat. Karena melihat kepada mushaf, merupakan ibadah yang diperintahkan, kecuali apabila orang yang membaca al Qur`an dengan hafalannya merasa lebih khusyu’.

16. Disunnahkan membuat halaqah dalam membaca dan mempelajari al Qur`an, berdasarkan sabda Rasulullah :

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah suatu kaum berkumpul pada salah satu rumah-rumah Allah, membaca al Qur`an dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan. Mereka akan diselimuti rahmat, dan Allah akan menyebut (menceritakan) mereka kepada para malaikat yang ada di sisiNya".[21]

17. Disunnahkan membaca dengan mengeraskan suara, selama tidak khawatir riya' dan tidak mengganggu orang lain. Karena mengeraskan suara bisa mengggugah hati, memusatkan hati, serta memusatkan pendengaran ke konsentrasi untuk merenungi bacaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :

مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ..

"Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu kepada seorang nabi seperti izinnya untuk memperbagus suara dan mengeraskannya ketika membaca al Qur`an".

18. Ketika membaca al Qur`an, disunnahkan untuk memperbagus suara, sebagaimana sabda Rasulullah :

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

"Hiasilah al Qur`an dengan suaramu".[22]

19. Disunnahkan minta dibacakan al Qur`an dari orang yang bersuara bagus, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :

اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ قُلْتُ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي قَالَ فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا قَالَ لِي كُفَّ أَوْ أَمْسِكْ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَذْرِفَانِ

"Bacakanlah Aku (al Qur`an)!" Dia mengatakan : Aku berkata,"Apakah aku membacakanmu al Qur`an, padahal ia diturunkan kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Sesungguhnya aku senang mendengarnya dari orang lain." Dia mengatakan : Aku berkata,"Lalu aku membaca surat an Nisaa`, saat sampai pada ayat

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا

"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku : "Cukuplah!" Lalu aku melihat kedua mata beliau berlinang".[23]

20. Dimakruhkan membaca al Qur`an pada kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika ruku`, sujud, dan yang lainya ketika sedang shalat, kecuali saat berdiri. Dan bagi makmum, dimakruhkan membaca al Qur`an lebih dari surat al Fatihah apabila dia mendengar bacaan imam. Juga makruh membaca al Qur`an dalam keadaan mengantuk dan ketika sedang mendengarkan khutbah.

21. Dilarang mengkhususkan membaca surat-surat tertentu pada saat-saat tertentu, kecuali jika ada dalil yang menjelaskannya, seperti mengkhususkan membaca surat-surat yang ada ayat sajdahnya pada waktu Subuh hari Jum'at selain surat Sajdah, atau membaca surat al An'am pada raka'at terakhir shalat tarawih pada malam ketujuh dengan diiringi keyakinan bahwa itu sunnah.

22. Apabila ada seseorang yang memberikan salam kepada orang yang sedang membaca al Qur`an, hendaklah ia hentikan bacaannya dan menjawab salam tersebut. Apabila ia mendengar orang yang bersin mengucapkan alhamdulillah, maka hendaknya ia menjawabnya dengan mengatakan yarhamukallah. Demikian pula apabila ia mendengar adzan, maka hendaknya ia hentikan dan menjawab adzan yang dikumandangkan.

23. Disyari'atkan untuk bersujud apabila melewati ayat-ayat sajdah

BAHAYA BERPALING DARI AL QUR'AN
Apabila membaca al Qur`an termasuk salah satu faktor yang akan mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba, maka sebaliknya, berpaling dari al Qur`an merupakan salah satu faktor yang akan mendatangkan murka Allah. Nabi n mengadukan kepada Allah k , orang yang meninggalkan dan berpaling dari al Qur`an, sebagaimana difirmankan Allah :

"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].

Ibnu katsir rahimahullah berkata,"Apabila mereka dibacakan al Qur`an, mereka banyak berbuat gaduh dan sibuk dengan perkataan yang lain, sehingga mereka tidak mendengarkan bacaan al Qur`an. Ini merupakan perbuatan berpaling dari al Qur`an. Tidak mengimani dan tidak membenarkannya, juga termasuk hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an). Tidak merenungi dan berusaha memahaminya, termasuk hajrul Qur`an. Cenderung kepada yang lainya, seperti syair, nyanyian, perbuatan sia-sia, perkataan dan jalan hidup yang tidak bersumber dari al Qur`an, juga termasuk berpaling dari al Qur`an." [24]

Dari sini kita bisa memahami, berpaling dari al Qur`an itu bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjaga dirinya agar tidak terjerumus dalam salah satu perbuatan tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an) itu ada beberapa bentuk. Pertama : Berpaling tidak mau mendengarkannya, dan tidak mengimaninya. Kedua : Tidak mengamalkannya, dan tidak berhenti pada apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkannya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga : Ttidak berhukum dengannya dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) serta cabang-cabangnya. Keempat : Tidak merenungi dan tidak memahami, serta tidak mencari tahu maksud yang diinginkan oleh Dzat yang mengatakannya. Kelima : Tidak mengobati semua penyakit hatinya dengan al Qur`an, tetapi justru mencari obat dari selainnya. Semua perbuatan ini termasuk dalam firman Allah Azza wa Jalla :

"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].

Ini semua merupakan perbuatan hajr terhadap al Qur`an. Ditambah lagi dengan meng-hajr bacaan. Artinya, dia tidak mau membaca al Qur`an.

Fenomena seperti ini merebak di tengah masyarakat, seperti meletakkan al Qur`an pada tempat-tempat tertentu untuk bertabarruk (mendapatkan barakahnya saja), meletakkan di salah satu pojok rumah, di bagian belakang atau di depan kendaraan sampai tertutup debu. Ini menunjukkan telah menghajr al Qur`an (tidak mempedulikan dan tidak pernah membacanya), sekaligus hal ini merupakan perlakukan yang buruk terhadap al Qur`an.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,"Barangsiapa yang memiliki mushaf, maka hendaklah membacanya setiap hari walaupun beberapa ayat, supaya mushaf itu tidak seperti ditinggalkan.”

Demikian ini merupakan tingkatan seseorang yang meninggalkan al Qur`an serta beberapa keadaan mereka. Adapun keadaan seseorang yang selalu menyertai al Qur`an, maka ikatan hubungan mereka dengan al Qur`an juga bermacam-macam, sesuai tingkat keseriusan yang diberikan Allah k kepada mereka.

Para salafush-shalih, selalu menghidupkan hari-hari mereka dengan al Qur`an, sepanjang waktu siang maupun malam. Mereka selalu mempersiapkan hati ketika membaca al Qur`an, sehingga hati mereka selalu terasa hidup dan jauh dari kelalaian.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk Hamilul Qur`an yang memiliki ikatan kokoh dengannya, dan selalu menjadikan al Qur`an sebagai pedoman dan penawar penyakit hati.

Diringkas dari Syarhul Asbabul 'Asrah al Mujibah limahabatillah kama 'addaha ibnul qayyim,Abdul Aziz Musthafa, halaman 13-33 cet. Ke VIII, 1422H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Macam-Macam Wahyu



Oleh
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah



Diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.

Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada NabiNya dari belakang hijab. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.

Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :

" …Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" [an Nisaa`/4 : 164].

Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ رَبِّ لَا أَدْرِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ ...

"Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman : "Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat.
Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika!"
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"………". (Al hadits).

Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.

Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :

1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.

2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan :

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ...

Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu :

يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

"Wahai, 'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?" Aku menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui," (kemudian) Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian."

Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.

Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur".[2]

Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ

"Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia menyampaikannya kepadaku, maka akupun memperhatikan apa yang dia ucapkan."

Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka dapat dipahami bahwa saat menerima semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang paling berat ialah cara yang semacam ini.

Ketiga : Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي : لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ مَاعِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

"Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya".

Keempat : Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham.
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.

Kelima : Wahyu diturunkan melalui mimpi.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". [ash Shaffat/37 : 102].

Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.

Washallahu 'ala Nabiyina Muhammad, wa 'ala alihi washabihi wasallam.

[Diangkat dari as-Siratun Nabawiyah fi Dau-il Qur'an was Sunnah, Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, hlm. 269-271]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Menyewa Qari' (Orang Yang Membaca Al-Qur'an), Bacakanlah Surat Yasin Untuk Orang Yang Akan Mati



Oleh
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta




Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Kita menyaksikan di banyak negara yang berpenduduk muslim ada yang menyewa qari’ (orang yang membaca Al-Qur’an). Bolehkah bagi orang yang membaca Al-Qur’an mengambil upah bacaannya? Berdosakah orang yang memberikan upah tersebut?

Jawaban
Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah mahdhah (murni) dan salah satu ibadah untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb-nya. Hukum asal pada ibadah ini dan ibadah mahdhah lainnya adalah, dilakukan oleh seorang muslim untuk mencari ridha Allah, mengharapkan balasan dari sisi-Nya, bukan untuk mencari balasan dan terima kasih dari makhluk.

Oleh karena itu, tidak pernah diketahui dari generasi Salafush Shalih perbuatan menyewa orang untuk membacakan Al-Qur’an untuk mayit, atau dalam walimah, atau acara-acara lainnya. Dan tidak ada riwayat dari seorang imam pun (yang menerangkan) ada di antara mereka yang memerintahkan hal tersebut, ataupun memberikan keringanan dalam hal demikian ini. Juga tidak pernah diketahui dari salah seorang mereka yang mengambil upah bacaan Al-Qur’an. Bahkan (sebaliknya,-red) mereka membaca Al-Qur’an karena mengharapkan balasan di sisi Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang membaca Al-Qur’an agar memohon dengannya, dan memberikan peringatan keras dari meminta kepada manusia.

Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits dari Imran bin Hushain, bahwasanya dia (Imran) melewati seseorang yang membaca Al-Qur’an, lalu (orang itu) meminta (imbalan kepada manusia, red). Imran beristirja (yaitu mengucapkan kalimat innalillahi wa inna ilaihi raji’un, red), lalu ia berkata.

“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an, maka hendaklah dia memohon kepada Allah dengan bacaannya itu. Karena sesungguhnya akan datang suatu kaum yang membaca Al-Qur’an, mereka meminta balasan dengannya dari manusia”.

Sedangkan menerima pembayaran karena mengajarkannya, meruqyahnya dengan Al-Qur’an, atau lainnya yang manfaatnya terasa sampai orang lainnya, maka terdapat beberapa hadits shahih yang menujukkan dibolehkannya. (Ini) berdasarkan hadits Abu Sa’id yang menerangkan, bahwa beliau mengambil upah berupa kambing, (sebagai) upah dari meruqyah orang yang tersengat (hewan berbisa), yang beliau Radhiyallahu ‘anhu ruqyah dengan menggunakan surat Al-Fatihah.

Begitu juga hadits Sahl tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menikahkan seorang lelaki dengan seorang wanita dengan mahar, si lelaki mengajarkan (kepada) wanita (berupa) Al-Qur’an yang ia bisa. (Berdasarkan ini, red), sehingga orang yang mengambil upah membaca Al-Qur’an, atau menyewa sekelompok orang untuk membacakan Al-Qur’an, maka perbuatan tersebut menyelisihi sunnah dan menyalahi kesepakatan para Salafush Shalih.

Wabilllahit-taufiq, washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi ajma’in.

[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, 9/34-41]

BACAKANLAH SURAT YASIN TERHADAP ORANG YANG AKAN MATI DI ANTARA KALIAN

Pertanyaan
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Bagaimana maksud hadits : “ Bacakanlah surat Yasin terhadap orang yang akan mati di antara kalian”. ?

Jawaban
Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Ma’qal bin Yasir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Bacakanlah surat Yasin terhadap orang yang akan mati di antara kalian”.

Lafadz hadits ini, di dalam riwayat Imam Ahmad (disebutkan).

“Surat Yasin adalah hati (jantung) Al-Qur’an. Tidak ada seorang pun yang membacanya yang menginginkan Allah dan hari akhirat, kecuali dia akan diampuni dosanya. Dan bacakanlah surat itu terhadap orang yang mati di antara kailan’ [1]

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, sedangkan Yahya bin Al-Qaththan menjelaskan illatnya (cacatnya) berupa idhthirab (goncang), mauquf (sampai sahabat). Abu Utsman dan bapaknya yang disebutkan dalam sanadnya ini majhul (tidak diketahui) keadaannya.

Ad-Daruquthni berkata : “Hadits ini sanadnya dhaif (lemah), matannya (isi haditsnya) majhul, dan dalam masalah ini, satupun tidak ada hadits yang shahih”.

Berdasarkan keterangan ini, maka kami tidak perlu menjelaskan maksud hadits ini, karena hadits ini tidak shahih. Seandainya dianggap shahih, maka maksudnya adalah membacakan surat Yasin kepada orang yang sedang sekarat supaya ingat, dan supaya pada akhir masa hidupnya di dunia mendengar bacaan Al-Qur’an. (Maksud hadits ini), bukanlah membacakan surat Yasin kepada orang yang sudah nyata-nyata meninggal

Ada sebagian orang yang membawa pengertian hadits ini kepada zhahirnya, sehingga mengatakan sunnahnya membacakan Al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal, karena (menurut mereka, red) tidak ada hal yang mengalihkan makna hadits ini dari makna zhahirnya.

Kami bantah dengan perkataan, seandainya hadits ini sah dan maksudnya adalah benar demikian, maka tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Dan tentunya perbuatan Nabi sudah disampaikan kepada kita. Akan tetapi, hal itu tidak pernah ada sebagaimana penjelasan di atas. Ini menunjukkan, yang dimaksud dengan kata ‘mautakum’ dalam hadist ini (seandainya shahih) adalah orang-orang yang sedang mengalami sekarat yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

(“Tuntulah orang yang sekarat di antara kalian ‘Laa ilaha illallahu’). Sesungguhnya yang dimaksudkan adalah orang-orang yang sekarat, sebagaimana dalam kisah wafatnya Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wabillahit-taufiq, washallahu ‘ala Nabiyinia Muhammad wa ‘alihi wa shahbihi ajmain.

[Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, 9/41-42]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M & 12/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Membaca Al-Qur'an Atau Memutar Kaset Bacaan Al-Qur'an Melalui Pengeras Suara Sebelum Shalat Jum'at




Oleh
Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.



Di banyak masjid seorang qari’ akan duduk sebelum shalat Jum’at sekitar setengah jam sambil membaca al-Qur’an dengan suara keras sampai waktu adzan tiba. Dan ini jelas salah, dengan dua alasan:

Pertama: Perbuatan ini adalah bid’ah yang diada-adakan. Tidak pernah ditegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang Sahabat yang memiliki suara yang merdu, seperti Abu Musa al-Asy’ari, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lainnya untuk membaca al-Qur’an sebelum shalat Jum’at sementara orang-orang mendengarkannya. Seandainya hal tersebut baik, pastilah mereka (Salafush Shalih) akan mendahului kita untuk melakukan hal itu.

Kedua: Hal itu akan mengganggu orang-orang yang shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, dan berdo’a.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang sebagian jama’ah shalat untuk saling mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an atas sebagian yang lain. Imam Malik dan Imam Ahmad رحمهما الله telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari al-Bayadhi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang yang sedang mengerjakan shalat, sementara suara mereka terdengar keras membaca al-Qur’an, maka beliau bersabda:

إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ.

“Sesungguhnya orang yang shalat itu bermunajat kepada Rabb-nya, karenanya hendaklah dia memperhatikan dengan apa dia bermunajat. Dan janganlah sebagian kalian mengeraskan suara atas sebagian yang lain dalam membaca al-Quran.” [1]

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara bacaan al-Qur’an, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang lainnya dalam membaca al-Qur’an,” atau beliau bersabda, “Dalam shalat.” [2]

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Jika orang yang shalat membaca bacaan al-Qur'an tidak boleh mengeraskan suaranya agar tidak salah dan tidak mengganggu orang di sampingnya. Dengan demikian, berbicara di masjid yang mengganggu jama’ah shalat maka jelas lebih tegas, lebih tidak diperbolehkan, dan lebih haram.” [3]

KEYAKINAN ADANYA KEWAJIBAN MEMBACA SURAT AS-SAJDAH DAN AL-INSAAN DALAM SHALAT SHUBUH PADA HARI JUM’AT
Sebagian orang meyakini bahwa shalat Shu-buh tidak sah dikerjakan, kecuali jika dibacakan di dalamnya surat as-Sajdah dan al-Insaan. Dan ini jelas salah. Sebab, membaca kedua surat tersebut di dalam shalat Shubuh pada hari tersebut adalah sunnah. Dengan demikian, orang yang tidak membaca keduanya maka shalat Shubuhnya tetap sah.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiy-yah rahimahullah mengatakan, “Tidak sepatutnya untuk selalu membaca kedua surat tersebut sehingga orang-orang bodoh akan beranggapan bahwa hal itu adalah wajib dan orang yang meninggalkannya berdosa. Tetapi sebaiknya, terkadang perlu juga tidak membacanya, karena memang tidak ada kewajiban untuk itu.” [4]

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaa-i’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Hukum Membaca Al-Qur'an Bersama-Sama, Membagi Bacaan Al-Qur'an Untuk Orang-Orang Yang Hadir




Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz




Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para shabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur Rasyidun setelahku" [1]

Sabda beliau lainnya.

"Artinya : Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak" [2]

Dalam riwayat lain disebutkan.

"Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak" [3]

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an. Ia berkata kepada beliau. "Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al-Qur'an di hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu?" Beliau menjawab : "Saya senang mendengarkannya dari orang lain" [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA.

Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan 'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa.

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari'atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

"Artinya : Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya" [Hadits Riwayat Muslim] [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR'AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR

Membagi juz-juz Al-Qur'an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur'an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur'an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur'an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur'an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 3861]


[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’an, Edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq]

Bacaan Al-Fatihah Atas Orang Yang Telah Meninggal, Mengupah Qari Untuk Membaca Al-Qur'an



Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Membacakan Al-fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan membacakan Al-Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalilnya adalah bahwasanya Allah mengingkari orang yang membuat syari’at dan ketentuan dalam agama Allah yang tidak dizinkanNya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah. Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih” [Asy-Sura : 21]

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya belaiu bersabda.

“Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”[1]

Apabila tertolak maka termasuk perbuatan batil yang tidak ada manfaatnya. Allah berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan cara demikian.

Adapun mengupah orang untuk membacakan Al-Qur’an kemudian pahalanya diberikan untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakan. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa dan tidak ada pahala baginya, karena membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” [Huud : 15]

[Nur ‘Alad Darbi, Juz I, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]


BACAAN AL-FATIHAH UNTUK KEDUA ORANG TUA


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan



Membacakan surat Al-Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal atau yang lain merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Al-Fatihah boleh dibacakan untuk orang yang meninggal atau arwah mereka, baik itu orang tuanya atau orang lain. Yang disyariatkan adalah mendo’akan bagi kedua orang tua dalam shalat dan sesudahnya, memohonkan ampunan dan maghfirah bagi keduanya dan sejenisnya yang termasuk doa yang bisa bermanfaat bagi yang sudah meninggal.

[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]

MENGUPAH QARI’ UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Mengupah seorang qari’ untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal termasuk bid’ah dan makan harta manusia dengan tidak benar. Karena bila seorang qari’ membacakan Al-Qur’an dengan tujuan untuk mendapatkan upah atas bacaannya, maka perbuatannya termasuk kebatilan, karena ia menginginkan harta dan kehidupan dunia dari perbuatannya tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Huud : 15-16]

Perkara ibadah -termasuk membaca Al-Qur’an- tidak boleh dilakukan dengan tujuan duniawi dan mencari harta, akan tetapi harus dilakukan dengan tujuan untuk medekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Seorang qari’ yang membaca Al-Qur’an dengan diupah, maka tiada pahala baginya, dan bacaannya tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Harta yang dikeluarkan merupakan harta yang sia-sia, tidak bermanfaat. Kalaulah harta itu digunakan untuk suatu sedekah atas nama orang yang meninggal, sebagai ganti dari mengupah seorang qari’, maka inilah perbuatan yang disyariatkan dan bisa mendatangkan suatu manfaat bagi orang yang telah meninggal.

Maka menjadi kewajiban bagi para qari untuk mengembalikan harta yang telah mereka perolah dari manusia sebagai upah atas bacaan yang mereka lakukan atas orang yang telah meninggal, karena menggunakan harta tersebut tergolong makan harta manusia dengan cara tidak benar. Dan hendaknya mereka takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon kepadanya untuk memberikan rizki kepada mereka dengan cara selain cara yang haram tersebut.

Bagi setiap muslim hendaknya tidak makan harta manusia dengan cara yang tidak disyariatkan sedemikian ini. Benar bahwa membaca Al-Qur’an termasuk salah satu ibadah yang utama, barangsiapa membaca satu haruf dari Al-Qur’an maka akan mendapatkan suatu kebaikan, dan suatu kebaikan mendapatkan balasan sepuluh kali lipat. Tapi itu bagi orang yang niatnya benar dan hanya menginginkan keridhaan Allah semata serta tidak menginginkan suatu tujuan duniawi.

Mengupah seorang qari untuk membacakan Al-Qur’an bagi orang yang telah meninggal : Pertama : Termasuk perbuatan bid’ah, karena tidak ada dari para salaf shalih yang melakukannya. Kedua : Bahwa perbuatannya termasuk memakan harta manusia dengan cara tidak benar, karena suatu ibadah dan ketaatan tidak boleh mengambil upah karenanya.

[Nur ‘Alad Darbi, Juz III, I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah]

[Disalin dari kitab 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq

Membaca Al-Qur'an Di Atas Kuburan Orang Yang Telah Meninggal




Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin





Membaca Al-Qur'an di atas kuburan merupakan perbuatan bid'ah yang tidak berdasar sama sekali baik dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para sahabatnya Radhiyallahu 'anhum. Maka tidak selayaknya bagi kita untuk mengada-ngadakannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu riwayat menyebutkan.

"Artinya : Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah merupakan kesesatan" [1]

An-Nasa'i menambahkan.

"Artinya : Dan setiap kesesatan berada dalam neraka"[2]

Maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti para sahabat terdahulu dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sehingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam"[3]

Mendoakan mayat di kuburnya tidak mengapa semisal berdiri di samping kubur dan mendoakan ahli kubur dengan doa yang mudah baginya, seperti.

"Artinya : Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, Ya Allah, jagalah dia dari api neraka. Ya Allah, masukanlah dia dalam surga, Ya Allah, berilah kelapangan baginya di kuburnya"

Dan doa-doa sejenisnya.

Adapun seoorang berdoa di atas kuburan untuk mendoakan dirinya sendiri, maka perbuatan ini termasuk bid'ah, karena suatu tempat tidak boleh dikhususkan untuk berdo'a kecuali beberapa tempat yang telah disebutkan oleh nash.

Apabila tidak ada nash dan sunnah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengkhususkan suatu tempat di mana pun juga untuk berdo'a bila tidak ada nash yang membolehkannya maka perbuatan tersebut termasuk bid'ah".

Mengenai puasa untuk orang yang meninggal, shalat untuknya, membaca Al-Qur'an baginya dan sejenisnya, sesungguhnya ada empat macam ibadah yang manfaatnya bisa sampai kepada orang yang telah meninggal, menurut ijma' ulama, yaitu : Do'a, kewajiban yang bisa diwakilkan, sedekah dan membebaskan budak.

Adapun selain empat hal tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenainya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa amal shalih yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal tidak bisa bermanfaat baginya selain empat hal tersebut. Namun yang benar adalah bahwa setiap amal shalih yang diperuntukkan bagi orang yang meninggal bisa bermanfaat baginya, jika yang meninggal adalah orang mukmin. Akan tetapi kami tidak sependapat bahwa menghadiahkan suatu ibadah kepada orang yang meninggal merupakan perkara-perkata syar'i yang dituntun dari setiap orang. Justru kita katakana bahwa jika seseorang menghadiahkan pahala dari suatu amalanya, atau meniatkan bahwa pahala dari amalnya diperuntukkan bagi seorang mukmin yang telah meninggal, maka hal tersebut bisa bermanfaat bagi orang yang diberi, akan tetapi perbuatan itu tidak dituntutkan darinya atau tidak disunnahkan baginya.

Dalil hal tersebut, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengarahkan umatnya kepada perbuatan ini. Justru hadits shahih yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menyebutkan.

"Artinya : Jika seseorang meninggal, maka amal perbuatannya terputus kecuali dari tiga perkara ; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang mendo'akannya"[4]

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan :

"Anak shalih yang mengerjakan amal untuknya atau mengerjakan ibadah puasa, shalat atau yang lainnya untuknya". Ini mengisyaratkan bahwa seyogyanya dilakukan dan disyariatkan adalah do'a untuk orang yang sudah meninggal, bukan menghadiahkan suatu ibadah kepada mereka. Setiap orang di dunia ini membutuhkan suatu amal shalih, maka hendaknya ia menjadikan amal shalihnya untuk dirinya sendiri, dan memperbanyak do'a bagi orang yang telah meninggal, karena yang demikian inilah yang baik dan merupakan cara para Salafus Shalih Rahimahullah.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Nur 'Alad Darbi, Juz I, I'dad Fayis Musa Abu Syaikhah]

[Disalin dari kitab Bida'u An-Naasi Fii Al-Qur'ani edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur'an oleh Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Penerbit Darul Haq]

Berusahalah Untuk Memperbaiki Bacaan Al-Qur'an



Oleh
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta




Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Saya asli orang Yaman, sudah sepuluh tahun menetap di Saudi. Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia dan saya senang sekali membaca Al-Qur'an Al-Karim, saya sering membacanya di masjid, namun pada ayat-ayat tertentu saya tidak bisa melafalkannya dengan benar (fasih), dikarenakan saya tidak pernah duduk di bangku sekolah. Apakah bacaan Al-Qur'an Al-Karim yang saya lakukan dengan seadanya, masih banyak salah dalam sebagian ayat menimbulkan dosa bagi saya ? Saya mohon penjelasan.

Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada RasulNya beserta keluarga dan shabatnya, wa ba'du

Berusahalah untuk memperbaiki bacaanmu dengan cara belajar kepada salah seorang ahli Al-Qur'an (Al-Qura) yang sudah mu'tabar (dianggap keberadaannya) dan perbanyaklah membaca apa-apa yang telah engkau kuasai di masjid dan di tempat lain. Bila engkau berusaha untuk itu, maka pasti Allah memudahkan urusanmu. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Orang yang mahir (membaca) Al-Qur'an, dia bersama para malaikat yang mulia lagi jujur, dan orang yang membacanya sambil terbata-bata serta mengalami kesulitan, maka dia mendapatkan dua pahala". [1]

Wabillah at-taufiq wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]

Cara Yang Paling Mudah Menghafal Al-Qur'an




Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan




Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apa nasihat anda kepada para pemuda dalam menempuh cara yang paling mudah untuk menghafal Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala ?

Jawaban.
Al-Qur’an itu dimudahkan dan sangat mudah menghafalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk dijadikan pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al-Qamar : 17]

Dan yang menentukan adalah kemauan orang dan ketulusan niatnya. Bila dia memiliki kemauan yang tulus dan keseriusan terhadap Al-Qur’an, maka Allah akan memudahkan dia untuk menghafalnya dan memudahkan Al-Qur’an untuk dihafal.

Ada beberapa hal yang membantu dalam mengahaflnya, seperti mengkhususkan waktu yang sesuai setiap hari. Engkau belajar kepada guru Al-Qur’an di masjid dan Alhamdulillah guru-guru Al-Qur’an sekarang sangat banyak (di Saudi, -pent). Engkau tidak mendapatkan satu perkampungan melainkan pasti di dalamnya ada orang yang mengajarkan Al-Qur’an. Ini kesempatan yang mulia sekali yang zaman dahulu belum pernah terjadi.

Maka seharusnya saudara kita ini memilih halaqah atau guru yang ada itu dan selalu hadir bersama guru tersebut sampai hafalannya tamat.

Engkau juga harus mengulang-ulang apa yang telah engkau baca, dua kali, tiga kali dan seterusnya, sampai hafalan itu melekat di hati dan ingatanmu. Dan kewajibanmu adalah mengamalkan Kitab Allah ini, karena hal itu merupakan wasilah (sarana) yang paling agung untuk mempelajarinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan bertakwalah kamu kepada Allah : Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]

sumber: http://almanhaj.or.id/