Wednesday, January 30, 2013

Dakwah Salafiyyah, Adalah Dakwah Ahlus-Sunnah




Dakwah Salafiyyah, Adalah Dakwah Ahlus-Sunnah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Dakwah Salaf bukanlah dakwah yang baru. Tetapi ia adalah dakwah Ahlus Sunnah. Yaitu dakwah haq yang dilakukan para sahabat. Dakwah Salaf mengajak ummat Islam berpegang kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajak ummat untuk kembali kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih.

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan beberapa istilah dan definisi Salaf, Ahlus Sunnah dan lainnya. Penulis juga akan menjelaskan beberapa prinsip Ahlus Sunnah dalam berdakwah di jalan Allah. Mudah-mudahan upaya penulisan ini bermanfaat.

DEFINISI SALAF (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya, yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Jadi, Salaf artinya ialah para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Adapun menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini. Mereka adalah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut-tabi’in). [3]

Menurut al Qalsyani: “Salafush-Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini, yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya n dan menegakkan agama-Nya...”[4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al ‘Aqiidatul-Islamiyyah Bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk, Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya (perilaku) menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur`an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman sahabat, ta-bi’in dan tabi’ut tabi’in".[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara yang baru atau bid’ah. Akan tetapi, penisbatan ini adalah syar’i, karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut juga as Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush-Shalih dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka, serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, maka mereka itu disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.

Jadi, Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang. Tetapi, Salaf adalah manhaj. Yaitu sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya, yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat g sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf. Bahkan (ia) wajib menerima yang demikian itu, karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran”.[7]

DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum .

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah, jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[8]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), as-Sunnah adalah petunjuk yang telah ditujukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Demikian inilah as-Sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, dan orang yang menyalahinya akan dicela.[9]

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al Bashri (wafat th. 110 H), Imam al Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H)”.[10]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful-Ummah.[11]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah, generasi pertama dari ummat ini. Yaitu kalangan sahabat, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [12]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah, berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu ialah, apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, walaupun engkau sendirian. [13]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama.

Karena mereka, orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka itu juga disebut dengan Ahlul-Hadits, Ahlul-Atsar dan Ahlul-Ittiba’. Di samping itu, mereka juga disebut sebagai ath-Thaa-ifatul-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun-Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa` (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah; tidak akan mencelakai mereka, orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka, sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.[14]

Tentang al-Ghurabaa`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya; maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa` (orang-orang asing). [15]

Sedangkan makna al-Ghurabaa` ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ; ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa`, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek; orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.[16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa`:

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.[17]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia.[18]

Ahlus-Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun-Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan ini sudah masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf. Karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash, dan sesuai dengan kondisi serta kenyataan yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para imam, seperti ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya rahimahullah.[19]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita, dan wajib bagi kita berterima kasih atas usaha mereka”.[20]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) v menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat g dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[21]

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini, sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla.

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

(Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu. –(Ali ‘Imran/3 ayat 106), ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; sedangkan orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat".[22]

Kemudian, istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah , di antaranya:

1. Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku diberitahu tentang meninggalnya seseorang dari Ahlus Sunnah, (maka) seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku”.

2. Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus-Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-Ghurabaa`. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[23]

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: 'Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan'.”

4. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan:[24] “...Maka sesungguhnya, apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman, dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul n dan para sahabatnya, semenjak dari zaman para sahabat g hingga pada masa sekarang ini...”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat; maka itu merupakan agama, yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa, penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[25]

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah, agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar, dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

MANHAJ DAKWAH AHLUS-SUNNAH
Yang dimaksud dengan dakwah (mengajak manusia ke jalan Allah), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, mengimani apa yang dibawa para rasul-Nya, membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada Qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja seolah-olah ia melihat-Nya.[26]

Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, melarang manusia dari perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melarang berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar, agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, yakni dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Dakwah di jalan Allah merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allah. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allah dan beramal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat/41:33].

A. Dakwah Yang Haq Harus Dengan Bekal Ilmu Syar’i
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para ulama Ahli Hadits pada masa-masa yang telah lewat, ia akan melihat bahwa para ulama Ahli Hadits telah mengikuti metode yang sama dalam berdakwah menuju Allah di atas cahaya dan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak ada termasuk orang-orang yang musyrik”.[Yusuf/12:108].

Yaitu meliputi metode ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya, apabila dakwah menuju Allah merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu, seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu pula ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang maksimal.[27]

Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan faham tentang ilmu syar’i, yang dengan ilmunya tersebut, ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar. Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar.[28] Pertama, al ‘Ilmu. Yaitu mengetahui al haq (kebenaran). Kedua, dakwah menuju al haq (mengajak manusia kepada kebenaran). Ketiga, teguh dan istiqamah di atas kebenaran.[29]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. [al Fath/48:28].

Yang dimaksud dengan الْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’alamengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[30]

B. Ahlus-Sunnah Berdakwah (Mengajak Manusia) ke Jalan Allah Dengan Hikmah[31]
Firman Allah al Hakiim:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [an-Nahl/16: 125]

Ayat yang mulia di atas merupakan asas yang mengajarkan jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengajarkan kepada para da'i, jalan dalam berdakwah. Karena sesungguhnya, Allah telah mensyari’atkan kepada para hamba-Nya melalui Kitab-Nya yang Dia turunkan, dan dengan penjelasan Rasul-Nya n dalam perkara-perkara yang dapat memberikan penerangan untuk akal mereka, kesucian jiwa dan kelurusan perbuatan mereka.

Allah telah menamakan (syari’at itu) dengan sabil (jalan), supaya mereka tetap konsisten dalam seluruh fase perjalanan dalam menempuh kehidupan ini; sehingga dapat mengantarkan kepada puncak yang dituju, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Dan Dia merangkaikan sabil (jalan) itu dengan Diri-Nya, sehingga disebut sabilillaah (di jalan Allah), supaya para hamba mengetahui, Dia-lah yang telah membuatnya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mengantarkan menuju ridha-Nya selain jalan Allah.

Ayat di atas, pada asalnya merupakan firman Allah Subhanahu wa Ta’alayang ditujukan kepada Nabi pilihan-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi-Nya n untuk berdakwah menuju jalan Rabb-nya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al Amiin (yang dapat dipercaya) dan al Ma’shum (yang terjaga dari dosa), sehingga, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di antara jalan Rabb-nya, kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendakwahkannya. Dengan demikian kita mengetahui, apa saja yang tidak diserukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan termasuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita pun mendapatkan petunjuk tentang perbedaan antara al haq dengan al bathil, petunjuk dengan kesesatan, serta antara da’i-da’i Allah dengan da’i-da’i setan.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia termasuk da’i-da’i Allah, yang menyeru kepada al haq dan hidayah.[32] Dan barangsiapa yang menyeru kepada apa yang tidak diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia termasuk da’i-da’i setan, yang menyeru kepada kebathilan dan kesesatan. Sehingga, seorang muslim yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkan setiap yang ia ketahui dari jalan Rabb-nya. Dan jika setiap individu dari kalangan kaum Muslimin menjalankan dakwah ini sesuai dengan kemampuannya, maka akan teranglah jalan Allah bagi orang-orang yang menempuhnya, ilmu akan tersebar di kalangan kaum Muslimin. Adapun jalan-jalan kebathilan, akan sepi dari da’i-da’i setan.[33]

Kewajiban terbesar yang wajib ditempuh oleh para da’i, ustadz dan ulama, yaitu meniti manhaj para nabi dalam berdakwah menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan tinjauan dari sudut agama dan akal, maka seorang da’i tidak boleh menyimpang dari manhaj dakwah anbiyaa’, lalu memilih manhaj dakwah yang lain, karena:

1. Manhaj anbiyaa’ (para nabi) adalah jalan paling lurus yang ditetapkan Allah kepada seluruh nabi, dari yang pertama sampai terakhir.

2. Sesungguhnya para nabi benar-benar telah berpegang teguh dan mempraktekkan manhaj tersebut. Hal itu jelas menunjukkan kepada kita, bahwa masalah manhaj bukan termasuk masalah ijtihad (bukan berasal dari pemikiran).

3. Allah telah mewajibkan kepada Rasul-Nya yang mulia n untuk meneladani dan menempuh manhaj para nabi tersebut, dan kita wajib mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena kesempurnaan konsep dakwah para nabi tergambar dalam dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallam , maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti manhaj Nabi Ibrahim Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Ta’alajuga memerintahkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihissallam yang hanif.[34]

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisaa`/4: 59].
Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid. Adapun dakwah mereka, dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka dakwahkan.

5. Allah telah menciptakan alam ini, menyusunnya dengan sangat rapi, dan menjadikan ketetapan-ketetapan bagi alam ini. Seandainya ketetapan-ketetapan alam itu berbeda-beda, niscaya rusaklah alam ini. Begitu juga dalam hal syari’at, ia tidaklah tegak kecuali di atas ‘aqidah yang haq. Jika syari’at telah lepas dari ‘aqidah, maka rusaklah syari’at tersebut, sehingga tidak lagi sebagai syari’at yang benar.

Jelaslah, bahwa hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bagaikan pondasi sebuah bangunan dan bagaikan ruh bagi badan. Jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Untuk menambah kepahaman kita terhadap Sunnatullah yang disyari’atkan-Nya, berikut kami bawakan tiga contoh. Bahwa pengaturan dan ketertiban dalam syari'at-Nya merupakan perkara yang dijadikan tujuan, sehingga wajib diikuti dan tidak boleh menyimpang dari hal-hal berikut:

1. Shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan shalat kepada kita dengan perbuatan yang nyata. Andaikan ada sekelompok orang yang mengubah tata-cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka apakah shalatnya itu benar dan bersesuaian dengan syari'at Islam?

2. Haji.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan haji dan mengajarkan manusia tentang manasik haji. Maka jika ada jama’ah yang menghendaki adanya perubahan terkait dengan manasik haji, maka apakah hajinya tersebut dibenarkan oleh Islam atau justru merusak ibadah haji?

3. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini yang terpenting).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan demikian pula seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]. [35]

Di antara contohnya, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ لِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata). (Juga lafazh lainnya: Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka, lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik, dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.[36]

Kita faham, mengikuti ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’alayang berkaitan dengan syari’at dan aturannya yang detail dalam peribadatan serta perinciannya adalah wajib, tetapi kenapa kita tidak memahami ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’aladan aturan-Nya yang detail dalam masalah dakwah? Padahal para nabi, semuanya meniti jalan yang satu. Kita tidak boleh berpaling dari manhaj dakwah yang dicontohkan oleh para nabi, dan tidak boleh menyelisihinya. Sebab, apabila menyalahi menhaj dakwah para nabi, akan berakibat sangat fatal. Para da’i wajib menggunakan kembali akal mereka dan mengubah sikap mereka.

Kemudian apakah ummat Islam (khususnya para da’i) mengambil manfaat dari manhaj yang agung ini dalam memberikan perhatian tentang masalah-masalah tauhid dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwah mereka? Jawabannya, sesungguhnya sebagian besar da’i dan ustadz telah menyimpang jauh dari manhaj para nabi dalam berdakwah, sehingga umat Islam mengalami kondisi yang menyedihkan dan pahit, akibat kekeliruan dari dakwah yang mereka lakukan.

Sesungguhnya banyak di antara ummat Islam (termasuk da’i, kyai dan pemikirnya, Pen.) jahil terhadap manhaj ini, dan sebagian lagi pura-pura bodoh. Mereka dihalang-halangi oleh setan dari manhaj yang haq ini, kemudian mereka membuat manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj dakwah para nabi. Hal ini menjerumuskan mereka dan menyebabkan mereka tertimpa bencana di dalam agama dan dunianya.[37]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sebagian Di Antara Prinsip Dakwah Ahlus-Sunnah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


1. AHLUS SUNNAH MENGAJAK MANUSIA MENTAUHIDKAN ALLAH DAN MENJAUHI PERBUATAN SYIRIK.
Para da’i harus memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid, karena itu merupakan dakwah yang paling utama dan paling mulia. Dakwah tauhid, berarti mengajak kepada derajat keimanan yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah perkataan "Laa ilaaha illallaah", dan yang paling rendah ialah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan; dan malu adalah salah satu cabang iman.[1]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima, kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (tauhid)".

Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, maka semua gerakan dakwah yang berdiri tegak di atas dakwaan dan simbol ishlah (perbaikan), namun tidak memfokuskan perhatian dan tidak bertolak dari upaya perbaikan tauhid, tentunya akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan seiring dengan jauhnya dari pokok yang sangat penting ini. Sebagaimana perbuatan orang-orang itu telah menghabiskan usia mereka dalam memperbaiki mu’amalah antara manusia, namun mu’amalah mereka terhadap al Khaliq (Allah) atau ‘aqidah mereka terhadap-Nya menyimpang jauh dari petunjuk Salafush-Shalih. Sama halnya dengan mereka yang telah menghabiskan umurnya dalam upaya menempati dan menduduki sistem pemerintahan, dengan harapan akan mampu mengadakan perbaikan pada manusia melalui jalur tersebut, atau dengan mengerjakan berbagai kegiatan politik untuk mengejar dan meraih kekuasaan, namun demikian, mereka tidak menaruh perhatian untuk memperbaiki kerusakan ‘aqidah mereka dan kerusakan ‘aqidah orang-orang yang menjadi objek dakwah mereka.

Peran ‘aqidah dalam kehidupan amat penting, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menekankan kepada para da’i, agar senantiasa mencurahkan perhatian kepada 'aqidah dan mengawali dakwahnya dengan 'aqidah seperti yang tercantum dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu.

Ada sebagian orang merasa heran dan aneh dengan diprioritaskannya dakwah kepada tauhid. Keherana tersebut kami jawab: “Bukankah hak Allah berupa pengesaan di dalam beribadah merupakan sesuatu yang paling berhak mendapatkan perhatian dan paling berhak untuk sering diucapkan oleh lisan manusia? Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang murni, maka bagaimana mungkin dianggap sebagai masalah kecil dan remeh oleh para pelopor gerakan-gerakan dan manhaj-manhaj dakwah pada zaman ini? Bukankah tauhid inilah yang paling utama untuk dibukakan baginya pintu-pintu dan dilapangkan baginya tempat-tempat dan kesempatan?”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan: “Tauhid adalah kunci pembuka dakwah para rasul,” kemudian beliau rahimahullah menyebutkan tentang hadits Mu’adz yang telah disebut sebelumnya.[2]

Walaupun kondisi dan problematika ummat berbeda-beda, namun yang tetap menjadi prioritas dalam dakwah ialah mengajak kepada tauhid. Sama saja halnya, apakah problem mereka di bidang perekonomian sebagaimana yang dihadapi oleh kaum Madyan, ataupun problem demoralisasi (kebobrokan moral) seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth Alaihissallam. Penulis tidak perlu menyebutkan: “Atau problem yang dihadapi mereka adalah krisis politik,” karena semua ummat dan bangsa yang tersebut pada ayat-ayat di atas, belum diberlakukan pada mereka hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Cahaya dakwah tauhid yang diberkahi ini, sekali-kali tidak boleh padam sesaat pun, hanya dengan dalih demi kestabilan dan kemantapan tauhid pada hati manusia.

Meskipun kesadaran dan sambutan ummat terhadap tauhid telah mencapai kesempurnaan, namun demikian, pasti terdapat kekurangan pada diri manusia. Kekurangan yang paling jelek ialah kekurangan dalam keikhlasan dan lenyapnya keyakinan tauhid. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggal diam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyebut kejelekan perbuatan syirik, hingga pada hari-hari terakhir kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia ini. Padahal kondisi ummat pada saat itu telah mencapai puncak kekuatannya dalam bertauhid kepada Rabb-nya, dan mereka berada pada satu barisan.[3]

2. AHLUS-SUNNAH MENGAJAK UMMAT ISLAM UNTUK BERPEGANG TEGUH KEPADA SUNNAH-SUNNAH NABI, MENGAMALKAN DAN MENGHIDUPKANNYA, SERTA MELARANG DARI PERBUATAN BID’AH, KARENA SETIAP BID’AH ADALAH SESAT, DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA.
Al 'Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu berkata:

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

"Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberi kami nasihat dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar. Maka seseorang berkata: 'Wahai Rasulullah. Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat,' maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, (ia) akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang-teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat'.”[4]

3. AHLUS-SUNNAH MENYURUH KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH YANG MUNKAR MENURUT KETENTUAN SYARI’AT
Definisi ma’ruf, menurut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ialah suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah dari perkara iman dan amal shalih. Adapun munkar yaitu, suatu nama yang mencakup bagi setiap apa-apa yang tidak disukai Allah dan yang dilarang-Nya.[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. [Ali ‘Imran/3:110]

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imran/3:104]. [6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ.

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka lakukanlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.[7]

Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah,[8] dan pelakunya harus memenuhi ketentuan berikut ini:

• Berilmu.
Firman-Nya:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Ini jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf/12:108]

• Lemah-lembut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ.

Sesungguhnya adanya kelemah-lembutan pada sesuatu, pasti akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (kelemah-lembutan), melainkan akan mencemarkan sesuatu itu.[9]

Dakwah Salaf terkenal dengan dakwah yang lemah-lembut, bukan keras dan kasar. Mereka adalah orang yang mengetahui tentang kebenaran dan sayang kepada makhluk. Mereka tegas dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Terkadang, karena sikap tegas dalam kebenaran inilah yang menyebabkan dakwah Salaf dituduh sebagai dakwah yang keras, kaku, kasar, dan lainnya. Padahal, dengan ketegasan dalam kebenaran, banyak ummat yang menjadi faham tentang Islam, mendapat hidayah dari Allah. Dasar dakwah ini adalah lemah-lembut dan kasih-sayang sesama kaum Mukminin dan keras kepada orang-orang kafir.

• Sabar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. [Luqman/31:17].

وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

Sabarlah kamu dari apa-apa yang mereka katakan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. [al Muzammil/73:10].

• Ada kemampuan dan kekuasaan[10]
• Harus ikhlas semata-mata karena Allah.

Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah amal yang wajib, paling utama, dan paling baik.[11]

4. AHLUS-SUNNAH MENGAJAK KEPADA PERSATUAN KAUM MUSLIMIN
Seringkali orang-orang yang tidak senang kepada persatuan ini mengatakan, dakwah Salaf membuat ummat terpecah-belah, saling bermusuhan, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan mereka tidak benar, tetapi justru merekalah yang membuat perpecahan. Karena dakwah Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang berpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” [Ali ‘Imran/3:103].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali ‘Imran/3:105].

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [ar-Ruum/30:31-32].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.

Berjama’ah adalah rahmat, sedangkan berpecah-belah adalah adzab.[12]

Demikianlah, bahwasanya Ahlus-Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah-belah persatuan kaum Muslimin. Akan tetapi, Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan al Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih, bukan persatuan yang semu dan sesat. Adapun persatuan yang dikehendaki tersebut, yaitu persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka, bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.

Lafazh hizb, ditinjau dari aspek bahasa, memiliki beberapa makna. Al Fairuz Abadi dalam Bashaa-iru Dzawit-Tamyiizi (II/457) mengatakan, al hizb adalah kelompok (golongan). Al ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para nabi. Dan menurut al Qur`an, lafazh al hizb ini memiliki beberapa sudut pandang:

• Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (ar-Ruum/30:32).
• Bermakna tentara setan. (Mujaadilah/58:19).
• Bermakna tentara Allah. (Mujaadilah/58:22).
• Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (al Maa-idah/5:56).
• Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung.

Syaikh Shafiyur-Rahman al Mubarakfuriy berkata,"Al hizb, secara bahasa adalah, golongan (kumpulan) dari manusia; berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan 'aqidah dan iman, atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air, atau (ikatan) nasab (keturunan), pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.”

Bagi orang yang berakal, merupakan sesuatu yang sangat jelas, bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern dan teori-teori yang menjadi patokan, sebagai undang-undang bagi kelompok hizb tersebut, meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang. Kedudukan undang-undang tersebut sebagai asas yang menjadi dasar berpijaknya sistem pengorganisasian hizb, dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut.

Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh, maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut. Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju (menolak), maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-undang itu asasnya wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb. Yaitu hizb Allah dan hizb setan, yang menang dan yang kalah, yang muslim dan yang kafir.

Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain, maka berarti dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah-belah kalimat Allah. Sehingga seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit dan terkutuk, karena telah melemahkan hizb Allah; dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok, (golongan, jama’ah) supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah.[13]

Ahlus-Sunnah Mengajak Kaum Muslimin Kepada Persatuan di Atas Sunnah
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , kebaikan dan kekuatan. Sebaliknya, jika mereka berselisih, maka yang akan terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [al Anfaal/8:46].

Namun wajib diketahui, bahwa persatuan tersebut haruslah dibangun berdasarkan ittiba’ (ketaatan) kepada as-Sunnah, bukan dengan bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka, meskipun golongan yang dicelanya tersebut berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan, yaitu kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirathal-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush-Shalih.[14]

Ahlus-Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah, merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian). Bai’at itu hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif), atau kepada seorang muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.

Ahlus-Sunnah berpendapat tentang hadits:

...مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

(... Barangsiapa mati, sedangkan ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah).[15]

Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.[16] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas, beliau (Imam Ahmad) menjawab: “Yang dimaksud dengan Imam adalah, yang kaum Muslimin –seluruhnya- berkumpul untuk membai’atnya. Itulah Imam, dan demikianlah makna hadits ini.” Sehingga, tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[17]

Al Katsiri di dalam kitabnya, Fa-idhul Baari berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan, bahwa bai’at yang dianggap sah adalah, bai’at yang dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan (sebagai) Imam sampai (ia) dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi”.[18]

Jadi, tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah, itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada Imam, yang padanya telah berkumpul seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) -yang ada sekarang ini- adalah bai’at bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

"... Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin,” kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu".[19]

5. AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH MENGAJAK MANUSIA KEPADA AKHLAK YANG MULIA DAN AMAL-AMAL YANG BAIK,[20] SERTA MELARANG BERAKHLAK BURUK[21]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[22]
Sesungguhnya, antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang sangat kuat. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan, sedangkan akhlak yang buruk sebagai bukti lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seorang muslim, berarti semakin kuat imannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.

Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka. Dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.[23]

Akhlak yang baik merupakan bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan akhlak yang baik menjadi salah satu penyebab seseorang dapat masuk ke dalam Surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ.

Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat, melainkan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya, Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.[24]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقاً...

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat, ialah yang paling baik akhlaknya...[25]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk surga, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: اَلْفَمُ وَالْفَرْجُ.

"Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk neraka, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lidah dan kemaluan”. [26]

Ahlus-Sunnah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, menganjurkan bersilaturrahim, serta berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil.[27] Mereka (Ahlus Sunnah) melarang dari berbuat sombong, angkuh, dan zhalim.[28] Mereka memerintahkan untuk berakhlak mulia dan melarang dari akhlak yang hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ وَمَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيُبْغِضُ سِفْسَافَهَا.

Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia, serta membenci akhlak yang rendah (hina).[29]

Sungguh akhlak mulia itu meninggikan derajat seseorang di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ.

Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam.[30]

Akhlak yang mulia dapat menambah umur dan menjadikan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

...وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيْدَانِ فِي اْلأَعْمَارِ.

... Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur.[31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar mempunyai akhlak yang agung. [al Qalam/68:4].

Hal ini sesuai dengan penuturan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقاً.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya.[32]

Begitu pula para sahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara akhlak Salafush-Shalih, yaitu:

• Ikhlas dalam ilmu dan amal serta takut berbuat riya’.
• Jujur dalam segala hal dan menjauhkan dari sifat dusta.
• Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.
• Menjunjung tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Berusaha meninggalkan segala bentuk kemunafikan.
• Lembut hatinya, banyak mengingat mati dan akhirat, serta takut terhadap akhir kehidupan yang jelek (su’ul khatimah).
• Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan tidak berbicara yang sia-sia.
• Tawaadhu’ (rendah hati) dan tidak sombong.
• Banyak bertaubat, beristighfar (mohon ampun) kepada Allah, baik siang maupun malam.
• Bersungguh-sungguh dalam bertakwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang yang bertakwa, serta senantiasa takut kepada Allah.
• Sibuk dengan aib diri sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain, serta selalu menutupi aib orang lain.
• Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak menggunjing sesama Muslim).
• Pemalu.[33]

Malu adalah akhlak Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ.

Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.[34]
Begitu juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ.

Malu itu tidak mendatangkan sesuatu, melainkan kebaikan semata.[35]

• Banyak memaafkan dan sabar kepada orang yang menyakitinya.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf: 199]

• Banyak bershadaqah, dermawan, menolong orang-orang yang susah, tidak bakhil/tidak pelit.
• Mendamaikan orang yang mempunyai sengketa.
• Tidak hasad (dengki, iri), tidak berburuk sangka sesama Mukmin.
• Berani dalam mengatakan kebenaran dan menyukainya.[36]

Demikianlah di antara akhlak Salafush-Shalih. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak yang tinggi dan mulia serta dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikuti jejak mereka, sudah seharusnya juga mempunyai akhlak mulia, karena akhlak sangat erat hubungannya dengan ‘aqidah dan manhaj.

Semoga kita selalu diberi taufiq oleh Allah Azza wa Jalla dan diberi kekuatan untuk dapat meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Dan bagi seseorang, tidak dibolehkan mengatakan “Salaf itu tidak berakhlak,” karena kalimat ini merupakan celaan terhadap generasi yang terbaik dari ummat ini. Adapun kesalahan individu dalam masalah akhlak, maka sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


PETUNJUK TERBAIK HANYA ADA DI AL-QUR'AN

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa



إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

"Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….[al-Isrâ`/17:9]

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa 'Ala menyampaikan pujian terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-'Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini menjadi faktor banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak [1].

Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung keutamaan Al-Qur`ân, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas kitab-kitab sebelumnya. Di antara ayat-ayat pujian itu ialah sebagai berikut.

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَىٰ عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`ân) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". [al-A'râf/7:52].

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl/16:89]

Dalam dua ayat di atas, secara global Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kandungan Al-Qur`ân, sebagai hidayah menuju jalan terbaik, yang paling adil dan benar. Seandainya kita berkeinginan menggali perincian hidayahnya secara sempurna, niscaya kita akan mengarungi seluruh kandungan Al-Qur`ân [2]. Seseorang yang memperoleh hidayah Al-Qur`ân, niscaya ia menjadi insan yang sempurna, paling lurus dan paling dipenuhi dengan petunjuk.[3]

Pemaparan berikut merupakan bukti kongkret mengenai petunjuk Al-Qur`ân yang mengalahkan seluruh hasil cipta dan pemikiran manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya. Juga ketetapan-ketetapan Al-Qur`ân yang diingkari oleh kaum Mulhidûn, terutama yang mengundang timbulnya "reaksi negatif", baik dari kalangan kaum muslimin sendiri yang lemah imannya, dan terlebih lagi kaum kuffar. Dengan itu, kaum kuffâr berupaya mencoreng citra Islam, baik secara langsung maupun menggunakan tangan-tangan kaum muslimin yang lemah iman. Pencitraan buruk tentang Islam ini, tidak lain karena kedangkalan pandangan mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sarat dengan hikmah.

Berikut ini beberapa contoh petunjuk Al-Qur`ân yang lebih baik daripada lainnya.[4]

1. Penetapan Hukum Rajam Bagi Pezina Yang Telah Menikah, Baik Laki-Laki Maupun Wanita Dan Penjatuhan Hukum Pukul Bagi Yang Masih Lajang Disertai Dengan Pengucilan Selama Satu Tahun.

Orang-orang mulhid menilai hukum rajam sadis dan ganas, tidak mengandung hikmah dan tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, tidak perlu diaplikasikan dalam peraturan yang mengikat manusia. Pandangan seperti ini, tidak lain muncul karena dangkalnya pengetahuan mereka untuk mengambil hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sebagai sanggahan, bahwasanya ketetapan tersebut berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk-Nya. Dan sebetulnya, hikmah dari hukum rajam ini sangat mudah untuk dipahami. Yakni, ketika seseorang itu berzina, berarti ia melakukan pengkhianatan yang sangat nyata. Dengan perzinaan ini, ia telah melakukan perbuatan paling buruk yang dikenal oleh umat manusia. Secara fitrah, keburukan dalam perbuatan zina itu telah diakui oleh semua manusia yang masih lurus. Karena perzinaan itu telah menciderai kehormatan, mengotori kesucian keluarga dan merusak garis keturunan di masyarakat.

Adapun wanita yang senang melakukan zina dengan lelaki manapun, maka ia sama saja. Orang-orang seperti ini begitu kotor dan tidak pantas memperoleh hak hidup lagi. Keberadaannya menjadi duri bagi masyarakat. Oleh karenanya, al-Khâliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukumnya dengan hukum bunuh, supaya perbuatan buruk para pezina ini dapat dimatikan, dan menutup keinginan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Hikmah lainnya dari hukum rajam ini, ialah bermanfaat bagi para pelaku zina untuk membersihkannya dari perbuatan kotor yang pernah ia tempuh. Hukum bunuh dengan rajam atasnya sangat mengerikan, karena kejahatan yang dilakukan juga merupakan kejahatan yang tak terperikan, sehingga hukuman yang diterimanya pun harus setimpat. Sebagaimana hukuman zina bagi orang yang sudah pernah menikah, hukumannya sangat keras; karena untuk memenuhi kebutuhan "biologisnya", sebenarnya ia bisa menikmatinya dengan istrinya. Akan tetapi justru sebaliknya, ia menyalurkannya di jalan yang salah dan berbahaya.

Ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa bersendikan pada prinsip menyingkirkan bahaya dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat mausia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, tindak pengkhianatan yang sangat berat pantas dibalas dengan hukuman yang berat pula.

2. Hukum Qishash.
Ketetapan hukum ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman masyarakat dari perbuatan saling bunuh. Seseorang yang sedang dilanda emosi atau dendam, dan muncul keingina dalam hatinya untuk membunuh orang lain, misalnya, maka ia akan teringat dengan hukum qishash. Sejurus kemudian ia akan berpikir panjang jika ingin melakukan pembunuhan. Dia akan mengurungkan niatnya, sehingga ia juga selamat dari hukum bunuh, setelah orang yang ia incar juga selamat dari tangannya.

Dengan hukum qishash ini, tingkat kejahatan pembunuhan juga dapat dihambat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai ulil albâb (orang-orang yang berakal), supaya kamu bertakwa" [al-Baqarah/2:179].

Tidak perlu diragukan lagi, inilah aturan terbaik dan paling adil. Fakta membuktikan kecilnya angka pembunuhan di negeri-negeri yang menjalankan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena hukum qishash menjadi kendali kuat bagi masyarakat yang ingin berbuat kriminal dan pembunuhan.

Berbeda dengan pandangan musuh-musuh Islam, mereka mengopinikan bahwasanya qishash berlawanan dengan semangat hikmah. Karena begitu mudah mengurangi jumlah anggota masyarakat dengan vonis mati bagi pelaku pembunuhan setelah kematian korban. Atau dengan dalih orang tersebut harus dihormati hak hidupnya. Karena itu sangat asasi. Sehingga pantasnya, para pelaku pembunuhan itu dihukum penjara saja.

Pendapat musuh-musuh Islam ini tentu tidak bernilai sama sekali, dan jauh dari hikmah. Karena hukuman penjara tidak mampu mencegah praktek pembunuhan. Jika hukuman tidak benar-benar membuat jera, maka akan meningkatkan keinginan melakukan pembunuhan berikutnya dari orang-orang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Orang-orang yang melontarkan komentar di atas, pada hakikatnya merasa "mengetahui" kemaslahatan manusia dan mencoba melakukan penentangan terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka hanya memandang hak hidup bagi si pembunuh, tetapi tidak peduli dengan nyawa korban yang melayang sia-sia, tanpa alasan yang sah. Pendapat itu, hakikatnya juga tidak menunjukkan sikap simpati kepada keluarga korban. Bahkan tidak memikirkan kemaslahatan umat manusia secara umum yang nyawanya terancam setiap saat, karena merasa tidak aman. Orang-orang yang berpaling dari hukum Allah ini dan merujuk kepada hukum produk manusia ini, tidak menyadari dampak buruk dari ketetapan tersebut. Karena memang mereka bukan "ulil albaab" yang mampu berpikir jernih dan melakukan pengamatan yang matang.[6]

3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.
Termasuk petunjuk Al-Qur`ân yang lurus, yaitu hukum potong tangan bagi pencuri barang yang mencapai batas tertentu. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Mâidah/5:38].

Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam menegaskan untuk keluarganya: "Kalau Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya".

Jumhur ulama menyatakan, hukum potong tangan itu dilakukan dari persendian telapak tangan kanan, bukan sampai persendian siku. Jika melakukan pencurian untuk kedua kali, maka bagian kaki kiri yang dilenyapkan. Bila kembali mengulangi perbuatannya, tangan kirilah yang dipotong. Seandainya masih tetap melakukan pencurian lagi, maka kaki kirinya juga harus hilang.

Tangan pencuri pantas untuk dihilangkan, karena tangan tersebut keji dan telah berbuat khianat. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya supaya digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan mengambil peran dalam membangun masyarakatnya. Namun ia menggunakan tangannya untuk khianat dengan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kekuatan tangan dipergunakan untuk berbuat khianat. Mengambil harta milik orang dengan cara seperti ini merupakan perbuatan yang sangat buruk. Tangan yang kotor, berupaya menggoncangkan ketentraman masyarakat. Sebab, harta memiliki peran penting terjaganya stabilitas sosial. Maka al-Khaliq, yang menciptakan tangan tersebut, menghukumnya dengan memotong dan melenyapkannya. Layaknya, anggota tubuh yang telah rusak lagi membusuk yang akan menularkan penyakit pada sekujur tubuh bila tidak diamputasi, sehingga tangan itu harus dilenyapkan untuk mempertahankan tubuh itu dan membebaskannya dari ancaman penyakit.

Hukum potong tangan juga berguna untuk membersihkan pelaku pencurian dari dosa pencurian yang ia lakukan, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang tegas di tengah masyarakat.

4. Islam Dan Kemajuan Teknologi.
Bagi yang mencermati kandungan syariah Islam, ia akan mengetahui secara pasti bahwa kemajuan tidak bertentangan dengan komitmen (istiqomah) menetapi nilai-nilai agama. Sebaliknya, musuh-musuh Islam menghembuskan opini pada hati kaum muslimin yang lemah iman dan lemah akal, bahwa kemajuan negara (Islam) tidak mungkin diraih kecuali dengan melepaskan diri dari ikatan agama. Pernyataan demikian ini batil, sama sekali sangat tidak beralasan, karena justru Al-Qur`aan menyeru kemajuan pada seluruh aspek kehidupan, yang mempunyai nilai penting bagi dunia dan agama. Akan tetapi, modernisasi yang diserukan harus tetap berada dalam bingkai agama, ditempuh dengan etika-etika luhur dan petunjuk Ilahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi …" [al-Anfâl/8:60].

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ ۖ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud," dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan". [Saba`/34:10-11].

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : {(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya}, menunjukkan persiapan dalam menghadapi musuh. Sedangkan firman-Nya: {dan kerjakanlah amalan yang shalih}, berisi petunjuk bahwa persiapan untuk menghadapi musuh dikerjakan dalam bingkai agama yang haniif. Dan Nabi Dawud Alaihissalam termasuk nabi yang termaktub dalam surat al-An'aam:

وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَارُونَ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

"… dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik". [al An'âm/6:84].

Usai menyebut beberapa nabi (termasuk Nabi Dawud Alaihissalam), Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …." [al-An'âm/6:90].

Ini menjadi petunjuk, bahwa kita juga menjadi bagian dari perintah yang ditujukan kepada Nabi Dawud Alaihissalam tersebut. Dalam melawan musuh, kita wajib menyusun persiapan disertai dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan ajaran agama. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Anfâl/8 ayat 60, ini merupakan perintah yang pasti untuk mempersiapkan segala kemampuan, andai pun kekuatan telah mengalami kemajuan pesat. Ini merupakan perintah yang tegas untuk mengondisikan diri dengan kemajuan dalam perkara-perkara duniawi, tidak jumud, dan selalu melakukan inovasi. Akan tetapi, meskipun demikian pemanfaatan hasil kemajuan itu harus diiringi dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai agama Islam.

Orang-orang kafir meniupkan syubhat, antara kemajuan dengan komitmen beragama, budi luhur dan akhlak mulia sangat jauh berseberangan. Kata mereka, perbedaan ini ibarat dua obyek yang saling berlawanan. Seperti perbedaan antara ada dan tiada, antara putih dan hitam, antara gerakan dan diam. Jadi, antara kemajuan negara dan komitmen beragama tidak bisa berjalan bersama dan mustahil.

Yang benar, kemajuan merupakan konsekuensi logis dari sikap komitmen yang shahîh kepada agama. Maka hendaklah diwaspadai, lontaran kaum kuffâr yang keliru tersebut memiliki tujuan terselubung, yaitu supaya mudah memperdaya kaum muslimin yang lemah iman. Pada gilirannya nanti untuk memudahkan jalan mereka menguasai kaum muslimin.

Seandainya seluruh kaum muslimin mengenal dan mengikuti ajaran agama dengan baik, niscaya akan bersikap tegas kepada kaum kuffaar sebagaimana generasi Salaf bersikap pada nenek moyang kaum kuffaar. Sebab, ajaran agama tidak berubah. Akan tetapi, orang-orang yang telah terpedaya oleh propaganda Barat, merasa aneh dengan ajaran Islam. Dan ini membuat pandangan mereka kepada Islam buruk. Maka, Allah menjadikan mereka sebagai budak orang-orang kafir yang jahat. Seandainya mereka mau kembali memegangi agama Islam, niscaya kemuliaan, hegemoni, dan kekuasaan akan kembali berada di genggaman kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin pun akan berperan sebagai pemimpin dunia. Allah berfirman :

ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ

"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain".[Muhammad/47:4].

Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepada-Mu iman yang tidak lepas, nikmat yang tidak habis, dan menyertai Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[7]



TINGGALKAN PEKERJAAN BATIL

Oleh
Syaikh Shalah al-Budair



Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah. Dia-lah yang telah memberikan ampunan kepada setiap pelaku dosa. Dan Allah pula yang telah melipat-gandakan pahala bagi para pelaku kebajikan. Dia melimpahkan berbagai kebaikan dan kenikmatan kepada segenap makhlukNya.

Ketahuilah, pemberian terbaik yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba adalah keimanan dan ketakwaan. Kekayaan dan kecukupan hidup, hendaknya tidak menjadi kendala seseorang untuk bertakwa. Dia juga harus yakin, bahwa iman dan takwa merupakan nikmat dan karunia Allah semata. Oleh karena itu, pemberian yang sedikit, jika disyukuri dan dirasa cukup, itu lebih baik daripada banyak tetapi masih menganggapnya selalu kekurangan. Sehingga tidaklah berfaidah limpahan nikmat dan banyaknya harta bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah.

Ingatlah, kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa. Yaitu jiwa yang selalu qana'ah dan menerima dengan lapang dada setiap pemberian Allah kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rizki dan diberi sifat qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya. [HR Muslim]

Dengan sifat qana'ah ini, seorang muslim harus bisa menjaga dalam mencari rizki atau mata pencaharian. Ketika bermu'amalah dalam mencari penghidupan, jangan sampai melakukan tindak kezhaliman dengan memakan harta orang lain dengan cara haram. Inilah kaidah mendasar yang harus kita jadikan barometer dalam bermu'amalah. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…. [an Nisaa/4 : 29].

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [al Baqarah/2 : 188]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan :

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ

Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga dirinya, dan hartanya. [HR Muslim].

Lihatlah contoh pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika menjual seorang budak kepada al 'Adda`, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menuliskan : "Ini adalah yang telah dibeli al 'Adda` bin Khalid bin Haudhah dari Muhammad Rasulullah. Dia telah membeli seorang budak tanpa cacat yang tersembunyi. Tidak ada tipu daya maupun rekayasa," kemudian beliau n melanjutkan : "Inilah jual beli muslim dengan muslim yang lainnya".

Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh etika jual beli sesama muslim, dengan mengadakan akad secara tertulis, dan tidak ada unsur dusta.

Namun para pemburu dunia yang tamak, telah menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Mereka lakukan dengan cara batil, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang yang lemah. Bahkan ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan, memakan harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang, atau yang lainnya. Kenyataannya, bantuan dan pinjaman tersebut tidak meringankan beban, apalagi mengentaskan penderitaan, tetapi justru lebih menjerumuskan ke dalam jurang penderitaan, kesusahan dan kemiskinan. Benarlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang) haram. [HR Bukhari]

Kita menyaksikan pada masa ini, betapa menjamurnya usaha-usaha yang diharamkan agama, seperti bandar perjudian, praktek perdukunan, para wanita tuna susila, hasil perdagangan dari barang-barang yang diharamkan semisal khamr, rokok dan narkoba, hasil pencurian dan perampokan, tidak jujur dalam perdagangan dengan penipuan dan mengurangi timbangan, memakan riba, memakan harta anak yatim, korupsi, kolusi. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita :

فَوَالهِm مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Demi Allah, bukanlah kefaqiran yang aku takutkan menimpa kalian. Akan tetapi, yang aku takutkan adalah terbukanya dunia bagi kalian, sebagaimana telah terbuka bagi umat-umat sebelum kalian. Sehingga kalian akan berlomba-lomba, sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Demikian itu akan menghancurkan kalian, sebagaimana juga telah menghancurkan umat sebelum kalian. [Muttafaqun 'alaih].

Ketahuilah, seseorang yang memakan harta haram, hidupnya tidak akan tenang dan bahagia. Doa yang dia panjatkan akan tertolak. Rasulullah telah menyebutkan sebuah kisah. Yaitu seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sampai keadaannya menjadi kusut dan berdebu, kemudian dia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa "ya Rabbi, ya Rabbi," akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dikenyangkan dari yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan?! [HR Muslim]

Oleh karena itu, ingatlah terhadap hisab, pembalasan dan siksa di akhirat. Para pelaku kezhaliman akan mengalami kebangkrutan di akhirat. Meskipun ia membawa pahala begitu banyak yang dikumpulkan ketika di dunia, namun pahala-pahala yang telah berhasil ia himpun sewaktu di dunia, akan dialihkan kepada orang-orang yang pernah dia zhalimi. Jika pahalanya telah habis sementara kezhaliman yang ia lakukan belum bisa tertutupi, maka dosa orang-orang yang dia zhalimi dialihkan kepada dirinya, sehingga dia terbebani dengan dosa orang-orang yang ia zhalimi tersebut, sehingga ia pun bangkrut tanpa pahala. Dan akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka. Wal 'iyyadzu billah.

Lihatlah sekarang ini, begitu banyak orang-orang yang pintar namun licik dengan memakan harta orang lain. Bahkan ada di antaranya yang mempermasalahkan dan membawanya ke hadapan hakim. Ditempuhlah berbagai cara, supaya bisa mendapatkan harta yang bukan menjadi haknya. Padahal, barangsiapa mengambil bagian hak milik orang lain, maka hakikatnya dia telah mengambil bagian dari bara api neraka.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

"Barangsiapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga," maka salah seorang bertanya,"Meskipun sedikit, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab,"Ya, meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak)." [HR Muslim]

Kepada para majikan, ingatlah! Janganlah Anda menyunat upah para pegawai, atau malah enggan membayarnya. Takutlah kepada Allah. Ketahuilah, para pegawai yang telah bekerja tersebut, mereka telah mengorbankan pikiran, waktu dan tenaga untuk Anda. Para pekerja itu juga memiliki tanggungan anak dan isteri yang harus dinafkahi. Sungguh, celakalah orang-orang yang berbuat zhalim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan:

أَعْطُوا اْلأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya. [HR Ibnu Majah].

Kami peringatkan kepada diri kami sendiri dan juga kaum muslimin. Bahwa usaha yang haram tidak akan menghasilkan, kecuali kebinasaan. Suap demi suap makanan yang didapat dari jalan haram, akan menurunkan harga diri kita di masyarakat. Sebaliknya, usaha yang baik dan halal, walaupun sedikit, akan menjadi pahala dan tabungan yang selalu bertambah tidak terputus di akhirat dan berbarakah.

Dalam kehidupan, terkadang kita tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut dengan hutang, disebabkan adanya keperluan tertentu. Meski demikian, sebaiknya kita menjauhi dan menghindari hutang, kecuali keadaan telah memaksanya, karena adanya hajat mendesak, yang tak mungkin kecuali harus dengan menempuh hutang. Karena seorang yang berhutang, ia akan selalu dalam keadaan tertawan, sampai dia melunasi hutangnya.

Dikisahkan, ada seseorang yang bertanya di hadapan Rasulullah :

يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ لِي ذَلِكَ

"Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurut engkau bila aku terbunuh fi sabilillah, apakah dosa-dosaku terhapuskan?" Maka Rasulullah menjawab: "Tentu, bila engkau bersabar dan hanya mengharapkan pahala, terus melangkah maju dan tidak surut mundur, kecuali jika engkau mempunyai hutang. Sesungguhnya Jibril telah mengatakan yang demikian itu kepadaku". [HR Muslim]

Melihat betapa besarnya pengaruh dan akibat yang akan ditanggung oleh orang yang berhutang, maka semestinya kita memiliki kepedulian. Karena, barangsiapa bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan, ikut meringankan beban yang ditanggungnya, memberikan tempo atau bahkan membebaskan orang yang terlilit hutang, maka Allah akan menaungi dirinya pada hari Kiamat. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ الهُa فِي ظِلِّهِ

Barangsiapa yang memperhatikan orang yang dilanda kesusahan, atau bahkan ikut menghilangkan kesusahannya, maka Allah akan menaungi dirinya pada hari Kiamat. [HR Muslim]

Akhirnya, marilah dalam mencari rizki, tetaplah dari jalan yang halal, yang diridhai Allah, sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kita hindari sejauh-jauhnya jalan-jalan yang diharamkan. Dan tidak ada kebenaran, kecuali datang dari Allah dan RasulNya. Wallahu a'lam.

(Diadaptasi oleh Abu Ziyad dari Khutbah Jum'at di masjid Nabawi dengan tema : Al Makasibul Khabitsah oleh Syaikh Shalah al Budair)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Sumber:    http://almanhaj.or.id

Dakwah Salafiyyah, Adalah Dakwah Ahlus-Sunnah




Dakwah Salafiyyah, Adalah Dakwah Ahlus-Sunnah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Dakwah Salaf bukanlah dakwah yang baru. Tetapi ia adalah dakwah Ahlus Sunnah. Yaitu dakwah haq yang dilakukan para sahabat. Dakwah Salaf mengajak ummat Islam berpegang kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajak ummat untuk kembali kepada al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih.

Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan beberapa istilah dan definisi Salaf, Ahlus Sunnah dan lainnya. Penulis juga akan menjelaskan beberapa prinsip Ahlus Sunnah dalam berdakwah di jalan Allah. Mudah-mudahan upaya penulisan ini bermanfaat.

DEFINISI SALAF (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya, yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Jadi, Salaf artinya ialah para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]

Adapun menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini. Mereka adalah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut-tabi’in). [3]

Menurut al Qalsyani: “Salafush-Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini, yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya n dan menegakkan agama-Nya...”[4]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al ‘Aqiidatul-Islamiyyah Bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk, Pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya (perilaku) menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi al-Qur`an dan as-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman sahabat, ta-bi’in dan tabi’ut tabi’in".[5]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara yang baru atau bid’ah. Akan tetapi, penisbatan ini adalah syar’i, karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut juga as Salafiyyuun, karena mereka mengikuti manhaj Salafush-Shalih dari sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka, serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, maka mereka itu disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf.

Jadi, Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang. Tetapi, Salaf adalah manhaj. Yaitu sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya, yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat g sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (wafat th. 728 H) berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf. Bahkan (ia) wajib menerima yang demikian itu, karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran”.[7]

DEFINISI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum .

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah, jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[8]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), as-Sunnah adalah petunjuk yang telah ditujukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Demikian inilah as-Sunnah yang wajib diikuti. Orang yang mengikutinya akan dipuji, dan orang yang menyalahinya akan dicela.[9]

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus, berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al Bashri (wafat th. 110 H), Imam al Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H)”.[10]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran. Tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang kepada) al haq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful-Ummah.[11]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah, generasi pertama dari ummat ini. Yaitu kalangan sahabat, tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [12]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah, berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyelisihinya banyak. Karena kebenaran itu ialah, apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka”.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, walaupun engkau sendirian. [13]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam masalah agama.

Karena mereka, orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka itu juga disebut dengan Ahlul-Hadits, Ahlul-Atsar dan Ahlul-Ittiba’. Di samping itu, mereka juga disebut sebagai ath-Thaa-ifatul-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun-Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa` (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah; tidak akan mencelakai mereka, orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka, sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.[14]

Tentang al-Ghurabaa`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya; maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa` (orang-orang asing). [15]

Sedangkan makna al-Ghurabaa` ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ; ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa`, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek; orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.[16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa`:

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.[17]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sepeninggalku sesudah dirusak oleh manusia.[18]

Ahlus-Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun-Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan ini sudah masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf. Karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash, dan sesuai dengan kondisi serta kenyataan yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para imam, seperti ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya rahimahullah.[19]

Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita, dan wajib bagi kita berterima kasih atas usaha mereka”.[20]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) v menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat g dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”[21]

SEJARAH MUNCULNYA ISTILAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini, sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla.

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

(Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu. –(Ali ‘Imran/3 ayat 106), ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; sedangkan orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat".[22]

Kemudian, istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah , di antaranya:

1. Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku diberitahu tentang meninggalnya seseorang dari Ahlus Sunnah, (maka) seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku”.

2. Sufyan ats-Tsauriy rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus-Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-Ghurabaa`. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[23]

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: 'Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan'.”

4. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan:[24] “...Maka sesungguhnya, apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman, dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul n dan para sahabatnya, semenjak dari zaman para sahabat g hingga pada masa sekarang ini...”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat; maka itu merupakan agama, yang kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa, penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[25]

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah, agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar, dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

MANHAJ DAKWAH AHLUS-SUNNAH
Yang dimaksud dengan dakwah (mengajak manusia ke jalan Allah), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, mengimani apa yang dibawa para rasul-Nya, membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada Qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja seolah-olah ia melihat-Nya.[26]

Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, melarang manusia dari perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melarang berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar, agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, yakni dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Dakwah di jalan Allah merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allah. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allah dan beramal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat/41:33].

A. Dakwah Yang Haq Harus Dengan Bekal Ilmu Syar’i
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para ulama Ahli Hadits pada masa-masa yang telah lewat, ia akan melihat bahwa para ulama Ahli Hadits telah mengikuti metode yang sama dalam berdakwah menuju Allah di atas cahaya dan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak ada termasuk orang-orang yang musyrik”.[Yusuf/12:108].

Yaitu meliputi metode ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya, apabila dakwah menuju Allah merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu, seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu pula ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, ilmu itu harus dicapai sampai batas usaha yang maksimal.[27]

Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan faham tentang ilmu syar’i, yang dengan ilmunya tersebut, ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar. Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar.[28] Pertama, al ‘Ilmu. Yaitu mengetahui al haq (kebenaran). Kedua, dakwah menuju al haq (mengajak manusia kepada kebenaran). Ketiga, teguh dan istiqamah di atas kebenaran.[29]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. [al Fath/48:28].

Yang dimaksud dengan الْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’alamengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[30]

B. Ahlus-Sunnah Berdakwah (Mengajak Manusia) ke Jalan Allah Dengan Hikmah[31]
Firman Allah al Hakiim:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [an-Nahl/16: 125]

Ayat yang mulia di atas merupakan asas yang mengajarkan jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengajarkan kepada para da'i, jalan dalam berdakwah. Karena sesungguhnya, Allah telah mensyari’atkan kepada para hamba-Nya melalui Kitab-Nya yang Dia turunkan, dan dengan penjelasan Rasul-Nya n dalam perkara-perkara yang dapat memberikan penerangan untuk akal mereka, kesucian jiwa dan kelurusan perbuatan mereka.

Allah telah menamakan (syari’at itu) dengan sabil (jalan), supaya mereka tetap konsisten dalam seluruh fase perjalanan dalam menempuh kehidupan ini; sehingga dapat mengantarkan kepada puncak yang dituju, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Dan Dia merangkaikan sabil (jalan) itu dengan Diri-Nya, sehingga disebut sabilillaah (di jalan Allah), supaya para hamba mengetahui, Dia-lah yang telah membuatnya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mengantarkan menuju ridha-Nya selain jalan Allah.

Ayat di atas, pada asalnya merupakan firman Allah Subhanahu wa Ta’alayang ditujukan kepada Nabi pilihan-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Nabi-Nya n untuk berdakwah menuju jalan Rabb-nya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al Amiin (yang dapat dipercaya) dan al Ma’shum (yang terjaga dari dosa), sehingga, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di antara jalan Rabb-nya, kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendakwahkannya. Dengan demikian kita mengetahui, apa saja yang tidak diserukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan termasuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita pun mendapatkan petunjuk tentang perbedaan antara al haq dengan al bathil, petunjuk dengan kesesatan, serta antara da’i-da’i Allah dengan da’i-da’i setan.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia termasuk da’i-da’i Allah, yang menyeru kepada al haq dan hidayah.[32] Dan barangsiapa yang menyeru kepada apa yang tidak diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia termasuk da’i-da’i setan, yang menyeru kepada kebathilan dan kesesatan. Sehingga, seorang muslim yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkan setiap yang ia ketahui dari jalan Rabb-nya. Dan jika setiap individu dari kalangan kaum Muslimin menjalankan dakwah ini sesuai dengan kemampuannya, maka akan teranglah jalan Allah bagi orang-orang yang menempuhnya, ilmu akan tersebar di kalangan kaum Muslimin. Adapun jalan-jalan kebathilan, akan sepi dari da’i-da’i setan.[33]

Kewajiban terbesar yang wajib ditempuh oleh para da’i, ustadz dan ulama, yaitu meniti manhaj para nabi dalam berdakwah menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berdasarkan tinjauan dari sudut agama dan akal, maka seorang da’i tidak boleh menyimpang dari manhaj dakwah anbiyaa’, lalu memilih manhaj dakwah yang lain, karena:

1. Manhaj anbiyaa’ (para nabi) adalah jalan paling lurus yang ditetapkan Allah kepada seluruh nabi, dari yang pertama sampai terakhir.

2. Sesungguhnya para nabi benar-benar telah berpegang teguh dan mempraktekkan manhaj tersebut. Hal itu jelas menunjukkan kepada kita, bahwa masalah manhaj bukan termasuk masalah ijtihad (bukan berasal dari pemikiran).

3. Allah telah mewajibkan kepada Rasul-Nya yang mulia n untuk meneladani dan menempuh manhaj para nabi tersebut, dan kita wajib mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena kesempurnaan konsep dakwah para nabi tergambar dalam dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallam , maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti manhaj Nabi Ibrahim Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Ta’alajuga memerintahkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihissallam yang hanif.[34]

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisaa`/4: 59].
Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid. Adapun dakwah mereka, dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka dakwahkan.

5. Allah telah menciptakan alam ini, menyusunnya dengan sangat rapi, dan menjadikan ketetapan-ketetapan bagi alam ini. Seandainya ketetapan-ketetapan alam itu berbeda-beda, niscaya rusaklah alam ini. Begitu juga dalam hal syari’at, ia tidaklah tegak kecuali di atas ‘aqidah yang haq. Jika syari’at telah lepas dari ‘aqidah, maka rusaklah syari’at tersebut, sehingga tidak lagi sebagai syari’at yang benar.

Jelaslah, bahwa hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bagaikan pondasi sebuah bangunan dan bagaikan ruh bagi badan. Jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Untuk menambah kepahaman kita terhadap Sunnatullah yang disyari’atkan-Nya, berikut kami bawakan tiga contoh. Bahwa pengaturan dan ketertiban dalam syari'at-Nya merupakan perkara yang dijadikan tujuan, sehingga wajib diikuti dan tidak boleh menyimpang dari hal-hal berikut:

1. Shalat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan shalat kepada kita dengan perbuatan yang nyata. Andaikan ada sekelompok orang yang mengubah tata-cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka apakah shalatnya itu benar dan bersesuaian dengan syari'at Islam?

2. Haji.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan haji dan mengajarkan manusia tentang manasik haji. Maka jika ada jama’ah yang menghendaki adanya perubahan terkait dengan manasik haji, maka apakah hajinya tersebut dibenarkan oleh Islam atau justru merusak ibadah haji?

3. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini yang terpenting).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan demikian pula seluruh rasul. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]. [35]

Di antara contohnya, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ لِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata). (Juga lafazh lainnya: Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka, lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik, dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.[36]

Kita faham, mengikuti ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’alayang berkaitan dengan syari’at dan aturannya yang detail dalam peribadatan serta perinciannya adalah wajib, tetapi kenapa kita tidak memahami ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’aladan aturan-Nya yang detail dalam masalah dakwah? Padahal para nabi, semuanya meniti jalan yang satu. Kita tidak boleh berpaling dari manhaj dakwah yang dicontohkan oleh para nabi, dan tidak boleh menyelisihinya. Sebab, apabila menyalahi menhaj dakwah para nabi, akan berakibat sangat fatal. Para da’i wajib menggunakan kembali akal mereka dan mengubah sikap mereka.

Kemudian apakah ummat Islam (khususnya para da’i) mengambil manfaat dari manhaj yang agung ini dalam memberikan perhatian tentang masalah-masalah tauhid dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwah mereka? Jawabannya, sesungguhnya sebagian besar da’i dan ustadz telah menyimpang jauh dari manhaj para nabi dalam berdakwah, sehingga umat Islam mengalami kondisi yang menyedihkan dan pahit, akibat kekeliruan dari dakwah yang mereka lakukan.

Sesungguhnya banyak di antara ummat Islam (termasuk da’i, kyai dan pemikirnya, Pen.) jahil terhadap manhaj ini, dan sebagian lagi pura-pura bodoh. Mereka dihalang-halangi oleh setan dari manhaj yang haq ini, kemudian mereka membuat manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj dakwah para nabi. Hal ini menjerumuskan mereka dan menyebabkan mereka tertimpa bencana di dalam agama dan dunianya.[37]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sebagian Di Antara Prinsip Dakwah Ahlus-Sunnah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


1. AHLUS SUNNAH MENGAJAK MANUSIA MENTAUHIDKAN ALLAH DAN MENJAUHI PERBUATAN SYIRIK.
Para da’i harus memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid, karena itu merupakan dakwah yang paling utama dan paling mulia. Dakwah tauhid, berarti mengajak kepada derajat keimanan yang paling tinggi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ.

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah perkataan "Laa ilaaha illallaah", dan yang paling rendah ialah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan; dan malu adalah salah satu cabang iman.[1]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, bahwasanya cabang-cabang keimanan lainnya tidak akan sah dan tidak diterima, kecuali setelah sahnya cabang yang paling utama ini (tauhid)".

Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, maka semua gerakan dakwah yang berdiri tegak di atas dakwaan dan simbol ishlah (perbaikan), namun tidak memfokuskan perhatian dan tidak bertolak dari upaya perbaikan tauhid, tentunya akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan seiring dengan jauhnya dari pokok yang sangat penting ini. Sebagaimana perbuatan orang-orang itu telah menghabiskan usia mereka dalam memperbaiki mu’amalah antara manusia, namun mu’amalah mereka terhadap al Khaliq (Allah) atau ‘aqidah mereka terhadap-Nya menyimpang jauh dari petunjuk Salafush-Shalih. Sama halnya dengan mereka yang telah menghabiskan umurnya dalam upaya menempati dan menduduki sistem pemerintahan, dengan harapan akan mampu mengadakan perbaikan pada manusia melalui jalur tersebut, atau dengan mengerjakan berbagai kegiatan politik untuk mengejar dan meraih kekuasaan, namun demikian, mereka tidak menaruh perhatian untuk memperbaiki kerusakan ‘aqidah mereka dan kerusakan ‘aqidah orang-orang yang menjadi objek dakwah mereka.

Peran ‘aqidah dalam kehidupan amat penting, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menekankan kepada para da’i, agar senantiasa mencurahkan perhatian kepada 'aqidah dan mengawali dakwahnya dengan 'aqidah seperti yang tercantum dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu.

Ada sebagian orang merasa heran dan aneh dengan diprioritaskannya dakwah kepada tauhid. Keherana tersebut kami jawab: “Bukankah hak Allah berupa pengesaan di dalam beribadah merupakan sesuatu yang paling berhak mendapatkan perhatian dan paling berhak untuk sering diucapkan oleh lisan manusia? Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang murni, maka bagaimana mungkin dianggap sebagai masalah kecil dan remeh oleh para pelopor gerakan-gerakan dan manhaj-manhaj dakwah pada zaman ini? Bukankah tauhid inilah yang paling utama untuk dibukakan baginya pintu-pintu dan dilapangkan baginya tempat-tempat dan kesempatan?”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan: “Tauhid adalah kunci pembuka dakwah para rasul,” kemudian beliau rahimahullah menyebutkan tentang hadits Mu’adz yang telah disebut sebelumnya.[2]

Walaupun kondisi dan problematika ummat berbeda-beda, namun yang tetap menjadi prioritas dalam dakwah ialah mengajak kepada tauhid. Sama saja halnya, apakah problem mereka di bidang perekonomian sebagaimana yang dihadapi oleh kaum Madyan, ataupun problem demoralisasi (kebobrokan moral) seperti yang terjadi pada kaum Nabi Luth Alaihissallam. Penulis tidak perlu menyebutkan: “Atau problem yang dihadapi mereka adalah krisis politik,” karena semua ummat dan bangsa yang tersebut pada ayat-ayat di atas, belum diberlakukan pada mereka hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Cahaya dakwah tauhid yang diberkahi ini, sekali-kali tidak boleh padam sesaat pun, hanya dengan dalih demi kestabilan dan kemantapan tauhid pada hati manusia.

Meskipun kesadaran dan sambutan ummat terhadap tauhid telah mencapai kesempurnaan, namun demikian, pasti terdapat kekurangan pada diri manusia. Kekurangan yang paling jelek ialah kekurangan dalam keikhlasan dan lenyapnya keyakinan tauhid. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggal diam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyebut kejelekan perbuatan syirik, hingga pada hari-hari terakhir kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia ini. Padahal kondisi ummat pada saat itu telah mencapai puncak kekuatannya dalam bertauhid kepada Rabb-nya, dan mereka berada pada satu barisan.[3]

2. AHLUS-SUNNAH MENGAJAK UMMAT ISLAM UNTUK BERPEGANG TEGUH KEPADA SUNNAH-SUNNAH NABI, MENGAMALKAN DAN MENGHIDUPKANNYA, SERTA MELARANG DARI PERBUATAN BID’AH, KARENA SETIAP BID’AH ADALAH SESAT, DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA.
Al 'Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu berkata:

صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

"Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberi kami nasihat dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar. Maka seseorang berkata: 'Wahai Rasulullah. Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat,' maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku, (ia) akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang-teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat'.”[4]

3. AHLUS-SUNNAH MENYURUH KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH YANG MUNKAR MENURUT KETENTUAN SYARI’AT
Definisi ma’ruf, menurut penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ialah suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah dari perkara iman dan amal shalih. Adapun munkar yaitu, suatu nama yang mencakup bagi setiap apa-apa yang tidak disukai Allah dan yang dilarang-Nya.[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. [Ali ‘Imran/3:110]

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imran/3:104]. [6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ.

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka lakukanlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.[7]

Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah,[8] dan pelakunya harus memenuhi ketentuan berikut ini:

• Berilmu.
Firman-Nya:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Ini jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf/12:108]

• Lemah-lembut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ.

Sesungguhnya adanya kelemah-lembutan pada sesuatu, pasti akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (kelemah-lembutan), melainkan akan mencemarkan sesuatu itu.[9]

Dakwah Salaf terkenal dengan dakwah yang lemah-lembut, bukan keras dan kasar. Mereka adalah orang yang mengetahui tentang kebenaran dan sayang kepada makhluk. Mereka tegas dan berani dalam menyampaikan kebenaran. Terkadang, karena sikap tegas dalam kebenaran inilah yang menyebabkan dakwah Salaf dituduh sebagai dakwah yang keras, kaku, kasar, dan lainnya. Padahal, dengan ketegasan dalam kebenaran, banyak ummat yang menjadi faham tentang Islam, mendapat hidayah dari Allah. Dasar dakwah ini adalah lemah-lembut dan kasih-sayang sesama kaum Mukminin dan keras kepada orang-orang kafir.

• Sabar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. [Luqman/31:17].

وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

Sabarlah kamu dari apa-apa yang mereka katakan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. [al Muzammil/73:10].

• Ada kemampuan dan kekuasaan[10]
• Harus ikhlas semata-mata karena Allah.

Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah amal yang wajib, paling utama, dan paling baik.[11]

4. AHLUS-SUNNAH MENGAJAK KEPADA PERSATUAN KAUM MUSLIMIN
Seringkali orang-orang yang tidak senang kepada persatuan ini mengatakan, dakwah Salaf membuat ummat terpecah-belah, saling bermusuhan, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan mereka tidak benar, tetapi justru merekalah yang membuat perpecahan. Karena dakwah Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang berpecah-belah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” [Ali ‘Imran/3:103].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali ‘Imran/3:105].

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [ar-Ruum/30:31-32].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.

Berjama’ah adalah rahmat, sedangkan berpecah-belah adalah adzab.[12]

Demikianlah, bahwasanya Ahlus-Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah-belah persatuan kaum Muslimin. Akan tetapi, Ahlus-Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan al Qur`an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush-Shalih, bukan persatuan yang semu dan sesat. Adapun persatuan yang dikehendaki tersebut, yaitu persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka, bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.

Lafazh hizb, ditinjau dari aspek bahasa, memiliki beberapa makna. Al Fairuz Abadi dalam Bashaa-iru Dzawit-Tamyiizi (II/457) mengatakan, al hizb adalah kelompok (golongan). Al ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu memerangi para nabi. Dan menurut al Qur`an, lafazh al hizb ini memiliki beberapa sudut pandang:

• Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (ar-Ruum/30:32).
• Bermakna tentara setan. (Mujaadilah/58:19).
• Bermakna tentara Allah. (Mujaadilah/58:22).
• Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (al Maa-idah/5:56).
• Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung.

Syaikh Shafiyur-Rahman al Mubarakfuriy berkata,"Al hizb, secara bahasa adalah, golongan (kumpulan) dari manusia; berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan 'aqidah dan iman, atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air, atau (ikatan) nasab (keturunan), pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.”

Bagi orang yang berakal, merupakan sesuatu yang sangat jelas, bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern dan teori-teori yang menjadi patokan, sebagai undang-undang bagi kelompok hizb tersebut, meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang. Kedudukan undang-undang tersebut sebagai asas yang menjadi dasar berpijaknya sistem pengorganisasian hizb, dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut.

Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh, maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut. Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju (menolak), maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-undang itu asasnya wala’ (kesetiaan/loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb. Yaitu hizb Allah dan hizb setan, yang menang dan yang kalah, yang muslim dan yang kafir.

Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain, maka berarti dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah-belah kalimat Allah. Sehingga seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit dan terkutuk, karena telah melemahkan hizb Allah; dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok, (golongan, jama’ah) supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah.[13]

Ahlus-Sunnah Mengajak Kaum Muslimin Kepada Persatuan di Atas Sunnah
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , kebaikan dan kekuatan. Sebaliknya, jika mereka berselisih, maka yang akan terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [al Anfaal/8:46].

Namun wajib diketahui, bahwa persatuan tersebut haruslah dibangun berdasarkan ittiba’ (ketaatan) kepada as-Sunnah, bukan dengan bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka, meskipun golongan yang dicelanya tersebut berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan, yaitu kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirathal-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush-Shalih.[14]

Ahlus-Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah, merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian). Bai’at itu hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif), atau kepada seorang muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.

Ahlus-Sunnah berpendapat tentang hadits:

...مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

(... Barangsiapa mati, sedangkan ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah).[15]

Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.[16] Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas, beliau (Imam Ahmad) menjawab: “Yang dimaksud dengan Imam adalah, yang kaum Muslimin –seluruhnya- berkumpul untuk membai’atnya. Itulah Imam, dan demikianlah makna hadits ini.” Sehingga, tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[17]

Al Katsiri di dalam kitabnya, Fa-idhul Baari berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan, bahwa bai’at yang dianggap sah adalah, bai’at yang dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan (sebagai) Imam sampai (ia) dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi”.[18]

Jadi, tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah, itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada Imam, yang padanya telah berkumpul seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) -yang ada sekarang ini- adalah bai’at bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

"... Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin,” kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu".[19]

5. AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH MENGAJAK MANUSIA KEPADA AKHLAK YANG MULIA DAN AMAL-AMAL YANG BAIK,[20] SERTA MELARANG BERAKHLAK BURUK[21]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan memperbaiki akhlak manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[22]
Sesungguhnya, antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat hubungan yang sangat kuat. Karena akhlak yang baik sebagai bukti dari keimanan, sedangkan akhlak yang buruk sebagai bukti lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seorang muslim, berarti semakin kuat imannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.

Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka. Dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.[23]

Akhlak yang baik merupakan bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan akhlak yang baik menjadi salah satu penyebab seseorang dapat masuk ke dalam Surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ.

Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat, melainkan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya, Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji dan kotor.[24]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقاً...

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya denganku pada hari Kiamat, ialah yang paling baik akhlaknya...[25]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk surga, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ، وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: اَلْفَمُ وَالْفَرْجُ.

"Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk neraka, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Lidah dan kemaluan”. [26]

Ahlus-Sunnah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, menganjurkan bersilaturrahim, serta berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil.[27] Mereka (Ahlus Sunnah) melarang dari berbuat sombong, angkuh, dan zhalim.[28] Mereka memerintahkan untuk berakhlak mulia dan melarang dari akhlak yang hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ وَمَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ وَيُبْغِضُ سِفْسَافَهَا.

Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia, serta membenci akhlak yang rendah (hina).[29]

Sungguh akhlak mulia itu meninggikan derajat seseorang di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ.

Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam.[30]

Akhlak yang mulia dapat menambah umur dan menjadikan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

...وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ وَيَزِيْدَانِ فِي اْلأَعْمَارِ.

... Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur.[31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar mempunyai akhlak yang agung. [al Qalam/68:4].

Hal ini sesuai dengan penuturan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقاً.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya.[32]

Begitu pula para sahabat Radhiyallahu anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara akhlak Salafush-Shalih, yaitu:

• Ikhlas dalam ilmu dan amal serta takut berbuat riya’.
• Jujur dalam segala hal dan menjauhkan dari sifat dusta.
• Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.
• Menjunjung tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Berusaha meninggalkan segala bentuk kemunafikan.
• Lembut hatinya, banyak mengingat mati dan akhirat, serta takut terhadap akhir kehidupan yang jelek (su’ul khatimah).
• Banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan tidak berbicara yang sia-sia.
• Tawaadhu’ (rendah hati) dan tidak sombong.
• Banyak bertaubat, beristighfar (mohon ampun) kepada Allah, baik siang maupun malam.
• Bersungguh-sungguh dalam bertakwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang yang bertakwa, serta senantiasa takut kepada Allah.
• Sibuk dengan aib diri sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain, serta selalu menutupi aib orang lain.
• Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak menggunjing sesama Muslim).
• Pemalu.[33]

Malu adalah akhlak Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ.

Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.[34]
Begitu juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ.

Malu itu tidak mendatangkan sesuatu, melainkan kebaikan semata.[35]

• Banyak memaafkan dan sabar kepada orang yang menyakitinya.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf: 199]

• Banyak bershadaqah, dermawan, menolong orang-orang yang susah, tidak bakhil/tidak pelit.
• Mendamaikan orang yang mempunyai sengketa.
• Tidak hasad (dengki, iri), tidak berburuk sangka sesama Mukmin.
• Berani dalam mengatakan kebenaran dan menyukainya.[36]

Demikianlah di antara akhlak Salafush-Shalih. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai akhlak yang tinggi dan mulia serta dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikuti jejak mereka, sudah seharusnya juga mempunyai akhlak mulia, karena akhlak sangat erat hubungannya dengan ‘aqidah dan manhaj.

Semoga kita selalu diberi taufiq oleh Allah Azza wa Jalla dan diberi kekuatan untuk dapat meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum. Dan bagi seseorang, tidak dibolehkan mengatakan “Salaf itu tidak berakhlak,” karena kalimat ini merupakan celaan terhadap generasi yang terbaik dari ummat ini. Adapun kesalahan individu dalam masalah akhlak, maka sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


PETUNJUK TERBAIK HANYA ADA DI AL-QUR'AN

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa



إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

"Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….[al-Isrâ`/17:9]

Dalam ayat mulia ini, Allah Jalla wa 'Ala menyampaikan pujian terhadap kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`ân, sebagai kitab samawi paling agung dan paling luas cakupannya menyangkut semua jenis ilmu, kitab paling terakhir, bersumber dari Rabbul-'Alamîn. Dengan dalil-dalil, hujjah-hujjah, aturan-aturan, dan nasihat-nasihat yang dikandungannya, Al-Qur`ân ini menjadi faktor banyaknya manusia yang memperoleh hidayah, dan ia mengantarkan kepada jalan yang lebih lurus dan lebih terang. Maksudnya, petunjuk Al-Qur`ân lebih lurus, adil, dan paling benar dalam persoalan aqidah (keyakinan), amalan-amalan dan akhlak [1].

Ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat yang menyanjung keutamaan Al-Qur`ân, ketinggian derajatnya dan kemuliaannya di atas kitab-kitab sebelumnya. Di antara ayat-ayat pujian itu ialah sebagai berikut.

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَىٰ عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`ân) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". [al-A'râf/7:52].

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl/16:89]

Dalam dua ayat di atas, secara global Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kandungan Al-Qur`ân, sebagai hidayah menuju jalan terbaik, yang paling adil dan benar. Seandainya kita berkeinginan menggali perincian hidayahnya secara sempurna, niscaya kita akan mengarungi seluruh kandungan Al-Qur`ân [2]. Seseorang yang memperoleh hidayah Al-Qur`ân, niscaya ia menjadi insan yang sempurna, paling lurus dan paling dipenuhi dengan petunjuk.[3]

Pemaparan berikut merupakan bukti kongkret mengenai petunjuk Al-Qur`ân yang mengalahkan seluruh hasil cipta dan pemikiran manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya. Juga ketetapan-ketetapan Al-Qur`ân yang diingkari oleh kaum Mulhidûn, terutama yang mengundang timbulnya "reaksi negatif", baik dari kalangan kaum muslimin sendiri yang lemah imannya, dan terlebih lagi kaum kuffar. Dengan itu, kaum kuffâr berupaya mencoreng citra Islam, baik secara langsung maupun menggunakan tangan-tangan kaum muslimin yang lemah iman. Pencitraan buruk tentang Islam ini, tidak lain karena kedangkalan pandangan mereka terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sarat dengan hikmah.

Berikut ini beberapa contoh petunjuk Al-Qur`ân yang lebih baik daripada lainnya.[4]

1. Penetapan Hukum Rajam Bagi Pezina Yang Telah Menikah, Baik Laki-Laki Maupun Wanita Dan Penjatuhan Hukum Pukul Bagi Yang Masih Lajang Disertai Dengan Pengucilan Selama Satu Tahun.

Orang-orang mulhid menilai hukum rajam sadis dan ganas, tidak mengandung hikmah dan tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karenanya, tidak perlu diaplikasikan dalam peraturan yang mengikat manusia. Pandangan seperti ini, tidak lain muncul karena dangkalnya pengetahuan mereka untuk mengambil hikmah yang terkandung dalam hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sebagai sanggahan, bahwasanya ketetapan tersebut berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk-Nya. Dan sebetulnya, hikmah dari hukum rajam ini sangat mudah untuk dipahami. Yakni, ketika seseorang itu berzina, berarti ia melakukan pengkhianatan yang sangat nyata. Dengan perzinaan ini, ia telah melakukan perbuatan paling buruk yang dikenal oleh umat manusia. Secara fitrah, keburukan dalam perbuatan zina itu telah diakui oleh semua manusia yang masih lurus. Karena perzinaan itu telah menciderai kehormatan, mengotori kesucian keluarga dan merusak garis keturunan di masyarakat.

Adapun wanita yang senang melakukan zina dengan lelaki manapun, maka ia sama saja. Orang-orang seperti ini begitu kotor dan tidak pantas memperoleh hak hidup lagi. Keberadaannya menjadi duri bagi masyarakat. Oleh karenanya, al-Khâliq, Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukumnya dengan hukum bunuh, supaya perbuatan buruk para pezina ini dapat dimatikan, dan menutup keinginan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Hikmah lainnya dari hukum rajam ini, ialah bermanfaat bagi para pelaku zina untuk membersihkannya dari perbuatan kotor yang pernah ia tempuh. Hukum bunuh dengan rajam atasnya sangat mengerikan, karena kejahatan yang dilakukan juga merupakan kejahatan yang tak terperikan, sehingga hukuman yang diterimanya pun harus setimpat. Sebagaimana hukuman zina bagi orang yang sudah pernah menikah, hukumannya sangat keras; karena untuk memenuhi kebutuhan "biologisnya", sebenarnya ia bisa menikmatinya dengan istrinya. Akan tetapi justru sebaliknya, ia menyalurkannya di jalan yang salah dan berbahaya.

Ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa bersendikan pada prinsip menyingkirkan bahaya dan mendatangkan kemaslahatan bagi umat mausia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, tindak pengkhianatan yang sangat berat pantas dibalas dengan hukuman yang berat pula.

2. Hukum Qishash.
Ketetapan hukum ini sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman masyarakat dari perbuatan saling bunuh. Seseorang yang sedang dilanda emosi atau dendam, dan muncul keingina dalam hatinya untuk membunuh orang lain, misalnya, maka ia akan teringat dengan hukum qishash. Sejurus kemudian ia akan berpikir panjang jika ingin melakukan pembunuhan. Dia akan mengurungkan niatnya, sehingga ia juga selamat dari hukum bunuh, setelah orang yang ia incar juga selamat dari tangannya.

Dengan hukum qishash ini, tingkat kejahatan pembunuhan juga dapat dihambat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai ulil albâb (orang-orang yang berakal), supaya kamu bertakwa" [al-Baqarah/2:179].

Tidak perlu diragukan lagi, inilah aturan terbaik dan paling adil. Fakta membuktikan kecilnya angka pembunuhan di negeri-negeri yang menjalankan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena hukum qishash menjadi kendali kuat bagi masyarakat yang ingin berbuat kriminal dan pembunuhan.

Berbeda dengan pandangan musuh-musuh Islam, mereka mengopinikan bahwasanya qishash berlawanan dengan semangat hikmah. Karena begitu mudah mengurangi jumlah anggota masyarakat dengan vonis mati bagi pelaku pembunuhan setelah kematian korban. Atau dengan dalih orang tersebut harus dihormati hak hidupnya. Karena itu sangat asasi. Sehingga pantasnya, para pelaku pembunuhan itu dihukum penjara saja.

Pendapat musuh-musuh Islam ini tentu tidak bernilai sama sekali, dan jauh dari hikmah. Karena hukuman penjara tidak mampu mencegah praktek pembunuhan. Jika hukuman tidak benar-benar membuat jera, maka akan meningkatkan keinginan melakukan pembunuhan berikutnya dari orang-orang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Orang-orang yang melontarkan komentar di atas, pada hakikatnya merasa "mengetahui" kemaslahatan manusia dan mencoba melakukan penentangan terhadap hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka hanya memandang hak hidup bagi si pembunuh, tetapi tidak peduli dengan nyawa korban yang melayang sia-sia, tanpa alasan yang sah. Pendapat itu, hakikatnya juga tidak menunjukkan sikap simpati kepada keluarga korban. Bahkan tidak memikirkan kemaslahatan umat manusia secara umum yang nyawanya terancam setiap saat, karena merasa tidak aman. Orang-orang yang berpaling dari hukum Allah ini dan merujuk kepada hukum produk manusia ini, tidak menyadari dampak buruk dari ketetapan tersebut. Karena memang mereka bukan "ulil albaab" yang mampu berpikir jernih dan melakukan pengamatan yang matang.[6]

3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.
Termasuk petunjuk Al-Qur`ân yang lurus, yaitu hukum potong tangan bagi pencuri barang yang mencapai batas tertentu. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Mâidah/5:38].

Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam menegaskan untuk keluarganya: "Kalau Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya".

Jumhur ulama menyatakan, hukum potong tangan itu dilakukan dari persendian telapak tangan kanan, bukan sampai persendian siku. Jika melakukan pencurian untuk kedua kali, maka bagian kaki kiri yang dilenyapkan. Bila kembali mengulangi perbuatannya, tangan kirilah yang dipotong. Seandainya masih tetap melakukan pencurian lagi, maka kaki kirinya juga harus hilang.

Tangan pencuri pantas untuk dihilangkan, karena tangan tersebut keji dan telah berbuat khianat. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya supaya digunakan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan mengambil peran dalam membangun masyarakatnya. Namun ia menggunakan tangannya untuk khianat dengan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kekuatan tangan dipergunakan untuk berbuat khianat. Mengambil harta milik orang dengan cara seperti ini merupakan perbuatan yang sangat buruk. Tangan yang kotor, berupaya menggoncangkan ketentraman masyarakat. Sebab, harta memiliki peran penting terjaganya stabilitas sosial. Maka al-Khaliq, yang menciptakan tangan tersebut, menghukumnya dengan memotong dan melenyapkannya. Layaknya, anggota tubuh yang telah rusak lagi membusuk yang akan menularkan penyakit pada sekujur tubuh bila tidak diamputasi, sehingga tangan itu harus dilenyapkan untuk mempertahankan tubuh itu dan membebaskannya dari ancaman penyakit.

Hukum potong tangan juga berguna untuk membersihkan pelaku pencurian dari dosa pencurian yang ia lakukan, sekaligus berfungsi sebagai pengendali yang tegas di tengah masyarakat.

4. Islam Dan Kemajuan Teknologi.
Bagi yang mencermati kandungan syariah Islam, ia akan mengetahui secara pasti bahwa kemajuan tidak bertentangan dengan komitmen (istiqomah) menetapi nilai-nilai agama. Sebaliknya, musuh-musuh Islam menghembuskan opini pada hati kaum muslimin yang lemah iman dan lemah akal, bahwa kemajuan negara (Islam) tidak mungkin diraih kecuali dengan melepaskan diri dari ikatan agama. Pernyataan demikian ini batil, sama sekali sangat tidak beralasan, karena justru Al-Qur`aan menyeru kemajuan pada seluruh aspek kehidupan, yang mempunyai nilai penting bagi dunia dan agama. Akan tetapi, modernisasi yang diserukan harus tetap berada dalam bingkai agama, ditempuh dengan etika-etika luhur dan petunjuk Ilahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi …" [al-Anfâl/8:60].

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ ۖ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Dawud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud," dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan". [Saba`/34:10-11].

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : {(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya}, menunjukkan persiapan dalam menghadapi musuh. Sedangkan firman-Nya: {dan kerjakanlah amalan yang shalih}, berisi petunjuk bahwa persiapan untuk menghadapi musuh dikerjakan dalam bingkai agama yang haniif. Dan Nabi Dawud Alaihissalam termasuk nabi yang termaktub dalam surat al-An'aam:

وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَىٰ وَهَارُونَ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

"… dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik". [al An'âm/6:84].

Usai menyebut beberapa nabi (termasuk Nabi Dawud Alaihissalam), Allah Subhanahu wa Ta'ala mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …." [al-An'âm/6:90].

Ini menjadi petunjuk, bahwa kita juga menjadi bagian dari perintah yang ditujukan kepada Nabi Dawud Alaihissalam tersebut. Dalam melawan musuh, kita wajib menyusun persiapan disertai dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan ajaran agama. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Anfâl/8 ayat 60, ini merupakan perintah yang pasti untuk mempersiapkan segala kemampuan, andai pun kekuatan telah mengalami kemajuan pesat. Ini merupakan perintah yang tegas untuk mengondisikan diri dengan kemajuan dalam perkara-perkara duniawi, tidak jumud, dan selalu melakukan inovasi. Akan tetapi, meskipun demikian pemanfaatan hasil kemajuan itu harus diiringi dengan komitmen tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai agama Islam.

Orang-orang kafir meniupkan syubhat, antara kemajuan dengan komitmen beragama, budi luhur dan akhlak mulia sangat jauh berseberangan. Kata mereka, perbedaan ini ibarat dua obyek yang saling berlawanan. Seperti perbedaan antara ada dan tiada, antara putih dan hitam, antara gerakan dan diam. Jadi, antara kemajuan negara dan komitmen beragama tidak bisa berjalan bersama dan mustahil.

Yang benar, kemajuan merupakan konsekuensi logis dari sikap komitmen yang shahîh kepada agama. Maka hendaklah diwaspadai, lontaran kaum kuffâr yang keliru tersebut memiliki tujuan terselubung, yaitu supaya mudah memperdaya kaum muslimin yang lemah iman. Pada gilirannya nanti untuk memudahkan jalan mereka menguasai kaum muslimin.

Seandainya seluruh kaum muslimin mengenal dan mengikuti ajaran agama dengan baik, niscaya akan bersikap tegas kepada kaum kuffaar sebagaimana generasi Salaf bersikap pada nenek moyang kaum kuffaar. Sebab, ajaran agama tidak berubah. Akan tetapi, orang-orang yang telah terpedaya oleh propaganda Barat, merasa aneh dengan ajaran Islam. Dan ini membuat pandangan mereka kepada Islam buruk. Maka, Allah menjadikan mereka sebagai budak orang-orang kafir yang jahat. Seandainya mereka mau kembali memegangi agama Islam, niscaya kemuliaan, hegemoni, dan kekuasaan akan kembali berada di genggaman kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin pun akan berperan sebagai pemimpin dunia. Allah berfirman :

ذَٰلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ

"Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain".[Muhammad/47:4].

Ya Allah, sesungguhnya Kami memohon kepada-Mu iman yang tidak lepas, nikmat yang tidak habis, dan menyertai Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di surga yang paling tinggi selama-lamanya.[7]



TINGGALKAN PEKERJAAN BATIL

Oleh
Syaikh Shalah al-Budair



Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah. Dia-lah yang telah memberikan ampunan kepada setiap pelaku dosa. Dan Allah pula yang telah melipat-gandakan pahala bagi para pelaku kebajikan. Dia melimpahkan berbagai kebaikan dan kenikmatan kepada segenap makhlukNya.

Ketahuilah, pemberian terbaik yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba adalah keimanan dan ketakwaan. Kekayaan dan kecukupan hidup, hendaknya tidak menjadi kendala seseorang untuk bertakwa. Dia juga harus yakin, bahwa iman dan takwa merupakan nikmat dan karunia Allah semata. Oleh karena itu, pemberian yang sedikit, jika disyukuri dan dirasa cukup, itu lebih baik daripada banyak tetapi masih menganggapnya selalu kekurangan. Sehingga tidaklah berfaidah limpahan nikmat dan banyaknya harta bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah.

Ingatlah, kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa. Yaitu jiwa yang selalu qana'ah dan menerima dengan lapang dada setiap pemberian Allah kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang telah berserah diri, diberi kecukupan rizki dan diberi sifat qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya. [HR Muslim]

Dengan sifat qana'ah ini, seorang muslim harus bisa menjaga dalam mencari rizki atau mata pencaharian. Ketika bermu'amalah dalam mencari penghidupan, jangan sampai melakukan tindak kezhaliman dengan memakan harta orang lain dengan cara haram. Inilah kaidah mendasar yang harus kita jadikan barometer dalam bermu'amalah. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…. [an Nisaa/4 : 29].

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [al Baqarah/2 : 188]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan :

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ

Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darahnya, harga dirinya, dan hartanya. [HR Muslim].

Lihatlah contoh pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika menjual seorang budak kepada al 'Adda`, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menuliskan : "Ini adalah yang telah dibeli al 'Adda` bin Khalid bin Haudhah dari Muhammad Rasulullah. Dia telah membeli seorang budak tanpa cacat yang tersembunyi. Tidak ada tipu daya maupun rekayasa," kemudian beliau n melanjutkan : "Inilah jual beli muslim dengan muslim yang lainnya".

Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh etika jual beli sesama muslim, dengan mengadakan akad secara tertulis, dan tidak ada unsur dusta.

Namun para pemburu dunia yang tamak, telah menempuh jalan menyimpang dalam mencari harta. Mereka lakukan dengan cara batil, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang yang lemah. Bahkan ada yang berkedok sebagai penolong kaum miskin, tetapi ternyata melakukan pemerasan, memakan harta orang-orang yang terhimpit kesusahan, seolah tak memiliki rasa iba dan belas kasih. Berbagai kedok ini, mereka namakan dengan pinjaman lunak, gadai, lelang, atau yang lainnya. Kenyataannya, bantuan dan pinjaman tersebut tidak meringankan beban, apalagi mengentaskan penderitaan, tetapi justru lebih menjerumuskan ke dalam jurang penderitaan, kesusahan dan kemiskinan. Benarlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang kepada manusia suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi peduli dari mana dia mendapatkan harta, dari jalan halal ataukah (yang) haram. [HR Bukhari]

Kita menyaksikan pada masa ini, betapa menjamurnya usaha-usaha yang diharamkan agama, seperti bandar perjudian, praktek perdukunan, para wanita tuna susila, hasil perdagangan dari barang-barang yang diharamkan semisal khamr, rokok dan narkoba, hasil pencurian dan perampokan, tidak jujur dalam perdagangan dengan penipuan dan mengurangi timbangan, memakan riba, memakan harta anak yatim, korupsi, kolusi. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita :

فَوَالهِm مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

Demi Allah, bukanlah kefaqiran yang aku takutkan menimpa kalian. Akan tetapi, yang aku takutkan adalah terbukanya dunia bagi kalian, sebagaimana telah terbuka bagi umat-umat sebelum kalian. Sehingga kalian akan berlomba-lomba, sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Demikian itu akan menghancurkan kalian, sebagaimana juga telah menghancurkan umat sebelum kalian. [Muttafaqun 'alaih].

Ketahuilah, seseorang yang memakan harta haram, hidupnya tidak akan tenang dan bahagia. Doa yang dia panjatkan akan tertolak. Rasulullah telah menyebutkan sebuah kisah. Yaitu seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sampai keadaannya menjadi kusut dan berdebu, kemudian dia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa "ya Rabbi, ya Rabbi," akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dikenyangkan dari yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan?! [HR Muslim]

Oleh karena itu, ingatlah terhadap hisab, pembalasan dan siksa di akhirat. Para pelaku kezhaliman akan mengalami kebangkrutan di akhirat. Meskipun ia membawa pahala begitu banyak yang dikumpulkan ketika di dunia, namun pahala-pahala yang telah berhasil ia himpun sewaktu di dunia, akan dialihkan kepada orang-orang yang pernah dia zhalimi. Jika pahalanya telah habis sementara kezhaliman yang ia lakukan belum bisa tertutupi, maka dosa orang-orang yang dia zhalimi dialihkan kepada dirinya, sehingga dia terbebani dengan dosa orang-orang yang ia zhalimi tersebut, sehingga ia pun bangkrut tanpa pahala. Dan akhirnya dilemparkan ke dalam api neraka. Wal 'iyyadzu billah.

Lihatlah sekarang ini, begitu banyak orang-orang yang pintar namun licik dengan memakan harta orang lain. Bahkan ada di antaranya yang mempermasalahkan dan membawanya ke hadapan hakim. Ditempuhlah berbagai cara, supaya bisa mendapatkan harta yang bukan menjadi haknya. Padahal, barangsiapa mengambil bagian hak milik orang lain, maka hakikatnya dia telah mengambil bagian dari bara api neraka.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ

"Barangsiapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga," maka salah seorang bertanya,"Meskipun sedikit, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab,"Ya, meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak)." [HR Muslim]

Kepada para majikan, ingatlah! Janganlah Anda menyunat upah para pegawai, atau malah enggan membayarnya. Takutlah kepada Allah. Ketahuilah, para pegawai yang telah bekerja tersebut, mereka telah mengorbankan pikiran, waktu dan tenaga untuk Anda. Para pekerja itu juga memiliki tanggungan anak dan isteri yang harus dinafkahi. Sungguh, celakalah orang-orang yang berbuat zhalim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan:

أَعْطُوا اْلأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya. [HR Ibnu Majah].

Kami peringatkan kepada diri kami sendiri dan juga kaum muslimin. Bahwa usaha yang haram tidak akan menghasilkan, kecuali kebinasaan. Suap demi suap makanan yang didapat dari jalan haram, akan menurunkan harga diri kita di masyarakat. Sebaliknya, usaha yang baik dan halal, walaupun sedikit, akan menjadi pahala dan tabungan yang selalu bertambah tidak terputus di akhirat dan berbarakah.

Dalam kehidupan, terkadang kita tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut dengan hutang, disebabkan adanya keperluan tertentu. Meski demikian, sebaiknya kita menjauhi dan menghindari hutang, kecuali keadaan telah memaksanya, karena adanya hajat mendesak, yang tak mungkin kecuali harus dengan menempuh hutang. Karena seorang yang berhutang, ia akan selalu dalam keadaan tertawan, sampai dia melunasi hutangnya.

Dikisahkan, ada seseorang yang bertanya di hadapan Rasulullah :

يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ فَقَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ لِي ذَلِكَ

"Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurut engkau bila aku terbunuh fi sabilillah, apakah dosa-dosaku terhapuskan?" Maka Rasulullah menjawab: "Tentu, bila engkau bersabar dan hanya mengharapkan pahala, terus melangkah maju dan tidak surut mundur, kecuali jika engkau mempunyai hutang. Sesungguhnya Jibril telah mengatakan yang demikian itu kepadaku". [HR Muslim]

Melihat betapa besarnya pengaruh dan akibat yang akan ditanggung oleh orang yang berhutang, maka semestinya kita memiliki kepedulian. Karena, barangsiapa bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan, ikut meringankan beban yang ditanggungnya, memberikan tempo atau bahkan membebaskan orang yang terlilit hutang, maka Allah akan menaungi dirinya pada hari Kiamat. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ الهُa فِي ظِلِّهِ

Barangsiapa yang memperhatikan orang yang dilanda kesusahan, atau bahkan ikut menghilangkan kesusahannya, maka Allah akan menaungi dirinya pada hari Kiamat. [HR Muslim]

Akhirnya, marilah dalam mencari rizki, tetaplah dari jalan yang halal, yang diridhai Allah, sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kita hindari sejauh-jauhnya jalan-jalan yang diharamkan. Dan tidak ada kebenaran, kecuali datang dari Allah dan RasulNya. Wallahu a'lam.

(Diadaptasi oleh Abu Ziyad dari Khutbah Jum'at di masjid Nabawi dengan tema : Al Makasibul Khabitsah oleh Syaikh Shalah al Budair)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Sumber:    http://almanhaj.or.id