Saturday, January 12, 2013

JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA NISCAYA ALLAH AZZA WA JALLA MENJAGAMU





JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA NISCAYA ALLAH AZZA WA JALLA MENJAGAMU

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِِ عَبَّاسٍٍٍِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا ، فَقَالَ «يَا غُلَامُ ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَـعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِاجْتَمَعَتْ عَلىَ أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَ إِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ ؛ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيِحٌ. وَفِي رِوَايَةٍ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ : «اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مَاأَخْطَأَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ ، وَمَا أَصَابَكَ ؛ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا».


Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma , ia mengatakan, “Pada suatu hari, aku pernah dibonceng di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau memohon (meminta), mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.’” [HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”]

Dalam riwayat selain at-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika senang, maka Dia akan mengenalmu ketika susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesempitan, dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2516), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 425), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 316, 317, 318), Abu Ya’la dalam Musnadnya (no. 2549), Ahmad (I/293, 303, 307), Al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah (II/829-830, no. 412), al-Lâlika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 1094, 1095), ath-Thabrâni dalam al-Mu'jamul Kabîr (no. 11243, 11416, 11560, 12988), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (no. 635), al-Hâkim (III/541, 542), Abu Nu’aim dalam al-Hilyatul Auliyâ' (I/389, no. 1110), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 192).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Zhilalul Jannah fî Takhrîjis Sunnah (no. 315-318) dan Hidâyatur Ruwât (no. 5232), dishahihkan juga oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad (no. 2669, 2763, 2804).

SYARAH HADITS
1. JAGALAH ALLAH AZZA WA JALLA, NISCAYA DIA AZZA WA JALLA AKAN MENJAGAMU
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah,”
Maksudnya jagalah batas-batas Allah, hak-hak-Nya, serta menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya dengan mengerjakan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Demikian pula, dengan mempelajari agama-Nya sehingga dengannya engkau dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan bermuamalah dengan manusia serta mendakwahkannya di jalan Allah.
Hal-hal terbesar yang harus dijaga oleh seorang hamba

1. Tauhid Yang Merupakan Hak Allah Azza Wa Jalla Yang Paling Besar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ وَمَا حَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ؟ قُلْتُ: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْـعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَحَقُّ الْـعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya, dan apa hak hamba atas Allah?” Mu’adz pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah hanya kepada Allah saja dan mereka tidak boleh berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan suatu apa pun juga. Sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikit pun kepada-Nya.”[1]

Setiap muslim dan muslimah wajib memenuhi hak Allah, yaitu dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla , mentauhidkan Allah dalam seluruh ben-tuk ibadah dan ditujukan hanya kepada Allah saja dan tidak boleh berbuat syirik, tidak boleh menyekutukan Allah dengan suatu apa pun juga.

2. Shalat Wajib Lima Waktu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Jagalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha; berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu' [al-Baqarah/2:238]

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. [al-Ma’ârij/70:34]

Menjaga shalat wajib lima waktu, yaitu melaksanakan dan memerintahkannya kepada keluarga dan saudara-saudara kita, dengan memperhatikan waktu, tata cara, khusyu’, dan berjama’ahnya.

3. Menjaga Thaharah (bersuci)
Seorang mukmin dan mukminah harus menjaga dirinya dari hadats kecil dan hadats besar dengan thaharah (bersuci), yaitu berwudhu dan mandi janabah serta mandi setelah bersih dari haid dan nifas.

Bersuci termasuk sebagian dari iman. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

... اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ...

Bersuci adalah sebagian dari iman [2]

Berwudhu adalah kunci shalat. Seseorang tidak akan diterima shalatnya apabila dia tidak berwudhu. Seorang hamba terkadang batal wudhunya, sedangkan dia tidak mengetahuinya ke-cuali Allah Azza wa Jalla . Karena itu, menjaga wudhu untuk shalat menunjukkan konsistensi iman pada hati seorang hamba.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْـرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ، وَلَا يُـحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ.

“… Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhu melainkan orang mukmin.”[3]

4. Menjaga Sumpah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ

“… Dan jagalah sumpahmu…” [al-Mâ-idah/5:89]

Apabila seseorang bersumpah kemudian ia tidak melaksanakan sumpah tersebut atau dilanggar, maka ia berdosa dan wajib membayar kaffârat (tebusan). Yaitu:
1. Memberi makan 10 orang miskin, atau
2. Memberikan pakaian kepada mereka, atau
3. Memerdekakan budak.

Barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka ia berpuasa tiga hari.
Dan jangan sekali-kali bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla . Krena barangsiapa bersumpah dengan selain nama Allah Azza wa Jalla , ia telah berbuat syirik.

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah ber-buat syirik [4]

5. Menjaga Kepala Dan Perut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ ؛ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ اْلآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya badan. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.[5]
Yang ada pada kepala adalah: (1) mata, yaitu dengan menjaganya agar tidak melihat yang haram, (2) telinga, yaitu dengan menjaganya agar tidak mendengarkan hal-hal yang haram, seperti musik, lagu, ghibah, dan lainnya, dan (3) lisan, yaitu dengan menjaganya dari pembicaraan yang mengandung dosa berupa ghibah, caci maki, adu domba, memfitnah dan semisalnya. Sedang menjaga perut ialah dengan menjaganya agar barang-barang yang haram tidak masuk ke dalamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap badan yang dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak bagi dirinya. ”[6]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Niscaya Dia Akan Menjagamu".

Maksudnya, barangsiapa menjaga perintah-perintah Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajibannya serta menahan diri dari apa yang dilarang darinya, niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjaga agama, keluarga, harta, dan dirinya karena Allah Azza wa Jalla akan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan-Nya. Karena, amal itu tergantung dari jenis amal. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

Jika engkau menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu. [Muhammad/47:7]

Penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap hamba-Nya terbagi dua:
Pertama : Allah Azza wa Jalla akan menjaga para hamba-Nya dalam urusan duniawinya. Seperti penjagaan Allah atas badan, harta, anak, dan keluarga dari para hamba-Nya. Allah akan menjaga anak keturunan orang-orang shalih yang menjaga batas-batas-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

Dan ayah kedua (anak ini) adalah orang shalih. [al-Kahfi/18:82]

Di dalam (ayat ini) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan senantiasa dijaga keturunannya oleh Allah Azza wa Jalla . Begitu juga, barokah ibadahnya mencakup para anak keturunannya di dunia dan di akhirat.[7] Apabila seorang hamba menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan menjaganya.[8]

Kedua, dan ini yang paling penting, yaitu penjagaan Allah Azza wa Jalla atas agamanya dan menyelamatkannya dari kesesatan. Karena, jika seseorang diberi petunjuk, maka Allah Azza wa Jalla akan menambahkan petunjuk kepadanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan kepada mereka. [Muhammad/47:17]

Dari keterangan ini diketahui bahwa orang yang tidak menjaga Allah Azza wa Jalla , maka dia tidak berhak mendapat penjagaan-Nya. Dan di dalamnya juga terkandung motivasi untuk selalu menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla .

2. KEBERSAMAAN DAN PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”

Maksudnya, barangsiapa menjaga batas-batas Allah Azza wa Jalla dalam diri dan keluarganya serta tetap istiqamah dalam mengikuti al-Qur-ân dan Sunnah, maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya dalam setiap keadaan. Allah Azza wa Jalla akan selalu memperhatikannya, menjaganya, memberikan taufik kepadanya, meluruskannya, dan senantiasa melindungi, dan menolongnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هُمْ مُحْسِنُوْنَ.

Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan. [an-Nahl/16:128]

Qatadah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan bersamanya. Dan barangsiapa yang Allah Azza wa Jalla bersamanya, maka dia masuk dalam golongan yang tidak dapat dikalahkan, dia bersama penjaga yang tidak tidur, dan dia bersama pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan.”[9]

3. KENALILAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DI SAAT SENANG, NISCAYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MENGENALMU DI SAAT SUSAH
Ini adalah hikmah nabawiyah yang selayaknya dijaga dan disebarkan yaitu melakukan ajakan untuk mengenal Allah Azza wa Jalla di saat senang, sehat, kaya, aman, dan kuat. Mengenal Allah Azza wa Jalla dapat dilakukan dengan cara menjaga berbagai kewajiban, menjauhi berbagai larangan, dan menambah usaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan memperbanyak amalan sunnah. Maka, barangsiapa mengenal Allah Azza wa Jalla dalam keadaan seperti ini, Allah Azza wa Jalla akan mengenalnya pada saat keadaannya susah, sempit, fakir, sakit.

Sungguh, kekasih kita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengenal Rabb-nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenal beliau pada saat berada di gua, pada saat Perang Badar, dan Perang Ahzâb, lalu Allah Azza wa Jalla menolongnya, meneguhkannya, mengalahkan musuh-musuhnya. Demikian pula, Nabi Yunus q mengenal Rabb-nya pada saat senang, maka Allah Azza wa Jalla mengenalnya pada saat berada di dalam perut ikan lalu menyelamatkannya, meneguhkan hatinya, dan menolongnya.[10] Maka, barangsiapa yang bermuamalah dengan Allah Azza wa Jalla dengan takwa dan menaati-Nya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kasih sayang kepadanya dan menolongnya di saat dia mengalami kesulitan.[11]

4. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA, MAKA MINTALAH KEPADA ALLAH.”
Maksud dari meminta di hadits ini adalah doa, sedang doa adalah ibadah. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

Doa adalah ibadah.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Rabb kalian berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan doa kalian.’”[Ghâfir/40:60] [12]

Wajib bagi setiap muslim agar meminta kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak boleh meminta kepada selain Allah Azza wa Jalla dalam perkara-perkara yang tidak mungkin terwujudkan kecuali oleh Allah Azza wa Jalla semata. Barangsiapa jatuh ke dalamnya, berarti ia telah jatuh dalam kesyirikan. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdo’a (menyembah) kepada selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat… [al-Ahqâf/46:5]

Adapun tentang meminta-minta kepada manusia dalam urusan dunia yang mampu diwujudkan, maka terdapat dalil-dalil yang banyak yang melarang dan mengecamnya. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِـيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِـيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَـحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain, hingga ia datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.”[13]
Hadits ini dan yang sepertinya menunjukkan haramnya minta-minta kepada orang lain, dan tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

5. SABDA RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM: “JIKA ENGKAU MEMINTA PERTOLONGAN, MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.”
Maksudnya, jika engkau meminta suatu kebutuhan maka janganlah meminta kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , jangan sekali-kali meminta kepada makhluk. Seandainya engkau meminta kepada makhluk sesuatu yang ia mampu memberikannya, maka ketahuilah bahwa itu termasuk perantara saja, sedang yang berkuasa mewujudkan sebab itu adalah Allah Azza wa Jalla . Jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, Dia akan menghalanginya memberikan apa yang engkau minta. Maka bersandarlah hanya kepada Allah Azza wa Jalla . [14]

Seorang hamba meskipun telah diberikan kedudukan, kekuatan, dan kekuasaan, dia tetap saja tak mampu dan lemah untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia wajib meminta tolong kepada Allah Azza wa Jalla semata untuk kebaikan agama dan dunianya. Barangsiapa yang ditolong Allah Azza wa Jalla , dialah orang yang ditolong dan diberi taufik, dan barangsiapa yang dihinakan-Nya dan dibiarkan sendirian, maka dialah orang yang rugi dan bangkrut.

Maka, wajib atas setiap muslim untuk memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla untuk menaati-Nya dan meninggalkan perbuatan maksiat kepada-Nya, mohon pertolongan untuk sabar terhadap seluruh takdir-Nya serta keteguhan hati pada hari bertemu dengan-Nya, yaitu pada hari dimana anak dan harta tidak bermanfaat lagi.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ ، وَلَا تَعْجَزْ...

“Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah.”[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Muadz bin Jabal Radhyallahu anhu agar selalu berdzikir sesudah shalat wajib lima waktu, agar membaca:

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah, tolonglahlah aku dalam berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu[16]

Seorang hamba pasti memerlukan bantuan Allah Azza wa Jalla, baik untuk mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan dan sabar dalam ujian, seperti yang dialami oleh Nabi Ya’kub Alaihissallam yang telah beliau sampaikan kepada putranya lewat firman Allah Azza wa Jalla :

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ

Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. [Yûsuf/12:18]

6. IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Ketahuilah, bahwa seandainya seluruh ummat berkumpul untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu.”

Maksudnya, jika seluruh manusia yang pertama sampai yang terakhir berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka sekali-kali tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Oleh karena itu, apabila ada makhluk yang memberikan manfaat kepada seseorang, maka hal itu pada hakikatnya bersumber dari Allah Azza wa Jalla karena Allahlah yang telah menentukan manfaat itu untuknya. Hal ini menjadi pendorong bagi kita untuk bersandar kepada Allah dan meyakini bahwa seluruh manusia tidak akan mampu mendatangkan suatu kebaikan kepada kita atau membahayakan kita kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka mereka tidak akan dapat menimpakan kemudharatan (bahaya) kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.”

Oleh karena itu, jika engkau mendapat keburukan dari seseorang, yakinilah bahwa Allah telah menetapkan keburukan itu atasmu, maka ridhalah terhadap qadha dan qadar Allah. Dan tidak ada salahnya engkau berusaha menolak keburukan tersebut karena Allah Ta’ala berfirman,

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa...” [asy-Syûrâ/42: 40][18]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Ini adalah kiasan yang menunjukkan bahwa penulisan semua takdir telah selesai sejak dahulu kala. Karena sebuah buku jika telah selesai ditulisi, pena-pena diangkat darinya, dan telah berlalu sekian lama, maka tinta yang dipakai menulis menjadi kering, dan buku-buku yang ditulis dengan tinta itu menjadi kering pula. Ini merupakan kiasan terbagus dan terindah. [19]

Semua yang terjadi dan yang akan terjadi di langit dan di bumi serta di antara keduanya, mulai penciptaan makhluk sampai manusia masuk Surga dan Neraka, semua itu sudah tercatat di Lauhul Mahfûzh.

Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya, firman Allah Ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” [al-Hadîd/57: 22].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، قَالَ لَهُ: اُكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Ia menjawab, ‘Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadi hari Kiamat.’”[20]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْـخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَـخْلُقَ السَّمَـاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِـخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.

“Allah telah menulis takdir-takdir seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”[21]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu.”

Maksudnya, apa yang telah terjadi padamu tidak akan tertolak darimu, dan apa yang tidak akan engkau peroleh tidak mungkin pula engkau mendapatkannya. Mungkin juga (sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas-red) bermakna : apa yang telah Allah takdirkan akan menimpamu, tidak akan meleset darimu, pasti terjadi. Dan apa yang Allah takdirkan tidak menimpamu, maka hal itu tidak akan menimpamu selama-lamanya. Segala urusan ada di tangan Allah. Kondisi ini mendorong manusia agar bersandar kepada Allah secara total. [22]

Iman kepada qadha dan qadar memiliki empat tingkatan:
1. al-‘ilmu : maksudnya seorang mukmin yang beriman kepada qadar harus meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang ada di alam ini,
2. al-Kitâbah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua kejadian - baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi- telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuzh
3. al-Masyî-ah, maksudnya seorang mukmin meyakini bahwa semua hal yang terjadi tidak lepas dari kehendak Allah
4. al-Khalq, maksudnya bahwa manusia mempunyai kehendak dan keinginan, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [ at-Takwîr/81: 29]

Kemudian meyakini bahwa semua yang terjadi ini karena Allah yang menciptakannya. Allah l berfirman,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” [ash-Shaffât/37: 96]

Sedangkan terhadap musibah, ada dua tingkatan bagi orang mukmin yaitu : (1) Ridha dengannya. (Ini tingkatan yang paling tinggi). Dan (2) Sabar terhadapnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْـمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَِحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya” [23]

7. KEMENANGAN ADA BERSAMA KESABARAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketahuilah bahwa kemenangan itu bersama kesabaran.”
Dalam kalimat ini terdapat anjuran agar berlaku sabar karena jika (diketahui) kemenangan bersama kesabaran, maka seseorang pasti akan bersabar demi memperoleh kemenangan.[24] Makna seperti ini diperkuat oleh firman Allah Azza wa Jalla ,

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Allah mengatakan, ‘Betapa banyak kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.’ Dan Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar.” [al-Baqarah/2: 249]

Sabar ada tiga macam :
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah,
2. Sabar dalam meninggalkan maksiat,
2. Sabar dalam menerima musibah atau takdir yang buruk dari Allah Azza wa Jalla.

Demikian pula dalam menghadapi musuh-musuh Allah, butuh kesabaran karena dalam jihad terdapat banyak kesulitan dan hal-hal yang tidak mengenakkan. Sabar dalam menghadapi mereka merupakan sebab dan jalan mendapat kemenangan sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam jihad melawan musuh yang nampak, yaitu orang-orang kafir, maupun dalam jihad melawan musuh yang tidak nampak, yaitu hawa nafsu. Orang yang sabar pada kedua jihad ini, ia akan ditolong dan akan berhasil mengalahkan musuhnya. Sedangkan yang tidak bersabar dan berkeluh kesah, maka ia akan kalah dan menjadi tawanan musuh atau terbunuh.
Pertolongan Allah pasti datang bila kaum mukminin menolong agama Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Saat melaksanakan perintah dan menjauhi larangan inilah mutlak diperlukan kesabaran. Tanpa kesabaran, tidak mungkin bisa melakukannya.

8. KELAPANGAN ADA BERSAMA KESEMPITAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan kelapangan bersama kesempitan.”
Terkadang musibah, fitnah, dan cobaan menimpa seorang muslim sehingga urusannya menjadi sulit, dunia terasa sempit dan rasa sedih serta galau semakin bertambah. Apabila ia mengharapkan pahala, bersabar, dan mengetahui bahwa apa yang menimpanya adalah atas takdir Allah serta tidak putus asa dari rahmat Allah, niscaya inâyah (pertolongan) Allah, maaf-Nya, ampunan-Nya, dan rahmat-Nya akan dia peroleh. Itulah kelapangan. Allah Ta’ala berfirman :

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Ataukah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan guncangan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” [al-Baqarah/2: 214]

Betapa sering Allah Azza wa Jalla membawakan kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dialami para Nabi, kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan pertolongan-Nya. Seperti kisah Nabi Nuh Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan di atas perahu, Nabi Ibrahim Alaihissallam diselamatkan dari api, Nabi Ismail Alaihissallam diganti dengan domba ketika diperintahkan Allah untuk disembelih. Kisah lainnya, Nabi Musa Alaihissallam dan pengikutnya yang diselamatkan dari Fir’aun, kisah Nabi Yunus alaihissallam . Juga kisah Nabi Muhammmad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditolong ketika bersembunyi di gua, dibantu pada waktu Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Ahzâb, Perang Hunain dan lain-lain.

9. SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”
Maksudnya, setiap kemudahan akan datang setelah adanya kesulitan, bahkan setiap kesulitan itu akan diiringi dua kemudahan: kemudahan sebelumnya dan kemudahan yang akan datang. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” [al-Insyirâh/94: 5-6] [25]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiatas menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa manusia terus menerus selama ia ridha dengan ketentuan Allah, senantiasa komitmen terhadap segala perintah dan larangan-Nya, dan pasrah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengganti kesulitan dengan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“…Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” [ath-Thalâq/65: 3] [26]

FAWAA-ID HADITS
1. Bolehnya membonceng di atas kendaraan orang lain.
2. Disunnahkan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada ummat dengan perkataan yang ringkas.
3. Berkemauan keras untuk membina kaum muslimin.
4. Balasan pahala itu tergantung dari jenis amalan.
5. Wajib atas seorang hamba menjaga batas-batas Allah, menjaga tauhid, shalat lima waktu, menjaga matanya, auratnya dan tidak boleh melewati batas dan wajib untuk mengagungkan-Nya.
6. Barangsiapa yang tidak menjaga batas-batas Allah, maka Allah tidak akan menjaganya. (al-Hasyr/59: 19).
7. Diharamkan meminta kepada selain Allah dalam hal-hal yang makhluk tidak mampu memberikannya seperti rizki, kesembuhan, ampunan, dan lain sebagainya
8. Seluruh makhluk itu lemah dan butuh kepada Allah Azza wa Jalla . Karena itu, seorang hamba wajib memohon pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla
9. Wajib beriman kepada al-Qadha wal Qadar yang baik maupun yang buruk. Semua yang terjadi di langit dan di bumi sudah ditaqdirkan oleh Allah, tidak ada satu pun yang terluput
10. Wajib bagi setiap hamba untuk mencari keridhaan Allah meski dibenci oleh manusia lainnya
11. Seorang hamba tidak sanggup untuk mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak sanggup untuk menolak bahaya, melainkan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena itu, ia wajib menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.
12. Perbuatan makar—meskipun direncanakan oleh orang banyak—tidak akan terlaksana kecuali dengan izin Allah Azza wa Jalla (Qs at-Taubah/9: 51).
13. Catatan takdir di Lauhul Mahfûzh adalah tetap, tidak dapat diganti dan berubah lagi.
14. Perbanyaklah ibadah, dzikir, do’a, dan lainnya di saat senang, maka Allah Azza wa Jalla akan menolongmu di saat mengalami kesulitan.
15. Setiap kesulitan dan kesusahan yang menimpa seorang hamba, pasti sesudahnya ada kelapangan dan kemudahan.
16. Kelapangan dan kemudahan selalu menyertai orang yang mengalami kesulitan.
17. Bila seorang hamba ditimpa kesulitan, maka hendaklah ia memohon kepada Allah agar dihilangkan kesulitannya. Karena hanya Allah yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya (kesulitan). (al-An’âm/6:17, Yûnus/10: 107).
18. Allah akan memberikan pertolongan dan kemenangan kepada para hamba-Nya yang sabar.
19. Jihad di jalan Allah membutuhkan kesabaran dan istiqamah.
20. Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam agama dapat diproleh. (Perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah)





NASEHAT BAGI ORANG YANG MELALAIKAN SHALAT

Oleh
Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn



Wahai kaum Muslimin, marilah kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan menjaga shalat lima waktu kita serta mengerjakannya dengan penuh ketaatan. Ketahuilah, sesungguhnya shalat adalah tiang agama. Karena itu, tidak akan tegak agama seseorang yang meninggalkan shalat dan ia tidak akan mendapatkan bagian dalam agama ini. Menegakkan shalat adalah suatu bentuk keimanan dan meninggalkannya merupakan kekufuran. Maka, siapa yang menjaga shalatnya, maka hatinya akan bercahaya, demikian pula wajah dan kuburnya, dan saat dikumpulkan di Mahsyar, ia juga akan mendapat keselamatan pada hari kiamat. Dia akan dikumpulkan bersama orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah Azza wa Jalla yaitu para nabi, shiddîqîn, syuhadâ` dan shâlihîn. Adapun sebaliknya, siapa yang tidak menjaga shalatnya, dia tidak akan mendapatkan cahaya dan keselamatan pada hari kiamat, dan di akhirat kelak dia akan dikumpulkan bersama Fir`aun, Hâmân, Qârûn, dan Ubai bin Khalâf.

Wahai, kaum Muslimin, bagaimana kita bisa menyia-nyiakan shalat, padahal shalat adalah penghubung kita dengan Allah Azza wa Jalla . Jika kita tidak memiliki penghubung antara kita dengan Allah Azza wa Jalla , dimana ubûdiyah (penyembahan) kita ? Dimana (wujud) kecintaan kita kepada Allah Azza wa Jalla , dan ketundukan kita kepada-Nya ? Sungguh celaka dan rugi orang yang setiap kali mendengar panggilan kepada dunia, dengan segera ia memenuhinya dan ketika mendengar seseorang menyeru kepada Allah Azza wa Jalla hayya alas shalâh dan hayya ala falâh, mereka merasa berat hati dan berpaling.

Wahai kaum Muslimin, bukankah kita semua tahu bahwa amal yang pertama kali akan dihisab oleh Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalat kita baik, maka baik pula seluruh amal ibadah kita. Dan jika rusak, maka rusak pula amal ibadah kita.

Wahai umat Muhammad, marilah kita tegakkan shalat kita selagi kita masih berada di dunia. Ingatlah Allah Azza wa Jalla di saat lapang, niscaya Allah Azza wa Jalla akan mengingat kalian di waktu sempit. Siapa yang melupakan Allah Azza wa Jalla , Allah Azza wa Jalla pun akan melupakannya. Siapa yang meremehkan perintah Allah Azza wa Jalla , Allah pun akan meremehkannya. Wahai umat Muhammad, siapakah di antara kita yang merasa aman dengan kematian kemudian bertaubat dan mengerjakan shalat ? Bukankah masing-masing kita takut dengan kematian dan tidak mengetahui waktunya ? Bukankah kematian itu datang secara tiba-tiba dalam keadaan manusia tidak merasa ? Bukankah kematian mendatangi manusia di dunia ini saat mereka lalai?

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya setelah kematian yang datang secara tiba-tiba tidak ada lagi amal setelahnya, yang ada setelah itu hanyalah balasan dari amal perbuatannya. Maka, siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah ia akan melihatnya, dan siapa yang mengerjakan keburukan seberat dzarrah , dia juga akan melihatnya.

Wahai kaum Muslimin, wahai orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah Azza wa Jalla kepadanya. Sesungguhnya di antara ketentuan yang Allah Azza wa Jalla wajibkan dalam shalat itu adalah hendaknya kita mengerjakannya di masjid bersama jamaah kaum Muslimin. Marilah kita menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan ruku` bersama orang-orang yang rukû`. Ini adalah jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. `Abdullâh bin Mas`ûd Radhiyallahu anhu mengatakan , “Siapa di antara kalian yang kelak ingin berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla dalam keadaan Islam (berserah diri), hendaklah dia menjaga shalat-shalatnya, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan sunah-sunah petunjuk kepada Nabi-Nya, dan shalat itu termasuk sunah-sunah petunjuk. Jika kita shalat di rumah, maka itu sama saja kita meninggalkan sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika kita meninggalkan sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka kita akan tersesat. Jika seorang yang berwudlu dan membaguskan wudlunya, setelah itu dia menuju masjid, maka pada setiap langkahnya Allah Azza wa Jalla akan memberikan satu kebaikan yang akan mengangkat kedudukannya satu derajat dan menghapuskan satu kesalahannya. Menurutku, orang yang meninggalkan shalat tiada lain adalah orang munafik yang diketahui nifaknya.”

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya shalat jamaah di masjid itu termasuk suatu kewajiban, dan orang yang melaksanakan, berarti ia telah menegakkan shalat dan menjaganya. Orang yang shalat bersama jamaah berarti telah menegakkan kewajibannya kepada Allah Azza wa Jalla . Sedangkan orang yang meninggalkan jamaah tanpa udzur, berarti ia telah berbuat maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan membahayakan shalatnya. Sebagian Ulama` mengatakan, “Siapa yang meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur, maka shalatnya batil (tidak sah). Ucapan di atas di katakan oleh adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat. Sesungguhnya shalat jamaah itu lebih afdhal dari pada shalat sendirian sebesar 27 derajat. Orang yang meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur adalah orang yang pemalas dan lalai. Keadaan mereka seperti keadaan orang-orang munafik yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur`ân :

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ

Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. [an-Nisâ`/4:142]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَثْقَلُ اَلصَّلَاةِ عَلَى اَلْمُنَافِقِينَ: صَلَاةُ اَلْعِشَاءِ, وَصَلَاةُ اَلْفَجْرِ, وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Shalat yang (dirasakan) paling berat oleh orang-orang munafik adalah shalat Isyâ` dan shalat Fajr(subuh). Seandainya mereka mengetahui (pahala) apa yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya, meskipun dengan merangkak”. [HR. al-Bukhâri 644]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah bahwa seandainya orang munafik yang meninggalkan shalat itu mendapatkan rezeki sedikit di dunia, niscaya ia akan menghadiri shalat jamaah dan kebanyakan orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah seandainya mereka disibukkan dengan urusan duniawi ketika terbit fajar, niscaya ia akan bersemangat untuk hadir tepat pada waktunya. Shalat jamaah adalah suatu aktifitas dan ketenangan dan meninggalkannya merupakan bentuk kemalasan, dan sedangkan tergesa-gesa dalam mengerjakannya biasanya tidak tuma`ninah. Orang yang mengerjakan shalat dengan tergesa-gesa keadaannya seperti seekor burung yang mematuk makanannya. Barangkali dia juga mengakhirkan waktu shalatnya. Shalat jamaah akan melahirkan suatu kecintaan dan kelembutan serta akan menerangi masjid dengan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla . (Dengan shalat) syiar-syiar Islam akan nampak. Dalam shalat jamaah ada suatu pembelajaran bagi orang-orang jahil, peringatan bagi orang yang lalai dan kemaslahatan yang sangat banyak. Bagaimana pendapat kalian jika shalat jamaah itu tidak disyariatkan, dan tidak mungkin Allah Azza wa Jalla menghendaki demikian, bagaimanakah keadaan kaum Muslimin ? (tentu) mereka akan terpecah belah, masjid-masjid akan tutup dan umat ini akan memiliki syi`ar jamâ`i dalam agama ini. Karena itulah di antara hikmah Allah Azza wa Jalla dan rahmat-Nya, Dia mewajibkannya kaum Muslimin. Marilah kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan nikmat ini. Marilah kita laksanakan kewajiban ini. Marilah kita merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla ketika meninggalkan perintah-Nya, serta waspada terhadap siksa-Nya.

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla memberikan pertolongan kepada kita agar bisa selalu mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dengan baik, serta mengumpulkan kita di dunia ini di atas ketaatan. Dan di akhirat berada di kampung kemuliannya (surga) serta memberikan kita hidayah ke jalan yang lurus.

(Disadur dari kitab Adh-Dhiyâul Lâmi` Minal Khuththabil Jawâmi` karya Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn 2/198-202)


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



KAUM MUSLIMIN MENCINTAI SHAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM[1]



مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Ny, pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat kemudian menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar [al-Fath/48:29]

PENJELASAN AYAT:
Ayat yang mulia ini memuat keterangan tentang keutamaan para Sahabat Rasûlullâh dan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi mereka yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injîl. Allah menyebut mereka sebagai orang yang tekun beribadah dan shalat saat berhubungan dengan Allah Azza wa Jalla dan bersikap lemah-lembuh dan saling mengasihi di antara mereka serta bersikap tegas dan teguh di hadapan kaum kafir. Apa yang melekat pada mereka berupa ketekunan beribadah, sifat saling menyayangi antara sesama Sahabat dan bersikap keras terhadap kaum kafir, itu mereka lakukan dalam rangka mengharap keridhaan dari Allah Azza wa Jalla . Sementara sifat keras dan ketegasan Sahabat dalam memerangi kaum kafir merupakan hal yang menjengkelkan hati kaum kafir. Dan Allah Azza wa Jalla menjanjikan bagi mereka ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan pahala besar yang membiaskan ketinggian dan keluhuran derajat mereka.

Kondisi saling menyayangi antara sesama dan ketegasan terhadap kaum kafir yang dipraktekkan para Sahabat seperti kandungan firman Allah Azza wa Jalla berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui [al-Mâidah/5: 54]

Syaikh kami, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah berbicara tentang ayat di surat al-Mâidah tersebut dengan mengatakan, "Dalam ayat yang mulia ini, Allah Azza wa Jalla mengabarkan kepada kaum Mukminin bahwa bila sebagian mereka murtad (keluar dari agama), Allah Azza wa Jalla akan menggantikan orang-orang yang murtad itu dengan satu kaum yang diantara sifat mereka ialah berkasih sayang, rendah hati dan lembut kepada kaum Mukminin dan bersikap keras dan tegas terhadap kaum kafir. Ini termasuk kesempurnaan sifat kaum Mukminin. Allah Azza wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya untuk bersikap lembut kepada kaum Mukminin dalam firman-Nya:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman [asy-Syuârâ/26:215]

Dan memerintahkan beliau untuk bersikap keras terhadap selain mereka (kaum kafir) dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. [at-Taubah/9:73]

Allah Azza wa Jalla menyanjung Nabi-Nya yang memiliki sifat lembut kepada kaum Mukminin dalam firman-Nya.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu [Ali 'Imrân/3:159]

Allah Azza wa Jalla juga menegaskan bahwa sifat lembut dengan kaum Mukminin dan keras terhadap kaum kafir merupakan karakter Nabi dan para Sahabat, seperti yang tercantum dalam firman Allâh:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka [al-Fath/48: 29][2]

Perintah Allah Azza wa Jalla kepada Nabi-Nya untuk bersikap lembut kepada kaum Mukminin dan keras kepada kaum kafir dalam ayat-ayat ini sekaligus juga merupakan perintah bagi umat beliau. Sebab hukum asal seluruh perintah terarahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, kecuali ada dalil yang mengkhususkan peruntukan suatu perintah pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Sementara Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kaum Mukminin untuk memerangi kaum kafir dan bersikap keras kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa [at-Taubah/9:123]

Firman Allah Azza wa Jalla :

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud

Kata سِيمَا (sîmâ) mengandung pengertian perilaku baik. Juga ditafsirkan dengan kekhusyuan dan tawadhu. Ibnu Katsîr rahimahullah meriwayatkan penafsiran pertama dari Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma dan penafsiran kedua dari Mujâhid dan lainnya. Kemudian beliau mengutip satu riwayat dari Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dengan sanad shahîh dari Manshûr rahimahullah dari Mujâhid rahimahullah, ia berkata, “(Maksudnya) yaitu khusyu”. Manshûr rahimahullah berkomentar, “Sebelumnya aku menyangka (makna ayat tersebut adalah) bekas hitam yang ada di wajah”. Mujâhid menampik dengan berkata, “Kalau (bekas hitam) itu bisa saja terdapat di antara dua mata orang yang hatinya lebih keras dari Fir’aun”.

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah juga mengutip pendapat as-Suddi rahimahullah yang berkata, “(Itu maksudnya) shalat memperindah wajah mereka. Sebagian Ulama Salaf berkata: “Sesungguhnya kebaikan itu membekaskan cahaya pada hati, wajah menjadi berseri-seri dan keluasan pada rejeki dan kecintaan orang". Amirul Mukminin Utsmân Radhiyallahu anhu berkata, "Barang siapa menyembunyikan suatu rahasia maka Allâh akan menampakkannya pada raut wajah dan ucapan lidahnya”.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah meneruskan bahwa para Sahabat niat-niat mereka bersih, amal-amal mereka baik, maka setiap orang yang menyaksikan mereka akan takjub terhadap perilaku dan kepribadian mereka. Imam Mâlik rahimahullah berkata, " Sampai padaku berita bahwa kaum Nasrani -bila mereka menyaksikan para Sahabat yang menaklukkan wilayah Syam- mereka berkata, "Demi Allâh mereka itu betul-betul lebih baik dari kaum Hawâriyûn berdasarkan berita yang kami dengarkan (tentang kaum Hawâriyûn). Mereka berkata tepat. Sesungguhnya umat ini diagungkan dalam kitab-kitab terdahulu. Generasi yang terbaik dan paling agung umat ini adalah Sahabat Rasûlullâh. Allah Azza wa Jalla telah mengisyaratkan penyebutkan mereka dalam kitab-kitab yang diturunkan dan berita-berita yang beredar. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla di sini berfirman:

ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat

Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ

dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya

فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)

Demikian juga para Sahabat. Mereka membela Nabi dan mendukung beliau serta menolong beliau. Jadi mereka bak tunas yang menguatkan tanaman”. [3]

Firman Allah Azza wa Jalla :
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)

Ayat ini akan sangat keras terhadap Syiah, kaum yang membenci para Sahabat Radhiyallahu anhum dan mencela dan antipati terhadap mereka, terutama kebencian mereka terhadap Khalifah Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsmân Radhiyallahu anhum. Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, "Melalui ayat ini, ada riwayat dari Imam Mâlik bahwa beliau memetik kesimpulan berupa takfîr (vonis pengkafiran) terhadap kaum Syiah yang membenci Sahabat Radhiyallahu anhum . Sebab para Sahabat Radhiyallahu anhum membuat mereka jengkel. Barang siapa merasa jengkel terhadap Sahabat Radhiyallahu anhum , maka ia menjadi kafir berdasarkan ayat ini. Sejumlah Ulama sejalan dengan pendapat beliau tersebut. Hadits-hadits tentang keutamaan Sahabat dan larangan bicara buruk tentang mereka sangat banyak. Sanjungan dan ridha Allâh sudah cukup bagi mereka".[4]

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Abu Urwah az-Zubairi dari putra az-Zubair: "Kami pernah bersama (Imam) Maalik bin Anas rahimahullah. Orang-orang menceritakan tentang seseorang yang mencela Sahabat Rasûlullâh. (Mendengar itu), lantas Imam Mâlik rahimahullah membaca ayat :

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).

Setelah itu beliau berkata, "Barang siapa dalam hatinya terdapat rasa kejengkelan terhadap Sahabat Rasûlullâh, sungguh ayat ini menyerang dirinya. Riwayat al-Khathîb Abu Bakar". [5]

Firman Allah Azza wa Jalla :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar

Ini adalah janji mulia bagi seluruh Sahabat, persis dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut:

لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik [al-Hadîd/57:10]

Huruf min (di antara mereka) pada firman Allah مِنْكُمْ mengandung makna bayânul jinsi (penjelasan yang menyangkut sesuatu jenis secara keseluruhan) bukan untuk menjelaskan pengertian sebagian (tab'idh) [6] , seperti dalam firman Allâh berikut:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilâh (yang berhak disembah) selain Ilâh Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih [al-Mâidah/5:73]

Min (di antara mereka) pada firman Allah مِنْهُمْ mencakup seluruh orang yang mengatakan bahwasanya Allâh salah satu dari yang tiga, bukan sebagian mereka saja. Dalam kitab Mughnil Labîb (2/15), Ibnu Hisyâm rahimahullah mengungkap, "Dalam kitab al-Mashâhif karya Ibnul Anbâri rahimahullah, disebutkan bahwa sebagian orang zindîq (hatinya penuh kekufuran) memegangi firman Allâh yang artinya Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar untuk mencela sebagian Sahabat [7] . Padahal yang benar bahwa huruf min tersebut untuk menjelaskan seluruh individu Sahabat, bukan sebagian individu semata. Artinya orang-orang yang beriman adalah mereka. Hal ini persis dalam firman Allah Azza wa Jalla berikut ini:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ

(Yaitu) orang-orang yang menta'ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa ada pahala yang besar (Ali 'Imrân/3:172). Mereka semua adalah orang yang telah berbuat baik dan bertakwa

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Ilah (yang kelak berhak disembah) selain Ilah Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. [al-Mâidah/5:73].

Yang dibicarakan dalam ayat-ayat tersebut semuanya adalah orang kafir".

Wallahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



KEHILANGAN BUAH HATI

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Lc



Tak ada sedikit pun perjalanan kehidupan dunia ini yang terhenti, sampai Allah Azza wa Jalla kelak menetapkan hari yang menjadi akhir bagi segalanya. Waktu demi waktu adalah ujian bagi setiap manusia. Hanyalah seorang Mukmin yang dapat menghadapinya dengan baik. Ia selalu mengharap taufik Allah Azza wa Jalla dalam setiap langkah di segala keadaannya. Ia meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ucapan dan amalannya. Ia mempelajari dengan seksama contoh para Salafus shâlih dalam setiap hal yang menghampiri kehidupannya. Seorang Mukmin selalu berhati-hati dalam menentukan sikap dan tindakannya agar dapat selaras dengan petunjuk syariat. Saat ia mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, maka ia bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla, tidak lantas terbuai sehingga lupa bahwa itu hanyalah bersifat sementara. Tatkala ia ditimpa kesulitan atau musibah, maka ia segera menyadari bahwa itu adalah ujian. Ia meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla sehingga ia bersabar dan tidak hanyut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ صُهَيْبٍ الرُّوْمِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib ar-Rûmi Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Betapa menakjubkan perkara seorang Mukmin. Sungguh semua perkaranya adalah baik. Apabila ia mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dan itu adalah yang terbaik baginya. Manakala ia mendapatkan musibah maka ia bersabar dan itu adalah yang terbaik baginya."[1]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Menakjubkan seorang Mukmin, karena tidaklah Allah Azza wa Jalla menentukan satu perkara bagi dirinya melainkan itu menjadi yang terbaik baginya".[2]

Di antara titipan Allah Azza wa Jalla yang menjadi ujian kehidupan bagi seorang Mukmin dan Mukminah adalah anak, "Si buah hati". Ia hadir sebagai penyejuk mata yang mendatangkan kebahagiaan. Setiap gerak dan tingkahnya adalah kebanggaan. Setiap keceriaan celoteh beriring senyum dan kemanjaannya adalah penghibur hati dan pengisi kehampaan. Tak ada kata lelah ataupun bosan bagi ibu atau ayah untuk melayaninya dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Tak perlu diminta untuk memberikan yang terbaik baginya. Tak habis cara dan usaha mencari jalan keluar terhadap segala kesulitannya. Semua itu dilalui sebagai kebahagiaan bagi kedua orang tua. Namun pada saat Allah Azza wa Jalla memanggil kembali si buah hati karena ajal telah menjemputnya, tak jarang sebagian orang tua dirundung kesedihan yang begitu mendalam dan berkepanjangan, seakan kurang dapat menerima kenyataan. Di antara mereka ada yang bingung "Apa yang harus dilakukan??", rasa "Belum siap", dan pertanyaan "Mengapa ini terjadi?" bergelayut dalam hati dan pikiran. Mari kita merenung sejenak, sambil mencermati kembali tuntunan ajaran Islam yang sudah pasti memberikan kemudahan dan mendatangkan kebahagiaan. Sehingga langkah setiap Mukmin dan Mukminah saat menghadapi kepergian "Si buah hati" yang takkan kunjung kembali adalah langkah yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

KETELADANAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM SAAT KEHILANGAN “BUAH HATI”
Sebagai contoh terbaik bagi umat ini, kita dapatkan dari keteladanan kisah nyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat puteranya Ibrahim meninggal dunia pada usia yang sangat dini. Namun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegar dalam menjalani ujian kehidupan tersebut. Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya dalam pangkuan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkannya dan beliau pun n menangis. `Abdurrahmân bin `Auf bertanya: "Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyâhah)?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Wahai Ibnu `Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat; yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah. Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah Azza wa Jalla ) yang pasti terjadi dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita pastilah akan kita susul, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang…, hati bersedih…, kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla."[3]

Lihatlah ketegaran dan ketabahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sekalipun hati beliau bersedih dan air mata berlinang namun beliau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla. Karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla yang sarat kebaikan serta hikmah. Tidak sedikitpun Allah Azza wa Jalla menzhalimi hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Dan Dialah yang berkuasa atas seluruh hamba-Nya. Dan Dialah yang maha bijaksana lagi maha mengetahui".[4] "Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku".[5] Dengan meyakini hal ini maka seorang Mukmin akan mudah berlapang dada terhadap segala yang terjadi karena Allah Azza wa Jalla pasti memberikan yang terbaik. Menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah ujian serta titipan sementara yang suatu saat akan kembali kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman: "Kepunyaan Allah Azza wa Jalla sajalah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah Azza wa Jalla segala urusan dikembalikan".[6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila Allah Azza wa Jalla mencintai suatu kaum maka Allah Azza wa Jalla akan menguji mereka. Barangsiapa ridha maka ia akan mendapatkan ridha (Allah Azza wa Jalla ), dan barangsiapa marah (benci) maka baginya kebencian dan kemurkaan (Allah Azza wa Jalla )".[7]

TEGAR MENGHADAPI KENYATAAN
Al-kisah seorang Sahabat bernama Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu memiliki seorang istri bernama Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma serta seorang putera yang ia sayangi. Ketika Abu Thalhah Radhiyallahu anhu keluar dari rumah (untuk suatu kepentingan), anaknya sedang jatuh sakit yang kemudian meninggal dunia. Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma mempersiapkan (diri) seraya berkata kepada kerabatnya: "Jangan kalian memberitahu suamiku Abu Thalhah Radhiyallahu anhu tentang puteranya, biarkanlah aku sendiri yang akan menyampaikan berita duka ini". Saat Abu Thalhah Radhiyallahu anhu sampai di rumah bersama beberapa Sahabatnya beliau bertanya kepada Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma : "Bagaimana keadaan anak kita?". Ummu Sulaim menjawab: "Semenjak ia sakit, malam ini sungguh ia lebih tenang dari sebelumnya". Ummu Sulaim mempersiapkan makan malam, kemudian ia berhias diri dan bersolek untuk suaminya. Abu Thalhah z memuji Allah Azza wa Jalla dan merasa senang, ia menyelesaikan makan malam kemudian menggauli istrinya. Setelahnya, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata: "Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu apabila seseorang meminjam suatu pinjaman dan memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta kembali dia enggan untuk mengembalikannya?" Abu Thalhah Radhiyallahu anhu menjawab: "Dia tidak berlaku adil". Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata lagi: "Sesungguhnya puteramu adalah pinjaman Allah Azza wa Jalla bagimu, dan sungguh Allah Azza wa Jalla telah mengambilnya kembali". (Ternyata) Abu Thalhah Radhiyallahu anhu bersabar[8] serta memuji Allah Azza wa Jalla … Keesokan harinya ia hendak menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: "Semoga Allah Azza wa Jalla memberkahi kalian berdua di malam yang kalian lalui". Maka tidak berapa lama kemudian Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma mengandung…[9]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Sesungguhnya seorang Mukmin manakala ia menyerahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla (saat musibah) dan melakukan istirjâ` maka ia akan mendapatkan tiga kebaikan sekaligus; keberkahan dan maghfirah (ampunan), rahmat serta kemudahan jalan petunjuk".[10] Demikian contoh mulia dari para Salafus shâlih yang diuji oleh Allah Azza wa Jalla , bukan bersikap murung atau putus asa, namun bersikap tegar, tenang, sabar dan tabah menghadapi ujian itu.

WAJIB HUSNU ZHAN (BERPRASANGKA BAIK) TERHADAP ALLAH AZZA WA JALLA
Berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla adalah sifat kaum munafikin dan musyrikin. Allah Azza wa Jalla yang maha mengetahui lagi maha bijaksana berfirman: "Dan Allah Azza wa Jalla mengadzab kaum munafik laki-laki dan perempuan, juga kaum musyrik laki-laki dan perempuan karena mereka berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla . Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Allah Azza wa Jalla memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali".[11]

Sesungguhnya sebagian manusia menjadi rendah lagi hina karena prasangka buruk mereka terhadap Allah Azza wa Jalla . Adapun makna berprasangka baik terhadap Allah Azza wa Jalla ialah seorang hamba berprasangka bahwa Allah Azza wa Jalla menyayanginya, ia memahami hal tersebut dengan merenungi ayat-ayat, hadits-hadits yang menjelaskan tentang kebaikan dan kemuliaan Allah Azza wa Jalla serta ampunan-Nya, apapun yang telah Allah Azza wa Jalla janjikan bagi ahli tauhid sebagai pengganti dan balasan kebaikan bagi mereka di hari kiamat kelak. Sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla firmankan: "Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku". Inilah makna hadits yang benar yang dijelaskan oleh jumhur Ulama."[12] Hanyalah orang kafir yang berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla melainkan kaum yang kafir"[13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْكَبَائِرُ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَ اْلإِياَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ وَ اْلقُنُوْطِ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

"Dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah Azza wa Jalla , pesimis dari kasih sayang Allah Azza wa Jalla serta berputus asa dari (mendapatkan) rahmat-Nya".[14]

BERSABAR SEJAK AWAL MUSIBAH TERJADI
Ini adalah hal yang sering kali luput atau bahkan dilalaikan sebagian orang yang menghadapi musibah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى

Sesungguhnya kesabaran adalah pada saat awal kejadian (musibah).[15]

Yakni apabila bersikap tegar dan tabah pada saat hati terguncang akibat suatu musibah maka itulah sabar yang sempurna yang akan mendatangkan pahala. Al-Khaththâbi rahimahullah berkata: "Sesungguhnya sabar yang terpuji adalah ketika musibah baru saja terjadi, adapun setelah itu beberapa hari maka dia akan lupa kemudian merelakan kepergiannya".[16] Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Sungguh makna hadits tersebut adalah kesabaran yang sempurna dan akan mendatangkan pahala yang agung, karena ujian kesulitan yang berat di dalamnya…"[17] Dan jika ia berjuang untuk dapat bersabar maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kemudahan baginya untuk tegar dan bersabar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa berusaha untuk bersabar maka Allah Azza wa Jalla akan membuatnya bersabar, tidaklah seseorang diberikan kebaikan yang menyeluruh dan lebih luas dari kesabaran".[18]

Tentang definisi kesabaran Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Sabar adalah menahan diri dari sikap kesal dan marah, menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota badan dari melakukan kekacauan atau kebodohan".[19]

BERHARAP PAHALA DAN BALASAN KEBAIKAN DARI ALLAH
Hal ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam sabdanya: "Senantiasa ujian (cobaan) menghampiri seorang Mukmin atau Mukminah dalam dirinya, hartanya, serta anaknya sampai ia berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla sehingga tiada lagi tersisa dosa-dosanya".[20] Suatu saat seorang pria mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa puteranya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: "Apakah engkau mencintai puteramu?" Pria tersebut menjawab: "Allah Azza wa Jalla telah mencintai engkau (wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebagaimana aku mencintai puteraku". Tak lama setelah itu puteranya wafat, ia merasa sangat kehilangan dan bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) tentang (nasib) puteranya itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah engkau merasa bahagia tatkala engkau mendatangi pintu manapun di antara pintu-pintu jannah dan puteramu berdiri di hadapannya berusaha untuk membukakannya bagimu?"[21] . Maka hendaknya ia mengharap agar dipertemukan kembali dengan seluruh keluarganya dalam kebahagiaan dan kenikmatan jannah Allah Azza wa Jalla serta dijauhkan dari adzab Allah Azza wa Jalla. Kesempatan itu pernah disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوْتُ بَيْنَهُمَا ثَلاَثَةُ أَوْلاَدٍ لَمْ يَبْلُغُواْ الْحِنْثَ إِلاَّ أَدْخَلَهُمَا اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ. يُقَالُ لَهُمْ: "اُدْخُلُواْ الْجَنَّةَ"، فَيَقُوْلُوْنَ: حَتَّى يَدْخُلَ آباَؤُنَا، فَيُقَالُ:" اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآباَؤُكُمْ

Tidaklah dua Muslim (suami-isteri) yang tiga anak kandung mereka yang belum berdosa telah meninggal dunia, melainkan Allah Azza wa Jalla akan masukkan keduanya ke dalam jannah dengan kebaikan dan rahmat Allah Azza wa Jalla bagi mereka. Dikatakan kepada anak-anak itu "Masuklah kalian ke dalam jannah". Maka mereka menjawab "(kami menanti) sehingga kedua orang tua kami memasukinya". Kemudian dikatakan: "Masuklah kalian beserta kedua orang tua kalian ke dalam jannah".[22]

"أَيُّمَا امْرَأَةٌ مَاتَ لَهَا ثَلاَثَةٌ مِنَ اْلوَلَدِ كَانُوْا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ". قاَلَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَانِ ؟ قَالَ: "وَاثْنَانِ"

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Seorang wanita (Muslimah) manapun yang telah (didahului) wafat ketiga anaknya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka". Seorang wanita bertanya: "Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana jika hanya dua (anak saja)?" Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Ya, (walaupun) dua."[23]

Dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain: "Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Sesungguhnya (janin yang) gugur akan menarik ibundanya dengan ari-arinya (masuk) ke dalam jannah manakala ibunya itu (bersabar) mengharap pahala"[24]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita dapat bersabar tatkala mendapatkan musibah khususnya pada saat kepergian buah hati yang mendahului kita, meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, melimpahkan pahala dan menghapuskan dosa serta mempertemukan kita dengan semua keluarga yang telah mendahului kita di dalam jannah-Nya Azza wa Jalla yang mulia. Amin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



TEMAN BERGAUL, CERMINAN DIRI ANDA

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc



Sebenarnya, sangat mudah mengetahui seperti apa cerminan diri Anda. Cukup dengan melihat bersama siapa saja Anda sering bergaul, seperti itulah cerminan diri Anda. Kenyataan ini telah dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ

Seorang mukmin cerminan dari saudaranya yang mukmin [1]

Kalau seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.

Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh (jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda:

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah) [2]

Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman [3]

Sudah dapat dipastikan, bahwa seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.

Syaikh 'Abdul Muhsin Al-Qâsim [4] berkata, "Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْفَخْرُ وَالْخُيَلاَءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing [5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa terpengaruh .… maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat? Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? [6]

Setelah mengetahui betapa pentingnya memilih teman yang baik, di sini akan dipaparkan sifat dan karakter orang yang pantas dijadikan sebagai teman dan sahabat karib. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Berakidah Lurus
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ'ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?

Ya, dalam keadaan terbaring dan menghadapi detik-detik kematian, ada tiga orang yang menyertainya. Mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Jahl dan 'Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang terakhir ini adalah tokoh kaum kafir Quraisy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya dengan berseru, "Paman! Katakanlah lâ ilâha illallâh! Satu kalimat yang akan ku jadikan bahan pembelaan bagimu di hadapan Allah." Dua tokoh kafir itu menimpali, "Abu Thalib! Apakah kamu membenci agama Abdul-Muththalib?"

Tanpa henti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam "menawarkan" kalimat itu dan sebaliknya mereka berdua juga terus melancarkan pengaruh. Sampai akhirnya Abu Thalib masih enggan mengucapkan lâ ilâha illallâh dan tetap memilih agama Abdul-Muththalib.[7] Ia pun mati dalam kekufuran.

Cobalah lihat buruknya pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hatinya.

2. Bermanhaj Lurus
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid'ah dan ahlul-hawa'. Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, "Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid'ah )."[8]

3. Taat Beribadah Dan Menjauhi Perbuatan Maksiat
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah, pada waktu pagi dan petang, (yang mereka itu) menginginkan wajah-Nya [al-Kahfi/18: 28]

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan, "Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allâh, yang ber-tahlîl (mengucapkan lâ ilâha illallâh), memuji, ber-tasbiih (mengucapkan subhaanallah), bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar) dan memohon pada-Nya di waktu pagi dan petang di antara hamba-hamba Allâh, baik mereka itu orang-orang miskin atau orang-orang kaya, baik mereka itu orang-orang kuat maupun orang-orang yang lemah."

4. Berakhlak Terpuji Dan Bertutur Kata Baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya [9]

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah berkata, "Kami dulu selalu mengikuti Qais bin 'Ashim. Melalui dirinya, kami belajar kesabaran dan kemurahan hati sebagaimana kami belajar ilmu fikih."[10]

5. Teman Yang Suka Menasehati Dalam Kebaikan
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?

Salah satu ciri orang yang tidak rugi sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla pada surat al-'Ashr, mereka saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri [11]

6. Zuhud Terhadap Dunia Dan Tidak Berambisi Mengejar Kedudukan
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu."[12]

7. Banyak Ilmu Atau Dapat Berbagi Ilmu Dengannya
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.

8. Berpakaian Yang Islami
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, "Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh."[13]

9. Ia Selalu Menjaga Kewibawaan Dan Kehormatan Dirinya Dari Hal-Hal Yang Tidak Layak Menurut Pandangan Masyarakat
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.

Betapa indah ucapan Imam Syâfi'i rahimahullah :

لَوْ أَنَّ اْلمَاءَ اْلبَارِدَ يَثْلَمُ مِنْ مُرُوْءَتِيْ شَيْئًا مَا شَرِبْتُ اْلمَاءَ إلاَّ حَارًّا

Seandainya air yang dingin merusak kewibawaanku (kehormatanku), maka saya tidak akan minum air kecuali yang panas saja [14]

10. Sosok Yang Tidak Banyak Bergurau Dan Meninggalkan Hal-Hal Yang Tak Bermanfaat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara ciri baiknya keislaman seseorang, dia meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat baginya [15]

Memang kelihatannya agak sulit mendapatkan teman ideal sesuai dengan pemaparan di atas. Akan tetapi, dengan idzin Allah Azza wa Jalla kemudian dengan usaha yang kuat serta doa kepada Allah, kita akan mendapatkan orang-orang seperti itu.

Catatan Penting :
Perlu menjadi catatan, melalui keterangan di atas yang menganjurkan mencari teman yang berlatar-belakang baik, bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang-orang di sekitar kita. Bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang kafir, ahlul-bid'ah, orang-orang fasik dan orang-orang berkarakter buruk lainnya. Akan tetapi, pergaulan dengan mereka mesti dilandasi keinginan dan niat untuk mendakwahi dan memperbaiki mereka.

Dalam masalah ini, kita harus melihat dan mempertimbangkan sisi kemaslahatan (kebaikan) dan madharat (bahaya) yang akan terjadi pada diri kita dan orang orang lain di sekitar kita pada saat kita bergaul dengan mereka. Jika pergaulan kita dengan mereka mendatangkan manfaat yang besar bagi mereka, maka kita boleh bergaul dengan mereka. Begitu pula sebaliknya, jika tidak mendatangkan manfaat tetapi justru mendatangkan bahaya, maka bergaul dengan mereka menjadi perkara larangan.

Simaklah keterangan Syaikh Muhammad al-'Utsaimîn rahimahullah berikut, "Jika di dalam pergaulan dengan orang-orang fasik menjadikan sebab datangnya hidayah baginya, maka tidak mengapa berteman dengannya. Engkau bisa undang dia ke rumahmu, kamu datang ke rumahnya atau kamu jalan-jalan bersamanya, dengan syarat tidak mengotori kehormatan dirimu dalam andangan masyarakat. Betapa banyak orang-orang fasik mendapatkan hidayah dengan berteman dengan orang-orang yang baik."[16]

Di tengah masyarakat, jika Anda tidak memilih teman yang baik, maka tinggal pilih; Andakah yang akan mempengaruhi orang-orang untuk menjadi lebih baik atau Andakah menjadi korban pengaruh buruk lingkungan (kawan-kawan) Ingat! Tidak ada pilihan yang ketiga.

Wallâhul muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



MENJALIN CINTA ABADI DALAM RUMAH TANGGA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA



Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini merupakan perwujudan rasa cintanya kepada mereka. Kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah Azza wa Jalla tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" [Ali 'Imrân/3:14]

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…" [at-Taghâbun/64:14]

Makna "menjadi musuh bagimu" adalah melalaikan kamu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla [1] .

SALAH MENEMPATKAN ARTI CINTA DAN KASIH SAYANG
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.

Ketika menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdur rahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…" [2] .

Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ

"Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka"[3].

CINTA SEJATI YANG ABADI
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak hanya diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu adalah pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.

Karena pentingnya hal ini, Allah Azza wa Jalla mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu" [at-Tahrîm/66:6]

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: "(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu"[4] .

Syaikh Abdur rahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla . Maka, seorang hamba tidak akan selamat dari siksaan neraka kecuali jika dia benar-benar melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla (dalam ayat ini) kepada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya"[5] .

Demikian juga dalam hadits yang shahîh ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhu masih kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Hekh….hekh" agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah? [6]" . Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut [7] .

Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya teratasi, baik masalah antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun dengan sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) [asy-Syûra/42:30]

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan: "Sungguh, ketika aku bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla , maka aku melihat pengaruh buruk perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…"[8] .

Barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah Azza wa Jalla semata-semata, dengan cara saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa [az-Zukhruf/43:67]

Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah Azza wa Jalla . Maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya [9] .

Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla ini seorang hamba – dengan izin Allah Azza wa Jalla – akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa [al-Furqân/25:74]

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: "Allah Azza wa Jalla akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya. Demi Allah Azza wa Jalla , tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang Muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Azza wa Jalla "[10] .

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.

Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



sumber:     http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment