Monday, January 7, 2013

MENDALAMI AL-QUR'AN TIDAK SULIT





MENDALAMI AL-QUR'AN TIDAK SULIT

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthofa, Lc



Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? [al-Qomar/54:17]


TAFSIR AYAT:
Al-Qur`ân adalah cahaya yang menerangi umat manusia di dunia ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabbmu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur`ân) [an-Nisâ/4:174]

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, "Tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur`ân al-‘Azhîm merupakan cahaya yang diturunkan Allâh k ke dunia untuk menjadi sumber pelita. Melalui cahaya itu, diketahui perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang berbahaya serta perkara hidayah dan kesesatan". [1]

JAMINAN DARI ALLAH AZZA WA JALLA, MEMPELAJARI AL-QUR’AN DIMUDAHKAN
Inilah jaminan dari Allâh Azza wa Jalla yang tertuang dalam surat al-Qomar ayat 17:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? . [al-Qomar/54:17]

Allâh Azza wa Jalla mengulang-ulang ayat ini empat kali dalam surat yang sama. Taisîr (pemberian kemudahan) yang ditegaskan oleh Allâh Azza wa Jalla mencakup kemudahan dalam membaca, menghafalkan, memahami dan mengamalkannya.[2]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, "(Maksudnya) Kami sudah memudahkan lafazhnya, dan Kami sudah memudahkan (memahami) maknanya bagi siapa saja yang menghendaki agar manusia dapat mengambil pelajaran. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran dari al-Qur`ân yang sudah Allâh Azza wa Jalla mudahkan untuk dihafal dan dimengerti"? [3]

Kemudian Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengutip ayat lain yang menunjukkan makna yang sama, bahwa Allâh Azza wa Jalla telah memudahkan memahami al-Qur`ân bagi siapa saja yang punya niat baik untuk mempelajarinya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân itu untuk bahasamu agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur`ân itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. [Maryam/19:97]

Adz-dzikru dalam ayat cakupannya luas, mencakup segala yang akan menghasilkan pelajaran bagi orang-orang yang beramal, seperti pengetahuan tentang hukum halal dan haram, amar ma’ruf nahi munkar, nasehat, nasehat, aqidah, dan berita yang jujur.[4]

Oleh karena itu, ilmu (yang berkaitan dengan) al-Qur`ân merupakan ilmu yang paling mudah dan paling agung secara mutlak, merupakan ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba mencarinya (mempelajarinya) akan diberi pertolongan. Sebagian Ulama Salaf mengatakan tentang ayat ini: “Apakah ada orang yang mau belajar ilmu (al-Qur`ân), sehingga mendapatkan pertolongan (dalam mempelajarinya)”. [5]

Secara mu’allaq, Imam al-Bukhâri rahimahullah menuliskan atsar dari Mathar al-Warrâq rahimahullah dan Qotâdah rahimahullah dengan shîghah jazm :

هَلْ مِنْ طَالِبِ عِلْمٍ فَيُعَانُ عَلَيْهِ؟

“Apakah ada seorang pencari ilmu (agama), yang nantinya akan mendapatkan pertolongan (dalam mempelajarinya)?"

Dengan penjelasan singkat ini, dapat diketahui kesalahaan pandangan yang menyatakan mempelajari dan mengetahui kebenaran merupakan perkara sulit atau kebenaran itu masih kabur, belum begitu jelas. Ini adalah syubhat iblisiyah (yang dilontarkan Iblis) untuk memalingkan manusia dari mencari kebenaran.[6]

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, "Apabila maksud mereka bahwa mempelajari keduanya (al-Qur`ân dan Sunnah) merupakan perkara sulit, tidak mampu dilakukan siapapun, ini pernyataan batil. Sebab mempelajari al-Qur`ân dan Sunnah jauh lebih mudah ketimbang mempelajari ra`yu dan ijtihad yang banyak tersebar (di kitab-kitab Ulama). Allâh Azza wa Jalla telah mengulang-ulang beberapa kali firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`ân untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?"[7] [al-Qomar/54:17]

Al-Qur`ân adalah kitab yang telah dimudahkan untuk membaca dan memahaminya –karena kemudahan yang Allâh Azza wa Jalla berikan- bagi orang-orang yang mendapatkan taufi dari Allâh Azza wa Jalla untuk beramal. “Barang siapa memperhatikannya (al-Qur`ân), Allâh Azza wa Jalla benar-benar akan memudahkan mewujudkan apa yang diinginkannya” [8] .

Mempelajari al-Qur`ân dan Sunnah di masa sekarang juga semakin mudah dibandingkan di masa lalu. Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah menegaskan, "Hendaknya engkau tahu bahwa mempelajari Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa sekarang jauh lebih mudah daripada di masa-masa permulaan Islam, karena adanya kemudahan dalam mengetahui segala hal yang berkaitan dengannya, seperti masalah nâsikh dan mansûkh, âm dan khâsh, pemilahan hadits shahih dan lemah. Masalah-masalah tentang itu sudah teliti, dirapikan dan dibukukan. Jadi, semuanya dapat dijangkau dengan mudah hari ini.

Tentang setiap ayat al-Qur`an, telah diketahui hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengannya, termasuk perkataan para Sahabat, Tabiin, dan penafsiran Ulama-ulama besar dalam bidah tafsir.

Seluruh hadits Nabi telah dihafalkan dan dibukukan, dan telah diketahui kondisi matan-matan dan sanad-sanadnya, serta cacat dan kelemahan yang ada dalam jalur periwayatannya…"[9]

Namun, kemudahan dan kemajuan teknologi tidak akan bermanfaat banyak bila orang tidak (belum) tergerak untuk mengambil kesempatan dan memanfaatkannya untuk kebaikan agamanya. Atau dalam bahasa yang lebih jelas lagi, kondisi yang mendukung tersebut melahirkan sifat malas dan berpangku-tangan pada sebagian orang.

Mari kita perhatikan nasehat Syaikh Muhammad al-Basyîr al-Ibrâhîmi rahimahullah :

رُبَّ تَيْسِيْرٍ جَلَبَ التَّعْسِيْرَ فَإِنَّ هَذاَ التَّيْسِيْرَ رَمَى الْعُقُولَ باِلْكَسَلِ وَالْأَيْدِيَ بِالشَّلَلِ

Berapa banyak kemudahan malah mendatangkan kesulitan. (Hal ini) karena kemudahan itu membuat akal untuk bermalas-malasan dan membuat tangan menjadi cacat

KEBENARAN ITU JELAS [10]
Kebenaran dari Allâh Azza wa Jalla itu bersifat jelas. Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur`an untuk (menjadi) pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?. [al-Qomar/54:17].

Allâh Azza wa Jalla telah memudahkan lafazh-lafazhnya untuk dibaca dan memudahkan maknanya untuk dipahami. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itu jelas. Dan di antara keduanya (perkara halal dan haram terdapat hal-hal yang mengandung syubhat (ketidakjelasan hukum) [11]

Oleh karena itu, kebatilan biasanya mudah merasuk pada diri orang yang tidak berilmu dan tidak berpengetahuan tentang agama, serta tidak punya perhatian terhadap nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah serta perkataan para Sahabat dan Tabi'in.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Sesungguhnya terjadinya perselisihan pendapat yang berlawanan (dengan kebenaran), tiada lain karena kedangkalan pengetahuan mereka tentang ajaran yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ". [12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Kebenaran dapat diketahui setiap orang. Sesungguhnya kebenaran yang menjadi misi diutusnya para rasul tidak kabur pada pandangan orang yang mengetahuinya, sebagaimana antara emas yang murni dan emas palsu tidak kabur bagi seorang yang teliti"[13]

Al-jahl bid dîn (kebodohan tentang agama) itulah yang menyebabkan ajaran Syiah yang digagas ‘Abdullâh bin Saba yang merupakan keturunan Yahudi, sebuah ajaran yang paling menyesatkan- laris (dapat diterima) oleh sebagian kaum Muslimin. [14]

YANG DIBUTUHKAN, KESERIUSAN MENCARI KEBENARAN SETELAH TAUFIK DARI ALLAH AZZA WA JALLA
‘Allâmah Shiddîq Hasan Khân t mengatakan, "Kebenaran hanyalah akan diketahui oleh insan yang memenuhi lima sifat: yang paling agung, ikhlas, memahami, bersifat inshâf (adil), ke empat yang paling sedikit terpenuhi dan paling banyak hilang- berusaha kuat mengetahui al-haqq (kebenaran), serta semangat tinggi untuk mendakwahkannya".[15]

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, "Dengan ini engkau telah tahu wahai orang Muslim, engkau wajib tekun dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui berbagai cara yang bermanfaat lagi menghasilkan dan kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang telah Allâh Azza wa Jalla ajarkan kepadamu".[16]

Marilah memperhatikan penggalan terakhir ayat di atas. Allâh mengundang para hamba-Nya untuk memperhatikan, menghayati dan mengambil pelajaran dari al-Qur`ân.

Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Adhwâul Bayân 7/3435
[2]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 905
[3]. Tafsir Ibni Katsir 7/478
[4]. Lihat Tafsir as-Sa’di hlm. 905
[5]. Ibid.
[6]. Ash-Shawârifu ‘anil Haqqi hlm. 14
[7]. Adhwâul Bayân 7/435
[8]. Tafsir as-Sa’di hlm. 905
[9]. Adhwâul Bayân 7/436-437
[10]. Dikutip dari ash-Shawârif ‘anil Haqqi hlm. 9
[11]. Muttafaqun a’laih
[12]. I'lâmul Muwaqqi'în 1/79
[13]. Majmû Fatâwâ 27/315-316
[14]. Lihat ash-Shawârif ‘anil Haqqi hlm. 10
[15]. Qathfu ats-Tsamari fi Bayâni Aqîdati Ahlil Atsar hlm. 175
[16]. Adhwâul Bayân 7/437



MENELADANI NABI IBRAHIM ALAIHISSALLAM

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan jin dan manusia dan mengujinya dengan berbagai kenikmatan-Nya yang agung dan anugerah-Nya yang megah. Sebagian manusia ada yang baik dan bersemangat dalam memanfaatkannya, dan sebagian lagi ada yang lalai terhadap apa yang telah menjadi kewajibannya.

Di antara ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, yaitu agar mereka berittiba` (mengikuti) Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para nabi berada di atas agama yang sama, yakni bertauhid; dengan beribadah semata-mata hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun dengan syariat yang mungkin berbeda. Sehingga, mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bagian dari mengikuti jejak para nabi dan sekaligus dibarengi dengan kecintaan terhadap mereka. Apabila seorang hamba meyakini bahwa seluruh nabi adalah sebaik-baik manusia ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka adalah hamba-hamba yang berhak mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka ia juga akan menyakini pentingnya arti meneladani para nabi. Terlebih hal itu telah dipertegas oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur`ân)." Sesungguhnya Al-Qur`ân itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat". [al-An'âm/6 : 90].

Melalui firman-Nya, Al-Qur`ân, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kisah para nabi dalam banyak ayat. Yang terbaik di antara mereka mendapat sebutan sebagai ulul-‘azmi di kalangan para rasul, dan sebaik-baik mereka adalah al-khalilân (dua kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kisah-kisah tersebut bukan sesuatu yang sia-sia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman. [Yûsuf/12 ayat 111].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya: Dan semua kisah dari rasul-rasul yang Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hûd/11 ayat 120]

Demikian juga dengan kisah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam. Namun, sebelum kita mengkaji sebagian kisah perjalanan hidup Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita perhatikan dengan seksama.[1]

Pertama :Manhaj nabawi yang diwariskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tazkiyatun-nufûs (pensucian jiwa) adalah manhaj seluruh nabi. Bahkan itu merupakan salah satu rukun kenabian dan merupakan tugas utama yang dipikul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini pula yang telah menjadi rukun utama dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallamsebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Lihat surat al-Baqarah/2 ayat 127-129.

Kedua : Tazkiyatun-nufûs merupakan prinsip dasar dalam mewujudkan kehidupan secara Islami berlandaskan manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menggapai kebahagiaan hakiki.

Ketiga : Metode pendidikan modern yang dianggap mampu memberikan jalan keluar bagi banyak problematika ternyata menjadi senjata tajam yang justru dapat membahayakan umat Islam dalam semua sisi kehidupan mereka, lantaran metode tersebut kerap kali berseberangan dengan manhaj yang diterapkan oleh para nabi atas umat mereka dengan bimbingan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Keempat : Memahami dengan baik manhaj para nabi dalam tazkiyatun-nufûs dapat memberikan gambaran tentang kelurusan aqidah, kesabaran ibadah, kemuliaan akhlak, keindahan mu'amalah, keteguhan prinsip, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala , pembahasan kali ini terdapat beberapa pelajaran tarbiyah dan nilai tazkiyatun-nufûs yang dipetik dari kisah perjalanan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam .

BEBERAPA PELAJARAN PENTING DARI PEMAPARAN KISAH NABI IBRÂHÎM ALAIHISSALLAM
Keteguhan Ibrâhîm Alaihissallam Dalam Mendakwahkan Tauhid Kepada Ayahnya.
Unsur terpenting dalam proses penyucian jiwa ialah dengan menegakkan tauhidullah, menjadikannya sebagai pilar utama sehingga mempengaruhi unsur-unsur lain dalam jiwa. Apabila tauhid seseorang baik, maka baik pula unsur lainnya. Demikian sebaliknya, apabila tauhid seseorang buruk, hal itupun akan sangat berpengaruh dalam setiap gerak langkah kehidupannya. Dan kita berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan taufik dan petunjuk-Nya.

Dalam mempelajari perjalanan hidup Nabi Ibrâhîm Alaihissallam, kita akan mendapatkan diri beliau sebagai insan yang sangat teguh dan gigih dalam menegakkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung, yakni tauhid. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa moment, di antaranya:

a. Dakwah Tuhid Kepada Ayah Beliau Alaihissallan Dengan Sabar Dan Penuh Santun.
Al-Hâfihz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata,"Penduduk negeri harran adalah kaum musyrikin penyembah bintang dan berhala. Seluruh penduduk bumi adalah orang-orang kafir kecuali Ibrâhîm Alaihissallam , isterinya, dan kemenakannya, yaitu Nabi Luth Alaihissallam . Ibrâhîm Alaihissallam terpilih menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghapus kesyirikan tersebut dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahkan kepadanya kegigihan sejak masa kecilnya. Beliau diangkat menjadi Rasul, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya sebagai kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala pada masa berikutnya.[2]

Awal dakwah tauhid yang beliau Alaihissallam tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya, karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat".[3]

Syaikh as-Sa`di rahimhahullah berkata,"Ibrâhîm Alaihissallam adalah sebaik-baik para nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , … yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan kenabian pada anak keturunnya. Dan kepada mereka diturunkan kitab-kitab suci. Dia telah mengajak manusia menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala , bersabar terhadap siksa yang ia dapatkan (dalam perjalanan dakwahnya), ia mengajak orang-orang yang dekat (dengannya) dan orang-orang yang jauh, ia bersungguh-sungguh dalam berdakwah terhadap ayahnya bagaimanapun caranya…”.[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; "Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”. [Maryam/19:42].

Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan syirik yang dilakukannya?![5] Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

Dan permintaan ampun dari Ibrâhîm (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrâhîm bahwa ayahnya adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka Ibrâhîm berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. [at-Taubah/9 : 114].

Dalam usaha yang lain, Ibrâhîm berdialog dengan ayahnya:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Âzar:[6] "Layakkah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kekeliruan yang nyata". [al-An'âm/6 ayat 74].

Syaikh as-Sa'di berkata,"Dan ingatlah (terhadap) kisah Ibrâhîm Alaihissallam manakala Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji dan memuliakannya saat ia berdakwah mengajak kepada tauhid dan melarang dari berbuat syirik.”[7]

Demikian, perjuangan dakwah tauhid yang disampaikan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kepada kaumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai bagian dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang akan selalu dibaca dan dipelajari secara seksama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan (ingatlah) Ibrâhîm, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. [al-Ankabût/29 ayat 16].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkabarkan tentang hamba-Nya, Rasul dan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam sang imam para hunafâ`, bahwa ia Alaihissallam berdakwah mengajak kaumnya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan-Nya dalam ketakwaan, memohon rizki hanya kepada-Nya, dan mengesakan-Nya dalam bersyukur"[8]

Keteguhan dakwah tauhid yang diperjuangkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat al-Anbiyâ`/21 ayat 51-56. Dan dalam beberapa ayat disebutkan, bahwa dakwah tauhid kepada ayah dan kaumnya dilakukan secara bersamaan, seperti tersebut dalam surat asy-Syu`arâ/26 ayat 69, ash-Shâffât/37 ayat 84.

b. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam Tegar Dan Tabah Menghadapi Ujian Dan Siksaan.
Sikap ini tercermin dalam kisah beliau Alaihissallam saat berdakwah mengajak manusia untuk bertauhid dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala , namun kebanyakan menolaknya dengan penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ini menjadi teladan bagi setiap dai dalam mengajak manusia menuju jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala . Kisah ketabahan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam diabadikan dalam Al-Qur`ân melalui firman-firman-Nya. Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya, namun Nabi Ibrâhîm Alaihissallam tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Lihat ayat-ayat dalam surat ash-Shâffât/37 ayat 95-98, al-Ankabût/29 ayat 22-25, al-Anbiyâ`/21 ayat 68-69.

Ath-Thabari membawakan riwayat yang sanadnya sampai kepada as-Suddi rahimahullah, ia berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah rumah. Mereka mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang sedang sakit bernadzar dengan mengatakan 'sungguh jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan bagiku kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Ibrâhîm'. Setelah kayu bakar terkumpul menjulang tinggi, mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari tumpukkan itu, sehingga apabila ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan hangus terbakar. Mereka mendatangi Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kemudian mengusungnya sampai di puncak tumpukan tinggi kayu bakar tersebut". Riwayat lain menyebutkan, ia diletakkan dalam ujung manjanîq.

Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit, bumi, gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya Ibrâhîm akan dibakar karena (memperjuangkan hak-Mu)”

Nabi Ibrâhîm berkata, "Ya, Allah, Engkau Maha Esa di atas langit, dan aku sendiri di bumi ini. Tiada seorangpun yang menyembah-Mu di atas muka bumi ini selainku. Cukuplah bagiku Engkau sebaik-baik Penolong".[9]

Mereka lantas melemparkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ke dalam tumpukan kayu bakar yang tinggi, kemudian diserukanlah (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala): “Wahai api, jadilah dingin dan selamat bagi Ibrâhîm”.[10]

Kemudian ath-Thabari dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka membawakan riwayat Ibnu 'Abbas dan Abu al-'Aliyah, dan keduanya berkata: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan 'dan selamat bagi Ibrâhîm,' niscaya api itu akan membinasakan Ibrâhîm Alaihissallam dengan dinginnya”.[11]

c. Yakin Terhadap Kebesaran Allah Azza wa Jalla
Pada saat Nabi Ibrâhîm diletakkan di ujung manjanîq, ia dalam keadaan terbelenggu dengan tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam ke dalam api, dan ia pun berkata: "Cukuplah Allah Azza wa Jalla bagi kami, dan Dia sebaik-baik Penolong".

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(cukuplah Allah Azza wa Jalla bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong)" telah diucapkan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam tatkala ia dilemparkan ke dalam api.[13]

Demikianlah, Nabi Ibrâhîm Alaihissallam sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan dan perlindungan Allah Azza wa Jalla , karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah Azza wa Jalla yang terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala .

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Berada Di Atas Segalanya

a. Kisah dalam hijrah bersama Hajar dan Ismail[14]
Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi Ibrâhîm Alaihissallam membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon rindang)[15] di atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga tidak ada sumber air.

Nabi Ibrâhîm Alaihissallam meninggalkan jirâb, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk menyimpan makanan.[16] Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga meninggalkan siqâ` (wadah air)[17] yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrâhîm Alaihissallam berpaling dan pergi. Hajar mengikutinya sembari berkata: “Wahai, Ibrâhîm! Kemana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali, namun Ibrâhîm tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian Hajar pun bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan engkau dengan ini?”

Ibrâhîm menjawab,“Ya.”

Mendengar jawaban itu, maka Hajar berkata: "Jika demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan meninggalkan kami”. Lantas Hajar kembali menuju tempatnya semula. Adapun Ibrâhîm, ia terus berjalan meninggalkan mereka, sehingga sampai di sebuah tempat yang ia tak dapat lagi melihat isteri dan anaknya. Ibrâhîm pun menghadapkan wajah ke arah Baitullah seraya menengadahkan tangan dan berdoa: Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. [Ibrâhîm /14 ayat 37].

b. Kisah Penyembelihan Ismail.
Nabi Ibrâhîm Alaihissallam berdoa: "Wahai Rabb-ku, karuniakanlah untukku anak yang shalih," maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kabar gembira kepadanya dengan kehadiran seorang anak yang mulia lagi penyabar. Dan tatkala anak itu saat mulai beranjak dewasa berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata kepadanya: "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?"

Isma'il menjawab: "Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar".

Saat keduanya telah berserah diri dan Ibrâhîm membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya: "Wahai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) 'Kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Ibrâhîm'. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mukminin. Lihat Qs. ash-Shâffât/37 ayat 99-111.

Di dalam tafsir Qurthubi[18] dan Baghawi[19] disebutkan riwayat Ibnu 'Abbas, beliau berkata:
Ibrâhîm dan Isma'il … keduanya taat, tunduk patuh terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ingatlah, renungkanlah kisah itu … ketika keduanya akan melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan tulus dan tabah sang anak berkata:

يَا أَبَتِ اشْدُدْ رِبَاطِيْ حَتَّى لاَ أَضْطَرِبَ....

Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.

وَاكْفُفْ عَنِّي ثِيَابَكَ حَتَّى لاَ يَنْتَضِحَ عَلَيْهَا مِنْ دَمِّيْ شَيْءٌ فَيَنْقُصَ أَجْرِيْ وَتَرَاهُ أُمِّيْ فَتَحْزَنُ....

Wahai Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tidak mengotori baju engkau maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) Bunda melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih

وَيَا أَبَتِ اسْتَحِدَّ شَفْرَتَكَ وَأَسْرِعْ مَرَّ السِّكِّيْنِ عَلَى حَلْقِيْ لِيَكُوْنَ أَهْوَنُ عَلَيَّ فَإِنَّ الْمَوْتَ شَدِيْدٌ....

Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu amat dahsyat.

وَإِذَا أَتَيْتَ أُمِّيْ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنِّيْ.... وَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تَرُدَّ قَمِيْصِيْ عَلَى أُمِّيْ فَافْعَلْ....

Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada Bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah.

فَقَالَ لَهُ إِبْرَاهِيْمُ : نِعْمَ الْعَوْنُ أَنْتَ يَا بُنَيَّ عَلَى أَمْرِ اللهِ تَعَالَى....

(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: "Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ".

Ibnu Katsir rahimauhllah berkata:[20] “Ini adalah ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kekasih-Nya (yakni Ibrâhîm Alaihissallam ) untuk menyembelih putranya yang mulia dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. (Ujian ini terjadi) setelah Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail masih menyusui di tempat yang gersang, sunyi tanpa tumbuhan (yang dimakan buahnya), tanpa air dan tanpa penghuni. Ia taati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, meninggalkan isteri dan putranya yang masih kecil dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka kemudahan, jalan keluar, serta limpahan rizki dari arah yang tiada disangka. Setelah semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi dengan perintah-Nya untuk menyembelih putranya sendiri, yaitu Ismail Alaihissallam . Dan tanpa ragu, Ibrâhîm menyambut perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dan segera mentaatinya. Beliau Alaihissallam menyampaikan terlebih dahulu ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut kepada putranya, agar hati Ismail menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan. Subhanallâh…

c. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ibrâhîm untuk Berkhitan.
Pada saat Ibrâhîm Alaihissallam telah mencapai umur senja (delapan puluh tahun), ia diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa perintah, di antaranya agar beliau berkhitan. Sebagaimana hadits Abi Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً

Ibrâhîm Alaihissallam berkhitan di usia beliau delapan puluh tahun. [21]

Beliau Alaihissallam berkhitan dengan pisau besar (semisal kampak). Meskipun terasa sangat berat bagi diri beliau Alaihissallam , namun hal itu tidak pernah membuatnya merasa ragu terhadap segala kebaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala . Bahkan dalam sebuah riwayat, Ali bin Rabah Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa : “Beliau (Ibrâhîm Alaihissallam) diperintah untuk berkhitan, kemudian beliau melakukannya dengan qadum. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan 'Engkau terburu-buru sebelum Kami tentukan alatnya'. Beliau mengatakan: 'Wahai Rabb, sungguh aku tidak suka jika harus menunda perintah-Mu'.”[22]

d. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Untuk Membangun Ka`bah.

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrâhîm di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh," [al-Hajj/22 : 26-27].

Dalam Shahih Bukhâri[23] disebutkan, bahwasanya Ibrâhîm Alaihissallam berkata: “Wahai anakku, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan aku sesuatu”.

Ismail Alaihissallam menjawab: “Lakukanlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada engkau”.

Ibrâhîm Alaihissallam bertanya: “Apakah engkau (akan) membantuku?”
Ismail Alaihissallam menjawab: “Ya, aku akan membantu engkau”.

Ibrâhîm Alaihissallam berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan aku untuk membangun disini sebuah rumah". (Nabi Ibrâhîm Alaihissallam mengisyaratkan tanah yang sedikit tinggi dibandingkan dengan yang ada di sekelilingnya). Saat itulah keduanya membangun pondasi-pondasi. Dan Ismail Alaihissallam membawa kepada ayahnya batu-batu dan Ibrahim Alaihissallammenyusunnya. Sehingga, ketika telah mulai tinggi, ia mengambil batu dan diletakkan agar Ibrahim Alaihissallamdapat naik di atasnya. Demikian, dilakukan oleh keduanya, dan mereka berkata:

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-Baqarah/2:127].

PELAJARAN DARI KISAH NABI IBRÂHÎM ALAIHISSALLAM
Dari pemaparan kisah-kisah di atas, banyak pelajaran penting dan berharga yang dapat dipetik, di antaranya:

1. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala yang amat taat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala , sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai hamba yang sangat disayangi.

2. Pilar utama upaya tazkiyyatun-nufûs adalah dalam hal tauhid. Dan berdakwah menyeru kepada tauhid merupakan amanat yang dipikul para nabi, dan sekaligus menjadi panutan bagi setiap dai.

3. Kesabaran dalam mendakwahkan tauhid dan ketabahan dalam menghadapi ujian di jalan itu, harus dilakukan sesuai dengan cara yang dicontohkan oleh para rasul Alaihissallam.

4. Yakin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam mengarungi kehidupan.

5. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hal terpenting di atas segalanya. Ketulusan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kebahagiaan. Maka selayaknya kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakannya diiringi doa memohon taufik serta kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .

6. Segala contoh kebaikan telah ada pada diri para Rasul Alaihissallam yang harus selalu menjadi suri tauladan bagi kita dalam setiap hal. Wallahul Musta`ân

Marâji`:
1. Al-Bidayah wan-Nihayah, Ismail bin 'Umar bin Katsîr. Tahqîq: Dr. 'Abdullah 'Abdul-Muhsin at- Turki, 1417 H.
2. Al-Jâmi'u li Ahkâmil-Qur`ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1427 H.
3. Al-Mu`jamul-Wasîth, Makatabtusy-Syurûq, Cetakan 2.
4. Fathul Qadîr, Muhammad bin Ali asy-Sayukani, Dârul-Fikr, 1414 H.
5. Jami'ul-Bayân fi Ta`wîlil-Qur`ân, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Cetakan Dârul- Kutubil-'Ilmiyah, 1426 H.
6. Ma`alimut-Tanzîl, Abu Muhammad bin Mas'ûd al-Baghawi, Cetakan Dârul-Ma`rifah, 1413 H.
7. Musnadul-Imâmi Ahmad, Ahmad bin Hanbal, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1420 H.
8. Shahîh Bukhâri dengan Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al `Asqalâni, Cetakan Dârus-Salâm, 1421 H.
9. Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, Syaikh Salim bin 'Id al Hilali, Cetakan Gharras.
10. Tafsîrul-Qur`ânil-Azhîm, Isma'il bin 'Umar bin Katsîr, Cetakan Mu’assatur-Rayyân.
11. Taisîrul-Karîmil-Mannân fî Tafsîrîl-Karîmir-Rahmân, Syaikh 'Abdurrahmân as-Sa`di, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1417 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Disadur dari kitab Manhajul-Anbiyâ` fii Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, hlm. 8-9.
[2]. Lihat Qs. al-Anbiyâ`/21 ayat 51, yang artinya: Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun) dan kami mengetahui (keadaan)nya. Juga firman Allah dalam surat an-Nisâ`/ 4 ayat 125, yang artinya: Dan Allah menjadikan Ibrâhîm sebagai kesayangan-Nya.
[3]. Al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz 1, hlm. 326.
[4]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 443.
[5]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 444.
[6]. Para ulama berbeda pendapat tentang nama ayah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam. Namun yang benar –Insya Allah- bahwa namanya adalah yang tertera dalam ayat ini. Lihat Tafsir ath-Thabari dalam ayat ini (5/240). Lihat juga Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, Syaikh Salim al-Hilali, hlm. 106.
[7]. Tafsir as-Sa`di, hlm. 224.
[8]. Tafsir Ibnu Katsîr, Juz 3, hlm. 536.
[9]. Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan riwayat ini dalam Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 483.
[10]. Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hlm. 43.
[11]. Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hlm. 43, dan Tafsir Ibnu Katsîr, Juz 3, hlm. 246.
[12]. Manjanîq, ialah alat pelempar batu besar jarak jauh. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 131 dan 140.
[13]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 8, hlm. 288, no. 4563.
[14]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 478, no. 3364.
[15]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 302.
[16]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 114.
[17]. Lihat al-Mu`jamul-Wasîth, hlm. 436.
[18]. Tafsir al-Qurthubi, Juz 18, hlm. 69.
[19]. Tafsir al-Baghawi, Juz 4, hlm. 33.
[20]. Shahîh Qashashil-Anbiyâ`, hlm. 132.
[21]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri (Juz 6, hlm. 468, no. 3356), Musnad Ahmad (Juz 14, hlm. 34-35).
[22]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 472.
[23]. Shahîh Bukhâri dan Fathul-Bâri, Juz 6, hlm. 480-481, no. 3364.



UMMI, BETAPA AGUNG PERANMU!

Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni MA


Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum agama Islam, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun [an-Nisâ'/4:124]

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97] [1]

Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka.[2]

Syaikh Shâlih al-Fauzân –hafizhahullâh- berkata, "Wanita Muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga banyak tugas (yang mulia dalam Islam) yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi k selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita [3] , bahkan beliau n menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam khutbah beliau di ‘Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…[5] .

TUGAS DAN PERAN WANITA
Agungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn berkata: "Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat, hal ini karena upaya memperbaiki kondisi masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:

Pertama: Perbaikan kondisi di luar rumah, yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar rumah. Perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar rumah.

Kedua: Perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah. Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzâb/33:33]

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan bahwa sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari jumlah masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:

1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : .…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat.

2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, dan ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam memperbaiki masyarakat.[6]

Inilah makna ucapan seorang penyair yang berkata:

اْلأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا
أَعْدَدْتَ شَعْباً طَيِّبَ الأَعْرَاقِ
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya

Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]

BAGAIMANA SEORANG WANITA MEMPERSIAPKAN DIRINYA AGAR MENJADI PENDIDIK YANG BAIK BAGI ANAK?
Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:

1. Berusaha Memperbaiki Diri Sendiri.
Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

فَاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ

Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa.[8]

Maka, kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menentukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para Ulama sangat menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirîn rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”[9]

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allahk , yaitu Nabi kita Muhammad bin `Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ

Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para Sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing). [Ali ‘Imrân/3:101]

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan al-Bashri rahimahullah [10] , ketika Khâlid bin Shafwân rahimahullah [11] menerangkan sifat-sifat Hasan al-Bashri rahimahullah kepada Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah [12] dengan berkata, “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya. Kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah berkata, “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?” [13]

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah [14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri. Sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati, maka akan mudah masuk ke dalam hati orang yang mendengarnya.” [15]

2. Menjadi Teladan Yang Baik Bagi Anak-Anak.
Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, akan tetapi kami jelaskan secara terpisah karena sangat penting.

Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para Ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan. [16]

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan. [17]

Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla menceritakan kisah-kisah para Nabi Alaihissallam yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Azza wa Jalla untuk meneguhkan hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan mengambil teladan yang baik dari mereka.[18] Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hûd/11:120]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata, "Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini secara tidak langsung merupakan pendidikan yang berupa praktek nyata bagi anaknya untuk mengarahkannya kepada penyimpangan akhlak dan memalingkannya dari pendidikan, baik yang membuahkan hasil terpuji berupa kesadaran untuk memakai hijab pakaian yang menutup aurat, menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta memiliki rasa malu. Inilah yang dinamakan dengan 'pengajaran pada fitrah manusia' ".[19]

Sehubungan dengan hal ini, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan seorang Ulama Salaf yang terkenal, Ibrâhîm al-Harbi [20]. Dari Muqâtil bin Muhammad al-'Ataki, beliau berkata, “Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishâk Ibrâhîm al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku, "Mereka ini anak-anakmu?". Ayahku menjawab, "Ya". Beliau berkata kepada ayahku, "Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah Azza wa Jalla , sehingga menyebabkan wibawamu jatuh di mata mereka."[21]

3. Memilih Metode Pendidikan Yang Baik Bagi Anak
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah berkata, "Yang menentukan keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan taufik dari Allah Azza wa Jalla . Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta berusaha menempuh metode pembinaan yang sesuai syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalâq/65:4] [22]

Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya sebelum mereka mencapai usia dewasa. Hal itu agar mereka terbiasa dalam ketaatan.

Imam Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits yang shahîh ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhu masih kecil,[23] beliau menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah, bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu) yaitu perbuatan yang diharamkan dalam agama, meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat. Tujuannya adalah agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. [24]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Contoh pembinaan awal yang diharamkan dalam Islam adalah memakaikan anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat. Hal ini menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut sampai dewasa. Padahal, pakaian tersebut menyerupai pakaian orang-orang kafir, menampakkan aurat dan merusak kehormatan."[25]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah ketika ditanya, “Apakah diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab, "Sudah diketahui bahwa anak kecil yang umurnya di bawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan) bagi auratnya, akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek dan menampakkan aurat seperti ini tentu akan membuat mereka terbiasa membuka aurat setelah dewasa. Bahkan, bisa jadi seorang anak setelah dewasa tidak malu menampakkan pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya… Maka menurut pandanganku anak-anak harus dilarang memakai pakaian seperti ini, meskipun mereka masih kecil. Hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan jauh dari pakaian yang dilarang dalam agama."[26]

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam syairnya:

Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang tuanya

Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.[27]

Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan:
"Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan terus melakukannya" [28] .

4. Kesungguhan Dan Keseriusan Dalam Mendidik Anak
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Anak-anak adalah amanah (titipan Allah Azza wa Jalla) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan mereka. Maka, syariat Islam mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan mendidik mereka berdasarkan petunjuk agama Islam, serta mengajarkan kepada mereka hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban pertama yang hendaknya diajarkan kepada mereka adalah menanamkan ideologi tentang iman kepada Allah Azza wa Jalla , para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul Alaihissallam, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah Azza wa Jalla yang baik dan buruk, juga memperkokoh pemahaman tauhid yang murni dalam jiwa mereka, agar menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian, mengajarkan rukun-rukun Islam pada diri mereka, selalu menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan bakat-bakat mereka yang baik, menumbuhkan pada watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang buruk.

Inilah rambu-rambu pendidikan Islam yang diketahui dalam agama ini secara pasti oleh setiap Muslim. Karena pentingnya hal itu, para Ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk menjelaskannya)…bahkan metode pendidikan seperti ini termasuk petunjuk para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para Ulama salaf)." [29]

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah menekankan pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau, "Pada masa awal pertumbuhan anak-anak, yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu. Maka, jika sang ibu memiliki akhlak dan perhatian yang baik kepada mereka, tentu mereka akan tumbuh dan berkembang dengan baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi perbaikan masyarakat Muslim.

Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan perhatian besar kepada anaknya dan kepada upaya mendidiknya dengan pendidikan yang baik. Jika dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut.

Dan tidak pantas seorang ibu bersikap pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada), dengan mengatakan, "Orang lain sudah terbiasa melakukan kesalahan dalam masalah ini dan aku tidak bisa merubah keadaan ini."

Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan buruk ini, maka nantinya tidak akan ada perbaikan, sebab dalam perbaikan harus ada upaya merubah yang buruk dengan cara yang baik, bahkan merubah yang sudah baik menjadi lebih baik lagi supaya semua keadaan kita benar-benar menjadi baik.

Di samping itu, sikap pasrah pada kenyataan buruk yang ada adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaumnya yang berbuat syirik (bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala, memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap orang lain tanpa alasan yang benar, pada waktu itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap pasrah pada kenyataan yang ada, bahkan Allah Azza wa Jalla sendiri tidak mengizinkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap pasrah pada kenyataan buruk tersebut. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang musyrik" [al-Hijr/15:94]."[30]

PENUTUP
Demikianlah, semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada para wanita Muslimah agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam Islam, dan agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam mendidik generasi muda Islam serta dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1429/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat keterangan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul fadhîlah hlm. 17
[2]. Lihat kitab Al-Mar'ah, Baina Takrîmil Islâm Wa Da'âwât Tahrîr. hlm. 6
[3]. Misalnya dalam HSR al-Bukhâri no. 3153 dan Muslim no. 1468
[4]. Dalam HSR Muslim no. 1218
[5]. Kitab At-Tanbîhât 'Alâ Ahkâmin Takhtashshu Bil Mu'minât hlm. 5
[6]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtamâ' hlm. 3-4
[7]. Dinukil oleh Syaikh Shaleh al-Fauzân dalam kitab Makânatul Mar-ati Fil Islâm hlm. 5
[8]. Dinukil oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab At-Tawassul, 'Anwâ'uhu Wa Ahkâmuhu hlm. 74
[9]. Muqaddimah Shahîh Muslim 1/12
[10]. Beliau adalah imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari Ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 6/95 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ 4/563
[11]. Beliau adalah Abu Bakr Khâlid bin Shafwân bin al-Ahtam al-Minqari al-Bashri, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab Siyar A’lâmin Nubalâ’ 6/226
[12]. Beliau adalah Maslamah bin `Abdil Mâlik bin Marwân bin al-Hakam (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin `Abdul Azîz rahimahullah dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 27/562 dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ 5/241
[13]. Siyar A’lâmin Nubalâ' 2/576
[14]. Beliau adalah Muhammad bin Wâsi’ bin Jâbir bin al-Akhnas al-Azdi al-Bashri (wafat 123 H), seorang imam dari kalangan tabi’in ‘junior’ yang taat beribadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam kitab Shahîh Muslim. Biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 26/576 dan Siyar A’lâmin Nubala’ 6/119
[15]. Kitab Siyar A’lâmin Nubalâ’ 6/122
[16]. Lihat Al-Mu'in 'Ala Tahshîli Adabil 'Ilmi hlm. 50 dan Ma'âlim Fî Tharîqi Thalabil 'Ilmi hlm. 124
[17]. Lihat keterangan Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di dalam tafsir beliau hlm. 271
[18]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 2/611
[19]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 127-128
[20]. Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrâhîm bin Ishâk bin Ibrâhîm bin Basyîr al-Baghdâdi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam Siyar A'lâmin Nubala' 13/356
[21]. Kitab Shifatush Shafwah 2/409
[22]. Kutubu Wa Rasâ-ilu Syaikh Muhammad bin Shâleh al-'Utsaimîn 4/14
[23]. HSR al-Bukhâri no. 1420 dan Muslim no. 1069
[24]. Fathul Bâri 3/355
[25]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 10
[26]. Kitab Majmû'atul As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 146
[27]. Kitab Adabud Dunya Wad Dîn hlm. 334
[28]. Dinukil dan dibenarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimîn dalam Majmû'atul As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 43
[29]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 122
[30]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtama' hlm. 14-15



JUAL BELI YANG DIHARAMKAN


Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya seorang diri. Dia membutuhkan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun sandangnya. Ini berarti, diperlukan sistem agar seseorang bisa mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya dari orang lain dengan tanpa merugikan siapapun. Dalam Islam ada beberapa transaksi yang bisa dilakukan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan manusia, di antaranya adalah jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan gadai. Masing-masing transaksi ini memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang disimpulkan (dirumuskan) oleh para Ulama dari berbagai nash (rujukan) yang menjelaskan tentang hal itu, baik dari al-Qur’ân, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun praktek para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Dalam edisi ini, fokus pembicaraan kita adalah masalah jual-beli yang diharamkan. Hukum jual beli yang semula mubâh (boleh) ini bisa berubah menjadi haram, jika salah satu di antara syarat sah jual beli tidak ada atau karena kondisi tertentu saat akad jual beli itu berlangsung.

SYARAT JUAL-BELI
Syarat-syarat keabsahan jual-beli meliputi syarat pelaku akad dan syarat barang.
Pertama, Syarat orang yang melakukan akad jual-beli :

1. Keduanya sama-sama ridha, tidak ada unsur paksaan. Jika salah satu di antara mereka terpaksa, maka akad jual-beli itu tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ’/4:29]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Jual beli itu hanya bisa jika didasari dengan keridhaan masing-masing [HR. Ibnu Hibbân, Ibnu Mâjah dan yang lain] [1]

Kecuali jika alasan pemaksaan itu bisa dibenarkan. Misalkan, seorang hakim yang memaksa orang yang memiliki tanggungan hutang untuk menjual barang-barang yang dia miliki untuk melunasi hutangnya. Maka ini diperbolehkan

2. Orang yang melakukan akad jual-beli itu adalah orang yang berwenang (berhak) melakukannya menurut syariat Islam. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang disebut berwenang jika dia memiliki empat sifat yaitu merdeka, baligh, berakal sehat dan rasyîd.[2] Berdasarkan ini, maka akad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kriteria ini dinyatakan tidak sah.

Bagaimana dengan akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah, mengatakan : “Transaksi yang dilakukan oleh orang pandir dan anak kecil itu tidak sah tanpa idzin walinya, meskipun dia sudah remaja, berusia 14 tahun, cerdas dan bagus dalam jual-beli.” Beliau rahimahullah berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ’/4:6] [3]

Dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, ketika menjelaskan hukum akad yang dilakukan anak kecil, penulis membedakan antara akad yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz (mampu membedakan) dan yang belum mumayyiz. Anak yang belum mumayyiz, jika melakukan akad jual-beli maka akadnya tidak sah. Sedangkan untuk yang sudah mumayyiz, para Ulama’ berbeda pendapat :

Pertama : Jual beli yang dilakukannya tidak sah, baik dengan idzin wali apalagi tanpa idzin. Ini merupakan pendapat syâfi’iyyah juga dibawakan oleh Abu Tsaur rahimahullah

Kedua : Jika wali memberikan idzin, maka akad jual-belinya sah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad, Ishâq, Abu Hanîfah, ats-Tsauriy. Sementara Ibnul Mundzir rahimahullah mengaitkan pendapat Imam Ahmad dan Ishâq dengan barang-barang yang kecil saja.

Ketiga : Boleh meskipun tanpa idzin. Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah.

Kemudian penulis mengatakan bahwa pendapat yang râjih tentang hukum transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz yaitu tidak sah. Lalu penulis membawakan dalil yang sama dengan dalil yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah. Kemudian penulis menutup pembicaraan tentang ini dengan menukilkan perkataan Imam asy-Syaukâni rahimahullah dalam As-Sailul Jarâr : “Namun jika anak kecil itu memiliki wali dan walinya mengidzinkan dia untuk melakukan transaksi, maka idzin wali inilah yang dianggap bukan sekedar transaksi ini. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan para wali untuk menuliskan atas nama dia dan Allah Azza wa Jalla mengalihkan transaksi yang dilakukan anak kecil ke walinya. Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekannya, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan jujur. [al-Baqarah/2:282]

3. Pemilik atau sebagai wakil dari pemilik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu :

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu [HR Ahmad, 3/402, 434; Abu Dâwud no. 3503; an-Nasâ’i, 7/289; at-Tirmidzi dalam bab Buyû’, no. 1232 dan Ibnu Mâjah, no. 2187] [4]

Dengan demikian, kalau ada orang yang melakukan akad jual beli pada barang yang bukan miliknya, maka akad itu tidak sah, meskipun yang melakukan transaksi itu seorang bapak pada barang yang menjadi hak milik anaknya.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan: “Jika ada yang berkata: Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Kamu dan hartamu adalah milik orang bapakmu.” Kami katakan : ‘Benar, namun jika seorang bapak hendak menjual harta benda anaknya, maka hendaklah dia memilikinya terlebih dahulu, kemudian setelah menjadi hak miliknya baru dijual.”

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh membawakan sebagian contoh jual-beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki barang yaitu, seorang pembeli datang kepada seorang pedagang untuk mencari suatu barang. Sedangkan barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang atau si penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.

Jual-beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, jika barang yang diinginkan itu sudah ditentukan [5]

Kedua : Syarat Barang Yang Diperjual Belikan
1. Barang yang diperjual belikan itu merupakan barang yang secara mutlak boleh dimanfaatkan menurut syari’at dalam segala kondisi. Ini berarti, jual-beli barang yang diharamkan menurut syari’at itu tidak sah. Misalnya jual beli khamr, babi, alat-alat musik, bangkai dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأََصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung [Muttafaq ‘alaih]

Dalam hadits Abu Daud :

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan khamer dan hasil penjualannya, mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya, mengharamkan babi dan hasil penjualannya. [HR Abu Dâwud, no. 3485, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Juga tidak boleh memperjualbelikan minyak yang najis ataupun yang tercampur najis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah telah mengharamkan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan hasil penjualannya [HR Abu Dâwud dan Ahmad]

Dalam sebuah hadits yang disepakati keshahîhannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ

Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai ? sesungguhnya lemak ini bisa dipergunakan untuk mengecat perahu, melembabkan kulit dan menyalakan lampu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak boleh. Itu barang haram.”

2. Barang yang diperjualbelikan itu bisa diserahterimakan. Karena menjual barang yang tidak bisa diserahterimakan sama saja dengan tidak ada, sehingga tidak sah diperjualbelikan. Misalnya, jual-beli binatang yang lepas, burung di udara, barang yang dirampas, sementara yang memiliki tidak mampu mengambilnya.

3. Barang dan alat tukarnya sudah diketahui oleh dua orang yang melakukan transaksi jual-beli. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan, “Banyak cara untuk mengetahui sesuatu; bisa dengan melihat, mendengar, mencium, mencicipi, menyentuh dan menjelaskan sifat-sifatnya.[6]
Jika terjadi transaksi, padahal salah satu pelaku transaksi tidak mengetahui barangnya atau alat tukarnya, berarti ada ketidaktahuan dan ketidaktahuan (ketidakjelasan) itu adalah gharar. Sementara jual-beli yang mengandung unsur gharar yang berpotensi menimbulkan perselisihan dilarang dalam Islam dan tidah sah. Namun jika unsur gharar (ketidakjelasan-pent) ini sedikit, sehingga tidak berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, maka jual-beli itu sah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Larangan jual beli dengan gharar ini termasuk dasar yang penting dari dasar-dasar jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim meletakkan hadits di awal. Yang termasuk dalam jual-beli dengan gharar ini banyak sekali, tidak terhitung, seperti menjual budak yang melarikan diri, menjual sesuatu yang tidak ada, menjual sesuatu yang tidak diketahui (dengan jelas-pent), menjual sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi hak milik si penjual, menjual ikan yang masih dalam air yang banyak, susu yang masih dalam perut, janin yang masih dalam perut induknya, menjual setumpuk makanan yang belum jelas, menjual salah satu kambing (yang tidak ditentukan-pent) yang berada di antara sekelompok kambing, atau salah satu kain (tanpa ditentukan-pent) yang berada dalam tumpukan kain-kain dan yang semisalnya. Semua akad jual-beli ini batal, karena jual-beli dengan gharar yang tidak diperlukan.” [7]

Dalam kitab Al-Majmû’, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Berdasarkan hadits ini, hukum asal dari jual-beli dengan gharar itu batil. Maksudnya jual-beli yang nyata-nyata ghararnya ada, padahal gharar ini bisa dihindari. Sedangkan gharar yang diperlukan serta tidak bisa dihindari, seperti (gharar atau tidak mengetahui-pent) pondasi rumah dan yang semisalnya, maka jual-beli ini sah berdasarkan ijmâ’”[8]

Dengan memahami syarat ini juga kita akan mengetahui ketidakhalalan akad pada barang yang tidak jelas, seperti jual-beli mulâmasah (sentuhan). Misalnya, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau sentuh, maka engkau bisa membayarnya dengan harga sekian.”

Jual beli munâbadzah, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau lemparkan kepadaku, maka akan saya bayar dengan harga sekian.”

Dalam sebuah hadits shahîh, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengatakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli mulâmasah dan jual beli munâbadzah [HR al-Bukhâri, no. 2146 dan Muslim, no. 3780]

Itulah bebebrapa syarat jual-beli, jika salah satu di antara syarat-syarat ini tidak ada, maka akad jual-beli itu tidak sah dan digolongkan ke dalam jual-beli yang terlarang.

JUAL BELI YANG TERLARANG KARENA KONDISI SAAT TERJADI AKAD
Hukum asal dari jual-beli itu adalah mubâh (boleh), berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]

Dan berdasarkan dalil-dalil lain yang menunjukkan jual-beli itu mubâh. Terkadang hukum mubâh ini bisa berubah menjadi sunat bahkan wajib, jika itu satu-satunya cara untuk mewujudkan kemaslahatan. Namun terkadang juga, berubah menjadi haram karena ada persyaratan yang kurang atau terkadang persyaratan jual beli sudah lengkap, namun tetap terlarang dalam syari’at, disebabkan akad jual-beli ini mengakibat si pelaku meninggalkan sesuatu yang wajib atau terjerumus kepada suatu yang diharamkan. Misalnya, jual-beli yang dilakukan setelah adzan shalat jum’at atau menjual suatu yang halal namun si pembeli akan menggunakannya untuk suatu yang diharamkan.

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan : “Allah Azza wa Jalla membolehkan para hamba-Nya untuk berjual-beli selama tidak menyebabkan si hamba meninggalkan atau mengabaikan suatu yang lebih bermanfaat atau lebih penting seperti mengganggu pelaksanaan kewajiban atau menyakiti orang lain.

Oleh karena itu, tidak sah, akad yang dilakukan oleh orang yang berkewajiban melaksanakan shalat jum’at dan dilakukan setelah adzan kedua. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. [al-Jum’ah/62:9] [9]

Beliau juga hafizhahullah mengatakan : “Begitu juga dengan shalat-shalat fardhu lainnya, tidak boleh terlalaikan dari melaksanakan kewajiban-kewajiban ini oleh jual-beli setelah adzan dikumandangkan.”[10]

Beliau hafizhahullah mengatakan : “Begitu juga tidak boleh menjual sesuatu kepada orang yang diketahui bahwa dia akan menggunakannya untuk berbuat maksiat pada Allah Azza wa Jalla atau pada suatu yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu tidak boleh menjual sari buah pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamer, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Mâidah/5:2]

Dan ini termasuk menolong mereka.

Juga tidak boleh dan tidak sah menjual senjata pada saat fitnah sedang berkecamuk di tengah kaum Muslimin, supaya tidak dijadikan senjata untuk membunuh kaum Muslimin. Begitu juga hukum menjual berbagai alat perang lainnya pada saat kondisi seperti ini, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Mâidah/5:2]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Dalil-dalil syari’at menjelaskan bahwa tujuan dalam akad itu diperhitungkan. Tujuan-tujuan ini dapat mempengaruhi sah atau tidaknya suatu akad, halal atau tidak. Senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang diketahui akan mempergunakannya untuk membunuh seorang Muslim, hukumnya haram, bathil. Karena dalam penjualan ini terdapat unsur dukungan untuk melakukan dosa dan perbuatan zhalim. Sedangkan jika dia menjualnya kepada orang yang diketahui akan memanfaatkannya untuk berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla , berarti itu adalah sebuah ketaatan dan perbuatan taqarrub. Begitu juga, tidak boleh menjual senjata kepada orang yang memerangi kaum Muslimin atau mempergunakannya untuk merampok. Karena ini termasuk saling menolong dalam maksiat.”

Demikianlah beberapa akad jual-beli yang diharamkan dalam syari’at kita. Semoga bermanfaat, Wallâhu a’lam bisshawâb.

Marâ’ji’ :
1. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Shâlih Fauzân al-Fauzân, Cet. I Dârul ‘Ashimah
2. Asy-Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn, Cet. Dâr Ibnul Jauzi
3. Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, DR. Ali Ahmad an-Nadwi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, no. 2180 dan Ibnu Hibbân no. 4967 (lihat Al-Mulakhhash Al-Fiqhiy, Syaikh Shâlih Fauzân, 2/9)
[2]. Rasyiid maksudnya pandai dalam mengelola harta bendanya, tidak menghamburkannya pada hal-hal yang diharamkan atau pada suatu yang tidak mendatangkan manfaat (Lih. Syarhul Mumti’, 8/110)
[3]. Syarhul Mumti’, 8/110
[4]. Syarhul Mumti’, 8/128
[5]. Dikutip dari Majalah as-Sunnah, 03/IX/1426 H/2005 M, hlm. 4
[6]. Syarhul Mumti’, 8/128
[7]. Syarah Shahîh Muslim, 10/156-157. Lihat Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, 1/308
[8]. Al-Majmû’Syarhul Muhadzzab, 9/310-311. Lihat Jamharatul Qawâ’idil Fiqhiyyah Fil Mu’âmalâtil Mâliyyah, 1/308
[9]. Al-Mulakhkhas al-Fiqhi, 2/12
[10]. Al-Mulakhkhas al Fiqhi, 2/12



sumber:     http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment