Monday, February 24, 2014

Keutamaan Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala



Keutamaan Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

Dari ‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190); at-Tirmidzi (no. 3375). Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu Majah (no. 3793) dan lafazh ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no. 29944); Al-Baihaqi (III/371)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan al-Hâkim (I/495) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)

SYARAH HADITS
Ibnu Hibban[1] meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .’”

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” [al-Ahzâb/33:41-42]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, "... Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“[al-Ahzâb/33:35]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ

"al-Mufarridûn telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa al-Mufarridûn wahai Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allâh.”[2]

Dari hadits di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang terus-menerus berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hatinya ingat kepada Allâh Azza wa Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia termasuk orang yang bertakwa. Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada saat beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya…” [Ali ‘Imrân/3:102]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَأَنْ يُذْكَرَ فَلاَ يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكْفَرَ

Hendaklah Allâh itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.[3]

Contoh teladan kita adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaannya. Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allâh dalam setiap keadaannya.[4]

Salah seorang dari tujuh orang yang dinaungi Allâh Azza wa Jalla dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya diantaranya ialah orang yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

... وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ...

“… Dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya …”[5]

Hati orang-orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak akan tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya dan jiwa orang-orang yang rindu kepada-Nya tidak tenang kecuali ingin berjumpa dengan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya dalam setiap keadaan dan memuji orang-orang yang berdzikir. Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka.’” [Ali ‘Imrân/3:191]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir dalam jihad, berperang menghadapi musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyak-banyak (berzikir dan berdo'a) agar kamu beruntung.” [al-Anfâl/8:45]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan dzikir sesudah shalat :

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allâh ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring…” [an-Nisâ’/4:103]

Yang dimaksud shalat pada ayat ini adalah shalat khauf (shalat pada saat takut). Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ/4:103]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir sesudah melaksanakan ibadah haji. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu...” [al-Baqarah/2:200]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan juga berdzikir ketika kita sedang duduk atau berada di majelis.

مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ الله فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

Barangsiapa duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, pastilah dia mendapatkan kerugian dari Allâh, dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allâh, pastilah mendapatkan kerugian dari Allâh.[6]

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَلَهُمْ.

Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allâh dan tidak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka. Maka jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksa mereka dan jika menghendaki, Dia akan mengampuni mereka.”[7]

مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

Setiap kaum yang bangkit dari suatu majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, maka selesainya majelis itu seperrti bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kamat).[8]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir dengan dzikir yang banyak pada saat mencari nafkah dan sesudah shalat jum’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.” [al-Jumu’ah/62:10]

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menggabungkan antara usaha mencari karunia (mencari nafkah) dengan banyak dzikir kepada-Nya. Oleh karena itu, ada hadits tentang keutamaan dzikir di pasar-pasar dan tempat-tempat melalaikan seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ دَخَلَ السُّوْقَ فَقَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِـيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ

Barangsiapa memasuki pasar, sedang di dalamnya ada sesuatu yang diteriakkan dan diperjual-belikan kemudian berkata, ‘Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kerajaan dan pujian milik-Nya. Dia menghidupkan, mematikan, Mahahidup, dan tidak mati. Seluruh kebaikan ada di Tangan-Nya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ maka Allâh menulis baginya satu juta kebaikan, menghapus satu juta kesalahan darinya, dan mengangkat satu juta derajat baginya [9].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan yang besar dalam berdzikir di pasar, karena pasar adalah tempat yang banyak orang berbohong, menipu, sumpah palsu, dan maksiat-maksiat lainnya. Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allâh, maka ia berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar dia menggerakkan mulutnya, itu lebih baik.”[10]

DZIKIR SIANG DAN MALAM
Sebagaimana diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin berdzikir kepada-Nya setiap siang dan malam sebanyak lima kali dengan cara mendirikan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain kelima shalat tersebut, Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan mereka berdzikir sebanyak-banyaknya. Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat agar manusia berdzikir kepada-Nya (mengingat Allâh) dan juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan shalat-shalat sunnah, dan mengisi waktu-waktunya dengan amal-amal yang wajib dan sunnah agar manusia senantiasa ingat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâha/20:14]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman yang artinya, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allâh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [al-‘Ankabût/29:45]

Al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat itu mencakup dua hal : (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan kemungkaran, artinya mengerjakan shalat dengan rutin bisa mengantarkan kepada sikap meninggalkan hal-hal tersebut... (kedua) shalat mencakup pula upaya mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , inilah tuntutan terbesar”[11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya dalam shalat terdapat (dua hal): (Pertama) menolak sesuatu yang dibenci-yaitu perbuatan keji dan mungkar-, dan (Kedua) mewujudkan sesuatu yang dicintai, yaitu dzikir (mengingat) Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Kemudian, tercapainya sesuatu yang dicintai ini lebih besar daripada menolak hal yang dibenci tersebut. Karena dzikirullâh Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu ibadah yang semata-mata karena Allâh, dan ibadah hati kepada Allâh adalah tujuan inti yang diinginkan. Adapun tertolaknya kejelekan dari hati, maka hal itu dimaksudkan karena selain-Nya, yaitu sebagai penyerta saja.”[12]

Maksudnya apabila ia ikhlas dalam berdzikir dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka perbuatan keji dan munkar akan tertolak dari hatinya. Wallaahu a’lam.

Dzikir dengan lisan, disyariatkan di semua waktu dan disunnahkan di sebagian waktu dengan sunnah mu-akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).

Dzikir-dzikir dilakukan dengan hati dan lisan. Hati mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dan lisan melafadzkan dzikir-dzikir tersebut, dan anggota tubuh melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Misalnya, lafadz Lâ ilâha illallâh, seseorang yang mengucapkan lafadz ini harus tahu tentang makna Lâ ilâha illallâh, hatinya wajib meyakini bahwa Allâh satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, semua sesembahan yang disembah oleh manusia adalah batil. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh. Kemudian seorang hamba wajib melaksanakan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allâh saja dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.

Oleh karena itu, dzikir merupakan amal. Hal itu tampak di dalam al-Qur'ân, bagaimana amal-amal shalih itu senantiasa disertai dzikir.

Lâ ilâha illallâh yang merupakan syahadat adalah dzikir paling afdhal (utama).

Di antara waktu berdzikir yang ditekankan ialah berdzikir setelah shalat wajib lima waktu yaitu berdzikir sebanyak seratus kali. Dzikirnya berbentuk tasbih yaitu membaca سُبْحَانَ الله (33x), tahmîd yaitu membaca ِاَلْـحَمْدُلِلَّـه (33x), takbir yaitu membaca اَللَّـهُ أَكْبَر (33x), dan ditutup dengan

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

Dzikir juga disunnahkan setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar. Jadi, dzikir pagi disyariatkan setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Dzikir sore disyari’atkan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Kedua waktu ini adalah waktu siang yang paling baik untuk berdzikir. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin berdzikir i kedua waktu tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. [al-Ahzâb/33:42]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan sebutlah nama Rabbmu pada (waktu) pagi dan petang [al-Insân/76:25]

Juga firman-Nya, yang artinya, "…Dan sebutlah (nama) Rabb-mu banyak-banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi hari.“ [Ali ‘Imrân/3:41]

Juga firman-Nya, yang artinya, "…Allâh mewahyukan kepada mereka, ‘Bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.’“ [Maryam/19:11]

Juga firman-Nya, yang artinya, "Maka bertasbihlah kepada Allâh pada petang hari dan pada pagi hari (waktu subuh).” [ar-Rûm/30:17]
Juga firman-Nya, yang artinya, " … Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu petang dan pagi.”[Ghâfir/40:55]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Dzikir yang paling baik yang dikerjakan di kedua waktu tersebut ialah sesudah shalat Shubuh dan shalat Ashar yang merupakan shalat paling utama, shalat Ashar yang disebut juga shalat wustha. Barangsiapa yang menjaga kedua shalat tersebut (Shubuh dan Ashar), maka ia masuk Surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ

Barangsiapa yang menjaga kedua shalat (Shubuh dan Ashar) maka ia masuk Surga.[13]

Dzikir pagi sesudah shalat Shubuh dan dzikir sore sesudah shalat Ashar. Dzikir di kedua waktu ini lebih baik dari amal lainnya, kemudian sesudah (berdzikir) itu membaca al-Qur'ân. Dzikir-dzikir dan do'a-do'adi pagi dan sore hari yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali.[14]

Waktu lainnya setelah kedua waktu tersebut ialah malam hari. Oleh karena itu, tasbih dan shalat malam hari disebutkan di al-Qur'ân setelah kedua waktu tersebut.

Jika setelah shalat Isya’ ia ingin tidur, ia disunnahkan tidur dalam keadaan suci dan berdzikir. Ia bertasbih, bertahmid, bertakbir, sebanyak seratus kali seperti diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib z dan Fathimah x . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keduanya berbuat seperti itu jika hendak tidur, dilanjutkan dengan dzikir-dzikir menjelang tidur yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzikir-dzikir menjelang tidur itu bervariasi, misalnya membaca al-Qur'ân, dan berdizkir kepada Allâh. Setelah itu, ia baru tidur.[15]

Jika ia bangun di tengah malam dan berubah posisi di ranjangnya, hendaklah ia berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla setiap kali ia berubah posisi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang bangun dari tidurnya kemudian berkata :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian milik-Nya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allâh, segala puji bagi Allâh, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh, Allâh Maha Besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allâh

، ثُمَّ قَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِيْ ، أَوْ قَالَ : ثُمَّ دَعَا اسْتُجِيْبَ لَهُ ، فَإِنْ عَزَمَ وَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ صَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتَهُ .

Kemudian berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku,’ –atau beliau bersabda, kemudian ia berdo'a-, maka do'anya dikabulkan. Jika ia berwudhu kemudian shalat, maka shalatnya diterima.”[16]

Seorang suami bangun untuk shalat malam kemudian dia membangunkan istrinya untuk shalat maka keduanya termasuk orang yang banyak berdzikir . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا –أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَ مِنَ الذَّاكِرِيْنَ الله كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

Apabila seorang suami membangunkan istrinya di malam hari, lalu keduanya shalat –atau masing-masing melakukan shalat dua rakaat- maka keduanya dicatat sebagai laki-laki dan wanita yang banyak mengingat Allâh.[17]

Kemudian selesai tahajjud dan witir hendaknya beristighfar pada waktu sahur, karena Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

(Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. [Ali ‘Imrân/3:17]

Jika fajar telah terbit, ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat kemudian mengerjakan shalat Shubuh. Setelah itu, ia sibuk dengan dzikir yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai matahari terbit seperti telah disebutkan.

Barangsiapa kondisinya seperti itu, maka lidahnya tidak henti-hentinya basah oleh dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia berdzikir ketika hendak tidur, ketika badan berbolak-balik di tempat tidur, kemudian mulai berdzikir lagi ketika bangun tidur. Ini bukti kebenaran cinta kepada Allâh Azza wa Jalla .

Dan urusan agama dan dunia yang pertama kali dikerjakan seseorang di pertengahan malam dan siang, maka sebagian besar darinya disyariatkan dzikir dengan nama Allâh. Dzikir dengan nama Allâh dan memuji-Nya disyariatkan ketika ia makan, minum, berpakaian, melakukan hubungan suami-istri, masuk rumah, keluar rumah, masuk dan keluar kamar mandi, naik kendaraan, menyembelih, dan lain sebagainya.

Ia disyariatkan memuji Allâh Azza wa Jalla ketika bersin, berlindung dan memohon keselamatan ketika melihat orang-orang yang diuji dalam agama dan dunia, mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang Muslim, menjenguk dan mendo'akan mereka ketika sakit, memuji Allâh Azza wa Jalla ketika mendapatkan nikmat baru yang ia sukai dan hilangnya sakit yang dibencinya. Yang paling sempurna dari itu semua adalah ia memuji Allâh pada saat suka, duka, krisis, dan dapat rezeki. Jadi ia memuji Allâh dalam semua keadaan dan kondisi.

Ia disyariatkan berdzikir dan berdo'akepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk pasar, mendengar suara kokok ayam di malam hari, mendengar petir, hujan turun, angin bertiup kencang, melihat bulan, dan melihat pohon pertama kali berbuah.

Ia juga disyari’atkan berdzikir dan berdo'a kepada Allâh ketika sakit, mendapatkan musibah, ketika akan keluar untuk bepergian, berhenti di tempat-tempat dalam perjalanannya dan ketika tiba dari perjalanan dan dzikir-dzikir lainnya.

Ia disyariatkan berlindung kepada Allâh ketika marah, melihat sesuatu yang tidak disukainya di dalam mimpinya, mendengar suara anjing dan keledai di malam hari.

Ia disyariatkan istikhârah (meminta pilihan) kepada Allâh ketika menginginkan sesuatu yang ia belum memiliki pilihan di dalamnya.

Seorang Muslim diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk segera bertaubat kepada-Nya dan istighfar dari seluruh dosa, dosa-dosa besar maupun kecil. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

Barangsiapa melakukan dzikir mulai bangun tidur sampai ia tidur kembali, dan ia melakukan semua itu dengan konsisten, ikhlas dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka lidahnya akan terus menerus basah oleh dzikir kepada Allâh dalam semua kondisi.

Seorang Mukmin hendaknya menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla, berdo’a, berdzikir, mencari nafkah, menuntut ilmu, dan lainnya. Dan yang paling mudah yaitu berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , karena seorang Mukmin dapat berdzikir dimana saja dan kapan saja bisa dilakukan ketika ia berjalan, berkendaraan, naik bis, kereta, ketika menunggu bis dan kereta atau angkutan umum. Lisan ini harus selalu basah dengan berdzikir kepada Allâh kepada setiap waktu dan hal ini mudah dan ringan, bisa dilakukan oleh setiap Mukmin dan Mukminah. Bahkan seorang mukminah dia bisa berdzikir ketika menggendong anaknya, menyusui anaknya, atau ketika masak dan lainnya.

KEUTAMAAN DZIKIR
Dengan dzikir, hati akan menjadi tenang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh hati menjadi tentram. [ar-Ra’d/13:28]

Diriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُُنَبِّئُكُمْ بِخَيرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ ؟ قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : (( ذِكْرُاللهِ تَعَالَى))

Maukah kamu aku tunjukkan amalan yang terbaik dan paling suci di sisi Rabbmu, dan paling mengangkat derajatmu, lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata, “Mau wahai Rasûlullâh!” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir kepada Allâh Yang Maha Tinggi.”[18]

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ ، مَثَلُ الْـحَيِّ وَ الْـمَيِّتِ

Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir kepada Rabbnya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati [19]

FAEDAH ATAU MANFAAT DZIKIR (MENGINGAT ALLAH AZZA WA JALLA)
Manfaat dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla banyak sekali, di antaranya yaitu:
1. Mengusir setan, menundukkan dan mengenyahkannya.
2. Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati.
3. Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan dalam hati.
4. Melapangkan rizki dan mendatangkan barakah.

5. Membuahkan ketundukan, yaitu berupa kepasrahan diri kepada Allâh dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allâh dengan cara berdzikir, maka dalam keadaan seperti apapun dia akan kembali kepada Allâh dengan hatinya, sehingga Allâh menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.

6. Membuahkan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allâh, maka sejauh itu pula kedekatannya kepada Allâh, dan seberapa jauh ia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkannya dari Allâh.

7. Membuat hati menjadi hidup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, "Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan, maka bagaimana keadaan yang akan terjadi pada ikan seandainya berpisah dengan air ??? "

8. Membersihkan hati dari karatnya, karena segala sesuatu ada karatnya dan karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini adalah dengan taubat dan istighfar.

9. Hamba yang mengenal Allâh, dengan cara berdo'adan berdzikir saat lapang, maka Allâh akan mengenalnya disaat ia menghadapi kesulitan.

10. Menyelamatkannya dari adzab Allâh sebagaimana yang dikatakan Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan dia memarfu'kannya " Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allâh, selain dari dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla "[20].

11. Menyebabkan turunnya ketenangan, datangnya rahmat dan para Malaikat mengelilingi orang yang berdzikir, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

12. Menyibukkan lisan dari melakukan ghibah, adu domba, dusta, kekejian dan kebathilan.

Sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk berbicara yang baik, jika bicaranya bukan dzikir kepada Allâh, tetapi berupa hal-hal yang diharamkan ini, maka tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dengan dzikir kepada Allâh.

Cukup banyak pengalaman dan kejadian yang membuktikan hal ini. Siapa yang membiasakan lidahnya untuk berdzikir, maka lidahnya lebih terjaga dari kebathilan dan perkataan yang sia-sia. Namun siapa yang lidahnya tidak pernah mengenal dzikir, maka kebathilan dan kekejian banyak terucap dari lidahnya.

13. Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan di hari kiamat. Karena majlis yang didalamnya tidak ada dzikir kepada Allâh, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.

14. Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.[21]

Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba yang ikhlas dan banyak berdzikir yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Ibnu Hibbân (no. 815-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[2]. HR. Muslim (no. 2676).
[3]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4]. Shahih: HR. Muslim (no. 373), Abu Dâwud (no. 18), at-Tirmidzi (no. 3384), dan selainnya.
[5]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 660), Muslim (no. 1031), at-Tirmidzi (no. 2391), dan Ahmad (II/439).
[6]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4856); Shahîh Abi Dâwud (III/920, no. 4065) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3380), Ahmad (II/446, 453, 481) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 74).
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4855), Ahmad (II/389), al-Hâkim (I/492), dan lainnya. al-Hâkim berkata, “Bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 77) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Ahmad (I/47), at-Tirmidzi (no. 3428, 3429), Ibnu Mâjah (no. 2235), ad-Dârimi (II/293), al-Baghawi (no. 1338), ath-Thabrani dalam ad-Du’â (no. 792-793) dari Shahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhuma. Dishahihkan oleh al-Hâkim (I/538) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 3139).
[10]. Hilyatul Auliyâ’ (IV/227).
[11]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VI/280-282) dengan diringkas.
[12]. al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121), tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 635).
[14]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, cet ke-12, Jakarta.
[15]. Baca buku Penulis Do’a dan Wirid dan Dzikir Pagi dan Petang, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[16]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3414), Ibnu Mâjah (no. 3878).
[17]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1309) dan Ibnu Mâjah (no. 1335) dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Syaikh al-Albani berkata dalam Takhrîj Hidâyatir Ruwât (II/49, no. 1194), “Isnadnya shahih. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan al-‘Iraqi.
[18]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3377), Ibnu Mâjah (no. 3790), dan al-Hâkim (I/ 496) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. Lafazh hadits ini lafazh at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[19]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6407)/Fathul Baari (XI/208).
[20]. HR. Ahmad (V/239).
[21]. Diringkas dari Shahîh al-Wâbilus Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, takhrij Syaikh Slaim bin ‘Ied al-Hilali. Lihat juga buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.

Membongkar Akar Orientalisme


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,


Setelah Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan ajaran ilahi kepada kaum Muslimin. Bangsa Arab khususnya dan kaum Muslimin umumnya menjadi umat yang bersatu seperti bangunan yang kokoh, saling melengkapi dan saling menunjang antar bagiannya. Sehingga tercipta suasana kehidupan mapan, nyaman dan mulia. Kehidupan mulia ini membuat umat-umat non Islam menyimpan kebencian dan hasad. Berlatar belakang kebencian dan dengki ada sebagian orang Yahudi dan Majusi menyebarkan dan memasukkan makar dan tipu daya. Mereka merencanakan konspirasi dengan cermat dan matang untuk menggoyang dan menghancurkan bangunan kokoh umat Islam tersebut.

Pertama kali mereka menanam ranjau-ranjau pada barisan kaum Muslimin dengan menyelundupkan dan membuat makar politik sehingga berhasil membunuh khalifah Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan membunuh khalifah Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu sepupu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus khalifah yang keempat. Makar mereka tidak berhenti sampai disini, mereka terus berusaha merongrong dan menghancurkan barisan kaum Muslimin.

Langkah kedua, setelah berhasil mencerai beraikan barisan kaum Muslimin secara politik, mereka mulai mengokohkan dan menegakkan kelompok-kelompok sesat tersebut dengan menyebarkan aqidah Yahudi, Nashrani dan Majusi serta paganisme yang rusak pada kaum Muslimin. Mereka menguatkan aqidah yang rusak ini dengan melakukan kedustaan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuat hadits-hadits palsu. Melihat gelagat dan prilaku busuk ini, kaum Muslimin tidak tinggal diam. Mereka mulai bangkit untuk melawan dan berusaha menghancurkan makar dan tipudaya mereka ini. Mereka menyatukan barisan setelah al-Hasan bin Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu mengalah dan menyerahkan tumpuk kepemimpinan kaum Muslimin kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu . Akhirnya urusan kaum Muslimin mulai teratur kembali dan barisan mereka bersatu lagi secara politik.[1]

Demikianlah umat Islam selalu menghadapi perang fisik dan pemikiran dengan para musuhnya. Para musuh Islam ini ingin menundukkan negara dan merampas tanah kaum muslimin serta aqidah mereka bukan karena dosa dan kesalahan yang diperbuat oleh kaum Muslimin. Gerakan mereka ini semata-mata karena kaum Muslimin menarik manusia kepada aqidah yang menuntun mereka agar beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla tidak kepada yang lain. Sebuah Aqidah yang menghormati fithrah dan akal manusia serta membimbing mereka menjadi insan berakhlak mulia dan jauh dari akhlak yang buruk dan rendah.

Meski tujuan Islam itu begitu mulia, namun tetap saja para musuh Islam tidak suka dengan ajaran Islam dan aqidahnya. Kebohongan demi kebohongan terus mereka buat terhadap Islam dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka mengerahkan segala kemampuan dan perangkat yang mereka miliki baik cetak maupun elektronik, audio maupun visual. Semuanya dikerahkan untuk menyerang kaum Muslimin dan ajaran Islam agar syubhat pemikiran dan kedustaan mereka masuk ke dalam aqidah dan akal pikiran kaum Muslimin.[2]

Salah satu tentara musuh Islam yang menjadi perintis penghancur kesucian dan kemuliaan ajaran Islam dan paling berbahaya bagi para pemuda Islam dan cendikiwan adalah orientalisme dan para tokohnya. Karena mereka bersembunyi dibalik propaganda penelitian ilmiyah yang obyektif dan penuh amanah ilmiyah. Dari sini para tokoh orientalis menulis buku-buku yang berhubungan dengan Islam dan aqidahnya. Sejak lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu hingga kini tokoh-tokoh orientalis telah menerbitkan lebih dari enam puluh ribu buku tentang Islam, kaum Muslimin dan negara mereka, sebagaimana disampaikan DR. Akram Dhiya’ al-Umari dalam buku Mauqif al-Mustasyriqin Minas Sirah was Sunnah, hlm 6-7.

Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah Ignaz Goldziher (1850-1921) (197) dalam buku al-Aqîdah wa asy-Syarî’ah fil Islâm dan buku Târîkh Madzâhib at-Tafsîr al-Islâmi[3] . Demikian juga Arent Jan Wensinck (1882-1939) (417) dalam buku Aqîdah Islâmiyah, Nasy’atuha wa Tathawwuruha at-Târîkhi (dalam bahasa Inggris) dan buku Muhammed en de joden te Medina (dalam bahasa Belanda). Sir Hamilton Alexander Raskeen Gibb (1895-1971) (174) dalam buku Mohammedanism dan buku Modern Trends In Islam. Gustave E. Von Grunebaum (1909-1972) (182) dalam bukunya Medieval Islam (al-Islâm Fi al-‘Ashr al-Wasîth) dan buku Muhâwalât Fi Syarhil Islâm al-Mu’âshir.

APA ITU ORIENTALISME?
Para peneliti Islam mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non Muslimin dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap aqidah, syariat, bahasa dan peradaban Islam dengan tujuan membuat keraguan pada agama yang lurus ini dan menjauhkan manusia darinya.[4]

Dengan demikian orientalis (al-mustasyriqûn) adalah istilah umum mencakup kelompok-kelompok non Arab yang bekerja di medan penelitian ilmu ketimuran secara umum dan Islam secara khusus. Tujuan mereka bukanlah untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan, akan tetapi tujuannya adalah membuat dan menebar keraguan pada kaum Muslimin terhadap agama mereka. Sehingga kalau kita perhatikan misalnya penelitian mereka seputar al-Qur’ân pasti kita akan dapati kerancuan dan upaya peraguan. Kalaupun tidak ada lafadz yang menunjukkan hal itu dengan terang-terangan, tapi mesti mereka menggunakan ibarat yang samar dan dapat mengakibatkan keraguan.[5]

SECARA RESMI, KAPANKAH ORIENTALISME ITU ADA?[6]
Para peneliti berbeda pendapat tentang sejarah permulaan orientalisme ini, namun secara resmi dimulai dengan terbitnya ketetapan Majma’ (konferensi) gereja Viena pada tahun 1312 H dengan membentuk sejumlah lembaga penelitian bahasa Arab di sejumlah universitas Eropa. Dengan demikian memungkinkan adanya orientalisme ini secara tidak resmi sebelumnya. Oleh karena itu ahli sejarah hampir sepakat bahwa abad ke-13 adalah permulaan orientalis bersifat resmi

Sejak itu, mereka tidak berhenti mempelajari Islam dan bahasa arab dan menterjemahkan makna kandungan al-Qur’an dan sebagian kitab-kitab berbahasa Arab dan sastranya hingga masuk abad ke-18 Masehi. Ternyata sejumlah pakar barat muncul sebagai 0rientalis dan menerbitkan majalah-majalah di seluruh kerajaan dan negara Eropa. Mereka mencari manuskrip-manuskrip berbahasa Arab di negara Arab dan Islam lalu membelinya dari pemilik manuskrip yang kurang mengerti atau mencurinya dari perpustakaan umum. Mereka memindahkannya ke negara dan perpustakaan mereka. Akhirnya sejumlah besar manuskrip berbahasa Arab yang langka pindah ke perpustakaan Eropa hingga pada awal abad ke-19 M didapati dua ratus lima puluh ribu jilid dan ini terus bertambah hingga sekarang ini.

KARAKTERISTIK PEMIKIRAN ORIENTALISME [7]
Orientalisme memiliki karakteristik yang jelas dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian orientalisme. Diantara yang terpenting adalah:

1. Terikat dan berhubungan erat dengan kolonialisme (imperalisme/penjajahan).
Khususnya penjajahan Inggris dan Prancis sejak akhir abad ke-18 hingga akhir perang dunia ke-2. Kemudian berhubungan erat dengan penjajahan Amerika Serikat hingga sekarang. Dimana penjajahan meluas maka meluas juga penelitian orientalisme. Kadah yang tidak dapat disangkal lagi bahwa penjajahan selalu ditemani orientalisme; karena ikatan antara keduanya adalah ikatan anggota bagiannya. Tidak ada satu negara kolonial kecuali memiliki lembaga orientalisme.

2. Terikat dan berhubungan langsung dengan misionaris (gerakan kristenisasi).
Sejarah kristenisasi terikat sekali dengan sejarah orientalisme. Keduanya tidak terpisahkan dalam sejarah kolonialisme politik, pemikiran dan akhlak.

3. Memiliki ikatan dan hubungan erat sekali dengan pembuatan ketetapan politik melawan Islam dan kaum Muslimin.
Perencanaan orientalisme untuk kristenisasi dunia Islam atau penghancurannya membuatnya memiliki ikatan kuat dan erat antara penelitian orientalisme dan pembuatan keputusan politik melawan kaum Muslimin. Banyak sekali orientalis yang dahulu atau sampai sekarang masih menjadi penasehat pemerintah mereka dalam perencanaan politik kolonialisme dan kristenisasi.

Sebagai contoh:
a. Christiaan Snouck Hurgronje (8/2/1857-26/6/1936)[8] Orientalis Belanda ini bekerja sebagai penasehat politik pemerintah Belanda dalam melawan masyarakat Islam Indonesia banyak dikenal masyarakat Indonesia. Disertasinya tentang Het Mekkanche Feest’(Perjalanan Haji ke Mekah). Ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun dimulai dari tahun 1889 M dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia. Pertama bekerja selama dua tahun sebagai penasehat pemerintah Belanda di Indonesia dalam masalah Islam dan tinggal di Jawa. Kemudian pada bulan maret 1891 pindah menjadi penasehat dalam bahasa negara timur dan syariat Islam pada kantor pemerintah penjajah Belanda dan tinggal di Aceh pada 1891-1892. Setelah itu ia belajar bahasa melayu dan melakukan perjalanan ke Sumatra hingga menguasai bahasa melayu dengan baik dan menulis buku De Atjehers’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894). Baru pada tahun 1906 ia pulang ke Leiden, Belanda dan diangkat sebagai penasehat pemerintah belanda bidang urusan arab dan dalam negeri pada bulan januari 1907 M.

b. Duncan Black Macdonald (1863-1943 M) orientalis Inggris yang bekerja sebagau penasehat pemerintahnya dalam perncanaan politik melawan kaum muslimin di wilayah India.

c. Louis Massignon (1883-1962 M).[9] Seorang penasehat pemerintah Prancis dalam merancang politiknyta melawan kaum Muslimin di Afrika Utara dan khususnya al-Jazaair.

4. Tidak komitmen dengan obyektifitas dan tidak amanah ilmiyah.
Orientalis tidak bisa komitmen dengan obyektifitas dan amanah ilmiyah khususnya bila berhadapan dengan Islam. Bagaimanapun hebatnya mereka mendengungkan obyektifitas dan amanah ilmiyah, namun realitanya mendustakan hal tersebut. Nampaknya disebabkan oleh beberapa poin berikut:

• Pemeliharaan dan pembinaan gereja dan tokoh-tokohnya terhadap orientalis sejak permulaan perkembangannya hingga sekarang. Oleh karena itu seorang peneliti menyatakan bahwa para tokoh orientalis dalam karya-karya ilmiyahnya tidak mampu lepas dari pemikiran mereka yang terdahulu dan perasaan yang sudah terwarisi (dari agama mereka), sebagaimana banyak dari mereka memiliki tujuan-tujuan duniawi yang rusak dari penelitian orientalismenya. (lihat ar-Rasûl fi Kitâbât al-Mustasyriqin, hlm 16).

• Rusaknya Manhaj ilmi mereka karena tidak memperhatikan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab dasar pemikiran orientalisme dari anggapan al-Qur’ân adalah produk manusia dan tidak mengimani kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

• Tidak memperhatikan sumber-sumber dasar Islam yang pokok dan mencukupkan dengan penelitian yang bersumber dari sumber rujukan yang tidak pokok dan asli.

• Banyak melakukan penipuan dan kebohongan dalam penelitian dengan menampakkan obyektifitas dan komprehensif data penelitian, kemudian memasukkan racun yang merusak secara diam-diam dengan cara dan uslub yang menampakkan kebenaran, ketelitian dan keakuratan pemikiran tersebut. Padahal realitanya tidak demikian.

SEBAB DAN PENDORONG MUNCULNYA ORIENTALISME.
Ada sejumlah sebab yang mendorong tokoh orientalis melakukan kebohongan atas Islam, diantaranya:

a. Sebab Agama.
Perang Salib menyisakan pengaruh yang sangat dalam di jiwa orang-orang Eropa, karena mereka melihat kemenangan ketentaraan dan peradaban yang dimiliki kaum Muslimin. Disamping itu penyebaran Islam yang begitu cepat ditengah pengikut Nashrani, sehingga mereka masuk Islam dengan puas. Sebagaimana juga orang-orang Nashrani banyak yang merasa kagum terhadap Islam dan kaum Muslimin. Semua ini mendorong para pendeta untuk melakukan gerakan pempelajaran bahasa Arab dan menterjemahkan peninggalan Islam dengan tujuan merusak citra baik Islam dalam pandangan masyarakat Nashrani. Kemudian berkembang menjadi upaya membuat keraguan terhadap kemulian dan kesucian Islam pada kaum Muslimin dan upaya kristenisasi pada kaum Muslimin.

Pendeta besar Petrus berteriak menyatakan bahwa sungguh al-Qur’ân adalah sumber penyimpangan dan terorisme yang mengancam tatanan agama Nashrani (Kristen). Apabila ingin mengalahkannya maka harus mempelajarinya dan menyeru (kepada masyarakat) bahwa al-Qur’ân adalah kitab suci penuh kontradiksi dan pertentangan dan juga berisi hal-hal yang ditolak akal.

Demikian juga persekutuan mereka dengan orang-orang Yahudi mendorong mereka memunculkan orientalisme ini. Orang-orang Yahudi ini mampu membentuk diri mereka untuk menjadi satu bagian pondasi pada gerakan orientalisme Eropa yang beragama Nashrani. Orang-orang Yahudi tidak ingin bekerja didalam gerakan ini sebagai orientalis Yahudi hingga mereka tidak terpisah dan kemudian kecil pengaruh mereka. Oleh karena itu mereka bekerja dengan nama orientalis Eropa. Dengan demikian mereka mendapatkan dua keuntungan:

1. Masuk secara langsung dalam gerakan orientalisme ini
2. Merealisasikan tujuan mereka merusak Islam. Ini yang menjadi keinginan mayoritas orientalis Nashrani.

Dari sini mereka meniupkan racun melawan Islam dan masuk dalam medan ini dalam keadaan sembunyi dibawah slogan ilmu.

b. Sebab Kolonialisme.
Walaupun sebab utamanya adalah agama namun ini menjadi perintis untuk penjajahan negara-negara Islam.

c. Sebab Ilmiyah.
Memang masih ada beberapa individu yang masuk dalam orientalisme dengan sebab pendorong senang mengetahui peradaban manusia dan pengetahuan serta aqidahnya.

d. Sebab Ekonomi Dan Perniagaan,
Disamping sebab-sebab di atas ada juga sebab ekonomi dan perniagaan. Orang-orang Eropa berusaha untuk menguasai negeri timur yang kaya dengan sumber daya alamnya untuk mendukung ekonomi mereka. Untuk itu diperlukan satu riset dan penelitian tentang kondisi alam dan lingkungan di negara timur tersebut. Riset penelitian inilah yang akan mendukung ekonomi Eropa dan kebangkitan industri mereka setelah revolusi industri yang terjadi setelah masa kebangkitan mereka.

TUJUAN DAN TARGET ORIENTALISME
Dari penjelasan tentang faktor pendorong dan sebab dibangunnya gerakan orientalisme ke negeri timur umumnya dan negara Islam secara khusus, dapat diambil beberapa tujuan gerakan ini sebagai berikut:

1. Gerakan orientalisme ini sejak awal bertujuan untuk menjaga penganut Nashrani untuk menyusup menjadi Muslim dengan konsentrasi merusak dan mencoreng wajah indah Islam agar orang-orang Nashrani yakin bahwa Islam itu tidak benar. (lihat lebih lanjut di kitab al-Mûjiz fil Adyân wal Madzâhib, hlm 181)

2. Kemudian berubah arah penelitian orientalisme setelah itu kepada obyek umat Islam. Mulailah mereka membuat kebohongan dan kedustaan atas aqidah dan syariat serta sumber rujukannya, agar melemahkan ruh Islam pada kaum Muslimin dan menyebarkan perpecahan internal kaum Muslimin serta berusaha sekuat tenaga untuk mengkristenisasikannya.

3. Kemudian terikat setelah itu dengan penjajahan di negara Islam dengan tujuan menguatkan kolonialisme tersebut. Dengan ini maka mereka mampu memaksa negeri-negeri tersebut tunduk menerima pemikiran mereka dan mengagungkan prinsip dasar kapitalis barat dan menghapus Islam dan orang yang komitmen dengannya.

Penulis buku al-Fikrul Islâmi al-Hadîts menyatakan bahwa tujuan dan target orientalis dengan segala jenisnya terfokus pada realisasi sikap jiwa yang rendah dan menimbulkan perasaaan kurang pada jiwa kaum Muslimin dan orang-orang timur serta membawa mereka dari jalan ini untuk ridha dan tunduk dengan bimbingan dan arahan barat. (hlm. 431)

Hal ini membuat para orientalis membuktikan kemajuan dan kehebatan Eropa dari satu sisi dan menampakkan semua gerakan yang mengajak kepada komitmen dengan Islam sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang.

Target dan tujuan yang dibawa para misionaris dan orientalis ini masih ada pada para murid mereka di negeri kita ini. Mereka menganggap kemajuan dan ketinggian peradaban hanya akan bisa dicapai dengan mengekor dan membeo kepada barat dan menjauhi Islam yang mereka gambarkan dengan bahasa fundamentalis dan lainnya.

SARANA ORIENTALISME MELANCARKAN SERANGANNYA
Para tokoh orientalis mengetahui dengan pasti bahwa kaum Muslimin tidak bisa dilemahkan kecuali dengan menjauhi mereka dari aqidah dan syariat Islam yang benar. Mereka menggunakan semua sarana yang ada untuk mewujudkan hal ini. Diantara yang terpenting adalah:

Pertama: Dalam Bidang Karya Tulis (at-Ta’liif).
1. Menulis buku-buku dalam tema yang beraneka ragam tentang Islam, pemikiran, Rasul dan al Qur`ân. Mayoritas karya tulis ini dipenuhi dengan tahrîf (penyimpangan) yang bersandar pada penukilan nash-nash atau memotong-motongnya. Juga dalam memahami realita sejarah dan hasilnya.

2. Mereka bekerja sama menulis ensiklopedia tentang Islam yang diberi nama “Dâ`irah al-Ma’ârif al-Islâmiyah” dan menerbitkannya dalam berbagai bahasa. Demikian juga menerbitkan ringkasannya dan dicetak dalam berbagai bahasa seperti enseklopedia tersebut. Para peneliti Islam menganggap ensiklopedia ini sebagai karya terbaik para orientalis dalam mewujudkan tujuan mereka terhadap Islam. Titik bahayanya adalah para orientalis mencurahkan segala kemampuan dan pena mereka untuk menerbitkan inseklopedia ini. Sehingga sekarang sudah menjadi sumber rujukan (referensi) bagi banyak peneliti Muslim dalam penelitiannya. Padahal berisi banyak sekali kerancuan dan kekeliruan serta fanatis besar dalam melawan Islam dan kaum Muslimin.

Kedua : Dalam Bidang Pendidikan Dan Tarbiyah.
Para tokoh orientalis mengarahkan gerakannya ketengah-tengah lembaga pendidikan dan tarbiyah dan menggunakannya sebagai sarana merealisasikan tujuan mereka secara sempurna. Mereka berusaha menanamkan prinsip-prinsip dasar pendidikan barat (westernisasi pendidikan) dalan jiwa anak-anak kaum Muslimin.

Demikian juga mereka memberikan ceramah-ceramah umum di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan islam. Hingga mereka dipanggil dan dijadikan dosen tamu untuk mengajarkan Islam di banyak universitas di Kairo, Damaskus, Baghdad, Karachi, Lahore, Indonesia dan negara-negara Islam lainnya. Sungguh berbahaya sekali bagaimana anak-anak kaum Muslimin mengambil agamanya dari mulut para musuh Islam ?

Ketiga : Dalam Bidang Kemasyarakatan Dan Sosial Kemanusiaan.
Para misionaris dan orientalis mendirikan rumah sakit, lembaga sosial masyarakat (LSM), sekolah, penampungan pengungsi, panti asuhan dan lain-lain di negara Islam untuk mewujudkan tujuan mereka mengkristenkan dunia.

Keempat : Mu’tamar (Konfrensi) Dan Musyawarah Dunia.
Pada abad ke-19 mulai mengadakan berbagai konferensi internasional untuk orientalis (al-Mu’tamar ad-Dauliyah) untuk memperkuat koordinasi dan kerjasama diantara mereka. Konferensi pertama mereka terjadi di Paris tahun 1873 M, kemudian mengadakan setelah itu beberapa konferensi lagi hingga mencapai lebih dari tiga puluh konferensi internasional.

Kelima : Majalah-Majalah Orientalisme.
Gerakan orientalisme ini bergerak menerbitkan majalah, buletin dalam jumlah yang besar dapat mencapai lebih dari 300 majalah dalam berbagai bahasa. Kita sebutkan sebagai contoh saja:

1. Majalah “al-Islam” tahun 1895 M kemudian digantikan oleh majalah “al-‘Âlam al-Islâmi” tahun 1906 yaang di terbitkan oleh al-bi’tsah al-Ilmiyah al-Faransiyah di Maroko.
2. Majalah “Der lslam” pada tahun 1910 M di Jerman.
3. Majalah “Mirlslama” taahun 1912 M di Rusia
4. Majalah “The Muslim Word “ di Inggris tahun 11911 M didirikan oleh Samuel Marinus Zwemer.

Begitu besar upaya dan kesungguhan musuh-musuh Islam dalam menghancurkan Islam dan memporakporandakan kesatuan kaum Muslimin. Semuanya dilakukan untuk menghalangi manusia dari jalan kebenaran.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita dan menyadarkan kita akan besar usaha musuh Islam menyesatkan kita semua.

Maraji’
1. Min Iftirâ’ât al-Mustasyriqin ‘Ala al-Ushûl al-Aqîdah fi al-Islam, DR Abdulmun’im Fu’aad, Maktabah al-Ubaikaan, cetakan pertama tahun 1422/2001
2. Zawâbi’ Fi Wajhis Sunnah Qadîman wa Hadîtsan karya Syaikh Shalâhuddin Maqbûl Ahmad, Majma’ al-Buhuts al-ilmiyah al-Islamiyah, India, cetakan pertama tahun 1411-1991.
3. Mausû’ah al-Mustasyriqin , DR Abdurrahman Badawi, Darul Ilmi Lil Malayyin, Bairut, cet ketiga tahun 1993.
4. Dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-85819

Sumber:   http://almanhaj.or.id/

Saturday, February 22, 2014

Nama Allâh Al-Ahad Dan Al-Wahid (Yang Maha Esa)




Nama Allâh Al-Ahad Dan Al-Wahid (Yang Maha Esa)



Nama al-Ahad ini hanya disebutkan dalam satu surat saja, yaitu di dalam Surat al-Ikhlash.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah, "Dia-lah Allâh, Yang Maha Esa. Allâh adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." [al-Ikhlash/112:1-4]

Surat al-Ikhlâsh ini merupakan surat yang sangat mulia, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa surat al-Ikhlâsh sama dengan sepertiga al-Qur'ân karena di dalamnya terdapat penjelasan khusus tentang nama-nama Allâh yang maha Mulia dan sifat-sifat-Nya yang maha Agung.

Adapun nama al-Wahid, nama ini telah Allâh sebutkan berulang-kali di beberapa tempat dalam al-Qur'ân, diantaranya :

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? [Yusuf/12:39]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا مُنْذِرٌ ۖ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allâh Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan. [Shad/38:65]

قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Katakanlah, "Allâh adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” [ar-Ra'd/13:16]

Dua nama Allâh Azza wa Jalla diatas sama-sama menunjukkan ke-Esaan-Nya. Maksudnya hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang memiliki sifat mulia, agung , besar dan bagus. Tidak ada dzat yang mirip dengan dzat-Nya dan tidak ada sifat yang menyerupai sifat-Nya. Tidak ada sekutu dan pembantu dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Allâh Azza wa Jalla satu-satunya sesembahan yang berhak untuk diibadahi, tidak boleh dipersekutukan dalam hal cinta dan pengagungan. Sikap merendahkan diri dan tunduk hanya kepada-Nya saja. Dialah Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang agung sifat-Nya, sehingga hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang layak untuk menyandang segala kesempurnaan. Tidak ada satu maklukpun yang mengetahui sifat Allâh Azza wa Jalla atau sebagian dari sifat-Nya dengan sempurna. Dengan demikian bagaimana mungkin seseorang akan dapat menyerupai sebagian dari sifat-Nya.

Lafadz (al-Wahid) disebut berulang-ulang dalam al-Qur'ân berkaitan dengan pembahasan dan penjelasan tentang tauhid serta pembatalan syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman ketika menjelaskan tentang keMaha-Eesaan-Nya dan tentang kewajiban Ikhlas kepada-Nya:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan ilahmu adalah ilah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا مُنْذِرٌ ۖ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Katakanlah Hai Muhammad, "Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allâh Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan." [Shad/38:65]

إِنَّ إِلَٰهَكُمْ لَوَاحِدٌ﴿٤﴾رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَرَبُّ الْمَشَارِقِ

Sesungguhnya ilahmu benar-benar Esa, Rabbnya langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dan Rabbnya tempat-tempat terbit matahari [ash-Shâffât/37:4-5]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menggunakan nama al-Wahid ketika menjelaskan bahwa keMaha-Esaan-Nya adalah inti dakwah dan inti risalah semua Rasul. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, 'Bahwasanya ilahmu adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya). [al-Anbiyâ'/21:108]

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ۗ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Ilah kamu adalah Ilah yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya,” [Fushshilat/41:6]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga menggunakan nama al-Wahid dalam kontek dakwah agar orang tunduk dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla serta berserah diri dibawah keagungan-Nya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Maka Sesembahanmu ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allâh). [al-Hajj/22:34]

قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, "Bahwasanya Ilahmu adalah Ilah Yang Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya). [al-Anbiyâ'/21:108]

وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya berserah diri kepada-Nya. [al-'Ankabut/29:46]

Nama tersebut juga disebut ketika Allâh mensucikan diri-Nya dari anggapan-anggapan dan tuduhan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah salah satu dari yang tiga dan menjadikan seseorang sebagai anak. Sungguh Maha suci Allâh dari tuduhan itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا لَاصْطَفَىٰ مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Kalau sekiranya Allâh hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allâh. Dialah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. [az-Zumar/39:4]

وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ

Dan janganlah kamu mengatakan, "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allâh adalah Ilah Yang Maha Esa. [an-Nisâ/4:171]

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allâh salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang benar selain dari Ilah Yang Esa.” [al-Mâidah/5:73]

Dengan nama itu pula Allâh Azza wa Jalla menjelaskan aqidah orang-orang musyrik yang batil. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ ۚ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَىٰ ۚ قُلْ لَا أَشْهَدُ ۚ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

Katakanlah, "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah, "Allâh" Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur'ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (atau mendengar) al-Qur'ân. Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allâh ?" Katakanlah, "Aku tidak mengakui." Katakanlah, "Sesungguhnya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allâh).” [al-An'âm/6:19]

وَقَالَ اللَّهُ لَا تَتَّخِذُوا إِلَٰهَيْنِ اثْنَيْنِ ۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

Allâh berfirman, "Janganlah kamu mengibadahi dua tuhan; sesungguhnya Dialah Ilah Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut". [an-Nahl/16:51]

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? [Yusuf/12:39]

Juga ketika Allâh menjelaskan keagungan, kekuasaan dan tunduknya semua makhluq kepadaNya pada hari kiaamat, Allâh berfirman:

يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ ۖ لَا يَخْفَىٰ عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ ۚ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ۖ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allâh. (Lalu Allâh berfirman), "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.[al-Mu'min/40:16]

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ ۖ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allâh yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. [Ibrâhîm/14:48]

Kesimpulan dari dua nama Allâh yaitu al-Ahad dan al-Wahid adalah Maha Esanya Rabb l dalam semua kesempurnaan-Nya, tidak ada yang menandingi-Nya. Dengan demikian, kewajiban setiap hamba yang mengetahui semua itu adalah mentauhidkan Allâh, baik dengan keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Hendaknya mengakui pula keutamaan dan ke-Esaan Allâh yang mutlak serta mentauhidkan-Nya dalam semua bentuk peribadatan.

Beberapa pelajaran atau petunjuk yang dapat kita ringkas dari dua nama ini, antara lain:
1. Tidak ada yang menyamai dan menandingi Allâh, serta tidak ada yang setara dengan-Nya dalam segala segi. Allâh Maha Suci dan Maha Tinggi, tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada pula yang manandingi-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? [Maryam/19:65]

Juga berfirman dalam Surat al-Ikhlas/112 : 4

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Begitu pula dalam Surat asy-Syûra/42 :11

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat."

2. Batilnya pemahaman takyîf yaitu, usaha seseorang dengan akalnya yang lemah untuk mengetahui bagaimana sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Usaha semacam itu tidak mungkin bisa terwujud, hanya sia-sia belaka. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya yang memiliki sifat sempurna, agung dan mulia, maka tidak ada satu dzatpun yang bisa menjadi serikat-Nya, tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Tidak ada satu akalpun yang dapat mengetahui hakikat Allâh Azza wa Jalla , bahkan kesempurnaan apapun yang terlintas dalam benak makhluk, maka Allâh Subhanahu wa Ta’alaebih besar dan lebih agung dari itu semua.

3. Penetapan seluruh sifat Allâh yang sempurna,tidak ada satu sifat yang menunjukkan kemuliaan dan keindahan melainkan sifat tersebut telah dimiliki Allâh Azza wa Jalla , karna hanya Allâhlah yang memiliki sifat sempurna secara mutlaq dan tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya.

4. Bahwa semua sifat yang Allâh Azza wa Jalla miliki, merupakan sifat-sifat paling agung yang berada pada puncak keagungan. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam surah an-Najm/53 : 42

وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ

"Dan bahwasanya kepada Rabbmulah kesudahan (segala sesuatu)."

Maka bagi-Nyalah pendengaran paling sempurna dan penglihatan paling sempurna. Semua sifat-Nya adalah sifat paling sempurna. Sebagaimana Allâh berfirman :

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

Dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]

5. Mahasucinya Allâh dari segala kekurangan dan aib. Karena itu merupakan sifat para makhluk, sementara Allâh adalah Dzat yang memiliki sifat sempurna, agung dan mulia tanpa ada satu makhlukpun yang semisal dengan-Nya, sebagaimana firman Allâh ketika menyatakan kesucian diri-Nya dari sifat memperanak dalam surat az-Zumar/39 :4

سُبْحَانَهُ ۖ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

"Maha Suci Allâh. Dialah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan."

6. Wajibnya berikrar ( menyatakan) bahwa Allâh Azza wa Jalla memiliki kesempurnaan sifat yang mutlak, baik dalam Dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dan keyakinan itu hendaknya tertanam dalam hati. Ini disebut Tauhid Ilmi (berkaitan dengan pemahaman).

7. Wajibnya meng-Esakan Allâh dan ikhlas dalam beribadah, serta meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla satu-satunya Pencipta dan Pemberi rizki yang dapat memberi maupun menahannya, dapat merendahkan serta mengangkat derajat hamba-Nya, dan dapat menghidupkan serta mematikan. Oleh karna itu wajib meng-Esakan Allâh Azza wa Jalla dalam semua sisi peribadatan. Ini di sebut Tauhid 'Amali (berkaitan dengan pengamalan).

8. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik dan semua aliran sesat yang sama sekali tidak menghormati dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dengan penghormatan dan pengagungan yang semestinya. Tidak pula mengakui ke-Esaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga mereka membuat sekutu-sekutu bagi Allâh Azza wa Jalla , membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan berburuk sangka kepada Allâh, mencela serta meremehkan Rububiyah Allâh dan melakukan pelanggaran terhadap tujuan diciptakannya manusia yaitu mentauhidkan (mengesakan) Allâh, tunduk dan patuh dengan melaksanakan semua peribadatan kepada Allâh. Mereka kesal dan mendongkol bila disebut kalimat TAUHID, jiwa mereka jauh dari kebenaran dan petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Dan apabila hanya nama Allâh saja disebut, kesAllâh hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allâh yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati. [ az-Zumar/39:45]

Juga berfirman dalam surat al-Isra' :

وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْا عَلَىٰ أَدْبَارِهِمْ

Dan apabila kamu menyebut Rabbmu saja dalam al-Qur'ân, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya. [al-Isrâ'/17:46]

Juga dalam surat Ghâfir atau al-Mu'min :

ذَٰلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ ۖ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا ۚ فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Yang demikian itu karena kamu kafir apabila hanya Allâh saja yang diibadahi. Tetapi kamu percaya apabila Allâh dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghâfir/40:12]

Demikianlah, semoga Allâh memberi taufiq kepada kita semua untuk benar-benar mampu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan beriman dengan baik dalam meng-Esakan-Nya. Sesungguhnya hanya Allâh yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do'a.

(Diterjemahkan secara bebas dari kitab: Fiqhu al-Asmâ' al-Husnâ, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Badr, cet. I, 1429 H/2008 M)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Shalat Sunnat Dua Rakaat Sesudah Shalat ‘Ashar



Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


MUKADDIMAH
Berkenaan dengan permasalahan shalat sunnat dua rakaat sesudah shalat Ashar yang banyak pertanyakan oleh para pembaca dari makalah yang telah kami tulis sebelumnya dan juga yang tercantum dalam buku kami yang berjudul ‘Panduan Amal Sehari Semalam’, maka berikut ini kami menyantumkan sekilas pembahasan masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena apa yang tercantum dalam naskah kami tersebut berbeda dengan ma’lumat yang sudah lama beredar atau mungkin sudah mendarah daging. Ma’lumat yang menyatakan bahwa tidak ada shalat sunat setelah shalat ‘Ashar. Kesimpulan ini berdasarkan beberapa riwayat atau hadits shahih yang zhahirnya berisi larangan mengerjakan shalat sunnat sesudah shalat ‘Ashar. Diantaranya hadits marfu’ :

لاَ صَلاَة َبَعْدَ العَصْرِ حَتىَّ تَغْرُبَ الشَّمْسُ

Tidak ada shalat (sunat) sesudah shalat ‘Ashar hingga matahari terbenam[1]

Dan beberapa hadits lain yang semakna. Kesimpulan terlarangnya shalat sunat setelah shalat ‘Ashar juga berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa Umar Radhiyallahu anhu melarang shalat sunat dua raka’at setelah ‘Ashar, bahkan tidak cukup hanya melarang, bahkan beliau Radhiyallahu anhu memukuli orang yang melakukannya.

SHALAT SUNNAT DUA RAKA’AT SETELAH SHALAT ‘ASHAR
Hadits pertama yang zhahirnya berisi larangan dari shalat sunat setelah ‘Ashar itu tidak diragukan lagi keshahihannya. Namun larangan dalam hadits tersebut masih bersifat mutlak (umum). Keumuman makna suatu hadits masih mungkin ditakhshish (dibatasi maknanya) oleh hadits atau dalil yang lain, termasuk keumuman makna yang terkandung dalam hadits di atas. Keumuman makna tersebut telah dibatasi dan dikhususkan oleh hadits yang mengisyaratkan bahwa larangan itu berlaku apabila matahari sudah menguning. Artinya, bila matahari masih putih atau belum menguning, maka shalat sunat sesudah ‘Ashar masih boleh dilakukan.

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Hadits (larangan) ini (berlaku) khusus apabila matahari sudah menguning. Adapun bila matahari masih putih dan terang, maka shalat pada saat itu tidak termasuk yang dilarang. Berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu anhu secara marfu’ dengan lafazh :

نهَىَ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلاَّ وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat sesudah Ashar kecuali matahari ketika masih tinggi.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud[2] , an-Nasâ'i[3] dan Ahmad[4] dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu secara marfu’

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar al-Asqalâni [6] .”[7]
al-Baihaqi rahimahullah mempertentangkan kedua hadits tersebut, yakni hadits-hadits yang melarang shalat sesudah shalat ‘Ashar dan hadits Ali Radhiyallahu anhu di atas. Beliau rahimahullah memandang hadits yang melarang lebih kuat daripada hadits yang membolehkan (hadits Ali Radhiyallahu anhu).

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengomentari pendapat ini dengan mengatakan, "Sebenarnya, kedua hadits tersebut shahih, walaupun hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi lebih kuat, akan tetapi bukan jalan (metode) ahli ilmu, menolak hadits yang kuat karena secara zhahir bertentangan dengan hadits yang lebih kuat, apalagi keduanya masih memungkinkan untuk dipadukan atau dikonpromikan. Demikian juga dalam masalah ini. Karena hadits tersebut (hadits yang membolehkan) mengkhususkan hadits-hadits (larangan) yang telah diisyaratkan oleh al-Baihaqi. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (yang artinya), “Tidak ada shalat sesudah 'Ashar hingga matahari terbenam.” Muttafaqun ‘alaihi.

Hadits ini mutlak, dibatasi maknanya oleh hadits Ali Radhiyallahu anhu di atas. Inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam perkataannya, “Ini adalah tambahan (riwayat) dari seorang perawi tsiqah yang tidak boleh ditinggalkan.”

Kemudian al-Baihaqi rahimahullah juga mengatakan, “Ada riwayat dari Ali Radhiyallahu anhu yang menyelisihi riwayat (tentang keberadaan shalat sunat setelah Ashar-red) ini dan ada pula riwayat dari beliau Radhiyallahu anhu yang sejalan dengannya.”

Al-Baihaqi rahimahullah dan adh-Dhiyâ’ rahimahullah dalam kitab al-Mukhtârah (I/185) membawakan riwayat dari jalur Sufyan, ia berkata, “Abu Ishaq telah menyampaikan kepadaku dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu mengatakan :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ ؛ إِلاَّ الْفَجْرَ وَالْعَصْرَ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat dua rakaat setiap kali selesai shalat fardhu, kecuali shalat Subuh dan shalat ‘Ashar.” [8]

(Riwayat ini bertentangan dengan keberadaan shalat sunat setelah 'Ashar-red).

Menegnai hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkomentar, “Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits pertama secara mutlak. Karena hadits ini hanya menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar. Sementara hadits yang pertama tidak menetapkannya secara mutlak (dalam semua waktu-red), hingga bisa dipertentangakan dengannya. Minimal hadits (pertama) ini menjelaskan bolehnya shalat sesudah ‘Ashar sampai matahari belum menguning. Dan tidak mesti semua perkara yang dibolehkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil syar’i, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan."[9]

SHALAT ITU ADALAH SHALAT BA’DIYAH ZHUHUR
Yang menolak keberadaan shalat sunat dua raka'at setelah Ashar juga mengakui keshahihan riwayat yang menyatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunat setelah 'Ashar. Namun mereka mengatakan bahwa itu adalah shalat sunat rawatib setelah Zhuhur. Pada suatu waktu dan karena suatu hal, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa mengerjakannya pada waktunya, oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya setelah shalat 'Ashar. Dan setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam rutin melakukannya.

Mengenai hal ini Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, "Memang ada riwayat shahih dari Ummu Salamah dan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma (yang menerangkan-red) bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah dua raka'at ba’diyah (setelah) Zhuhur sesudah shalat ‘Ashar. 'Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkannya sesudah itu." (Zhahirnya, riwayat -red) ini bertentangan dengan hadits Ali Radhiyallahu anhu yang kedua di atas."

Syaikh al-Albani rahimahullah melanjutkan, "Mengkompromikan kedua hadits di atas mudah sekali. (Yaitu) Setiap perawi meriwayatkan ilmu yang diketahui. Dan orang yang mengetahui merupakan hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Nampaknya, setelah beberapa lama, akhirnya Ali Radhiyallahu anhu mengetahui dari beberapa shahabat Ali Radhiyallahu anhu apa yang telah beliau Radhiyallahu anhu nafikan pada hadits ini[10] . Dan dalam sebuah riwayat yang shahih darinya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar. Dan riwayat itulah yang disebutkan dalam lanjutan perkataan al-Baihaqi, “Adapun riwayat Ali Radhiyallahu anhu yang sejalan dengan hadits Ali (di atas) adalah hadits yang disampaikan kepada kami…” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan dari jalur Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah, ia berkata, “Kami pernah bersama Ali Radhiyallahu anhu dalam sebuah safar. Ia mengimami kami shalat ‘Ashar dua rakaat. Sesudah itu ia masuk ke dalam kemahnya, sementara aku melihat ia mengerjakan shalat dua rakaat.

Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ali Radhiyallahu anhu mengamalkan kandungan haditsnya yang pertama, yaitu bolehnya shalat sesudah ‘Ashar.

Ibnu Hazm telah meriwayatkan (IV/3) dari Bilal Radhiyallahu anhu , muadzin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Tidak dilarang mengerjakan shalat kecuali ketika matahari sedang terbenam.”

al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya shahih, dan ini merupakan bukti yang kuat bagi hadits Ali Radhiyallahu anhu . Tentang dua rakaat sesudah ‘Ashar, Ibnu Hazm menukil pendapat yang membolehkannya dari sejumlah shahabat, bagi yang ingin mengetahuinya silakan melihat kitab beliau (yakni al-Muhalla).

Kesimpulan yang ditunjukkan oleh hadits ini yaitu pendapat yang menyatakan bolehnya mengerjakan shalat sunnat sesudah shalat ‘Ashar sebelum matahari menguning adalah pendapat yang patut dipegang dalam masalah yang masih diperselisihkan ini. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm rahimahullah , yang mengikuti pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , sebagaimana disebutkan al-hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah dan lainnya. Maka janganlah engkau terpedaya dengan jumlah yang banyak apabila ternyata menyelisihi sunnah.”

Syaikh al-Albâni rahimahullah melanjutkan penjelasannya, “Kemudian saya menemukan jalur lain dari hadits ini yaitu dari jalur Ali Radhiyallahu anhu dengan lafazh,

لاَ تُصَلُُّّوا بَعْدَ العَصْرِ ، إِلاَّ أَنْ تُصَلُّوا وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Janganlah kalian shalat sesudah ‘Ashar, kecuali bila kalian mengerjakannya sementara matahari masih tinggi.

Hadits ini semakin menguatkan hadits Ali Radhiyallahu anhu sebelumnya. Apalagi riwayat ini berasal dari jalur ‘Ashim Radhiyallahu anhu yang juga meriwayatkan dari Ali bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar.”[11]

Kemudian ada hadits marfu’ lain dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang mendukung hadits tersebut. Lafazh hadits marfu' itu adalah :

لاَ تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ ، وَ لاَ عِنْدَ غُرُوْبِهَا فَإِنَّهَا تَطْلُعُ وَ تَغْرُبُ عَلَى قَرْنِ شَيْطَانٍ وَ صَلُّوا بَيْنَ ذلِكَ مَا شِئْتُمْ

Janganlah kalian shalat ketika matahari sedang terbit dan ketika sedang terbenam, karena ia terbit dan terbenam di atas tanduk setan. Dan shalatlah di selain waktu itu sesuka kalian.”

Setelah menjelaskan keshahihan hadits ini, syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Kedua hadits ini (hadits Ali sebelumnya dan hadits Anas ini) merupakan dalil bahwa pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab fiqh berupa larangan shalat sesudah ‘Ashar secara mutlak, walaupun matahari masih putih cahayanya dan masih tinggi, adalah pendapat yang bertentangan dengan kedua hadits yang sudah jelas di atas. Hujjah mereka dalam hal ini hanyalah hadits-hadits yang ma’ruf tentang larangan shalat sesudah ‘Ashar secara mutlak. Sementara kedua hadits di atas mengkhususkan hadits-hadits larangan tersebut, mohon dimaklumi."[12]

Hadits lain dalam masalah ini adalah hadits riwayat Muhammad bin al-Muntatsir yang menerangkan bahwa ia mengerjakan shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar, lalu ada yang bertanya kepadanya tentang hal itu, ia menjawab, “Seandainya alasanku mengerjakannya hanyalah karena aku melihat Masruq[13] telah mengerjakannya niscaya sudah bisa dipercaya, akan tetapi aku (juga) bertanya kepada 'Aisyah, lalu ia menjawab.

كَانَ لاَ يَدَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ ، وَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العَصْرِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan dua rakaat sebelum fajar dan dua rakaat sesudah ‘Ashar.

Hadits ini dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VI/1010 (no. 2920)

Beliau rahimahullah juga menyantumkan hadits lain dengan lafazh, “Tidak lewat satu haripun melainkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar.”[14]

Dalam lafazh lain disebutkan, “Dua rakaat yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dua raka'at sebelum shalat Shubuh dan dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar.”

Kemudian syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari sejumlah Ulama salaf bahwa mereka mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar ini, diantaranya Abu Burdah bin Abu Musa, Abu ats-Tsa’syaa’, Amru bin Maimun, al-Aswad bin Yazid dan Abu Waail. Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih dari mereka. Diantaranya juga adalah Muhammad bin al-Muntatsir dan Masruq seperti yang telah disebutkan di atas."[15]

UMAR RADHIYALLAHU ANHU MEMUKULI ORANG YANG SHALAT SETELAH SHALAT ASHAR
Diantara yang menjadi argumen orang yang menolak dan melarang shalat sunat setelah shalat 'Ashar adalah pemukulan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu terhadap orang yang melakukannya.

Syaikh al-Albâni rahimahullah menjelaskan masalah ini, “Hukuman Umar Radhiyallahu anhu terhadap orang yang mengerjakannya itu dianggap sebagai salah satu ijtihad Umar Radhiyallahu anhu yang dibangun di atas dasar kaidah sadduz dzara'i (menutup celah yang berpotensi menjerumuskan pelakunya kepada yang terlarang). Sebagaimana diisyaratkan dalam dua riwayat yang disebutkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri (II/65).

1. Riwayat pertama terdapat dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq (II/431-432), Musnad Ahmad (IV/155), ath-Thabrâni (V/260), dan dihasankan oleh al-Haitsami (II/223).
2. Riwayat kedua, yang diriwayatkan oleh Ahmad (IV/102), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/58-59) dan al-Ausath (8848).

Dan aku telah menemukan riwayat yang ketiga yang memperkuat dua riwayat sebelumnya. Yaitu dari riwayat Isrâil dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bagaimana beliau mengerjakannya ?' Lalu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab, “Beliau mengerjakan shalat Zhuhur lalu mengerjakan shalat dua rakaat sesudahnya, kemudian mengerjakan shalat ‘Ashar dan mengerjakan dua rakaat sesudahnya.” Maka aku berkata, “Bukankah dahulu Umar Radhiyallahu anhu memukuli orang yang mengerjakan dua raka'at sesudah ‘Ashar dan melarangnya ?" Maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menimpali, “Umar Radhiyallahu anhu pernah mengerjakannya, dan ia tahu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya. Akan tetapi kaummu ini adalah orang-orang orang-orang yang semangat beragama namun bodoh. Mereka mengerjakan shalat Zhuhur, kemudian (terus –red) mengerjakan shalat antara Zhuhur dan ‘Ashar. Lalu mereka mengerjakan shalat ‘Ashar kemudian mereka (terus –red) mengerjakan shalat antara Ashar dan Maghrib. Karena itulah Umar Radhiyallahu anhu memukul mereka. Dan apa yang beliau lakukan itu benar.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Abbâs as-Sarâj dalam Musnadnya (I/132). Dan sanadnya shahih.”

Syaikh al-Albani rahimahullah melanjutkan, “Ini merupakan bukti kuat bagi dua atsar yang diisyaratkan sebelumnya. Dan merupakan nash yang sangat jelas bahwa larangan Umar Radhiyallahu anhu terhadap dua rakaat ini bukan karena shalat itu tidak disyari'atkan sebagaimana perkiraan banyak orang. Akan tetapi karena beliau Radhiyallahu anhu khawatir akan ‘keterusan’ mengerjakan shalat sesudah dua rakaat ini, atau menundanya sampai masuk waktu yang dimakruhkan, yaitu ketika matahari telah menguning. Dan itulah waktu terlarang untuk melaksanakan shalat (sunat) setelah shalat 'Ashar yang dimaksudkan dalam banyak hadits shahih, sebagaimana telah dijelaskan di bawah penjelasan dua hadits yang terdahulu (yakni hadits Ali Radhiyallahu anhu dan hadits Anas Radhiyallahu anhu).”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar merupakan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dikerjakan sesudah shalat ‘Ashar sebelum matahari menguning. Dan hukuman yang dijatuhkan oleh Umar Radhiyallahu anhu atas pelakunya merupakan hasil ijtihad beliau Radhiyallahu anhu dan disetujui oleh sebagian sahabat, namun tidak disetujui oleh sahabat yang lain. Diantaranya adalah Ummul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Masing-masing dari kedua belah pihak ada yang menyetujuinya. Maka wajib merujuk kepada sunnah, yang shahih dari riwayat Ummul Mukminin Radhiyallahu anhuma, tanpa ada dalil yang menyelisihinya, kecuali hadits umum yang telah dikhususkan dengan hadits Ali Radhiyallahu anhu dan Anas Radhiyallahu anhu yang telah diisyaratkan nomornya tadi. Dan kelihatannya ini juga merupakan madzhab Ibnu Umar Radhiyallahu anhu. Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan (no. 589) dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

أُصَلِّي كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يُصَلُّونَ لَا أَنْهَى أَحَدًا يُصَلِّي بِلَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ مَا شَاءَ غَيْرَ أَنْ لَا تَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا غُرُوبَهَا

Aku akan mengerjakan shalat seperti aku lihat sahabat-sahabatku mengerjakannya. Aku tidak melarang seorangpun mengerjakan shalat pada malam atau siang hari selama ia mau, hanya saja janganlah ia menyengaja shalat ketika matahari terbit dan matahari terbenam.

Ini juga merupakan pendapat Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu. Abdurrazzaq rahimahullah telah meriwayatkan darinya (II/433) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Thawus dari ayahnya, bahwa Abu Ayyub al-Anshâri Radhiyallahu anhu mengerjakan shalat dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar sebelum masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu . Ketika Umar menjabat khalifah Abu Ayyub zRadhiyallahu anhu tidak lagi mengerjakannya. Ketika Umar Radhiyallahu anhu telah wafat, Abu Ayyub Radhiyallahu anhu kembali mengerjakannya. Ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa begitu ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Umar Radhiyallahu anhu menghukum orang-orang yang mengerjakannya.” Ibnu Thawus berkata, “Ayahku tidak pernah meninggalkan dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar itu.”

Syaikh al-Albâni melanjutkan, “Di sini perlu kami ingatkan Ahlus Sunnah yang bersemangat untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah agar mengerjakan dua raka'at ini sesudah shalat ‘Ashar pada waktu yang telah disyari'atkan. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنَّة ًحَسَنَةً

Barangsiapa mencontohkan sunnah yang baik dalam Islam...[16]

Dalam riwayat yang lain pula masih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang shalat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia menjawab.

كَانَ يُصَلِِّّي الهََجِِيرَ ثُُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِِ، ثُمَّ يُصَلِِّّي العَصْرَ، ثُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْْْعَتَيْنِِ

Beliau mengerjakan shalat Zhuhur lalu mengerjakan shalat dua rakaat sesudahnya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ‘Ashar kemudian mengerjakan shalat dua raka'at sesudahnya.”

Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VII/1426, no. 3488.

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ahmad diriwayatkan dari al-Miqdam, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sesudah ‘Ashar ?, ia menjawab, “Kerjakanlah, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaummu dari penduduk Yaman mengerjakan shalat apabila matahari sedang terbit.”

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Pada perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang mauqûf ini terdapat beberapa faidah yang tidak disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, yaitu, Umar Radhiyallahu anhu tidak melarang dua raka'at sesudah shalat ‘Ashar karena mengingkari pensyariatannya. Namun beliau melarangnya semata-mata untuk menutup celah kepada sesuatu yang dilarang, yaitu beliau Radhiyallahu anhu khawatir mereka akan mengerjakannya pada waktu yang diharamkan shalat, yaitu ketika matahari akan terbenam. Ada beberapa bukti yang menguatkannya dari riwayat Tamîm ad-Dâri dan Zaid bin Khalid al-Juhani. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tidak mengomentari sanad kedua riwayat ini dalam Fathul Bâri (II/65). Sedangkan sanad riwayat Zaid dihasankan oleh al-Haitsami.

Hadits Tamiim diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata, “Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui manusia dan memukul mereka karena mengerjakan dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar. Hingga beliau Radhiyallahu anhu bertemu dengan Tamîm ad-Dâri Radhiyallahu anhu. Tamîm Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak akan meninggalkan dua raka'at ini. Sungguh aku telah mengerjakannya bersama orang yang lebih baik darimu ! Yakni Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh, seandainya semua orang seperti dirimu niscaya aku tidak ambil peduli.”

Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/101) dengan sanad yang perawinya tsiqah, perawi al-Bukhâri dan Muslim, akan tetapi al-Haitsami berkata (II/222), “Urwah belum mendengar dari Umar Radhiyallahu anhu .”

Akan tetapi Abdullah bin Shalih telah meriwayatkannya, ia berkata, al-Laits telah menceritakan kepadaku dari Abul Aswad dari ‘Urwah bin az-Zubeir, ia berkata, “Tamim ad-Dâri telah mengabarkan kepadaku bahwa Tamîm ad-Dâri mengerjakan dua raka'at tersebut setelah Umar Radhiyallahu anhu melarang shalat sesudah ‘Ashar. Lalu Umar Radhiyallahu anhu mendatanginya dan hendak memukulnya dengan cambuk. Akan tetapi Tamim berisyarat kepadanya agar duduk, karena saat itu ia sedang shalat. Maka Umar Radhiyallahu anhu duduk hingga Tamîm selesai shalat. Tamîm berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu , “Mengapa engkau hendak memukulku ?” Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena engkau mengerjakan dua raka'at yang telah aku larang ini.”

Lalu Tamîm Radhiyallahu anhu mengatakan seperti yang telah disebutkan di atas tadi, kemudian ditambahkan, “Umar berkata, “Sesungguhnya sasaranku bukanlah kalian wahai kaum ! Akan tetapi aku khawatir akan datang sesudah kalian satu kaum yang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai waktu Maghrib. Hingga mereka melewati atau memasuki waktu yang terlarang bagi mereka untuk mengerjakan shalat, sebagaimana mereka mengerjakannya antara shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Kemudian mereka beralasan, 'Kami telah melihat si Fulan dan si Fulan mengerjakan shalat sesudah shalat ‘Ashar.” Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/48/1281) dan dalam al-Ausath (VIII/296/8684)[18].

Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-A’mâ dari seorang lelaki yang bernama as-Sâib Maula al-Farisiyyin dari Zaid, bahwa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu -saat itu beliau menjadi khalifah- melihatnya mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar. Maka Umar Radhiyallahu anhu mendekatinya dan memukulnya dengan cambuk, sementara Zaid Radhiyallahu anhu terus melanjutkan shalatnya. Selesai shalat, Zaid berkata, “Pukullah wahai Amirul Mukminin ! demi Allâh aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya karena aku telah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.”

Umar Radhiyallahu anhu duduk di dekatnya lalu berkata, “Hai Zaid Radhiyallahu anhu , kalaulah bukan karena aku khawatir orang-orang akan menjadikannya jalan untuk mengerjakan shalat sampai malam hari niscaya aku tidak akan memukul karenanya.”

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (II/431-432) –redaksi di atas adalah riwayatnya-, hadits ini diriwayatkan juga dari jalurnya dan dari jalur lainnya oleh Ahmad (IV/115), ath-Thabraani dalam al-Mu’jamul Kabîr (V/260/5166 dan 5167), setelah menisbatkannya kepada Ahmad dan ath-Thabrâni, al-Haitsami berkata, “Sanadnya hasan.” al-Albâni berkata, “Abu Sa’ad al-A’mâ tidak ada yang menyebutnya tsiqah kecuali Ibnu Hibbân, oleh karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan dalam kitab at-Taqrîb, “Majhûl!” Barangkali yang dimaksud oleh al-Haitsami adalah hasan lighairihi dilihat dari riwayat terdahulu, wallahu a’lam.

Syaikh al-Albâni rahimahullah juga menyebutkan riwayat 'Aisyah yang lain tanpa menyebutkan persetujuan 'Aisyah terhadap apa yang dilakukan oleh Umar. Diriwayatkan oleh al-Mughiirah dari Ibrahim dari al-Aswad dari 'Aisyah bahwa ia berkata, “Apakah engkau memukul orang karena mengerjakan dua rakaat tersebut ? Sungguh Rasûlullâh tidak menemui melainkan beliau mengerjakan dua raka'at tersebut.”

Lalu syaikh rahimahullah menyebutkan riwayat Jarir dari al-Mughirah tanpa menyebutkan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu . Setelah itu, syaikh al-Albâni menyimpulkan, “Inilah riwayat yang shahih dari 'Aisyah (yaitu riwayat –red) tanpa ada penyebutan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu .”[19]

Ada pula riwayat lain yang menguatkan pendapat ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Rabbâh dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar, seusai shalat bangkitlah seorang lelaki untuk mengerjakan shalat. Umar melihat hal itu. Ia berkata kepada lelaki itu, “Duduklah, sesungguhnya Ahli Kitab itu binasa karena tidak ada pemisah di antara shalat-shalat yang mereka lakukan.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata.

أَحْسَنَ ابْنُ الخَطَّابِ

Benar apa yang dikatakan oleh Ibnul Khahthab.[20]

Syeikh al-Albâni rahimahullah menjelaskan salah satu faidah dari hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat faidah penting lainnya, yaitu bolehnya mengerjakan shalat sunnat sesudah ‘Ashar. Sebab kalaulah tidak dibolehkan tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari perbuatan lelaki itu sebagaimana yang tampak nyata. Dan ini selaras dengan hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengerjakan shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar. Dan ini juga menunjukkan bahwa hal itu bukanlah khushushiyyah (kekhususan) bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Adapun sabda beliau “Tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari terbenam.” dibawakan kepada kondisi apabila matahari sudah menguning, berdasarkan hadits-hadits shahih yang membatasi maknanya.”

KESIMPULAN
Dibolehkan mengerjakan shalat sunnat dua rakaat sesudah ‘Ashar selama matahari masih tinggi dan cahayanya masih putih belum menguning, berdasarkan beberapa hadits yang menyatakan hal tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai matahari terbenam dibatasi maknanya dan dikhususkan kandungannya kepada kondisi apabila matahari sudah menguning.

Wallahu a’lam bis shawaab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber: http://almanhaj.or.id/

_______