Saturday, February 1, 2014

TUNTUNAN CARA MENJALANKAN AGAMA ISLAM




TUNTUNAN CARA MENJALANKAN AGAMA ISLAM

Oleh
Ustadz Abu Isma'il Muslim Atsari


Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, dari tidak ada menjadi ada. Allâh Azza wa Jalla telah memberikan berbagai keperluan hidup manusia di dunia ini. Dia juga memberikan akal dan naluri, yang dengannya -secara global- manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dan yang berbahaya.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan manusia dapat mendengar, melihat, berfikir, berbicara, dan berusaha. Sungguh, semua itu sebagai ujian, apakah manusia akan bersyukur kepada Penciptanya ? Beribadah kepada-Nya semata, taat dan tunduk terhadap syari’at-Nya ? Ataukah mengingkari nikmat-Nya dan menentang agama-Nya ?!

Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki dari mereka apa yang dikehendaki majikan terhadap budaknya, yaitu membantunya untuk meraih rizqi dan makanan. Bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjamin rizqi seluruh makhluk-Nya. Allâh berfirman menjelaskan hakekat ini dalam al-Qur’ân :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada- Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Oleh karena itu sebagai manusia, kita wajib beribadah kepada-Nya, dengan mengikuti agama Islam yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ridhai, karena Allâh Azza wa Jalla tidak akan menerima agama selainnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama di sisi Allâh hanyalah Islam. [Ali-‘Imron/3:19]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali-‘Imran/3: 85]

BAGAIMANA CARA MEN JALANKAN AGAMA ISLAM?
Umat Islam yang menjalankan agama Islam, mereka beribadah hanya kepada Rabb yang haq, yaitu Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melaksanakan shalat lima waktu dengan kiblat yang satu, yaitu Ka’bah di kota Mekah, memiliki tujuan yang satu, yaitu meraih ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala . harapan mereka yaitu bisa meraih kebahagiaan sempurna dengan dimasukkan ke surga dan selamat dari neraka. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin agar bersatu di atas kebenaran dan melarang berpecah-belah.

Namun dalam kenyataan hidup ini, kita melihat umat yang berselisih, berpecah-belah, saling membenci dan menjauhi ! Banyak yang fanatik kepada seorang ustadz, kyai, atau syaikh, atau fanatik kepada madzhab, kelompok atau organisasi keagamaan!

Padahal agama Islam telah ada dan telah sempurna sebelum kelahiran atau kemunculan perkara-perkara atau orang-orang yang mereka fanatiki. Tidakkah lebih baik umat kembali ke agama mereka ? Kembali ke agama yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ?

Dalam tulisan ini, kami berusaha menyajikan sedikit nasehat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin secara umum tentang cara menjalankan agama Islam. Semoga sajian ini bermanfaat !

SUMBER AGAMA ISLAM
Sumber aqidah (keyakinan) dan hukum agama Islam adalah al-Qur’ân, yang merupakan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan as-Sunnah (al-Hadits), yang merupakan tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Keduanya merupakan wahyu Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan seluruh manusia untuk mengikuti kitab suci al-Qur’ân yang telah Dia turunkan dalam firman-Nya :

وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan al-Qur'ân itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat, [al-An’âm/6:155]

Demikian juga telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sumber kedua syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama. Berpegang terhadap al-Kitab dan as-Sunnah adalah jaminan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman [al-Anfâl/8 : 1]

Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini, “Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya."[1]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla sebutkan di antara sifat orang-orang kafir adalah berpaling dari mentaati Allâh dan Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, "Ta'atilah Allâh dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang kafir". [Ali ‘Imrân/3: 32]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa menyelisihi thariqah (jalan; ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekafiran, dan Allâh Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka bahwa dia mencintai Allâh Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allâh kepada jin dan manusia”[2]

Dan Sungguh, berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah merupakan jaminan dari kesesatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: kitab Allâh dan Sunnah rasul-Nya. [Hadits Shahih Lighairihi. Riwayat Mâlik dan lainnya]

KESEMPURNAAN ISLAM
Termasuk prinsip-prinsip agama yang wajib diyakinia dalah agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Maka tugas manusia adalah mempelajari dan mentaatinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agamamu. [al-Mâidah/5: 3]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Ini nikmat Allâh Azza wa Jalla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh menjadikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh para Nabi dan (Allâh) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”.[3]

NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TELAH MENUNAIKAN AMANAH
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak wafat kecuali agama ini telah sempurna. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمُ عَنْهُ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya. Dan tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Azza wa Jalla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya. [Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. riwayat Syâfi’i rahimahullah , al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, dll. Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahîhah, 4/416-417 dan syaikh Ahmad Syâkir t dalam Ta’lîq ar-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari al-Bid’ah wa Atsaruhâ as-sayyi’ fil Ummah, hlm. 25]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidaklah tersisa sesuatupun yang akan mendekatkan ke sorga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kamu. [Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya dalam ar-Risâlah karya imam Syâfi’i, hlm. 93, ta’liq syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm. 19]

KONSEKWENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah kita mengetahui kesempurnaan Islam, maka di antara konsekwensinya adalah kita cukup mempelajari agama Islam ini, kemudian mengamalkannya, mendakwahkannya, dan bersabar dalam semua hal di atas. Kita tidak boleh membuat-buat dan menambahkan perkara baru apapun ke dalam agama ini, sebagaimana kita tidak boleh menguranginya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya, maka amalan itu tertolak. [HR. Muslim, no. 1718]

Dan inilah yang dipahami oleh para Ulama kita semenjak dahulu.

Imam Mâlik bin Anas rahimahullah berkata, “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) dalam Islam, dia memandangnya sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama), karena Allâh Azza wa Jalla telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (al-Mâidah/5 :3) Oleh karena itu, apa saja yang pada hari itu tidak menjadi agama, pada hari inipun juga tidak menjadi agama”. [Kitab al-I’tishâm, 2/64, karya Imam Asy-Syâtibi]

MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH DENGAN BIMBINGAN ULAMA
Memahami al-Qur’an dan as-Sunnah harus dengan bimbingan Ulama, karena Ulama adalah pewaris para Nabi. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Baramngsiapa yang mengambilnya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. [HR. Abu Dâwud no:3641, dan ini lafazhnya; Tirmidzi no:3641; Ibnu Mâjah no: 223; Ahmad 4/196; Darimi no: 1/98. Dihasankan Syaikh Salîm al-Hilâli dalam Bahjatun Nâzhirin 2/470, hadits no: 1388]

Para Ulama yang pertama kali dijadikan rujukan untuk memahami agama adalah para ulama dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, karena mereka adalah manusia terbaik dari kalangan umat ini. Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits Mutawatir, riwayat Bukhari, dan lainnya]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka di dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/398), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]

Para sahabat adalah manusia terbaik karena mereka adalah murid-murid Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka lebih memahami al-Qur'an dari generasi-generasi sesudahnya, karena mereka menghadiri turunnya al-Qur’ân, mengetahui sebab-sebab turunnya, dan mereka juga bertanya kepada Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat yang sulit mereka fahami.

Al-Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem mereka, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus.

Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa al-Qur’ân, karena ia diturunkan denga bahasa mereka. Dengan demikian mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelah mereka.

Demikian juga para Ulama yang datang setelah tiga generasi utama tersebut, yang mengikuti jejak mereka, karena memang Allâh Azza wa Jalla akan selalu membangkitkan para Ulama setiap zaman. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menjanjikan adanya mujaddid (pembaharu agama) pada setiap seratus tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perobahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan. [HR. Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil; Al-Baihaqi di dalam Sunan Kubra; dll. Dishahihkan oleh Imam Ahmad; dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal:77; juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus; istiqâmah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka.

MENYIKAPI PERSELISIHAN
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisa’/4: 59]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Azza wa Jalla mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) untuk memberitahukan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa membandingkan apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’ân. Bahkan jika beliau memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, sama saja apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jallamemerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka adalah orang-orang yang beriman. Dan Dia memberitakan kepada mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini memuat beberapa perkara:

Diantaranya, orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum, dan mereka tidak keluar dari keimanan dengan sebab (perselisihan) itu, jika mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla syaratkan terhadap mereka. Dan tidak ada keraguan bahwa ketetapan sesuatu yang digantungkan dengan syarat, maka sesuatu itu akan hilang dengan sebab ketiadaan syarat.

Firman Allâh Azza wa Jalla ((Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu)) meliputi seluruh yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman dari masalah-masalah agama, yang kecil dan yang besar, yang terang maupun yang samar.

Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah mengembalikan kepada kitab-Nya, mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnahnya setelah wafat beliau.

Allâh Azza wa Jalla menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan RasulNya” termasuk kewajiban dan konsekwensi iman, maka jika itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in 2/47-48), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]

Oleh karena itu sikap seorang mukmin adalah menerima dengan sepenuh hati. jika telah datang kepadanya ayat dari kitab suci al-Qur’ân, atau hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan pemahaman yang benar, pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.

Semoga sedikit tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



ULAMA SALAF BENTENG KOKOH PENJAGA SUNNAH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kebenaran Islam wajib meyakini bahwa Allâh Azza wa Jalla akan selalu menjaga kemurnian dan kebenaran agama Islam sampai hari kiamat. Penjagaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap kemurnian agama Islam ini adalah dengan menjaga sumber hukum syariat Islam, yaitu al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga tidak ada alasan apapun bagi semua manusia, sejak diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari kebenaran Islam, ketika Allâh Azza wa Jalla meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nisâ’/4:165].

Penjagaan terhadap kemurnian agama Islam ini ditegaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya [al-Hijr/15:9]

Penjagaan terhadap al-Qur’ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla menjaga kemurnian al-Qur’ân pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[1] , sedangkan kandungan makna al-Qur’ân yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna al-Qur’ân) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan [an-Nahl/16:44].

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Sunnah (hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur’ân”[2]

Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau rahimahullah berkata: “Firman Allâh Azza wa Jalla ini mengandung konsekwensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara”[3]

Oleh karena itu, beberapa Ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) bahwa makna adz-Dzikr dalam ayat di atas bukan hanya al-Qur’ân saja, tapi juga mencakup hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena keduanya adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Allâh Azza wa Jalla kepada manusia[4] .

Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm rahimahullah mengatakan, “…Maka benarlah bahwa semua hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama adalah wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa (Arab) dan ahli syariat Islam (Ulama) bahwa semua wahyu yang diturunkan dari sisi Allâh Azza wa Jalla adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan (oleh Allâh Azza wa Jalla). Maka wahyu seluruhnya terjaga (kemurniannya) secara pasti dengan penjagaan Allâh Azza wa Jalla, dan semua hal yang dijamin penjagaannya oleh Allâh Azza wa Jalla ditanggung tidak akan hilang (rusak) sedikitpun dan tidak akan berubah selamanya dengan perubahan yang tidak dijelaskan kebatilan (kesalahannya) … Maka mestilah agama yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (akan senantiasa) terjaga (kemurniannya) dengan penjagaan langsung dari Allâh Azza wa Jalla …”[5] .

PARA ULAMA AHLI HADITS PENJAGA SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Di antara sebab utama yang Allâh Azza wa Jalla jadikan untuk penjagaan kemurnian agama-Nya adalah dengan menghadirkan para Ulama Ahli hadits di setiap generasi sejak jaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat.

Mereka inilah yang dimaksud dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ

Ilmu agama ini akan dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil (terpercaya) dari mereka, (dan) mereka akan menghilangkan/membersihkan ilmu agama dari (upaya) at-tahrîf (menyelewengkan kebenaran/merubah kebenaran dengan kebatilan) dari orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dari orang-orang yang ingin merusak (syariat Islam) dan pentakwilan dari orang-orang yang bodoh”[6]

Imam Ibnul Qayiim rahimahullah berkata, “(Dalam hadits ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilmu agama yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa (dari wahyu Allâh Azza wa Jalla) akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari setiap generasi, supaya ilmu agama ini tidak pudar dan tidak hilang. Ini mengandung rekomendasi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para Ulama yang membawa ilmu yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawakan (ilmu sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[7]

Para Ulama Ahli hadits menghabiskan waktu, tenaga dan hidup mereka untuk mempelajari, menghafal dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikannya.

Oleh karena itu, imam besar penghafal hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbâ'ut tâbi'în yang terkenal, Abdullah bin al-Mubârak, ketika beliau rahimahullah ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar di tengah kaum Muslimin, beliau rahimahullah menjawab, "Para Ulama yang menekuni hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut." Kemudian beliau rahimahullah membaca firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya [al-Hijr/15:9][8]

Mereka pantas untuk disebut sebagai makhluk yang khusus diciptakan Allâh Azza wa Jalla untuk menjaga kemurnian al-Qur’ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ketika memuji imam Yahya bin Ma’in rahimahullah, “Di sini ada seorang laki-laki (Yahya bin Ma’in) yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan (khusus) untuk urusan ini (mempelajari dan meneliti hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan beliau rahimahullah menyingkap kedustaan orang-orang yang berdusta (dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[9]

Merekalah yang selalu membela kebenaran agama Islam dan menjaga kemurniaannya sampai di akhir jaman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهِيَ كَذَلِكَ

Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Allâh dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu[10]

Para Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘golongan yang selalu ditolong oleh Allâh dalam membela kebenaran’ (ath-thâifah al-manshûrah) dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah para Ulama ahli hadits, sebagaimana ucapan imam Abdullah bin al-Mubârak, imam Ahmad bin Hambal, imam ‘Ali bin al-Madini dan imam al-Bukhari, bahkan imam Ahmad bin Hambal berkata, “Kalau bukan yang dimaksud dengan ath-thâifah al-manshûrah ini adalah ahli hadits maka aku tidak tahu siapa mereka”[11]

Imam al-Khatîb al-Baghdadi, ketika mengomentari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Sungguh Rabb semesta alam (Allâh Azza wa Jalla ) telah menjadikan ath-thâifah al-manshûrah (para Ulama ahli hadits) sebagai penjaga agama Islam dan Allâh Azza wa Jalla melindungi mereka dari tipu daya para penentang (kebenaran), karena (kuatnya) mereka (dalam) berpegang teguh dengan syariat Allâh yang kokoh dan (dalam) mengikuti jejak para shahabat Radhiyallahu anhum dan tabi’in.

Kesibukan mereka adalah menghafal hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengarungi padang pasir dan tanah tandus, serta menempuh (perjalanan) darat dan laut dalam rangka mencari atau mengumpulkan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka tidak akan berpaling dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemikiran dan hawa nafsu manusia.

Mereka menerima (sepenuhnya) syariat (yang dibawa oleh) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan maupun perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menjaga (kemurnian) sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghafal dan menyebarkannya (kepada umat), sehingga mereka menjadikan kuat landasan sunnah (di tengah masyarakat), dan merekalah ahli sunnah dan yang paling memahaminya.

Berapa banyak orang yang (berpemahaman) menyimpang (dari Islam) ingin mencampuradukkan syariat Islam dengan kebatilan, tapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala membela dan menjaga syariat-Nya dengan para Ulama ahli hadits.

Maka merekalah para penjaga tiang-tiang penopang syariat Islam, penegak perintah dan hukum-hukumnya. Ketika manusia berpaling dari membela syariat Islam, maka mereka selalu tampil membela dan mempertahankannya.

أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Mereka itulah golongan Allâh . Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allâh itulah orang-orang yang yang beruntung [al-Mujâdilah/58:22][12]

Demikianlah peran Ulama ahli hadits dalam menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat Islam.
Wabillahitaufiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



TANTANGAN AL-QUR’ÂN

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari


Diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ini merupakan salah satu nikmat Allâh Azza wa Jalla yang terbesar kepada manusia. Kebutuhan manusia untuk beriman dan mengikuti agama yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kebutuhan mereka terhadap makan, minum, atau nafas. Karena ketiadaan makanan, minuman dan udara akan menyebabkan kematian jasmani, sedangkan ketiadaan iman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan kecelakaan abadi dalam neraka.

Semua utusan Allâh Azza wa Jalla kepada manusia pasti disertai bukti nyata yang menunjukkan kebenarannya. Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Bukhâri rahimahullah telah meriwayatkan hadits shahîh sebagai berikut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « مَا مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِىٌّ إِلاَّ أُعْطِىَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِى أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَىَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu nabi-pun dari semua nabi-nabi kecuali telah diberi sesuatu (tanda kebenaran/mu’jizat) yang menyebabkan manusia beriman kepadanya. Dan yang telah diberikan kepadaku adalah wahyu yang Allâh wahyukan kepadaku. Maka aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4981]

Dari hadits yang agung ini kita mengetahui bahwa mu’jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling besar adalah kitab suci al-Qur’ân. Sesungguhnya mu’jizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari seribu jenis, sebagaimana disebutkan oleh sebagain Ulama. Penyebutan kemu’jizatan al-Qur’ân secara khusus dalam hadits ini menunjukkan bahwa mu’jizat al-Qur’ân adalah mu’jizat yang paling agung.

Al-Qur’an merupakan mu’jizat dari banyak sisi, dari sisi bahasanya, balaghahnya, hukum-hukumnya, peraturan-peraturannya, berita-beritanya, kisah-kisahnya, berita-berita ghaibnya, ilmu-ilmu pengetahuannya, dan lain sebagainya. Intinya al-Qur’ân merupakan mu’jizat dari semua sisi.

TANTANGAN UNTUK MEMUAT SEPERTI AL-QUR’AN
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’ân, karena ia adalah kalam (perkataan) Allâh. Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Allâh. Oleh karena itu juga tidak ada perkataan makhluk yang menyamainya. Oleh karena itu pula, orang yang tidak mempercayai al-Qur’ân sebagai kalam Allâh Azza wa Jalla , tidak memiliki alasan sedikitpun.

Sebagian manusia kagum terhadap al-Qur’ân, namun mereka tetap menganggap bahwa al-Qur’ân merupakan karya dan susunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kepada orang-orang semacam ini, baik di zaman turunnya al-Qur’ân ataupun di zaman sekarang, Allâh Azza wa Jalla menantang mereka untuk membuat kitab atau perkataan yang semisal al-Qur’ân.

Ketika al-Qur’ân diturunkan, suku Quraisy berada di puncak balaghah dan kefasihah dalam membuat kalimat, banyak orang-orang cerdas di kalangan mereka, memiliki lidah yang lancar, dan bakat yang hebat. Bahkan sebagian mereka menduga bahwa mereka bisa membuat kalimat seperti al-Qur’ân, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَاءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَٰذَا ۙ إِنْ هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ

Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata, "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (al Qur'ân) ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang-orang purbakala". [al-Anfâl/8: 31]

Oleh karena itu tantangan tersebut adalah pantas terhadap mereka. Bahkan tantangan Allâh Azza wa Jalla turun beberapa kali kepada mereka. Ini semua membuktikan kebenaran al-Qur’ân yang datang dari sisi Allâh yang Maha Agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ﴿٣٣﴾فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ

Ataukah mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.

Kalau demikian, hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur'ân itu jika mereka orang-orang yang benar. [ath-Thûr/52: 33-34]

Demikian juga Allâh Azza wa Jalla menetapkan, bahwa mereka tidak akan mampu membuatnya, walaupun seluruh manusia dan jin berkumpul untuk melakukannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur'ân ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. [ al-Isrâ’/17:88]

TANTANGAN UNTUK MEMUAT 10 SURAT SEPERTI AL-QUR’AN
Ketika orang-orang kafir tidak ada yang menyambut tantangan Allâh Azza wa Jalla untuk membuat kalimat seperti al-Qur’ân, namun mereka tetap berkeras kepala menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatnya sendiri, maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya dengan tantangan yang lebih rendah dari sebelumnya. Yaitu tantangan untuk membuat 10 surat saja seperti al-Qur’ân.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١٣﴾فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah membuat-buat al-Qur'ân itu!" Katakanlah, "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allâh, jika kamu memang orang-orang yang benar". Jika mereka (yang kamu seru itu) tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu, maka ketahuilah, sesungguhnya al-Qur'ân itu diturunkan dengan ilmu Allâh, dan bahwasanya tidak ada Tuhan yang haq selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? [Hûd/11: 13-14]

TANTANGAN UNTUK MEMBUAT 1 SURAT SEPERTI AL-QUR’AN
Sungguh tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’ân datang dari sisi Allâh Robbul ‘alamin. Bagaimanapun usaha manusia, tidak mungkin bisa membuat kalimat seperti al-Qur’ân. Oleh karena itu setelah tantangan Allâh Azza wa Jalla kepada orang-orang kafir untuk membuat kalimat seperti al-Qur’ân tidak ada yang menyambut. Demikian juga setelah tantangan diturunkan untuk membuat 10 surat seperti al-Qur’ân, juga tidak ada yang menyambut, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan lagi tantangan-Nya menjadi satu surat saja seperti al-Qur’ân. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا كَانَ هَٰذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَىٰ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِين ﴿٣٧﴾ أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Tidaklah mungkin al-Qur'ân ini dibuat oleh selain Allâh ; akan tetapi (al-Qur'ân itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Rabb semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." [ Yûnus/10: 37- 38]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِين ﴿٢٣﴾فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'ân yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, (neraka itu) telah disediakan bagi orang-orang kafir. [ al-Baqarah/2: 23-24]

TIDAKKAH MANUSIA BERIMAN?!
Dari keterangan ini kita mengetahui kebenaran al-Qur’ân yang tidak ada keraguan di dalamnya sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا كَانَ هَٰذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَىٰ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Tidaklah mungkin al-Qur'ân ini dibuat oleh selain Allâh; akan tetapi (al-Qur'ân itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Rabb semesta alam. [ Yuunus/10: 37]

Imam Ash-Shan’âni rahimahullah berkata, “Telah diketahui bahwa termasuk kepastian agama ini, yaitu semua isi al-Qur’ân adalah haq, tidak ada kebatilan (kesalahan/kepalsuan) di dalamnya, beritanya benar, tidak ada kedustaan; petunjuk, tidak ada kesesatan; ilmu, tidak ada kebodohan; keyakinan, tidak ada keraguan. Ini merupakan hal prinsip. Keislaman dan keimanan seseorang tidak sah kecuali dengan mengakuinya. Ini merupakan perkara yang disepakati, tidak ada perselisihan padanya”. (That-hîrul I’tiqâd ‘an Adrânil Ilhâd, hlm. 2, karya imam Ash-Shan’ani)

Tantangan Allâh Azza wa Jalla yang turun bertubi-tubi kepada orang-orang kafir, dengan penetapan bahwa mereka semua tidak akan mampu membuatnya, padahal mereka sangat membenci dan memusuhi dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berusaha keras dengan berbagai cara untuk menghalangi tersebarnya agama Islam, namun tokoh-tokoh mereka bungkam dari tantangan agung ini, semua ini membuktikan kebenaran al-Qur’ân yang datang dari sisi Allâh yang Maha Agung. Maka tidakkah manusia mau beriman kepada al-Qur’ân? Hanya Allah Yang berkuasa memberikan petunjuk. Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment