Monday, April 30, 2012

Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah


Anjuran Untuk Menikah : Nikah Adalah Sunnah Para Rasul, Persetubuhan Dari Kalian Adalah Shadaqah



Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah.

Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissalam

“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

"Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’: 89]

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan ke-turunan…” [Ar-Ra’d: 38]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 32]

Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallan bersabda.

"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa." [1]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

"Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya)." [2]

Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa.

Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan disampaikan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita -dengan sabdanya- untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.

"Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani." [3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.

Saya kemukakan kepadamu, saudaraku yang budiman, sejumlah hadits yang menunjukkan hal itu.

[1]. Nikah Adalah Sunnah Para Rasul.

Nikah adalah salah satu Sunnah para Rasul, lantas apakah engkau akan menjauhinya, wahai saudaraku yang budiman?

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." [4]

[2]. Siapa Yang Mampu Di Antara Kalian Untuk Menikah, Maka Menikahlah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita demikian, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan: "Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'" [5]

[3]. Orang Yang Menikah Dengan Niat Menjaga Kesucian Dirinya, Maka Allah Pasti Menolongnya.

Saudaraku yang budiman, jika engkau ingin menikah, maka ketahuilah bahwa Allah akan menolongmu atas perkara itu.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah." [6]

[4]. Menikahi Wanita Yang Berbelas Kasih Dan Subur (Banyak Anak) Adalah Kebanggaan Bagimu Pada Hari Kiamat.

Saudaraku yang budiman, jika kamu hendak menikah, carilah dari keluarga yang wanita-wanitanya dikenal subur (banyak anak) dan berbelas kasih kepada suaminya, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membanggakanmu mengenai hal itu pada hari Kiamat.

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan: ‘Aku mendapatkan seorang wanita (dalam satu riwayat lain (disebutkan), ‘memiliki kedudukan dan kecantikan’), tetapi ia tidak dapat melahirkan anak (mandul); apakah aku boleh menikahinya?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian dia datang kepada beliau untuk kedua kalinya, tapi beliau melarangnya. Kemudian dia datang kepada beliau untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ‘Nikahilah wanita yang berbelas kasih lagi banyak anak, karena aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat yang lain.’” [7]

[5]. Persetubuhan Salah Seorang Dari Kalian Adalah Shadaqah.

Saudaraku semuslim, aktivitas seksualmu dengan isterimu guna mendapatkan keturunan, atau untuk memelihara dirimu atau dirinya, maka engkau mendapatkan pahala; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, bahwa sejumlah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendapatkan banyak pahala. Mereka melaksanakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, dan mereka dapat bershadaqah dengan kelebihan harta mereka."

Beliau bersabda: "Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian shadaqahkan. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma'ruf adalah shadaqah, mencegah dari yang munkar adalah shadaqah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan isterinya) adalah shadaqah."

Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang melampiaskan syahwatnya akan mendapatkan pahala?"

Beliau bersabda: "Bagaimana pendapat kalian seandainya dia melampiaskan syahwatnya kepada hal yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya kepada hal yang halal, maka dia mendapatkan pahala." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Anjuran Untuk Menikah : Menikah Dapat Mengembalikan Semangat Kepemudaan




Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq




[6]. Menikah Dapat Mengembalikan Semangat "Kepemudaan".

Nikah dapat mengembalikan kekuatan dan kepemudaan badan. Karena ketika jiwa merasa tenteram, tubuh menjadi giat.

Inilah seorang Sahabat yang menjelaskan hal itu kepada kita, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Alqamah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku bersama ‘Abdullah (bin Mas’ud), lalu ‘Utsman bertemu dengannya di Mina, maka ia mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya aku mempunyai hajat kepadamu.’ Kemudian keduanya bercakap-cakap (jauh dari ‘Alqamah). ‘Utsman bertanya kepadanya: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, maukah aku nikahkan engkau dengan seorang gadis yang akan mengingatkanmu pada apa yang dahulu pernah engkau alami?’ Ketika ‘Abdullah merasa dirinya tidak membutuhkannya, maka dia mengisyaratkan kepadaku seraya mengatakan: ‘Wahai ‘Alqamah!’ Ketika aku menolaknya, dia mengatakan: ‘Jika memang engkau mengatakan demikian, maka sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami: ‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah; karena puasa dapat mengendalikan syahwatnya.’” [9]

[7]. Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menganjurkan Suami Isteri Agar Melakukan Aktivitas Seksual Guna Memperolah Keturunan, Dan Menikah Dengan Gadis.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia mengatakan: "Nabi Sulaiman bin Dawud berkata: 'Aku benar-benar akan menggilir 70 isteri pada malam ini, yang masing-masing isteri akan melahirkan seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.' Seorang sahabatnya berkata kepadanya: 'Insya Allah.' Tetapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang hamil kecuali satu orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Seandainya dia mengucapkan insya Allah, niscaya mereka menjadi para mujahid di jalan Allah.'" [10]

Dalam riwayat Muslim (disebutkan): "Aku bersumpah kepada Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! 'Seandainya dia mengucapkan ‘insya Allah’, niscaya mereka berjihad di jalan Allah sebagai prajurit semuanya.'" [11]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah , ia mengatakan: "Aku bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan, ternyata untaku berjalan lambat dan kelelahan. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku lalu menegur: 'Jabir!' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Untaku berjalan lambat dan kelelahan sehingga aku tertinggal.' Lalu beliau turun untuk mengikatnya dengan tali, kemudian bersabda: 'Naiklah!' Aku pun naik. Sungguh aku ingin menahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: 'Apakah engkau sudah menikah?' Aku menjawab: 'Sudah.' Beliau bertanya: 'Gadis atau janda?' Aku menjawab: 'Janda.' Beliau bersabda: 'Mengapa tidak menikahi gadis saja sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan ia pun bermain-main dengan-mu?' Aku menjawab: 'Sesungguhnya aku mempunyai saudara-saudara perempuan, maka aku ingin menikahi seorang wanita yang bisa mengumpulkan mereka, menyisir mereka, dan membimbing mereka.' Beliau bersabda: 'Engkau akan datang; jika engkau datang, maka demikian, demikian.' [12] Beliau bertanya: 'Apakah engkau akan menjual untamu?' Aku menjawab: 'Ya.' Lalu beliau membelinya dariku dengan satu uqiyah (ons perak). Kemudian Rasulullah n sampai sebelumku, sedangkan aku sampai pada pagi hari. Ketika kami datang ke masjid, aku menjumpai beliau di depan pintu masjid. Beliau bertanya: 'Apakah sekarang engkau telah tiba?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau bersabda: 'Tinggalkan untamu lalu masuklah ke masjid, kemudian kerjakan shalat dua rakaat.' Kemudian aku masuk, lalu melaksanakan shalat. Setelah itu beliau memerintahkan Bilal agar membawakan satu uqiyah kepada beliau, lalu Bilal menimbangnya dengan mantap dalam timbangan. Ketika aku pergi, beliau mengatakan: 'Panggillah Jabir kepadaku.' Aku mengatakan: 'Sekarang unta dikembalikan kepadaku, padahal tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci daripada unta ini.' Beliau bersabda: 'Ambillah untamu, dan harganya untukmu.'" [13]

Ibnu Majah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda

"Nikahlah dengan gadis perawan; sebab mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit." [14]

[8]. Anak Dapat Memasukkan Bapak Dan Ibunya Ke Dalam Surga.

Bagaimana anak memasukkan ayah dan ibunya ke dalam Surga? Mari kita dengarkan jawabannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi. Imam Ahmad meriwayatkan dari sebagian Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

"Di perintahkan kepada anak-anak di Surga: 'Masuklah ke dalam Surga.' Mereka menjawab: 'Wahai Rabb-ku, (kami tidak masuk) hingga bapak dan ibu kami masuk (terlebih dahulu).' Ketika mereka (bapak dan ibu) datang, maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka: 'Aku tidak melihat mereka terhalang. Masuklah kalian ke dalam Surga.' Mereka mengatakan: 'Wahai Rabb-ku, bapak dan ibu kami?' Allah berfirman: 'Masuklah ke dalam Surga bersama orang tua kalian.'" [15]

Sebagian manusia memutuskan untuk beribadah dan menjadi "pendeta" serta tidak menikah, dengan alasan bahwa semua ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Kita sebutkan kepada mereka dua hadits berikut ini, agar mereka mengetahui ajaran-ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keharusan mengikuti Sunnahnya pada apa yang disabdakannya. Inilah point yang kesembilan:

[9]. Tidak Menikah Karena Memanfaatkan Seluruh Waktunya Untuk Beribadah Adalah Menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Wahai saudaraku yang budiman. Engkau memutuskan untuk tidak menikah agar dapat mempergunakan seluruh waktumu untuk beribadah adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, agama kita bukan agama "kependetaan" dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasi-kan hal itu kepada kita.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik, ia menuturkan: Ada tiga orang yang datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberi kabar, mereka seakan-akan merasa tidak berarti. Mereka mengatakan: "Apa artinya kita dibandingkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan terkemudian?" Salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam selamanya." Orang kedua mengatakan: "Aku akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan pernah berbuka." Orang ketiga mengatakan: "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya." Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu bertanya: "Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sesungguhnya aku lebih takut kepada Allah dan lebih bertakwa daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.'" [16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui Salman Radhiyallahu ‘anhu atas apa yang dikatakannya kepada saudaranya, Abud Darda' Radhiyallahu ‘anhuma yang telah beristeri, agar tidak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menjauhi isterinya, yaitu Ummud Darda’ Radhiyallahu ‘anha. Dia menceritakan kepada kita peristiwa yang telah terjadi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Wahb bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Ketika Salman mengunjungi Abud Darda', dia melihat Ummud Darda' mubtadzilah (memakai baju apa adanya dan tidak memakai pakaian yang bagus). [17] Dia bertanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia menjawab: "Saudaramu, Abud Darda', tidak membutuhkan dunia ini, (yakni wanita. Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan: ‘Ia berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari’).”

Kemudian Abud Darda' datang lalu Salman dibuatkan makanan. "Makanlah, karena aku sedang berpuasa," kata Abud Darda'. Ia menjawab: "Aku tidak akan makan hingga engkau makan." Abud Darda' pun makan. Ketika malam datang, Abud Darda' pergi untuk mengerjakan shalat.

Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ia pun tidur. Kemudian ia pergi untuk shalat, maka Salman berkata kepadanya: "Tidurlah!" Ketika pada akhir malam, Salman berkata: "Bangunlah sekarang." Lantas keduanya melakukan shalat bersama.

Kemudian Salman berkata kepadanya: "Rabb-mu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berikanlah haknya kepada masing-masing pemiliknya."

Kemudian Abud Darda' datang kepada Nabi n untuk men-ceritakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: "Salman benar." [18]

Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, aku diberi kabar, bukankah engkau selalu berpuasa di siang hari dan shalat pada malam hari?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah. Sebab jasadmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu.'" [19]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

Menepis Kekeliruan Pandangan Terhadap Poligami


Oleh
Ustadz Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda



Di antara petunjuk al Qur`an, yang memberikan petunjuk jalan yang lurus, yaitu dibolehkannya seorang laki-laki melakukan poligami hingga empat isteri. Meski demikian, bila seorang lelaki merasa khawatir tidak mampu berbuat adil, maka diharuskan baginya cukup mempunyai satu isteri saja atau memiliki budak perempuan, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam surat an-Nisaa ayat 3.

“Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [1]

Ada beberapa alasan mengapa seorang laki-laki boleh melakukan poligami, di antaranya ialah untuk kebaikan wanita, disebabkan terhalangnya sebagian wanita dari menikah. Juga untuk kebaikan laki-laki, supaya manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan, yang tidak mungkin optimalisasi itu terlaksana kalau hanya mempunyai satu isteri saja. Alasan lainnya, ialah untuk kebaikan ummat, yakni memperbanyak jumlah kaum Muslimin. Karena dengan banyaknya kaum Muslimin yang terlahir dari perkawinan ini, memungkinkan mereka melawan musuh untuk meninggikan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai yang tertinggi.

Poligami merupakan syari'at Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencelanya, kecuali orang yang telah dibutakan oleh Allah Azza wa Jalla mata hatinya dengan kekufuran. Pembatasan poligami dengan empat isteri, juga merupakan pembatasan yang datangnya dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan jumlah ini bersifat tengah-tengah antara sedikit (monogami), yang menyebabkan terabaikannya sebagian manfaat kaum lelaki, atau banyak (lebih dari empat) yang dikhawatirkan tidak adanya kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban rumah tangga terhadap seluruh isteri [2]

Pada akhir-akhir ini muncul generasi yang memiliki pemikiran sebagaimana orang-orang barat. Mereka mendapatkan pendidikan barat, baik di negeri sendiri ataupun di negeri orang kafir, dan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran orientalis yang memusuhi Islam.

Terkadang sangat jelas kebatilannya dan juga terkadang tampaknya baik, tetapi di balik itu terdapat penyimpangan yang disembunyikan, hingga menimbulkan kerancuan dan kekacauan pemikiran di kalangan kaum Muslimin. Yang pada akhirnya pemikiran mereka berkembang hingga taraf pengingkaran terhadap syari'at. Di antara kerancuan pemikiran mereka, yaitu dalam hal poligami. Menurut mereka, poligami dianggap sebagai perbuatan zhalim, sehingga tidak benar jika diperbolehkan. Sebagian lagi ada yang secara terang-terangan menentang poligami, sebagian lagi dengan cara halus.

Berikut kami contohkan di antara syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.

Syubhat Pertama.
Para penentang poligami menyatakan adanya larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali untuk menikahi anak perempuan Abu Jahl dan mengumpulkannya dengan Fatimah binti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].

Dengan menyandarkan kepada larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali agar tidak mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, maka sebagian penentang poligami memberikan komentar dan mengatakan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang Ali untuk menikah dengan anak perempuan Abu Jahl dan dikumpulkan bersama Fatimah. Bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan, maka kami melarang para suami menikahi wanita lain bersama dengan anak-anak perempuan kami, dan kamipun tidak melakukan poligami, karena ini termasuk di antara perkara-perkara yang bisa menyakiti orang-tua maupun isteri-isteri kami.

Jawab:
Syubhat yang mereka lontarkan itu, hakikatnya sudah tertolak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla membolehkan seorang laki-laki untuk menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk menikahi satu isteri saja bila merasa khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah melarang Ali memadu Fatimah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikah dengan sembilan isteri, maka ucapan beliau adalah hujjah, demikian juga dengan perbuatannya. Bantahan secara detail, di antaranya terdapat di dalam hadist itu sendiri. Pendapat ini lebih utama, sedangkan yang lainnya merupakan kesimpulan dan pendapat dari para ulama. Berikut adalah penjelasannya.

[1]. Bantahan tersebut telah datang dalam nash hadist tersebut sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ أَبَدًا

Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah selama-lamanya.

Dalam riwayat Muslim :

مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا

Dalam satu tempat selama-lamanya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ أَبَدًا

Pada satu laki-laki selama-selamanya.

Maka ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian pendapat sebagian ulama.

Ibnu Tiin berkata,"Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 'Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,' maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak boleh".[4]

Imam Nawawi rahimahullah berpendapat, diharamkan mengumpulkan di antara keduanya dan makna sabda Nabi "Aku tidak mengharamkan perkara yang halal," maksudnya adalah, aku (Nabi) tidak mengatakan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan sesuatu, aku tidak akan mengharamkannya. Dan jika Allah mengharamkan sesuatu, aku tidak akan menghalalkannya. Dan aku, juga tidak diam dari pengharaman sesuatu, karena diamku berarti penghalalan sesuatu tersebut. Maka, ini termasuk di antara nikah yang diharamkan, yaitu mengumpulkan antara putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anak perempuan musuh Allah Subhanhu wa Ta’ala.[5]

[2]. Hadits ini menunjukkan di antara kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu putri-putri beliau tidak boleh dimadu.[6]

[3]. Hal ini khusus bagi Fathimah, karena dia telah kehilangan ibunya dan juga saudara-saudara perempuannya, sehingga tidak tersisa lagi orang yang bisa diajak bertukar pikiran atau meringankan beban pikiran, atau untuk menyampaikan rahasia apabila muncul rasa cemburunya [7]. Berbeda dengan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena jika mereka mendapatkan problem semisal di atas, maka mereka bisa mengadu kepada orang yang bisa menyelesaikan masalah tersebut, yaitu suami mereka, yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini disebabkan dengan apa yang ada pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu sifat lemah-lembut, kebaikan hati, menjaga perasaan. Sehingga semua isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ridha dengan kebaikan akhlak dan seluruh sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga jika muncul kecemburuan, maka bisa segera teratasi dalam waktu cepat.

[4]. Sesungguhnya hal itu bukan berarti larangan, akan tetapi maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sikap percaya dirinya dan keteguhannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau mengetahui bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan ini termasuk karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau- tidak akan mengumpulkan Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl. Seperti perkataan Sahabat Anas bin Nadhir tatkala saudara perempuannya mematahkan gigi seri seorang wanita, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menegakkan qishash, akan tetapi Anas bin Nadhir berkata: "Apakah engkau hendak mematahkan gigi Rabi'? Tidak! Demi Allah . Engkau tidak mungkin mematahkan giginya, selama-lamanya. Maka keluarga wanita tersebut akhirnya mau menerima diyat dan gigi seri milik Rabi’tidak dipatahkan, sehingga berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

“Artinya : Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, kalau dia bersumpah dengan nama Allah, Allah berkenan mengabulkannya” [8]

Syubhat Kedua.
Para penentang poligami menyatakan, tidak mungkin bagi para suami mampu berbuat adil di antara para isteri, dengan dalih firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Artinya : Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” [An-Nisaa`: 3]

Dan Allah telah berfirman :

“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`: 129]

Jawab
Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil" dalam ayat ini adalah rasa cinta, kecondongan hati dan hubungan badan. Adapun perkara-perkara yang zhahir, seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari satu untuk berbuat adil.

Dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah: "Tidak boleh mengutamakan salah satu di antara para isteri dalam pembagian. Akan tetapi, bila dia mencintai salah satunya lebih dari yang lainnya, atau berhubungan badan lebih banyak dari yang lainnya, maka ini tidak mengapa. Dalam masalah ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat-Nya :

“Artinya : (Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian)” [An-Nisaa` : 129]

“Yaitu dalam rasa cinta dan berhubungan badan".

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan : "Adapun rasa cinta, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai 'Aisyah dibandingkan dengan yang lainnya. Dan kaum Muslimin sepakat, bahwa menyamakan rasa cinta kepada semuanya bukan suatu kewajiban, karena ini diluar kemampuan seseorang kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendakinya. Adapun adil dalam bersikap, maka demikianlah yang diperintahkan".[10]

Imam Ibnu Hajar juga berpendapat senada. Beliau berkata,"Apabila sang suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal bagi seluruh isterinya, maka tidak mengapa baginya jika dia melebihkan sebagian lainnya dalam hal kecondongan hati atau pemberian hadiah.[11]

Dalam masalah keadilan ini, Syaikh Musthafa al Adawi memberikan dua peringatan.

[1]. Menyamakan dalam berhubungan badan meskipun ini tidak wajib akan tetapi disunnahkan untuk berbuat adil dalam hal ini, ini lebih baik, lebih sempurna dan jauh dari sikap berlebih-lebihan dalam kecondongan hati, sebagaimana yang dikemukakan oleh sejumlah Ulama’. Imam Ibnu Qudaamah dalam kitab beliau “Mughni” mengatakan : Bila memungkinkan menyamakan dalam berhubungan badan maka ini lebih baik, lebih utama dan lebih sesuai dengan makna adil[12]

Dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab disebutkan, dianjurkan bagi suami untuk menyamakan dalam berhubungan badan, karena ini lebih sempurna dalam berbuat adil. Kalau dia tidak melakukannya, maka tidak mengapa. Karena dorongan untuk melakukan hubungan badan adalah nafsu syahwat dan rasa cinta. Dan tidak mungkin menyamakan di antara para isteri. Oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisaa`:129]

Menurut 'Abdullah bin 'Abbas, yaitu dalam hal rasa cinta dan hubungan badan. 'Aisyah sendiri menjelaskan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi di antara isteri-isteri beliau dan berbuat adil, kemudian (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: "Ya, Allah. Inilah pembagianku pada isteri-isteriku yang aku miliki, dan janganlah Engkau cela diriku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki," yaitu hati.[13] Dan di bagian lain dikatakan: "Akan tetapi dianjurkan untuk menyamakan di antara para isteri dalam berhungan badan, karena ini yang menjadi tujuan".

[2]. Seorang suami wajib untuk memenuhi kebutuhan biologis isterinya, tentunya sesuai dengan kemampuannya. Kalau ia tidak melakukannya, maka dia tidak akan merasa aman dari kerusakan, yang mungkin terjadi pada isterinya, bahkan terkadang dapat menyebabkan permusuhan, kebencian dan perselisihan di antara keduanya.[15]

Syubhat Ketiga.
Para penentang poligami berpendapat, bahwa poligami justru akan melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut.[16]

Jawab
Pendapat ini dapat kita bantah ini sebagai berikut:
Perselisihan yang muncul di antara para isteri merupakan sesuatu yang wajar, tumbuh dari rasa cemburu yang merupakan tabiat wanita. Untuk mengatasi hal tersebut, tergantung kepada kemampuan suami dalam mengatur urusan rumah tangganya, keadilannya terhadap isteri-isterinya, rasa tanggung jawab terhadap keluarganya, demikian juga tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Apabila ini semua sudah terpenuhi, maka akan tegaklah kehidupan keluarganya, diliputi dengan rasa kasih dan sayang di antara anggota keluarganya. Atau kalau tidak terpenuhi, akan hancurlah keluarga tersebut, baik keluarga yang berpoligami ataupun tidak. Kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga tampak seperti itu, walaupun menikah hanya dengan satu isteri (monogami). Bahkan banyak terjadi pertengkaran, hingga mengantarkan pada perceraian, dan menyebabkan anak-anak menjadi terlantar.

Memang ada benarnya, terkadang pertengkaran menimpa keluarga, orang yang melakukan poligami, tetapi hal ini terjadi karena kurang bertanggung jawabnya sang suami, dan karena ketidak-adilannya terhadap para isterinya. Ini membutuhkan jalan penyelesaian, bukan dengan cara menolak praktek poligami, yang di dalamnya terdapat banyak kebaikan. Perbuatan dan perilaku individu, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya poligami.

Syubhat Keempat.
Para penentang poligami mengatakan, Islam, sebagai agama yang diturunkan untuk menegakkan keadilan, sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami. Al-Qur'an surat Annisa ayat 3 kerap kali dijadikan dalih pembenar. Padahal, ulama membaca ayat tersebut tidak seragam. Setidaknya ada 3 pendapat menilai ayat tsb. Pertama, boleh tanpa syarat. Kedua, boleh dengan syarat darurat; dan Ketiga, haram lighairihi. Pendapat ketiga mengisyaratkan bahwa pada esensinya, poligami tidaklah haram. Namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram[17]

Jawab
Subhanallah! Ini merupakan kedustaan besar atas agama Allah dan ayat-ayat-Nya. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Islam sama sekali tidak pernah memerintahkan umatnya berpoligami? Bagaimana dengan ayat yang telah disebutkan Allah Subhanhu wa Ta’ala , yaitu :

“Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat” [An-Nisaa` : 3]

Para ulama menjelaskan tentang tafsir ayat ini, bahwasanya hukum asal berpoligami adalah boleh. Bahkan sebagian ulama mengatakan perkara ini dianjurkan bagi yang mampu.

Syaikh Mohammad Amin mengatakan dalam kitab tafsir Adwa’ul-Bayan, bahwasanya Islam membolehkan menikah dengan lebih dari satu isteri, (yaitu) dua, tiga atau empat[18]

Juga Imam Ibnu Katsir, di dalam tafsir beliau tentang ayat ini menyebutkan, nikahilah wanita yang kalian kehendaki selain dari mereka, jika kalian menghendaki dua orang, tiga orang atau empat orang [19]

Demikian juga perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Nikahilah wanita yang banyak melahirkan anak dan cinta kepada suami. Sesungguhnya aku membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lainnya".[20]

'Abdullah bin 'Abbas juga mengatakan: "Menikahlah! Sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya".[21]

Maknanya, dengan banyaknya menikah akan memperbanyak umat, dan inilah yang menjadi tujuan pernikahan. Para ulama’ menjelaskan, boleh melakukan poligami, dengan syarat harus bersikap adil. Dalam hal ini, adil yang dimaksud adalah dalam perkara yang zhahir; bukan yang batin, seperti rasa cinta, kecondongan hati, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Adapun perkataan "namun, karena ekses yang ditimbulkannya luar biasa membawa kemudharatan, maka poligami menjadi haram".

Timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang dibolehkan oleh Allah dan banyak membawa kebaikan akan menimbulkan kemudharatan? Allah-lah Yang paling mengetahui tentang kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya. Maka kalau dalam berpoligami terdapat kekurangan yang disebabkan perilaku sebagian individu, maka tidaklah kemudian disama-ratakan hukumnya. Penilaian yang mengeneralisir ini, sungguh suatu penilian yang sangat keliru.

Demikian sebagian di antara pandangan keliru yang dilesatkan para musuh Islam kepada kaum Muslimin tentang poligami. Sehingga bisa jadi menumbuhkan keragu-raguan di kalangan kaum Muslimin pada umumnya. Dengan demikian, setahap demi setahap keraguan ini bisa menyebabkan penolakan terhadap syari'at Allah secara keseluruhan. Kita berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membimbing kita pada kebenaran. Tetap berpegang teguh dengan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wallahul-Musta'an.

Poligami : Kewajiban Menyamaratakan Secara Adil Semua Isteri Dalam Hal Pemberian Nafkah Materi



Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah



Di dalam kitab Al-Fatawa (XXXII/270), Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun keadilan dalam masalah nafkah dan sandang, maka yang disunahkan adalah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau sangat adil dalam memberikan nafkah di antara isteri-isterinya, sebagaimana beliau juga adil dalam membagi giliran. Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat manusia (maksud beliau adalah ulama ,-ed) mngenai pembagian ini, apakah yang demikian itu merupakan suatu hal yang wajib bagianya ataukah sunnah? Dan mereka berselisih juga soal sikap adil dalam hal pemberian nafkah, apakah yang demikian itu wajib atau sunnah? Dan hukum wajibnya lebih kuat dengan di dukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah”.

Syaikh Mustafa Al-Adawi berkata, “Dan yang tampak secara lahiriah –wallahu a’lam- adalah bahwa pendapat yang mewajibkan itu lebih kuat dengan di dukung oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan pengetahuan mengenai hal itu hanya ada di sisi Allah Azza wa Jalla” [1]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Ummu Sulaim pernah mengutusnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kain yang diatasnya terdapat kurma ruthab (yang belum kering). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggenggamnya kemudian mengirimkannya kepada beberapa isterinya. Dan setelah itu beliau pun mengambil lagi sebagian kurma tersebut dan memberikannya kepada sebagian isterinya yang lain. Kemudian beliau duduk dan memakan sisanya, seperti makannya seseorang yang mengetahui bahwa dia sangat berselera padanya” [Hadits Riwayat Ahmad] [2]

SEKELUMIT TENTANG SIKAP ADIL PARA ULAMA SALAF

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/387) mengatakan, Abu Dawud Ath-Thayalisi mengabarkan kepada kami dari Harun bin Ibrahim, dia berkata, Aku pernah mendengar Muhammad berkata tentang seorang laki-laki yang memiliki dua orang isteri, “Dimakruhkan baginya untuk berwudhu di rumah salah seorang dari keduanya dan tidak di rumah yang lainnya”. Ini adalah atsar yang shahih.

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/387), “Jarir memberitahu kami dari Mughirah dari Abu Ma’syar dari Ibrahim mengenai seorang laki-laki yang menghimpun antara dua madunya, lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya dia menyamaratakan di antara mereka semua sehingga tersisa kelebihan tepung dan makanan yang telah ditakar, lalu dia membaginya segenggam demi segenggam, hingga masih juga tersisa tetapi tidak bisa ditakar lagi”.

Atsar ini shahih. Dan Abu Ma’syar adalah Ziyad bin Kulaib, yang dia bersetatus tsiqah (dapat dipercaya).

MENGADAKAN UNDIAN UNTUK MENENTUKAN SIAPA YANG AKAN IKUT DALAM SUATU PERJALANAN

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian diantara isteri-isteri beliau. Siapa diantara mereka yang mendapatkan undian itu maka beliau akan keluar bersamanya. Dan beliau biasa membagi untuk setiap orang dari isteri-isteri beliau hari dan malamnya, hanya saja Saudah binti Zam’ah telah memberikan hari dan malamnya kepada Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan mendapatkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa, jika akan melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Maka jatuhlah undian itu pada Aisyah dan Hafshah. Dan jika malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama Aisyah sambil berbincang-bincang. Maka Hafshah berkata, “Tidakkah malam ini engkau (Aisyah) menaiki untaku dan aku akan menaiki untamu dengan sama-sama saling melihat?” Maka dia menjawab, “Ya”. Maka dia pun naik. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi unta Aisyah yang diatasnya terdapat Hafshah, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya, kemudian beliau berjalan sampai akhirnya mereka singgah. Dan Aisyah kehilangan beliau. Dan ketika mereka singgah, kedua kaki Aisyah berada di antara tumbuhan Idzkhir dan berkata, “Ya Rabb-ku, kirimkanlah kepadaku kalajengking atau ular yang akan menyengatku, dan aku tidak dapat berkata apa-apa” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/40), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Secara global dapat dikatakan bahwa seorang suami jika hendak melakukan perjalanan, lalu dia ingin membawa istrinya semua atau meninggalkannya, maka dia tidak perlu lagi melakukan undian, karena undian itu hanya diperlukan untuk menentukan pilihan diantara mereka yang akan ikut dalam perjalanan. Dan disini berarti dia telah memperlakukan sama. Dan jika dia hendak melakukan perjalanan bersama sebagian dari mereka, maka dia tidak boleh melakukan perjalanann dengannya, kecuali setelah melakukan undian. Dan inilah yang menjadi pendapat sebagian besar ulama. Dikatakan dari Malik bahwa menurutnya suami tersebut tidak perlu mengadakan undian, tetapi pendapat tersebut tidak shahih, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika akan mengadakan perjalanan, maka beliau selalu mengadakan undian di antara isteri-isterinya. Siapa pun dari isteri-isteri beliau yang mendapatkan undian itu, maka beliau akan pergi bersamanya” [Muttafaq Alaih]

Dan karena perjalanan dengan salah seorang isteri tanpa melalui undian akan berarti sebagai pilih kasih sehingga tidak boleh dilakukan tanpa undian, sebagaimana dalam menentukan awal giliran.

Dan jika seorang suami ingin melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka dia juga harus melakukan undian. Aisyah telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana jika beliau akan pergi, maka beliau melakukan undian di antara isteri-isterinya sehingga undian itu jatuh pada Aisyah dan Hafshah. {Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dan kapan pun beliau akan melakukan perjalanan dengan lebih dari satu orang isteri, maka beliau menyamakan di antara mereka, sebagaimana beliau memperlakukan sama saat tidak bepergian”

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Poligami : Tidak Ada Kewajiban Bagi Suami Untuk Menyamaratakan Dalam Hal Cinta Dan Hubungan Badan




Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah




Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, Abdul Aziz bin Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dari Yahya bin Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu Abbas dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya –yang dia maksudkan adalah Aisyah-. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun tersenyum”

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit bertanya-tanya, ‘Dimana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama menunggu hari giliran Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu beliau memberikan izin kepadanya.
Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (Aisyah), Dan aku pun diam”.

Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’.
Fathimah pun menjawab, ‘Ya’
Kalau begitu, maka cintailah wanita ini’, pinta Rasulullah”

Lebih lanjut, Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami, kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya istei-isterimu meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (Aisyah),.

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya (untuk selamanya)”.

Aisyah berkata, “Maka istei-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala”.

Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah”.

Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku membela diriku”.

Aisyah berkata, “Lalu aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling darinya”.

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum :

“Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar” [Hadts Riwayat Muslim]

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan : “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal ini sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikan hati. Dan dalam masalah ini terdapat penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih berada dibawah kendali dan kekuasannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan. Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (siteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya (suami)”.

Syaikh Mushthafa Al-Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan.

Peringatan pertama : Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu wajib, hanya saja dia disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah ulama.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan’.

Di dalam kitab Al-Majmuu Syarh Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai lagi seorang suami yang memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang (hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan”.

Di dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, “…. Hanya saja yang disukai adalah menayamakan di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan”.

Peringatan kedua : Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya” [1]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Apakah Poligami Itu Dianjurkan ?




Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah



Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : … Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” [An-Nisaa : 3]

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan ?

Jawaban
Syaikh Mustafa Al-Adawi Hafizhahullah Ta’ala mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : …Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….”

Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” [At-Taghabun : 14]

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya” [An-Nuur : 33] [1]

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh”.

MEMBERI SETIAP ISTERI SEBUAH RUMAH SEBAGAI UPAYA MENGIKUTI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumahj mereka” [Al-Ahzab : 33]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-Ahzaab : 34]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” [Al-Ahzab : 53]

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sunnah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih.

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.

Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”.

Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan”

Catatan.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Wanita-Wanita Yang Dilarang Dinikahi




Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam



Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-lamanya, dan wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada tujuh orang karena hubungan nasab, yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah
[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
[4]. Anak wanita istri (anak tiri)
[5]. Anak wanita saudara
[6]. Bibi dari garis ayah
[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah.

"Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.
[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri kalian".[An-Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri, bibinya dari garis ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita pezina yang sudah bertaubat, wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]

Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian".
Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

MAKNA SECARA UMUM
Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah salah seorang Ummahatul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Dia mendapatkan kedudukan yang terpandang dan merasakan kebahagiaan atas pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya dia merasakan hal itu. Lalu dia meminta agar beliau menikahi saudarinya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merasa ta'ajub, karena bagaimana mungkin dia mentolerir suaminya menikah lagi dengan wanita lain yang akan menjadi madunya, karena wanita memiliki kecemburuan yang besar dalam hal ini. Maka beliau bertanya dengan rasa heran, "Apakah engkau menyukai hal itu?"

Dia menjawab, "Ya, aku menyukainya". Kemudian dia menjelaskan sebab kesukaannya sekiranya beliau mau menikahi saudarinya, bahwa harus ada wanita lain yang bersekutu dengannya dalam kebaikan dan dia tidak ingin kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Maka apa salahnya jika yang bersekutu dalam kebaikan ini adalah saudarinya sendiri.

Seakan-akan dia tidak mengetahui pengharaman menikahi dua bersaudara. Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberitahunya, bahwa saudarinya itu tidak boleh beliau nikahi. Lalu Ummu Habibah memberitahukan kepada beliau, bahwa dia mendengar kabar bahwa beliau akan menikahi putri Abu Salamah.

Lagi-lagi beliau bertanya, "Apakah yang engkau maksudkan putri Ummu Salamah?"??

Ummu Habibah menjawab, "Ya".

Maka beliau menjelaskan kebohongan berita itu, "Sesungguhnya putri Ummu Salamah tidak halal bagiku karena dua sebab.

Pertama : Karena dia anak tiriku yang kuasuh di rumahku, karena dia putri istriku.
Kedua : Karena dia putri saudaraku dari sesusuan, karena aku dan ayahnya, Abu Salamah pernah menyusu kepada Tsuwaibah, yaitu mantan budak Abu Lahab. Berarti aku juga merupakan pamannya.

Karena itu janganlah engkau menawarkan putri-putri kalian dan saudari-saudari kalian kepadaku. Aku lebih tahu dan lebih berhak daripada kalian untuk mengatur urusanku semacam ini".

KESIMPULAN HADITS
[1]. Pengharaman menikahi saudari istri, dan hal itu tidak diperbolehkan
[2]. Pengharaman menikahi anak tiri, yaitu putri istri yang sudah dicampuri.
[3]. Penyebutan rumah ini, di sini bukan merupakan sasaran, tapi penyebutan maksud penghindaran.
[4]. Larangan menikahi putri saudara sesusuan, karena diharamkan dari sesusuan seperti yang diharamkan dari nasab
[5]. Seorang mufti harus menyampaikan rincian fatwa jika ditanya tentang suatu masalah yang hukumnya berbeda-beda, dengan perbedaan semua sisinya.
[6]. Mufti harus mengarahkan penanya dengan penjelasan apa yang harus dipaparkan dan yang dapat diterima, apalagi terhadap orang yang memang harus dia arahkan dan dia bimbing, seperti anak dan istri.
[7]. Menurut zhahirnya, Ummu Habibah memahami pembolehan saudari istri bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk kekhususan bagi beliau. Yang demikian itu karena tidak ada qiyas antara saudari istri dan anak tiri. Tapi ketika dia mendengar beliau akan menikahi anak tirinya, padahl hal itu diharamkan berdasarkan ayat yang mengharamkan penyatuan dua bersaudara, maka dia mengira adanya pengkhususan dari keumuman ini.

"Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh menikahi wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan tidak pula dari garis ibu".

MAKNA SECARA UMUM
Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kemaslahatan, memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di antaranya, ia menyuruh kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan, permusuhan dan kebencian

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika beberapa wanita berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka, yang pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi permusuhan hubungan diantara kerabat.

Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-laki, putri saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di antara keduanya diberi anak laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya menurut perhitungan nasab.

Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian". Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi rinciannya, karena toh maknanya sudah jelas dan tidak lagi umum.

FAIDAH HADITS
Menikahi wanita bersaudara, wanita dengan bibinya dari pihak ayah, wanita dengan bibinya dari pihak ibu, adalah diharamkan, yang menurut pernyataan Ibnul Mundzir, "Saya tidak melihat perbedaan pendapat hingga saat ini tentang masalah tersebut. Para ulama sudah menyepakatinya". Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Al-Qurthuby dan An-Nawawy menukil ijma' tentang masalah ini, menurut Ibnu Daqiq Al-Id, itulah yang disimpulkan dari As-Sunnah. Kalau pernyataan Al-Kitab menetapkan pembolehan, yang didasarkan kepada firman Allah. "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian", hanya saja para imam di seluruh wilayah mengkhususkan keumuman dalam ayat di atas dengan hadits ini. Ini merupakan dalil diperbolehkannya mengkhususkan keumuman Al-Kitab dengan khabar ahad. Ini merupakan pendapat empat imam.

Menurut Ash-Shan'any, yang dimaksudkan khabar ahad di sini bukan pengabaran satu orang, tapi pengabaran selain mutawatir. Menurut Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan tiga belas sahabat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah.

Faidah lain, menikahi wanita Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat Al-Maidah. Ini merupakan pendapat jumhur salaf dan khalaf, empat imam dan lain-lainnya. Boleh jadi ada yang berkata, Allah mensifati mereka (para Ahli Kitab) dengan syirik, dalam firmanNya, "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahibnya sebagai tandingan selain Allah". Hal ini dapat dijawab sebagai berikut : Dalam dasar agama Ahli Kitab tidak ada syirik. Kalaupun mereka disifati dengan syirik, karena syirik yang mereka ciptakan. Dasar agama mereka adalah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan, yang membawa tauhid dan bukan syirik. Ini merupakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]

Tabdzir Dan Berlebih-Lebihan Dalam Pesta Pernikahan




Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Kewajiban Mensyukuri Segala Kenikmatan Dan Tidak Menggunakannya Bukan Pada Tempatnya.

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga Allah mencurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du.

Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menguji hambaNya dengan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana terjadi pada penduduk negeri ini (Saudi Arabia) pada awal abad 14 Hijriah. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya lah kami kembali". [Al-Baqarah : 155-156]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan cobaanNya berupa kenikmatan dan kelapangan rizki, sebagaimana realita kita saat ini, untuk menguji iman dan kesyukuran mereka. Dia berfirman sebagai berikut.

"Artinya : Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan Allah di sisiNya ada pahala yang sangat besar". [A-Taghabun : 15]

Kesudahan yang terpuji di dalam semua cobaan itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang amal perbuatan mereka sejalan dengan apa yang disyari'atkan Allah, seperti sabar dan hanya mengharap pahala di dalam kondisi fakir, bersyukur kepada Allah atas segala karuniaNya dan menggunakan harta pada penggunaan yang tepat di waktu kaya dan sederhana di dalam membelanjakan harta kekayaan pada tempatnya, baik untuk keperluan makan dan minum, dengan tidak pelit terhadap diri dan keluarga, dan tidak pula israf (berlebih-lebihan) di dalam menghabiskan harta kekayaan pada sesuatu yang tidak ada perlunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang sikap buruk tersebut, seraya berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (israf) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". [Al-Isra : 29]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan". [An-Nisa : 5]

Pada ayat di atas Allah melarang menyerahkan harta kekayaan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka akan membelanjakannya bukan pada tempatnya. Maka hal itu berarti bahwa membelanjakan harta kekayaan bukan pada tempatnya (yang syar'i) adalah merupakan perkara yang dilarang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.

"Artinya : Hai anak Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".[Al-A'raf : 31]

"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan".[Al-Isra : 26-27]

Israf adalah membelanjakan harta kekayaan melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan tabdzir adalah membelanjakannya bukan pada tempat yang layak.

Sungguh, banyak sekali manusia saat ini yang diberi cobaan, yaitu berlebih-lebihan di dalam hal makanan dan minuman, terutama ketika mengadakan pesat-pesta dan resepsi pernikahan, mereka tidak puas dengan sekedar kebutuhan yang diperlukan, bahkan banyak sekali diantara mereka yang membuang makanan yang tersisa dari makanan yang telah dimakan orang lain, dibuang di dalam tong sampah dan di jalan-jalan. Ini merupakan kufur nikmat dan merupakan faktor penyebab hilangnya kenikmatan.

Orang yang berakal adalah orang yang mampu menimbang semua perkara dengan timbangan kebutuhan, maka apabila ada sedikit kelebihan makanan dari yang dibutuhkan, ia segera mencari orang yang membutuhkannya, dan jika ia tidak mendapatkannya, maka ia tempatkan sisa tersebut jauh dari tempat yang menghinakan, agar dimakan oleh binatang melata atau siapa saja yang Allah kehendaki, dan supaya terhindar dari penghinaan. Maka wajib atas setiap muslim berupaya semaksimal mungkin menghindari larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi orang yang bijak di dalam segala tindakannya seraya mengharap keridhaan Allah, mensyukuri karuniaNya, agar tidak meremehkan atau menggunakannya bukan pada tempat yang tepat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".[Ibrahim : 7]

"Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari (ni'mat)-Ku". [Al-Baqarah : 152]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menginformasikan bahwa bersyukur (terima kasih) itu haruslah dengan amal, tidak hanya sekedar dengan lisan. Dia berfirman.

"Artinya : Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur". [Saba : 13]

Jadi bersyukur kepada Allah itu dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Barangsiapa yang bersyukur kepadaNya dalam bentuk ucapan dan amal perbuatan, niscaya Allah tambahkan kepadanya sebagian dari karuniaNya dan memberinya kesudahan (nasib) yang baik, dan barangsiapa yang mengingkari ni'mat Allah dan tidak menggunakannya pada yang benar, maka ia berada dalam posisi bahaya yang sangat besar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancamnya dengan adzab yang sangat pedih.

Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membimbing kita serta mereka untuk bisa bersyukur kepadaNya dan mempergunakan semua karunia dan ni'matNya untuk ketaatan kepadaNya dan kebaikan bagi hamba-hambaNya. Hanya Dialah yang Maha Kuasa melakukan itu semua. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para shabatnya.

[Ibnu Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah jilid 4, hal. 37]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Tidak Ada Kontradiksi Di Dalam Ayat Poligami



Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di dalam Al-Qur'an ada satu ayat suci yang berbicara tentang poligami yang mengatkan.

"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". [An-Nisa : 3]

Dan pada ayat yang lain Allah berfirman.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama di-nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak mungkin tercapai ? Kami mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan syaikh.

Jawaban.
Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu'asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk didalamnya masalah hubungan badan (jima') adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah Radhiyallahu anha. Beliau berkata.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo'a : 'Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya".[Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

[Fatawal Mar'ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Nikah Mut’ah, Dalil-Dalil Yang Mengharamkannya, Pernyataan Ulama Tentang Pengharamannya





Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Artinya, menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian otomatis terjadi.

Syari’at dengan tegas melarangnya, tapi sekte Syi’ah Imamiyah membolehkannya. Perkawinan seperti ini sudah populer pada saat ini di Eropa, dan mereka menyebutnya sebagai "perkawinan eksperimen". [1]

Pernikahan seperti ini juga tersiar di kalangan kaum muslimin, dengan alasan bahwa pernikahan ini tidak diharamkan oleh syari’at. Itu terjadi karena kebodohan mayorits kaum muslimin tentangnya. Oleh karenanya, saya ingin membahasnya tersendiri dalam pembahasan kita ini.

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKANNYA DARI HADITS-HADITS SHAHIH.

1). Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan: "Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya, sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa menjaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya, lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kala itu ayat al-Qur-an (yang) dibaca (dan berlaku adalah firman Allah):

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’: 24]

Hingga turun ayat:

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isteri-mu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina...” [An-Nisaa’: 23-24]

Kemudian mut’ah ditinggalkan, dan (ditetapkan) nikah permanen. Jika mau, dia boleh menceraikannya, dan jika suka, dia tetap menjadikannya sebagai isteri. Keduanya saling mewarisi, dan keduanya tidak mempunyai wewenang apa pun dalam perkara itu." [2]

2). Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menikahi wanita dengan nikah mut’ah dan makan daging keledai piaraan pada waktu Khaibar. [3]

3). Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Saburah Radhiyalahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Fat-hu Makkah. Ia menuturkan: “Kami bermukim selama 15 hari, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada kami untuk menikahi wanita sementara waktu. Lalu aku keluar bersama seseorang dari kaumku. Aku mempunyai kelebihan atasnya dalam hal ketampanan, sedangkan dia memiliki rupa yang kurang tampan. Masing-masing dari kami mempunyai selendang. Selendangku jelek, sedangkan selendang sepupuku adalah selendang yang masih baru. Hingga ketika kami berada di wilayah Makkah yang terbawah, atau yang tertinggi, seorang gadis yang seperti unta perawan berpapasan dengan kami. Maka kami bertanya: 'Apakah salah seorang dari kami bisa menikahimu sementara waktu?' Ia bertanya: 'Apa yang akan kalian berikan?' Maka masing-masing dari kami menyerahkan selendangnya, lalu dia mulai memandang dua laki-laki ini. Ketika Sahabatku melihat dia memandang dirinya, maka ia mengatakan: 'Selendang orang ini buruk, dan selendangku masih baru.' Dia mengatakan: 'Selendang ini tidak mengapa, (diucapkannya) tiga kali atau dua kali.' Kemudian aku menikahinya sementara waktu, dan aku tidak keluar hingga Rasulullah n mengharamkannya." [4]

Dalam sebuah riwayat disebutkan.

"Barangsiapa yang telah menikahi seorang wanita hingga waktu tertentu, maka berikan kepadanya apa yang setara untuknya dan tidak meminta dikembalikan tentang sesuatu yang telah diberikan kepadanya, serta menceraikannya. Sebab, Allah Azza wa Jalla telah mengharamkannya hingga hari Kiamat." [5]

Dalam riwayat Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

"Barangsiapa yang memiliki sesuatu dari wanita-wanita yang dinikahinya sementara waktu, maka hendaklah dia mencerai-kannya." [6]

4). Muslim meriwayatkan dari Iyas bin Salamah, dari Labiyyah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan pada tahun Authas [7] untuk menikah sementara selama tiga (hari), kemudian beliau melarangnya." [8]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[1]. ‘Audatul Hijaab (II/60).
[2]. HR. At-Tirmidzi (no. 1121) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Musa bin ‘Ubaidah, ia dha’if, dan perawi-perawi lainnya tsiqah. Lihat ‘Aunul Ma’buud (V/58).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5115) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1406) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1135) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1961) kitab an-Nikaah.
[4]. HR. Muslim (no. 1406), kitab an-Nikaah. Antara hadits ini dan hadits sebelum-nya ada kemusykilan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (IX/168, 169), as-Suhaili berkata: "Berhubungan dengan hadits ini (yakni hadits ‘Ali bin Abi Thalib) ada suatu peringatan atas kemusykilan. Karena di dalamnya ter-dapat larangan nikah mut’ah pada hari Khaibar. Ini adalah sesuatu yang tidak diketahui seorang pun dari ahli sejarah dan perawi hadits. Yang nampak ialah terjadinya pendahuluan dan pengakhiran dalam lafazh az-Zuhri.

Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dari jalan Qasim bin Ashbagh bahwa al-Humaidi menyebutkan dari Ibnu ‘Uyainah bahwa larangan pada masa Khaibar ialah tentang daging keledai piaraan. Sedangkan nikah mut’ah di luar hari Khaibar.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: "Inilah pendapat yang paling banyak dipegang manusia."

Abu ‘Awanah berkata dalam Shahihnya: “Aku mendengar para ulama me-ngatakan: ‘Makna hadits ‘Ali, bahwa beliau melarang pada hari Khaibar dari makan daging keledai. Adapun tentang mut’ah, ia mendiamkannya. Beliau hanyalah mengharamkannya pada hari penaklukan kota Makkah.’”
Ada pendapat-pendapat lain untuk menghilangkan kemusykilan, yang men-dasarkan adanya larangan mut’ah pada hari Khaibar, kemudian memberikan keringanan mengenainya setelah itu, lalu mengharamkannya sekali lagi pada hari penaklukan Makkah. Tetapi ‘Ali tidak menyampaikan keringanan tersebut di dalamnya."

Atas hal ini, Ibnul Qayyim berkata dalam Zaadul Ma’aad (III/460): "Tentang hadits Saburah ada riwayat-riwayat lainnya bahwa larangan itu pada haji Wada', ini adalah riwayat yang aneh, dan yang kuat ialah riwayat yang menyebutkan pada tahun penaklukan kota Makkah."



PERNYATAAN ULAMA TENTANG PENGHARAMANNYA.
1). Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Arti nikah mut’ah ialah menikahi wanita sementara waktu. Misalnya, seseorang mengatakan: ‘Aku menikahkanmu dengan puteriku selama sebulan, setahun, atau hingga berakhirnya musim.’ Ini adalah pernikahan yang bathil. Ahmad menashkannya dengan ucapannya: ‘Nikah mut’ah adalah haram.’” [9]

2). Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: “Semua nikah mut’ah adalah dilarang. Semua nikah hingga suatu masa, baik pendek maupun lama. Yaitu, seseorang berkata kepada wanita: ‘Aku menikahimu sehari, sepuluh hari, atau sebulan.’” Kemudian dia melanjutkan: “Demikian pula nikah hingga waktu tertentu atau tidak diketahui, maka pernikahannya dianggap tidak sah.” [10]

3). Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, yaitu pernikahan hingga waktu tertentu. Hal ini pernah dihalalkan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selamanya hingga hari Kiamat. [11]

4). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam syarah kitab ash-Shahiih: "Pernyataan: ‘Bab Nabi Melarang Nikah Mut’ah’, maksudnya menikahi wanita hingga waktu tertentu. Jika waktunya telah habis, maka perceraian terjadi." [12]

RINGKASAN PENDAPAT TENTANG NIKAH MUT’AH.
Al-Khaththabi rahimahullah menyatakan: “Pengharaman nikah mut’ah menjadi ijma di kalangan umat Islam. Pernikahan ini pernah dibolehkan di awal-awal Islam, kemudian Allah mengharamkannya…" hingga pernyataannya: "Tidak ada lagi perselisihan tentangnya pada hari ini di antara umat, kecuali pendapat sebagian kaum Rafidhah (Syi’ah).” [13]

Di antara penya’ir yang membicarakan tentang nikah mut’ah adalah Abul Ghana-im Muhammad bin ‘Ali an-Nursi al-Kufi, yang mengatakan

Wahai sobat, beritahukan kepadaku
Tentang pendapat mengenai nikah mut’ah
Barangsiapa yang menyatakan halal
Berarti ini seperti nikah raj’ah
Kalian berdusta
Allah tidak menyukai sesuatu yang menyerupai penipuan
Wanita mempunyai dua suami dalam keadaan suci
Dan dalam keadan suci (pula) ia mempunyai tujuh
Jika yang ini menceraikannya
Maka yang itu mengambilnya dengan bantuan
Wanita ini dari semua orang
Mendapatkan mut’ah dalam rahimnya [14]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[9]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (7/571).
[10]. Al-Umm (V/113).
[11]. Al-Muhalla (IX/519).
[12]. Fat-hul Baari (IX/167).

Catatan:
Sebagian jawaban ulama tentang hadits-hadits yang membolehkan nikah mut’ah.
Hadits Jabir bin ‘Abdillah, no. 5117 dalam Shahih al-Bukhari, dari Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah bin al-Akwa', keduanya mengatakan: “Kami berada di tengah pasukan, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang kepada kami seraya mengatakan: ‘Allah mengizinkan kalian untuk menikah sementara, maka lakukanlah.’ Bantahan atas hal itu dari dua aspek, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mushthafa al-‘Adawi dalam Ahkaamun Nisaa':

1). Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu dan para Sahabat yang melakukan nikah mut'ah pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, mereka belum mendapatkan kabar mengenai pengharaman yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (baik dari hadits ‘Ali Radhiyallahu 'anhu maupun hadits Saburah).

2). ‘Umar Radhiyallahu 'anhu melarang nikah mut’ah lewat penuturan Jabir Radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Muslim, sedangkan ‘Umar adalah Khalifah yang mendapat petunjuk dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah Khulafa-ur Rasyidin al-Mahdiyyin.
Ibnul Qayyim v menyatakan dalam Zaadul Ma’aad (III/462), menukil dari pernyataan sebagian golongan mengenai hadits tersebut. Ia mengatakan: "Golongan kedua berpendapat tentang sahnya hadits Saburah. Seandainya pun tidak shahih, maka hadits ‘Ali Radhiyallahu 'anhu adalah shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan nikah mut’ah. Oleh karena itu, hadits Jabir wajib dipahami bahwa apa yang diberitakan tentang nikah mut’ah tersebut dengan melakukannya, karena peng-haraman mengenainya belum sampai kepadanya. Pengharaman tersebut belum populer hingga pada masa ‘Umar Radhiyallahu 'anhu. Ketika terjadi perselisihan mengenainya, pengharaman tersebut mengemuka dan menjadi populer. Dengan demikian hadits-hadits yang disinyalir tentang bolehnya nikah mut’ah tidak berlaku lagi, dan cukuplah bagi kita bahwa Jabir telah berhenti dari nikah mut’ah setelah mendengar larangan dari ‘Umar dan nasakh tersebut kuat menurutnya."

Bantahan Atas Ucapan Ibnu ‘Abbas :
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari Sunan Abi Dawud, yang dinukil dari ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud (VI/1158): “Adapun Ibnu ‘Abbas, maka dia menempuh jalan ini dalam membolehkannya ketika diperlukan dan dalam kondisi darurat, tapi tidak membolehkannya secara mutlak. Ketika sampai kepadanya bahwa banyak manusia melakukannya, maka ia menarik pendapatnya, dan mengharamkan atas orang yang tidak memerlukan-nya.”

Al-Khaththabi berkata dari al-Minhal, dari Ibnu Jubair, ia mengatakan: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: "Apakah engkau tahu apa yang telah engkau per-buat dan tentang apa yang engkau fatwakan? Orang-orang yang telah menyalah-gunakan fatwamu dan para penya’ir menyatakannya." Ia bertanya: "Apa kata mereka?" Aku menjawab: "Mereka mengatakan:
Aku berkata kepada seorang tua ketika lama tertahan
Wahai sobat, bukankah ada fatwa Ibnu ‘Abbas?
Bukankah engkau mendapatkan keringanan
Bersanding dengan gadis hingga orang-orang pergi?
Ibnu ‘Abbas berkata: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Demi Allah, tidak demikian aku berfatwa dan bukan seperti itu yang aku maksud. Aku tidak menghalalkannya kecuali sebagaimana kehalalan bangkai, darah dan daging babi. Semuanya tidak halal kecuali untuk orang yang sangat membutuhkan (darurat). Jadi, nikah mut’ah itu tidak lain hanyalah seperti bangkai, darah dan daging babi.”

Ishaq bin Rahawaih mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas menuturkan: "Mut’ah pada awal Islam ialah mut’ah wanita. Seseorang datang di suatu negeri dengan membawa dagangannya, sedangkan dia tidak mempunyai orang yang bisa men-jaganya dan mengumpulkan barang perniagaannya kepadanya, lalu dia menikahi seorang wanita hingga waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan hajatnya. Kemudian ayat al-Qur-an dibaca:

"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikan-lah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’: 24]

Hingga turun ayat:

“Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atasmu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian, (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina…” [An-Nisaa’: 23-24]

Kemudian mut’ah ditinggalkan untuk memelihara diri. Jika suka, dia menceraikannya dan jika suka, tetap menjadikannya sebagai isteri. Keduanya saling mewarisi, dan keduanya tidak mempunyai wewenang apa pun dalam perkara itu. Kemudian Ibnul Qayyim mengatakan: “Dua riwayat yang membatasi dari Ibnu ‘Abbas ini menafsirkan maksud Ibnu ‘Abbas dari sebuah riwayat yang mutlak yang membatasi, wallaahu a’lam.”

Al-Khaththabi berkata: “Ini (riwayat pertama dari Ibnu ‘Abbas) menjelaskan kepadamu bahwa dia hanyalah menempuh jalan qiyas dan menyerupakan dengan orang yang sangat berhajat kepada makanan. Ini adalah qiyas yang tidak benar, karena darurat dalam masalah ini tidak terealisir sebagaimana darurat dalam soal makanan yang menjadi tumpuan jiwa, dan ketiadaannya akan menyebabkan kematian. Tetapi ini (nikah) adalah masalah syahwat yang mendominasi dan bersabar terhadapnya masih bisa dilakukan. Syahwat ini bisa dipupuskan dengan puasa dan amal shalih. Salah satu dari keduanya (nikah) tidak masuk dalam kategori hukum darurat sebagaimana yang lainnya (makan). Wallaahu a’lam.” (Dinukil dari Ahkaamun Nisaa', al-‘Adawi).

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan -setelah menyebutkan atsar dari Ibnu ‘Abbas tentang bab ini-: “Adapun seluruh ulama dari kalangan Sahabat dan Tabi’in serta sesudah mereka dari kaum khalaf dan fuqaha muslimin, mereka semua meng-haramkan mut’ah. Di antara mereka adalah Imam Malik dari kalangan penduduk Madinah, ats-Tsauri dan Abu Hanifah dari kalangan penduduk Kufah, asy-Syafi’i di kalangan yang meniti jalannya dari ahli hadits dan fiqih serta nazhar dengan ittifaaq (kesepakatan), al-Auza’i dari kalangan penduduk Syam, al-Laits bin Sa’id dari kalangan penduduk Mesir, dan semua ahlul atsar. (At-Tamhiid (X/ 121)).

Syaikh al-‘Azhim Abad dalam Syarh Abi Dawud (VI/59) mengatakan: “Ketahuilah bahwa dia mengatakan dalam al-Hidaayah, Malik rahimahullah mengatakan: ‘Nikah mut’ah adalah boleh.’” Ibnu Hammam berkata: "Penisbatan ucapan ini kepada Malik adalah keliru." Ibnu Daqiq al-‘Ied mengatakan: "Apa yang disebutkan sebagian Hanafiyyah dari Malik tentang bolehnya nikah mut’ah adalah keliru. Sebab Malikiyyah sangat tegas melarang nikah sementara, sehingga mereka menganggap batal menentukan waktu halal dengan sebabnya." ‘Iyadh berkata: "Mereka sepakat bahwa syarat batalnya ialah menegaskan dengan syarat."
[13]. Dinukil dari ‘Aunul Ma’buud, Sunan Abi Dawud (II/558).
[14]. Az-Zawaaj fil Islaam, Ahmad al-Hushain (hal. 71-72).

sumber: http://almanhaj.or.id

1 comment: