Sunday, December 30, 2012

KEHENDAK ALLAH (AL-IRAADAH AR-RABBAANIYYAH)




KEHENDAK ALLAH (AL-IRAADAH AR-RABBAANIYYAH)

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


Al-iraadah ar-rabbaaniyyah (kehendak Allah Azza wa Jalla) terbagi menjadi dua macam:

1. Iraadah Kauniyyah Qadariyyah (Sunnatullah).
Iraadah ini semakna dengan masyii-ah (kehendak Allah), dan mengenai iraadah ini, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari ruang lingkupnya. Orang kafir dan muslim sama berada dalam iraadah kauniyyah ini. Sebab, ketaatan dan kemaksiatan semuanya adalah dengan masyii-ah dan iraadah Allah.
Di antara contohnya ialah firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ

"…Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya … ." [Ar-Ra'd/13 : 11]

Dan firman-Nya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepa-danya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (me-meluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit…. ." [Al-An’aam/6 : 125]

2. Iraadah Syar’iyyah Diiniyyah (Syari’at).
Iraadah ini mencakup kecintaan Allah dan ridha-Nya.
Di antara contohnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghen-daki kesukaran bagimu… ." [Al-Baqarah/2 : 185]

Juga firman-Nya yang lain:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ

"Dan Allah hendak menerima taubatmu … ." [An-Nisaa'/4 : 27]

Juga firman-Nya:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ

"…Allah tidak bermaksud menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu… ." [Al-Maa-idah: 6][1]

Perbedaan Antara Kedua Iraadah[2]
Antara iraadah kauniyyah dan iraadah syar’iyyah terdapat beberapa perbedaan yang membedakan masing-masing dari keduanya. Di antara perbedaan-perbedaan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Iraadah kauniyyah adakalanya disukai Allah dan diridhai-Nya, dan adakalanya tidak disukai dan tidak diridhai-Nya. Adapun iraadah syar’iyyah adalah dicintai Allah dan diridhai-Nya, karena iraadah kauniyyah itu semakna dengan masyii-ah (kehendak), sedang-kan iraadah syar’iyyah itu semakna dengan mahabbah (cinta).

2. Iraadah kauniyyah adakalanya dimaksudkan untuk yang lain, misalnya penciptaan iblis dan seluruh keburukan, agar dengan sebab itu diperoleh berbagai perkara yang dicintai, seperti taubat, mujahadah, dan istighfar.
Adapun iraadah syar’iyyah ditujukan untuk dzatnya itu sendiri, sebab Allah menghendaki ketaatan dan mencintainya, mensyari’at-kan, dan juga meridhai dzatnya itu sendiri.

3. Iraadah kauniyyah pasti terjadinya, karena jika Allah telah menghendaki sesuatu, maka pasti terjadi, seperti menghidupkan seseorang atau mematikannya, atau selain itu.

Adapun iraadah syar’iyyah, seperti Islam misalnya, maka tidak harus terjadi, tapi bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Seandainya pasti terjadinya, niscaya manusia seluruhnya telah menjadi muslim.

4. Iraadah kauniyyah adalah berkenaan dengan rububiyyah Allah dan penciptaan-Nya, sedangkan iraadah syar’iyyah berkenaan dengan uluhiyyah Allah dan syari’at-Nya.

5. Dua iraadah ini berhimpun dalam diri orang yang taat. Orang yang telah melaksanakan shalat, misalnya, maka ia telah mengumpulkan di antara keduanya. Sebab, shalat itu dicintai Allah, Dia memerintahkannya, meridhai, dan mencintainya. Hal tersebut merupakan sisi dari iraadah syar’iyyah. Dan karena perbuatan ter-sebut telah terjadi, maka ini menunjukkan bahwa Allah menghen-daki adanya, sehingga menjadi iraadah kauniyyah dari sisi ini. Oleh sebab itu, maka dua iraadah tersebut berhimpun pada diri orang yang taat.

Sedangkan iraadah kauniyyah, ia menyendiri, misalnya dalam kekafiran orang yang kafir dan kemaksiatan orang yang bermaksiat. Karena hal itu telah terjadi, maka hal ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki-Nya, karena sesuatu tidak terjadi kecuali dengan masyii-ah (kehendak)-Nya. Dan karena hal (yang terjadi) itu tidak dicintai dan tidak diridhai Allah, maka menunjukkan bahwa ini adalah iraadah kauniyyah bukan iraadah syar’iyyah.

Sementara iraadah syar’iyyah pun menyendiri, misalnya dalam keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang bermaksiat. Karena hal ini dicintai Allah, maka ini adalah iraadah syar’iyyah. Tapi karena belum terjadi -padahal Allah memerintahkannya dan men-cintainya- maka menunjukkan, bahwa ini iraadah syar’iyyah semata, sebab ini adalah sesuatu yang dikehendaki lagi disukai yang belum terjadi.

6. Iraadah kauniyyah lebih umum dari segi keterkaitannya dengan sesuatu yang tidak sukai Allah dan tidak diridhai-Nya, seperti ke-kafiran dan kemaksiatan, dan lebih khusus dari segi bahwa ia tidak bertalian dengan -misalnya- keimanan orang kafir dan ketaatan orang yang fasik.

Sedangkan iraadah syar’iyyah, maka ia lebih umum dari segi keterkaitannya dengan segala yang diperintahkan, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi, tapi lebih khusus dari segi bah-wa apa yang terjadi dengan iraadah syar’iyyah adakalanya tidak diperintahkan.

Inilah beberapa perbedaan di antara kedua iraadah tersebut. Barangsiapa yang mengetahui perbedaan di antara keduanya, maka ia selamat dari berbagai syubhat yang telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan pemahaman. Barangsiapa yang me-mandang amalan-amalan yang muncul dari para hamba dengan dua pandangan ini, maka ia telah melihat (dengan benar), dan barang-siapa yang melihat syari’at tanpa qadar atau sebaliknya, maka ia adalah orang yang buta.[3]

Contoh-Contoh Mengenai Perkara-Perkara Syar’iyyah dan Kauniyyah
Sebagaimana (pembagian) iraadah, ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada juga yang syar’iyyah diiniyyah, demikian pula kitaabah (penulisan, ketetapan), perintah, izin, menjadikan, firman, pengu-tusan, pengharaman, pemberian, kebencian, dan sejenisnya. Semua perkara ini, di antaranya ada yang syar`i dan ada yang kauni.

a. Di antara contoh kitaabah yang bersifat kauniyyah ialah (seperti) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي

"Allah telah menetapkan, ‘Aku dan Rasul-Rasul-Ku pasti menang… ." [Al-Mujaadilah/58 : 21]

Sedangkan di antara contoh kitaabah yang bersifat syar’iyyah ialah (seperti dalam) firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

"…Diwajibkan atas kamu berpuasa… ." [Al-Baqarah/2: 183]

b. “Perintah” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ

"Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata." [Al-Qamar/54 : 50]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… ." [An-Nahl/16 : 90]

c. “Izin” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) firman-Nya:

وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

"…Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah… ." [Al-Baqarah/2 : 102]

Sedangkan yang bersifat syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

"…Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" [Yunus/10 : 59]

Juga (seperi dalam) firman-Nya:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah … ." [Asy-Syuura/42 : 21]

d. “Menjadikan” yang bersifat kauni ialah (seperti dalam) fir-man-Nya:

كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

"…Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. [Al-An’aam/6 : 125]

Sedangkan yang syar’i ialah (seperti dalam) firman-Nya:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ

"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah… ." [Al-Maa-idah/5 : 103]

Adapun dalam firman-Nya:

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ

"Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu… ." [Al-Maa-idah/5 : 97]

Maka pada ayat ini tercakup dua iraadah. Sebab, Allah menjadikannya dengan qadar dan juga dengan syari’at-Nya.

e. Demikian pula “kalimat (firman),” di antaranya ada yang kauni, (seperti) firman-Nya,

كَذَٰلِكَ حَقَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ عَلَى الَّذِينَ فَسَقُوا أَنَّهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

"Demikianlah telah tetap hukuman Rabb-mu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman." [Yunus/10 : 33]

Sedangkan yang syar’i, adalah (seperti dalam) firman-Nya:

حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ

"…Ia sempat mendengar firman Allah… ." [At-Taubah/9 : 6]

Kedua jenis ini berhimpun dalam firman-Nya:

وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا

"…Dan dia membenarkan kalimat Rabb-nya… ." [At-Tahrim/66 : 12]

f. Demikian pula “pengutusan (ba’ts),” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَنَا

"…Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami… ." [Al-Israa'/17 : 5]

Ada pula yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ

"…Maka Allah mengutus para Nabi… ." [Al-Baqarah/2 : 213]

Dan firman-Nya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf… ." [Al-Jumu’ah/62 : 2]

g. Demikian pula pengutusan (irsal) ada yang kauni, (seperti) firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ

Dan Dialah yang meniupkan angin… ." [Al-A’raaf/7 : 57]

Dan ada juga yang syar’i, (seperti dalam) firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk… ." [Ash-Shaaf/61 : 9]

h. “Pengharaman” yang bersifat kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ

"Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya)… ." [Al-Qashash/28 : 12]

Sedangkan yang syar’i (seperti firman-Nya):

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

"Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam keadaan ihram… ." [Al-Maa-idah/5 : 96]

i. “Pemberian” yang bersifat kauni adalah (seperti dalam) firman-Nya:

وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

"…Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehen-daki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 247]

Sedangkan yang bersifat diini (syar’i) adalah (seperti dalam) fir-man-Nya:

خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ

"…Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu … ." [Al-Baqarah/2 : 93]
Dan juga (seperti dalam) firman-Nya,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ

"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya… ." [Al-Baqarah/2 : 269]

Ayat di atas mencakup dua jenis iraadah, karena Dia memberi-kan keduanya: perintah dan agama serta taufik dan ilham.

j. Demikian pula “kebencian,” ada yang kauni, (seperti dalam) firman-Nya:

وَلَٰكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ

"…Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka… ." [At-Taubah/9 : 46]

Dan ada juga yang syar’i, seperti dalam firman-Nya:

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا

"Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu." [Al-Israa'/17 : 38]

Perbedaan-perbedaan di antara perkara-perkara ini -dari satu sisi bahwa di antaranya ada yang syar’i diini dan ada yang kauni qadari- adalah seperti perbedaan-perbedaan antara dua iradah, yaitu ada yang kauniyyah qadariyyah dan ada yang syar’iyyah diiniyyah.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]






APAKAH KEBURUKAN DAPAT DINISBATKAN KEPAD ALLAH TA'ALA?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Jika seseorang bertanya: Kita beriman kepada qadar, baik dan buruknya, yang berasal dari Allah, tetapi apakah dibenarkan menisbatkan keburukan kepada Allah Ta’ala? Apakah ada hal yang buruk dalam perbuatan-perbuatan-Nya?

Jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Mahasuci dari keburukan, dan tidak berbuat kecuali kebaikan. Qadar yang dinisbatkan kepada Allah tidak berisikan keburukan dalam satu segi pun. Sebab, ilmu Allah, pencatatan, masyii-ah dan penciptaan-Nya, semuanya itu murni kebaikan dan sempurna dari segala segi. Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah dari satu segi pun, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam Asma (nama-nama) dan Sifat-Nya, serta tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya.

Seandainya Dia melakukan keburukan, niscaya telah terambil suatu nama dari keburukan tersebut untuk-Nya, dan tidak akan pula semua Asma-Nya itu husna (indah), tetapi niscaya akan tertuju kepadanya hukum dari keburukan. Mahatinggi dan Mahasuci Allah (dari semua itu).

Keburukan hanyalah ada pada makhluk-Nya. Keburukan itu berada dalam apa yang ditentukan (al-maqdhi), bukan ada dalam ketentuan (al-qadha'). Ia menjadi buruk bila dihubungkan pada suatu tempat, dan baik bila dihubungkan pada tempat lainnya. Adakalanya menjadi baik bila dihubungkan pada tempatnya (atau tujuannya) dari satu sisi, sebagaimana ia buruk dari sisi lainnya, bahkan itulah yang umum.

Hal ini seperti qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang-orang kafir. Hal itu buruk bagi mereka, bukan dari segala sisi, tetapi dari satu sisi saja, tapi baik bagi selain mereka karena berisi kemaslahatan untuk menjerakan, menghukum, dan menolak keburukan manusia satu sama lainnya. Demikian pula penyakit, meskipun buruk dari satu sisi, tetapi baik dari sisi-sisi lainnya.

Kesimpulannya, bahwa keburukan itu tidak dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena terdapat keterangan dalam Shahiih Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan mensucikan-Nya dari keburukan, lewat do’a istiftah, yaitu dalam ucapan beliau:

...لَبَيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَاَلَيْتَ... .

“…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu, dan keburukan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi… .”[1]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari hadits ini, “Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari penisbatan keburukan kepada-Nya, bahkan segala yang dinisbatkan kepada-Nya ialah kebaikan. Keburukan hanyalah menjadi keburukan karena terputus hubungannya kepada-Nya. Seandainya dihubungkan kepada-Nya, niscaya bukan suatu keburukan. Allah menciptakan kebaikan dan keburukan, lalu keburukan itu ada pada sebagian makhluk-Nya, bukan dalam penciptaan dan perbuatan-Nya.

Penciptaan, perbuatan, qadha', dan qadar-Nya adalah baik se-luruhnya. Karena itu Dia Subhanahu wa Ta’alasuci dari kezhaliman, yang mana ha-kikat dari kezhaliman itu sendiri ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tidaklah Dia meletakkan sesuatu, kecuali pada tempatnya yang cocok, dan hal itu baik seluruhnya. Keburukan adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, jika diletakkan pada tempatnya, maka ia tidak buruk. Dengan demikian telah di-ketahui bahwa keburukan tidak dinisbatkan kepada-Nya, dan nama-nama-Nya yang husna membuktikan hal itu.”[2]

Ia juga mengatakan, “Nama-nama-Nya yang husna menghalangi penisbatan kejahatan, keburukan dan kezhaliman kepada-Nya, meskipun Dia Subhanahu wa Ta’alaPencipta segala sesuatu. Dia Pencipta manusia, perbuatan, gerakan, dan ucapan mereka. Jika hamba melakukan keburukan yang terlarang, maka hamba itu sendirilah yang telah melakukan keburukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang membuatnya melakukan demikian. Penciptaan-Nya ini adalah keadilan, hikmah, dan kebenaran. Dia menjadikan orang yang berbuat (untuk kejelekan itu) adalah merupakan suatu kebaikan, sedangkan perbuatan yang dilakukan pelakunya adalah keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan perbuatan ini, telah meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena hal itu berisi hikmah yang mendalam yang Dia berhak dipuji karenanya, semua itu adalah kebaikan, hikmah, dan kemaslahatan, meskipun perbuatan yang terjadi dari hamba adalah dosa, aib, dan keburukan.”[3]

“Walhasil, bahwa keburukan tidaklah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, karena yang dimaksud dengan keburukan ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, yaitu kezhaliman, yang lawannya ialah keadilan, dan Allah adalah Mahasuci dari kezhaliman.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan adalah hukuman yang diberikan, disebabkan dosa yang dilakukannya, maka dengan Allah mengadakan sanksi atas dosa, hal itu bukanlah termasuk keburukan bagi-Nya, bahkan itu adalah keadilan dari-Nya.

Jika yang dimaksudkan dengan keburukan itu ialah tidak adanya kebaikan dan faktor-faktor yang menghantarkan kepada kebaikan itu, maka ketidakadaannya itu bukanlah perbuatan, sehingga bisa dinisbatkan kepada Allah. Hamba tidaklah memiliki hak terhadap Allah agar Dia memberikan taufik kepadanya, sebab hal ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, menghalangi karunia bukanlah merupakan suatu kezhaliman dan bukan pula keburukan.”[4]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan seluruh hamba-Nya. Dia hanya memerintahkan mereka kepada apa yang bermanfaat bagi mereka, dan melarang mereka dari apa yang membahayakan mereka. Dia berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya dengan memerintahkan kepada mereka, dan berbuat baik kepada mereka dengan menolong mereka dalam ketaatan.

Seandainya, seorang alim yang shalih memerintahkan manusia kepada apa yang bermanfaat bagi mereka, kemudian dia membantu sebagian orang untuk melakukan apa yang ia perintahkan kepada mereka, dan tidak membantu yang lainnya, niscaya ia (dianggap) telah berbuat baik kepada mereka seluruhnya secara sempurna, dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang ia tidak berbuat baik kepadanya.

Dan seandainya dia menghukum orang yang berbuat dosa dengan hukuman yang dituntut oleh keadilan dan kebijaksanaannya, nis-caya ia pun dipuji atas hal ini dan juga hal itu.

Bandingkanlah hal ini dengan kebijaksanaan Hakim Yang paling bijaksana dan Penyayang Yang paling menyayangi? Sebab, perintah-Nya adalah bimbingan, pengajaran, dan petunjuk kepada kebaikan. Jika Dia membantu mereka atas perbuatan yang diperintahkan, maka Dia telah menyempurnakan nikmat atas perkara yang diperintahkan, dan Dia disyukuri atas hal ini dan juga hal itu. Jika pun Dia tidak menolongnya, bahkan membiarkannya, sehingga ia me-lakukan dosa, maka dalam hal ini Dia mempunyai hikmah yang lain.”[5]

Kemudian jika seorang hamba telah mengetahui apa yang merugikan dan apa yang bermanfaat baginya, maka ia berkeharusan untuk tunduk kepada Allah Azza wa Jalla, sehingga Dia menolongnya untuk melakukan apa yang bermanfaat baginya, dan tidak mengatakan, “Aku tidak akan berbuat, sehingga Allah menciptakan perbuatan padaku.” Demikian pula seandainya musuh atau binatang buas menyerangnya, maka ia harus lari dan tidak mengatakan, “Aku akan menunggu, hingga Allah menciptakan lari padaku.”[6]

Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa keburukan itu tidak dapat dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]



ORANG TUA BERTANGGUNG JAWAB

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin



Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah (Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim][1]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya; sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar, termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. [HR. al-Bukhâri][2]

Maka orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya. Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah.

Berikut adalah beberapa kiat membentuk pribadi anak yang benar serta kiat melaksanakan pendidikan anak.

TANGGUNG JAWAB PENDIDIKAN
Jika dikembalikan kepada tujuan diciptakannya manusia, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja. Maka peran orang tua menjadi sangat besar untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah Azza wa Jalla yang shaleh, yang hanya beribadah kepada-Nya saja. Merupakan dosa besar jika orang tua tidak sungguh-sungguh mengarahkan anak-anaknya menuju peribadatan yang menjadi tujuan diciptakannya manusia.

Dalam hal ini keteladanan para nabi 'alaihimush shalâtu was salâm harus di ikuti. Sebagai contoh, Allah Azza wa Jalla menceritakan perhatian Nabi Ya'kub Alaihissallam terhadap anak-anaknya. Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan beliau kepada anak-anaknya saat beliau menjelang wafat:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Adakah kamu hadir ketika Ya'kûb kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:"Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab:"Kami akan menyembah Sesembahan-mu dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma'il, dan Ishâk, (yaitu) Sesembahan satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya". [al-Baqarah/2:133]

Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan Ya'kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.

Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: "Tafsir ayat tersebut ialah: 'Wahai orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang mendustakan kenabian Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Apakah kalian hadir dan menyaksikan keadaan Ya'kûb pada saat menjelang wafatnya?' Maksudnya; kalian saat itu tidak hadir. Oleh karenanya kalian jangan mengaku-aku secara bathil bahwa nabi-nabi dan rasul-rasul-Ku beragama Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya Aku telah mengutus khalîl-Ku (kekasihku) Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan anak keturunannya untuk membawa risalah Islam yang lurus. Dengan risalah inilah mereka memberikan wasiat dan memerintahkan kepada anak keturunannya agar mereka mengikutinya. Seandainya kalian hadir pada saat kematian mereka, tentu kalian mendengar dari mereka bahwa mereka tidak berada dalam agama yang kalian anggap".[3]

Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dan (ingatlah) ketika Lukmân berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya mempersekutukan (Allah Azza wa Jalla ) adalah benar-benar kezhaliman (ketidak adilan) yang besar".

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan Aku, hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, kemudian akan Ku-beritakan kepadamu kelak apa yang telah kamu kerjakan.

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

(Lukmân berkata):"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah Azza wa Jalla akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui.

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Azza wa Jalla )

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31:13-19]

Demikianlah pelajaran penting dari Luqmân kepada anaknya yang termuat dalam Surah Luqman, ayat 13-19. Intisari dari pelajaran Luqmân tersebut adalah pendidikan penting bagi masa depan anaknya, terutama masa depan ukhrawi.

Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:

1. Disyari'atkannya agar orang tua memberikan pendidikan dan wasiat kepada anak-anaknya tentang apa yang dapat memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.

2. Wasiat itu harus dimulai dari persoalan tauhid dan peringatan dari syirik, karena syirik merupakan kezhaliman serta ketidak-adilan yang akan menghapuskan amal.

3. Kemudian tentang wajibnya bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla , bersyukur (berterimakasih) kepada kedua orang tua, dan tentang wajibnya berbuat kebaikan kepada kedua orang tua.

4. Selanjutnya tentang tidak boleh taat kepada siapapun jika perintahnya merupakan kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla . Ketaatan hanyalah dalam hal yang tidak maksiat.

5. Tentang wajibnya mengikuti jalan kaum Mu'minin yang bertauhid, serta haramnya mengikuti jalan para ahli bid'ah.

6. Wajibnya merasa selalu diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , baik dalam keadaan tertutup atau terbuka. Dan tidak boleh meremehkan urusan kebaikan atau keburukan meskipun kecil atau sedikit.

7. Wajibnya mendirikan shalat secara benar sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya, dan harus thuma'nînah di dalamnya.

8. Wajibnya melaksanakan amar ma'ruf – nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

9. Tentang keharusan bersabar dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan amar ma'ruf – nahi mungkar.

10. Tentang haramnya sombong dan haramnya congkak ketika berjalan.

11. Tentang sikap sederhana dan sedang ketika berjalan, tidak lamban dan tidak terlalu cepat.

12. Dan juga tentang tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, sebab bersuara keras di luar kebutuhan merupakan kebiasaan keledai.[4]

Sesungguhnya, upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan serta membenci kemusyrikan, akan dapat dilakukan melalui proses tarbiyah (pendidikan). "Tarbiyah merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang terpenting".[5]

Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Selanjutnya yang paling berhak untuk diikuti tarbiyahnya sesudah Allah Azza wa Jalla adalah para Rasul; orang-orang yang telah dipilih oleh Allah Azza wa Jalla dan telah ditarbiyah langsung oleh-Nya dengan Kitab dan Hikmah, sebagaimana telah ditarbiyah langsung dengan segala ni'mat dan karunia-Nya. Kemudian, tarbiyah yang berhak diikuti sesudahnya lagi adalah tarbiyah para pewaris nabi; orang yang yang mendapatkan tarbiyah langsung dari tangan para nabi dan dibina dengan makanan ilmu serta akhlak para nabi. Sesudah itu berlangsunglah secara bersambung pola tarbiyah ini pada generasi berikut yang diambil dari generasi sebelumnya. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling banyak ittiba' terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da'wahnya.[6]

Lebih jelasnya, tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla .

Sementara itu, Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat 751 H) menjelaskan makna mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla yang dapat menghasilkan kebahagiaan, hilangnya rasa takut di akhirat dan hilangnya kesedihan (karena tidak mengalami bencana di akhirat-pen.) ialah;

Pertama: Meyakini segala berita yang datang Allah Azza wa Jalla tanpa terkendala oleh sesuatu syubhatpun yang dapat mengotori keyakinannya.
Kedua: Melaksanakan segala perintah-Nya tanpa terkendala oleh sesuatu syahwatpun hingga dapat menghalangi pelaksanaan perintah.

Pada dua hal inilah keimanan berporos, yaitu meyakini berita dan mentaati perintah. Dua hal ini diikuti oleh dua hal lain, yaitu: Mengenyahkan syubhat-syubhat batil yang menyusup serta menghambat utuhnya keyakinan, dan mengenyahkan syahwat-syahwat menyimpang yang menghambat utuhnya pengamalan terhadap perintah"[7]

Bahaya Syubhat dan Syahwat:
Sesungguhnya di kehidupan dunia ini terdapat dua bahaya yang besar, yaitu:

1. Bahaya syubhat. Yaitu bahaya yang akan merusak dan merubah keyakinan, dari yang benar menjadi menyimpang.

2. Bahaya syahwat. Yaitu bahaya yang akan merusak kepribadian dan ketaatan terhadap perintah agama.

Dalam pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua bahaya besar ini. Oleh karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua bahaya ini. Bahaya yang akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak, hingga menjerumuskannya dalam bid'ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya syubhat. Sedangkan bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta ketaatannya hingga menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak teguhan dalam menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat.

Bahaya syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar dan baik. Sehingga, orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya adalah menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga pendidikan yang bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan lingkungan pergaulan yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat terhadap buku-buku yang dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya adalah buku-buku yang membawa penyimpangan pemikiran atau kesesatan.

Sedangkan bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara kontinyu menuju pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan pergaulan yang baik; memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya terhadap kemaksiatan dan pelanggaran syari'at; serta ketat dalam memberikan keteladanan yang baik dan senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya kemaksiatan, penyimpangan serta pelanggaran syar'i pada diri anak. Di samping itu orang tua juga harus memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan anak.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini, yaitu syubhat dan syahwat, merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan kesengsaraannya di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama, yaitu meyakini segala berita dari Allah Azza wa Jalla dan mentaati perintah-Nya, merupakan pangkal kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun di akhirat.[8]

Tashfiyah Dan Tarbiyah:
Pada intinya, supaya peran orang tua dalam mengelola anak-anaknya bisa berjalan secara optimal, harus dipenuhi dua hal penting:

1. Tashfiyah, yaitu membersihkan pemahaman, pemikiran serta keyakinannya dari segala hal yang merusak. Sehingga aqidah, pemahaman serta manhajnya dalam beragama jadi lurus. Hal ini dilakukan dengan memberikan ilmu dan pengajaran ilmiah yang lurus.

2. Tarbiyah, yaitu membimbing, membina, membiasakan dan memberikan keteladanan agar anak terbiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla serta meninggalkan segala kemaksiatan.

Dalam hal ini Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menjelaskan: "Yang demikian itu karena manusia memiliki dua potensi;

1. Potensi daya tangkap dan daya selidik beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa kekuatan ilmu, pengetahuan dan kemampuan berbicara.

2. Potensi kehendak dan kesukaan beserta potensi-potensi lain yang mengikutinya berupa niat, tekad dan (semangat) berbuat.

Syubhat akan berpengaruh bagi rusak (menyimpang)nya potensi ilmiah dan pemahamannya, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan menyingkirkan syubhat itu. Sedangkan syahwat akan berpengaruh bagi potensi rusak (menyeleweng)nya kehendak beramal, selama tidak ada upaya untuk mengobati dengan mengenyahkan syubhat itu.[9]

Ini pula tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendidik umat sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Itu pula keharusan bagi setiap da'i dan pendidik termasuk ayah bunda.
Tazkiyah (pembersihan jiwa) tidak akan dapat berjalan sempurna tanpa adanya tarbiyah. Sedangkan Ta'lîm (pengajaran ilmu) tidak akan bisa sempurna tanpa adanya tashfiyah. Karena keduanya saling berkaitan erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan [10].

Seseorang menjadi bersih jiwanya jika mengamalkan semua ketentuan syari'at Allah Azza wa Jalla yang meliputi aqidah, ibadah hingga mu'âmalah. Tanpa itu, bagaimana mungkin seseorang akan bersih jiwanya. Tetapi semua itu tidak akan terwujud kecuali dengan tarbiyah dan keteladanan yang benar.

Sementara, ilmu dan pemahaman seseorang akan lurus dan benar jika pengajaran ilmiah kepadanya dilakukan dengan benar berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah sesuai pemahaman para Salafush-Shalih, melalui tangan-tangan atau sumber-sumber pengajaran yang benar pula.

Apabila seseorang mempelajari Islam melalui tangan ahli bid'ah, orang-orang menyimpang, orang-orang Barat kafir, atau sumber-sumber lain yang salah pemahamannya terhadap Islam, tentu hasilnyapun adalah ilmu serta pemahaman yang menyimpang dan sesat. Itulah pentingnya proses tashfiyah.

Karena itu setiap orang tua mempunyai peranan penting dalam proses tashfiyah dan tarbiyah ini.

Demikianlah beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan ayah bunda dalam mengasuh anak-anaknya.

Selanjutnya, yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan orang tua adalah berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar upayanya mengasuh anak-anaknya sukses dan benar-benar menjadi anak-anak yang shaleh dan shalehah. Wallâhu al-Muwaffiq.
Daftar bacaan:

1. Tafsir ath-Thabari, Dhabth wa Ta'lîq : Mahmûd Syâkir, Dâr Ihyâ' at-Turâts al-'Arabi, Beirut, cet. I – 1421 H/2001 M.
2. Fathul-Bâri Syarh Shahîhil-Bukhâri, Ibnu Hajar al-'Asqalâni.
3. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalîl Ma'mûn Syiha.
4. Al-Asâlîb at-Tarbawiyyah 'Inda Syaikhi al-Islam Ibni Taimiyyah, karya Khatthâb bin Ya'qûb as-Sa'di, penerbit; ad-Dâr al-Atsariyah, Amman, Yordan, cet. I – 1429 H/2008 M.
5. Miftah Dâr as-Sa'âdah karya Imam Ibnu al-Qayyim, Ta'lîq, taqdîm dan Takhrîj : Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Murâja'ah; Syaikh Bakar Abu Zaid t , Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyâdh – Dâr Ibnu 'Affân, Kairo, cet. I – 1425 H/2004 M
6. Nida' Ila al-Murabbîn wa al-Murabiyât, Muhammad bin Jamîl Zainu.
7. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruha fi Isti'nâf al-Hayat al-Islamiyah, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi. Penerbit: Dâr at-Tauhid, Riyâdh, KSA. Cet. II, 1414 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



MENJAUHI PERGAULAN BEBAS

Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla yang telah mengatur alam ini sedemikian rupa sehingga tertata rapi, namun manusialah yang merubah tatanan menjadi porak poranda, baik dalam kehidupan manusia maupun alam semesta.

Salam dan salawat semoga selalu dilimpahkan kepada teladan utama dalam pergaulan yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga, Sahabat beliau ridwânullahualaih dan para pengikutnya yang baik hingga hari kiamat.

Pada zaman sekarang ini pintu kemaksiatan terbuka lebar. Wanita fasik dan fajir telah diperdaya oleh setan hingga mengumbar aurat di mana-mana. Mata setiap orang bebas memandang perkara yang diharamkan, kecuali orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla . Bercampur baur antara lelaki dan perempuan terjadi di setiap tempat. Majalah porno dan film cabul merajalela tanpa kontrol. Traveling ke negeri-negeri rusak dan kafir dibuka lebar. Pergaulan bebas digandrungi setiap remaja. Prostitusi dan media porno dibuka di sembarang tempat, dan setiap orang leluasa menikmatinya tanpa batas.

Pergaulan bebas dan pacaran, bahkan seks bebas di kalangan kawula muda dianggap perkara biasa, karena sudah menjadi lifestyle (gaya hidup) di sebagian kalangan masyarakat. Perempuan bergandengan dan pergi dengan laki-laki yang bukan mahramnya, baik dalam acara resmi, santai, study atau bisnis. Maka tidak dapat dielakkan lagi bahwa musibah besar akan menimpa generasi muda negeri ini.

Oleh karena itu, seorang remaja Muslim yang ingin pandai bergaul namun tetap bersih dan tidak terkontaminasi oleh berbagai macam kebiasaan buruk dan dekadensi moral sehingga menjadi ”sampah masyarakat”, harus memperhatikan dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk berikut ini:

1. Pergaulan Bebas
Kondisi saat ini sungguh sangat memprihatinkan, sebab anak-anak yang masih belia dan produktif, yang seharusnya masih bersungguh-sungguh menentukan arah hidupnya, ternyata terperosok dalam pergaulan bebas dan penggunaan obat terlarang. Kondisi ini diperparah dengan tayangan televisi yang menampilkan adegan ranjang secara vulgar atau penerbitan majalah murahan. Waliyyâdzu billâh, Allâhu musta’ân.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah mengatur etika pergaulan dengan norma-norma yang sangat indah. Jika diamalkan, akan tercipta kehidupan yang terhormat dan bermartabat. Allah Azza wa Jalla menjaga manusia dengan syariat Islam yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan ketat. Tidak boleh bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita sering keluar rumah; kecuali untuk urusan mendesak dan sangat penting; walaupun untuk shalat. Sebagaimana `Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْـمَسْجِدِ فَأْذَنُوْا لَهُنَّ

”Jika isteri-isteri kalian minta izin kepada kalian pada waktu malam ke masjid (untuk ibadah), maka izinkanlah bagi mereka.”[1]

Seorang isteri tidak boleh pergi tanpa mendapatkan ridha suami, meskipun untuk mengunjungi keluarganya; karena mematuhi suami hukumnya wajib. Hadits di atas juga mengandung makna jika wanita ingin shalat berjamaah di masjid harus minta izin suami.

2. Berjabat Tangan dengan Wanita Bukan Mahram
Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram sudah menjadi tradisi resmi tingkat nasional maupun internasional, baik dalam intansi pemerintah, swasta maupun masyarakat. Mereka akan menganggap aneh jika ada orang yang mempermasalahkannya. Orang yang ingin mengamalkan hadits dari Ma’qil bin Yassâr Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َلأَنْ ُيطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلَّ لَهُ

Sungguh kepala seseorang di antara kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka demikian itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”[2] ;

Maka ia tidak akan berani menentang sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu, apapun alasannya. Sehingga karenanya dia berani menerobos tradisi yang bisa memicu berbagai kemaksiatan termasuk perzinaan. Subhânallâh betapa rincinya Allah Azza wa Jalla membikin aturan untuk menjaga hamba-Nya agar tidak ternoda sekecil apapun. Sudah selayaknya kita umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya melaksanakan petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena tidak ada sesuatu yang dilarang kecuali di dalamnya mengandung mafsadat dan tidak ada segala sesuatu yang diperintahkan kecuali di dalamnya terdapat manfaat.

3. Pacaran (berkhalwah dan Ikhtilâth)
Pacaran dalam kamus bahasa Indonesia artinya adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran artinya bercintaan atau berkasih-kasihan atau lebih gampangnya menjalin hubungan cinta dengan lawan jenis sebelum nikah yang biasanya dilakukan hanya berduaan.

Berpacaran merupakan budaya yang sangat digandrungi oleh anak muda zaman sekarang, bahkan gairah hidup bisa menjadi sirna jika tidak punya pacar. Cara berpacaran sekarang sangat bervariasi di antaranya adanya fasilitas handphone, telephon, komputer untuk chating atau face book. Bermula dari hubungan elektronik, lalu berjanji untuk bertemu dan akhirnya perjumpaan demi perjumpaan pun terjadi. Sehingga berakibat terjadinya perbuatan haram dan terkutuk. Awalnya, mereka lakukannya dengan penuh rasa takut, tapi akhirnya menjadi kebiasaan

Syariat Islam sangat melarang budaya tersebut sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang laki-laki dan wanita bukan mahram berdua-duan.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِإمْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذِيْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فإَِنَّ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah berdua-duaan dengan wanita yang tidak bersama mahramnya karena yang ketiga adalah setan. [3]

Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ إِلاَّ مَحْرَمٍ

Ketahuilah, tidak boleh seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, karena yang ketiga adalah setan kecuali bersama mahramnya. (HR. Ahmad no:142) dan hadits serupa dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu telah dituturkan di atas.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اﷲ ِ َفَرَأَيْتَ الْـحَمْوَ؟، قَال: اَلْـحَمْوُ الْـمَوْتُ.

Jagalah dirimu dari masuk ke tempat kaum wanita. Seorang laki-laki dari Anshar bertanya; “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Al Hamwu? Beliau bersabda: “Al Hamwu adalah kematian.” [4]

Maksud al-Hamwu adalah saudara laki-laki suami (ipar).

4. Pandangan Mata Liar
Jagalah hati, jangan dikotori dengan memandang wanita yang tidak halal yang membuka sebagian atau seluruh auratnya. Begitu pula seorang wanita tidak boleh memandang laki-laki yang membuka auratnya; baik di televisi, film atau lainnya, apalagi melihat secara langsung. Maka setiap Muslim dan Muslimah berkewajiban untuk menahan pandangan, sebab hal itu merupakan sumber fitnah, atau salah satu penyebab rusaknya hati dan menyimpangnya dari kebenaran, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. [An-Nuur/24 : 30-31]

Dalam Musnad Ahmad bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلنَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسَ.

“Pandangan adalah satu anak panah di antara anak panah-anak panah Iblis” [5]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Pandangan merupakan panah dan utusan setan, maka menjaga pandangan merupakan asas terpeliharanya kemaluan. Barangsiapa yang melepas pandangannya berarti telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَلِيُّ لاَ تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِرَةُ

Wahai Ali, janganlah kamu mengikuti pandangan demi pandangan, karena kamu hanya memiliki hak pada pandangan yang pertama dan tidak pada pandangan berikutnya.”[6]

(Maksudnya adalah pandangan yang mendadak dan tidak sengaja).[7]

5. Mendengarkan Musik dan Nyanyian .
Perbuatan ini termasuk bagian tipu daya setan untuk menjerat orang-orang yang bodoh dan ahli kebatilan. Di antaranya kebatilan itu adalah bertepuk tangan, bersiul, senang nyanyian dan alat-alat musik yang haram; yang semuanya membuat manusia tenggelam dan tidak berdaya di hadapan kefasikan dan kemaksiatan. Karena musik termasuk jampinya setan yang menjadi penghalang dan penutup hati untuk mengenal Allah Azza wa Jalla . Musik merupakan ilham bagi tindakan homoseksual dan perzinaan dan dengan musik orang fasik dan orang yang sedang dilanda asmara hidup merana dan menghayal hingga ajal tiba.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nyanyian dan musik adalah mantra pembangkit zina, karena ia faktor paling utama yang menyebabkab manusia terjatuh ke dalam perbuatan keji. Sungguh! Laki-laki, anak-anak dan wanita atau seseorang yang sangat menjaga diri, tetapi setelah mendengar musik, tidak mampu mengendalikan diri akhirnya berbuat kekejian, sehingga condong kepadanya baik sebagai subyek atau obyek, seperti yang terjadi di kalangan para pecandu khamr.”[8]

عَنْ أَبِي مَالِكٍ اْلأََشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، يُعْزَفُ عَلَى رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

Abu Mâlik al-Asy’ary berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan ada sekelompok manusia dari ummatku meminum khamr, mereka memberi nama dengan bukan namanya, mereka berdendang yang diiringi dengan musik dan para biduanita, Allah Azza wa Jalla menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan Allah Azza wa Jalla merubah di antara mereka menjadi monyet dan babi.”[9]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata bahwa menurut sebagian Ulama jika hati sudah terbiasa dengan kebiasaan menipu, makar dan fasik serta terwarnai dengan sifat secara lengkap maka pelakunya bertingkah laku seperti hewan kera dan babi.[10]

Karenanya para remaja hendaknya berhati-hati terhadap salah satu penyakit akhlak yang berbahaya yaitu menyenangi nyanyian-nyanyian atau tarian-tarian dengan berbagai cara dan sarana yang mengakibatkan banyak para remaja tergila-gila.

6. Wanita Bepergian Tanpa Mahram
Di antara kebiasaan yang memicu terjadinya fitnah syahwat dan pergaulan bebas adalah membiarkan wanita bepergian sejauh jarak qashar tanpa ditemani mahram, bahkan pergi berduaan keliling kota. Imam Nawawi rahimahullah dalam syarah shahîh Muslim menegaskan kesimpulan, bahwa segala macam bepergian bagi wanita dilarang, kecuali bersama suami atau mahramnya baik jarak tempuhnya tiga hari, dua hari, satu hari atau semisalnya. Hal itu berdasarkan riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang menyebutkan larangan secara mutlak sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama dengan mahramnya.[Muttafaqun alaih].

Demikian itu mencakup semua bentuk safar.[11]

7. Bercengkerama Mesra dengan Lawan Jenis.
Menurut pantun “Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali, dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati.” Berawal dari pandangan mata yang menggoda, lalu hati bergetar dan perasaan pun berbunga-bunga, maka gayung pun bersambut; sehingga timbul perasaan cinta yang menggebu-nggebu. Keduanya begadang sampai larut malam . Akhirnya setan pun tidak tinggal diam, sehingga keduanya pun melalukan perbuatan yang diharamkan. Allah Azza wa Jalla melarang setiap bentuk pembicaraan dengan lawan jenis, seperti dalam firman-Nya:

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. [al-Ahzâb/33:32]

Akan tetapi, bukan berarti seorang wanita dilarang secara mutlak berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya, karena pembicaraan terkadang diperlukan. Namun harus berbicara dengan serius seperlunya, baik tatkala berbicara langsung maupun lewat telepon. Pembicaraan telepon bisa menimbulkan banyak madharat dan kerusakan karena suara wanita yang manja bisa menggoda lawan bicara.

Hendaknya para remaja Muslim meninggalkan bentuk-bentuk pergaulan yang telah disebutkan di atas, mengisi waktu dengan ilmu yang bermanfaat, beribadah dan berda’wah di jalan Allah Azza wa Jalla .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



KESAMAAN DALIH PARA PENENTANG DAKWAH PARA RASUL

Oleh
Ustadz Abu Ismâ’îl Muslim al-Atsari


Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya dengan tugas yang sama, yaitu menyeru manusia agar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata dan menjauhi thâghût. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thâghût", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). [an-Nahl/16:36]

Dakwah para Rasul ini merupakan seruan menuju hikmah diciptakannya manusia di dunia ini. sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56]

Maksudnya Allah Azza wa Jalla menciptakan mereka untuk diperintah beribadah kepada-Nya semata dan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya.

SEMUA UMAT MENENTANG DENGAN ALASAN YANG SAMA
Semua umat menentang dakwah para Rasul yang mulia dengan hujjah (argumen) yang sama, yaitu mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka. Dahulu, orang-orang jahiliyah di Mekah -di zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam – melakukan kemusyrikan dengan tanpa bukti, tanpa petunjuk, dan tanpa argumen yang nyata, maka Allah Azza wa Jalla berfirman mengingkari mereka:[1]

أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur`ân, lalu mereka berpegang dengan kitab itu ? Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." [az-Zukhruf/43:21-22]

Inilah alasan perbuatan syirik mereka, yaitu mengikuti jejak nenek moyang. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa alasan mereka itu juga merupakan alasan semua orang-orang kafir pada zaman dahulu:

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." [az-Zukhruf/43:23]

ARGUMEN KAUM NUH ALAIHISSALLAM
Nabi Nuh Alaihissallam adalah Rasul pertama kali yang Allah Azza wa Jalla utus di muka bumi. Kaum beliau adalah orang-orang musyrik pertama kali di dunia ini. Beliau menyeru umat beliau untuk mengesakan ibadah hanya bagi Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh q kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?" [al-Mukminûn/23:23]

Namun kaum beliau mengingkari kerasulan beliau, dengan alasan bahwa mereka tidak pernah mendengar seruan Nabi Nûh Alaihissallam itu pada masa nenek moyang mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman memberitakan hal ini:

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَٰذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: "Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah Azza wa Jalla menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu”. [al-Mukminûn/23:24]

ARGUMEN SUKU ‘AD, KAUM NABI HUD ALAIHISSALLAM
Setelah kehancuran kaum Nabi Nûh Alaihissallam, manusia menjadi banyak kembali. Muncul kemusyrikan pada suku ‘Ad, maka Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Hûd Alaihissallam :

وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Ad saudara mereka, Hûd. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" [al-A’râf/7:65]

Kemudian lihatlah bantahan suku ‘Ad ini kepada Nabinya, mereka berargumen membela kemusyrikan mereka dengan kebiasaan nenek moyang mereka!

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا ۖ فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah Azza wa Jalla saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar." [al-A’râf/7:70]

ARGUMEN SUKU TSAMUD, KAUM NABI SHALIH ALAIHISSALLAM
Demikian juga suku Tsamûd, mereka melakukan syirik dengan sebab taqlîd kepada nenek moyang mereka. Dengan hikmah-Nya, Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Shâlih Alaihissallam kepada mereka:

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Dan kepada Tsamûd (Kami utus) saudara mereka Shâleh q . Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tidak ada bagimu tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya tuhanku amat dekat lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." [Hûd/11:61]

Namun bagaimana sikap suku Tsamûd? Mereka tidak berbeda dengan para pendahulu mereka sesama orang-orang kafir, mereka menentang dakwah Nabi Shâlih Alaihissallam dengan alasan mengikuti nenek moyang!

قَالُوا يَا صَالِحُ قَدْ كُنْتَ فِينَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هَٰذَا ۖ أَتَنْهَانَا أَنْ نَعْبُدَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَإِنَّنَا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ

Kaum Tsamûd berkata: "Hai Shâlih, sesungguhnya sebelum ini kamu adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." [Hûd/11:62]

ARGUMEN KAUM IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Allah Azza wa Jalla berfirman mengisahkan dakwah Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kepada bapaknya dan kaumnya:

وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm hidayah kebenaran sebelum (Mûsa dan Hârûn) dan Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrâhîm berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?" [al-Anbiyâ’/21:51-52]

Maka apakah jawaban mereka kepada Nabi Ibrâhîm?

قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." [al-Anbiyâ’/21:53]

Mendengar jawaban klasik tersebut, dengan tegas Nabi Ibrâhîm memvonis mereka dengan kesesatan yang nyata.

قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ

Ibrâhîm Alaihissallam berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata." [al-Anbiyâ’/21:54]

ARGUMEN KAUM SYU’AIB ALAIHISSALLAM
Kaum yang lain adalah kaum Nabi Syu’aib Alaihissallam di Madyan, Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib Alaihissallam . Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah Azza wa Jalla , sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." [Hûd/11:84]

Bantahan mereka serupa dengan orang-orang kafir sebelumnya.

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ ۖ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ

Mereka berkata: "Hai Syu'aib Alaihissallam, apakah shalatmu (agamamu) menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki pada harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." [Hûd/11:87]

KEADAAN KAUM NABI YUSUF ALAIHISSALLAM
Nabi Yûsuf Alaihissallam diutus kepada bangsa Mesir. Beliau sudah memulai dakwah ketika berada di dalam penjara. Beliau mengingatkan kawannya di penjara bahwa kemusyrikan yang dilakukan oleh bangsa Mesir waktu itu hanyalah dibuat oleh mereka sendiri dan nenek moyang mereka. Allah Azza wa Jalla mengisahkan perkataan beliau Alaihissallam :

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ

Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah Azza wa Jalla kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah Azza wa Jalla tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. [Yûsuf/12:39-40]

ARGUMEN KAUM NABI MUSA ALAIHISSALLAM
Nabi Mûsa Alaihissallam dan Nabi Hârûn Alaihissallam juga diutus kepada bangsa Mesir selain kepada Bani Israil. Allah Azza wa Jalla berfirman tentang keduanya:

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَىٰ وَهَارُونَ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ بِآيَاتِنَا فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا مُجْرِمِينَ

Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus Mûsa dan Hârûn kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. [Yûnus/10:75]

Namun ternyata Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya menolak dakwah kedua Rasul mulia itu dengan argumen yang sama seperti orang-orang kafir yang lain.

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاءُ فِي الْأَرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ

Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua." [Yûnus/10:78]

ARGUMEN KAUM NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Rasul terakhir yang Allah Azza wa Jalla utus di dunia ini mengalami hal yang sama. Kaum Quraisy lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]

Bahkan tokoh-tokoh Qurasiy berusaha menghalangi keislaman Abu Thâlib, paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan argumen mengikuti agama orang tuanya. Maka akhirnya, Abu Thâlib lebih memilih kekafiran daripada keimanan. Hal ini dikisahkan di dalam hadits berikut ini:

عَنْ سَعِيدِ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ ((يَا أَبَا طَالِبٍ)) أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللَّهُ

Dari Sa’îd bin al-Musayyib, dari bapaknya, dia berkata: “Ketika kematian mendatangi Abu Thâlib, Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguknya. Beliau mendapati Abu Jahal dan `Abdullâh bin Abi Umayyah bin al-Mughîrah di dekat Abu Thâlib. Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illallâh, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah Azza wa Jalla !” Abu Jahal dan Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan: “(Wahai Abu Thâlib) apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat itu kepadanya, dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib. Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illallâh.” [HR. Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24]

Demikian pula, setelah beliau berhijrah ke Madinah. Orang-orang Yahudi yang termasuk umat dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam , lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk yang beliau bawa dari Allah Azza wa Jalla.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَآأَنزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَآأَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْكَانَ ءَابَآؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah Azza wa Jalla ," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". [al-Baqarah/2:170]

PENUTUP
Setelah kita mengetahui sikap para umat terhadap para rasul mereka, yang menentang al-haq dengan argumen mengikuti nenek moyang, maka tidak heran betapa banyak masyarakat sekarang yang menolak al-haq dengan argumen tradisi orang tua, warisan leluhur, adat kebiasaan suku, atau semacamnya.

Namun yang aneh adalah sebagian kaum Muslimin yang mengikuti pola pikir jahiliyah ini dan meninggalkan al-Kitab dan Sunnah, padahal hujjah telah datang kepada mereka. Maka dengan sedikit tulisan ini, semoga menyadarkan kita bahwa nilai kebenaran itu ukurannya adalah wahyu yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wujud al-Kitab dan Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Dan kita tidak boleh menentangnya dengan ajaran dari guru, tokoh, nenek moyang, atau lainnya. Wallâhul Musta’ân.

Rujukan.
1. Mu’jamul Mufahras li Alfâzhil Qur’ân, syaikh Muhammad Fuâd Abdul Bâqi
2. Muqaddimah tahqîq kitab Tath-hîrul I’tiqâd dan Syarhus Shudûr, syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbâd
3. Tafsir Ibnu Katsîr
4. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsîr pada surat az-Zukhruf, ayat 21



BAGAIMANA ULAMA BERIJTIHAD

Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA


Allah Azza wa Jalla telah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Rasul dan agama Islam sebagai penutup seluruh syari'at dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

"Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [al-Ahzâb/33:40]

Bukan hanya sekedar sebagai penutup, akan tetapi Islam juga menjadi standar kebenaran bagi seluruh syari'at terdahulu. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian atas kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenarang yang telah datang kepadamu." [al-Mâidah/5:48]

Ini salah satu hikmah dijadikannya Islam sebagai agama yang wajib untuk diamalkan oleh seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi Dzat Yang jiwa (Nabi) Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorangpun dari umat ini, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati sedangkan ia belum beriman dengan agama aku bawa (yaitu agama Islam), melainkan ia akan menjadi penghuni neraka." [HR. Muslim no 218]

Islam adalah satu-satunya syari'at yang wajib diamalkan dan yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Islam adalah agama yang cocok untuk diamalkan di setiap zaman, negeri dan tatanan masyarakat. Karena dalam syari'at Islam dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan umat manusia, baik urusan agama ataupun dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan telah Kami turunkan kepadamu al-Kitâb (al-Qur'ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl/16:89]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu, sampai tatacara buang air kecil dan besar. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk merekayasa suatu metode atau ajaran dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla atau memakmurkan bumi yang kita huni ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِي اللّه عَنْهُ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وما طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ في الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ما بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

"Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah mengajarkan ilmu tentangnya kepada kami. Selanjutnya Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah tersisa sesuatupun yang dapat mendekatkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepadamu." [HR at-Thabrâni dan dihasankan oleh al-Albâni]

Fakta ilmiyah ini berlaku dalam segala aspek kehidupan umat manusia.

Untuk sedikit memberikan gambaran kaitan syari'at Islam dalam berbagai masalah kontemporer; berikut disampaikan metodologi Ulama' ahli ijtihad dalam melakukan studi kasus masalah-masalah tersebut.

1. Tidak Gegabah Dalam Berfikir Dan Menyimpulkan.
Biasanya, bila Ulama' ahli ijtihad dihadapkan kepada suatu masalah yang belum pernah terjadi, mereka bersikap ekstra hati-hati. Bahkan, pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan jawaban atas masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama' ahli ijtihad lainnya:

Abu Hushain Utsman bin 'Ashim Al-Asady rahimahullah berkata: "Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu , niscaya ia segera mengumpulkan para pemuka sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk berdiskusi."[1]

Demikianlah tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai masalah kontemporer. Mereka mengumpulkan Ulama' alhi ijtihad dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdiskusi dan bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat umum: "Barang siapa yang memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya segera menyampaikannya".

Dikisahkan, ada seorang wanita datang kepada Khalîfah Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa suaminya mati dibunuh orang lain. Ia meminta agar ia mendapatkan bagian warisan dari diyat (tebusan) suaminya itu. Khalîfah Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: “Aku tidak mengetahui apakah engkau juga berhak mendapatkan bagian darinya?” Lalu beliau Radhiyallahu 'anhu membuat pengumuman: “Barang siapa yang mengetahui ilmu dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini, hendaknya datang menemuiku.” Maka datanglah ad-Dhahak bin Sufyân Al-Kilâbi, yang berkata: “Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyuruhku untuk memberikan bagian warisan istri Asyyam Ad-Dhababi dari diyat suaminya.” Mendapatkan masukan ini, maka Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu segera memberikan bagian warisan wanita tersebut dari diyat suaminya". [HR. at-Thabrâni, al-Baihaqi dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Inilah metode pertama yang harus ditempuh oleh setiap orang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer.

2. Menguasai Hukum Syari'at.
Keahlian pertama dan utama yang harus dimiliki seseorang yang hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer ialah penguasaan terhadap ilmu syari'at. Berbagai disiplin ilmu syari'at terkait, baik ilmu bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits dan lainnya benar-benar harus terlebih dahulu dikuasai. Apalah gunanya seseorang merenung dan berfikir tentang suatu kasus kontemporer, bila ia tidak menguasai ilmu agama. Orang itu hanya akan menyengsarakan dirinya dan juga menyesatkan saudaranya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lisanmu secara dusta"ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, itu adalah kesenangan sedikit; sedangkan bagi mereka azab yang pedih." [an-Nahl/16:116-117]

Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً، فَسُئِلُواْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari para hamba-Nya, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para Ulama'. Hingga pada saatnya nanti, Allah tidak lagi menyisakan seorang Ulama'-pun, sehingga manusia akan menobatkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, akibatnya merekapun tersesat dan menyesatkan". [Muttafaq 'alaih]

Tentu kita semua sepakat bahwa ilmu syari'at tidak mungkin dapat dikuasai oleh "Ulama' karbitan" atau "praktisi dadakan"[2]. Ulama' karbitan atau praktisi dadakan yang dihasilkan berbagai institusi atau badan usaha, dengan melatih kadernya selama beberapa waktu, tidaklah layak untuk menjadi rujukan dalam permasalahan semacam ini. Apalagi untuk menjadi Ulama' benar-benar berhak untuk berijtihad dalam berbagai masalah kontemporer.

Pada suatu hari imam Mâlik bin Anas rahimahullah mendapati imam Rabî'ah bin Abdurrahmân dalam keadaan menangis. Spontan, imam Mâlik rahimahullah bertanya kepadanya: “ Apa gerangan yang menyebabkan kamu menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?” Ia menjawab: “Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.” Lalu imam Rabî'ah berkata:” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjara daripada para pencuri.”[3]

Ibnu Shalah rahimahullah mengomentari kisah ini dengan berkata: “Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa merahmati imam Rabî'ah, apa gerangan komentarnya andaikan ia menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini.”[4]

Sebagian Ulama' menjelaskan alasan yang mendasari Ulama' ahli ijtihad bersikap ekstra hati-hati, dengan berkata: “Barang siapa yang hendak menjawab suatu pertanyaan, maka hendaknya terlebih dahulu ia memikirkan bagaimanakah caranya ia dapat selamat di akhirat, setelahnya, barulah ia menjawab.” [5]

3. Menguasai Permasalahan Yang Dihadapi Dengan Sempurna.
Dahulu para Ulama' berkata:

الحُكْمُ عَلَى الشَّيءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

"Hukum suatu masalah adalah cabang pemahaman terhadap gambaran masalah tersebut".

Berdasarkan ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Tidaklah seorang mufti dan hakim dapat memberikan fatwa atau keputusan hukum dengan benar, kecuali bila ia memiliki dua jenis pemahaman: Pertama: pemahaman tentang masalah yang terjadi, dan kajian mendalam tentang hakekat sebenarnya pada kejadian tersebut. Kajian itu dapat dilakukan dengan bantuan berbagai pertanda dan indikasi yang berkaitan, hingga ia benar-benar menguasi masalah yang dimaksud. Pemahaman kedua: Memahami apa yang menjadi kewajiban dalam masalah itu, yaitu hukum Allah Azza wa Jalla yang telah diputuskan dalam al-Qur'ân atau melalui lisan Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah itu. Selanjutnya ia mencocokkan kedua jenis pemahaman ini."[6]

"Sesungguhnya realita suatu masalah -menurut Ulama- terbagi menjadi dua bagian:

Bagian pertama : realita yang memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at. Memahami realita jenis ini merupakan suatu keharusan. Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya, maka dia telah berbuat kesalahan. Jika suatu realita memiliki pengaruh dalam penentuan hukum, maka wajib di kuasai oleh para Ulama'.

Bagian kedua : Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian serta cerita yang panjang lebar; akan tetapi realita dan kisah tersebut sama sekali tidak mempengaruhi penentuan hukum syari'at.

Ketika berijtihad, para Ulama' mengabaikan realita semacam ini, walaupun sebenarnya mereka memahaminya. Dengan demikian tidak setiap realita yang diketahui memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at".[7]

Realita jenis kedua inilah yang disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan (الأَوْصَافُ الطَّرْدِيَّةُ). Realita jenis kedua ini tergolong dalam "ilmu yang tidak bermanfaat untuk diketahui, dan tidak merugikan bila diabaikan".

Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam menentukan hukum dari realita yang tidak berpengaruh sama sekali, harus mengetahui ilmu syari'at yang merupakan standar berbagai fakta dan realita.

Sebagai contoh: Kita semua mengetahui bahwa khamer adalah minuman yang diharamkan. Kita juga mengetahui bahwa khamer di zaman dahulu terbuat dari anggur dan kurma, sebagaimana dikisahkan dalam ayat 67 surat an-Nahl. Nah, apakah realita ini memiliki pengaruh dalam penentuan hukum haram khamer, sehingga khamer yang terbuat dari tebu tidak dinamakan khamer alias halal?

Ulama' ahli ijtihad telah menjelaskan bahwa khamer adalah haram, walaupun terbuat dari tebu atau lainnya. Keputusan hukum ini berdasarkan kepada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

"Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang memabukkan adalah haram”. [HR Muslim]

Dengan demikian realita khamer zaman dahulu, yaitu terbuat dari anggur dan korma tidak mempengaruhi hukum khamer.

Untuk dapat memahami realita suatu masalah, seorang ahli ijtihad menempuh cara:
a. Bertanya kepada pakar permasalahan tersebut.
b. Bertanya langsung kepada orang yang ditimpa permasalahan tersebut.

4. Standar Kebenaran Adalah Al-Qur'ân Dan Sunnah.
Seluruh Ulama' telah sepakat bahwa tidaklah ada agama, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiada ibadah melainkan yang telah beliau ajarkan, tiada kehalalan melainkan yang telah beliau halalkan dan tiada keharaman melainkan yang telah beliau haramkan. Dengan demikian, yang menjadi standar kebenaran dalam segala urusan, termasuk berbagai masalah kontemporer adalah al-Qur'ân dan Sunnah, baik selaras dengan pendapat kebanyakan Ulama' atau menyelisihinya.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

"Dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah kepadamu, maka amalkanlah, dan segala yang dilarangnya, maka tinggalkanlah". [al-Hasyr/59:7]

Kebenaran tidaklah dipandang dari ringan atau beratnya suatu pendapat bila diamalkan. Rasa ringan atau berat ketika beramal sangat relatif, dan banyak penyebabnya; oleh karena itu imam asy-Syaukani berkata: “Yang wajib kita anut dan harus kita amalkan adalah pendapat yang berdasarkan dalil shahîh. Dan bila dalil-dalilnya terkesan saling bertentangan, maka ringannya atau beratnya suatu pendapat tidak dapat dijadikan sebagai alasan penguat. Pada saat itu, kita berkewajiban untuk mencari alasan lain yang dibenarkan, guna menguatkan suatu pendapat.” [8]

5. Tidak Terperdaya Dengan Perbedaan Nama Sehingga Melalaikan Hakekat Masalah.
Di antara metode ijtihad yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi berbagai masalah kontemporer ialah dengan senantiasa mengaitkan hukum permasalahan dengan hakekatnya, dan bukan dengan sekedar penamaannya. Oleh karena itu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ عَلَى رُؤُوسِهِمْ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأََرْضَ وَيُجْعَلَ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang minum khamer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah Azza wa Jalla akan menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi”. [HR Abu Dâwud, dan hadits ini memiliki banyak syawâhid]

Ibnu Hajar al-Asqalâni as-Syâfi'i rahimahullah berkata, "Pada hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dengan cara mengubah namanya. Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa mengikuti 'illah-nya (alasannya), dan 'illah diharamkannya khamer ialah karena memabukkan. Jika suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu pasti haram, walau namanya telah berubah; bukan lagi khamer.”

Ibnu al-'Arabi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: "Setiap hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekedar namanya saja."[9]

Seorang ahli ijtihad yang benar-benar paham syari'at Islam, niscaya tidak akan terpengaruh oleh kilauan nama yang indah. Mereka menyadari bahwa kegemaran merubah-rubah nama guna merubah hukum, hanyalah secuil warisan umat Yahudi. Ulama' ahli ijtihad senantiasa ingat akan wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka:

لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

"Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan melakukan sedikit rekayasa." [HR. Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsîr serta disetujui oleh al-Albâni].

Oleh karena itu walaupun piutang telah diberi nama baru yang lebih menggiurkan yaitu tabungan, atau modal usaha, atau obligasi, atau sukuk, tetap saja hukumnya adalah piutang. Dengan demikian segala bentuk keuntungan yang dipungut darinya adalah riba.

6. Tidak Kaku Dalam Menerapkan Fatwa Ulama'.
Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur lebih dari 14 abad. Dengan demikian, syari'at Islam telah dipahami dan diamalkan di berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka. Masing-masing Ulama' menghadapi berbagai masalah yang ada di masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan fatwa masing-masing Ulama' sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya hidup yang ada di masyarakatnya.

Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan yang ada di zaman Ulama' yang menjadi rujukan, ketika mengkaji berbagai masalah kontemporer.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mempertimbangkan adat dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa yang tertera dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan tradisi, adat istiadat, waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing masyarakat, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap ajaran agama lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter yang berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri dengan segala perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh ini merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa masyarakat."[10]

Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan tafsîr telah dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan “wahai ibuku” atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihâr. Sehingga ia tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hukum ini dengan tegas dijelaskan dalam surat al-Mujâdilah ayat 2-4.

Jika kita menerapkan keterangan Ulama' di atas pada masyarakat kita, maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena kewajiban itu. Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan sebutan : ibu, mama, adik, atau lainnya.

Guna menjembatani penerapan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih terhadap fakta yang ada di masyarakat, para Ulama’ menggariskan suatu kaidah yang berbuyi:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ العَادَاتِ

“Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, selaras dengan perubahan adat.”

atau :

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

"Tradisi itu memiliki kekuatan hukum."

Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama' menyatakan bahwa bila suatu tradisi tidak menyelisihi syari'at, maka boleh diamalkan, bahkan pada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat dan tradisi suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari'at, maka haram untuk dilakukan. Sehingga hukum syari'at tetap baku dan tidak dapat berubah karena perubahan adat dan tradisi. Inilah makna kaidah fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di atas[11]. Hal ini berdasarkan firman Allah kAzza wa Jalla :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata." [al-Ahzâb/33:36].

Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu berkata: "Seluruh ulama' fiqih telah sepakat bahwa hukum-hukum yang dapat berubah-rubah selaras dengan perubahan zaman dan perilaku manusia ialah hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad Ulama'. Yaitu hukum-hukum yang merupakan upaya Ulama' dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan demikian, hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah, tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini. Berdasarkan itulah, sebagian ulama' fiqih berpendapat bahwa teks kaidah ini yang lebih tepat ialah:

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ ْلإِجْتِهَادِيَةِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ

"Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum ijtihadiyyah berdasarkan perubahan zaman", guna menepis kerancuan semacam ini. Dan (saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah tersebut bagus dan tepat adanya."[12]

7. Mencarikan Solusi Jitu.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di masyarakat adalah hasil rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim, yang tidak perduli dengan halal dan haram. Oleh karena itu, bila seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan haramnya suatu masalah kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas dengan kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif yang halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai amalan haram dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan cara-cara yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bila seorang mufti yang benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal yang terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti itu akan segera menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian, mufti tersebut berhasil menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan solusi-solusi yang halal. Tentu tidak ada orang yang mampu melakukan hal ini selain orang-orang yang benar-benar berilmu lagi tulus, yang benar-benar ikhlas karena Allah k dengan mengamalkan ilmunya. Mufti semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia berusaha melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan jasmani.

Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan wajib atas Nabi itu untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang ia ketahui". Demikianlah perangai para Rasul dan para ahli waris mereka sepeninggalnya" [13]

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama' ahli ijtihad yang dapat dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga, paparan singkat ini bermanfaat bagi semuanya.

Wallâhu'alam bis shawâb.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment