Monday, December 10, 2012

Metode Salaf Dalam Menerima Ilmu


Metode Salaf Dalam Menerima Ilmu


Oleh
Syaikh Abdul Adhim Badawi



وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah, nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan (perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan, dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak mengamalkan.

Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah seorang sahabat (yang artinya ) : " Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan" [Muttafaqun Alaihi]

Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah yang akan dialami.

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah 'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat itu :

Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah 'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [al-Hujurat /49 : 13]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Engkau harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya".

Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya", maka Zainab berkata : "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya, lalu akupun menikah dengan Zaid".

Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.

Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman.

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita mendengarkan perintah-peritah serta larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan tetapi seolah-olah kita tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَىٰ وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَىٰ ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ

"Artinya : Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup" [al-A'la/87 : 9-13]

Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang lalai.

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

"Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [al-Munafiqun/63 : 4]

Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah berfirman.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّىٰ إِذَا خَرَجُوا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوا لِلَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

"Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka" [Muhammad/47 : 16]

Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah 'Azza wa Jalla berfirman.

فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

"Artinya : Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal" [az-Zumar/39 : 17-18]

Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak.

Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla yang engkau dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari majikannya.

Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan perintah RasulNya, Allah berfirman.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" [al-Ahzab/33 : 36]

Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama dengan saya memperhatikan perbandingan ini :

Kita tadi telah mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan RasulNya).

Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah :

Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari : "Bahwa 'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak bernama Barirah, lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih, apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau bercerai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya. Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.

Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah engkau heran terhadap kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah : "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?" sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka Barirah berkata : "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau hanya mengajurkan saja ?"

Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya mengajurkan saja !". Barirah berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"

Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan atau maksiat.

Zainab binti Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya". Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan RasulNya.

Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah dengannya, Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya menganjurkan" berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".

Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta beragama karena Allah dan RasulNya dengan sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan RasulNya, kita bimbang dan menimbang-nimbang antara perintah dan larangan-laranganNya (kita kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah, kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

"Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)" [az-Zumar/39 : 54]

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [an-Nuur/24 : 31]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 - 1424H, Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad surabaya. Alamat Redaksi Perpustakaan Bahasa Arab Ma'had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]



Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”

TAKHRIJ HADITTS:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Mâlik dalam al-Muwaththa' (II/571, no. 31).
2. Ad-Dâraquthni (III/470, no. 4461).
3. Al-Baihaqi (VI/69).
4. Al-Hâkim (II/57-58). Dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan,

َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه

Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”

Hadits Abû Sa’îd di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, diantaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah, no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (Ibnu Mâjah, no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin ‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah Radhyallahu anhum. Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, dan Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 250), Irwâ-ul Ghalîl (no. 896), dan Shahîh Kitâbil Adzkâr wa Dha’îfuhu (II/985, no. 981/1247).

SYARAH HADITS:
1. Pengertian ad-Dharar dan ad-Dhirâr
Para Ulama berbeda pendapat tentang adakah perbedaan makna antara kata adh-dharar dan adh-dhirâr? Diantara mereka ada yang mengatakan, makna kedua kata tersebut sama, (diucapkan dua kali) untuk menguatkan. Namun pendapat yang terkenal yaitu antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan makna.

Dharar (bahaya) adalah lawan dari manfaat. Makna hadits tersebut tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan madharat (bahaya) tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat. Ada juga yang mengatakan, dharar ialah memudharatkan orang lain yang tidak pernah melakukan hal yang sama padanya, sedang dhirâr ialah membuat kemudharatan terhadap orang lain yang pernah melakukan hal yang sama padanya (membalas-red) dengan cara yang tidak diperbolehkan.

Hadits ini menjelaskan kaidah «لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار» yang telah dibakukan Ulama. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan semua perkara-perkara yang berbahaya dengan kaidah ini, terutama masalah-masalah kontemporer yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya, narkoba dan rokok. Keduanya dihukumi haram karena masuk dalam kaidah ini. Sebab hal tersebut berbahaya dan membahayakan orang lain. Dan masih banyak contoh lain yang dapat diambil dari kaidah ini. Karena itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu hadits yang menjadi poros hukum-hukum fiqih.

Kesimpulannya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak dharar (mudharat/bahaya) dan dhirâr (menimbulkan bahaya) tanpa alasan yang benar. Adapun menimpakan madharat kepada seseorang dengan cara yang benar, maka itu tidak termasuk yang dilarang dalam hadits di atas. Misalnya, seseorang yang melanggar hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , lalu dihukum sesuai dengan kejahatannya; atau seseorang menzhalimi orang lain, lalu orang yang dizhalimi menuntut balas dengan adil. Karena yang dimaksud dalam hadits di atas ialah menimbulkan madharat dengan cara yang tidak benar.[1]

Contoh لاَ ضَرَرَ yaitu, seseorang merokok atau mengkonsumsi narkoba. Orang ini berarti telah berbuat dharar (bahaya/kerugian) terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia wajib dicegah dan dia wajib berhenti dari tindakannya itu, karena ia telah menzhalimi dirinya sendiri dan membahayakan orang lain.

Contoh “وَلاَ ضِرَارَ”, seseorang mengkhianati atau menipu kita, maka untuk mengamalkan potongan hadits itu, kita tidak boleh membalasnya dengan menipu atau mengkhianatinya. Contoh lain, si A menzinai wanita B, maka keluarga wanita yang dizinai tidak boleh membalas A dengan menzinai keluarga si A. Akan tetapi, hendaknya dilaporkan ke penguasa agar pelakunya dihukum.

2. Haram, Menimbulkan Madharat Kepada Seorang Muslim
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya, ia bisa memintanya melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin. Diantaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ...

Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian…[2]

Melakukan sesuatu yang membahayakan atau merusak kehormatan, harta atau jiwa kaum Muslimin adalah tindakan kezhaliman yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang beliau riwayatkan dari Rabbnya,

يَا عِبَادِيْ ! إِنِّـيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا ؛ فَلَا تَظَالَـمُوْ...

Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi...[3]

3. Macam-Macam Tindakan Memberikan Mudharat
Pertama : Tindakan yang murni tujuannya untuk menimbulkan madharat kepada orang lain. Tindakan ini jelas buruk dan diharamkan. Larangan menimbulkan madharat disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur’ân, diantaranya :

a. Dalam wasiat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ

“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (setelah dibayarkan) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris)…” [an-Nisâ'/4:12]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Menimbulkan madharat dalam wasiat termasuk dosa besar.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhuma membaca ayat di atas.[4]

Menimbulkan madharat dalam wasiat itu terkadang dalam bentuk :
- Melebihkan bagian ahli waris tertentu dari bagian yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla . Akibatnya, pasti akan merugikan ahli waris lainnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allâh telah memberi hak kepada para pemiliknya. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi ahli waris. [5]

- Berwasiat kepada orang lain dengan harta yang lebih dari sepertiga hartanya. Akibatnya, jatah ahli waris berkurang. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ

Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.[6]

Jika seseorang berwasiat untuk salah seorang ahli waris atau orang lain dengan harta yang melebihi sepertiga hartanya, maka wasiat itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin semua ahli waris; baik orang yang berwasiat tersebut sengaja dan berniat menimbulkan madharat atau tidak.

Jika ia sengaja dan berniat menimbulkan madharat dengan cara mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, maka ia berdosa karena niatnya ini. Pertanyaannya apakah wasiat itu ditolak jika pelakunya memberikan pengakuan ataukah tidak ? Ibnu ‘Athiyah meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Mâlik bahwa wasiat tersebut harus ditolak. Ada yang mengatakan bahwa itu analogi pendapat Imam Ahmad.[7]

b. Dalam masalah rujuk nikah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri… [al-Baqarah/2:231]

Barangsiapa bermaksud menimbulkan madharat ketika merujuk istrinya, ia berdosa. Ini seperti kejadian yang terjadi pada masa permulaan Islam sebelum talak dibatasi dengan tiga talak. Ketika itu, seseorang bisa mentalak istrinya kemudian meninggalkannya. Ketika iddah istrinya hampir habis, ia rujuk dengan istrinya kemudian mentalaknya lagi. Ia berbuat seperti itu tanpa batas akhir. Ia membiarkan istrinya dalam status yang tidak jelas, antara berstatus ditalak atau dirujuk. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla membatalkan perbuatan seperti itu dan membatasi talak hingga tiga kali saja. [8] Wallâhu a’lam.

c. Dalam îlâ’ (bersumpah tidak menggauli istri).
Orang-orang jahiliyah jaman dahulu ada yang melakukan tindakan îlâ’ (bersumpah untuk tidak menggauli istrinya) selama setahun atau dua tahun. Tujuannya ialah menyengsarakan istrinya. Akibatnya, sang istri menjadi wanita yang terkatung-katung dan tidak merasa sebagai istri. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menentukan masa îlâ' sampai batas empat bulan. Jika seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (îlâ'), maka masa berlaku îlâ' tersebut adalah empat bulan. Jika suami menarik kembali îlâ'nya dan menggauli istrinya, itulah bentuk taubatnya. Namun jika ia bersikeras tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan, maka ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Menurut generasi Salaf dan Khalaf, dalam masalah ini ada dua pendapat :

Pertama: Istrinya ditalak dengan berakhirnya masa îlâ'.
Kedua: Dibiarkan. Jika suami menarik kembali îlâ'nya dalam waktu empat bulan, maka tidak ada tindakan apa-apa, namun jika tidak, maka ia harus disuruh untuk mentalak istrinya.[9]

d. Dalam masalah menyusui. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya [al-Baqarah/2:233]

Tentang firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Mujâhid rahimahulah menjelaskan, “Seorang ayah tidak boleh melarang wanita yang telah melahirkan (ibu-red) bayinya menyusui anaknya dengan tujuan membuat si wanita itu bersedih hati.”

‘Athâ', Qatâdah, az-Zuhri, Sufyân, as-Suddi, dan lain-lain berkata, “Jika seorang ibu (wanita yang telah melahirkan anaknya lalu dicerai oleh suaminya-red) ridha dengan upah yang sama dengan wanita lain, maka ia lebih berhak menyusui anaknya (daripada wanita lainnya-red).”

Dan firman Allâh Azza wa Jalla , ﴿وَلَا مَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ﴾ “Dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” termasuk dalam hal ini ialah jika wanita yang ditalak meminta untuk menyusui bayinya dengan upah standar, maka ayah si bayi tersebut harus mengabulkan permintaan wanita tersebut; baik ada wanita lain atau tidak. Ini pendapat Imam Ahmad. Namun jika wanita itu meminta upah lebih tinggi dari upah standar dan ayah si bayi mendapati wanita lain yang bisa menyusui bayinya, maka sang ayah tidak wajib memenuhi tuntutan wanita yang telah dicerainya itu, karena wanita tersebut bermaksud menimbulkan mudharat. Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.[10]

e. Dharar dalam jual-beli.
Islam melarang seluruh bentuk jual-beli yang mengandung dharar (bahaya) dan membahayakan kaum Muslimin. Islam melarang jual-beli inah[11] , jual beli dengan lemparan batu, jual beli gharar (yang tidak jelas), jual beli dengan riba, dan lainnya.

Kedua : Tindakan yang tidak murni untuk memudharatkan, dia mempunyai tujuan lain yang benar., Misalnya, seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain atau melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya sehingga orang yang ia larang mendapatkan madharat karena larangannya.

Masalah pertama; Seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain. Jika itu terjadi secara tidak wajar, misalnya seseorang menyalakan api di lahannya di hari yang panas kemudian api membakar apa saja yang ada di lahan itu dan di lahan sekitarnya. Pelaku tindakan ini berarti telah berbuat zhalim dan harus mengganti kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Namun, jika hal tersebut terjadi secara wajar, maka ada dua pendapat menurut ulama dalam masalah ini :

- Ia tidak dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah, Abu Hanîfah rahimahullah dan lain-lain.
- Ia dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Ahmad rahimahullah, sejalan dengan pendapat Imam Mâlik rahimahullah pada sebagian bentuk (kasus).

Diantara contohnya ialah seseorang membuka lubang dinding di rumahnya yang tinggi atau membangun rumah tinggi, sehingga ia bisa melihat tetangganya dan ia tidak menutupnya. Akibatnya, tetangga merasa terganggu. Oleh karena itu, ia wajib menutupnya. Wallâhu a’lam.

Contoh lain ialah menggali sumur di dekat sumur tetangga hingga menghabiskan air sumur tetangga. Menurut pendapat Imam Mâlik dan Ahmad, sumur tetangganya harus diisi.

Contoh lain, melakukan sesuatu pada barang miliknya, namun aktifitas ini menimbulkan madharat pada milik tetangga, misalnya mengguncang, menumbuk, dan lain sebagainya. Itu dilarang menurut Imam Mâlik dan Ahmad. Itu juga salah satu pendapat sahabat-sahabat Imam Syâfi’i.

Contoh lain, menimbulkan madharat kepada sesama penghuni rumah. Misalnya, seseorang yang mempunyai bau badan yang tidak enak dan lain sebagainya. Orang ini harus menghilangkan bau badannya.

Masalah kedua; Melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya, seperti melarang orang lain menyandarkan kayu pada tembok rumahnya. Ini tidak boleh kecuali kalau menimbulkan bahaya bagi pemilik tembok, misalnya temboknya kurang kuat sehingga dikhawatirkan roboh. Namun, pada asalnya tidak boleh melarang, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِيْ جِدَارِهِ

Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan kayu di temboknya.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kenapa aku lihat kalian berpaling dari sunnah ini. Demi Allâh, aku pasti melemparkannya ke tengah-tengah kalian.”[12]

‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu menjatuhkan vonis kepada Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu agar ia membiarkan air dari tetangganya mengalir ke lahannya. Beliau berkata, “Engkau harus mengalirkan airnya meskipun melewati perutmu.”[13]

Di antara hal yang dilarang pada seseorang karena akan menimbulkan madharat yaitu melarang orang memanfaatkan sisa air. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَـمْنَعُوْا فَضْلَ الْـمَـاءِ لِتَمْنَعُوْا بِهِ الْكَلَأَ

Jangan kalian melarang (pemanfaatan-red) sisa air (dengan tujuan-red) untuk melarang (pemanfaatan-red) rumput (di sekitarnya-red).[14]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْـمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِـيْ ثَلَاثٍ : فِـي الْـمَـاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslimin itu bersekutu dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api[15]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ ا لْـمَـاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tidak boleh dilarang (pemanfaatannya-red) yaitu air, rumput dan api [16]

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak boleh melarang orang lain secara mutlak untuk memanfaatkan sisa air yang mengalir dan memancar, baik air ini disebut sebagai milik dari pemilik lahan tempat air berada atau tidak. Ini pendapat Abu Hanîfah, asy-Syâfi’i, Ahmad, Ishâq, Abu ‘Ubaid dan lain-lain.

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa sisa air wajib diberikan secara gratis tanpa kompensasi apa pun untuk minum manusia, minum binatang dan mengairi tanaman. Abu Hanîfah rahimahullah dan asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat bahwa kelebihan air tidak wajib diberikan untuk tanaman.[17]

Termasuk dalam cakupan kandungan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidak boleh memudharatkan” yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak membebani para hamba-Nya untuk mengerjakan hal-hal yang mendatangkan madharat kepada mereka, karena apa saja yang Dia Azza wa Jalla perintahkan kepada mereka adalah intisari kebaikan agama dan dunia mereka, serta apa saja yang Dia k larang dari mereka adalah intisari kerusakan agama dan dunia mereka. Allâh Azza wa Jalla juga tidak memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang akan membahayakan fisik mereka. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menggugurkan kewajiban bersuci dengan air bagi orang sakit. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

…Allâh tidak ingin menyulitkan kamu… [al-Mâidah/5: 6]

Allâh Azza wa Jalla menghapus kewajiban puasa dari orang sakit dan musafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [al-Baqarah/2:185]

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Agama apakah yang paling dicintai Allâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْـحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Agama lurus yang toleran.[18]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّيْ أُرْسِلْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ

Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[19]

Tentang makna ini, diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang berjalan dan dikatakan bahwa orang itu bernazar untuk berangkat haji dengan berjalan kaki kemudian beliau bersabda :

إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ مَشْيِهِ ، فَلْيَرْكَبْ. (وَفِـيْ رِوَايَةٍ) إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ تَعْذِيْبِ هَذَا نَفْسَهُ

Sesungguhnya Allâh tidak membutuhkan jalan orang itu, karenanya hendaklah ia naik kendaraan. (Dalam riwayat lain), “Sesungguhnya Allâh tidak butuh kepada penyiksaan diri yang dilakukan orang ini.”[20]

KAIDAH USHUL (FIQH)
Hadits ini لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار (tidak boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh membalas kemudharatan) adalah kaidah ushûl. Contohnya: seseorang yang hartanya dirusak orang lain, maka ia tidak boleh membalas dengan merusak harta orang tersebut. Karena, tindakan ini tidak mendatangkan manfaat, justru memperluas kemudharatan. Ia hanya boleh menuntut agar orang yang merusak hartanya mengganti senilai kerusakan itu.

Kaidah-kaidah cabang yang muncul dari kaidah inti di atas ialah :
1. الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
Kemadharatan itu harus dicegah semampunya.
Maksudnya, menghilangkan kemadharatan yang telah terjadi adalah suatu kewajiban, juga diwajibkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.

Contoh, jika ada seseorang yang membuat saluran air di jalan kemudian saluran air tersebut mengganggu orang yang lewat, maka ia wajib membuang saluran air itu dan juga mengganti atau memperbaiki kerusakan akibat saluran airnya.

2. الضَّرَرُ يُزَالُ
Kemadharatan harus dihilangkan.
Artinya, kemadharatan harus dicegah sebelum terjadi. Karena, mencegah sesuatu lebih ringan dan lebih mudah daripada menghilangkan kemudharatan yang sudah terjadi. Bagaimananapun pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Namun demikian, usaha untuk mencegah madharat ini tentu dilakukan semampunya.

Contoh, khamr, narkoba, merokok mengganggu dan membahayakan diri dan orang lain, maka wajib dihilangkan. Karena itu, Pemerintah dan Majelis Ulama wajib melarang mengkonsumsi barang-barang yang haram.

3. الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.
Contohnya, seorang anggota serikat tidak boleh memaksa anggota yang lain untuk membagi harta yang tidak bisa dibagi karena akan merugikan serikat.

4. الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.

Contohnya, seorang hakim boleh mengambil bagian harta lebih banyak dari zakat yang seharusnya dikeluarkan oleh orang kaya, jika zakat yang telah dikumpulkan belum bisa memenuhi keperluan orang-orang fakir. Karena kemudharatan akibat pengambilan harta dari si kaya lebih ringan dibandingkan kemudharatan yang ditimbulkan apabila kebutuhan orang-orang fakir tidak terpenuhi.

5. وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ
Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.
Artinya, jika ada dua kemadharatan, maka kemadharatan yang sifatnya umum harus lebih diutamakan untuk dihindari atau dihilangkan, meski akan menimbulkan kemadharatan bagi sekelompok kecil.

Contoh: seorang hakim boleh memaksa seseorang yang menimbun barang agar menjual sesuai dengan harga pasar. Keputusan hakim tersebut pada dasarnya memang merugikan orang yang menimbun barang, namun jika hakim membiarkannya justru akan terjadi kemadharatan terhadap masyarakat luas.

6. دَرْءُ الْـمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan.
Maksudnya, jika dalam satu perkara terdapat sisi kerusakan dan sisi kemaslahatan, maka yang lebih diutamakan adalah menghindarkan kerusakan. Meskipun dengan begitu, mengabaikan sisi kemaslahatannya.

Contoh, larangan menjual narkoba. Meskipun dengan menjualnya akan mendapatkan keuntungan materi. Karena, narkoba akan merusak akal, hati, fisik dan moral masyarakat.

Larangan menjual khamr (minuman keras), narkoba, dan menjual rokok karena akan menimbulkan kerusakan terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Maka wajib dicegah meskipun ada keuntungan materi, pajak, dan lainnya.

7. إِذَا تَعَارَضَ الْـمَانِعُ وَالْـمُقْتَضِي يُقَدَّمُ الْـمَـانِعُ
Apabila penghalang dan pendukung bertentangan, maka penghalang didahulukan.

Contohnya, larangan untuk membelanjakan harta milik bersama. Meskipun ia memiliki hak untuk membelanjakannya, namun jika ia membelanjakan dapat memadharatkan anggota lainya yang juga memilikinya. Kepemilikannya merupakan pendukung, sedangkan kepemilikan orang lain adalah penghalang.

8. الضَّرَرُ لَا يَكُوْنُ قَدِيْمًـا
Kemadharatan yang ada tidak dapat dibiarkan karena lebih dulu ada
Hal ini dikarenakan semua jenis madharat harus dihilangkan, tidak peduli apakah kemudharatan tersebut lebih dulu ada atau tidak.

Contoh, seseorang yang memiliki jendela berhadapan dengan tanah kosong milik orang lain. Kemudian di atas tanah kosong itu didirikan bangunan sehingga jendela yang lebih dulu dibangun tepat menghadap rumah yang baru dibangun, sehingga mengganggu wanita yang menghuni rumah baru. Maka jendela tersebut harus dipindah, meskipun keberadaannya lebih dulu.

Kaidah ini merupakan kaidah yang membatasi kaidah lain, yaitu, “yang telah lama dibiarkan sebagaimana adanya.” Kaidah ini sifatnya umum, mencakup segala sesuatu yang sifatnya telah ada terlebih dahulu.

Contoh, seseorang yang mendapati kayu berada di atas dinding tetangganya, maka ia tidak boleh memindahkan kayu tersebut, karena kayu itu sudah di dinding itu sebelumnya dan diletakkan dengan benar.[21]

FAWAA-ID HADITS
1. Hadits ini merupakan kaidah ushûl yang besar. Hadits ini dapat dijadikan landasaran untuk menghukumi perkara-perkara baru yang tidak ada nash (dalil) yang tegas melarangnya.
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan oleh Allâh jawâmi’ul kalim (perkataan yang ringkas namun maknanya padat). Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim.
3. Menimbulkan bahaya/kerugian itu haram, baik dengan perkataan, perbuatan atau yang lainnya.
4. Menghilangkan madharat (bahaya/kerugian) itu hukumnya wajib.
5. Haram bagi seseorang untuk membahayakan dirinya, hartanya atau kehormatannya. Misalnya, dengan melakukan perbuatan yang membahayakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan.
6. Agama Islam adalah agama yang selamat yang menuntun manusia kepada kebaikan dunia dan akhirat, dan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang berbahaya dan tidak bermanfaat.
7. Semua perintah dalam Islam akan mendatangkan maslahat dan semua larangan dalam Islam wajib dijauhkan karena mengandung madharat (bahaya).
8. Madharat (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan (bahaya) semisalnya apalagi kemadharatan yang lebih besar.
9. Apabila mafsadah (kerusakan) dan maslahat (kebaikan) berbenturan maka menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih kebaikan.

Marâji’:
1. Al-Qur-ân dan terjemahnya.
2. Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
4. Mustadrak al-Hâkim.
5. Sunan al-Baihaqi.
6. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
7. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
8. Qawâ’id wa Fawâid minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
9. Al-Wâfi Syarh al-Arba’în.
10. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
11. Al-Fawâid al-Mustanbathah minal Arba’în an-Nawawiyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Mengapa Mesti Tabayyun?


Oleh
Ustadz Syaikh Mudrika


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].

MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.

Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].

Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.

Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].

Allah Ta`ala juga berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]

Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.

SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :

Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”

Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.

Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:

Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.

Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.

Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”

Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.

2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.

Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].

Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ

Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].

Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.

وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ

Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].

Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.

Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]

Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.

3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]

Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]

Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]

4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.

Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.

Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.

5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]

ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]

Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.

Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.

1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.

2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba`".

Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).

Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?

Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"

Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.

Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.

2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.

3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.

4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.

5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Adab Kepada Allah Azza Wa Jalla

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari



Sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Kemana saja seorang hamba mengarahkan pandangannya, dia akan melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dihadapannya. Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diperoleh hamba-Nya semenjak dia berupa setetes air mani yang bercampur dengan sel telur yang bergantung di dalam rahim ibunya. Kemudian selalu mengiringinya sampai ajal menjemputnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Bahkan jika manusia hendak menghitung nikmat-Nya, maka dia tidak akan mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nahl/16:18]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla . Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:

1. Iman Dan Tidak Kufur..
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya dan kepada perkara-perkara yang wajib diimani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. [an-Nisâ’/4:136]

Maka sepantasnya seorang hamba beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini kebenaran firman-Nya dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Sungguh tidak beradab ketika ada seorang hamba yang ingkar dan menentang-Nya. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang ingkar kepada-Nya dengan celaan yang keras, sebagaimana firman-Nya:

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? [al-Baqarah/2: 28]

Termasuk beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah meyakini keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan mengimani nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Demikian juga termasuk syarat iman adalah menjauhi syirik, karena syirik itu menghapuskan amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az-Zumar/39:65]

2. Syukur Dan Tidak Kufur Nikmat.
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya sangat banyak, oleh karena itu kewajiban seorang hamba untuk mensyukurinya adalah dengan mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , memuji-Nya dengan lidah, dan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk keridhaan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. [al-Baqarah/2:152]

Sungguh tidak beradab, perbuatan mengingkari kenikmatan dan keutaman dari Rabb pemberi kebaikan.

3. Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Tidak Melupakan-Nya.
Manusia hendaklah selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakan-Nya. Karena kewajiban hamba adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kecintaan yang paling tinggi. Seseorang yang mencintai sesuatu, dia akan selalu mengingat dan menyebutnya serta tidak melupakannya. Orang yang melupakan Allah Azza wa Jalla , Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan melupakannya; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkannya dalam kesusahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. [al-Hasyr/59:19]

4. Taat Dan Tidak Bermaksiat
Yaitu selalu berusaha mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (ulama dam umarâ’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ' / 4:59]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hambanya agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara mutlak, yaitu dengan tanpa meninjau apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan terhadap Al-Qur’an. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, baik apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam Al-Qur’an atau tidak ada di dalamnya. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitâb dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/46, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H /2002 H]

Oleh karena itulah seorang mukmin akan selalu tunduk terhadap keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb / 33: 36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum, mencakup semua perkara, yaitu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan (yang menyelisihi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya)”. [Tafsîr Ibnu Katsîr, Surat al-Ahzâb /33:36]

Sungguh tidak beradab, jika ada seorang hamba yang lemah berani menentang Penguasanya Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa dengan perbuatan maksiat dan kezhaliman.

5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât /49:1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Maksudnya : 'Janganlah kamu berkata sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah kamu memerintah sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah, janganlah kamu berfatwa sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfatwa, janganlah kamu memutuskan perkara sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya.” [I’lâmul Muwaqqi’în, 2/49), penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, Th: 1422 H /2002 H]

6. Takut Terhadap Siksa-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. [al-Mâidah/5: 44]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin rahimahullah berkata: "Takut itu ada beberapa macam: Pertama : Takut karena ibadah, merendahkan diri, pengagungan, dan ketundukan. Inilah yang dinamakan khauf sirr. Ini tidak pantas kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa menyekutukan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan takut ini-pen) dia adalah orang yang melakukan syirik akbar. Contoh : Orang yang takut kepada patung, orang yang telah mati, atau orang-orang yang mereka sangka sebagai wali dan mereka yakini bisa mendatangkan manfaat dan bahaya bagi mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penyembah kubur, dia takut kepada penghuni kubur melebihi takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ". [al-Qaulul Mufîd, 2/166; penerbit: Dârul ' Âshimah]

7. Malu Kepada-Nya
Seorang muslim akan selalu menyadari bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengawasan-Nya itu meliputi segala sesuatu, termasuk semua keadaannya. Oleh karena itu hatinya penuh dengan rasa hormat dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dia malu berbuat maksiat dan menyelisihi keridhaan-Nya. Karena bukanlah merupakan adab, ketika seorang hamba menampakkan perbuatan maksiatnya kepada tuannya atau membalas kebaikannya dengan keburukan-keburukan, padahal tuannya selalu mengawasinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan para sahabatnya agar benar-benar merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd, dia berkata: “Rasulullah n bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala !” Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, al-hamdulillah kami malu ( kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala )” Beliau bersabda: “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya [HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh Al-Albâni menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîh at-Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]

Disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi pada penjelasan hadits ini: “Maksudnya adalah menjaga kepala dari penggunaannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu engkau tidak sujud kepada selain-Nya, tidak shalat karena riya’, engkau tidak menundukkan kepala untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak mengangkatnya karena sombong. Dan menjaga apa yang dikumpulkan oleh kepala maksudnya adalah menjaga lidah, mata serta telinga dari perkara yang tidak halal.

Menjaga perut maksudnya menjaganya dari makanan yang haram, dan menjaga apa yang berhubungan dengannya maksudnya yaitu kemaluan, kedua kaki, kedua tangan, dan hati. Karena semua anggota badan ini berhubungan dengan rongga perut. Adapun cara menjaganya adalah dengan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat, tetapi digunakan dalam keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengingat kematian dan kebinasaan, maksudnya yaitu engkau mengingat keadaanmu dalam kubur yang sudah menjadi tulang dalam kehidupanmu. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Karena keduanya tidak akan berkumpul dalam bentuk yang sempurna, walaupun bagi orang-orang yang kuat, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâri. Adapun al-Munâwi mengatakan: “Karena keduanya seperti dua madu, jika salah satunya dijadikan ridha, yang lain dijadikan marah”

8. Bertaubat Kepada-Nya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa di antara sifat manusia adalah banyak berbuat dosa dan kesalahan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang-orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat. [HR. Tirmidzi, no. 2499; Ibnu Mâjah; Ahmad; ad-Dârimi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Oleh karena itu sepantasnya seorang manusia agar selalu memperbanyak taubat dan tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendorong orang-orang musyrik yang bergelimang dengan dosa-dosa untuk bertaubat kepada-Nya dengan firman-Nya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [az-Zumar/39:53]

9. Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada-Nya.
Termasuk adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berbaik sangka kepada-Nya. Karena merupakan adab dan prasangka yang buruk, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengawasinya dan tidak akan membalasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu, namun kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka kamu menjadi termasuk orang-orang yang merugi. [Fushshilat/41: 22-23]

Demikian juga termasuk buruk sangka, ketika seorang hamba melakukan ketaqwaan dan ketaatan, lalu dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan membalas amal baiknya.

Inilah sedikit tulisan mengenai sebagian adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita dalam kebaikan. Amin.

RUJUKAN:
1. Minhâjul Muslim, Syaikh Abû Bakar Jâbir al-Jazâiri
2. I’lâmul Muwaqqi’ în, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
3. Tafsîr Ibnu Katsîr, penerbit: Dârul Jail, Beirut, tanpa tahun.
4. al-Qaulul Mufîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin, penerbit: Dârul 'Ashimah.
5. Shahîh At-Targhîb, karya Syaikh al-Albâni, penerbit Maktabah Al-Ma’ârif.
6. Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi, dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sudahkah Anda Merasakan Manfaat Shalat?


Oleh
Ustadz Mochammad Taufiq Badri



Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sebuah ibadah mulia yang mempunyai peran penting bagi keislaman seseorang. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan shalat seperti pondasi dalam sebuah bangunan. Beliau n bersabda:

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ….

Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, menegakkan shalat…. [HR Bukhâri dan Muslim]

Oleh karena itu, ketika muadzin mengumandangkan adzan, kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah-rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengambil air wudhu, kemudian berbaris rapi di belakang imam shalat mereka. Mulailah kaum muslimin tenggelam dalam dialog dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan begitu khusyu’ menikmati shalat sampai imam mengucapkan salam. Dan setelah usai, masing-masing kembali pada aktifitasnya.

Timbul pertanyaan, apakah masing-masing kaum muslimin sama dalam menikmati shalat ini? Apakah juga mendapatkan hasil yang sama?

Perlu kita ketahui bahwa setiap amal shalih membawa pengaruh baik kepada pelaku-pelakunya. Pengaruh ini akan semakin besar sesuai dengan keikhlasan dan kebenaran amalan tersebut. Dan pernahkah kita bertanya, “apakah manfaat dari shalatku?” atau “sudahkah aku merasakan manfaat shalat?”

Imam Hasan al-Bashri pernah mengatakan: “Wahai, anak manusia. Shalat adalah yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat”.[1]

Dari nasihat beliau ini, kita bisa memahami bahwa shalat yang dilakukan secara benar akan membawa pengaruh positif kepada pelakunya. Dan pada kesempatan ini, marilah kita mempelajari manfaat-manfaat shalat. Kemudian kita tanyakan kepada diri sendiri, sudahkah aku merasakan manfaat shalat?

1. Shalat Adalah Simbol Ketenangan.
Shalat menunjukkan ketenangan jiwa dan kesucian hati para pelakunya. Ketika menegakkan shalat dengan sebenarnya, maka diraihlah puncak kebahagiaan hati dan sumber segala ketenangan jiwa. Dahulu, orang-orang shalih mendapatkan ketenangan dan pelepas segala permasalahan ketika mereka tenggelam dalam kekhusyu'kan shalat.

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dalam Sunan-nya:
Suatu hari ‘Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah pergi bersama bapaknya menjenguk saudara mereka dari kalangan Anshar. Kemudian datanglah waktu shalat. Dia pun memanggil pelayannya,”Wahai pelayan, ambillah air wudhu! Semoga dengan shalat aku bisa beristirahat,” kami pun mengingkari perkataannya. Dia berkata: “Aku mendengar Nabi Muhammad bersabda,’Berdirilah ya Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!’."[2]

Marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkah ketenangan seperti ini kita dapatkan dalam shalat-shalat kita? Sudah sangat banyak shalat yang kita tunaikan, tetapi pernahkah kita berfikir manfaat shalat ini? Atau rutinitas shalat yang kita tegakkan sehari-hari?

Suatu ketika seorang tabi’in yang bernama Sa'id bin Musayib mengeluhkan sakit di matanya. Para sahabatnya berkata kepadanya: "Seandainya engkau mau berjalan-jalan melihat hijaunya Wadi 'Aqiq, pastilah akan meringankan sakitmu," tetapi ia menjawab: "Lalu apa gunanya aku shalat 'Isya` dan Subuh?"[3]

Demikianlah, generasi terdahulu dari umat ini memposisikan shalat dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, shalat adalah obat bagi segala problematika. Dengan hati mereka menunaikan shalat, sehingga jiwa menuai ketenangan dan mendapatkan kebahagiaan.

2. Shalat Adalah Cahaya.
Ambillah cahaya dari shalat-shalat kita. Ingatlah, cahaya shalat bukanlah cahaya biasa. Dia cahaya yang diberikan oleh Penguasa alam semesta ini. Diberikan untuk menunjuki manusia ke jalan yang lurus, yaitu jalan ketaatan kepada Allah Rabul 'alamin.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Mâlik al-'Asy'ari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: والصلاة نور (dan shalat itu adalah cahaya). Oleh karena itu, marilah menengok diri kita, sudahkah cahaya ini menerangi kehidupan kita? Dan sungguh sangat mudah jika kita ingin mengetahui apakah shalat telah mendatangkan cahaya bagi kita? Yakni dapat lihat, apakah shalat membawa ketaatan kepada Allah dan menjauhkan kita dari bermaksiat kepada-Nya? Jika sudah, berarti shalat itu telah menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Inilah cahaya awal yang dirasakan manusia di dunia. Dan kelak di akhirat, ia akan menjadi cahaya yang sangat dibutuhkan, yang menyelamatkannya dari berbagai kegelapan sampai mengatarkannya kepada surga Allah Subhanahu wa Ta’ala .

3. Shalat Sebagai Obat Dari Kelalaian.
Lalai adalah penyakit berbahaya yang menimpa banyak manusia. Lalai mengantarkan manusia kepada berbagai kesesatan, bahkan menjadikan manusia tenggelam di dalamnya. Mereka akan menanggung akibat dari kelalaian yang mereka ambil di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga lalai menjadi penutup yang menutupi hati manusia. Hati yang tertutup kelalaian, menyebabkan kebaikan akan sulit sampai padanya. Tetapi menegakkan shalat sesuai dengan syarat dan rukunnya, dengan menjaga sunnah dan khusyu di dalamnya, insya Allah akan menjadi obat paling mujarab dari kelalaian ini, membersihkan hati dari kotoran-kotorannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [al-A'ra/7:205].

Berkata Imam Mujahid: "Waktu pagi adalah shalat Subuh dan waktu petang adalah shalat ‘Ashar".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَافَظَ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ رواه ابن خزيمة وابن حبان

Barang siapa yang menjaga shalat-shalat wajib, maka ia tidak akan ditulis sebagai orang-orang yang lalai.[4]

4. Shalat Sebagai Solusi Problematika Hidup.
Sudah menjadi sifat dasar manusia ketika dia tertimpa musibah dan cobaan, dia akan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Maka tidak ada cara yang lebih manjur dan lebih hebat dari shalat. Shalat adalah sebaik-baik solusi dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan kesulitan hidup. Karena tidak ada cara yang lebih baik dalam mendekatkan diri seseorang dengan Rabbnya kecuali dengan shalat. Rasulullah dalam sabdanya mengucapkan:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ رواه مسلم

Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabbnya yaitu ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa. [HR Muslim]. [5]

Inilah di antara manfaat shalat yang sangat agung, mendekatkan hamba dengan Dzat yang paling ia butuhkan dalam menyelesaikan problem hidupnya. Maka, kita jangan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jangan sampai kita lalai dalam detik-detik shalat kita. Jangan pula terburu-buru dalam shalat kita, seakan tidak ada manfaat padanya.

Shalat bisa menjadi sarana menakjubkan untuk mendatangkan pertolongan dan dukungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kisah Nabi Yunus Alaihissallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. [ash-Shafât/37:143-144].

Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu menafsirkan "banyak mengingat Allah", yaitu, beliau termasuk orang-orang yang menegakkan shalat,[6]

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu pernah menceritakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. رواه أبو داود

Dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertimpa suatu urusan, maka beliau melaksanakan shalat. [HR Abu Dawud].[7]

5. Shalat Mencegah Dari Perbuatan Keji Dan Mungkar.
Sebagaimana telah kita fahami, bahwasanya shalat akan membawa cahaya yang menunjukkan pelakunya kepada ketaatan. Bersamaan dengan itu, maka shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana hal ini difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-'Ankabût/29:45].

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Dalam shalat terdapat larangan dan peringatan dari bermaksiat kepada Allah".[8]

6. Shalat Menghapuskan Dosa.
Shalat selain mendatangkan pahala bagi pelakunya, juga menjadi penghapus dosa, membersihkan manusia dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

"Apa pendapat kalian, jika di depan pintu salah seorang dari kalian ada sungai (mengalir); dia mandi darinya lima kali dalam sehari, apakah tersisa kotoran darinya?” Para sahabat menjawab: “Tidak akan tertinggal kotoran sedikitpun”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demikianlah shalat lima waktu, Allah menghapuskan dengannya kesalahan-kesalahan”. [HR Bukhâri dan Muslim]

Inilah sebagian manfaat shalat yang tak terhingga banyaknya, dari yang kita ketahui maupun yang tersimpan di sisi Allah. Oleh karena itu, marilah menghitung diri kita masing-masing, sudahkah di antara manfaat-manfaat tersebut yang kita rasakan? Ataukah kita masih menjadikan shalat sebagai salah satu rutinitas hidup kita? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dicela Allah dalam firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [al-Mâ'ûn/107:4-5].

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golonagn hamba-hambanya yang menegakkan shalat, dan memetik buahnya dari shalat yang kita kerjakan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Wajib Berlaku Baik Dalam Segala Hal


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِيْ يَعْلَى شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik. Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (HR Muslim).

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: Muslim (no. 1955), Ahmad (IV/123, 124, 125), Abu Dâwud (no. 2815), at-Tirmidzi (no. 1409), an-Nasâ`i (VII/227), Ibnu Mâjah (no. 3170), ath-Thayalisi (no. 1215), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2783), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 8604), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 28386, 28388), Ibnul-Jarud dalam al-Muntaqa (no. 839, 899), ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ânil-Âtsâr (III/184-185), al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (VIII/60), ad-Darimi (II/82), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (VII/no. 7114-7123).

Semuanya dari jalan Abu Qilabah, dari Abul Asy’ats ash-Shan’ani, dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu.

Dalam riwayat lain dari Sahabat Anas bin Mâlik rahimahullah , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا ، وَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا ، فَإِنَّ اللهَ مُـحْسِنٌ يُـحِبُّ الْـمُحْسِنِيْنَ.

Apabila kalian menghukum (memutuskan suatu perkara), maka putuskanlah dengan adil dan apabila kalian membunuh, maka hendaklah membunuh dengan cara yang baik, karena sesungguhnya Allah itu Muhsin (selalu berbuat baik) dan Dia mencintai orang-orang yang berbuat baik.[1]

KEDUDUKAN HADITS
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini termasuk dari hadits-hadits yang mencakup kaidah-kaidah Islam.”[2] Karena, hadits ini menunjukkan keumuman berbuat baik dalam segala hal. Beliau  menyuruh berbuat baik dalam membunuh dan berbuat baik dalam menyembelih hanyalah sebagai contoh atau perlunya menjelaskan hal itu. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi rahimahullah telah benar dan tepat dalam memilih hadits ini dan memasukkannya ke dalam kitab al-Arba’în yang beliau susun. Hal itu karena hadits ini menyeru kepada kaidah yang umum, yang mencakup setiap perkataan dan perbuatan, dan ini merupakan maksud beliau dalam mengumpulkan empat puluh hadits.[3]

SYARAH HADITS (PENJELASAN HADITS)
1. Hukum Berbuat Baik.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.

Tekstual hadits menghendaki Allah mewajibkan berbuat baik kepada seluruh makhluk. Jadi, diwajibkan berbuat baik dalam segala hal dan kepada seluruh makhluk, baik manusia maupun binatang.

Kata al-Kitâbah berarti wajib menurut sebagian besar ahli fiqih dan ulama ushul fiqih. Kata "kitâbah" dalam Al-Qur`ân digunakan pada sesuatu yang bersifat wajib, seperti firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

… Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ`/4:103].

Dan firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

… Diwajibkan atas kamu berpuasa… [al-Baqarah/2:183].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih):

إِنِّـيْ خَشِيْتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ.

Aku khawatir (shalat itu) diwajibkan atas kalian.[4]

Jadi, hadits di atas menegaskan tentang kewajiban berbuat baik, karena Allah Ta’ala sendiri memerintahkannya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan… . [an-Nahl/16: 90]

Dan firman-Nya Ta’ala:

ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… Dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2:195].

2. Pengertian Ihsan
Ihsan adalah bentuk mashdar dari kata أَحْسَنَ – يُـحْسِنُ – إِحْسَانًا (ahsana, yuhsinu, ihsânan), maknanya ialah memberikan manfaat kepada orang lain.[5] Perintah berbuat baik ini terkadang bermakna wajib, seperti berbuat baik kepada kedua orang tua dan sanak kerabat, sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan bakti dan silaturahmi. Atau berbuat baik kepada tamu sesuai dengan kadar yang bisa menghasilkan jamuan untuknya. Dan terkadang perintah berbuat baik ini bermakna sunnah (dianjurkan), seperti shadaqah sunnah dan yang sepertinya.

Hadits ini menunjukkan kewajiban berbuat baik kepada segala sesuatu, namun berbuat baik kepada sesuatu itu sesuai dengan kadarnya. Berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang terlihat dan tersembunyi ialah melaksanakannya dengan sempurna. Kadar berbuat baik dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang terlihat dan tersembunyi seperti itu wajib, sedang berbuat baik dengan cara menyempurnakan sunnah-sunnahnya adalah tidak wajib.

Berbuat baik dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan ialah dengan cara berhenti darinya dan meninggalkannya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ

Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi… [al-An’âm/6:120]

Kadar berbuat baik di dalamnya seperti itu adalah wajib.

Sedang berbuat baik dalam sabar terhadap takdir ialah bersabar terhadapnya sebagaimana mestinya tanpa menggerutu dan berkeluh-kesah.

Berbuat baik yang diwajibkan dalam berinteraksi dengan manusia dan makhluk ialah dengan menunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah. Berbuat baik yang diwajibkan dalam memimpin manusia ialah melaksanakan semua kewajiban kepemimpinan, sedang kadar selebihnya yang tidak termasuk diwajibkan maka itu disebut ihsan.[6]

3. Berbuat Baik Dalam Membunuh
Berbuat baik dalam membunuh manusia dan hewan yang boleh dibunuh maksudnya ialah membunuhnya dengan secepat mungkin dan dengan cara yang paling mudah dan tidak boleh bertindak berlebihan seperti dengan menyiksanya karena itu perbuatan tercela dan tidak diperlukan.

Itulah yang diperintahkan Nabi dalam hadits ini. Bisa jadi, beliau menyebutkan pembunuhan tersebut sebagai contoh, atau beliau perlu menjelaskannya. Oleh karena itu, berliau bersabda:

فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ.

Maka jika kalian membunuh, hendaklah membunuh dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik.

Maksudnya, hendaklah kalian berbuat baik dalam tata cara menyembelih dan membunuh. Ini menunjukkan wajibnya mempercepat pembunuhan jiwa yang boleh dibunuh dengan cara yang paling mudah.

Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan adalah Ijma’ (kesepakatan) tentang wajibnya berbuat baik dalam membunuh.

Cara membunuh orang yang paling mudah ialah memenggal lehernya. Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ

Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka… [Muhammad/47 : 4].

Allah Ta’ala berfirman:

سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ

…Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka, dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka. [al-Anfâl/8:12].[7]

4. Larangan Mencincang-Cincang (Mutilasi) Dalam Pembunuhan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengutus pasukan untuk jihad di jalan Allah beliau bersabda:

اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ. قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ. اغْزُوْا وَلَا تَغُلُّوْا وَلَا تَغْدِرُوْا وَلَا تـَمْثُلُوْا وَلَا تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا ...

Berperanglah dengan menyebut nama Allah di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian dan jangan berlebihan, jangan berkhianat, jangan mencincang-cincang (musuh), dan jangan membunuh anak-anak…[8]

Al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan hadits ‘Abdullah bin Yazid Radhiyallahu anhu, ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النُّهْبَى وَالْـمُثْلَةِ.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari perampasan dan mencincang-cincang (musuh).[9]

5. Bentuk Pembunuhan Yang Diperbolehkan
Ketahuilah bahwa pembunuhan yang diperbolehkan itu terjadi karena dua sebab.

Pertama : Qishash. Jadi, penyincangan tidak boleh dilakukan terhadap orang yang diqishash, namun orang itu dibunuh sebagaimana ia membunuh korbannya. Jika orang yang diqishash itu mencincang-cincang korban apakah ia juga dicincang-cincang ataukah ia dibunuh dengan pedang? Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

a). Orang yang diqishash tersebut ditindak seperti ia membunuh korban. Ini pendapat Imam Mâlik, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam pendapat yang terkenal darinya.

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyalahu anhu, ia berkata: “Seorang gadis keluar dengan mengenakan perhiasan dari perak kemudian dilempar orang Yahudi dengan batu. Gadis itu dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hendak sekarat. Beliau berkata kepada gadis itu, ‘Apakah seseorang telah membunuhmu?’ Gadis itu mengangkat kepalanya. Rasulullah bertanya kepada gadis itu untuk ketiga kalinya, ‘Apakah seseorang telah membunuhmu?’ Gadis itu menganggukkan kepalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pembunuh gadis itu kemudian memecahkan kepalanya dengan dua batu.”

Dalam riwayat lain: “Kemudian pembunuh itu ditangkap dan ia mengakui perbuatannya.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis kaum Anshar yang mengenakan perhiasan perak, kemudian melemparkannya di sumur dan memecahkan kepalanya dengan batu. Orang Yahudi itu ditangkap, dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau memerintahkan agar orang Yahudi itu dirajam hingga meninggal dunia. Orang Yahudi itu pun dirajam hingga meninggal dunia”.[10]

b). Tidak ada qishash kecuali dengan pedang. Ini pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Ada riwayat ketiga dari Imam Ahmad bahwa pembunuh ditindak seperti ia membunuh korban, kecuali jika pembunuh itu membunuh korban dengan membakar atau mencincang-cincangnya. Jadi, ia dibunuh dengan pedang karena ada larangan mencincang-cincang dan membakar orang. Riwayat ini dinukil dari Imam Ahmad oleh al-Atsram.

Kedua : Pembunuhan karena kekafiran. Baik kekafiran hakiki maupun kekafiran dalam bentuk murtad (keluar) dari Islam. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penyincangan di dalamnya adalah makruh dan orang kafir tersebut cukup dibunuh dengan pedang.

Telah diriwayatkan dari sejumlah ulama Salaf yang membolehkan penyincangan orang kafir, misalnya dengan membakarnya dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan Khalid bin al-Walid Radhiyallahu anhu dan selainnya.

Orang-orang yang membolehkan mencincang orang kafir berhujjah dengan hadits tentang orang-orang Urainah. Al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahîh, keduanya[11] dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu : “Bahwa orang-orang Urainah datang kepada Rasulullah di Madinah kemudian mereka menderita sakit perut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, ‘Jika kalian mau, silakan pergi ke unta zakat kemudian minum susu dan air kencingnya.’ Mereka melaksanakan saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka pun sehat kembali. Tetapi kemudian mereka menoleh kepada para penggembala unta tersebut, membunuh mereka, murtad dari Islam, dan mengambil unta-unta milik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal tersebut didengar Nabi kemudian beliau mengutus seorang sahabat untuk menyelusuri jejak-jejak mereka. Sahabat tersebut berhasil mendatangkan mereka, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan dan kaki mereka, mencungkil mata mereka, dan membiarkan mereka di bawah terik matahari hingga mereka meninggal dunia”.

Dalam riwayat lain disebutkan: “Mata mereka dicelaki dengan paku yang telah dipanaskan dengan api dan diletakkan di bawah terik matahari. Mereka minta air namun tidak diberi air”.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi orang-orang seperti mereka. Ada ulama yang mengatakan: “Barang siapa berbuat seperti mereka kemudian murtad, memerangi kaum Muslimin, dan merampas harta, ia diperlakukan seperti mereka.” Ini diriwayatkan dari sejumlah ulama, seperti Abu Qilabah, dan ini satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencungkil mata orang-orang Urainah karena mereka mencungkil mata penggembala. Itu yang diriwayatkan Muslim dari hadits Anas.

6. Larangan Membunuh Dengan Cara Membakar
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mengizinkan pembakaran orang kafir dengan api, kemudian beliau melarangnya, seperti yang disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim kami dalam salah satu detasemen (pasukan) kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian menemukan si Fulan dan Fulan, keduanya orang Quraisy, bakarlah keduanya’. Ketika kami hendak berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si Fulan dan si Fulan, dan sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Allah. Oleh karena itu, jika kalian menemukan kedua orang tersebut, bunuhlah keduanya’.”[12]

Diriwayatkan pula dalam Shahîh al-Bukhâri dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah ‘Azza wa Jalla.[13]

Sebagian besar ulama memandang makruh membakar manusia bahkan terhadap singa sekalipun.

Diriwayatkan dengan shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang penahanan hewan ternak, maksudnya hewan ternak ditahan kemudian dipukuli dengan panah atau lain-lain hingga mati. Anas bin Mâlik  berkata bahwa:

نَهَى النَّبِيُّ  أَنْ تُصْبَرَ الْبَهَائِمُ.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penahanan hewan ternak, kemudian disiksa.[14]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa ia berjalan melewati salah satu kaum yang memancangkan seekor ayam kemudian melemparinya. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Siapakah yang melakukan ini? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat siapa saja yang melakukan seperti ini”.[15]

Ibnu ‘Abbas c berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَتَّخِذُوْا شَيْئًا فِيْهِ الرُّوْحُ غَرَضًا.

Janganlah kalian jadikan sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh (makhluk bernyawa) sebagai sasaran.[16]

Yang dimaksud dengan sasaran ialah sesuatu yang dilempari dengan panah. Banyak sekali hadits yang semakna dengan ini.

7. Berlaku Baik Saat Menyembelih Hewan
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik. Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”.

Dan termasuk berbuat baik dalam proses menyembelih ialah memperhatikan syarat-syarat wajib dan anjuran yang terdapat dalam syari’at, di antaranya ialah:

1. Alat yang dipakai harus tajam dan dapat mengalirkan darah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ فَكُلْ ، لَيْسَ الظُّفُرَ وَالسِّنَّ ...

Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi….[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ...

Hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya….

2. Memotong tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher sekaligus dengan cepat.
Boleh menyembelih hewan dengan cara melukai bagian mana saja hingga mati apabila hewan tersebut sulit untuk disembelih secara syar’i, misalnya hewan yang terjatuh ke dalam sumur atau liar dan sulit untuk ditangkap. Hal ini berdasarkan sabda beliau mengenai unta yang kabur dan sulit untuk menangkapnya lalu seorang sahabat memanahnya: “Sesungguhnya di antara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara unta itu ada yang sempat membuat kalian kerepotan, maka lakukanlah hal itu terhadapnya”.[18] Maksudnya panahlah di lehernya atau bunuhlah, kemudian makanlah.

3. Membaca basmalah (bismillâh).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah… [al-An’âm/6:121].

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ فَكُلْ ، لَيْسَ الظُّفُرَ وَالسِّنَّ ...

Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi…[19]

Apabila tidak diketahui, apakah hewan tersebut disembelih dengan membaca basmalah atau tidak, atau lupa ketika menyembelihnya, maka membaca basmalah dilakukan ketika hendak makan hewan sembelihan tersebut. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa suatu kaum yang baru saja masuk Islam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُوْنَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِيْ أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ ، أَمْ لَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوْهُ ».

“Wahai Rasululllah, sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging yang kami tidak mengetahui apakah disebutkan nama Allah atau tidak?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Sebutlah oleh kalian nama Allah padanya (baca: bismillâh), kemudian makanlah.” [20]

4. Sifat orang yang menyembelih.
Yaitu orang Islam, berakal, baligh, atau anak kecil yang telah tamyiz, atau Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani), dengan syarat sembelihan mereka bukan untuk dipersembahkan untuk gereja atau hari raya mereka. Tentang makanan (sembelihan) Ahlul Kitab dihalalkan dalam surat al-Mâ`idah, ayat 5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan paha kambing yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi di Khaibar.[21]

5. Tidak mengasah pisau di hadapan hewan sembelihan.
Diriwayatkan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang yang meletakkan kakinya di atas perut seekor kambing sambil mengasah pisau, sedang kambing itu melihatnya dengan mata kepalanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa engkau tidak melakukannya sebelum ini? Atau apakah engkau hendak membuatnya mati dengan dua kematian?” [22]

6. Tidak memotong sesuatu dari tubuh hewan sembelihan hingga menyembelih benar-benar selesai dan tidak berlebihan dalam memotongnya.[23]
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berbuat baik dalam pembunuhan dan penyembelihan. Beliau memerintahkan penajaman pisau dan menyenangkan hewan sembelihan. Ini menunjukkan bahwa penyembelihan dengan senjata tajam itu menyenangkan hewan sembelihan karena pisau tajam mempercepat kematiannya.

FAWÂ`ID (MANFAAT) HADITS
1. Kasih sayang dan rahmat Allah Ta’ala kepada seluruh makhluk.
2. Perintah berlaku baik dalam segala hal. Termasuk berbuat baik ialah menunjukkan jalan kepada seseorang, memberikan makanan, amar ma’ruf nahi mungkar, dan lain sebagainya.
3. Wajib berlaku baik dalam segala hal karena Allah mewajibkan hal itu, maksudnya mensyari’atkannya secara tegas.
4. Sesungguhnya perintah dan hukum itu milik Allah semata berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu”.
5. Ketetapan Allah itu ada dua: ketetapan takdir dan ketetapan syari’at. Ketetapan takdir pasti terjadi, sedang ketetapan syari’at (kewajiban) terkadang terjadi pada seseorang terkadang juga tidak.
6. Kebaikan itu mencakup segala hal dan seseorang bisa melakukan kebaikan dalam segala hal berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik terhadap segala sesuatu.”
7. Al-Muhsin termasuk dari Asma`ul-Husna (nama-nama Allah yang indah).[24]
8. Di antara sifat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ihsân, yaitu menyampaikan kebaikan dan nikmat serta mengatur segala sesuatu dengan rapi. [25]
9. Baiknya pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara memberikan permisalan karena pengajaran dengan cara memberi permisalan lebih dapat mendekatkan kepada maksud yang diinginkan.
10. Wajibnya berbuat baik dalam cara membunuh.
11. Dilarang membunuh dengan cara membakar dan mencincang seseorang setelah dia meninggal tanpa alasan yang dibenarkan.
12. Wajibnya berlaku baik dalam menyembelih, yaitu menyembelih dengan cara yang disyari’atkan.
13. Wajibnya menajamkan pisau untuk menyembelih, yaitu dengan mengasahnya, karena hal itu lebih memudahkan dalam penyembelihan.
14. Tidak boleh mengasah pisau di depan hewan yang akan disembelih.
15. Wajibnya menyenangkan hewan sembelihan, yaitu dengan menyembelih secepat mungkin.
16. Wajib membaca bismillâh ketika menyembelih.
17. Tidak boleh makan sembelihan yang tidak dibaca bismillâh ketika menyembelihnya.
18. Jika seseorang tidak tahu apakah sembelihan itu dibacakan bismillâh atau tidak, hendaklah ia membaca bismillâh ketika memakannya.
Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



sumber:  http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment