Saturday, November 24, 2012

Setiap Manusia Wajib Bersedekah


Setiap Manusia Wajib Bersedekah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ سُلَامَـى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِـيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَـمْشِيْهَا إِلَـى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ ، وَتُـمِيْطُ اْلأَذَىٰ عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ. (رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya: engkau berlaku adil kepada dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang engkau jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah, dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.’” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhâri no. 2707, 2891, 2989
2. Muslim no. 1009 (56)
3. Ahmad 2/312, 316, 374
4. Ibnu Hibbân no. 3372-at-Ta’lîqâtul Hisân
5. Al-Baihaqi 4/187-188
6. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 1645

SYARAH HADITS:
1. KEAGUNGAN CIPTAAN ALLAH AZZA WA JALLA
Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [at-Tîn/95:4]

Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِـى آدَمَ عَلَـىٰ سِتِّيْنَ وَثَلاَثِ مِئَةِ مَفْصِلٍ : فَمَنْ كَبَّرَ اللّٰـهَ ، وَحَمِدَ اللّٰـهَ ، وَهَلَّلَ اللّٰـهَ ، وَسَبَّحَ اللّٰـهَ ، وَاسْتَغْفَرَ اللّٰـهَ ، وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ، أَوْ شَوْكَةً ، أَوْ عَظْمًـا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ، وَأَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ ، أَوْ نَـهَىٰ عَنْ مُنْكَرٍ ، عَدَدَ تِلْكَ السِّتِّيْنَ وَالثَّلَاثِ مِئَةِ السُّلَامَى ، فَإِنَّهُ يُمْسِيْ يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زَحْزَحَ نَفْسَهُ عَنِ النَّارِ.

Sesungguhnya anak keturunan Adam diciptakan di atas 360 persendian. Barang-siapa bertakbir kepada Allah, memuji Allah, bertahlil kepada Allah, bertasbih kepada Allah, menyingkirkan batu dari jalanan kaum Muslimin, atau menyingkirkan duri, atau menyingkirkan tulang, atau menyuruh kepada kebaikan, atau melarang dari kemungkaran setara dengan jumlah 360 persendian, maka pada sore harinya ia menjauhkan dirinya dari neraka. [1]

Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Pada asalnya sulâma (persendian) ialah tulang di ujung kuku unta. Sepertinya makna hadits tersebut ialah setiap tulang anak keturunan Adam wajib bersedekah.”[2]

Abu ‘Ubaid rahimahullah mengisyaratkan bahwa sulâma adalah salah satu tulang kecil di unta kemudian ia mengungkapkannya untuk seluruh persendian manusia dan lain-lain. Sehingga makna hadits ini menurutnya, bahwa setiap persendian anak keturunan Adam wajib bersedekah.

Di dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa jumlah persendian manusia ialah 360 buah.[3]

2. WAJIB BERSYUKUR ATAS NIKMAT ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap persendian manusia wajib bersedekah.”

Makna hadits ini ialah bahwa penyusunan tulang-tulang dan kesempurnaannya termasuk nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla yang paling besar pada hamba-Nya. Oleh karena itu setiap tulang harus bersedekah; dan pemiliknya bersedekah mewakili setiap tulang yang ada pada dirinya, agar menjadi syukur atas nikmat tersebut.[4]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ

Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabb-mu Yang Maha Mulia? Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” [al-Infithâr/82:6-8]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

Katakanlah, “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” [al-Mulk/67:23]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْن ِوَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata dan lidah serta sepasang bibir? [al-Balad/90:8-9]

Mujahid Radhiyallahu anhu berkata, “Nikmat-nikmat dari Allah Azza wa Jalla terlihat dengan jelas dan Allah Azza wa Jalla menegaskannya kepadamu agar engkau bersyukur.” [5]

Pada suatu malam Fudhail bin ‘Iyâdh membaca ayat tersebut (al-Balad/90:8-9) kemudian menangis. Ia ditanya: “Mengapa menangis?” Ia menjawab, “Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan dua mata untukmu kemudian engkau melihat dengan keduanya? Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan lidah untukmu sehingga engkau bisa berbicara dengannya?...” al-Fudhail mengulang-ulang contoh tersebut.[6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَـا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dua nikmat di mana kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya: kesehatan dan waktu luang.[7]

Ini semua termasuk nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla dan manusia akan ditanya tentang syukur terhadapnya pada hari Kiamat dan dimintai pertanggung jawaban,[8] seperti firman Allah Azza wa Jalla ”

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu). [at-Takâtsur/102:8]

Maksudnya, Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat-nikmat yang tidak bisa mereka hitung, seperti firman Allah Azza wa Jalla :

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrâhîm/14:34]

Selain itu, Allah Azza wa Jalla menuntut mereka bersyukur dan meridhai syukur mereka. Ada yang berpendapat bahwa jika Allah Azza wa Jalla memberi salah satu nikmat kepada seorang hamba kemudian ia memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat tersebut, maka pujiannya kepada Allah Azza wa Jalla lebih baik daripada nikmat-Nya.

Para Ulama membenarkan bahwa pujian lebih baik daripada nikmat, karena yang dimaksud dengan nikmat-nikmat tersebut ialah nikmat-nikmat dunia, seperti kesembuhan, rezeki, kesehatan, dijaga dari hal-hal yang tidak mengenakkan dan lain sebagainya, sedangkan perkataan alhamdulillâh merupakan salah satu nikmat agama. Kedua nikmat tersebut: nikmat dunia dan nikmat agama adalah nikmat dari Allah Azza wa Jalla , namun nikmat agama kepada hamba-Nya dalam bentuk memberikan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan memuji atas nikmat-nikmat-Nya itu lebih baik daripada nikmat-nikmat dunia yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya. Karena jika nikmat-nikmat dunia tidak disikapi dengan syukur, maka nikmat dunia tersebut menjadi petaka, seperti dikatakan Ibnu Hâzim rahimahullah :

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللّٰـهِ ؛ فَهِيَ بَلِيَّةٌ

Setiap nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada Allah adalah petaka.[9]

Jadi, jika Allah Azza wa Jalla membimbing hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat dunia yang diberikan-Nya dengan pujian dan jenis-jenis syukur lainnya, maka nikmat itu lebih baik daripada seluruh nikmat dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla , karena Allah Azza wa Jalla mencintai puji-pujian, meridhai hamba-hamba-Nya yang jika makan lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat makanan tersebut. Bagi orang-orang dermawan, sanjungan terhadap nikmat-nikmat, pujian atasnya, dan mensyukurinya, itu lebih mereka cintai daripada harta yang mereka berikan; karena mereka memberikan harta justru untuk mendapatkan sanjungan. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Dermawan. Dia memberikan nikmat-nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan meminta mereka menyanjung nikmat-nikmat tersebut, menyebut-nyebutnya, memujinya, dan Dia meridhai itu semua sebagai syukur mereka atasnya. Meskipun itu semua berasal dari Allah Azza wa Jalla kepada mereka, Dia tidak membutuhkan syukur mereka; namun Dia menyukai yang dikerjakan hamba-hamba-Nya karena kebaikan, keberuntungan, dan kesempurnaan seorang hamba itu berada pada syukur.

Di antara karunia Allah Azza wa Jalla ialah bahwa Dia mengatas-namakan pujian dan syukur kepada hamba-hamba-Nya, kendati itu nikmat-Nya yang paling agung pada mereka. Ini seperti Allah Azza wa Jalla memberi harta kepada mereka; kemudian Dia meminjam sebagiannya dan memuji mereka karena tindakan mereka, padahal semua yang ada adalah milik Allah Azza wa Jalla dan merupakan karunia-Nya. Namun, karunia-Nya menghendaki hal yang demikian.[10]

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa syukur dengan sedekah itu wajib bagi seorang Muslim di setiap hari, namun syukur terbagi ke dalam dua tingkatan:

Pertama: Syukur Wajib.
Yaitu syukur dalam bentuk mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Syukur seperti ini wajib dan sudah cukup sebagai tanda syukur atas seluruh nikmat.

Salah seorang generasi Salaf berkata, “Syukur ialah meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” Salah seorang dari generasi Salaf lainnya mengatakan, “Syukur ialah tidak menggunakan salah satu nikmat untuk kemaksiatan.” [11]

Abu Hâzim az-Zâhid rahimahullah menyebutkan bahwa syukur ialah dengan seluruh anggota tubuh, menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan; dan menggunakan semua organ tubuh untuk melakukan ketaatan-ketaatan. Setelah itu ia berkata, “Adapun orang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan seluruh organ tubuhnya, maka perumpamaannya seperti orang yang mempunyai pakaian; ia memegang ujungnya, namun tidak mengenakannya. Pakaian seperti itu tidak bermanfaat baginya dari panas, dingin, dan hujan.”[12]

Kedua: Syukur Sunnah.
Maksudnya seorang hamba mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.

Ini adalah tingkatan para as-sâbiqûn (orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan) yang didekatkan kepada Allah Azza wa Jalla . Tingkatan inilah yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan sebelumnya.[13]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat dan qiyâmul lail (shalat malam) hingga kedua kakinya bengkak. Ketika beliau ditanya, “Mengapa engkau berbuat seperti ini, padahal Allah Azza wa Jalla telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا ؟

Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang banyak bersyukur?[14]

Shalat Tahajjud adalah sunnah, namun beliau n tetap melaksanakannya sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla . Ada sebagian amal yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib, baik fardhu ‘ain, seperti berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, atau fardhu kifâyah, seperti amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang kelaparan, dan adil terhadap manusia dalam memutuskan perkara mereka atau mendamaikan mereka.[15]

3. MENDAMAIKAN DUA PIHAK YANG SEDANG BERTIKAI (BERSELISIH)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau berlaku adil di antara dua orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah.”

Maksudnya, berlaku adil dalam memberikan keputusan atau berlaku adil dalam mendamaikan dua orang yang sedang bermusuhan. Ini termasuk sedekah yang memiliki keutamaan yang besar karena kebaikannya dirasakan orang lain, dan dengannya luka-luka dalam masyarakat menjadi terkumpul sehingga menjadi bagaikan satu tubuh yang sehat dan selamat.

Tentang anjuran untuk mengerjakan amalan seperti ini terdapat pada banyak nash (dalil) yang harus disebutkan di sini; karena sebagian kaum Muslimin meremehkan masalah mendamaikan antara kaum Muslimin ketika terjadi permusuhan.[16] Padahal ishlâh (mendamaikan) orang berselisih termasuk seutama-utamanya sedekah. Mendamaikan dua orang yang sedang berselisih pahalanya sangat besar jika dilakukan dengan ikhlas. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” [an-Nisâ'/4:114]

Maksudnya, kecuali pembicaraan rahasia orang yang berkata demikian.[17]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ ، وَالصَّلاَةِ ، وَالصَّدَقَةِ ؟ قَالُوْا : بَلَـى ، قَالَ : صَلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ ، فَإِِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْـحَالِقَةُ ، لاَ أَقُوْلُ تَـحْلِقُ الشَّعَرَ ، وَلٰكِنْ تَـحْلِقُ الدِّيْنَ

Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah? Para Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Mendamaikan hubungan (dua orang yang bertikai), karena kerusakan hubungan adalah pemotong. Aku tidak mengatakan memotong rambut, tetapi memotong agama.[18]

Maka mengadakan perdamaian di antara manusia adalah ibadah dan amal taqarrub oleh orang-orang yang bertakwa.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

Jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)...” [an-Nisâ'/4:128]

Ayat ini menunjukkan bahwa berdamai antara suami-istri lebih baik daripada berpisah (cerai). Sebab, perceraian menimbulkan banyak bahaya. Oleh karena itu, boleh bagi seorang istri menggugurkan haknya atau sebagian haknya dari suami baik berupa nafkah atau lainnya, jika ia khawatir suaminya akan pisah (cerai) darinya atau berpaling darinya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu [al-Anfâl/8:1]

Ayat ini menunjukkan diperintahkannya mengadakan perdamaian dan melarang saling menzhalimi dan saling bermusuhan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Dan apabila ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [al-Hujurât/49:9]

Ayat ini memerintahkan untuk mengadakan perdamaian ketika terjadi perselisihan dan peperangan di antara kaum Mukminin.[19]

Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, saat bersama al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma. Beliau sesekali melihat kepadanya dan sesekali melihat kepada manusia seraya bersabda:

إِنَّ ابْنِـيْ هٰذَا سَيِّدٌ ، وَلَعَلَّ اللّٰـهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْـمُسْلِمِيْنَ

Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin. Mudah-mudahan dengan perantaraannya Allah Azza wa Jalla mendamaikan antara dua kelompok yang besar dari kaum Muslimin.[20]

Apa yang beliau sabdakan pun terjadi; sehingga Allah Azza wa Jalla mendamaikan antara penduduk ‘Irak dan penduduk Syam setelah terjadi perang berkepanjangan (Perang Shiffin).

Dalam hadits ini terdapat isyarat yang agung tentang anjuran mendamaikan antara kaum Muslimin, meskipun dengan cara seseorang menyerahkan sebagian dari haknya. Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuji al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma, karena dia menyerahkan jabatannya kepada Mu’âwiyah bin Abi Sufyân sebagai khalifah, sehingga kedua kelompok bersatu di bawah kepemimpinan Mu’âwiyah.[21]

Dari Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُوْلُ خَيْرًا

Tidak termasuk orang berdusta seseorang yang mendamaikan antara manusia, ia menyampaikan kebaikan (dengan maksud mendamaikan) atau mengatakan kebaikan.[22]

Para Ulama berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini, adalah menyampaikan kebaikan-kebaikan orang yang bertikai/berselisih dan diam (menutupi) tentang kejelekan orang tersebut. Ini tidak dikatakan dusta.”

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya mendamaikan antara manusia dan dibolehkannya berbohong dengan tujuan mendamaikan pihak yang bertikai atau berselisih.[23]

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berpendapat bolehnya berbohong dengan maksud mengadakan perdamaian. Mereka berkata: “Dusta yang dicela hanyalah dusta yang mendatangkan mudharat atau dusta yang tidak ada maslahatnya sama sekali.”[24]

Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Tidak termasuk orang yang berdusta; seseorang yang mendamaikan antara manusia.”[25]

4. MENOLONG DAN MEMBANTU SESAMA MUSLIM
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Engkau membantu seseorang menaikkannya ke atas hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah.”

Ini termasuk sedekah yang disyari’atkan sebagai kewajiban mensyukuri nikmat diberikannya persendian. Sehingga menolong seorang Muslim untuk naik ke atas kendaraannya atau membantunya mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya termasuk sedekah. Demikian pula seorang Muslim diberikan ganjaran pahala atas setiap bantuan yang dilakukannya untuk saudaranya sesama Muslim. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk saling menolong dengan firman-Nya:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. [al-Mâidah/5:2]

Sudah diketahui bersama bahwa tolong-menolong dapat menuntaskan berbagai kesulitan dan kesusahan. Seorang manusia tidak akan mampu mengerjakan semua urusannya tanpa bantuan saudaranya. Dan saling tolong-menolong dapat menyebarkan kecintaan antara kaum Muslimin, sedangkan Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk saling cinta mencintai.[26]

Di antara contoh menolong orang lain yang merupakan bentuk sedekah ialah menunaikan hak-hak seorang Muslim atas seorang Muslim lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاِمِ ، وَعَيَادَةُ الْـمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْـجَنَازَةِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ

Hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya ada lima: menjawab ucapan salam, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ : قِيْلَ : مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka engkau mengucapkan salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka engkau memenuhinya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan (jenazah)nya.”[27]

Di antara bentuk sedekah yang lainnya ialah berjalan untuk melaksanakan hak-hak manusia yang bersifat wajib. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa berjalan karena hak saudaranya padanya untuk menunaikannya, maka setiap langkahnya adalah sedekah.”[28]

Jenis menolong sesama Muslim lainnya yang juga termasuk sedekah ialah memberikan tempo kepada orang yang berhutang yang mengalami kesulitan pembayaran utang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ؛ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ؛ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَهُ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.[29]

5. BERTUTUR KATA YANG BAIK
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ucapan yang baik adalah sedekah.”

Masuk dalam ucapan yang baik ialah menjawab salam dan menolak orang yang minta-minta dengan perkataan yang baik. Kemudian berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla , mengucapkan perkataan yang benar, amar ma’ruf nahi munkar, memberikan syafâ’at (pertolongan) bagi orang yang membutuhkan terhadap penguasa, nasihat dan bimbingan, dan setiap perkataan dan ucapan yang dapat membuat orang lain bergembira dan menyatukan hati di atas setiap kebaikan dan petunjuk.[30]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan menyakiti [al-Baqarah/2:263]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nya-lah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya [Fâthir/35:10]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا

Barangsiapa memberikan pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya [an-Nisâ’/4:85]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengajak untuk berkata yang baik dan menjaga lisan tetap dalam al-haq, keadilan, dan kebenaran.

6. KEUTAMAAN BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHALAT BERJAMA’AH
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap langkah yang engkau jalankan menuju shalat adalah sedekah.”

Hadits ini menganjurkan kita pergi ke masjid-masjid Allah Azza wa Jalla untuk berkumpul dan berjama’ah, mempelajari ilmu, memberikan nasihat, dan i’tikaf.[31] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللّٰهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ

Barangsiapa pergi di pagi hari atau di sore hari menuju masjid, maka Allah akan menyediakan baginya sebuah tempat tinggal di surga setiap kali ia pergi di pagi hari atau di sore hari (menuju masjid).[32]

Dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Bani Salimah ingin pindah ke dekat masjid, sedangkan tempat tersebut kosong. Ketika hal itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda:

يَا بَنِيْ سَلِمَةَ ! دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ

Wahai Bani Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian karena langkah-langkah kalian akan dicatat.[33]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya, tetaplah di pemukiman kalian! Sebab, jika kalian tetap di pemukiman kalian, maka jejak-jejak dan langkah-langkah kalian yang banyak menuju ke masjid akan dicatat.”[34]

7. MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.”

Menghilangkan apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin, baik berupa duri, pecahan kaca, batu besar, batang pohon yang menghalangi jalan; demikian juga, najis, kotoran, sampah-sampah, dan selainnya; maka menyingkirkan semua itu termasuk sedekah dan sebagai bukti nyata rasa syukur atas nikmat Allah Azza wa Jalla serta termasuk bagian dari iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَْلإِيْمَـانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللّٰـهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang; yang paling tinggi adalah perkataan: ‘Lâ ilâha illallâh’, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan dan malu adalah salah satu cabang Iman.[35]

8. SHALAT DHUHA MEMENUHI TUNTUTAN UNTUK BERSYUKUR ATAS KESEMPURNAAN ANGGOTA BADAN
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُصْبِحُ عَلَـىٰ كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقًةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِءُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَـى

Pada pagi hari, setiap persendian salah seorang dari kalian wajib bersedekah; setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, melarang dari yang mungkar adalah sedekah, dan itu semua cukup dengan dua raka’at shalat Dhuha yang ia kerjakan.[36]

Dua raka’at shalat Dhuha mencukupi tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, karena shalat adalah menggunakan seluruh organ tubuh dalam ketaatan dan ibadah. Jadi, shalat Dhuha cukup sebagai tanda syukur atas kesempurnaan seluruh organ tubuh, sedang bentuk sedekah sebelumnya: tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, sebagian besar darinya hanya menggunakan salah satu organ tubuh, oleh karenanya, sedekah tidak sempurna dengannya hingga seseorang mengerjakan sedekah sejumlah persendian badan, yaitu 360 seperti disebutkan dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .[37]

9. MENGIKHLASKAN NIAT DALAM SEMUA SEDEKAH[38]
Niat yang ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal kebaikan; dan sedekah yang disebutkan dalam hadits ini atau yang lainnya adalah syarat untuk mendapatkan pahala. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” [an-Nisâ'/4:114]

Fawâ-id hadits:
1. Keagungan ciptaan Allah Azza wa Jalla , yaitu menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
2. Setiap hari manusia wajib bersedekah; karena setiap manusia berada di pagi hari dengan nikmat Allah Azza wa Jalla .
3. Wajib bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi maksiat.
4. Matahari berputar mengelilingi bumi, karena ia terbit dari timur dan terbenam di barat, dengan itu terjadilah pergantian siang dan malam.
5. Keutamaan berlaku adil di antara dua orang, baik adil dalam memberikan keputusan maupun adil dalam mengadakan perdamaian. Dengan keadilan inilah tegaknya langit dan bumi.
6. Anjuran untuk mendamaikan antara manusia dengan adil serta bermuamalah bersama mereka dengan akhlak yang mulia.
7. Seorang Muslim dianjurkan untuk membantu saudaranya sesama Muslim; karena pertolongan kepada saudara sesama Muslim itu adalah sedekah.
8. Anjuran untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang baik.
9. Kata sedekah dimutlakkan untuk setiap perbuatan baik.
10. Pintu-pintu kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla banyak sekali; dan ini menunjukkan luasnya rahmat Allah Azza wa Jalla .
11. Hadits ini menganjurkan kita untuk mengerjakan amalan-amalan yang wajib dan yang sunnah karena ia merupakan sebab kecintaan Allah Azza wa Jalla dan didekatkan kepada-Nya.
12. Dianjurkan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan berbagai macam amal ketaatan.
13. Keutamaan berjalan menuju masjid untuk melaksanakan shalat.
14. Wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki.
15. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.
16. Meletakkan atau melemparkan gangguan di jalan adalah perbuatan dosa dan pelanggaran.
17. Haramnya membuat kerusakan di muka bumi.
18. Penentuan jumlah sendi-sendi manusia, yaitu 360 sendi.

MARAJI’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim
5. Musnad Imam Ahmad
6. Sunan Abu Dâwud
7. Sunan at-Tirmidzi
8. Sunan an-Nasâi
9. Sunan Ibnu Mâjah
10. Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
11. Sunan al-Baihaqi.
12. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
13. Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
14. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
15. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
16. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh al-Albâni.
17. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
18. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
19. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
20. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn karya Syaikh Sâlim bin ’Ied al-Hilâly

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Adab Tentang Niat



Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari



Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Dari Abu Sa'îd, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: "Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?" Maka kami menjawab: "Ya, wahai Rasulullah". Maka beliau bersabda: "Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain". [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]

Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]

NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]

NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla . Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla . Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.

Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ

Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.

Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:

أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ

“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.

Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.

Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.

Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

RUJUKAN:
1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Saudariku, Inilah Kemuliaanmu!


Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni


Allah Azza wa Jalla telah menetapkan syariat Islam yang lengkap dan sempurna, serta terjamin keadilan dan kebenarannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'ân) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [al-An'âm/6:115]

Artinya, al-Qur'ân adalah firman Allah Azza wa Jalla yang benar dalam berita yang terkandung di dalamnya, serta adil dalam perintah dan larangannya. Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada berita yang terkandung dalam kitab yang mulia ini dan tidak ada yang lebih adil dari pada perintah dan larangannya.[1]

Di antara bentuk keadilan syariat Islam ini adalah dengan tidak membedakan antara satu bangsa/suku dengan bangsa/suku lainnya. Demikian pula satu jenis (laki-laki atau perempuan) dengan jenis lainnya kecuali dengan iman dan takwa kepada Allah Azza wa Jalla .

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [al-Hujurât/49:13]

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97]

Juga dalam firman-Nya:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ

Maka Allah memperkenankan permohonan mereka (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain” [Ali 'Imrân/3:195]

Apresiasi Islam Terhadap Kaum Perempuan
Sungguh agama Islam sangat menghargai dan memuliakan kaum perempuan dengan menetapkan hukum-hukum syariat yang khusus bagi mereka, serta menjelaskan hak dan kewajiban mereka dalam Islam. Semua itu bertujuan untuk menjaga dan melindungi kehormatan dan kemuliaan mereka.[2]

Syaikh Shâlih al-Fauzân hafidzahullâh berkata: "Wanita Muslimah memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, sehingga banyak tugas mulia yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi n selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3] , seperti khutbah yang beliau sampaikan di Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu….[5]

Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap kaum perempuan adalah dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.[6]

Adapun perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hukum syariat, ini justru menunjukkan kesempurnaan Islam. Karena, agama ini benar-benar mempertimbangkan perbedaan kondisi laki-laki dan perempuan, untuk menetapkan hukum-hukum yang sangat sesuai dengan keadaan dan kondisi keduanya.

Inilah bukti bahwa syariat Islam benar-benar ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana, yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-Mulk/67:14]

Ini semua menunjukkan bahwa agama Islam benar-benar ingin memuliakan kaum perempuan, karena Islam menetapkan hukum-hukum yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kodrat mereka. Dengan mengamalkan semua itu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang sebenarnya.

Ketika menjelaskan hikmah yang agung ini, Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh berkata: " Dialah Allah Azza wa Jalla yang menetapkan dan menakdirkan bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan dalam ciri, bentuk, dan kekuatan fisik. Laki-laki memiliki fisik dan watak yang lebih kuat, sedangkan perempuan lebih lemah dalam (kondisi) fisik maupun wataknya…

Dua macam perbedaan inilah yang menjadi sandaran bagi sejumlah besar hukum-hukum syariat. Dengan hikmah-Nya yang tinggi Allah Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, telah menetapkan adanya perbedaan dan ketidaksamaan antara laki-laki dengan perempuan dalam sebagian hukum-hukum syariat, yaitu dalam tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan bentuk fisik, serta kemampuan masing-masing dari kedua jenis tersebut (laki-laki dan perempuan) untuk menunaikannya. Demikian pula sesuai dengan kekhususan masing-masing dari keduanya pada bidangnya dalam kehidupan manusia, agar sempurna tatanan kehidupan ini, dan agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya.

Jadi, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan kaum laki-laki dengan sebagian hukum syariat yang sesuai dengan kondisi, bentuk, susunan dan ciri-ciri fisik mereka, (dan sesuai dengan) kekuatan, kesabaran dan keteguhan mereka dalam menjalankan hukum-hukum tersebut serta sesuai dengan semua tugas mereka di luar rumah dan usaha mereka mencari nafkah untuk keluarga.

Demikian pula Allah Azza wa Jalla mengkhususkan kaum perempuan dengan sebagian hukum syariat yang sesuai dengan kondisi, bentuk, susunan dan ciri-ciri fisik mereka, (dan sesuai dengan) terbatasnya kemampuan dan kelemahan mereka dalam menanggung beban, juga sesuai dengan semua tugas dan tanggung jawab mereka di dalam rumah, dalam mengatur urusan rumah tangga, serta mendidik anggota keluarga yang merupakan generasi penerus bagi umat ini di masa depan.

Dalam al-Qur'ân, Allah Azza wa Jalla menyebutkan ucapan istri 'Imrân:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ

Dan laki-laki tidaklah sama dengan perempuan [Ali 'Imrân/3:36]

Maha suci Allah Azza wa Jalla , pemilik segala penciptaan dan perintah dalam syariat Islam, dan pemilik segala hukum dan pensyariatan.

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Ketahuilah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam [al-A'râf/7:54]

Inilah irâdah (kehendak) Allah Azza wa Jalla yang bersifat kauniyyah qadariyyah (sesuai dengan takdir dan kodrat yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan bagi semua makhluk dalam penciptaan, pembentukan rupa dan bakat. Dan inilah irâdah-Nya yang bersifat dîniyyah syar'iyyah (sesuai dengan ketentuan agama dan syariat yang dicintai dan diridhai-Nya). Maka terkumpullah dua irâdah Allah Azza wa Jalla ini demi kemaslahatan para hamba-Nya, kemakmuran alam semesta, dan keteraturan tatanan hidup pribadi, rumah tangga, kelompok, serta seluruh masyarakat.[7]

Beberapa Contoh Hukum-Hukum Syariat Islam Yang Menggambarkan Penghormatan Dan Penghargaan Islam Terhadap Kaum Perempuan

1. Kewajiban memakai jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna[8] ) bagi wanita ketika berada di luar rumah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjelaskan kewajiban memakai jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: "Supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti".

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "Ini menunjukkan bahwa gangguan bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab yang sesuai dengan syariat. Karena, jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang 'afîfah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya. Maka, dengan memakai jilbab yang sesuai dengan syariat, akan mencegah timbulnya keinginan-keinginan buruk seseorang terhadap diri wanita "[9].

2. Kewajiban memasang hijâb/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman menerangkan hikmah agung disyariatkannya hijâb/tabir antara laki-laki dan perempuan:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53]

Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh rahimahullah berkata: "Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyifati hijâb/tabir sebagai kesucian bagi hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan. Karena, jika mata manusia tidak melihat sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir, maka hatinya tidak akan berhasrat buruk. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini hati manusia akan lebih suci, sehingga peluang tidak timbulnya fitnah kerusakan pun lebih besar. Karena hijâb/tabir benar-benar mencegah timbulnya keinginan-keinginan buruk dari orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya"[10].

3. Kewajiban wanita untuk menetap di dalam rumah dan hanya boleh keluar rumah jika ada kepentingan yang dibenarkan dalam agama.[11]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (istri-istri Nabi) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [al-Ahzâb/33:33]

Dalam hadits yang shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar rumah, setan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika dia berada di dalam rumahnya".[12]

Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh ketika menjelaskan hikmah agung diharamkannya tabarruj dalam Islam mengatakan: Adapun dalam Islam, maka perbuatan tabarruj ini diharamkan dengan sebab adanya dorongan iman dan adanya keinginan yang bergelora dalam hati kaum muslimin dalam rangka mewujudkan ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, serta dalam rangka menghiasi diri dengan kesucian dan kemuliaan, menghindarkan diri dari kehinaan, juga dalam rangka menjauhi perbuatan dosa, mengharapkan pahala dan ganjaran dari-Nya, serta takut akan siksaan-Nya yang pedih. Maka wajib bagi para wanita Muslimah untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan menjauhi semua perbuatan yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam supaya mereka tidak ikut serta dalam menyusupkan kerusakan di dalam tubuh kaum Muslimin disebabkan tersebarnya perbuatan-perbuatan yang keji, merusak moral anggota keluarga dan rumah tangga, serta merajalelanya perbuatan zina. Juga supaya mereka tidak menjadi sebab yang mengundang pandangan mata yang berkhianat dan hati yang berpenyakit, yang menyimpan keinginan buruk kepada mereka, sehingga mereka berdosa dan menjadikan orang lain juga berdosa".[13]

4. Tugas dan tanggung jawab kaum wanita yaitu mendidik dan mengarahkan anak-anak di dalam rumah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،... وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ

Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya bagi anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.[14]

Tugas dan tanggung jawab ini menunjukkan agungnya kedudukan dan peran kaum wanita dalam Islam. Karena, merekalah pendidik pertama dan utama generasi muda Islam. Dengan memberikan bimbingan yang baik bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat Islam.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah berkata: "Sesungguhnya kaum wanita memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat. Hal ini karenakan upaya memperbaiki kondisi masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:

Pertama: Perbaikan kondisi di luar rumah, yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempat-tempat lainnya di luar rumah. Perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar rumah.

Kedua : Perbaikan di balik dinding (di dalam rumah). Tugas mulia ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita karena merekalah pemimpin/pendidik di dalam rumah.

Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan bahwa sesungguhnya kebaikan separuh atau bahkan lebih dari jumlah masyarakat disandarkan kepada kaum wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:

Pertama : Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Atas dasar inilah maka kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat.

Kedua : Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita. Ini semua menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam memperbaiki masyarakat[15] .

Bangga Sebagai Wanita Muslimah
Contoh-contoh di atas hanya sebagian kecil dari hukum-hukum syariat yang menggambarkan penghargaan dan pemuliaan Islam terhadap kaum perempuan. Oleh karena itulah, seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira, kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia). [Yûnus/10:58]

"Karunia Allah" dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan "keimanan kepada-Nya", sedangkan "Rahmat Allah" ditafsirkan dengan "al-Qur'an".[16]

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. [al-Munâfiqûn/63:8]

Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab z berkata: "Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah".[17]

Penutup
Dalam al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla yang Maha Adil dan Bijaksana telah menjelaskan sebab untuk meraih kemuliaan yang hakiki di dunia dan akhirat bagi laki-laki maupun perempuan, yang sesuai dengan kondisi dan kodrat masing-masing.

Renungkanlah ayat yang mulia berikut ini:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Maka Wanita yang saleh adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (memberi taufik kepadanya)" [an-Nisâ'/4:34]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita Muslimah untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam agama Islam.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, 25 Syawwal 1430 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Keyakinan Sesat Pada Jimat


Oleh
Ustadz Rizal Yuliar


Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat diyakini sebagai pelindung (selain Allah Azza wa Jalla ) dari berbagai mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki, kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Ada jimat berupa cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk, tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun bentuk-bentuk jimat lainnya. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus menyesatkan ini. Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas'alullâha assalâmata wal `âfiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Azza wa Jalla keselamatan dan perlindungan.

KEBINASAAN PELAKU SYIRIK
Bertauhîd (mengesakan) Allah Azza wa Jalla dalam semua bentuk ibadah adalah hak Allah Azza wa Jalla yang paling agung. Dan kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Azza wa Jalla tersebut. Ancaman dan murka Allah Azza wa Jalla terhadap syirik dan pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Azza wa Jalla tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia diharamkan masuk jannah Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah  (berbuat syirik) maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4 : 48]

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`âm/6: 88]

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Mâidah/5: 72]

Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah Azza wa Jalla di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum engkau; "Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi (diadzab)". [az-Zumar/39: 65]

KESYIRIKAN DALAM JIMAT
Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko, kendaraan atau selainnya.[1] Memakai jimat dengan berbagai jenisnya adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Azza wa Jalla , maka ia menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Azza wa Jalla . Namun, jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka sesungguhnya dia telah menyamai Allah Azza wa Jalla dalam menentukan hal tersebut sebagai sebab; padahal Allah Azza wa Jalla tidaklah menjadikannya sebagai sebab.[2]

Dari `Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang terbuat dari tembaga di tangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya "Apa ini?". Pria tersebut menjawab: "(aku memakainya) Karena (tertimpa) penyakit wahînah". Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata "Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga kapanpun!".[3] Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ulama salaf pada umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan pembelaan terhadap hak Allah Azza wa Jalla .

Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca firman Allah Azza wa Jalla [Yûsuf/12:106] :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

"Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".[6] Sa`îd bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata "Barangsiapa memotong satu jimat (tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan seorang budak".[7]

Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa menetapkan suatu perantara padahal Allah Azza wa Jalla tidak pernah sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari; maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla . Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Azza wa Jalla ). Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.[8] Sedemikian benci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat, sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab "Sesungguhnya dia memakai tamîmah". Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya; kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya seraya bersabda: "Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah berbuat syirik".[9]

Tamîmah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan tertentu [10]. Secara umum tamîmah terbagi menjadi dua macam.

Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`ân seperti tulang, kerang, keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu kepada selain Allah Azza wa Jalla .

Kedua: yang berasal dari al-Qur`ân, Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ; maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian.

Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.

3. Jika seseorang memakai tamîmah yang berisi dari al-Qur`ân atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla , maka sudah barang tentu ia akan membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`ân.[11]

Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya"[12] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamîmah dan pelet adalah syirik".[13] Al-Khathabi berkata "Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran. Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Azza wa Jalla di dalamnya, maka yang demikian dianjurkan serta diharapkan barakahnya, Wallâhu A`lam.[14]

Syaikh al-Albâni berkata "Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah yang tidak dipahami maknanya…".[15] Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-'Asyjâ`i z berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana pendapat engkau?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan) ruqyah selama bukan kesyirikan"[16]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, beliau juga pernah diruqyah oleh Jibrîl Alaihissallam [17] Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.[18]

Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:

Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`ân, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ,

Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,

Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla semata.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya".[20]

WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.
Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong".[21] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[22] Bahkan Allah Azza wa Jalla akan membiarkan ketergantungan seseorang kepada sesuatu selain Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla akan menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla , Rabb semesta alam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ

Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan dipasrahkan kepadanya.[23] Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada sesuatu dan Allah Azza wa Jalla akan mengabaikannya.[24]

MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH WA JALLA
Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhîd mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca, namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba, hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya adalah di tangan Allah Azza wa Jalla.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`âm/6:162]

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat : (("Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu (menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena (qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdîr) telah kering")).[25]

DOA DAN WIWIRD-WIWIRD SYAR’I TELAH DICONOTHKAN
Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari segala bentuk kesyirikan. Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya, hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari dan petangnya. Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam al-Qur`ân maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan "memaksakan" ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amal tersebut pastilah tertolak dan sia-sia.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL:
1.Kewajiban bertauhîd kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap keadaan dan keharaman berbuat syirik dengan bentuk apapun dan dalam kondisi apapun.

2. Islam telah menutup semua celah yang akan menghantarkan kaum Muslimin kepada kesyirikan.

3. Syirik adalah kezhaliman terbesar terhadap hak Allah Azza wa Jalla yang Maha Besar. Pelakunya terancam dengan kesengsaraan di dunia dan adzab pedih di akhirat.

4. Mengenakan jimat dengan berbagai keyakinannya adalah perbuatan syirik baik diyakini sebagai perantara maupun sebagai pelaku utama selain Allah Azza wa Jalla .

5. Wajib mengingkari kemungkaran syirik dan dosa lainnya namun sesuai ketentuan hukum syariat Islam.

6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa jimat tamîmah adalah syirik dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat untuk memeranginya dan memberantasnya.

7. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebahagiaan dan menjauh dari kesengsaraan melainkan dengan menjalankan semua bagian syariat islam.

8. Memohon perlindungan hanyalah dari Allah Azza wa Jalla semata. Arahan Islam dalam memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan celaka telah sempurna diajarkan dalam al-Qur`ân dan Sunnah.

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk dapat berjalan di atas cahaya kebenaran Islam, amîn.

Referensi:
1. Al-Mustadrak, Dâr Kutub `Ilmiyah Libanon. Cet II th.1422 H/2002 M. Muhammad `Abdullâh al-Hâkim an-Naisâburi.
2. Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijâriyah Dâr Al-Fikr Beirut Libanon. Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullâh bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
3. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, Dâr Ibnul-Jauzi KSA . Cet II th.1424 H. Muhammad Shâlih al-Utsaimîn
4. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, Dâr at-Tauhid KSA. Cet I 1424 H/2003 M. Shâlih `Abdul `Azîzi Alu Syaikh.
5. Aunul Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, Dâr al-Fikr Beirut Libanon. Cet III th.1399 H/1979 M. Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhîm Abadi.
6. Fathul-Majîd Syarh Kitab at-Tauhîd, Dârul-Kitâb al-Islâmi Madinah KSA. `Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh.
7. Musnad Ahmad, Mu'assasah ar-Risâlah Beirut Libanon. Cet I th.1420 H/1999 M - Baitul-Aqthar Ad-Dauliyyah, th.1419 H/1998 M. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.
8. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Maktabah al-Ma`ârif Riyâdh KSA. Cet th.1415 H/1995 M. Muhammad Nâshiruddin al-Albâni .
9. Shahîh Sunan Abi Dâwud, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1409 H/1989 M. Sulaimân al-Asy'âts as-Sijistâni - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
10. Shahîh Sunan an-Nasâ'i, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu'aib an-Nasâ'i - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
11. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet III th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazîd al-Qazwini - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
12. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I 1409 H/1989 M. Muhammad bin `Isa at-Tirmidzi - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
13. Shahîh Muslim, Dâr as-Salâm Riyâdh KSA. Cet I th.1419 H/1998 M. Muslim bin Hajjâj an-Naisâburi.
14. Shahîh al-Bukhâri, Dâr As-Salam Riyâdh KSA. Cet II th.1419 H/1999 M. Muhammad bin Ismâ'îl al-Bukhâri.
15. Tuhfatul Ah-wadzi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Maktabah Ibnu Taimiyah. Cet III th.1407 H/1987 M. Muhammad `Abdurrahmân al-Mubârakfury.
16. Tafsîrul-Qur`ân al-`Azhîm, Muassasah Ar-Rayyân Libanon. Ismâ`îl bin Katsîr ad-Dimasyqi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment