Thursday, March 21, 2013

Tentang Memandang Wanita Yang Dipinang


Tentang Memandang Wanita Yang Dipinang


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Hadits-Hadits yang Menunjukkan Tentang Memandang Wanita yang Dipinang :

1. Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Aku berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seseorang datang kepada beliau untuk memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: 'Apakah engkau telah melihatnya?' Ia menjawab: 'Belum.' Beliau bersabda: 'Pergilah dan lihatlah dia; sebab di mata orang-orang Anshar ada sesuatu.'"[1]

An-Nawawi berkata: "Menurut madzhab jumhur, tidak disyaratkan kerelaannya mengenai kebolehan melihat, bahkan dia boleh melakukan hal itu tanpa sepengetahuannya, dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu."

2. Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَـاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ.

"Jika salah seorang dari kalian meminang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah."

Ia mengatakan: "Aku melamar seorang gadis, lalu aku bersembunyi untuknya sehingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya."[2]

Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mengomentari hadits ini: "Apa yang dilakukan Jabir Radhiyallahu anhu tidak boleh dianggap sebagai pencurian (atas) kehormatan. Hanya saja tatkala dia bertekad untuk menikah, maka dia berkeinginan untuk mengetahui posturtubuhnya, cara berjalannya, sosoknya, dan kepada siapa dia bertetangga. Ketika dia melihat sesuatu yang dikaguminya, maka ia menikah dengannya."[3]

3. At-Tirmidzi meriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, bahwa dia meminang seorang wanita, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا.

"Lihatlah ia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan di antara kalian berdua."[4]

At-Tirmidzi rhimahullah berkata: "Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini. Menurut mereka, tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya."

At-Tirmidzi rahimahullah berkata: "Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Lebih patut untuk melanggengkan di antara kalian berdua,' ialah lebih patut untuk melanggengkan cinta kasih di antara kalian berdua."

Penulis kitab at-Taaj berkata: "Dalam nash-nash (teks-teks) ini diperintahkan untuk melihat wanita yang dipinang, dan yang diperintahkan ialah melihat wajah dan kedua telapak tangannya saja, walaupun lebih dari sekali. Sebab, kecantikan wajah dan tangan menunjukkan kecantikan anggota tubuh lainnya. Barangsiapa yang tidak mungkin melihatnya sendiri, hendaklah ia mengutus orang untuk melihatnya dan menyebutkan sifatnya kepadanya; karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim supaya melihat untuknya wanita yang akan dinikahinya."[5]

4. Kepada pihak yang memakruhkan peminang melihat puteri keduanya (ayah-ibu) sebelum meminang, kita meriwayatkan kisah ini kepada mereka:
Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku menyebutkan kepada beliau tentang wanita yang akan aku pinang, maka beliau bersabda: 'Pergilah, lalu lihatlah dia.' Lalu aku datang kepada wanita dari Anshar untuk meminangnya kepada kedua orang tuanya dan aku memberitahukan keduanya mengenai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi keduanya seakan-akan tidak menyukai hal itu (yakni tidak suka puteri keduanya dipandang). Kemudian aku mendengar wanita dalam tirainya dan pemingitannya mengatakan: 'Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu untuk melihat, maka lihatlah. Jika tidak, aku memintamu dengan Nama Allah agar engkau tidak melihat kepadaku -seakan-akan wanita ini merasa berat untuk hal itu-.' Kemudian aku melihat kepadanya, lalu menikahinya. Kemudian ia menyebutkan tentang keserasiannya."[6]

Setelah mengemukakan sabda-sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebolehan memandang wanita yang dipinang dan anjuran agama supaya menutupi wanita, maka memandang kepadanya harus dengan keberadaan mahram, guna menjaganya dari kemungkinan berbaur bersama kaum pria.

Hak ini diperuntukkan bagi peminang sehingga pergaulan di antara keduanya berlangsung secara berkelanjutan, ikatan kekeluargaan tercipta, dan keluarga tidak terpecah setelah itu.

Kita menjumpai kontradiksi pada apa yang kita lihat hari ini berupa sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan dalam masalah ini. Di antara mereka ada orang tua yang sangat keras melarang peminang melihat puterinya, dan dia lupa bahwa ini berpaling dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menolak perintahnya.

Sementara, di sisi lainnya kita melihat sikap meremehkan perkara ini. Kita melihat orang tua yang membiarkan puterinya keluar bersama pria yang bukan mahramnya dengan alasan bahwa ini pacarnya dan ini peradaban serta kemajuan. Padahal ini tidak lain hanyalah ikut-ikutan kepada Barat dalam kemaksiatan mereka kepada Rabb mereka. Perhatikan apa yang terjadi akibat pergaulan bebas yang diharamkan ini berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan Allah. Betapa banyak yang telah kita dengar dan yang akan kita dengar tentang tangisan wanita ini… bunuh diri… dan ayah membunuh puterinya. Semua itu karena mereka tidak berpegang teguh dengan Sunnah Nabi mereka. Mereka pergi untuk meniru-niru Barat dengan membabi buta, dan mereka datang dengan membawa perkara-perkara yang mendorong mereka untuk bermaksiat kepada Rabb mereka dan meninggalkan agama mereka. Semua itu adalah sanksi dari Allah karena mereka meninggalkan Sunnah dan perintah-perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Duhai sekiranya umat ini kembali kepada kesadarannya dan berpegang teguh kepada Sunnah Nabi mereka yang bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ، أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنَ اْلآخَرَ، كِتَابَ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ، وَعِتْرَتِـيْ أَهلِ بَيْتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّـى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ، فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلِفُوْنَ فِيْهِمَا.

'Sesungguhnya aku meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak tersesat selamanya; salah satunya lebih besar daripada yang lain, yaitu Kitab Allah, tali Allah yang terulur dari langit sampai ke bumi, dan (yang kedua) adalah Ahlul Baitku. Keduanya tidak berpisah hingga keduanya masuk ke telagaku. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya."[7]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang seorang pria asing yang berduaan dengan wanita asing, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Tidak boleh seorang pria berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya." Lalu seseorang berdiri seraya mengatakan: "Wahai Rasulullah, isteriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku diperintahkan untuk perang, demikian dan demikian." Beliau menjawab: "Kembalilah, dan berhajilah bersama isterimu."[8]

Perhatikanlah -wahai saudara dan saudariku yang budiman- larangan syar’i (Allah dan Rasul-Nya) tentang hal itu, sehingga kita terjaga agar tidak terjatuh ke dalam kehinaan. Maka, sadarlah untuk tidak menyelisihi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3234) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 7783, 7919).
Tapi engkau harus tahu, wahai saudaraku tercinta, bahwa keberadaan wanita dan keberadaanmu di satu tempat harus ada mahram. Tidak boleh berduaan, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang hal itu dengan sabdanya: "Seseorang tidak boleh ber-duaan dengan seorang wanita melainkan bersama mahramnya." (HR. Al-Bukhari (no. 5233)).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 2082) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14176, 14455) dan menurut adz-Dzahabi, para perawinya tsiqat.
[3]. Az-Zawaajul Islaami al-Mubakkir, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3230) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1865) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2172) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1511).
[5]. Al-Jaami’ lil Ushuul (II/285).
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3235) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1866) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2172) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1512). Lihat al-Misykaah (no. 3107) dan as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 96).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 3788) kitab al-Manaaqib, dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” Ahmad (no. 10720, 10747, 10827).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 5233) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1341) kitab al-Hajj, Ibnu Majah (no. 2900) kitab al-Manaasik, Ahmad (no. 1935, 3221).


ISTIKHARAH UNTUK NIKAH DAN HAL LAINNYA

Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-isteri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin menikah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِاْلأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيـْرِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: "اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْـأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُـوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَـاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ، وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِنِيْ بِهِ. وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ.

‘Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu, kemudian hendaklah mengucapkan: 'Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta penilaian-Mu dengan kemampuan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Mahamengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Dan hendaklah ia menyebutkan hajatnya.’”[1]

Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:

1. Istikharah dilakukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid, atau setelah shalat sunnah lainnya).

2. Do’a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.

3. Boleh mengulang-ulang istikharah, karena ini adalah do’a, dan mengulang-ulang do’a adalah dianjurkan.

4. Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang, bermimpi dengan jelas tentang masalah tersebut, atau merasa bahwa hajatnya telah terpenuhi, atau sebaliknya (berhenti), maka inilah makna istikharah. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.

5. Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.

6. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata: "Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta’ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya Azza wa Jalla. Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah)."[2]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 6382) kitab ad-Da’awaat, at-Tirmidzi (no. 480) kitab ash-Shalaah, an-Nasa-i (no. 3253) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 1538) kitab ash-Shalaah, Ibnu Majah (no. 1383) kitab Iqaamatush Shalaah was Sunnah fiihaa, Ahmad (no. 14297).
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/397).


Seseorang Dilarang Meminang Pinangan Saudaranya, Orang Tua Menawarkan Puterinya



Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang seseorang meminang atas pinangan saudaranya. Terdapat sejumlah hadits mengenai hal itu, akan kami sebutkan di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu menuturkan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sebagian kalian membeli apa yang dibeli saudaranya, dan tidak boleh pula seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau peminang mengizinkan kepadanya."[1]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berdiri di atas mimbar seraya berucap: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ.

'(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.’"[2]

Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan (menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَكُوْنُوْا إِخْوَانًا، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى حِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ.

"Janganlah kalian berprasangka, karena prasangka itu adalah seburuk-buruk pembicaraan. Jangan mencari-cari kesalahan orang dan jangan saling bermusuhan, serta jadilah kalian sebagai orang-orang yang bersaudara. Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga dia menikah atau meninggalkannya."[3]

Al-Hafizh berpendapat dalam al-Fat-h, bahwa larangan ini untuk pengharaman, ia mengatakan: “Menurut jumhur, larangan ini untuk pengharaman...” lalu beliau menambahkan: “Larangan ini menurut mereka untuk pengharaman, tetapi tidak membatalkan akad.”

Bahkan, Imam an-Nawawi meriwayatkan bahwa larangan dalam hadits ini untuk pengharaman berdasarkan ijma’. Tetapi mereka berselisih mengenai syarat-syaratnya.

Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas atau walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.

Menurut Imam asy-Syafi’i, makna hadits dalam bab ini ialah bila seorang pria meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka tidak mengapa dia meminangnya. Hujjah dalam perkara ini ialah kisah Fathimah binti Qais.[4]

Pertanyaan:
Apa balasan bagi orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya?

Jawaban:
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ، وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا.

'Bukan termasuk golongan kami siapa yang bersumpah ‘demi amanah’, dan barangsiapa yang merusak hubungan seseorang dengan isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya, maka ia bukan golongan kami.'"[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: “(Perbuatan) ini termasuk salah satu dosa besar. Sebab, jika syari’at melarang meminang pinangan saudaranya, maka bagaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, hamba sahaya wanitanya atau hamba sahaya laki-lakinya, serta berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak yang lain tidak gugur dengan taubat dari kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap (ada). Menzhalimi seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih besar dibanding merampas hartanya secara zhalim. Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara di sisinya kecuali (dengan) mengalirkan darahnya.”[6]

Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang wanita yang berpisah dengan suaminya, lalu seseorang meminangnya dalam masa ‘iddahnya dan ia memberi nafkah kepadanya: “Apakah itu dibolehkan ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah. Jelas-jelas (seseorang) tidak boleh meminang wanita yang masih dalam ‘iddah dengan tegas, walaupun dalam ‘iddah karena (ditinggal) wafat, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin; maka bagaimana halnya dalam ‘iddah perceraian? Barangsiapa yang melakukan demikian, ia berhak mendapatkan hukuman yang membuatnya dan orang-orang yang semisalnya menjadi jera dari perbuatan itu. Dan hukuman itu diberikan kepada orang yang meminang maupun yang dipinang, semua diberi hukuman, dan dilarang menikahkan dengan-nya sebagai hukuman baginya karena niatnya yang batal, wallaahu a’lam.”[7]

Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang mentalak isterinya dengan talak tiga. Setelah menyelesaikan ‘iddahnya di sisinya, ia keluar. Setelah itu, ia menikah dan dicerai pada hari itu juga. Orang yang menalaknya tidak mengetahui kecuali pada hari kedua, apakah dia boleh bersepakat bersama wanita itu jika telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia akan rujuk kepadanya?

Beliau menjawab: "Ia tidak boleh meminangnya di masa ‘iddah dari (suami) selainnya, dan tidak boleh pula memberi nafkah kepadanya untuk menikahinya. Jika talak itu talak raj’i, maka ia tidak boleh melamar dengan sindiran. Jika talaknya adalah talak ba’in, maka kebolehan meminang dengan sindiran diperselisihkan. Kondisi tersebut jika wanita ini menikah dengan nikah raghbah (atas dasar suka). Adapun jika dia menikah dengan nikah tahlil, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu .

MASALAH DALAM PEMINANGAN.
Sudah menggejala di tengah umat Islam mengenai keluarnya peminang bersama wanita pinangannya tanpa akad, dan mereka duduk berduaan. Perhatikan, apa yang terjadi akibat perbuatan ini? Oleh karena itu, untuk menambah manfaat, kami merasa perlu meletakkan beberapa pertanyaan yang berisikan jawaban sebagian ulama mengenai hal itu:

1. Hubungan Kasih Sayang Sebelum Pernikahan (Pacaran).
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apa pandangan agama tentang hubungan sebelum perkawinan (pacaran)?”

Beliau menjawab: “Pernyataan penanya “sebelum menikah”, jika yang dia dimaksud adalah sebelum "mencampuri" dan sesudah akad, maka ini tidak berdosa. Karena dengan akad, ia sudah menjadi isterinya, meskipun belum melakukan persetubuhan. Adapun sebelum akad, pada saat lamaran atau sebelum itu, maka ini diharamkan dan tidak dibolehkan. Tidak boleh seseorang bermesraan bersama wanita yang bukan isterinya, baik berbicara, memandang maupun berduaan. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

لاَ يَخْلُوْنَ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ، وَلاَ تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ.

‘Janganlah seseorang berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, dan janganlah wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.’[10]

Walhasil, jika berkumpul ini setelah akad, maka tidaklah ber-dosa. Jika ini dilakukan sebelum akad walaupun setelah peminangan dan pinangannya diterima, maka ini (pun) tidak boleh. Perbuatan ini haram baginya, karena wanita ini masih tergolong orang lain, hingga ia mengikatnya (dengan ikatan pernikahan).”[11]

2. Hukum Peminang Duduk Bersama Wanita Pinangannya.
Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Aku telah meminang wanita dan aku membacakan ke-padanya 20 juz al-Qur-an selama masa peminangan, alhamdulillaah. Aku duduk bersamanya dengan keberadaan mahram, sedangkan ia tetap memakai hijab syar’i, alhamdulillaah, dan duduk kami tidak keluar dari pembicaraan agama atau membaca al-Qur-an, dan juga waktu duduk tersebut sangatlah pendek; apakah ini kesalahan menurut syari’at?”

Beliau menjawab: “Ini tidak sepatutnya dilakukan. Karena pada umumnya perasaan seseorang bahwa teman duduknya adalah pinangannya dapat membangkitkan syahwatnya. Luapan syahwat kepada selain isteri dan sahaya wanitanya adalah haram, dan segala apa yang dapat membawa kepada keharaman adalah haram.”[12]

3. Sekedar Dipinang Tidak Dilarang Menikahkannya dengan Selain Peminang.
Syaikh Muhammad bin Ibahim Alusy Syaikh rahimahullah ditanya tentang seseorang yang datang dengan membawa saudara perempuan sekandungnya, sedangkan dia telah dipinang oleh seorang pria di negerinya, Yaman. Hari itu saudaranya ingin menikahkannya di Tha-if; apakah sah menikahkannya padahal dia telah dipinang?

Beliau menjawab: “Alhamdulillaah, selagi wanita ini belum dipertalikan dengan pria yang melamarnya dengan akad pernikahan, maka sekedar lamarannya saja kepadanya tidak menghalanginya untuk menikahkannya dengan selainnya.”[13]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1412) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1292) kitab al-Buyuu’, an-Nasa-i (no. 3243) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2081) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2171) kitab at-Tijaaraat, Ahmad (no. 4708), Malik (no. 1112) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5142) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no. 2176) kitab an-Nikaah.
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5143) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 2563).
[4]. Fat-hul Baari (IX/199).
[5]. HR. Ahmad (no. 22471), al-Hakim (IV/298), ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi; Abu Dawud (no. 3253) kitab al-Aimaan wan Nudzuur, dan dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib (V/385).
[6]. Dinukil dari al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (V/385).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/8).
[8]. Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[9]. Majmuu’ Fataawa (XXXII/8).
[10].Telah disebutkan takhrijnya sebelumnya.
[11]. Al-Muslimuun (hal. 10).
[12]. Faatawaa asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimin (II/748).
[13]. Fataawaa wa Rasaa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh (X/56-57).


ORANG TUA MENAWARKAN PUTERINYA ATAU YANG DI BAWAH PERWALIANNYA KEPADA LAKI-LAKI SHALIH

Seorang laki-laki tua yang shalih berkata kepada Musa Alaihissallam:

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” [Al-Qashash/28: 27].

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menawarkan puterinya, Hafshah Radhiyallahu anhuma kepada laki-laki terbaik umat ini. Kita dengarkan penuturan darinya.

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma menuturkan, ketika Hafshah binti ‘Umar menjanda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi; ia seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal di Madinah, maka ‘Umar mengatakan: "Aku datang kepada ‘Utsman lalu aku menawarkan Hafshah kepadanya, tapi dia mengatakan: 'Aku akan melihat urusanku.' Setelah beberapa hari kemudian, dia datang kepadaku seraya mengatakan: 'Tampaknya aku tidak menikah pada saat ini.' ‘Umar melanjutkan: "Kemudian aku datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu aku katakan: 'Jika engkau suka, aku menikahkanmu dengan Hafshah binti ‘Umar.' Tetapi Abu Bakar diam dan tidak memberikan jawaban apa pun. Aku lebih marah kepadanya dibanding kemarahanku atas ‘Utsman. Setelah beberapa hari kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya, lalu aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku, lalu mengatakan: 'Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberikan jawaban apa pun.' Aku menjawab: 'Ya.'

Abu Bakar berkata: 'Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban kepadamu tentang apa yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Hafshah. Dan aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka aku menerimanya.'"[1]

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini: "Hadits ini berisi anjuran agar manusia menawarkan puterinya atau selainnya dari wanita yang berada di bawah perwalian kepada orang yang diyakini kebaikan dan keshalihannya, karena di dalamnya terdapat manfaat yang akan kembali kepada wanita yang ditawarkan kepadanya. Dan tidak boleh malu mengenai hal itu.[2]

Berikut ini (kisah) salah satu dari hamba Allah yang shalih yang menikahkan anak gadisnya kepada pemuda shalih tanpa melihat kepada materi yang telah dijadikan (ukuran) oleh kebanyakan orang dalam menikahkan anak-anak puteri mereka dengan pria fasik lagi gemar berbuat maksiat.

Dalam biografi hamba yang shalih, Sa’id bin al-Musayyab, disebutkan bahwa ‘Abdul Malik bin Marwan meminang puterinya untuk puteranya, al-Walid, ketika ia mengangkatnya sebagai putera mahkota. Tapi Sa’id menolak untuk menikahkan puterinya dengannya. Abu Wada’ah berkata: "Aku biasa berteman dengan Sa’id bin al-Musayyab, lalu ia kehilanganku selama beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya: 'Dimana engkau berada?' Aku menjawab: 'Isteriku meninggal dunia sehingga aku sibuk.' Ia mengatakan: 'Mengapa tidak memberitahukan kepada kami sehingga kami bisa menyaksikan jenazahnya?' Ketika aku hendak bangkit, ia bertanya: 'Apakah engkau sudah mendapatkan wanita selainnya?' Aku menjawab: 'Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang akan menikahkanku (dengan puterinya), sedangkan aku tidaklah memiliki (harta) kecuali dua atau tiga dirham?' Ia mengatakan: 'Jika aku yang melakukannya, apakah engkau menerimanya?' Aku menjawab: 'Ya.' Kemudian ia memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, lalu menikahkanku dengan mahar dua atau tiga dirham. Aku berdiri dan aku tidak tahu apa yang aku lakukan dengan kegembiraan ini. Aku kembali ke rumahku dan mulai memikirkan dari siapa aku mencari pinjaman? Aku melakukan shalat Maghrib. Saat itu aku berpuasa, maka aku mendahulukan makan malamku untuk berbuka. Makan malam tersebut ialah roti dan minyak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, maka aku bertanya: 'Siapa?' Ia menjawab: 'Sa’id.' Maka Aku membayangkan setiap orang yang bernama Sa’id, kecuali Sa’id bin al-Musayyab. Sebab, ia tidak pernah terlihat sejak 40 tahun kecuali antara rumahnya dan masjid. Aku pun berdiri dan keluar, ternyata Sa’id bin al-Musayyab. Aku menyangka bahwa ia muncul karenanya, maka aku bertanya: 'Wahai Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengirim orang lain kepadaku lalu aku datang kepadamu?' Ia menjawab: 'Tidak, engkau berhak untuk dikunjungi.' Aku bertanya: 'Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?' Ia menjawab: 'Engkau adalah seorang duda yang telah menikah, maka aku tidak suka engkau bermalam sendirian. Ini adalah isterimu.' Ternyata dia berdiri di belakangnya, karena Sa’id berpostur tinggi (sehingga puterinya tidak terlihat). Kemudian dia menyerahkannya di pintu dan menutup pintu kembali, lalu wanita ini jatuh karena malu. Lalu aku mengikat pintu, kemudian aku naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka berdatangan dan bertanya: 'Ada apa denganmu?' Aku menjawab: 'Sa’id bin al-Musayyab menikahkanku dengan puterinya. Ia sudah datang dengan membawa puterinya yang shalihah, dan sekarang berada di dalam rumah.' Mereka pun turun untuk menerimanya dan kabar ini sampai kepada ibuku sehingga dia datang seraya berkata: 'Aku tidak akan melihat wajahmu jika engkau menyentuh (menggauli)nya sebelum aku mempersiapkannya selama tiga hari.' Aku pun menunggu selama tiga hari, kemudian aku menemuinya, ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah, paling mengetahui tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hak suami. Selama sebulan Sa’id tidak datang kepadaku dan aku pun tidak datang kepadanya. Kemudian aku datang kepadanya setelah peristiwa itu berlangsung sebulan, saat dia berada di halaqahnya, aku mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawab salamku. Dia tidak berbicara kepadaku hingga orang-orang yang berada di masjid telah pergi. Ketika tidak ada lagi seorang pun kecuali aku, dia bertanya: 'Bagaimana kedaan orang itu?' Aku menjawab: 'Dalam keadaan yang disukai oleh Sahabat dan dibenci oleh musuh.'"[3]

Betapa tenteramnya hati Tabi’i yang mulia ini terhadap "masa depan" anaknya, sehingga dia tidak berfikir untuk memperhatikan keadaannya. Karena dia merasa tenteram bahwa puterinya berada dalam belaian laki-laki bertakwa yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui hak puterinya atasnya, serta kedudukannya di sisinya.[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menikahkan puteri-puteri kita dengan orang-orang shalih. Karena jika orang shalih menyukainya, maka dia akan memuliakannya dan jika tidak menyukainya, maka dia tidak akan menghinakan dan tidak akan menzhaliminya. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُـمْ مَنْ تَرْضَـوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَـزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ.

'Jika ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya meminang puteri kalian, maka nikahkanlah ia (dengan puterimu); jika kalian tidak melakukannya, maka fitnah di bumi dan kerusakan yang besar akan terjadi.'"[5]

Syaikh al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi tentang sabda beliau: "Dan kerusakan yang besar”: “Sebab, jika kalian tidak menikahkannya kecuali dengan orang yang berharta atau berpangkat, mungkin kebanyakan wanita-wanita masih tetap tidak bersuami atau kebanyakan pria kalian tidak beristeri. Akibatnya, fitnah zina akan merajalela. Jika seseorang hendak menikahkan puterinya, maka dia harus memperhatikan empat perkara, menurut pendapat jumhur, hendaklah ia memperhatikan agama, nasab, dan perbuatannya. Jangan menikahkan wanita muslimah dengan pria kafir atau wanita shalihah dengan pria fasik, dan jangan pula wanita merdeka dengan pria hamba sahaya. Jika wanita tersebut atau walinya ridha meskipun tidak sekufu’ (sederajat), maka pernikahannya sah.”[6]

Di antara hal yang patut disebutkan di sini ialah kisah pernikahan ayah dari Imam al-‘Azhim ‘Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah yang diberkahi. Ia adalah orang Turki dan hamba sahaya milik seorang pedagang Khawarizmi dari Hamdzan dari Bani Hanzhalah. Ia seorang yang bertakwa lagi shalih, banyak menghabiskan waktu untuk beribadah, suka berkhalwat (menyendiri dalam rangka beribadah) dan sangat wara’. Di antara kisahnya bahwa dia sedang bekerja di kebun tuannya, dan bermukim di sana selama beberapa waktu lamanya. Kemudian tuannya, pemilik kebun ini, suatu hari datang kepadanya. Ia mengatakan kepadanya: "Aku ingin buah delima yang manis." Ia pun pergi ke sebuah pohon dan menghidangkan beberapa buah delima kepadanya. Setelah membelahnya dan merasakannya asam, ia marah kepadanya seraya mengatakan: "Aku meminta yang manis, tapi kenapa engkau menghidangkan yang asam? Ambilkan yang manis." Ia pun pergi dan memetik dari pohon yang lain. Ketika tuannya membelahnya dan masih juga merasakannya asam, maka dia semakin marah kepadanya. Ia melakukan hal itu ketiga kalinya, lalu dia mencicipinya, dan masih juga merasakannya asam, maka dia bertanya kepadanya sesudah itu: "Apakah Engkau tidak bisa membedakan antara yang manis dan yang asam?" Ia menjawab: "Tidak." Dia bertanya: "Mengapa demikian?" Ia menjawab: "Karena aku tidak pernah makan darinya sedikitpun sehingga aku mengetahui." Dia bertanya: "Mengapa engkau tidak memakannya?" Ia menjawab: "Karena engkau tidak mengizinkanku untuk memakannya." Mendengar hal ini, pemilik kebun ini heran. Dia mengorek kebenaran hal itu, ternyata dia benar, sehingga ia menjadi mulia di matanya dan kemuliaannya bertambah di sisinya. Dia mempunyai anak gadis yang sering dilamar orang lain; maka dia bertanya kepadanya: "Wahai Mubarak, menurutmu kepada siapa wanita ini dinikahkan?" Ia menjawab: "Kaum Jahiliyyah menikahkan karena kedudukan, kaum Yahudi menikahkan karena harta, kaum Nasrani menikahkan karena ketampanan/kecantikan, dan umat ini menikahkan karena agama." Akalnya begitu mengagumkannya. Dia pun pergi lalu mengabarkannya kepada isterinya dan mengatakan kepadanya: "Aku tidak melihat seorang (calon) suami yang lebih tepat untuk puteriku ini selain Mubarak." Akhirnya dia menikahkan puterinya dengan Mubarak sehingga lahirlah ‘Abdullah bin al-Mubarak. Sempurnalah keberkahan ayahnya, dan Allah menumbuhkannya sebagai ‘tumbuhan’ yang baik.[7]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]


Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Mahar


Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Mahar adalah apa yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

HUKUM KEBERADAANNYA.

Pertama:
Larangan Bermahal-mahal dalam Mahar.
Terdapat larangan bermahal-mahal dalam mahar dalam sejumlah hadits, kita sebutkan di antaranya:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hadrad al-Aslami bahwa dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa tentang wanita, maka beliau bertanya: "Berapa engkau memberi mahar kepadanya?" Ia menjawab: "Dua ratus dirham." Beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُمْ تَغْرِفُوْنَ مِنْ بَطْحَاءَ مَا زِدْتُمْ.

"Seandainya kalian mengambil dari Bathha', niscaya kalian tidak menambah."[1]

2. Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ مِنْ يَمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ صَدَاقُهَا وَتَيْسِيْرُ رَحِمُهَا.

"Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya."[2]

‘Urwah berkata: “Yaitu, memudahkan rahimnya untuk melahirkan.”

3. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ.

'Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.'"[3]

Dalam riwayat Ahmad:

إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَْسَرُهُ مُؤْنَةً.

"Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya."[4]

Di antara contoh yang harus kita ikuti dalam masalah meringankan mahar dan tidak bermahal-mahal di dalamnya ialah sebagai berikut.

Kedua:
Menikahkan Dengan Bacaan Al-Qur-an Dan Tanpa Mahar (Harta).
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, "Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu mengatakan: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' (Dalam riwayat Malik: “Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: 'Dia telah menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?' Beliau bertanya, 'Apakah engkau mempunyai sesuatu?' Ia menjawab: 'Tidak.' Beliau bersabda: 'Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!' Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: 'Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.' Beliau bertanya: 'Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur-an?' Ia menjawab: 'Aku hafal ini dan itu.' Beliau bersabda: 'Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.'"[5]

Ketiga:
Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam Merekomendasikan Pernikahan Dengan Mahar Emas Seberat Biji.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat keceriaan pengantin (padanya) lalu bertanya kepadanya, maka dia menjawab: "Aku menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji (emas)."[6] Dalam riwayat lain bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menikah dengan mahar seberat biji emas.

Keempat:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam Mengajarkan Kepada Kita Kemudahan Dalam Mahar Agar Kita Meneladaninya.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, "Ketika ‘Ali menikah dengan Fathimah Radhiyallahu anhuma dan hendak menggaulinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Berikanlah sesuatu kepadanya.' Ia mengatakan, 'Aku tidak mempunyai sesuatu.' Beliau bertanya, 'Di mana baju besimu (دِرْعُكَ)?' Lalu ia memberikan baju besinya kepada Fathimah, kemudian menggaulinya.'"[7]

Ad-dir’u adalah baju yang dipakai oleh orang yang berperang untuk melindungi diri dari berbagai bahaya.

Kelima:
Kisah Seorang Wanita Yang Memberitahu Kaum Pria Dan Wanita Supaya Bersikap Toleran Dalam Mahar.
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari Tsabit, dari Anas, ia mengatakan, "Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, maka ia mengatakan, 'Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah seorang kafir, sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikah denganmu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku tidak meminta selainnya.' Lalu Abu Thalhah masuk Islam, dan itulah maharnya."

Tsabit berkata: "Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim, yaitu Islam. Lalu Abu Thalhah menggaulinya, dan dia melahirkan anak untuknya."[8]

Keenam:
Mahar Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, "Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah 10 auqiyah (ons) perak,' sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 dirham."[9]

Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَعْطَى فِيْ صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيْقًا أَوْ تَمْرًا فَقَدِ اسْتَحَلَّ.

"Barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya."[10]

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, 'Aku menikah dengan seorang wanita dari Anshar.' Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: 'Apakah engkau telah melihatnya; sebab ada sesuatu di mata orang Anshar?' Ia menjawab, 'Aku telah melihatnya.' Beliau bertanya: 'Dengan mahar berapa engkau menikahinya?' Ia menjawab: 'Sebanyak 4 auqiyah.' Mendengar hal itu, beliau bersabda (keheranan): 'Sebanyak empat auqiyah! Seolah-olah menggali perak dari besarnya gunung ini. Kami tidak mempunyai sesuatu yang dapat kami berikan kepada kalian. Tetapi semoga saja kami akan mengutusmu dalam suatu delegasi di mana engkau akan mendapat-kan darinya.' Lalu beliau mengutus suatu delegasi kepada Bani ‘Abs, dan beliau mengutus orang ini di antara mereka."[11]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Artinya, larangan memperbanyak mahar ini bertalian dengan keadaan suami."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Seseorang dimakruhkan memberi mahar kepada wanita dengan suatu mahar yang menyulitkan dirinya sendiri jika ia membayarkannya kontan, dan ia tidak mampu untuk melunasinya jika sebagai hutang."[12]

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Yakni, mahar dari suaminya berupa sepasang sandal yang dipakainya di kedua kakinya. Sepertinya suaminya adalah tukang sepatu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sandal?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya.[13]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperoleh para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anaknya. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: ‘Wanita yang paling besar keberkahannya ialah yang paling ringan maharnya.’ Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‘Sebaik-baik mereka (wanita) ialah yang paling mudah maharnya.’ Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Nikahkanlah kaum wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar." ‘Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: ‘Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak.’ At-Tirmidzi menilainya sebagai hadits shahih.”[14]

Ketujuh:
Sebagian Mahar Beliau Shallallahu ‘Alaiahi Wa Sallam Kepada Isteri-Isterinya (Ummahatul Mukminin).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bagaimana mahar para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab, 'Mahar beliau untuk isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy Tahukah engkau apakah nasy itu?' Aku menjawab, 'Tidak.' Ia mengatakan, 'Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham. Itulah mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk isteri-isterinya.'"[15]

Kedelapan:
Khutbah ‘Umar bin al-Khaththab Tentang Mahar.
Tatkala Khalifah ar-Rasyid ‘Umar bin al-Khaththab diangkat sebagai khalifah untuk mengurus berbagai urusan kaum muslimiin dan beliau mengetahui sebagian orang bermahal-mahal dalam mahar, maka beliau menaiki mimbar pada suatu hari untuk memberikan khutbah di hadapan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khutbah yang sangat mendalam: "Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling berhak melakukannya di antara kalian adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak pula seorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah -yakni 500 dirham-. Seorang pria membayar mahal mahar seorang wanita sehingga dia memusuhinya dalam hatinya, dan hingga dia mengatakan: ‘Aku terbebani peluh girbah[16] untuk mendapatkanmu."[17] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu, berupa rasa penat dan berat, sehingga berpeluh seperti peluh girbah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Apa yang dilakukan sebagian orang yang tidak ramah, sombong dan riya' berupa memperbanyak mahar untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, keluar dari syari’at."[18]

Di sini kami kemukakan pernyataan Syaikh ash-Shabuni: “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan: ‘Jika datang kepada kalian orang yang mempunyai jutaan pound, orang yang memiliki gedung dan mobil, atau putera fulan, dan fulan.’ Tapi beliau menyatakan: ‘Siapa yang engkau ridhai agama dan akhlaknya.’ Agama dan akhlak adalah prinsip dan landasan dalam perkara pernikahan. Sedangkan harta adalah persoalan kedua yang tidak mempunya pengaruh dalam kebahagiaan rumah tangga.

Sebagaimana perkataan penya’ir:
‘Aku tidak melihat kebahagiaan karena mengumpulkan harta
Tetapi ketakwaan itulah kebahagiaan sejati.’”[19]

Kesembilan:
Dianjurkan Bersegera Menyerahkan Mahar.
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku tidak memasukkan isteri kepada suaminya sebelum dia memberikan sesuatu kepadanya."[20]

Menurut ulama, perintah ini adalah untuk anjuran.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun yang dinukil dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar yang banyak, maka tidaklah mengapa."[21]

Kesepuluh:
Mahar adalah Hak Isteri Yang Tidak Boleh Diambil.
Syari’at yang bijak ini berkeinginan memelihara hak wanita dalam kepemilikan mahar tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam siapa yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوْبِ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، فَلَمَّا قَضَـى حَـاجَتَهُ مِنْهَا طَلَّقَهَا، وَذَهَبَ بِمَهْرِهَـا، وَرَجُلٌ يَسْتَعْمِلَ رَجُلاً فَذَهَبَ بِأُجْرَتِهِ، وَآخَرَ يَقْتُلُ دَابَّةً عَبَثًا.

"Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang yang menikahi wanita lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya, orang yang mempekerjakan seseorang lalu pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia."[22]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [An-Nisaa’/4: 4].

Yakni, pemberian dari Allah sebagai permulaan.

An-nihlah ialah pemberian dengan kerelaan hati.

Dia berfirman:

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka dengan patut.” [An-Nisaa’/4: 25]

فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

“Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’/4: 24].

Mahar adalah pemberian yang dilindungi yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada wanita; bukan sebagai imbalan sesuatu yang wajib dia berikan, kecuali memenuhi hak-hak suami isteri, sebagaimana halnya dia tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah akad.[23]

Seandainya seorang pria telah menjalin akad dengan wanita kemudian ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad sebelum menyetubuhinya, maka wanita tidak mendapatkan apa-apa jika si pria membatalkan akad. Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi dan ia hendak membatalkan akad, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini mempunyai hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua isteri atau walinya; jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di sisi Allah itulah yang lebih baik dan lebih kekal pada hari yang tiada ber-manfaat harta dan anak-anak, sebagaimana penjelasannya akan di-sebutkan dalam bab “Aib pada Wanita yang Dinikahi”.

Di sini muncul pertanyaan: Apakah seseorang boleh menikah dengan mahar puteri atau saudara perempuannya?

Jawaban: Mahar puteri atau saudara perempuannya adalah salah satu hak wanita tersebut dan salah satu bagian yang dimilikinya. Jika dia menghibahkannya kepadanya atau sebagian darinya dengan kesadaran, maka hal itu secara syari’at dibolehkan. Jika dia tidak menghibahkan kepadanya, maka tidak boleh ia mengambilnya atau mengambil sesuatu darinya karena mahar menjadi hak prerogatifnya. Bagi ayah wanita ini secara khusus bisa memiliki apa yang tidak merugikannya, dan tidak mengkhususkannya kepada sebagian anak-anaknya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.

"Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari usaha kalian."[24]
Dalam sebuah riwayat an-Nasa-i:

إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوْا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ.

"Sesungguhnya anak-anak kalian adalah salah satu usaha kalian yang terbaik, maka makanlah dari usaha anak-anak kalian."[25]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]



Nikah Tidak Sah Kecuali Dengan Keberadaan Wali



Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dan itu termasuk salah satu haknya selagi syari’at mengakui keridhaannya. Tetapi yang patut untuk diketahui bahwa disamping wanita mempunyai hak untuk menerima suami yang diridhainya, hak ini terikat dengan izin walinya. Sebab, nikah tidak sah kecuali dengan keberadaan wali. Wanita tidak mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selainnya, dan tidak boleh pula mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika dia melakukannya, maka pernikahannya tidak sah. Terdapat banyak dalil tentang hukum ini.[2]

Pertama:
Ayat-Ayat yang Menunjukkan Larangan Menikahkan Wanita Tanpa Wali.

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” [Al-Baqarah/2: 232]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا

“... Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah), sebelum mereka beriman...” [ Al-Baqarah/2: 221]

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” [An-Nuur/24: 32]

4. Dan ucapan laki-laki tua kepada Musa Alaihissallam:

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini." [Al-Qashash/28: 27]

Kedua:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Perwalian.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Aku mempunyai saudara perempuan yang dipinang kepadaku, tetapi aku menghalanginya dari orang-orang. Kemudian sepupuku datang kepadaku, maka aku menikahkan saudaraku dengannya. Kemudian keduanya menjadi suami isteri hingga waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian dia mentalaknya dengan talak raj’i, kemudian meninggalkannya hingga ‘iddahnya berakhir. Ketika dia dipinang kepadaku, dia datang lagi kepadaku untuk meminangnya bersama orang-orang lain yang meminang, maka aku katakan kepadanya, 'Ia dipinang kepadaku tetapi aku menolak pinangan orang-orang kepadanya, dan aku mendahulukanmu untuk menyuntingnya lalu aku menikahkan kalian berdua. Kemudian engkau mentalaknya dengan talak raj’i, kemudian meninggalkannya hingga ‘iddahnya berakhir. Ketika dia dipinang kepadaku, engkau datang kepadaku untuk meminangnya bersama orang-orang yang meminang. Demi Allah, aku tidak akan menikahkanmu dengannya selamanya.' Lalu, berkenaan dengan diriku turunlah ayat ini:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ

‘Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,’ dan ayat seterusnya. [Al-Baqarah/2: 232]

Kemudian aku membayar kaffarat karena sumpahku, dan aku menikahkan saudaraku dengannya."[3]

Makna al-‘adhl (dalam ayat di atas) ialah menolak untuk menikahkan wanita dengan orang yang sekufu’ dengannya jika dia memintanya, dan masing-masing dari keduanya menginginkan pasangannya.[4]

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali."[5]

Dalam lafazh lain:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali."[6]

Dan dalam lafazh lain:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.

"Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil."[7]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan bahwa pernikahan itu tidak sah kecuali dengan keberadaan wali, karena prinsip dalam penafian ialah menafikan keabsahan, bukan kesem-purnaan."[8]

3. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.

"Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali."[9]

4. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا.

"Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri."[10]

5. Dari ‘Urwah bin az-Zubair, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya: "Pernikahan pada masa Jahiliyyah ada empat macam. Di antaranya seperti pernikahan manusia pada zaman ini; seorang lelaki meminang kepada lelaki lain wanita yang berada di bawah perwaliannya atau puterinya, lalu memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya…" hingga pernyataannya: "Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa kebenaran, beliau menghancurkan semua pernikahan Jahiliyyah, kecuali bentuk pernikahan pada saat ini."[11]

Hadits ini berisi hujjah atas disyaratkannya wali, dengan pernyataannya: "Seorang lelaki meminang kepada lelaki lain wanita yang berada di bawah perwaliannya."

Ketiga:
Pendapat-Pendapat Para Ulama.
1. As-Suyuthi rahimahullah berkata: "Pernyataan: ‘Laa Nikaaha illaa bi-waliyyin’, difahami oleh jumhur sebagai penafian keabsahan."[12]

2. At-Tirmidzi rahimahullah berkata: "Demikian pula diriwayatkan dari sebagian ahli fiqih Tabi’in, mereka menyatakan bahwa nikah tidak sah kecuali dengan wali. Di antara mereka ialah Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha'i, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan selainnya."[13]

3. Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ

'Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis (masa) ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…' [Al-Baqarah/2: 232]

Ini merupakan ayat al-Qur-an yang paling jelas bahwa wali mempunyai hak di samping wanita ini (juga) mempunyai hak kepada dirinya sendiri, dan wali tidak boleh menghalanginya jika ingin menikah dengan cara yang ma’ruf."[14]

4. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi rahimahullah berkata, ketika menafsirkan ayat di atas: "Ini adalah dalil qath’i (pasti) bahwa wanita tidak mempunyai hak untuk melangsungkan pernikahan. Ini hanyalah hak wali. Seandainya bukan karena itu, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang wali menghalangi pernikahannya. Kemudian disebutkan sebab turunnya ayat. Sekiranya Ma’qil tidak mempunyai hak, niscaya Allah berkata kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Ma’qil tidak berhak berbicara.'"[15]

5. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Dalam hadits Ma’qil bahwa jika wali menghalangi, maka penguasa tidak menikahkannya kecuali setelah ia menyuruh wali supaya menarik penolakannya. Jika dia memenuhinya, maka itu adalah haknya, dan jika tetap menolak, maka hakimlah yang menikahkannya. Wallaahu a’lam."[16]

6. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan. Dan dalil yang paling kuat adalah ayat yang disebutkan di atas tentang sebab turunnya ayat tersebut, dan ini adalah dalil yang paling tegas atas perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri, niscaya dia tidak butuh kepada saudara laki-lakinya. Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak diketahui dari seorang Sahabat pun yang menyelisihi hal itu."

7. Yang mulia al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah menyebutkan suatu bentuk penolakan yang didasarkan atas fanatisme (terhadap keluarga) dengan pernyataannya: "Di antara permasalahan yang patut diingkari dalam masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh banyak masyarakat dusun dan sebagian masyarakat kota, yaitu mengikat sepupu dan menghalanginya untuk menikah dengan orang selainnya. Ini adalah kemunkaran yang besar; tradisi Jahiliyyah dan menzhalimi kaum wanita. Karena akan muncul fitnah yang banyak dan keburukan yang besar, berupa permusuhan, terputusnya hubungan kekerabatan, pembunuhan dan selainnya."[17]

8. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selainnya, dan tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.

‘Pernikahan tidak sah kecuali dengan keberadaan wali.’”[18]

9. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, kecuali dengan izin walinya; ayah, saudara laki-laki, kakek atau pamannya."[19]

10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan tentang wali, kemudian mengatakan: "Ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits menunjukkan, dan ini kebiasaan para Sahabat, bahwa yang menikahkan kaum wanita hanyalah kaum pria. Tidak pernah dikenal bahwa seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena itu ‘Aisyah berkata: 'Wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pelacurlah yang menikahkan dirinya sendiri.' Tetapi tidak cukup hanya dengan wali sehingga pernikahan tersebut diumumkan."[20]

11. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seseorang yang masuk Islam: “Apakah dia tetap mempunyai perwalian atas anak-anaknya dari Ahlul Kitab?”

Beliau menjawab: Ia tidak mempunyai perwalian atas mereka dalam pernikahan, sebagaimana dia tidak mempunyai perwalian atas mereka dalam masalah warisan. Ia tidak boleh menikahkan seorang muslim dengan wanita kafir, baik itu puterinya maupun selainnya. Orang kafir tidak mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Ini adalah mazhab imam yang empat dan para Sahabat mereka dari kalangan Salaf dan Khalaf."[21]

Kepada para penyeru modernisasi dan kemajuan yang mereka tidak mengetahui (apa yang mereka lakukan) dalam modernisasi dan kemajuan kecuali menyelisihi syari’at Allah, dan seakan-akan modernisasi tidak bisa berdiri kecuali di atas kemaksiatan dan memerangi Allah dan Rasul-Nya! Inilah 16 (lebih) argumen dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits yang shahih serta pernyataan para ulama mengenai tidak bolehnya wanita menikah tanpa adanya wali. Apakah kita akan mengatakan: “Kami dengar dan kami patuh,” ataukah kita mengatakan: “Kami dengar dan kami langgar?”

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]



Memahami Takdir Allâh Subhanahu wa Ta’ala Menurut Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A


Iman kepada takdir dan ketentuan Allâh Azza wa Jalla bagi semua makhluk-Nya termasuk bagian dari prinsip dasar agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad n . Oleh karenanya, keimanan seorang hamba tidak akan menjadi benar di sisi Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah memahami dan meyakini masalah ini dengan benar [1].

Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya [2].

Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]

DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].

Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allâh Azza wa Jalla yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia Azza wa Jalla menciptakannya. Maka, tidak ada sesuatu pun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allâh Azza wa Jalla telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[7], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[8] .

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allâh, yang berarti bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya.”[9]

Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum. Adapun dalam syariat, pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, kecuali jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat secara bersamaan maka masing-masing mempunyai arti tersendiri [10] .

Ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “al-Qadar adalah apa yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan secara azali (terdahulu) yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadhâ’ adalah ketetapan Allâh Azza wa Jalla pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Ini berarti takdir Allâh Azza wa Jalla mendahului (al-qadhâ).”[11]

DALIL-DALIL PENETAPAN TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Dasar-dasar penetapan takdir terdapat dalam al-Qur`ân dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Para Imam Ahli Sunnah memegangi ayat yang mulia ini sebagai dasar (wajibnya) menetapkan takdir Allâh Azza wa Jalla yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, dan Dia telah menuliskannya (dalam Lauhul Mahfûzh) sebelum menciptakannya.”[12]

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

"Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadiid/57:22]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”[13]

4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allâh telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka.” Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan) ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca :

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ ﴿١٠

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan) [al-Lail/92:5-10][14]

TINGKATAN-TINGKATAN IMAN KEPADA TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA [15]
Syaikh Muhammad bin ShâlIh al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara :

1. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara global maupun terperinci dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya, "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allâh [al-Hajj/22:70]

2. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla menulis semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu dalam Lauhul Mahfûzh, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, "Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadîd/57:22]

Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Allâh telah menuliskan atau menetapkan ketentuan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”[16]

3. Mengimani bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan kehendak Allâh yang bersumber dari kasih-sayang maupun hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla tidak pantas ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan sifat hikmah dan kekuasaan-Nya. Manusialah yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka. Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam Lauhul Mahfûzh. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

4. Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk Allâh Azza wa Jalla , tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya [al-Furqân/25:2].

Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim Alaihssallam, yang artinya, "Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu [ash-Shâffât/37:96]”[17]

PEMBAGIAN TAKDIR ALLAH
Takdir Allâh Azza wa Jalla ada dua macam :
Pertama : Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk yang tertulis dalam Lauhul Mahfûzh. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat tiba. Dasarnya riwayat dalam Sunan Abu Dawud rahimahullah dari ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, '(Makhluk) yang Allâh ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena). Kemudian Allâh berfirman kepadanya, “Tulislah!” . Maka dia bertanya, "Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis?" Allâh berfirman, “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari Kiamat.”[18]

Kedua : Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum. Ini terbagi menjadi 3 macam takdir :

1. Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu [19] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, celaka atau bahagia.

2. Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala) pada saat lailatul qadr tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿٣﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[20] ) yang muhkam (tidak bisa berubah) [ad-Dukhân/44:3-4].

3. Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[21] . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya) [ar-Rahmaan/55:29][22]

MENGINGKARI TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA SAMA DENGAN BERBURUK SANGKA KEPADA-NYA
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allâh seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata, "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?" Katakanlah, “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah.” [Ali ‘Imrân/3:154]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” dalam ayat ini, beliau berkata, “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allâh (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allâh akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengunggulkannya di atas agama-agama lainnya.

Inilah persangkaan buruk kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya, yang artinya, "Dan supaya Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allâh memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali” [al-Fath/48:6]

Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena ini merupakan prasangka yang tidak cocok bagi nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan

Termasuk berprasangka buruk kepada-Nya, orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah k berfirman), yang artinya, "Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” [Shâd/38:27].”[23]

Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memeperlakukan hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi :

أَنَا عِنْدَ ظَنِّّ عَبْدِي بِي

Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku [24] .

Makna hadits ini yaitu Allâh akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut.[25]

PENGERTIAN TAKDIR YANG BURUK ?
Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir buruk dari Allâh Azza wa Jalla, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.”[26]

Juga dalam doa qunut saat shalat Witir, yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan.”[27]

Apakah arti takdir-Nya yang buruk ? Apakah ada perbuatan Allâh yang buruk? Bukankah Allâh Azza wa Jalla Maha Indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta Maha Suci dari semua bentuk keburukan ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa iftitah, “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[28]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[29] dengan mengatakan, “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allâh (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdîr (perbuatan Allâh yang menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…

Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allâh yang menakdirkan maka tidak ada keburukan (sedikitpun padanya) bahkan semuanya adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan menyakitkan. Adapun kalau ditinjau dari al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.

Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [ar-Rûm/30:41].

Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan hikmahnya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuan bencana tersebut adalah supaya mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allâh menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.

Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allâh Azza wa Jalla turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna.”[30]

FAIDAH DAN MANFAAT MENGIMANI TAKDIR-NYA[31]
1. Iman kepada takdir-Nya adalah penyempurna keimanan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh Azza wa Jalla termasuk rukun iman.

2. Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

3. Mendatangkan ketenangan dan kelapangan jiwa serta tidak gelisah dalam menghadapi kesulitan di dunia ini, karena semuanya terjadi dengan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan tidak mungkin dihindari.

4. Meringankan beban saat tertimpa musibah, sehingga mudah baginya untuk bersabar dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” [at-Taghâbun/64:11].

Imam Ibnu Katsir t mengatakan, "Maknanya, seseorang yang ditimpa musibah dan dia yakin musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Azza wa Jalla ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh tersebut, maka Allâh akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya"[32] .

5. Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allâh Azza wa Jalla [33] .

6. Menyadarkan seseorang terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan kebaikan.

7. Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui kesempurnaan hikmah Allâh Azza wa Jalla.

8. Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

9. Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.

10. Merasa kaya/berkecukupan dalam hati. Inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "…Ridhalah (terimalah) bagian yang Allâh tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[34] .

PENUTUP
Demikianlah, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia dalam agama-Nya, dengan rahmat dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Baik Dan Halal, Adalah Syarat Diterimanya Doa

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى : (( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا )) وَقَالَ تَعَالَى : ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda: "Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman, ’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan’ –al-Mu'minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik yang Kami berikan kepada kamu’ –al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”

TAKHRÎJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 1015.
2. Ahmad, II/328.
3. At-Tirmidzi, no. 2989.
4. Ad-Dârimi, II/300.
5. Al-Baihaqi, III/346.
6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.

SYARAH HADITS
1. MENSUCIKAN ALLAH TA'ALA DARI SEGALA KEKURANGAN.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensucikan diri-Nya dari segala kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari memiliki isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا ﴿٩١﴾ وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا ﴿٩٢

"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak". [Maryam/19:88-92]

Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah Ta’âla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ

"Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… . [an-Nisâ`/4:40]

Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ (sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik) ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]

2. MAKNA “HAL-HAL YANG BAIK”.
Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik ….” [2]

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.

Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits, “Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas, maksudnya ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal. Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan, perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.

Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ

"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100]

Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk, seperti firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya (menjulang) ke langit." [Ibrâhîm/14:24]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk. Allah Ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka…"[al-A’râf/7:157]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang yang baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ طَيِّبِينَ

"(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik… "[an-Nahl/16:32].

Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga terlihat pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa Jalla.[3]

3. MEMAKAN YANG HALAL.
Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal. Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah Ta’âla berfirman:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

"Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…" [al-Mu`minûn/23: 51]

Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa diterima?

Setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang doa. Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah haram.

4. TIDAK DITERIMA MEMPUNYAI DUA MAKNA.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits yang serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan tidak diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu karena pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau rukun dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla . Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan seperti yang dipahami oleh para ulama.

Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran, namun amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

"Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam". [4]

2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

"Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu" [5]

Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik), ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan, pujian, dan sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari segi diterimanya shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa diterima, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)."[6]

Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman Allah Ta’ala:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

"… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa". [al-Mâ`idah/5:27).

Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf. Mereka khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut jika amal mereka tidak diterima.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab: “Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”. [7]

Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang dengannya amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla , (2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena Allah, (4) beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal. Jika salah satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik. Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak mengenal kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran, dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna”.[8]

Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)." [9]

Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- melainkan sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha Pengasih dengan tangan kanan-Nya …”. [10]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.

"Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi miliknya. " [11]

Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka Jahannam dengannya”.[12]

Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[13]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang orang yang beramal. Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu 'Abbâs menjawab: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[14]

Ibnu Mas’ûd juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”. [15]

Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk:

Pertama : Pencuri, Pengkhianat, Perampas, Perampok, Koruptor, dan selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri.
Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta (orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala, karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat sejumlah ulama, di antaranya Ibnu 'Aqîl – dari Hanabilah-.

Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya kepada Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang tercecer, apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin al-Musayyib menjawab: “Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”. Bisa jadi, yang dimaksud Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang tersebut sebelum mengumumkannya.

Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir meminta Ibnu ‘Umar bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits untuk ‘Abdullah bin ‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari ghulûl (pencurian harta rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah itu, Ibnu ‘Umar berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah Gubernur Basrah”. [17]

Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimaullah dan Wahib bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi) terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya, masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai, harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl untuk kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.

Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli warisnya tidak diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan digunakan untuk kemashlahatan umum atau sedekah.

Kedua : Penggunaan Perampas Terhadap Harta Yang Dirampasnya.
Jika ia menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik, Abu Hanîfah, Ahmad dan selain mereka.

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan perang dan bersedekah dengan sisanya.[18]

Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa seseorang harus bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Para ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan luqathah (barang temuan) setelah diumumkan kepada khalayak dan pemiliknya tidak bisa diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.

Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin terbebas darinya. ‘Atha' bin Abi Rabâh berkata: “Ia menyedekahkannya namun aku tidak berkata itu sah baginya”.

Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha' bin Abi Rabâh tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.

Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah berkata: “Ia bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdullah bin Yaziid al-Anshâri.

Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga pemiliknya diketahui.

Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya, al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia harus merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya. Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan harta yang halal”.

Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan harta haram, namun sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[19]

5. SEBAB-SEBAB DIKABULKANNYA DO'A
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu “kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, 'Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,' padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana doanya dikabulkan?”

Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan, dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan. Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:

a. Lama bepergian.
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.

"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk anaknya." [20]

Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.

Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang membuat doa dikabulkan.

b. Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang masyhur, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:

رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.

"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya" [21]

Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar rumah untuk mengerjakan shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh, tawadhu`, dan merendahkan diri.[22]

Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin ‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk keponakanku”.[23]

c. Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila seseorang menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa." [24]

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik[25], Jâbir[26], dan selain keduanya.

Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
• Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

• Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah [27]. Salah seorang generasi salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap merendahkan diri.”

• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[28]

• Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam menghadap ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah seorang dari generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung diri kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa jika beliau berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menengadahkan kedua tangan seperti itu.[29]

• Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika beliau berada di atas mimbar.[30]

• Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.[31] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada Perang Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau.[32]

d. Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.

Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan hujan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi… Rabbi...’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuk ke langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan tersebut diberhentikan dari mereka”. [33]

Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”

Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya berkata: “Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku)”.

Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah, ia berkata: “Tidaklah seorang hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî’ hingga tiga kali melainkan Allah melihatnya”.[34].

Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.

Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata "Rabb", misalnya firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka”. [Al-Baqarah/2:201].

Atau firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” [Al-Baqarah/2:286]

Juga firman-Nya:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. [Ali ‘Imrân/3:8]

Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.

Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram, baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu 'Abbaas, dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqaash: “Wahai Sa’ad, (Kondisikan agar makananmu baik, Athib Math'amak, ashim) hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan bahwa makan sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada orang lain merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.

'Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam”.

Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut hendak keluar”.

Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang baik (halal)”.

Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata: “Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata: “Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit, karena makanannya haram”.[35]

6. SEBAB-SEBAB DOA TIDAK DIKABULKAN
Sabda Nabi فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya dikabulkan?), maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa secara umum.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul, misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul.[36]

Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih yang mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah dengannya kemudian doa mereka dikabulkan.[37]

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[38]

Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata: “Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya...” [Fâthir/35:10].[39]

‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Dengan sikap wara` (meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima doa dan tasbih”.[40]

FAWÂID HADITS
1. Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
2. Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
3. Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di dalamnya tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik. Demikian pula bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah karena sedekah itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta yang haram pada dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu tidak baik.
4. Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
5. Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan perintah dan larangan.
6. Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan yang halal dan baik.
7. Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya.
8. Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk oleh syari’at.
9. Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab yang membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab dikabulkannya doa.
10. Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
11. Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
12. Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
13. Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat Rububiyyah Allah Ta’ala.
14. Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu sebagai sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Sumber: :  http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment