Wednesday, August 28, 2013

BAHAYA MENGGUNJING



BAHAYA MENGGUNJING

Oleh
Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid



Kami berwasiat kepada diri saya sendiri, dan juga kepada kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya. Dan barangsiapa yang takut kepada manusia, maka sesungguhnya, manusia tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun di hadapan Allah Azza wa Jalla . Kita juga harus menyadari, bahwa tidak ada yang bisa mendapatkan rahmat kecuali orang-orang yang bertakwa. Tidaklah mendapatkan pahala, kecuali orang-orang yang berada di atas ketakwaan.

Nasihat untuk bertakwa ini sangatlah banyak. Akan tetapi, betapa disesalkan, karena yang melaksanakannya ternyata sangat sedikit. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajak bicara akal, hati, perasaan dan jiwa, akhlak dan pendidikan. Agama yang mulia ini menggariskan adanya peraturan-peraturan agar seorang muslim dapat memiliki hati yang selamat, perasaan yang bersih, menjaga kehormatan lisan, dan menjaga rahasia pribadinya, serta dapat berakhlak mulia terhadap Rabb-nya, dirinya dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. [al Hujurat/49 : 12].

Pesan al Qur`an ini, merupakan jawaban atas fenomena yang kita lihat saat ini. Yakni, agar kita terhindar dari perbuatan ghibah (menggunjing), mencari-cari kesalahan orang lain. Karena menggunjing ini dapat menyebabkan terlanggarnya kehormatan, keselamatan hati dan ketenangan di masyarakat. Perbuatan menggunjing, merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan, merusak agama para pelakunya, baik sebagai pelaku ataupun orang yang rela ketika mendengarkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al Qur`an :

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al Hujurat/49 : 12].

Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah, yang semuanya disebutkan al Qur`an. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan.

Apabila yang Anda sebutkan tentang saudara Anda itu ada padanya, maka inilah ghibah. Apabila Anda menyampaikan semua yang Anda dengar, maka ini adalah ifku. Dan apabila yang Anda sebutkan tidak ada pada diri saudaramu, maka ini adalah buhtan.

Ghibah (menggunjing) adalah, setiap yang dapat dipahami dengan maksud penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini, juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi fisik, akhlak, harta dan keturunannya. Barangsiapa yang mencela ciptaan Allah, berarti ia telah mencela penciptanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.

Tentang bahaya menggunjing ini, al Hasan berkata : “Ghibah, demi Allah, lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh mayit”.

Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai ahlul haq dan ahlul iman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing), sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah Ta’ala mengingatkan :

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? [al Hujarat/49 : 12].

Seburuk-buruk ghibah, yaitu menggunjing para pemimpin, para ulama, orang-orang berkedudukan, orang-orang shalih, dan orang yang mengajak berbuat adil. Pelaku ghibah ini telah mencabik-cabik kehormatan orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan. Pelaku ghibah ini juga merendahkan kedudukan mereka, menghilangkan kewibawaan mereka, menghilangkan kepercayaan terhadap mereka, mencela perbuatan dan usaha mereka, dan meragukan kemampuan mereka.

Bayangkan, tidak disebut seorang yang mulia di hadapannya, kecuali direndahkannya. Tidaklah muncul seorang yang mulia, kecuali dicelanya. Tidak pula orang shalih, kecuali dia akan menuduhnya. Pelaku ghibah ini, senang menuduh orang-orang terpercaya, menggunjing orang-orang shalih. Pelaku ghibah menanamkan permusuhan dan membingungkan orang-orang kebanyakan, memutuskan silaturahmi dan memecah persatuan.

Allahu Akbar! Apakah seorang muslim layak bersikap demikian kepada saudaranya?

Wahai pelaku ghibah! Setiap orang pasti dicintai dan dibenci, diridhai dan dimarahi, disukai dan dimusuhi.

Orang yang berakal, dalam mencintai kekasihnya, ia tidak akan berbuat secara berlebihan; sebab, mungkin suatu hari orang yang dikasihinya tersebut akan dibencinya. Sebaliknya, manakala seorang muslim harus membenci, maka dia pun bersikap sewajarnya; sebab, mungkin suatu hari orang yang dibencinya akan menjadi kekasihnya. Oleh karena itu, jadilah orang yang selalu menegakkan kebenaran dan bersikap adil. Jangan sampai ketidak-sukaan membuatmu bersikap zhalim. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. [al Maidah/5 : 8].

Jika dikatakan kepada Anda : “Fulan telah meggunjingmu, sampai kami merasa kasihan kepadamu”. Maka jawablah dengan perkataan : “Seharusnya, dialah yang seharusnya engkau kasihani”.

Bertakwalah kita kepada Allah. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan diri, tidak berlebihan dalam berbicara. Sungguh beruntung orang yang bisa menguasai lisannya. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari menggunjing orang lain, karena ia mengetahui yang ada pada dirinya. Sungguh beruntung orang yang berpegang dengan petunjuk al Qur`an, kemudian menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, lisan yang jujur, dan ikhlas mencintai saudaranya.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. [al Hasyr/59 : 10].

Kami mengingatkan kembali, hendaklah kita jauhi perbuatan ghibah atau menggunjing orang lain. Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah, ia mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Sehingga orang yang mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa, kecuali jika ia mengingkari dengan lisannya, atau dengan hatinya. Apabila bisa, hendaklah ia tinggalkan majelis atau tempat tersebut, atau memutusnya dengan mengalihkan kepada pembicaraan yang lain. Karena, orang yang diam ketika mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya. Sehingga Ibnu Mubarak mengingatkan: “Pergilah dari orang yang menggunjing, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.

Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kita jangan merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain. Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu! Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغِيبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah, maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka. [1]

وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Barangsiapa yang berkata tentang seorang mu`min yang tidak ada padanya, (maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia keluar dari apa yang dia ucapkan.[2]

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain), hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya.

(Diangkat dari Khuthbah Jum’at Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid, di Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


ZANADIQAH MENYELUSUP LEWAT SYI’AH

Oleh
Ustadz Abu Minhal



Dalam pembahasan mengenai aqidah, tak lepas dengan kata zindiq, terutama saat berbicara tentang kekufuran ataupun aqidah yang menyimpang. Pembicaraan tentang zindiq (jamaknya : zanadiqah) terasa begitu penting, karena berhubungan kuat dengan pemikiran-pemikiran Yunani kuno, Hindu dan Persia. Pengaruh-pengaruh buruknya mencengkeram pada sebagian golongan Islam begitu kental. Selain itu, dalam sejarah Islam, mereka juga merupakan provokator yang mengakibatkan pemberontakan.

Yang juga pantas untuk diwaspadai, kaum orientalis kafir (dan orang-orang yang membebeknya), telah melahirkan berbagai tulisan tentang mereka. Seperti biasanya, isinya sangat kontra dengan Islam. Oleh karena itu, pembelaan terhadap mereka (tokoh-tokoh zindiq) merupakan kandungan utama buku-buku tersebut.

ASAL KATA ZINDIQ
Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, kata zandaqah berasal dari bahasa Persia yang diserap bahasa Arab, setelah kemenangan Islam (atas mereka).[1]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan pula: “Para pengikut Zanadiqah (jamak dari zindiq) adalah para pengikut Daishan, Manni dan Mazdak. Muara aqidah mereka, cahaya dan kegelapan bersifat qadim. Kemudian bercampur jadi satu membentuk alam semesta. Orang yang jelek berasal dari unsur kegelapan dan orang yang baik berasal dari cahaya”[2].

Dalam Islam, kata zindiq dipakai untuk mewakili beberapa makna. Sebagian mengarahkannya kepada kaum Majusi, seperti tercantum pada beberapa kamus Arab, misalnya : Tajul ‘Arus dan Mukhtaru ash Shihah. Atau digunakan untuk menggantikan sebutan orang Dahri, sebagaimana terdapat di dalam Lisanu al ‘Arab (10/147). Sebagian lagi menyebutnya untuk makna orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Ibnul Qayyim rahimahullah menyinggung makna ini dalam Ighatsatu al Lahafan (2/246).

Sementara itu, menurut para fuqaha, zindiq adalah orang munafik.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Adapun kata zindiq yang disebut-sebut oleh para fuqaha, yang diterima taubatnya secara lahiriyah, yang dimaksud adalah orang munafik yang memperlihatkan Islam dan menyembunyikan kekufuran”.[3]

Begitu pula al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Kata zindiq diarahkan kepada orang yang menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan Islam. Sampai-sampai Imam Malik berkata,’Zandaqah merupakan kebiasaan yang ada pada kaum Munafiqin’. Demikian pula yang dikatakan oleh sejumlah ulama Syafi’iyyah dan lainnya, bahwa zindiq adalah orang yang memperlihatkan keislamannya dan menyembunyikan kekufuran”[4].

Generasi Salaf menyematkan kata zindiq kepada orang-orang dari Sekte Jahmiyah, seperti yang dilakukan oleh Imam ‘Utsman bin Sa’id ad Darimi rahimahullah dalam kitab ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, halaman 352 dan kitab ar Raddu ‘alal Bisyr al Mirrisi, halaman 475. Sedangkan Ibnul Jauzi, menggolongkan Zanadiqah sebagai salah satu sekte Jahmiyah dalam Talbisu Iblis, halaman 31. Imam Ahmad bin Hambal menilai golongan Mu’tazilah sebagai Zanadiqah. Sebagamana disebutkan dalam Manaqibu al Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi, hlm. 158, beliau berkata : “Ulama Mu’tazilah Zanadiqah”.

AQIDAH KAUM ZANADIQAH
Secara ringkas, dapat dijelaskan bahwa aqidah mereka menyimpan sekian banyak kekufuran yang sangat jelas dan riddah. Seperti pernyataan mereka tentang hulul, kultus individu, menyerupakan Allah dengan makhlukNya, pengingkaran kenabian Nabi Muhammad, kadang klaim kenabian pada mereka, pengingkaran terhadap hari Kiamat, pengingkaran terhadap Surga dan Neraka, menghalalkan hal-hal yang diharamkan.

Penjelasan secara lengkap dijelaskan di dalam al Farqu Baina al Firaq, karya Abdul Qahir al Baghdadi.

PENGARUH ZANADIQAH
Secara otomatis, lantaran sedemikian buruk aqidah yang mereka diyakini, maka pengaruh buruklah yang muncul atas kaum Muslimin. Mereka menyulut berbagai gejolak politik. Menghancurkan negeri-negeri dan penduduknya, seperti yang dilakukan oleh Qaramithah, Isma’iliyyah dan lain-lain. Sebagian golongan Islam pun telah tersusupi pemikiran Zandaqah, sehingga keluar dari Islam. Misalnya, para penganut Jahmiyah dan Syi’ah yang ekstrem.

Secara khusus, Jahm bin Shafwan sebagai tokoh Jahmiyah telah meninggalkan bekas-bekas kerusakan yang besar pada kaum Muslimin. Kesesatan tokoh ini lantaran terpengaruh dengan firqah Sumaniyah dari India, yang menyatakan tidak adanya Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad di dalam ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, halaman 65-66.

Ibnul Jauzi rahimahullah membeberkan sebagian pentolan Zanadiqah dengan bertutur: “Siapa saja yang menganalisa kondisi Ibnul Rawandi, maka akan menilainya sebagai orang mulhid. Ia telah menulis kitab berjudul ad Damigh (artinya penghancur). Dengan kitab ini, katanya, ia ingin melenyapkan syari’at. Maha Suci Allah, yang akhirnya membinasakannya saat ia masih berusia muda”.

Ibnu Rawandi mengklaim, bahwa al Qur`an mengandung kontradiksi di dalamnya, tidak menunjukkan ketinggian bahasanya. Penilaian seperti ini jelas keliru, sebab bangsa Arab dahulu (pada zaman Nabi) sampai keheranan dibuat berdecak kagum oleh keindahan gaya bahasa yang ada dalam kitab suci ini. Banyak dalil yang menjelaskan tentang keindahan dan ketinggian bahasa al Qur`an.

Tokoh Zanadiqah lainnya yang menunjukkan karakter mulhidnya adalah Abul ‘Ala al Ma’arri. Nampak jelas pada bait-bait syair karangannya yang menggambarkan tentang ilhad. Tokoh ini sangat memusuhi para nabi. Dalam kehidupannya, ia merasa terancam oleh hukuman bunuh, dan akhirnya mati dengan mengusung kerugiannya sendiri. [Lihat Talbisu Iblis, halaman 121-122.]

Perlu diketahui pula, golongan Syi’ah pun mempunyai peranan besar dalam penyebaran pemikiran kaum zindiq ini dan melakukan kerusakan di negeri kaum Muslimin. Kaum Zanadiqah menjadikan orang-orang Syi’ah sebagai kendaraan untuk memuluskan tujuan busuk mereka terhadap kaum Muslimin. Mereka memanfaatkan golongan Syi’ah untuk merealisasikan niat jahat mereka terhadap kaum Muslimin. Syi’ah dijadikannya sebagai kamuflase untuk menutupi jati diri mereka yang penuh kekufuran.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan : “Di antara mereka ada yang memasukkan kerusakan pada agama, yang tidak diketahui efeknya kecuali Allah, Pencipta manusia. Orang-orang mulhid dari kalangan Isma’iliyyah, Nushairiyyah dan sekte kebatinan lainnya serta kaum munafiqin, menyusup melalui mereka. Musuh-musuh kaum Muslimin, baik orang-orang musyrik, Ahli Kitab, melalui mereka dapat mencapai tujuan. Melalui merekalah, kaum kuffar berhasil menguasai daerah-daerah kekuasaan Islam, menawan para wanita muslimah, merampas harta-benda, menumpahkan darah. Sebab pada asalnya, kemunculan Zanadiqah di tangan kaum munafikin yang dihukum oleh Amirul Mukminin Radhiyallahu anhu. Beliau membakar sebagian dari mereka”. [Lihat Minhajus Sunnah (1/10-11)]

Di dalam kitab ar Raddu ‘ala al Jahmiyah, al Imam ad Darimi mengatakan : “Ada seseorang berkata kepada satu orang zindiq –yang telah berinteraksi dan mengetahui arah pemikirannya- ‘Aku tahu kalian tidak akan kembali ke pangkuan agama Islam, dan tidak mengakui kebenarannya. Sebenarnya, apakah yang mendorong kalian untuk menjadi Syi’ah dan mengusung slogan cinta kepada Ali?’.”

Ia menjawab,”Baiklah, aku akan jujur. Apabila kami langsung memperlihatkan pemikiran yang kami yakini, sudah tentu kami akan dituduh dengan kekufuran dan zandaqah. Kami menjumpai segolongan orang yang mengusung slogan cinta kepada Ali dan menampilkannya. Mereka pun mencela siapapun yang mereka kehendaki, dan berkeyakinan dengan apa saja yang mereka inginkan. Mereka pun bebas berkata apapun. Mereka dikenal sebagai Rafidhah dan Syi’ah. Kami kemudian memandang, tidak ada jalan yang lebih mulus dari mengadopsi slogan cinta terhadap lelaki itu (‘Ali). Kami pun bisa berkata apa saja, berkeyakinan bebas dan mencela siapa saja yang kami inginkan. Bila kami disebut Rafidhah atau Syi’ah, lebih kami sukai daripada disebut sebagai orang-orang zindiq yang kafir. Padahal dalam pandangan kami, ‘Ali pun tidak lebih baik dari orang-orang yang kami cela.”

Al Imam ad Darimi mengomentari pernyataan ini dengan berkata: “Orang itu benar-benar jujur tentang dirinya, tidak mengada-ada. Itu sudah jelas dari pernyataan sebagian pembesar dan para ahlinya, mereka memanfaatkan kedok Syi’ah, menjadikannya topeng bagi ucapan dan kekeliruan mereka, tangga dan akses untuk memancing orang-orang yang lemah iman dan lalai”.

KEBIJAKAN BEBERAPA KHALIFAH DALAM MEMERANGI KAUM ZINDIQ
Demi melindungi agama dan kaum Muslimin, para khalifah benar-benar serius dalam menangani dan memadamkan gerakan Zanadiqah sampai akar-akarnya.

Contohnya, Khalifah ‘Ali Radhiyallahu anhu. Beliau mengambil kebijakan membakar mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh al Bukhari (Fathul Bari, 12/267). Juga Al Mahdi, salah seorang khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyah, ia terkenal dengan perhatiannya yang kuat terhadap persoalan ini. Al Mahdi menunjuk salah seorang untuk mengawasi kaum Zanadiqah.

Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 167 H : “Pada tahun ini, al Mahdi mencari-cari sekelompok orang dari Zanadiqah di seluruh penjuru negeri. Dia menghadirkan dan membunuhi mereka dalam keadaan terikat di hadapannya”.

Pesan ini pula yang ia sampaikan kepada putranya, yaitu Musa al Hadi, sebagai khalifah sepeninggalnya. Jejak ayahnya ia ikuti. Ibnu Katsir rahimahullah mengisahkan dalam peristiwa tahun 169 H : “Al Hadi berusaha mencari orang-orang zindiq di seluruh penjuru. Dia berhasil membinasakan mereka dalam jumlah yang banyak, persis seperti ayahnya”.

Pada tahun 311 H, seperti yang dikisahkan Ibnu Katsir juga, salah seorang khalifah yang bernama al Muqtadir membakar buku-buku orang-orang zindiq seberat kurang lebih 204 kg, termasuk karya al Hallaj. Kemudian, pada tahun 488 H, Ahmad bin Khaqan dibunuh. Sebabnya adalah, karena ia telah terbukti memiliki keyakinan Zanadiqah. (Lihat al Bidayah wan Nihayah, 11/148, 12/149).

Pada tahun 726 H, hari Selasa 21 Rabi’ul Awwal, Nashir bin asy Syarf Abu al Fadhl al Haitsi di penggal di pasar kuda, lantaran kekufurannya serta penghinaannya terhadap ayat-ayat Allah serta berteman akrab dengan orang-orang zindiq. Vonis matinya dihadiri para ulama, tokoh dan pembesar negara. Dia hafal kitab at Tanbih, dan suaranya merdu saat membaca al Qur`an. Dia pun seorang yang cerdas. Namun kemudian, ia lepas dari itu semua. Pembunuhannya menjadikan Islam semakin perkasa dan menciutkan nyali orang-orang zindiq dan ahli bid’ah.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Aku menyaksikan eksekusinya. Syaikh kami, Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah termasuk yang hadir. Beliau sudah menghampiri dan menegurnya dengan tegas sebelum dieksekusi. Lalu ia dipenggal, dan aku melihatnya”. [Lihat al Bidayah wan Nihayah, 14/122-123].

Eksekusi ini merupakan jawaban terakhir bagi orang-orang zindiq. Tujuannya agar bumi ini bersih dari kotoran kekufuran Tetapi eksekusi semacam ini tidak boleh dilakukan oleh individu. Yang berhak melakukan eksekusi hanyalah penguasa.

Semoga Allah memperbaiki kualitas keagamaan kita, sehingga kita berlindung dari pemikiran yang sesat ini. Apalagi waktu-waktu belakangan, kemurtadan serta intervensi pemikiran Barat.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

(Diringkas dari Maqalata fi al Madzahabi wa al Firaq, karya ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Ali al ‘Abdul Lathif, Darul Wathan, Riyadh. Cetakan I, Th. 1413H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

HAK-HAK UKHUWWAH

Oleh
DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla , yang telah menjadikan kaum Muslimin bersaudara dan saling menyayangi, yang memerintahkan mereka agar saling tolong-menolong dalam kemaslahatan dunia dan agama. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang haq diibadahi kecuali Allah Azza wa Jalla, tiada sekutu bagi-Nya’ Dan aku bersaksi bahwa Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga keselamatan tercurahkan kepadanya, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla mewajibkan ukhuwah dan tolong menolong kepada sesama muslim dalam kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah Azza wa Jalla , supaya kamu mendapat rahmat. [al-Hujurât/ 49:10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلَ الْجَسَدِالْوَاحِدِ ,إِذَااشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.[HR Muslim no. 4658]

Apabila ini yang menjadi kewajiban kaum Muslimin, maka ukhuwah ini mewajibkan mereka saling memenuhi hak satu dengan lainnya. Di antara hak tersebut adalah :

A. Mencintai Karena Allah Azza wa Jalla .
Yaitu tanpa membedakan nasab di antara mereka, juga tanpa egoisme yang membawa mereka kepada sifat tidak baik, akan tetapi karena Allah Azza wa Jalla semata-mata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِى

Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[HR Bukhari no. 12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya: “Ada 3 hal, barang siapa yang berada padanya ia akan merasakan manisnya iman, pertama: hendaklah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dia cintai dari pada selainnya; kedua: dia mencintai seseorang semata-mata karena Allah Azza wa Jalla ; ketiga: dia enggan untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagimana dia juga enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”[HR Bukhari no. 15]

B. Mendamaikan Mereka.
Apabila ada perselisihan dan perpecahan di antara mereka, maka kewajiban seorang muslim adalah mendamaikannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah hubungan antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."[Al-Anfal/8:1]

Islâh maknanya adalah meluruskan masalah yang diperselisihkan dan mengembalikannya kepada kaum Muslimin serta memperbaiki kedua pihak yang berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap perbuatan mendamaikan kaum Muslimin sebagai sedekah, maka kewajiban mereka yaitu jika ada perselisihan atau perpecahan di antara mereka, hendaknya mereka damaikan dan luruskan perselisihan tersebut dengan adil, sehingga ukhuwah kembali terjalin di antara mereka.

C. Jujur Dalam Bermuamalah.
Hendaknya mereka bermuamalah dengan jujur, tidak berdusta, tidak berkhianat dan tidak menipu dalam jual beli. Hendaknya muamalah jual beli tersebut dilakukan atas dasar niat yang baik, tanpa menutupi aib yang ada pada barang yang dijual dan tanpa berbohong dalam harganya. Kejujuran adalah keselamatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Apabila dua orang muslim bermuamalah jual beli, maka ada khiyar (hak memilih) bagi keduanya. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan mendapat barakah dari jual belinya, dan jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka barakah akan dihilangkan dari jual belinya.”

D. Mendoakan Kebaikan Kepadanya, Mendoakannya Dengan Maghfirah, Agar Diberi Kemaslahatan Dunia dan Agama.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.[Muhammad/ 47:19]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “ Hak muslim satu dengan lainnya ada 6, yaitu apabila engkau bertemu dengannya, berilah salam kepadanya; apabila dia mengundangmu, penuhilah udangannya; apabila dia meminta nasehat kepadamu, maka nasehatilah; apabila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh, maka doakanlah; apabila dia sakit, maka jenguklah; dan apabila dia meninggal, maka iringilah jenazahnya.”

Pertama: Apabila seorang muslim bertemu dengan saudaranya, hendaknya dia mendahuluinya dengan salam. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) [an-Nisâ`/ 4:86]

Hendaknya kaum Muslimin menyebarkan salam di antara mereka. Abdullah bin Salam mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “ Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin-red), sambunglah silaturahmi dan shalatlah pada malam hari ketika manusia dalam sedang tidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”[HR Ibnu Majah no. 1324]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan perintah mengucap salam dan memberi makan (fakir miskin) karena hal itu akan menumbuhkan rasa kecintaan antar kaum Muslimin dan menghilangkan kegelisahan.

Kedua: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia mengundangmu , maka penuhilah.” Maksudnya, apabila dia mengundangmu untuk walimah atau hadir dalam suatu resepsi, hendaknya engkau datang, kecuali apabila ada udzur syar`i yang menyebabkan berhalangan hadir atau memberatkanmu. . Akan tetapi jika pada walimah atau resepsi tersebut ada kemungkaran dan engkau mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka engkau wajib datang dan mengubahnya. Akan tetapi jika tidak mampu mengubahnya, janganlah engkau menghadirinya. Kehadiranmu yang tidak bisa mengubah kemungkaran itu, merupakan tanda engkau setuju dengan hal tersebut.

Ketiga: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia minta nasehat, maka nasehatilah.” Maksudnya, apabila dia meminta nasehat kepadamu dalam suatu perkara dan meminta pendapat kamu yang baik, maka hendaknya kamu bersungguh-sungguh menasehatinya, baik dalam hal yang dia sukai maupun tidak.

Keempat : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia bersin dan memuji Allah Azza wa Jalla , doakanlah dia.” Bersin merupakan nikmat dari Allah Azza wa Jalla karena mengosongkan udara buruk yang ada di tubuh. Apabila dia bersin, ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla yang perlu disyukuri. Sehingga apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla , wajib bagi orang yang berada di sisinya untuk mendoakanya dengan mengucapkan: “ Yarhamukallâh”. Kemudian orang yang bersin mengucapkan: “ Yahdîkumullâh wa yushlih bâlakum.” Ini merupakan perilaku Muslimin yang baik, maka hukumnya wajib untuk menjawab orang yang bersin apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla.

Kelima : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia sakit, maka jenguklah.” Menjenguk orang sakit mengandung kebaikan yang banyak, di antaranya bisa mengurangi beban orang yang sakit dan keluarganya. Mengunjunginya, duduk di sampingnya dan mendoakannya, maka akan membuat dia bahagia dan menguatkan rajâ`nya kepada Allah Azza wa Jalla . Di antara adab menjenguk orang sakit, pertama: hendaknya secara berkala; jangan setiap hari karena hal itu akan memberatkannya, kecuali dia suka yang demikian. Kedua: mendoakan kesembuhan baginya, memberi motivasi kepadanya agar segera sembuh, melapangkan bebannya, dan menghiburnya. Ketiga: hendaknya jangan berlama-lama duduk di sampingnya agar tidak membebaninya, kecuali dia menginginkannya.

Keenam : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila dia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya.” Hal itu karena ada doa, permohonan ampun kepadanya, menyenangkan wali dan kerabatnya dan ada unsur memuliakan kedudukan orang yang meninggal. Barang siapa yang menghadiri jenazah, menyalatkan dan mendoakannya, maka dia akan memperoleh pahala satu qirâth. Barang siapa menyalatkan dan mengiringinya sampai pemakaman, dia akan memperolah 2 qirâth. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu dua qirâth?” Beliau menjawab “Seperti dua gunung yang besar.”

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan jagalah hak-hak saudara kalian. Allah Azza wa Jalla berfirman

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla , Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla amat berat siksa-Nya. [al-Mâidah/ 5:2]

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa di antara hak-hak kaum Muslimin satu dengan lainnya adalah amar ma`ruf dan nahi munkar. Maka, apabila engkau melihat saudaramu berada dalam kemaksiatan dan penyelisihan kepada syariat atau lainnya engkau tidak boleh mendiamkannya. Akan tetapi engkau harus menasehatinya secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan dia. Dan hendaknya engkau menunjukkannya pada kebaikan dan memperingatkannnya dari keburukan.. Hendaknya engkau perbaiki dengan cara yang baik, hingga dia bisa mengetahui bahwa kamu adalah saudaranya dan engkau sangat memperhatikannya.

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan bersemangatlah dalam menunaikan hak-haknya sebagaimana engkau juga meminta agar hak engkau dipenuhi oleh saudaramu.

Maraji’:
Al-Khuthab al-Mimbariyah cet.Dar Ashimah hl, 191-198 oleh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment