Sunday, July 8, 2012

Tabarruj Dalam Berpakaian; Allah Azza wa Jalla berfirman:. قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ.. “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32]

Tabarruj Dalam Berpakaian; Allah Azza wa Jalla berfirman:. قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ.. “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32] . TABARRUJ, DANDANAN ALA JAHILIYAH WANITA MODERN Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA Tabarruj Dalam Berpakaian Sebagaimana keterangan yang telah kami sebutkan di atas, bahwa tujuan disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan dan kecantikan mereka ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena pakaian/jilbab ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan. Maka meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya maka ini jelas termasuk tabarruj. Kemudian kalau kita tanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa tujuannya?, maka tentu dia akan menjawab: supaya indah, untuk hiasan, supaya keren, dan kalimat lain yang senada. Maka dengan ini jelas bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda, ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain mahram atau suami mereka. Bahkan kalau kita merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif/ renda/ bordir juga disebut sebagai hiasan. Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para ulama sejak dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras akan keharamannya. Imam adz-Dzahabi berkata [1]: “Termasuk perbuatan (buruk) yang menjadikn wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek, disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allah dan pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Aku melihat Neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita” [2] Perhatikan ucapan imam adz-Dzahabi ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita adalah termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [3], na’uudzu billahi min dzaalik. Imam Abul Fadhl al-Alusi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ada sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang terbiasa hidup mewah di jaman kami di atas pakaian luar mereka dan mereka jadikan sebagai hijab waktu mereka keluar rumah. Yaitu kain penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku memandang bahwa para suami dan wali yang membiarkan istri-istri mereka keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram mereka dengan perhiasan tersebut, ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan (dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah tersebar merata” [4] Fatwa lajnah daimah (kumpulan ulama besar ahli fatwa) di Arab Saudi, yang diketuai oleh syaikh ‘Abdl ‘Azizi Alu asy-Syaikh, beranggotakan: syaikh Shaleh al-Fauzan, syaikh Bakr Abu Zaid dan syaikh Abdullah bin Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai berikut: “’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam mentapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat: ‘abayah tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol” [5] Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut: “Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi) bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis, bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?” Jawaban beliau: “Kita mempunyai kaidah penting (dalam hal ini), yaitu (hukum asal) dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan) mu’amalah adalah mubah/boleh dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Maka jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman: هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” [al-Baqarah: 29]. Dan Firman-Nya: قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [al-A’raaf: 32] . Maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dalam perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutra bagi laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain. Maka apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan: bahwa (hukum) asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah” [6] Di tempat lain beliau berkata: “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan” [an-Nuur: 60] Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda” [7] . Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Yang jelas merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang dibuat dari bahan yang berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata” [8]. Kemudian, perlu juga kami ingatkan di sini, bahwa berdasarkan keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas, dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain, jika perlengkapan tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan. Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Memakai sepatu yang (berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allah Azza wa Jalla berfirman: وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33] Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lainnya dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita” [9] Warna Pakaian Wanita Termasuk Perhiasan ? Syaikh al-Albani berkata: “Ketahuilah bahwa bukanlah termasuk perhiasan sedikitpun jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan: - Pertama: sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Parfum wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya” [10] - Kedua: Perbuatan para wanita di jaman para shahabat Radhiyallahu anhum…kemudian syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan di antara mereka istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…” [11]. Dari penjelasan syaikh al-Albani di atas, kalau kita gabungkan dengan ucapan para ulama lainnya, yang beberapa di antaranya telah kami nukilkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa warna pakaian wanita tidak termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan, dengan syarat warna tersebut tidak terang dan menyolok sehingga menarik perhatian bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, syaikh al-Albani sendiri menyampaikan keterangan beliau di atas pada pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua: pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya) pada zatnya [12] Maka pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang dan menyolok. Meskipun demikian, sebagian dari para ulama menegaskan bahwa warna hitam untuk pakaian wanita adalah lebih utama karena lebih menutupi perhiasan dan kecantikan wanita. Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata: “Sungguh pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhuma melihatnya (dari kejauhan), dalam hadits tersebut disebutkan: “…maka Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam (yaitu) orang yang sedang tidur (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma)”. Dan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma lainnya, beliau menyebutkan bahwa para wanita Anshar Radhiyallahu anhuma keluar rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak [13]. Syubhat (kerancuan/pengkaburan) seputar masalah hiasan pada pakaian wanita Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya: 1. Syubhat Pertama: Hadits Ummu Khalid bintu Khalid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam shahih imam al-Bukhari [14], bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning, dari negeri Habasyah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid Radhiyallahu anha dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”. Jawaban atas syubhat ini: Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para ulama salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka. Kalau kita merujuk kepada keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [15] maka kita tidak dapati seorang ulamapun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khalid Radhiyallahu anhuma yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil, bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khalid Radhiyallahu anha sendiri berkata: “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…”. Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam. Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa. 2. Syubhat Kedua: Atsar yang terdapat dalam shahih al-Bukhari [16] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempat beliau tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup, tidak ada pembatas antara kami dan beliau Radhiyallahu anhuma kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”. Sebagian dari mereka yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut: Aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar. Jawaban atas syubhat ini: Sebagaimana hadits yang pertama maka untuk memahaminya dengan benar harus dikembalikan kepada penjelasan para ulama yang menerangkan makna hadits ini. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani [17] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ di atas yaitu “pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah. Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ bisa melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam ‘Abdur Razzak ash-Shan’ani bahwa ’Atha’ berkata: “(Waktu itu) aku masih kecil”. Beliau juga menjelaskan bahwa ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja. Berdasarkan keterangan ini maka jelaslah bahwa kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena alasan-alasan berikut: - ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara dan bukan di luar rumah. - Pakaian yang beliau kenakan berwarna merah dan bukan bercorak mawar, kalaupun dikatakan bercorak mawar maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah. - ‘Atha’ melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut dalam keadaan ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan. - Ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan imam Ibnu Hajar di atas. 3. Syubhat Ketiga: Ucapan sebagian dari mereka yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat, sedangkan pakaian hitam/berwarna gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan) masyarakat. Jawaban atas syubhat ini: Memang benar bahwa agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat tapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan dalam syariah secara terperinci. Dan termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat [18] Maka syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain. Lagipula, kalau sekiranya ucapan/syubhat di atas kita terima tanpa syarat maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat. Bahkan dengan ini orang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama sekali karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih banyak daripada yang berjilbab, maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata. Nasehat Dan Penutup Seorang wanita muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allah Azza wa Jalla untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah dia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itulah dia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat, dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman: قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yuunus:58] . “Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “al-Qur'an” [19]. Dalam ayat lain Allah Jalaa Jalaaluh berfirman: وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ “Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [al-Munaafiqun:8] Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata: “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allah Azza wa Jalla akan menjadikan kita hina dan rendah” [20] Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasehat bagi para wanita muslimah untuk kembali kepada kemuliaan mereka yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allah Jalaa Jalaaluh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين Kota Kendari, 7 Sya’ban 1433 H Abdullah bin Taslim al-Buthoni .Tabarruj, Dandanan Ala Jahiliyah Wanita Modern . Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA Istilah “jilbab gaul”, “jilbab modis” atau “jilbab keren”…tentu tidak asing di telinga kita, karena nama-nama ini sangat populer dan ngetrend di kalangan para wanita muslimah. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa bangga dengan mengenakan jilbab model ini dan beranggapan ini lebih sesuai dengan situasi dan kondisi di jaman sekarang. Ironisnya lagi, sebagian dari mereka justru menganggap jilbab yang sesuai dengan syariat adalah kuno, kaku dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Padahal, bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan Dialah yang mensyariatkan bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap jaman dan tempat? Allah Azza wa Jalla berfirman: أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ “Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [al-Mulk:14] Dan bukankah Allah Jalaa Jalaaluh maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satu kebaikanpun yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu keutamaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya? Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman: لا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى “Rabb-ku (Allah Azza wa Jalla) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thaahaa: 52]. Dalam ayat lain, Dia Jalaa Jalaaluh berfirman: وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا “Dan Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) tidak mungkin lupa” [Maryam: 64]. Dan maha benar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” [an-Nahl:90]. Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dalam Islam pasti membawa kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan [1] Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdis Salam yang memaparkan keindahan agama Islam ini dalam ucapan beliau: “…Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segala kebaikan dan kemaslahatan, serta melarang mereka dari segala dosa dan permusuhan… Demikian pula Dia Jalaa Jalaaluh memerintahkan kepada mereka untuk meraih segala kebaikan (dengan) memenuhi (perintah) dan mentaati-Nya, serta menjauhi segala keburukan (dengan) berbuat maksiat dan mendurhakai-Nya, sebagai kebaikan dan anugerah (dari-Nya) kepada mereka, karena Dia maha kaya (dan tidak butuh) kepada ketaatan dan ibadah mereka. Maka Dia Azza wa Jalla menyampaikan kepada mereka (dalam Islam) hal-hal yang membawa segala kebaikan dan petunjuk bagi mereka agar mereka mengerjakannya, serta hal-hal yang membawa segala keburukan dan kesesatan bagi mereka agar mereka menjauhinya. Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan kepada mereka bahwa Syaithan adalah musuh bagi mereka agar mereka memusuhi dan tidak menurutinya. Maka Dia Jalaa Jalaaluh menjadikan segala kebaikan di dunia dan akhirat hanya dicapai dengan mentaati perintah(-Nya) dan menjauhi perbuatan maksiat (kepada)-Nya” [2] Antara Jilbab Syar’i Dan Jilbab Gaul Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan yang Allah Jalaa Jalaaluh tetapkan dalam Islam tentang pakaian dan perhiasan bagi wanita muslimah adalah untuk kemaslahatan/kebaikan serta penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan mereka. Lihatlah misalnya pensyariatan jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna [3]) bagi wanita ketika berada di luar rumah dan hijab/tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Keduanya bertujuan sangat mulia, yaitu untuk kebaikan dan menjaga kesucian bagi kaum perempuan. Allah Jalaa Jalaaluh berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [al-Ahzaab: 59] Dalam ayat ini Allah menjelaskan kewajiban memakai jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti”. Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang 'afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk” [4] Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman: وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [al-Ahzaab:53] Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyifati hijab/tabir sebagai kesucian bagi hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab/tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab/tabir benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya” [5] Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua perbuatan yang menyelisihi ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini akan menimbulkan berbagai kerusakan dan keburukan bagi kaum perempuan bahkan kaum muslimin secara keseluruhan. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang keras perbuatan tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan ketika berada di luar rumah [6]) bagi kaum perempuan dan menyerupakannya dengan perbuatan wanita di jaman Jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]. Arti Tabarruj Dan Penjabarannya Secara bahasa tabarruj berarti menampakkan perhiasan bagi orang-orang asing (yang bukan mahram). [7] Imam asy-Syaukani berkata: “at-Tabarruj adalah dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang ini dapat memancing syahwat (hasrat) laki-laki” [8] Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Arti ayat ini: Janganlah kalian (wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian, sebagaimana kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini dalam rangka mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan sebab-sebabnya”. [9] Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Ketika Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum perempuan untuk menetap di rumah-rumah mereka maka Allah Azza wa Jalla melarang mereka dari (perbuatan) tabarruj wanita-wanita Jahiliyah, (yaitu) dengan sering keluar rumah atau keluar rumah dengan berhias, memakai wewangian, menampakkan wajah serta memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka yang Allah perintahkan untuk disembunyikan. Tabarruj (secara bahasa) diambil dari (kata) al-burj (bintang, sesuatu yang terang dan tampak), di antara (makna)nya adalah berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan perhiasan tambahan. Hal ini dikarenakan seringnya (para wanita) keluar rumah atau keluar dengan menampakkan (perhiasan dan kecantikan mereka) akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar (bagi diri mereka dan masyarakat)” [10] Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa penjabaran makna tabarruj meliputi dua hal, yaitu: 1. Seringnya seorang wanita keluar rumah, karena ini merupakan sebab terjadinya fitnah dan kerusakan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) Syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah Azza wa Jalla) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”. [11] Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetapi rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)” [12] Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bagi seorang wanita untuk menetap di rumahnya dan tidak keluar rumah kecuali untuk kebutuhan yang mubah (diperbolehkan dalm Islam) dengan menetapi adab-adab yang disyariatkan (dalam Islam). Sungguh Allah telah menamakan (perbuatan) menetapnya seorang wanita di rumahnya dengan “qaraar” (tetap, stabil, tenang), ini mengandung arti yang sangat tinggi dan mulia. Karena dengan ini jiwanya akan tenang, hatinya akan damai dan dadanya akan lapang. Maka dengan keluar rumah akan menyebabkan keguncangan jiwanya, kegalauan hatinya dan kesempitan dadanya, serta membawanya kepada keadaan yang akan berakibat keburukan baginya” [13] Di tempat lain, beliau berkata: “Allah Azza wa Jalla memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab (timbulnya) fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah” [14] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “(Hukum) asalnya seorang wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhari (no. 4517) ketika turun firman Allah Azza wa Jalla: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)” [15] Bahkan menetapnya wanita di rumah merupakan ‘aziimatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam), sehingga kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tiga ayat al-Qur’an [16] menisbatkan/menggandengkan rumah-rumah kepada para wanita, padahal jelas rumah-rumah yang mereka tempati adalah milik para suami atau wali mereka, ini semua menunjukkan bahwa selalu menetap dan berada di rumah adalah keadaan yang sesuai dan pantas bagi mereka. [17] 2. Keluar rumah dengan menampakkan kecantikan dan perhiasan yang seharusnya disembunyikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum perempuan untuk menetapi rumah-rumah mereka dan melarang mereka dari perbuatan tabarruj (ala) jahiliyyah, yaitu menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan (keindahan wanita) lainnya, karena ini akan (menimbulkan) fitnah dan kerusakan yang besar, serta mengundang diri kaum lelaki untuk melakukan sebab-sebab (yang membawa kepada) perbuatan zina…” .[18] Allah Azza wa Jalla memerintahkan kaum wanita untuk menyembunyikan perhiasan dan kecantikan mereka dalam firman-Nya: وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ ما يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ “Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki mereka agar orang mengetahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. [an-Nuur: 31] . Perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan dalam ayat ini mencakup semua jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan mereka maupun perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Perhiasan wanita yang dilarang untuk ditampakkan adalah segala sesuatu yang disukai oleh laki-laki dari seorang wanita dan mengundangnya untuk melihat kepadanya, baik itu perhiasan/keindahan asal (anggota badan mereka) ataupun perhiasan yang bisa diusahakan (perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka), yaitu semua yang ditambahkan pada fisik wanita untuk mempercantik dan menghiasi dirinya” [19]. Ancaman Keras Dan Keburukan Tabarruj Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” [20] Dalam hadits ini terdapat ancaman keras yang menunjukkan bahwa perbuatan tabarruj termasuk dosa besar, karena dosa besar adalah semua dosa yang diancam oleh Allah dengan Neraka, kemurkaan-Nya, laknat-Nya, azab-Nya, atau terhalang masuk Surga. Oleh karena itu, seluruh kaum muslimin bersepakat menyatakan haramnya tabarruj, sebagaimana penjelasan imam ash-Shan’ani [21]. Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi memasukkan perbuatan tabarruj ke dalam dosa-dosa besar berdasarkan hadits di atas, dalam kitab beliau “al-Mu’lim syarhu shahiihi Muslim” (1/243). Ancaman dan keburukan tabarruj lainnya yang disebutkan dalam dalil-dalil yang shahih adalah sebagai berikut [22]: 1. Tabarruj adalah sunnah Jahiliyah, sebagaimana dalam firman Allah: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى “Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [al-Ahzaab:33]. 2. Tabarruj digandengakan dengan syirik, zina, mencuri dan dosa-dosa besar lainnya, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan salah satu syarat untuk membai’at para wanita muslimah dengan meninggalkan tabarruj. Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Umaimah bintu Ruqaiqah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membai’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas agama Islam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at kamu atas (dasar) kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berbuat dusta yang kamu ada-adakan antara kedua tangan dan kakimu, tidak meratapi mayat, dan tidak melakukan tabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu” [23] 3. Ancaman keras dengan kebinasan bagi wanita yang melakukan tabarruj. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga golongan manusia yang jangan kamu tanyakan tentang mereka (karena mereka akan ditimpa kebinasaan besar): orang yang meninggalkan jamaah (kaum muslimin) dan memberontak kepada imamnya (penguasa/pemerintah) lalu dia mati dalam keadaan itu, budak wanita atau laki-laki yang lari (dari majikannya) lalu dia mati (dalam keadaan itu), dan seorang wanita yang (ketika) suaminya tidak berada di rumah (dalam keadaan) telah dicukupkan keperluan dunianya (hidupnya), lalu dia melakukan tabarruj setelah itu, maka jangan tanyakan tentang mereka ini” [24] 4. Imam adz-Dzahabi menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan oleh banyak wanita termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni Neraka [25], na’uudzu billahi min dzaalik. Ucapan beliau akan kami nukil secara lengkap dalam makalah ini, insya Allah. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh [26] menjelaskan secara khusus keburukan-keburukan perbuatan tabarruj berdasarkan dalil-dali dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya sebagai berikut: - Tabarruj adalah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalil-dalil yang telah kami sebutkan. - Tabarruj akan membawa laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)” [27]. - Tabarruj termasuk sifat wanita penghuni Nereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ada dua golongan termasuk penghuni Neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul/menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang…” [28] - Tabarruj adalah kesuraman dan kegelapan pada hari kiamat. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh di sini berdalil dengan sebuah hadits yang lemah tapi maknanya benar. - Tabarruj adalah perbuatan fahisyah (keji). Karena wanita adalah aurat, maka menampakkan aurat termasuk perbuatan keji dan dimurkai oleh Allah, Syaithanlah yang menyuruh manusia melakukan perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون “Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” [al-Baqarah:169]. - Tabarruj adalah sunnah dari Iblis. Karena dia berusaha keras untuk membuka aurat dan menyingkap hijab mereka, maka tabarruj merupakan target utama (tipu daya) Iblis. Allah Jalaa Jalaaluh berfirman: يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Syaitan sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari Surga, dia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya” [al-A’raaf: 27] - Tabarruj adalah metode penyesatan orang-orang Yahudi. Karena mereka mempunyai peranan besar dalam upaya merusak kehidupan manusia melalui cara memperlihatkan fitnah dan kecantikan wanita, dan mereka sangat berpengalaman dalam bidang ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Takutlah kalian kepada (fitnah) dunia, dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang melanda Bani Israil adalah tentang wanita” [29]. Bentuk-Bentuk Tabarruj . Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni, MA Bentuk-Bentuk Tabarruj [1] 1. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala [2]. Ini bertentangan dengan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ “Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka” [al-Ahzaab: 59]. Karena jilbab seperti ini akan membentuk/mencetak bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat Islam. 2. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk bagian bawah. Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya. 3. Termasuk tabarruj: memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya. Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلا لِبُعُوْلَتِهِنَّ أو آبائِهِنَّ... “Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…” [an-Nuur: 31]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Tujuan diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang anda lihat, sangat jelas dan tidak samar” [3] Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai oleh wanita muslimah di jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya. Insya Allah, pembahasan tentang ini akan penulis ulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini. 4. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Adapun pakaian tipis maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. Dalam hadits lain ada tambahan: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian” [4] Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka telanjang” [5] Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam “al-Muwaththa’” (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam “ath-Thabaqaatul Kubra” (8/72), dari Ummu ‘Alqamah dia berkata: “Aku pernah melihat Hafshah bintu ‘Abdur Rahman bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma merobek kerudung tersebut dan berkata: “Apakan kamu tidak mengetahui firman Allah yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nuur?”. Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meminta kerudung lain dan memakaikannya”. 5. Termasuk tabarruj: mengenakan jilbab/pakaian yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab/pakaian yang ketat yang dikenakan oleh banyak kaum wanita jaman sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata: “Karena tujuan dari memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang ini hanya dapat terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab/pakaian yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya, oleh karena itu (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab/pakaian yang longgar” [6] Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab/pakaian dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita di jaman ini [7] Dalam fatwa Lajnah daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat pakaian/jilbab yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya: hendaknya pakaian/jilbab tersebut (kainnnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian/jilbab tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh) [8] Adapun dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat yang mulia, Usamah bin Zaid Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan untukku pakaian qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku: “Kenapa kamu tidak memakai pakaian qibthiyah tersebut?”. Aku berkata: “Aku memakaikannya untuk istriku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)” [9]. Dalam hadits ini ada satu faidah penting, yaitu bahwa pakaian qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tapi meskipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakain dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya. Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, beliau mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma, pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anhuma dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anhuma meraba pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian beliau berkata: “Cih! Kembalikan pakaian ini padanya!”. al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan berkata kepada ibunya: Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis! Maka Asma’ Radhiyallahu anhuma berkata: “Meskipun pakaian ini tidak tipis tapi membentuk (tubuh orang yang memakainya” [10]. 6. Termasuk tabarruj: wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi. Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya maka wanita itu adalah seorang pezina” [11]. Bahkan dalam hadits shahih lainnya [12], Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di mesjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya. Oleh karena itu, imam al-Haitami menegaskan bahwa keluar rumahnya seorang wanita dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya [13] Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah (untuk shalat berjamaah di mesjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini dalam rangka menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)” [14]. 7. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki” [15] Dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [16] Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal lainnya [17] Oleh karena itulah, para ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki” [18] Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seorang yang memakaikan budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka beliau berkata: “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki” [19] Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model laki-laki [20] Juga perlu diingatkan di sini, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya berlaku secara mutlak di manapun mereka berada,di dalam rumah maupun di luar, karena ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat [21]. 8. Termasuk tabarruj: wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[22] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya api Neraka” [23] Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan mereka. Berapa banyak kita melihat wanita yang tidak segan-segan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model pakaiannya, supaya dia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita lainnya. Maka dengan itu dia jadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tau model pakaian jaman sekarang. Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan. Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah, karena ini diharamkan pada zatnya [24]. Masjidul Bait (Masjid Di Dalam Rumah) Urgensi Dan Fungsinya . Rumah merupakan salah satu nikmat besar dari Allah Azza wa Jalla bagi setiap muslim. Allah Azza wa Jalla telah mengingatkan besarnya nikmat ini dan fungsi pentingnya bagi para penghuninya. Jiwa-jiwa dan hati mereka akan merasa tenang ketika sudah berada di dalamnya. Rumah akan menjadi tempat melepas lelah, menutup aurat, dan menjadi tempat menjalankan berbagai aktifitas yang bermanfaat, untuk dunia maupun akherat. Allah Azza wa Jalla mengingatkan besarnya nikmat rumah bagi manusia dengan berfirman. وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن بُيُوتِكُمْ سَكَنًا “dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal” [an-Nahl/16 : 80] Termasuk pertanda bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat rumah tempat naungan ini, hendaknya Allah Azza wa Jalla ditaati di dalamnya dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, dzikir, shalat-shalat sunnah dan ibadah-ibadah lainnya. Bukan sebaliknya, malah menjadi pusat maksiat kepada Allah Azza wa Jalla, dipenuhi berbagai perangkat yang melalaikan orang dari beribadah kepada-Nya. Di antara faktor yang mendukung keluarga untuk beribadah, dibuat tempat khusus untuk beribadah bagi seluruh penghuni rumah, sebagai tempat berdzikir dan tempat mengerjakan shalat-shalat sunnah. Satu tempat yang mereka gunakan untuk menikmati bermunajat dengan Rabb mereka, Allah Azza wa Jalla Dzul jalali wal ikram. MEMBUAT MASJID DI DALAM RUMAH, MUSTAHAB Yang dimaksud dengan masjidul bait seperti tertera dalam judul tulisan ini berdasarkan penjelasan Ulama yaitu tempat atau ruangan yang dikhususkan dan diperuntukkan oleh pemilik rumah sebagai tempat mengerjakan shalat-shalat sunnat dan ibadah-ibdah nafilah lainnya [1] Bagaimanakah sebenarnya hukum membuat masjidul bait dalam rumah bagi seorang muslim? Membuat tempat khusus di dalam rumah sebagai tempat menjalankan shalat sunnat dan mengerjakan amalan-amalan ibadah lainnya mustahab (dianjurkan). Para ulama telah membicarakan pembahasan ini dalam kitab-kitab fikih dan hadits karya mereka. Dari Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma, istri Humaid al-Sa’idi Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendatanggi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjamaah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di masjid rumahmu (tempat paling dalam –red) lebih baik daripada shalatmu di kamar, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di dalam rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalamu di masjidku (Masjid Nabawi)”. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang) [2] Amirul Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitab shahihnya : “Bab masjid-masjid di dalam rumah dan shalatnya al-Bara bin Azib Radhiyallahu anhu di masjid rumahnya dengan berjama’ah”. Sehubungan dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek kebersihan dan keharumannya. [3] Apalagi mengingat fungsi-fungsi positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut. TIDAK MESTI RUANGAN ATAU KAMAR KHUSUS Ada dua bentuk masjidul bait pada masa lalu seperti tertuang pada beberapa nash dan atsar berikut ; 1,Berbentuk kamar khusus di dalam rumah Bentuk pertama ini berdasarkan riwayat dari Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwasanya ia mendatangi Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjama’ah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik dari pada shalatmu di kamar…. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang). [4] 2.Tempat khusus di salah satu pojok kamar Jika kurang memungkinkan bagi seorang muslim untuk mengadakan ruangan khusus sebagai masjidul bait untuk tempat shalat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya, maka tidak masalah bila ia hanya menentukan pojok tertentu dari kamar yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa seorang lelaki dan kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya untuk dia jadikan tempat shalatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhinya. [5] Dalam al-Musnad, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, air bah telah menghalangiku untuk mendatangi masjid di kampung (untuk shalat fardhu). Aku ingin engkau mendatangiku dan kemudian mengerjakan shalat disuatu tempat (yang nantinya) aku jadikan sebagai masjid (masjidul bait)”. Nabi menjawab, “Baiklah”. Keesokan harinya, Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan memintanya untuk mengikuti beliau. Ketika memasuki (rumah ‘Itban), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dimana tempat engkau inginkan?” Maka aku (‘Itban) menunjuk ke satu pojok rumahnya. Kemudian Rasulullah berdiri dan shalat (disitu). Dan kami berbaris di belakang beliau. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat bersama kami”. [6] Dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah), kemudian beliau aku persilahkan (masuk). Beliau tidak duduk sampai berkata, “Dimana tempat yang engkau ingin aku shalat di rumahmu?”. Kemudian ia (‘Itban) menunjuk tempat yang ia ingin Nabi shalat di situ..”[7] DAHULU, SEMUA RUMAH PUNYA MASJIDUL BAIT Generasi salaf dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mereka berada di puncak tinggi dalam ibadah, menghambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan konsentrasi meraih akhirat. Begitu banyak ibadah sunnah yang mereka kerjakan, sementara di malam hari, mereka isi dengan berdiri, ruku dan sujud yang sangat panjang. Ketaatan mereka sangat besar. Di antara faktor yang mendukung mereka untuk keperluan tersebut ialah adanya masjidul bait, di rumah-rumah mereka. Ternyata mereka telah memiliki masjidul bait di rumah mereka masing-masing. Hal ini berdasarkan pernyataan sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berikut : مَا مِنْكُمْ إِلاَّ وَلَهُ مَسْجِدْ فِيْ بَيْتِهِ “Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya” [8] Hal ini dikarenakan konsentrasi mereka yang besar terhadap kehidupan akhirat, yang telah memenuhi relung hati mereka paling dalam. Meski rumah tinggal mereka sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan rahmat Allah Azza wa Jalla dan takut dari siksa-Nya, mengingatkan mereka akan tujuan hidup mereka, dan kampung akhirat. Bahkan sebagian dari mereka, seperti Abu Tsa’labah al-Khusyanni Radhiyallahu anhu meninggal di dalam masjidul bait dalam keadaan bersujud. MANFAAT MASJIDUL BAIT Keberadaan masjidul bait mendatangkan berbagai macam manfaat dan dampak positif bagi keluarga itu sendiri. Inilah yang memotivasi generasi Salaf dalam mengkhususkan tempat untuk itu. Di antara manfaatnya • Sebagai tempat menguatkan hubungan dengan Allah Azza wa Jalla • Sebagai tempat membina jiwa untuk lebih ikhlas dalam berbicara dan berbuat. Sebab ibadah yang dikerjakan jauh dari pandangan manusia akan lebih mendatangkan ikhlas. • Sebagai tempat mengerjakan shalat bagi keluarga. • Sebagai tempat pembinaan anak-anak untuk lebih taat beragama dan rajin beribadah. • Sebagai pendorong untuk beribadah dan mengingatkannya. • Menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam • Sebagai media mengokohkan hubungan keluarga. • Sebagai tempat shalat fardhu bagi yang memiliki udzur SHALAT-SHALAT SUNNAT DI MASJIDUL BAIT Shalat fardhu telah menjadi salah satu kewajiban terpenting atas setiap muslim dan muslimah. Dan khusus bagi para lelaki, syariat telah menetapkan pelaksanaan shalat fardhu tersebut secara berjama’ah di masjid. Adapun shalat nafilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan pelaksanaannya di dalam rumah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْ تِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِفِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْ بَة “Shalatlah kalian di dalam rumah kalian. Sungguh sebaik-baik shalat seseorang adalah (yang dikerjakan) di dalam rumahnya kecuali shalat fardhu” [9] Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. إِذَا قَضَى أَحَدُ كُمْ الصَّلاَةَ فِيْ مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَلاَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِيْ بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا “Jika salah seorang kalian telah menyelesaikan shalat di masjid, maka hendaknya ia memberikan bagian shalatnya di dalam rumahnya. Sesungguhnya Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya melalui shalatnya (yang dilakukan di rumah)”. [10] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh sahabat Hizam bin Hakim Radhiyallahu anhu perihal tempat mengerjakan shalat, apakah di rumah atau di masjid. Meski rumah beliau dengan masjid sangat dekat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan berkata : وَلأَِنْ أُصَلِيَ فَيْ بَيْتِيْ أَحَبُّء إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي فِيْ مَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة “Aku mengerjakan shalat di dalam rumahku lebih aku sukai daripada shalat di masjid kecuali shalat fardhu” [11] Penekanan shalat wajib di masjid secara berjama’ah atas kaum lelaki akan bertambah jelas melalui nasehat sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berharga berikut ini. Beliau mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang mau bergembira berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, hendaknya memelihara shalat lima waktu yang telah diwajibkan saat diserukan untuk menjalankannya. Sesungguhnya shalat lima waktu termasuk jalan-jalan hidayah, dan sungguh Allah telah menetapkan berbagai macam jalan hidayah. Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya. Jika kalian mengerjakan shalat (lima waktu) di masjid rumah kalian seperti mutakhollif (orang yang tidak terbiasa datang ke masjid untuk shalat berjama’ah) yang suka menjalankan shalat (fardhu) di rumahnya (saja), berarti kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, niscaya kalian akan tersesat. Aku sudah menyaksikan bahwa yang sudah terbiasa tidak ke masjid (untuk shalat berjama’ah) ialah orang munafik yang telah dimaklumi kenifakannya. Aku dahulu menyaksikan seseorang dipapah oleh dua orang agar bisa berdiri di shaf (shalat fardhu)” [13] Disebutkan dalam Hasyiyah Ibni Abidin (2/441), “… Sesungguhnya dianjurkan bagi seorang lelaki untuk mengkhususkan satu tempat dari rumahnya sebagai tempat megerjakan shalat nafilah. Adapaun shalat fardhu dan I’tikaf, sudah dimaklumi hanya dikerjakan di masjid”. Dengan demikian kebaikan dan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla akan mendatangi rumah yang bercahaya dengan ibadah dan dzikir tersebut, sehingga rumah bercahaya tidak gelap seperti kuburan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا Kerjakanlah sebagian shalatmu di dalam rumah-rumah kalian. Jangan menjadikan rumah seperti kuburan” [Muttafaqun ‘alaih] SHALAT NAFILAH (SUNNAT) BERJAMA’AH DI MASJIDUL BAIT Disyariatkan bagi seorang muslim untuk mengerjakan shalat sunnat berjama’ah dengan anggota keluarganya, bahkan hukumnya mustahab. Manfaatnya sebagai ajang pembinaan bagi keluarga pun tampak jelas. Akan tetapi, tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan dan rutinitas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “berkumpul dalam menjalankan shalat sunnat secara berjamaah termasuk perkara yang dianjurkan selama tidak dijadikan sebuah kebiasaan..” [13] Diriwayatkan Imam al-Bukhari rahimahullah dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : “Aku dan seorang anak yatim yang ada di rumah pernah mengerjakan shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami”. [14] Imam al-Bukhari rahimahullah menyimpulkan satu judul bab dalam kitab Shahihnya dengan judul Bab shalatul nawafili jama’atan. (bab shalat sunnat yang dikerjakan secara berjama’ah). MENYEDIAKAN MUSHAF DAN BUKU DI MAJIDUL BAIT Tujuan disyariatkannya mengadakan masjidul bait di rumah ialah sebagai tempat menjalankan ibadah sunnat dan nafilah, dzikir, serta membaca al-Qur’an. Untuk itu, perlu disediakan hal-hal yang akan mendukungnya seperti adanya mushaf al-Qur’an yang seyogyanya sesuai dengan jumlah anggota keluarga, ditambah dengan buku-buku agama dan buku dzikir. Tempat ini juga tepat untuk mengajari anak-anak dan orang-orang tua belajar membaca al-Qur’an, Hadits, hukum-hukum fikih dan adab-adab Islam. MENGAPA SEBAGIAN MELUPAKANNYA? Namun, mengapa perkara ini terlupakan? Padahal bangunan-bangunan rumah kalian luas, berisi banyak kamar ; kamar tidur, kamar (tempat) makan keluarga, kamar tamu, tempat untuk mencari nafkah (toko), kamar keluarga yang terkadang dihiasi dengan TV dan perangkat hiburan lainnya, tempat santai keluarga, kamar mandi, kolam ikan, tempat berolahraga, bahkan terkadang juga ada kolam renang di dalam rumah. Atau sebagian kamar bahkan juga disewakan untuk orang lain. Mana ruangan khusus untuk ibadah di rumah tersebut? Kenapa tidak disediakan tempat khusus dimana keluarga akan menjalankan aktifitas ibadah di situ? Perhatian dan orientasi (sebagian) manusia telah berubah. Ketika dunia menjadi bidikan utama dan perkara yang paling meliputi jiwa, maka rumah disesaki oleh hal-hal yang melalaikan Allah Azza wa Jalla dan akhirat. Mari menghidupkan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini di dalam rumah-rumah kita. Wallahul muwaffiq (Diadaptasi oleh Abu Minhal dari Masajidul Buyut, Ahkamuha wa Adabuha (Ghurfatush Shalati fil Baiti Sunnatun Ghaibah). DR Khalid bin Ali al-Anbari, Darul Atsariyyah, Amman Yordania) [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment