Monday, July 2, 2012

Rahasia Dibalik Nama Allah, As-Salam, Iman, menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antara yang menjadi faktor bertambahnya keimanan seorang muslim, ialah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia


Rahasia Dibalik Nama Allah, As-Salam, Iman, menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antara yang menjadi faktor bertambahnya keimanan seorang muslim, ialah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia




Iman, menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antara yang menjadi faktor bertambahnya keimanan seorang muslim, ialah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia.

Syaikh 'Abdurrazzâq bin 'Abdul-Muhsin al-‘Abbâd –hafizhahullah- berkata: “Sesungguhnya mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, dan hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari segala segi merupakan gerbang ilmu paling agung yang dapat menambah keimanan”.[1]

Dalam rubrik ini, kami mengajak para pembaca untuk menyelami makna as-Salâm, yang merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia. Nama ini tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, serta sebagaimana ucapan para ulama.

NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA AS-SALAM DALAM AL-QUR'AN
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

هو الله الذى لآ اله الا هو الملك القدوس السلم المؤ من المهيمن العز يز الجبا ر التكبر سبحن الله عما يشر كون

"Dialah Allah, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Maha Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera (as-Salâm), Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan" [al-Hasyr/59:23]

NAMA ALLAH, AS-SALAM DALAM HADÎTS

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي الصَّلَاةِ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ وَفُلَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ لَا تَقُولُوا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ وَلَكِنْ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

'Abdullah (bin Mas’ud) Radhiyallahu 'anhu Berkata : Dahulu, jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami mengucapkan: "As-Salâm (keselamatan) bagi Allah dari hamba-hamba-Nya, dan as-salâm atas Fulan dan si Fulan," maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mengucapkan as-Salâm atas Allah, karena sesungguhnya Allah itu as-Salâm, akan tetapi ucapkanlah: 'At-Tahiyât (ucapan selamat), ash-Shalawat (ibadah) dan ath-Thayyibât (pujian) bagi Allah. Salam (keselamatan) serta rahmat Allah, dan keberkahan-Nya atas anda, wahai Nabi. Dan salam atas kita dan hamba-hamba Allah yang shâlih'." [HR Bukhâri].

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

"Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, dan berkata: 'Ya Allah, Engkau adalah as-Salâm, dan dari-Mu lah keselamatan, Engkau Maha Tinggi Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan'." [HR Muslim].

MAKNA AS-SALÂM
As-Salâm, secara bahasa bermakna as-Salâmah. Yaitu selamat dari aib dan kekurangan.[2]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “As-Salâm, maknanya, yang selamat dari segala aib dan kekurangan, karena kesempurnaan dzat, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya (Allah)" [3]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata: “As-Salâm, maksudnya, yang selamat dari semua kekurangan dan aib".

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “As-Salâm adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan isim mashdar, seperti al-Kalâm dan al-‘Athâ`, yang bermakna selamat. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih berhak untuk menyandangnya daripada selain-Nya, karena Dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala ) selamat dari setiap cacat, aib, kekurangan maupun celaan. Dia Subhanahu wa Ta'ala memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segi. Kesempurnaan-Nya merupakan keharusan dari Dzat-Nya. Tidaklah Dia Subhanahu wa Ta'ala kecuali Maha Sempurna.

Ada pula yang mengatakan: Yang mengucapkan salam kepada hamba-hamba-Nya di surga, berdasarkan ayat.

سلم قو لأ من رب رحيم

"(Kepada mereka dikatakan), “Salâm,” sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang" [Yâsîn/36:58].

Ada pula yang memaknai, makhluk yang selamat dari kezhaliman-Nya [4], dan inilah pendapat kebanyakan para ulama…[5]

As-Salâm, mencakup keselamatan perbuatan-perbuatan-Nya dari kesia-siaan, kezhaliman, kecurangan, dan mencakup keselamatan sifat-sifat-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk, serta meliputi kesempurnaan Dzat-Nya dari setiap kekurangan dan aib, dan meliputi keselamatan nama-nama-Nya dari setiap celaan".

Nama Allah, as-Salâm, mencakup penetapan semua kesempurnaan bagi-Nya dan peniadaan semua kekurangan dari-Nya. Ini adalah kandungan makna dari Subhnâllah wal-Hamdu lillahi” (Maha Suci Allah dan segala pujian bagi-Nya). Dan nama Allah, as-Salâm, mengandung pengesaan bagi-Nya dalam ulûhiyah (penyembahan dan pengagungan). Dan ini merupakan kandungan dari makna Lâ ilaha illallah, wallahu Akbar (tidak ada yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Dia Maha Besar). Maka nama Allah, as-Salâm, mengumpulkan al-Bâqiyâtu ash-Shâlihât (semua nama Allah yang baik dan sifat-Nya yang mulia), yang dengannya Allah Azza wa Jalla dipuji.

Di antara rincian penjelasan terhadap apa yang sudah disebutkan di atas, bahwasanya Dia adalah al-Hayyu (Yang Maha Hidup), yang selamat kehidupan-Nya dari kematian, rasa ngantuk, tidur dan perubahan. Dia adalah al-Qâdir (Yang Maha Kuasa), yang selamat kekuasaan-Nya dari kelelahan, kecapekan, keberatan dan kelemahan. Dia adalah al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), yang selamat ilmu-Nya dari ketidaktahuan terhadap sesuatu meskipun sebesar biji sawi.

Demikianlah, semua sifat-Nya berada dalam timbangan di atas. Keridhaan-Nya selamat dari kemurkaan, kelembutan-Nya selamat dari balas dendam, keinginan-Nya selamat dari kebencian, kekuasaan-Nya selamat dari kelemahan, kehendak-Nya selamat dari hal yang menyelisihinya, firman-Nya selamat dari kedustaan dan kezhaliman, bahkan Maha Sempurna kalimat-kalimat-Nya sesuai dengan keadilan dan kebenaran, dan janji-Nya selamat dari penyelisihan …" [6]

ANTARA NAMA ALLAH, AS-SALÂM DENGAN UCAPAN AS-SALÂMU ‘ALAIKUM
Makna as-Salâm dalam ucapan as-salâmu ‘alaikum, ada dua. Pertama, (semoga) barakah nama Allah as-Salâm tercurah kepada kalian. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan melontarkan salam kepada orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Karena as-Salâm merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, tidak boleh memintakan keberkahan bagi orang kafir dari nama Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut. Kedua, keselamatan yang dimohonkan ketika ucapan salam.

Kedua makna ini sama-sama benar. Maksudnya, barang siapa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan nama-nama-Nya yang baik, untuk dia meminta dalam setiap permintaan dan bertawassul kepada-Nya dengan nama Allah yang sesuai dengan permintaannya. Jika hal ini sudah jelas, maka ketika seseorang meminta keselamatan (as-Salaamah) yang merupakan bagian terpenting dalam hidupnya, maka dia menyebut nama Allah “As-Salaam”.

Jadi, ucapan as-salâmu ‘alaikum mencakup nama Allah, as-Salâm, dan memohon keselamatan dari-Nya.

Apabila hal ini sudah jelas, maka terbukalah tabir hikmah (rahasia) pengucapan salam ketika seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, bukan dengan doa atau ucapan lain. Karena, setiap umat memiliki ucapan salam tersendiri, seperti "selamat pagi", "semoga engkau berumur panjang", dan lain-lain. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan kepada kaum muslimin ucapan selamat di tengah mereka dengan ucapan ”as-salâmu’alaikum”. Ucapan ini lebih utama dari semua ucapan selamat yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Karena ungkapan as-salâmu’alaikum ini mencakup keselamatan yang menjadi tonggak kehidupan dan kebahagiaan. Ini juga merupakan inti segala sesuatu. Karena harapan manusia terbagi dua. yaitu selamat dari kejelekan dan memperoleh kebaikan. Dan selamat dari kejelekan lebih diutamakan daripada memperoleh kebaikan.

Begitu pula di surga, dikarenakan surga adalah Dârussalâm, tempat keselamatan dari segala aib, kejelekan, dan cacat, bahkan selamat dari setiap perkara yang mengurangi kenikmatan hidup. Sehingga ucapan selamat para penghuni surga adalah salâmun, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengucapkan kepada mereka ucapan selamat ”As-Salâm”. Begitu pula, para malaikat mendatangi mereka dari segala pintu dengan mengucapkan :

سلم عليكم بما صبريم فنغم عقبى الدار

"Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu,” maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu" [ar-Ra’d/13:24)]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimaullah berkata: “As-Salâm, bermakna doa meminta keselamatan dari setiap gangguan. Jika anda mengatakan kepada seseorang "as-salâmu'alaika", maka maksudnya, anda sedang berdoa kepada Allah untuknya agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkannya dari gangguan-gangguan, kegilaan, (kejahatan) manusia, kemaksiatan dan dari penyakit hati, serta dari api neraka. Ini adalah lafazh yang umum, dan maknanya adalah doa bagi seorang muslim dengan keselamatan dari segala gangguan”.[9]

KESIMPULAN DAN FAIDAH
1. Penentuan nama Allah haruslah sesuai dengan dalil dari Al-Qur`ân dan Hadiits yang shahiih, serta sesuai dengan pemahaman ulama Ahlus-Sunnah.

2. Merenungi dan memahami nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan faktor yang utama yang dapat menambah keimanan seorang muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

3. Di antara 99 asma` Allah al-Husna adalah as-Salâm. Sehingga kita wajib menetapkan hal itu.

4. Dibolehkan untuk memberi nama anak dengan 'Abdussalâm. Karena as-Salâm merupakan nama Allah. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata : “Di antara nama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah as-Salâm, dan karenanya seseorang dinamakan 'Abdussalâm, seperti halnya (nama) 'Abdullah”.

5. As-Salâm, merupakan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang kita diperintahkan untuk berdoa dengannya, sebagaimana Allah berfirman :

"Dan bagi Allah al-Asma` al-Husna, maka berdoalah kepada Allah dengannya" [al-A’râf/7:180]

6. Makna as-Salâm, ialah yang selamat (disucikan) dari segala aib, cacat dan sifat kekurangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Suci dari setiap hal yang mengurangi sifat kesempurnaan-Nya, dan dari penyerupaan makhluk terhadap-Nya, serta dari sekutu yang menandingi-Nya dalam segala segi.[11]

7. Seorang muslim wajib untuk meminta keselamatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab, keselamatan hanyalah bersumber dari-Nya [12]. Dan diharamkan baginya meminta keselamatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik kepada malaikat yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, nabi yang diutus, wali atau kiai atau habib atau tuan guru, atau makhluk lainnya.

8. Dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan hanya sekedar bacaan di bibir. Dzikir haruslah direnungkan maknanya, dan konsekwensinya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memahami nama Allah, as-Salâm, dan menjadikannya sebagai dzikir serta doa seperti yang telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia akan selalu mensucikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ulûhiyah (ibadah), rububiyah, serta nama dan sifat-Nya dari sekutu-sekutu, maupun dari hal yang tidak layak bagi-Nya. Dan inilah jalan para nabi dan rasul, sebagaimana Allah berfirman:

"Mahasuci Rabbmu, Rabb Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam" [ash-Shâffât/37:180-182].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat di atas: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mensucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyimpang dari ajaran para rasul, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengucapkan selamat kepada para rasul, dikarenakan selamatnya ucapan mereka dari kekurangan dan aib …, maka Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran para rasul, karena ia adalah shirathal mustaqim”.[13]

9. Betapa indah ajaran Islam, dan alangkah mulia petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mengajarkan ucapan salam. Sebuah ucapan yang merupakan doa keselamatan dari seorang muslim kepada saudaranya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُم

"Tidaklah kalian bisa masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidaklah beriman hingga kalian saling mencintai. Tidakkah kalian ingin aku tunjukkan kepada sesuatu? Jika kalian melaksanakannya, maka kalian saling mencintai. Yaitu tebarkan salam di antara kalian". [HR Muslim]

10. As-Salâm, adalah as-Salâmah (keselamatan) yang merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Semoga Allah senantiasa memberikan keselamatan kepada kita di dunia dan di akhirat.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]






Penjabaran Makna Nama Allah Azza Wa Jalla Al-Karîm




Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra


MAKNA AL-KARIM DARI TINJAUAN BAHASA
Berikut ini beberapa penjelasan para ulama pakar bahasa Arab mengenai makna al-Karîm:

Ibnu Fâris rahimahullah menyebut bahwa asal kata karom (bentuk noun kata al-Karîm) menunjukkan dua makna, salah satunya adalah kemuliaan[1].

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, "al-Karîm artinya pemaaf. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm yang memaafkan dosa para hamba-Nya yang beriman"[2].

Al-Azhari rahimahullah mengartikannya dengan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Maknanya, yaitu dzat yang sangat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah, pemberi nikmat dan keutamaan". al-Karîm adalah nama yang mencakup segala sifat yang terpuji. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm (Maha Mulia) amat terpuji segala perpuatan-Nya.[3]

Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Yakni dzat yang amat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah lagi pemberi. Pemberian-Nya tidak pernah habis. Dia-lah Dzat Yang Maha Mulia secara mutlak. al-Karîm adalah nama mencakup segala kebaikan, kemuliaan dan keutamaan. Nama ini juga menghimpun segala hal yang terpuji. Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Mulia) artinya amat terpuji dalam segala perpuatan-Nya, Rabb yang memiliki 'Arsy yang mulia lagi agung"[4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-KARIM
Jika kita mencermati nama al-Karîm dalam al-Qur'ân, nama Allah Azza wa Jalla yang mulia ini terulang sebanyak dua kali. Pertama, dalam surat an-Naml/27:40:

فَلَمَّا رَآَهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

"Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Tempat kedua, dalam surat al-Infithâr/82:6: Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ

"Hai manusia, apa yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah".

Pada ayat surat an-Naml di atas, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang perkataan Nabi Sulaiman Alaihissalam saat beliau menyaksikan wujud istana ratu Balqis di hadapannya. Pemberian Allah Azza wa Jalla tersebut dinilai oleh Nabi Sulaiman guna menguji rasa syukurnya pada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Lalu, ayat ini ditutup dengan dua nama Allah Azza wa Jalla yang mulia al-Ghani (Maha Kaya) dan al-Karîm (Maha Mulia). Kedua nama ini sangat erat dengan konteks awal ayat tersebut. Siapa saja yang mau bersyukur, sikap tersebut tidak akan menambah kekayaan Allah Azza wa Jalla karena Allah Maha Kaya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mau bersyukur tidak akan mengurangi kekayaan Allah Azza wa Jalla. Demikian pula, barangsiapa yang bersyukur akan mendapat balasan dari al-Karîm (Yang Maha Pemurah) balasan yang berlipat ganda. Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Allah Azza wa jalla tetap senantiasa memberi rezeki bagi mereka. Hal ini seperti termaktub dalam firman Allah:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya AllahMaha Kaya darimu (tidak memerlukanmu) dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi para hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuran itu bagimu" [az-Zumar/39:7]

Barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya lagi Maha Mulia. Allah Azza wa Jalla memberi bukan karena membutuhkan makhluk tapi karena Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Pemurah).

Adapun pada ayat surat al-Infithâr, Allah Azza wa Jalla bertanya kepada manusia, apa yang membuat mereka teperdaya untuk selalu berbuat durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Padahal, Allah Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan berbagai nikmat dan rahmat bagi mereka. Karena Allah bersifat Maha Pemurah terhadap seluruh manusia. Tidaklah pantas manusia berlaku demikian, karena Allah al-Karîm (pemurah) terhadap mereka.

Al-Karîm adalah yang mulia dalam segala hal, yang amat banyak pemberian dan kebaikannya, baik ketika diminta maupun tidak. Nama al-Karîm menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Allah Azza wa Jalla dalam zat dan segala sifat serta perbuatan-Nya:

1. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam dzat-Nya. Tidak ada cacat sedikit pun dalam dzat Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dzat Allah k Maha Indah.

2. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam segala sifat-Nya. Tidak ada sifat jelek pun pada Allah k . Sesungguhnya sifat-sifat Allah amat sempurna dalam segala maknanya.

3. Allah Azza wa Jalla juga Maha Mulia dalam segala perbuatannya. Tidak ada cacat dalam perbuatan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya segala perbuatan Allah Azza wa Jalla penuh dengan berbagai hikmah yang luas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Nama Allah al-Karîm mencakup makna kedermawanan, juga makna kemuliaan dan keluhuran, serta bermakna kelembutan dan memberi kebaikan" [5].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Secara global, makna al-Karîm adalah dzat yang suka memberi kebaikan yang banyak dengan amat mudah dan gampang. Lawannya, orang pelit yang amat sulit dan jarang mengeluarkan kebaikan "[6].

Diantara makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla berbuat baik kepada seluruh makhluk tanpa sebuah kewajiban yang mesti mereka kerjakan. Semua kebaikan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhluk adalah semata-mata atas kemurahan-Nya kepada para makhluk.

Kemudian, sebagai (cermin) sifat karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memaafkan sesuatu hak yang wajib diserahkan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah. Karena nama Allah al-Karîm beriringan dengan nama Allah al-'Afuww (Maha Pemberi Maaf), seperti tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata: "Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seandainya aku mengetahui malam Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?" Beliau bersabda: "Ucapkanlah: Ya Allah sesungguhnya engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau mencintai sifat pemaaf, maka ampunilah aku". [HR. at-Tirmidzi 5/534, dan dishahîhkan al-Albâni]

Disamping itu, jika seseorang bertaubat dari kesalahannya, Allah Azza wa Jalla menghapus dosanya dan menggantikan kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [al-Furqân/25:70]

Begitu juga, sebagai cermin karom-Nya, Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi, tanpa pernah terhenti pemberian-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" [Luqmân/31:20]

Demikian pula sebagai bentuk karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memberi nikmat dari semenjak pertama meskipun tanpa diminta. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan berapa banyak binatang yang tidak membawa rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-'Ankabût/29:60]

Sebagai cermin sifat karom-Nya yang lain, Allah Azza wa Jalla memberi berbagai kebaikan tanpa mengharap pamrih, karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah secara mutlak. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz-Dzâriyât/51:57-58]

Termasuk pula dalam makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya dan berjanji akan memperkenankan permintaan mereka. Bahkan memberitakan mengenai pemberian lain diluar permintaan mereka tersebut. Sebaliknya, akan marah kepada orang yang tidak berdoa kepada-Nya. Karena Allah itu Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabbmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [Ghâfir/40:60]

Jadi intinya, pengertian nama al-Karîm adalah yang memiliki segala macam kebaikan dan kemuliaan serta keutamaan[7].

ALLAH AZZA WA JALLA MENAMAKAN AL-QUR'AN DENGAN NAMA AL-KARIM
Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kitab suci al-Qur'ân kalamullah adalah kitab yang Karîm (mulia). Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ

"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia" [al-Wâqi'ah/56:77]

Dijelaskan oleh para ulama, alasannya karena al-Qur'ân adalah kalâmullah (perkataan Allah Azza wa Jalla), mengandung kebaikan yang begitu banyak. Di dalamnya terdapat petunjuk yang lurus, keterangan yang jelas, ilmu yang berguna dan hikmah yang banyak [8]. Segala kebaikan terjamin dengan menjalankan isi Al Quran tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, "Allah Azza wa Jalla menyebutkan sifat al-Qur'ân dengan sesuatu yang menunjukkan keindahan, limpahan kebaikan juga manfaat serta keagungannya. Karena al-Karîm adalah sesuatu yang sarat dengan kebaikan yang amat banyak lagi agung manfaatnya. Dan al-Qur`ân sendiri, ditinjau dari segala segi merupakan yang terbaik dan paling afdhal. Maka, Allah Azza wa Jalla mensifati diri-Nya dengan sifat al-Karam (kemuliaan) serta mensifati kalam dan 'Arasy-Nya dengan sifat karam pula. Dan juga memberikan sifat tersebut sesuatu yang banyak kebaikannya dan indah bentuknya..."

Al-Azhari rahimahullah berkata, "Al Qur'ân disebut al-Karîm karena kandungannya akan berbagai petunjuk, penjelasan, ilmu dan hikmah" [9].

Al Qur'ân yang mulia ini dibawa oleh malikat yang mulia pula yaitu Jibril Alaihissalam, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Qur'ân itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)" [at-Takwîr/81:19].

Kemudian Al Qur'ân yang mulia tersebut disampaikan oleh malaikat yang mulia kepada rasul yang mulia pula, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.." [al-Hâqqah/69:40]

Berdasar ayat di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sebagai utusan yang karîm (mulia) karena Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang mulia, membawa kitab yang mulia, mengajak manusia kepada segala hal yang mulia, baik dalam hal keyakinan maupun amalan.

Demikian pula, 'Arsy Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

"Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Rabb (Yang memiliki) 'Arsy yang mulia.". [al-Mukminûn/23:116]

Karena 'Arsy merupakan makhluk yang paling besar dan paling tinggi di atas seluruh makhluk. Segala kemuliaan yang terdapat pada makhluk adalah atas pemberian Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mulia. Hal tersebut menunjukkan akan kemulian makhluk tersebut di sisi Allah, melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Surga yang dipenuhi berbagai macam kenikmatan, segala nikmat yang terdapat di dalamnya melebihi segala apa yang ada di dunia. Yang disediakan bagi orang-orang yang memiliki sifat mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". [an-Nisâ/4:31]

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL MELALUI NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM
Selanjutnya, berikut ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari mengetahui dan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm. Perkara ini merupakan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim ketika memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla tersebut. Agar nama al-Karîm benar-benar memberikan pengaruh positif bagi peningkatan iman dan perbaikan ibadah dan akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, diantaranya:

1. Menanamkan sifat mulia dalam diri seorang muslim, karena Allah Maha Mulia dan mencintai orang yang bersifat mulia.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Makhluk yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah orang yang mampu menghiasi diri dengan sifat yang merupakan penjabaran dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia makam Dia Azza wa Jalla mencintai orang yang memiliki sifat mulia dari para hamba-Nya"[10] .

2. Menanamkan sifat pemurah dalam diri seorang muslim. Karena diantara makna al-Karîm adalah Maha Pemurah. Tentu Allah Azza wa Jalla amat mencintai orang yang bersifat pemurah. Dan Allah Azza wa Jalla membenci orang yang bersifat kikir. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

"Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini". [Muhammad/47:38]

3. Menumbuhkan rasa cinta yang dalam pada diri seorang muslim kepada Allah Azza wa Jalla . Karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla memberi nikmat tanpa batas kepadanya meskipun tanpa diminta.

4. Wajibnya memuliakan kitab Allah Azza wa Jalla, al-Qur'ânul Karîm. Karena, al-Qur'ân adalah kalam Allah Azza wa Jalla yang mulia, yang diturunkan melalui perantara malaikat yang mulia kepada Rasul yang mulia.

5. Wajibnya memuliakan malaikat-malaikat Allah Azza wa Jalla, diantaranya malaikat Jibril. Barang siapa yang membencinya, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir". [al-Baqarah/2:98]

6. Wajibnya mencintai para rasul Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang membenci salah seorang diantara mereka, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla, sesuai dengan kandungan ayat di atas.

7. Menumbuhkan sifat suka memuliakan tetangga dan tamu, sesuai anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

8. Menumbuhkan sifat suka pemaaf, karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat pemaaf.

9. Mendorong kita untuk selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla malu mengembalikan tangan hamba yang diangkat saat berdoa dalam keadaan kosong. Karena nama Allah al-Karîm bergandengan dengan nama Allah Azza wa Jalla al-Hayiyyu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha Mulia, Allah malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya mengembalikannya dalam keadaan kosong lagi merugi". [HR. Abu Dâwud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albâni]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita orang yang bersifat mulia lagi pemurah. Dan menjadikan kita orang yang mencintai segala hal yang mulia, baik berbentuk keyakinan, ucapan maupun tindakan dan perbuatan. Wallahu A'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]







Hidayah Hanya Milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala



Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk". [Al Qashash/28 : 56]

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam". [At Taubah/9 : 113]

Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki". [Al Qashash/28 : 56].

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama : Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103).”

Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatakan oleh Allah tidak dimiliki oleh Rasulullah Shllallahu 'alaihi wa sallam di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah Subhanahu w Ta'ala menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.

Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.

Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah". [Ar Ra‘d/13 : 7].

Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ

"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah". [Asy Syura/42 : 52-53]

Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, dipakai untuk makna memasukkan petunjuk ke dalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.

Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus". [Asy Syura : 52].

Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak dapat membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi mungkar, berdalih dengan ayat “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.

Kedua : Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.

Di dalam Al Qaulul Mufid 'Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al Qur`an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia” (Maryam : 35). Demikian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Maryam : 92). Dan firmanNya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin : 40). Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,”Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur”. [HR Muslim].

Kemudian firmanNya “mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik”, maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.

Sedangkan firmanNya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallamk meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.

Allah melarang Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak untuk dimintakan ampunan. Jika engkau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.

Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.

Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dalam Al Qur`an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud di sini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para rasul, para nabi dan para wali, serta selain mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup dari meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak mau memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau memohon kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka -saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah, atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a‘lam.”

Ketiga : Sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Ucapkanlah la ilaha illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang-orang yang mengaku berilmu.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna kalimat “la ilaha illallah”, sehingga setiap orang yang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan kekufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan Allah, dan menjadikan para rahib atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah. Seandainya mereka mempunyai hati untuk memahami kalimat itu, tentu mereka akan mengetahui, makna la ilaha illallah ialah berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan melaksanakan hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat " [Al Baqarah : 256]”
.
Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam sendiri menyatakan, golongan Khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur`an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”Seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihain.

Jika sekadar mengucapkan la ilaha illallah sudah cukup, tentu tidak akan terjadi peperangan antara Rasulullah n dengan kaum musyrikin. Bukankah kaum musyrikin pada saat itu juga memahami kalimat la ilaha illallah, bahkan pemahamannya melebihi orang-orang yang mengaku berilmu pada zaman sekarang ini? Namun Allah telah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak memahami.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, bahwa perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (yaitu, berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu) pada point ketiga ini, seolah-olah beliau menunjuk kepada penafsiran para ahli ilmu kalam terhadap makna kalimat la ilaha illallah, yakni mereka (ahli ilmu kalam) mengatakan, bahwa al ilah (dalam kalimat tersebut) adalah Dzat yang Maha Kuasa untuk melakukan ikhtira‘ (mencipta sesuatu tanpa contoh sebelumnya), dan tidak ada yang mampu untuk melakukan ikhtira‘, kecuali hanya Allah semata. Ini adalah tafsir yang batil.

Memang benar, bahwa tidak ada yang mampu melakukan ikhtira‘ kecuali Allah, namun itu bukan makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilaha illallah. Makna yang sebenarnya ialah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Karena, kalau mengatakan la ilaha illallah bermakna tidak ada yang mampu melakukan ikhtira` kecuali Allah, maka orang-orang musyrik yang dahulu diperangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para wanita, anak-anak, dan harta mereka beliau bolehkan untuk ditawan dan diambil, telah menjadi muslim.

Jadi, secara zhahir perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini menunjukkan bahwa (mereka yang mengaku berilmu tersebut) adalah para ahli ilmu kalam yang menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan Tauhid Rububiyah, dan begitu pula orang-orang yang menyembah Rasulullah dan para wali tetapi berani berkata, ‘Kami mengucapkan la ilaha illallah.’”

Maraji‘:
1. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Ibad, oleh Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Al-Ghaniyyu, Allah Maha Kaya




Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah yang Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha terpuji. [Fâthir/35:15]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّهُ هُوَ أَغْنَىٰ وَأَقْنَىٰ

Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan [an-Najm/53:48]

Allah Azza wa Jalla Maha kaya dengan dzat-Nya, yang memiliki kekayaan yang mutlak dan sempurna dari seluruh sisi dan pandangan lantaran kesempurnaan dzat-Nya dan sifat-Nya yang tidak tersentuh oleh kekurangan dari arah manapun. Ini tidak mungkin terjadi kecuali karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha kaya dan lantaran sifat kaya (berkecukupan) sudah lazim pada dzat-Nya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla Maha pencipta,Pemberi rezeki, dan Maha pengasih serta yang melimpahkan kebaikan, maka Allah Azza wa Jalla juga Maha kaya, tidak membutuhkan seluruh makhluk dari sisi manapun. Para makhluk-Nya itu pasti membutuhkan-Nya dalam kondisi apapun. Mereka tidak bisa mengesampingkan curahan kebaikan, kemurahan, pengaturan dan pemeliharaan-Nya, baik yang bersifat umum maupun khusus dalam sekejap mata sekalipun.

Di antara wujud kesempurnaan kekayaan-Nya;

1. Sesungguhnya perbendaharaan langit dan bumi seluruhnya ada di tangan-Nya, dan kedermawanan-Nya kepada para makhluk datang secara kontinyu sepanjang malam dan siang, dan kedua tangan-Nya selalu memberi di setiap waktu.

2. Allah Azza wa Jalla menyeru para hamba-Nya agar hanya meminta kepada-Nya di setiap waktu dan keadaan; dan berjanji untuk mengabulkan permintaan-permintaan mereka, serta memerintahkan mereka beribadah kepada-Nya dan berjanji menerima amalan dan memberi pahala mereka. Sungguh Allah Azza wa Jalla telah member seluruh yang mereka minta dan semua yang mereka inginkan serta apa yang mereka angan-angankan.

3. Kalau seandainya seluruh penduduk langit dan bumi, dari makhluk yang paling awal sampai makhluk yang paling akhir berkumpul di satu tanah lapang, kemudian masing-masing mengajukan permintaannya sendiri-sendiri, selanjutnya Allah Azza wa Jalla mengabulkan seluruh permintaan mereka, maka semua itu tidak mengurangi apa yang Dia Azza wa Jalla miliki kecuali seperti jarum yang dicelupkan ke dalam lautan.

4. Wujud kekayaan-Nya yang sangat agung yang tidak bisa diukur dan tidak mungkin bisa dideskripsikan, apa yang telah Dia Azza wa Jalla bentangkan bagi penghuni Jannah yang berupa kelezatan-kelezatan yang tidak terputus dan pemberian-pemberian-Nya yang beraneka-ragam, serta kenikmatan-kenikmatan yang bervariasi yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbesit di hati manusia.

Allah Maha kaya dengan dzat-Nya, yang mencukupi (kebutuhan) seluruh makhluk. Allah Azza wa Jalla memenuhi keperluan para hamba-Nya dengan rezeki-rezeki yang telah Allah Azza wa Jalla hamparkan dan menambah berbagai kenikmatan bagi mereka yang tidak terhitung dan tidak terbilang, serta dengan memudahkan sarana-sarana yang mengantarkan kepada perolehan kekayaan.

5. Dan lebih khusus dari semua itu, Allah Azza wa Jalla memperkaya hamba-hamba pilihan-Nya dengan limpahan ma’rifah (pengetahuan), ilmu-ilmu rabbâni dan hakekat-hakekat keimanan ke dalam hati sanubari mereka, sehingga kalbu-kalbu mereka hanya bergantung kepada-Nya dan tidak bergantung kepada selain-Nya. Inilah kekayaan tertinggi dan kekayaan yang sebenarnya, sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَشْرَةِ الْعَرْضِ إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan yang sejati ialah kekayaan hati [HR. al-Bukhâri, no. 6446, Muslim no. 1051]

Pada saat hati itu kaya (merasa berkecukupan) dengan Allah Azza wa Jalla, pengetahuan tentang-Nya dan hakekat-hakekat keimanan, maka akan merasa cukup dengan rezeki dari-Nya dan menerimanya dengan tulus (bersifat qanâ’ah) dan berbahagia dengan apa yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepadanya, maka seorang hamba yang telah sampai ke derajat ini, tidak akan merasa iri terhadap (kekayaan) raja-raja dan pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan dia telah memperoleh kekayaan yang tidak ia harapkan digantikan dengan yang lainya; kekayaan yang membuat hatinya tentram, menjadikan ruhaninya merasa damai dan menyebabkan jiwanya merasa senang dengannya.

Kita memohon semoga Allah Azza wa Jalla memperkaya hati kita dengan hidayah, cahaya dan ma’rifah dan sifat qanâ’ah, dan juga membentangkan keluasan karunia-Nya dan rezeki halal kepada kita sekalian. Wallâhu a’lam.

(Diadaptasi dari Fathur Rahîm al-Malikil “Allâm Fi ‘Ilmil ‘Aqâidi wat Tauhîdi wal Akhlâqi wal Ahkâmi al-Mustambathati minal Qur`âni, Cet. III, Th. 1424H, hlm. 52-53)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]




Rabb, Maha Memiliki Rububiyyah




Oleh
Ustadz Ahmas Faiz 'Asifuddin



Salah satu nama Allah yang sangat indah adalah nama Rabb [1]. Artinya, Yang Maha Memiliki sifat Rububiyah.

Banyak hadits yang membuktikan bahwa Rabb adalah salah satu nama Allah [2] Di antaranya hadits ‘Amr bin ‘Abasah bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنْ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ. رواه الترمذي

"Saat paling dekatnya ar-Rabb terhadap hamba-Nya ialah pada kedalaman malam (bagian) yang terakhir. Maka apabila kamu mampu, hendaknya kamu menjadi orang yang menyebut Allah pada saat itu". [3]

Berkait dengan hal ini adalah hadits marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dibawakan oleh Ibnu 'Abbas. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ. رواه مسلم

"Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang untuk membaca Al-Qur`ân pada saat ruku’ atau sujud. Adapun ruku’, maka agungkanlah di dalamnya (nama) ar-Rabb k . Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, karena (saat itu) sangat layak doamu dikabulkan".[4]

Rabb itu sendiri artinya, Maha Mencipta, Maha Memiliki, Maha Mengatur semua urusan dan Maha Murabbi (mentarbiyah, membina, memelihara) segenap makhluk-Nya [5]. Sifat yang dimiliki dari nama Rabb adalah sifat Rububiyah. Artinya Allah bersifat mencipta, memiliki, mengatur serta mentarbiyah dan memelihara segenap makhlukNya.

Ketika menafsirkan kata رب العالمين pada surah al-Fâtihah, Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (1307 -1376 H) menguraikan penjelasannya sebagai berikut:

"Ar-Rabbu berarti Murabbi (pembina, pemelihara dan pendidik) seluruh alam semesta, dengan cara menciptakan mereka, menyediakan berbagai peralatan bagi mereka dan memberikan berbagai kenikmatan besar buat mereka yang bilamana nikmat ini hilang, maka tidak mungkin mereka dapat bertahan hidup. Karenanya, nikmat apa saja yang mereka peroleh, tidak lain hanyalah berasal dari Allah".

Sementara itu tarbiyah (pemeliharaan dan pendidikan) Allah terhadap makhluk-Nya ada dua macam, yaitu tarbiyah umum dan tarbiyah khusus.

Tarbiyah umum, ialah pembinaan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh Allah terhadap segenap makhluk-Nya; dengan cara menciptakan, memberikan rizki, dan membimbing mereka (termasuk bimbingan secara naluri, Pen.) menuju segala apa yang maslahat bagi mereka hingga dapat bertahan hidup di dunia.

Sedangkan tarbiyah khusus ialah, tarbiyah yang diberikan secara khusus kepada para wali-Nya. Allah membina, mentarbiyah serta memelihara mereka dengan keimanan. Memberikan taufiq kepada mereka untuk beriman. Menjadikan mereka terus meningkat kesempurnaan dirinya dan menyingkirkan segala penghambat serta penghalang yang dapat menghalangi mereka dari keimanan.

Jadi, pada hakikatnya, tarbiyah khusus dari Allah ialah tarbiyah dalam bentuk taufik menuju segala kebaikan dan dalam bentuk pemeliharaan dari segala kejelekan.[6]

Dengan demikian, sesungguhnya nama ar-Rabb mengandung makna yang sangat besar. Karena berlangsungnya seluruh kehidupan makhluk, perkembangannya dan serba keteraturannya, tidaklah terlepas dari sifat Rububiyah Allah; sifat yang berasal dari nama Rabb. Begitu pula hamba-hamba Allah yang bertakwa, mereka tidak menjadi orang-orang yang bertakwa kecuali karena bimbingan, taufiq serta tarbiyah khusus Allah. Allah Azza wa Jalla telah mentarbiyah, membina serta memelihara mereka secara khusus. Dan ini erat sekali kaitannya dengan nama Allah; ar-Rabb.

Maka, jika seseorang benar-benar menghayati makna Rabb sebagai salah satu nama Allah yang Husna (sangat indah), tentu dia akan dapat lebih sempurna dalam mengagungkan, menghormati, menyintai dan mensyukuri segala nikmat Allah k . Diapun akan malu jika tidak taat kepada Allah atau jika bermaksiat kepada-Nya.

Begitu agungnya nama ar-Rabb, sehingga penyebutan nama Rabb dalam doa, menjadi salah satu faktor penting bagi dikabulkannya doa. Sebagaimana terindikasikan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ :(يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ). ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ . رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik. Dia tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum Mukminin apa yang telah Allah perintahkan kepada para rasul-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (kepada para rasul yang artinya): 'Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shaalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan' –Qs al-Mu’minûn/23 ayat 51- dan Allah juga berfirman (kepada kaum Mukminin yang artinya): 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah oleh kalian dari makanan yang baik-baik yang Kami berikan sebagai rizki kepada kalian' –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut tentang seseorang yang lama berada dalam bepergian, rambutnya acak-acakan, kakinya berdebu, selalu menjulurkan kedua tangannya ke langit (memohon kepada Allah, seraya menyeru:),'Ya Rabb, Ya Rabb,' tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dibesakan dengan makanan yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?" [7]

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (736-795 H) menjelaskan bahwa bagian akhir dari hadits di atas memberikan isyarat tentang adab-adab berdoa dan tentang faktor-faktor yang menyebabkan dikabulkannya doa. Beliau menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan dikabulkannya doa dalam hadits ini ada empat.

Selanjutnya beliau menyebutkan satu persatu faktor itu hingga akhirnya beliau menyebutkan faktor terakhir, yaitu: Keempat: Merintih kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengulang-ulang penyebutan Rububiyah Allah (maksudnya, mengulang-ulang seruannya kepada Allah dengan menyebut nama: Rabb. Yaitu seruan: Ya Rabb, Ya Rabb). Ini merupakan salah satu faktor terbesar bagi harapan dikabulkannya doa.

Barangsiapa merenungkan doa-doa yang tersebut di dalam Al-Qur`aan, nisacaya ia akan mendapati bahwa pada umumnya doa-doa tersebut dibuka dengan nama: Rabb. Misalnya doa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

"Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [al-Baqarah/2:201].

Juga dalam firman-Nya:

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya". [al-Baqarah/2:286].

Juga dalam frman-Nya:

"Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." [Ali Imran/3:8].

Dan masih banyak contoh lain dalam Al-Qur`ân.[8]

Jadi, berdoa kepada Allah dengan menyebut nama Rabb merupakan salah satu faktor terbesar bagi dikabulkannya doa. Dengan demikian, nama Rabb memiliki makna yang sangat penting. Setiap muslim wajib dan perlu memahami, menghayati serta menjalankan konsekuensi dari nama yang agung ini.

Berkait dengan Rububiyah Allah yang mengandung arti tarbiyah khusus Allah kepada para wali (hamba kesayangan)-Nya, Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Tampaknya dari makna inilah rahasia, mengapa kebanyakan doa para nabi selalu dengan lafal Rabb. Sebab isi permohonan mereka semua masuk dalam Rububiyah Allah yang khusus (artinya, selalu memohon supaya mereka mendapat pemeliharaan khusus dari Allah yang berupa pertolongan dan keselamatan dunia serta akhirat, Pen.). Maka firman Allah : رب العالمين menunjukkan betapa Allah Maha Esa dalam mencipta, mengatur, dan memberi nikmat. Juga menunjukkan betapa Maha Sempurna kekayaan Allah, sekaligus betapa membutuhkannya seluruh alam semesta kepada Allah, dilihat dari segala sisi manapun."

Dari sekelumit penjelasan makna Rabb di atas, hendaknya kaum muslimin semakin memahami betapa agung Allah Azza wa Jalla, Rabb Pencipta yang merupakan sesembahan satu-satunya yang behak disembah. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Tidak ada Pencipta kecuali Dia saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam menciptakan maupun dalam hak peribadatan.

Maka, hendaknya manusia hanya beribadah kepada-Nya saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Tidak memohon rizki dan tidak mencari solusi kecuali hanya kepada-Nya semata. Sebab Dia-lah Rabb seru sekalian alam.

Marâji`:
1. Al-Qawâ’id al-Mutslâ fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husna, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimiin. Tahqîq wa Takhrîj: Asyraf bin Abdul Maqshûd bin 'Abdur-Rahîm, Maktabah as-Sunnah, Cet. I 1411 H/1990 M.
2. Îqâzh al-Himam; al-Muntaqâ` min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam Ibnu Rajab, karya Syaikh Saliim bin ‘Id al-Hilâli, Dâr Ibni al-Jauzi, Cet. VII, Muharam 1425 H.
3. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, Cet. III, 1417 H/1996 M.
4. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Mâ’arif, Riyadh, Cet. I dari penerbitan yang baru, 1420 H/2000 M.
5. Syarh al-'Aqîdah al-Wâsithiyah, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah al-Mâ’arif, Cet. VI, Th. 1413 H/1993 M.
6. Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin, I’dad: Fahd bin Nâshir bin Ibrâhim as-Sulaimân, Dâr ats-Tsurayya lin-Nasyr, Cet. III, Th. 1417 H/1997 M.
7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân fi Tafsîri Kalâmin Mannân, Syaikh 'Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia - Akhirat




Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin



Banyak orang salah memahami takdir. Walhasil muncul banyak kesesatan karenanya. Ada dua kubu ekstrim yang saling berlawanan arah dan sama-sama sesat dalam hal ini. Satu kubu menolak takdir. Mereka adalah Qadariyah dan Mu’tazilah serta pengikutnya. Sedangkan kubu lainnya menetapkan takdir secara salah. Mereka adalah golongan Jabriyah dan pengikutnya. Hanya kelompok yang berada di tengah dua kubu itulah kelompok yang benar. Kelompok ini adalah kelompok asli umat Islam yang memahami takdir serta mengimaninya secara proporsional, sesuai dengan dalil al Qur`an dan Sunnah sebagaimana difahami oleh Salafush Shalih.

Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, hukumnya wajib, karena ia merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Adalah sangat ironis jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia ragu bahkan ingkar terhadap takdir, meskipun tidak total. Seseorang yang tidak beriman kepada takdir dan mengingkarinya, maka ia kafir.

Dalam hubungannya dengan kasus pengingkaran terhadap takdir ini, Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’i, menceritakan laporannya kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu tentang Ma’bad al Juhani, tokoh Mu’tazilah pertama yang menyeret penduduk Basrah pada penolakan terhadap takdir. Maka Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang itu, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari golongan mereka dan merekapun terlepas dari golonganku”. (Selanjutnya Ibnu Umar berkata):

وَالَّذِى يَحْلِفُ بِهِ عبدُ الله بْنُ عُمَرَ ، لَوْ أنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًاَ فَأَنْفَقَهُ ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ. ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَ فِيْهِ:
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ . رواه مسلم

“Demi Allah Yang dengan namaNya Abdullah bin Umar bersumpah, kalaulah ada sesorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian ia infakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya sebelum ia beriman kepada takdir”. Selanjutnya beliau berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang panjang, di antaranya.

"Iman ialah bila kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada para rasulNya, kepada hari akhirat dan bila kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk" [HR Muslim secara ringkas] [1]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, menerangkan : “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan, bahwa iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, berarti ia telah meninggalkan dan mengingkari satu rukun agama. Kedudukan orang ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

"Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain?". [Al Baqarah : 85].[2]

عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ : أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ : وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ : لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ . أخرجه أبو داود.

"Dari Ibnu ad Dailami (seorang tabi’i), ia berkata : Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau : 'Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku'.
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni bumiNya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zhalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Andaikata engkau berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerima infakmu sebelum engkau beriman kepada takdir dan memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, sedangkan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu.
Bila engkau mati tidak berdasarkan iman kepada takdir ini, niscaya engkau masuk ke dalam neraka”.

Ibnu ad Dailami selanjutnya berkata: Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay bin Ka’ab. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay. Ibnu ad Dailami berkata lagi : Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliaupun membawakan hadits kepadaku dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal yang senada dengan perkataan Ubay.[Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud].[3]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, membawakan beberapa riwayat lain yang senada dengan hadits di atas, di antaranya diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain. Dan pada akhirnya beliau t menyimpulkan: “Semua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mengandung ancaman keras bagi siapa saja yang tidak beriman kepada takdir. Hadits-hadits tersebut juga merupakan hujjah pemukul bagi para penolak takdir dari kelompok Mu’tazilah maupun kelompok lainnya. Sementara itu, di antara pemahaman yang dianut Mu’tazilah, ialah menyatakan, bahwa pelaku kemaksiatan akan kekal di dalam neraka. Padahal, keyakinan mereka tentang tidak ada takdir, merupakan salah satu dosa besar dan kemaksiatan yang paling besar. Dengan demikian, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir tentang wajibnya mengimani takdir yang meruntuhkan hujjah mereka, mereka sebenarnya telah menghukumi diri mereka sendiri untuk kekal di dalam neraka jika tidak bertaubat. Ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman salah mereka. Mereka ternyata menentang dalil-dalil mutawatir dari al Qur`an dan Sunnah yang mewajibkan iman kepada takdir, dan dalil-dalil mutawatir yang menolak kekalnya orang-orang bertauhid yang berbuat dosa besar di neraka”. [4]

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ ؛ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي" أخرجه أبو داود

"Ubadah bin Shamit berkata kepada anaknya: "Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan rasa hakikat iman sebelum engkau memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Sesungguhnya, pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya,’Tulislah!!’. Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat’."
(Ubadah melanjutkan perkataannya:) Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mati tidak atas dasar (beriman kepada takdir) ini, maka ia tdak termasuk golonganku" [HR Abu Dawud].[5]

Namun mengimani dan menetapkan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala juga harus secara benar, supaya tidak terperangkap ke dalam pemahaman Jabriyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: Iman kepada takdir meliputi dua peringkat iman. Masing-masing peringkat meliputi dua bentuk keimanan.

Pertama : Beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh segenap makhluk, dengan ilmuNya yang bersifat azali dan abadi.[6] Allah Maha mengetahui semua keadaan para maklukNya, baik berkaitan dengan ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan, rizki-rizki maupun ajal-ajal mereka. Kemudian Allah menuliskan segenap takdir makhluk ke dalam Lauh Mahfuzh".

Selanjutnya Syaikhul Islam rahimahullah membawakan dalil-dalilnya. Di antaranya hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

"Sesungguhnya pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya ‘Tulislah!!’ Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat!". [HR Abu Dawud]. [7]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، إِنَّ ذَلِكَ فِى كِتاَبٍ، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al Hajj : 70].

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".[Al Hadid : 22]

Berikutnya Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan penjelasannya:

Kedua, beriman kepada adanya kehendak dan kekuasaan Allah yang pasti berlangsung dan meliputi segalanya. Artinya, harus beriman bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak terjadi. Juga beriman bahwa tidak ada suatu gerakan apapun di langit maupun di bumi, begitu pula tidak akan terjadi sesuatupun yang diam, kecuali terjadi dengan kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi di wilayah kekuasaanNya, bila Allah tidak menghendakinya. Allah juga Maha berkuasa terhadap segala sesuatu, baik terhadap yang ada maupun terhadap yang tidak ada. Maka tidak ada satu makhlukpun di bumi maupun di langit, kecuali Allah-lah yang menciptakannya. Tiada Pencipta selain Allah dan tidak ada Rabb selain Dia.[8]

Dari penjelasan syaikhul Islam rahimahullah di atas, sesungguhnya bisa disimpulkan, bahwa dalam memahami dan mengimani takdir, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, harus meliputi keimanan terhadap empat perkara.

Perkara pertama dan kedua disimpulkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bagian pertama. Sedangkan perkara ketiga dan keempat disimpulkan dari perkataan beliau bagian kedua. Empat perkara tersebut sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Beriman kepada ilmu Allah yang meliputi segala zaman dan tempat. Artinya, harus mengimani bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu, di mana dan kapanpun, baik yang ada maupun yang tidak ada. Termasuk mengetahui amal-amal perbuaan makhluk, baik berupa ketaatan-ketaatan maupun kemaksiatan kemaksiatan. Begitu juga tentang rizki, ajal maupun lain-lainnya.

Kedua : Pada saat yang sama harus beriman pula bahwa Allah menuliskan segala sesuatu yang telah diketahuiNya di Lauh Mahfuzh sebagai ketetapan takdirNya. Ketetapan takdir ini terjadi limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم

"Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah n bersabda : “Allah telah menuliskan ketetapan segenap takdir bagi segenap makhluk, sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi dengan jarak limapuluh ribu tahun”. Beliau bersabda: “Sedangkan ‘arsyNya berada di atas air”. [HR Muslim].[9]

Ketiga : Beriman kepada kehendak (masyi’ah) Allah. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang Allah tidak kehendaki, pasti tidak terjadi.

Keempat : Beriman bahwa Allah Maha mencipta. Artinya, apa saja yang Allah kehendaki adanya, baik benda maupun gerakan benda, maka Allah pasti akan menciptakan dan mengadakannya.

Keempat perkara di atas harus diimani dan difahami sebagai satu kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan, karena keempatnya tidak saling bertentangan satu sama lain.

Pemahaman terhadap masalah takdir di atas, sebenarnya merupakan sebagian konsekuensi penting dalam memahami dan mengimani rukun iman pertama secara benar, yaitu beriman kepada Allah yang meliputi iman kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan UluhiyahNya. Jika benar keimanan seseorang kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat, serta Uluhiyah Allah, benar dalam arti sebenar-benarnya sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, niscaya akan benar pula keimanannya kepada takdir. Sebab iman kepada takdir terkait erat dengan masalah Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan Uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tentu beriman kepada takdir secara benar, tidak menghilangkan daya upaya seseorang untuk melakukan tindakan tertentu agar sukses meraih sesuatu atau terhindar dari marabahaya. Justeru disinilah salah satu letak; benar atau tidaknya seseorang memahami takdir. Sebab daya upaya ini adalah termasuk yang diperintahkan dalam Islam dan wajib dilaksanakan.

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ عُودًا يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.. الْآيَةَ) متفق عليه

Dari Ali Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau n pernah mengiringi jenazah seseorang ke kuburan, lalu beliau n mengambil sebatang kayu sambil memukul-mukulkannya ke tanah. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya; apakah di neraka atau di surga”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tidak bergantung (pada nasib) saja?” Beliau menjawab: “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya),” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Al Lail ayat 5-10". [Hadits yang muttafaq ‘alaih].[11]

Dalam hadits di atas, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sudah ditetapkannya seseorang, apakah kelak menjadi penghuni sorga atau penghuni neraka, para sahabat lalu menyatakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, bukankah kami lebih baik menunggu takdir saja dan tidak usah berbuat apa-apa?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menolak pernyataan mereka seraya menjelaskan: “Tidak!! Tetapi kalian harus tetap berbuat, sebab masing-masing akan dimudahkan menuju takdir yang ditetapkan baginya”.

Dengan demikian beriman kepada takdir secara benar, sama sekali tidak menghambat upaya dan kreatifitas seseorang. Bahkan semakin memperkuat kreatifitas yang benar dan terarah. Amat berbahaya orang yang secara serampangan mengenyampingkan persoalan takdir, atau terlalu banyak gagasan mengenainya seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah dan pengikut-pengikutnya. Begitu juga, amat berbahaya mengimani takdir menurut gaya Jabriyah. Sebab semua itu berarti melancarkan tuduhan yang sangat keji terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat, diikuti para sahabat serta dua generasi berikutnya sebagai generasi terbaik umat Islam adalah suri tauladan dalam segala hal. Mereka telah tercatat dalam sejarah emas, dengan tinta emas, sebagai generasi yang beriman kepada takdir secara benar dan sebagai generasi yang gigih melakukan perjuangan untuk meraih mardhatillah, tidak ada yang duduk berpangku tangan. Adakah suri tauladan yang lebih baik dari mereka?

Dengan beriman kepada takdir dan kepada rukun-rukun iman lain secara benar sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, maka Allah akan membukakan pintu-pintu pertolonganNya. Kebahagiaan dunia dan akhirat akan dapat diraih, dan kemunduran peradaban akan dapat tersingkirkan. Bi-idznillah wa Taufiqih.

Maraji` :
1. Al Qur’an al-Karim dan juga terjemahnya.
2. Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari. Tash-hih wa tahqiq Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, tarqim Muhammad Fu’ad Abdul Baqi- wa Isyraf ‘ala Thab’ihi : Muhibbuddin al Khathib. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Cet. VII, Th. 1421H/2000 M, Beirut, Libanon.
4. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. II, dari terbitan yang baru – 1421 H/2000 M.
5. Shahih Sunan at Tirmidzi, Syaikh al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. I, dari terbitan yang baru – 1420 H/2000 M.
6. Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh. Muraja’ah Hawasyihi : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Idaaratul Masajid wal Masyari’ al Khairiyah, Riyadh, dari penerbit Maktabah Daar as Salam, Riyadh, Cet. I, 1413 H/1992 M.
7. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M. Dan lain-lain.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]






sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment