Thursday, July 5, 2012

Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah (1), firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an. وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ "Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". [An-Nahl : 89].


Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah (1), firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an.
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". [An-Nahl : 89].



Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin


PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita memujinya, memohon ma'unah dan maghfirah-Nya, bertaubat dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkannya maka tiada yang dapat menunjukinya.

Aku bersaksi bahwa Tuhan yang berhak di sembah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang haq. Beliaupun telah menyampaikan risalah, melaksanakan amanah, tulus dan kasih kepada umat, serta berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya sampai beliau berpulang ke rahmat-Nya, sedang umatnya beliau tinggalkan pada jalan yang terang benderang, siapa yang menyimpang darinya pasti binasa.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala kebutuhan umat dalam berbagai aspek kehidupan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu : "Tidak ada yang diabaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sampai burung yang mengepakkan sayapnya di langit, melainkan beliau telah mengajarkan kepada kami tentang ilmunya".

Ada seorang musyrik bertanya kepada Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu : " Apakah Nabi kalian mengajarkan sampai tentang tatacara buang hajat ..? Salman menjawab : 'Ya, beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, dan membersihkan hajat dengan kurang dari tiga batu, atau dengan tangan kanan atau dengan kotoran kering atau dengan tulang".

ALLAH TELAH MENJELASKAN USHUL DAN FURU AGAMA DALAM AL-QURANUL KARIM
Anda tentu tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : 'Berlapang-lapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11]

Dan firman-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu : 'Kembalilah !' maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An-Nuur : 27-28]
.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur'an tentang cara berpakaian. Firman-Nya.

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi) tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka [1] dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan" [An-Nuur : 60].

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min : 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya[2] ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang". [Al-Ahzaab : 59].

ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

"Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasaan yang mereka sembunyikan". [An-Nuur : 31]

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan bukankah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[3], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya". [Al-Baqarah : 189].

Dan masih banyak lagi ayat seperti ini, yang dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang Al-Qur'an.

وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

"Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". [An-Nahl : 89].

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur'an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.

Adapun firman Allah Ta'ala.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab. Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [Al-An'aam : 38].

Ada yang menafsirkan ''al-kitab" disini adalah Al-Qur'an. Padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu "Lauh Mahfuzh" . Karena apa yang dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang Al-Qur'an dalam firman-Nya : "Artinya : Dan Kami turunkan kepadmu kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu". lebih tegas dan lebih jelas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya : "Artinya : Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-kitab".

Mungkin ada orang yang bertanya : "Adakah ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka'at tiap-tiap shalat ? Bagaimanakah dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka'at tiap-tiap shalat ?".

Jawabnya : Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an bahwasanya kita di wajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan atas firman Allah Ta'ala.

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah" [An-Nisaa : 80].

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al-Hasyr : 7].

Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Al-Qur'an telah menunjukkannya pula. Karena sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Rasulullah Shalallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

"Artinya : Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) kepadamu". [An-Nisaa : 113].

Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam sunnah maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur'an.

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM TELAH MENJELASKAN PULA SELURUH AGAMA
Pembaca yang budiman.
Apabila saudara telah mengakui dan meyakini akan hal-hal di atas, maka apakah masih ada sesuatu hal tentang agama yang dapat mendekatkan kepada Allah belum dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat ?

Tentu tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan segala sesuatu berkenan dengan agama, baik melalui perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya langsung dari inisiatif beliau, atau sebagai jawaban atas pertanyaan. Kadangkala, dengan kehendak Allah, ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang sesuatu masalah dalam agama, sementara para sahabat yang selalu menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menanyakan hal tersebut. Karena itu para sahabat merasa senang apabila ada seorang Badui datang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai bukti bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan segala apa yang diperlukan manusia dalam ibadah, mu'amalah dan kehidupan mereka, yaitu firman Allah Ta'ala.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

"Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu". [Al-Maa'idah : 3]

SETIAP BID’AH ADALAH KESESATAN
Apabila masalah tadi sudah jelas dan menjadi ketetapan saudara, maka ketahuilah bahwa siapapun yang berbuat bid'ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Ta'ala, yang artinya : "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu ....." . Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah belum terdapat di dalamnya.

Anehnya, ada orang yang melakukan bid'ah berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah Ta'ala.

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

"Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah". [Al-Baqarah : 22]

Aneh, bahwa orang yang melakukan bid'ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenan dengan dzat-Nya, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya : "Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah", dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.

Anehnya lagi, ada orang-orang yang melakukan bid'ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid'ah mereka.

Aneh, bahwa orang-orang semacam ini mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya". Padahal dengan bid'ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta'ala telah berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Hujuraat : 1].

Pembaca yang budiman.
Disini penulis mau bertanya, dan mohon -demi Allah- agar jawaban yang anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawab yang sesuai dengan tuntunan agama anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).

Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, baik yang berkenan dengan dzat, sifat dan asma' Allah Subhanahu wa Ta'ala atau yang berkenan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian mengatakan : "Kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasulullah ?".

Apakah mereka ini yang lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah dan Rasulullah, ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syari'at Allah, yang berkata : "Kami beriman kepada syari'at Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan ; kami menolak apa yang tidak ada dalam syari'at, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk ajarannya ?".

Siapakah, menurut anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya .?

Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata : "Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan ; kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syari'at Allah atau melakukan bid'ah dalam agama Allah". Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukan golongan pertama, yang melakukan bid'ah dalam agama Allah, dalam hal akidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ، فَإِنَّ كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة، وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ، وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ

"Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam neraka".

Sabda beliau : "setiap bid'ah " bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya, Maka ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kullu bid'atin dhalalah", Beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau karena beliau benar-benar tulus terhadap umatnya.

Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu : diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.

Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid'ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian ?

Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid'ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal.

Pertama : kemungkinan tidak termasuk bid'ah tapi dianggapnya sebagai bid'ah.
Kedua : kemungkinan termasuk bid'ah, yang tentu saja sayyi'ah (buruk), tetapi dia tidak mengetahui keburukannya.

Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid'ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.

Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid'ah untuk menjadikan sesuatu bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu :

وَكُلُّ بدْعَةٍ ضَلاَ

"Setiap bid'ah adalah kesesatan"

Senjata itu bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid'ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyatakan : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa Khatharil Ibtidaa', edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya : Pakaian luar, yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat.
[2]. Jilbab sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
[3]. Pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji mereka memasuki rumahnya dari belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka turunlah ayat ini sebagai penjelas



Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid'ah (2)


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin


BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah sebaik-baik bid'ah .... dst".

Jawabnya.
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta'ala berfirman :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].

Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar".

Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ... sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak ..." [1] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.

Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.

Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan".

Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.

Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :

((إِنِي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا))

"Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].

Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.

Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".

Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.

Firman Allah Ta'ala.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].

Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul 'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.

Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))

"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "Man sanna fil Islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))

" Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara.

Pertama. Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

Kedua. Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

Ketiga. Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

Keempat. Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at.

Kelima. Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.

Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam. Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ

"Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].

Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama. Ikhlas
Kedua. Mutaba'ah.

Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.

PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid'ah, yang kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu 'anhum.

Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikutilah jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan anda .?

Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas. Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati.

Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama. Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.

Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut, tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap baik sebagian dari bid'ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma' dan sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.

Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa Khatharil Ibtidaa', edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
_______


Seputar Bid'ah Shalat Tarawih



Oleh
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc



HAKIKAT BID’AH
Asal kata bid’ah adalah menciptakan (suatu hal yang baru) tanpa ada contoh sebelumnya [1]. Sebagaimana firman Allah, Allah pencipta langit dan bumi. (Al Baqarah : 117). Bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa contoh sebelumnya [2].

Adapun bid’ah menurut makna syar’i, ialah sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah, yaitu segala cara beragama yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya; yakni yang tidak diperintahkan, baik dalam wujud perintah wajib atau berbentuk anjuran [3], baik berupa keyakinan, ibadah dan muamalah.

Sedangkan menurut Imam Asy Syathibi, bid’ah ialah suatu cara dalam beragama yang dibuat untuk menandingi syari’at yang ada (yakni menyerupai cara ibadah yang disyari’atkan, padahal hakikatnya tidaklah sama, bahkan bertentangan dengannya); tujuan pelaksanaannya ialah untuk berlebihan dalam ibadah kepada Allah.

Jadi, yang dimaksud dengan bid’ah, ialah segala bentuk praktek beragama yang tidak memiliki dalil atau landasan hukum dalam agama yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan keberadaannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu, lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki dalil atau landasan hukum dari agama, maka hal itu termasuk bid’ah.

CAHAYA SUNNAH DAN GELAPNYA BID’AH
Setiap muslim wajib mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup atau sesudah meninggal dunia. Mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk bagian dari kesempurnaan cinta seseorang kepada Allah, sebagaimana firman Allah, Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”. [Ali Imran : 31].

Bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyelisihi sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menimpakan fitnah dan siksaan yang pedih, seperti dalam firman Allah: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [An Nur : 63].

Setiap muslim dilarang menyelisihi sunnah Rasul dan jalan orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. [An Nisa’ : 115].

Nabi menganjurkan kepada semua Umat Islam untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak membuat perkara-perkara bid’ah. Dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda dalam khutbahnya:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat, walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat". [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, "Hendaklah kalian mengikuti, dan janganlah kalian berbuat kebid’ahan. Sungguh kalian telah dicukupkan dalam beragama dengan Islam ini".

Imam Al Auza’i berkata,"Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka telah katakan. Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah jalan salafush shalih."

BID’AH-BID’AH DALAM SHALAT TARAWIH
Dalam rubik ini, saya akan menguraikan bahasan khusus seputar masalah bid’ah dalam shalat tarawih yang banyak menyebar di tengah masyarakat, dan diyakini sebagai perkara sunnah serta dianggap baik oleh sebagian besar orang awam. Akibatnya sunnah-sunnah shalat tarawih yang dianjurkan, banyak kehilangan bentuk dan kemurniannya. Di antara bid’ah yang lazim terjadi di masyarakat seputar masalah shalat tarawih, ialah sebagai berikut.

1. Shalat Tarawih Dengan Cepat, Laksana Ayam Mematuk Makanan.
Mayoritas imam masjid kurang memiliki akal sehat dan pengetahuan agama yang baik. Hal itu nampak dari cara melakukan shalat. Bahwa hampir semua shalat yang dilakukan, mirip dengan shalatnya orang yang sedang kesurupan, terutama ketika shalat tarawih. Mereka melakukan shalat 23 raka’at hanya dalam waktu 20 menit, dengan membaca surat Al ‘Ala atau Adh Dhuha.

Menurut semua madzhab, dalam melakukan shalat tidak boleh seperti itu, karena ia merupakan shalat orang munafik, sebagaimana firmanNya: "Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, maka mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia dan tidak menyebut Allah, kecuali hanya sedikit sekali". [An Nisa’ : 142].

Bentuk dan cara shalat tarawih yang seperti itu, jelas bertentangan dengan cara shalat tarawih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat dan ulama salaf. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat". [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي

"Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". [HR Bukhari, Muslim, Ahmad. Lihat Irwaul Ghalil no: 213].

Ad Darimy meriwayatkan, bahwa Abu Aliyah berkata,"Jika kami mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu, maka kami akan melihat ia shalat. Jika ia shalat dengan benar, kami akan duduk untuk belajar dengannya. Dan kami berkata,’Dia akan lebih baik dalam masalah lain’. Sebaliknya, jika shalatnya rusak, maka kami akan berpaling darinya dan kami berkata,’ Dia akan lebih rusak dalam masalah yang lain".[4]

Dan suatu hal yang menguatkan lagi, bahwa demikian itu menjadi perkara bid’ah, karena dikerjakan secara rutin dan permanen pada setiap bulan Ramadhan. Mereka beranggapan, bahwa hal itu merupakan cara terbaik dalam menunaikan shalat tarawih.

2. Membaca Surat Al An’am Dalam Satu Raka’at Dari Shalat Tarawih.
Para ulama menganggap, bahwa membaca surat Al-An’am dalam satu raka’at dari shalat tarawih termasuk perbuatan bid’ah, karena demikian itu tidak bersandarkan kepada suatu dalil. Adapun hadits dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab bahwa Rasulullah bersabda:

أُنْزِلَتْ سُوْرَةُ الأَنْعَامِ جَمَّةً وَاحِدَةً يُشَيِّعُهَا سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّحْمِيْدِ.

"Surat Al’An’am diturunkan sekaligus dalam sekali tahapan yang dihantarkan oleh tujuh puluh ribu malaikat sambil membaca tasbih dan tahmid".

Banyak orang awam yang tertipu dengan hadits ini. Padahal menurut Imam As Suyuthi, bahwa hadits di atas adalah dhaif. Andaikata pun hadits tersebut shahih, juga sedikitpun tidak ada anjuran yang bersifat sunnah dibaca dalam satu raka’at.

Membaca surat Al An’am dalam satu raka’at bisa dikatakan bid’ah karena beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, mengkhususkan surat Al An’am menipu ummat, bahwa surat yang lain kurang afdhal atau tidak baik untuk dibaca pada waktu shalat tarawih. Kedua, bacaan tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih. Ketiga, memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga mereka akan marah atau jengkel atau timbul kebencian terhadap ibadah. Keempat, yang demikian itu menyelisihi sunnah, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan agar raka’at kedua lebih pendek daripada raka’at pertama, sementara bid’ah ini telah merubah secara tolal sunnah tersebut dan melawan syari’at.[5]

3. Bid’ah Mengumpulkan Ayat-Ayat Sajadah.
Seorang imam mengumpulkan ayat-ayat sajadah ketika khataman Al Qur’an pada shalat tarawih dalam raka’at terakhir, kemudian ia sujud bersama makmum. [6]

4. Membaca Beberapa Ayat Yang Disebut Ayat-Ayat Hirs (Perlindungan).
Mengumpulkan beberapa ayat yang mereka sebut dengan nama ayat-ayat perlindungan, lalu dibaca secara keseluruhan di akhir raka’at dalam shalat tarawih.[7]

5. Bid’ah Dzikir Dan Do’a Ketika Hendak Memulai Shalat Tarawih.
Ucapan seorang bilal atau imam ketika hendak memulai shalat tarawih yang dibaca dengan berjama’ah dan suara keras.[8]

صَلاَةَ التَّرَاوِيْحِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ رَحِمَكُمُ اللهُ .صَلاَةَ التَّرَاوِيْحِ آجَرَكُمُ اللهُ.

Kebid’ahan ini banyak sekali menyebar di negeri ini. Dianggap sebagai sesuatu yang baik dan sunnah, padahal hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabat. Padahal setiap cara ibadah dan praktek agama yang tidak ada dalil atau landasan hukumnya, maka tertolak dan dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

"Barangsiapa yang membuat-buat ibadah dalam ajaran kami ini (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu tertolak". [HR Bukhari].

6. Berdzikir Dengan Dipandu Seorang Bilal.
Berdzikir dengan dipandu seorang bilal setiap selesai shalat dua raka’at dari shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini termasuk bid’ah. Namun terkadang bacaan dzikir dilakukan sendiri-sendiri dengan ringan, atau terkadang dzikir tersebut dibaca secara berjama’ah.[9]

Dzikir dengan cara ini termasuk bid’ah, karena beberapa alasan berikut:
• Karena membuat tata cara baru dalam beribadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan bid’ah. Dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda : "Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibikin-bikin, dan setiap bid’ah itu adalah sesat". [10]

• Dzikir tersebut hanya dikhususkan pada waktu shalat tarawih saja, padahal mengkhususkan suatu ibadah yang tidak berdasarkan dalil, maka hal itu termasuk perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

• Tindakan itu boleh jadi memberatkan kaum muslimin terutama orang awam, sehingga menimbulkan sikap kebencian terhadap ibadah.

• Perbuatan itu dengan jelas telah menyelisihi sunnah. Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan membaca dzikir secara berjama’ah dalam shalat tarawih. Begitu pula beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bacaan dzikir-dzikir tersebut. Maka bentuk dzikir seperti itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah dan kebiasaan para sahabat.

7. Mengkhususkan Membaca Qunut Pada Shalat Tarawih.
Mengkhususkan qunut hanya pada pertengahan Ramadhan dalam shalat tarawih. Yang demikian itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Malik dalam kitab Mudawwanah Al Kubra menyatakan,”Tidak ada dalil shahih yang bisa digunakan sebagai sandaran bagi orang yang mengkhususkan qunut dalam shalat tarawih pada bulan Ramadhan, baik pada awal maupun akhir Ramadhan, atau pada shalat witir [11].

8. Shalat Tarawih Bersama-Sama Antara Kaum Laki-Laki Dan Kaum Wanita Dalam Satu Masjid.
Diantara kebid’ahan dan kemungkaran dalam masjid yang berkaitan dengan shalat -terutama shalat tarawih- yaitu melakukan shalat berjamaah campur-baur antara kaum laki-laki dan kaum wanita dalam satu masjid [12].

9. Dzikir Dengan Suara Keras Dan Berjama’ah Seperti Koor.
Dzikir berjama’ah dengan suara keras seperti koor pada setiap waktu istirahat dalam shalat tarawih, merupakan perbuatan bid’ah [13]. Adapun lafadz dzikir yang mereka baca secara berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan daerah, maka perbuatan seperti ini termasuk mengumpulkan berbagai macam keburukan dan kebid’ahan, antara lain:

• Bid’ah dzikir berjama’ah dengan suara koor.
• Bid’ah dalam menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
• Mengganggu kaum muslimin dengan suara keras, dan boleh jadi dzikir tersebut disampaikan lewat mikrofon atau pengeras suara.
• Membuat praktek ibadah baru dalam shalat tarawih yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

"Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka ibadahnya itu tertolak". [HR Muslim].

10. Dzikir Berjama’ah Dengan Suara Keras Saat Akan Dimulainya Raka’at Baru Dalam Shalat Tarawih.
Bacaan dzikir yang diamalkan setiap selesai salam dari dua raka’at shalat tarawih, dan (kemudian) hendak memulai raka’at yang baru, (dzikir seperti ini)termasuk perbuatan bid’ah. Tata cara dan bacaan dzikir tersebut antara lain:
Seorang bilal membaca:

فَضْلٌ مِنَ اللهِ وَالنِّعْمَةُ يَا تَوَّابُ يَا وَاسِعَ الْمَغْفِرَةِ . أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ.

Lalu dijawab oleh para jama’ah shalat tarawih secara bersama-sama dengan suara keras

صَلُّوْا عَلَيْهِ, ....... أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ. .......

Kemudian pada raka’at-raka’at yang akhir mereka mendo’akan kepada khulafaurrasyidin yang empat.

11. Bid’ah Do’a Berjama’ah Ketika Istirahat Antara Shalat Tarawih Dengan Shalat Witir.
Do’a berjama’ah pada saat istirahat antara shalat tarawih dengan shalat witir merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Begitu juga ketika hendak shalat witir, bilal atau imam mengucapkan:

صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَحِمَكُمُ اللهُ أَوْ آجَرَكُمُ اللهُ.

Kebanyakan mereka yang mengamalkan bid’ah ini telah membuat bacaan do’a secara khusus, yang tidak bersandar kepada satu dalilpun, dan tidak pernah diajarkan oleh para ulama salaf mapun imam sunnah [14].

12. Melazimkan Surat Al Ikhlas Dan Mu’awidzatain Dalam Setiap Raka’at Akhir Dari Shalat Witir.
Melazimkan surat Al Ikhlas dan Muawidzatain dalam setiap raka’at terakhir dari shalat witir, termasuk perbuatan bid’ah. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ulama salaf dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Sementara sebagai orang awam terpesona dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, karena terdapat seorang perawi As Sary bin Ismail dan Miqdam bin Daud, yang keduanya merupakan perawi yang dhaif. Begitu juga hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunan-nya dan Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, serta Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah dengan sanad yang lemah.

Imam Al Mundziri berkata, bahwa hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Majah dari Aisyah dari Khushaif bin Abdurahman Al Harrani; telah dinyatakan sebagai perawi yang lemah oleh kebanyakan para imam ahli hadits.

Ibnul Jauzi berkata, ”Imam Ahmad dan Yahya Ibnu Main telah mengingkari dengan keras tambahan Muawidzatain dalam raka’at akhir dari shalat witir [15].

13. Berhenti Dari Shalat Qiyamul Lail Atau Shalat Tarawih Setelah Khataman Al-Qur’an.
Sebagian umat Islam ada yang menghentikan qiyamul lail atau shalat tarawih setelah menyelesaikan khataman Al Qur’an, padahal perbuatan tersebut termasuk bid’ah [16].

14. Membaca Dua Juz Atau Lebih Dari Al-Qur’an Pada Shalat Tarawih Terakhir.
Membaca dua juz atau lebih pada malam terakhir dalam shalat tarawih. Ada juga yang melazimkan dari mulai surat Adh Dhuha hingga selesai [17].

Demikianlah penjelasan beberapa bid’ah seputar shalat tarawih, yang secara umum sudah banyak tersebar di tengah masyarakat. Maka demi menjaga keutuhan ajaran Islam dan melestarikan sunnah, serta memelihara pahala ibadah -terutama shalat tarawih- maka saya mengajak kepada seluruh umat Islam agar meninggalkan kebiasaan buruk dan perbuatan bid’ah dalam setiap bidang agama. Al Qur’an dan Sunnah Rasul dengan tegas memperingatkan tentang bahaya bid’ah. Begitu pula para sahabat dan para tabi’in yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melakukan kebajikan juga memperingatkan bahaya bid’ah dengan tegas

Diantara dalil dari Al Qur’an yang memperingatkan tercelanya bid’ah, antara lain sebagai berikut.

DALIL-DALIL DARI AL-KITAB
Allah berfirman, 'Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa". [Al An’Am : 153].

Jalan yang lurus adalah jalan Allah yang wajib diikuti. Jalan itu adalah Sunnah. Sedangkan jalan yang beraneka ragam dan corak itu hanyalah jalan ahli bid’ah yang melenceng dari jalan yang lurus.

DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّيْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran putih bersih. Malamnya laksana siangnya. Dan tidaklah seseorang yang menjauhinya, kecuali pasti akan mengalami kehancuran". [HR Ahmad dan Ibnu Majah].

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Barangsiapa memberi contoh yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan perbuatan baik tersebut, tanpa mengurangi pahala-orang itu sedikitpun. Dan barangsiapa memberi contoh yang buruk dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengerjakan perbuatan dosa itu setelahnya, tanpa mengurangi dosa orang-orang itu sedikitpun". [HR Muslim]

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, bahwa pernah pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat suatu garis, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah yang lurus,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan, dan setiap jalan tersebut terdapat syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa". (Al An’am:153)". [HR Ahmad dalam Musnad, Ad Darimi, Al Hakim dalam Mustadrak dan Ibnu Abu Ashim dalam As Sunnah].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]



Mengurai Benang Merah Antara Ahlul Bid'ah Dengan Yahudi Dan Nashara



Ihwal pembicaran tentang ahlul bid’ah, sebenarnya menarik kita untuk menelaah histori ideologi umat terdahulu, sehingga kita dapat gambaran mereka yang transparan dalam seluruh aspek kehidupan. Seseorang kadang secara tidak sadar, telah terbelenggu dalam atmosfer pemikiran atau karakter mereka. Karenanya, perlu sekali kita menengok sejenak perihal seluk beluk mereka agar tidak terkena getah busuknya. Kiranya, nasehat Khalifah Umar bin Khaththab perlu kita perhatikan. Beliau Radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan: “Aku pelajari kejahatan (keburukan) bukan untuk mengaplikasikannya, namun sebagai perisai diri. Barang siapa yang tidak mengetahui hakikat kejahatan, maka dia akan terjerumus di dalamnya”

Yahudi dan Nashara, dua umat terdahulu, telah membangun peradaban dan menguasai dunia. Sehingga sedikit banyak akan menjadi kiblat umat lain. Rasulullah telah mensiyalir, sebagian umatnya akan mengekor sunnah (gaya hidup) mereka dalam arti yang luas. Rasulullah bersabda: "Kalian benar-benar akan mengikut sunah (gaya hidup) umat sebelum kalian, sehasta demi hasta, sedepa demi sedepa, sampai kalau mereka memasuki lubang Dhob Kadal Gurun) pun, kalian akan mengikutinya. Para shahabat bertanya,” Siapa mereka Ya Rasulullah? Apakah Yahudi dan Nashara? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,” Siapa lagi kalau (bukan mereka)”

Termasuk karakter ahli bid’ah adalah talaqqi (mengambil/menerima) ilmu dari umat-umat terdahulu. Konsekwensinya, kita perlu membuka tabir jati diri ahli bid’ah, sejauh mana mereka mengadopsi konsep dari luar Islam. Pasalnya, ada benang merah antara golongan-golongan yang ada dalam Islam (Ahlul bid’ah) dengan mereka. Seperti yang disinyalir oleh Rasulullah dalam hadits di atas. Mari kita lihat sebagian hasil kerja keras ulama dalam membeberkan kedok ahli bidah dalam tasyabuh mereka terhadap Yahudi dan Nashara. Semoga gambaran sekelumit tentang profil Ahli bidah dapat mengarahkan kita untuk lebih intensif dalam menelaah sirah Salafush Shalih. [1]

TASYABBUH FIRQAH AHLI BID’AH DENGAN YAHUDI [2]

KHAWARIJ
1. Firqah Khawarij mengklaim dirinya sebagai ahli syurga, melihat keshalihan dan kesuksesan mereka.. Selain komunitas mereka, hanyalah kumpulan orang-orang kafir. Klaim seperti ini bagian dari ciri khas Yahudi, yang membatasi kebenaran pada lingkaran mereka saja, sedangkan orang yang berseberangan dengan mereka berada di atas lini yang salah. Firman Allah: Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Orang-orang Nasrani tidak mempunyai pegangan" [Al-Baqarah :113].

Dalam ayat lain Allah berfirman: Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. [Al Maidah:18]

2. Khawarij tega memerangi lawan-lawannya yang tidak sepaham dengan pemikiran, aqidah dan ide-ide mereka. Demikian juga Yahudi, berusaha memberangus lawan-lawannya. Allah bercerita tentang mereka: Apakah setiap datang pada kalian seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai keinginanmu lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang yang lain kalian bunuh” [Al Baqarah:87]

3. Bertindak ekstrim dalam beragama ,hukum dan vonis (kafir) terhadap individu, salah satu trademark aliran theologi ini. Praktek beragama model ini, produk asli Yahudi. Allah berfirman: “Wahai Ahli Kitab janganlah kalian melampau batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuaIi yang benar..” [An Nisa:171]. Orang-orang Khawarij telah mendahului aturan Allah dalam memvonis banyak orang mukmin sebagai ahli neraka.

4. Khawarij meneladani Yahudi dalam menghalalkan harta para rivalnya. Ibnu Taimiyah menguraikan:” Khawarij, firqah pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, dengan pertimbangan perbuatan dosa atau tidak mengamini produk bid’ah mereka, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.” Beliau menambahkan:” Mereka (Khawarij) jauh lebih jahat terhadap umat Islam dari golongan lain. Tidak seorang pun yang lebih berbahaya terhadap umat Islam dari mereka, tidak pula Yahudi juga Nashara. Mereka begitu semangat untuk membunuhi umat Islam yang tidak sepakat dengan mereka, menghalalkan darah umat Islam dan harta serta pemusnahan terhadap para bocah muslimin, plus pengkafiran mereka. Tindakan itu dilakukan dengan atas nama agama, karena kebodohan yang keterlaluan dan bid’ah mereka yang menyesatkan”.[3]

5. Khawarij memiliki warna qaswah (keras) dan jafa’ (bengis) tanpa toleransi seperti karakter Yahudi. Allah berfirman:” Belumkah datang waktunya, bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras . Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik” [Al Hadid:16]

6. Khawarij memerangi umat Islam, tapi tidak mengusik orang-orang kafir. Ini merupakan hobi Yahudi tempo dulu dan sekarang. Allah berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al Kitab? Mereka percaya pada Jibt dan Thaghut dan mengatakan kepada orng-orang yang kafir (musyrik Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari pada orang-orang yang beriman”. [An Nisa: 51]

Mereka bahkan saling bergandeng-tangan dengan orang-kafir untuk menyikat umat Islam. Ibnu Taimiyah menguraikan: ”Para sahabat dan ulama generasi selanjutnya sepakat (berijma’) untuk memerangi Khawarij. Mereka itu kaum bughat (penentang) yang memusuhi segenap kaum muslimin kecuali orang yang mengamini madzhab mereka. Mereka memancing peperangan dengan kaum muslimin. Kejahatan mereka tidak akan lenyap kecuali dengan jalan peperangan. Mereka lebih berbahaya bagi umat Islam dari para penyamun. Pasalnya, para perampok ambisinya hanya harta-benda. Kalau diberi, mereka tidak akan menyakiti. Dan sebagian orang saja yang dihadang. Adapun Khawarij, mereka memerangi umat agar berpaling dari Al Quran, Sunnah dan ijma’ Sahabat, dan selanjutnya berpartisipasi mendukung produk bid’ah mereka yang berlandaskan di atas takwil yang bathil dan pemahaman yang ngawur tentang Al Quran”.

7. Khawarij mentahrifkan (memelintir ) dalil-dalil dari makna sejatinya, senada dengan sikap Yahudi. Allah berfirman:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami, sedang mereka mengetahui” (Al Baqarah:75). Ibnu Abbas menggambarkan potret Khawarij dengan mengatakan:” Mereka mengimani ayat-ayat muhkam, (sayang) tergelincir pada ayat mutasyabih. Tidak ada yang mengetahui takwilnya (tafsirnya) kecuali Allah dan orang-orang yang dalam ilmunya mengatakan: ”Kami mengimaninya”[5]

8. Khawarij tekun membaca Al Quran, namun ternyata mereka keluar dari Islam seperti menembusnya anak panah pada sasaran bidikan .. Para pemuka agama dan kaum cendikiawan Yahudi pun sangat mengetahui seluk beluk Taurat. Anehnya, mereka menyimpang dari rel kebenaran menuju jurang kesesatan. Allah berfirman tentang mereka:” Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka merubahnya setelah mereka memahami sedang mereka mengetahui” [Al Baqarah:75].

9. Sikap ghurur (silau melihat diri sendiri) dan congkak terhadap ulama sekalipun, sangat melekat pada jati diri Khawarij. Mereka meyakini bahwa kapasitas ilmiyah mereka melebihi Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan segenap shahabat lainnya.[6]

Berkaitan dengan ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Akar kesesatan Khawarij, mereka meyakini bahwa para Imam (tokoh Islam, Ulama) dan kaum muslimin telah menanggalkan semangat keadilan dan sesat jalan.” [7]

Takabur terhadap orang lain bahkan kepada sosok yang lebih baik merupakan tabiat yang selalu tersemat pada Yahudi [8]. Allah berfirman:” Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Al Kitab (Taurat) kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga” [Al Baqarah:78].

Sikap kelompok ini sangat kontras dengan budaya Salafus Shalih yang mendudukkan para ulama pada posisi yang tinggi. Sufyan bin ‘Uyainah menasehati: ”Rahmat Allah turun saat disebut orang-orang shalih.[9]

10. Khawarij populer dengan kelabilan pendirian dan perbedaan pandangan internal. Akibatnya, banyak terjadi percikan api perselisihan dan perpecahan di tubuh mereka seperti kondisi Yahudi yang telah dilukiskan Al Quran. Allah berfirman:”Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). [Al Baqarah:101]

Firman Allah: “Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan ) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas mereka itu siksa dari langit karena mereka berbuat fasik..” [Al Baqarah:59]

Juga firman Allah: “Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian niscaya kalian tergolong orang-orang yang merugi.” (Al Baqarah:64) Dan firman-Nya:”Apakah kalian beriman kepada sebagian Al Kitab dan mengingkari bagian yang lain”.[Al Baqarah : 85]

11. Firqah ini mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa saja terjerumus pada kesalahan, kezhaliman dan kesesatan. Yahudi sebagai panutan mereka, juga sangat nekat terhadap para Rasul dan Nabi, dengan memvonis sesat , memfasikkan dan membunuhi insan-insan terpilih tersebut. Allah berfirman:”Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran ) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh; maka beberapa orang (diantara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh.” [Al Baqarah:87]

Dan firman-Nya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka:” Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah, mereka berkata,”Kami hanya beriman kepada apa yang yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah:”Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman” [Al Baqarah : 91]

SYIAH
1. Pertautan (tasyabuh) antara Syiah dan Yahudi begitu tampak pada aspek sebab kemunculan Syiah dan pencetusnya. Adalah Abdullah bin Saba, sosok yahudi tulen yang mempropagandakan pemikirannya melalui berbagai keonaran agar laku di pasaran muslimin. Seperti keyakinan adanya raj’ah (reinkarnasi) dan wasiat Rasul untuk Ali. Gagasan-gagasan seperti ini tak pelak lagi, berakar dari aqidah Yahudi.[10]

2 Syiah meyakini adanya keserupaan antara Al Khaliq (Pencipta) dengan makhluk-Nya. Keyakinan ini juga sebelumnya ada pada Yahudi yang kenekadannya menghantarkan mereka melontarkan ucapan bahwa Allah sarat dengan naqaish (kekurangan/aib. Allah berfirman: “Orang-orang Yahudi berkata:” Tangan Allah terbelenggu” .(Ali Imran : 64). Juga firman-Nya: “ Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnyaa Allah itu miskin, sedangkan kita kaya-raya” [Ali Imran: 181].

Ucapan-ucapan serupa, mudah kita dapati dalam banyak Israiliyat. [11]

3. Agama yang bersentral di Iran ini, menegaskan bahwa api neraka tidak akan menyentuh mereka kecuali sebentar saja.. Ini juga yang dibanggakan Yahudi. Allah berfirman:”Mereka mengaku:”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali sebentar saja” [Ali Imran:24]

Bahkan bukan hanya sampai di sini saja, mereka juga mengkafirkan para lawan-lawannya dan memvonis mereka sebagai penghuni neraka.“. Ibnu Taimiyah mengungkapkan:” Dan yang lebih mengerikan lagi, orang-orang yang mengkafirkan dan menganggap kaum muslimin najis layaknya orang kafir , seperti yang terjadi pada kebanyakan ahli bidah dari kalangan Rafidhah (Syiah), Khawarij dan lain-lain…Karakter seperti ini kerap mewarnai kelompok yang latah (meniru ) Yahudi. [12]

4. Syiah juga meyakini adanya tanasukh (perpindahan roh) sebagaimana yang diyakini oleh Yahudi. Mereka menetapkannya pada tulisan-tulisan mereka.

5. Para pemeluk ideology ini sangat berlebihan dalam mengagungkan dan menghormati para pemuka agama (imam) mereka. Demikian pula Yahudi. Para nabi dan ulamanya mendapatkan penghormatan yang tidak terukur dari umat. Allah berfirman:”Orang-orang yahudi berkata:”Uzair putra Allah”, dan orang nasrani berkata:”Al Masih putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang dahulu. Allah melaknati mereka ,bagaimana mereka bisa berpaling. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allah” [At Taubah:30-31]

Juga firman-Nya:”Wahai Ahli kitab janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” [An Nisa:171]

6. Syiah, sebuah firqah yang paling menggandrungi dusta. Mereka memproduksi banyak hadits-hadits palsu dengan mencatut nama besar Rasulullah. Yahudi sebagai nenek moyang mereka, juga melakukan hal yang sama melalui kisah Israiliyat yang dusta.

7. Salah satu doktrin mereka, orang Syiah harus masuk syurga karena besarnya mahabbah (kecintaan) mereka terhadap Ali dan para Imam. Rahasianya, hakikat iman menurut versi mereka adalah mempercayai (mengimani) dan mencintai para imam mereka.. Sandaran mereka firman Allah: Katakanlah hai orang-orang mukmin, Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak-cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Maka jika mereka beriman kepada yang kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)” [Al-Baqarah:136-137]

Mereka memlintir makna ayat tersebut dengan iman kepada para imam. Sebab itulah, mereka mengklaim:”Sesungguhnya iman tidak memudar dengan sayyiah (dosa), sebaliknya, kekufuran mementahkan segala kebaikan (hasanah). Iman yang sejati tercermin pada kecintaan dan pengenalan terhadap para Imam. [13]

Jadi, kecintaan yang palsu itu mereka jadikan tangga untuk menggapai syurga. Artinya, hunian syurga telah mereka kuasai dengan seenak perutnya sendiri.. Omongan ini tidak berbeda dengan lontaran orang-orang Yahudi. Allah berfirman tentang ucapan mereka:” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” [Al Maidah:18].

8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menguraikan sebagian kesesatan dan tasyabbuh mereka terhadap Yahudi. Ungkap beliau rahimahullah:” Indikasinya, keonaran Syiah itu menyerupai perbuatan Yahudi. Yahudi berkata:” Kekuasaan tidak layak kecuali hanya untuk keturunan Daud. Syiah sendiri mengatakan:”Imamah (kekhalifahan) tidak layak kecuali pada keturunan Ali saja”.

Yahudi menyatakan:”Tidak ada jihad sampai munculnya masih dajjal dan turun sebilah pedang dari langit”. Di satu sisi Syiah menegaskan :”Tidak berlaku jihad sampai kedatangan Al Mahdi dan terdengarnya suara panggilan dari langit. Yahudi mengakhirkan shalat , demikain juga kebiasaan Syiah. Praktek sisi kehidupan yang lain, Yahudi menghapuskan masa iddah bagi wanita dan mengtahrif kitab sucinya, juga berpendapat bahwa shalat wajib berjumlah 50 waktu, tidak mengucapkan salam kepada kaum muslimin,. menghalalkan harta seluruh umat manusia. Semua ini diadopi dengan cantik oleh Syiah. Tidak ketinggalan pula . Yahudi memusuhi sekali Malaikat Jibril seperti kebencian Syiah terhadap malaikat yang sama karena dianggap salah dalam mentransfer wahyu kepada Rasulullah”.[14]

QADARIAH MU'TAZILAH.
1. Ja’d bin Dirham orang yang pertama kali melontarkan pendapat yang menafikan (menelanjangi) Allah dari segala sifat-Nya., Allah tidak berada di atas Arsy, makna istiwa adalah isti’la’ (mengusai), Allah tidak berbicara. Orang tersebut adalah pembina Jahm bin Shafwan, pendiri firqah Jahmiyyah yang memiliki keyakinan bahwa Allah ada di semua tempat dengan dzat-Nya. Aqidah yang sesat ini mengakar dari sosok Yahudi yang bernama Labid bin Al A’sham, orang yang pernah mengguna-gunai Rasulullah. [15]

2. Bisy Al Mirrisi, salah satu pentolan Mu”tazilah, sejatinya seorang yahudi yang bersembunyi dengan topeng Mu”tazilah. [16]

3. Qadariah menafikan sifat al khalqu (penciptaan) dan iradah (kehendak) dari Allah . Ini sama dengan tingkah Yahudi yang mengatakan kebaikan dan kejahatan diluar jangkauan takdir Allah.[17]

4. Hudzailiyah, salah satu firqah bagian dari Qadariah menyatakan Allah tidak berbeda dengan makhluk-Nya,, penghuni syurga tidak punya daya untuk bergerak dan Allah juga tidak mampu untuk menggerakkan mereka. Mereka hanya akan menjadi gundukan barang beku yang tak bernyawa. Pernyataan ini juga menjadi keseharian pembicaraan orang Yahudi [18]

5. Mu’tazilah memerangi orang-orang yang tidak seirama dengan cara pandang mereka seperti halnya Yahudi

6. Mu'tazilah juga mentahrifkan Al Quran seperti halnya sikap Yahudi terhadap kitab suci mereka.

7. Mu’tazilah menyerupakan iradah Allah dengan iradah makhluk-Nya, kalam-Nya dengan ucapan makhluk seperti kelakuan Yahudi

8. Qadariyah termasuk aliran yang menafikan (ta’thil) sifat-sifat Allah dari dzat Allah. Aqidah ini muncu dari keyakinan persamaan Khalik (Pencipta) dengan ciptaan-Nya Ibnu Taimiyah mendudukkan: Dasar para penghapus sifat Allah baik dari kalangan Jahmiyyah maupun Qadariyyah, image mereka yang menyifati Allah dengan sifat yang berada pada orang lain.

MURJIAH
1. Para pengikut murjiah yang ekstrim mengatakan ”iman tidak akan terkikis oleh maksiat, sebagaimana ketaatan tidak akan bermanfaat di hadapan kekufuran” Sebab itu, mereka sangat meremehkan arti dosa dan maksiat. Yahudi pun demikian, mereka melanggar berbagai kemungkaran dan dosa dengan ringan tanpa beban. Allah berfirman: ” Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu”. [Al Maidah:62]

Juga dalam ayat yang lain: ”Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”. [Al Maidah:78]

2. Karamiah, sebuah sempalan dari Murjiah telah memalsukan banyak hadits seperti yang dilakukan Yahudi. Ditambah lagi, tokoh-tokoh kelompok ini juga mensosialisasikan aqidah tajsim (pembendaan) Tuhan seperti yang dilakukan Yahudi. [19]

3. Murjiah sangat menonjolkan aspek raja’ (pengharapan) dalam beribadah dengan mengesampingakan aspek khauf (rasa takut, kuatir ) . Sikap pengharapan yang berlebihan ini membawa mereka menjadi sangat optimis menjadi penghuni syurga. Model seperti ini juga diklaim oleh Yahudi. Allah berfirman:” “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya” [Al Maidah:18].

Juga firman-Nya: ”Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung”. [Ali Imran:24]

4. Murjiah juga mendaulatkan diri sebagai makhluk yang paling berkelas di sisi Allah disebabkan anggapan mereka, kadar keimanan stabil, tidak bertambah juga tidak mengempis. Menurut mereka, derajat keimanan kaum mukminin berada dalam level yang sama. Pendeknya, keimanan mereka satu kelas dengan kualitas keimanan para rasul dan malaikat . Jadi, mereka menyerupai perilaku Yahudi yang menganggap diri sebagai makhluk termulia. Firman Allah:” :” Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.. Katakanlah: Mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian” [Al Maidah:18].

JAHMIAH
1. Satu dari pendapat Jahmiah yang paling berbahaya adalah pemikiran Jabriah yang mengatakan bahwa manusia tidak punya kehendak sama sekali, bagai sebuah bulu yang diombang-ambingkan oleh tiupan angin. Ini juga kepercayaan Yahudi dulu dan sekarang. Beberapa ideologi modern seperti komunis juga menafikan keberadaan kehendak (iradah) dari manusia. [21]

2. Jahmiah berdalih dengan suratan takdir, atas kesesatan dan penyimpangan yang mereka lakukan.. Kata mereka:” Allah telah mengunci hati kami sehingga cahaya hidayah tidak bisa menembus relungnya.” Ini merupakan alasan kaum musyrikin dan ahli kitab , Yahudi dan Nashara yang tidak mau menerima kebenaran. Allah berfirman tentang mereka: ”Hati-hati kami terkunci” [An Nisa’:155]

Maksudnya, tidak bisa memahami dan menangkapnya. Allah berfirman: Oraang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: Jika Allah menghendaki , niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatupun.”. Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami…” [Al-An’am:148].

Umat sebelum mereka adalah Yahudi dan Nashara. Jadi, Jahmiah menabrakkan syariat Allah dengan takdir. Akibatnya mereka mencampakkan syiar amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sehingga mereka terjebak dalam tasyabuh terhadap Yahudi. Ibnu Taimiyah menyimpulkan:” Muara dari tindak-tanduk mereka menuju ta’thil (penghapusan) syariat dan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar.[22]

3. Ta’thil,salah satu inti ajaran Jahmiah diadopsi dari Yahudi

4. Jahmiah mengatakan Alquran itu makhluk sehingga menyamakan Pencipta dengan makhluknya seperti ulah Yahudi.

TASYABBUH AHLU BID’AH DENGAN NASHARA

Firqah-firqah yang menyimpang dari garis al haq juga telah banyak mengadopsi sebagian prinsip alirannya dari ajaran agama Nashara. Oleh karena itu terjadi beberapa kesamaan antara mereka dengan agama nashara. Penjelasannya sebagai berikut:

SYI’AH
1. Syi’ah mengatakan bahwa ajaran agama di tangan para imam. Secara penuh [23], label halal ataupun haram merupakan hak prerogatif para imam. Jadi agama tidak lain adalah produk mereka. Perlakuan seperti ini merupakan sikap kaum Nashara terhadap para pemuka agama mereka. Allah berfirman, yang artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al Masih Ibnu Maryam. [At Taubah:31].

Rasulullah bersabda : Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan seperti penghormatan Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ”(Muhammad) seorang hamba Allah dan utusanNya.” [HR Bukhari, Kitab Al Anbiya, Bab Qauliallah (6/365)]

2. Kuburan para wali dan orang shalih berubah menjadi tempat peribadahan selain kepada Allah. Ini berangkat dari keyakinan bahwa para imam mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, menghidupkan orang mati, dan perkara lain yang berkaitan dengan rububiyyah. Orang-orang Nashara pun sebelummya juga melakukan hal yang sama. Rasul bersabda: Ketahuilah, orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid. Sesungguhnya aku melarangnya.[HR Muslim, Kitabul Masajid, Bab Nahyu ‘An Binail Masajid ‘Alal Kubur (5/13)]

3. Syi’ah menyembah dan mempertuhankan Ali. Kaum Nashara juga demikian, yaitu mengkultuskan Nabi ‘Isa sampai pada maqam Uluhiyah.[Ar Raddu ‘Ala Rafidhah, hlm. 46]

4. Pemeluk Syi’ah tetap menyetubuhi wanitanya melalui dubur walau dalam keadaan menstruasi seperti orang-orang Nashara.[Minhajus Sunnah (1/72)]

5. Syi’ah menafsirkan kalimatullah dalam ayat "Tidak ada perubahan pada kalimat-kalimat Allah" (Yunus: 64) dengan para imam mereka [24]. Nashara juga mengangkat Nabi ‘Isa sebagai kalimatullah. Padahal, maksud dari kalimatullah di situ, bahwa perumpamaan penciptaan Nabi Isa itu seperti pada diri penciptaan Nabi Adam yaitu dari tanah dengan “Kun”. Jadi, sebenarnya Isa juga bagian dari makhluk Allah dengan kalimatNya. Dengan ini, menjadi jelaslah dalam masalah ini bahwa Syi’ah mengikuti Nashara.

AL QADARIYAH MU'TAZILAH
1. Kepercayaan mereka bahwa seorang hamba memiliki hak mutlak untuk bertindak karena dialah pencipta perbuatannya. Teori ini, mereka ambil dari semangat kebebasan yang diprogramkan agama Nashara. Bahkan seperti yang kita ketahui, bahwa pencetus ide pengingkaran terhadap taqdir adalah seorang Nasrani bernama Sosan.[Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 4-15]

2. Firqah ini tumbuh dan berkembang di atas pemikiran filsafat Kristen dan Yahudi. Kronologisnya, ketika Khalifah Al Makmun mengambil perjanjian dengan kaum Nashara, beliau meminta referensi-referensi buku Yunani dari mereka. Orang Nashara tahu dan cerdik dengan mengiriman buku-buku tersebut, karena mereka yakin bahwa kandungan ilmunya akan memporak-porandakan keyakinan kaum muslimin atau memicu perbedaan di kalangan para ulama. Mu’tazilah pun mempersenjatai diri dengan ilmu manthiq dan ilmu kalam, mengikuti para leluhur mereka Yahudi dan Nashara, dengan mencampakkan Sunnah Nabi mereka.[Ashawaiq Mursalah (1/230)]

3. Nidhamiyah, salah satu sempalan dari Qadariyah mempunyai doktrin bahwa tuhan dan pencipta itu ada dua. Yang lama yaitu Allah dan yang baru yaitu Isa Al Masih. Jadi, menurut mereka, Nabi Isa memiliki kekuasaan rububiyah. Perkataan ini tidak berbeda dengan ucapan dan keyakinan kaum Nashara yang menuhankan Isa Al Masih dan yang akan mengambil alih hisab amalan manusia di akhirat kelak. Mereka menafsiran : “Dan datanglah Tuhanmu dan para malaikat berbaris-baris" [Al Fajr:22]

Menurut mereka, Tuhanmu dalam ayat tersebut adalah Nabi Nabi Isa Al Masih. Hadits Nabi tentang ru’yatullah juga mereka tarik kesimpulan sebagai Isa Al Masih. [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab Itsbat Rukyatul Mukminin Fil Akhirat Lirabbahum Subhanah (3/17)]

MURJI’AH
1. Para tokoh besar Murji’ah mengeluarkan statemen bahwa tidak ada satu pun dari Ahlul Qiblah yang terjerumus ke neraka, meskipun bermandikan dosa besar. Nashara, panutan mereka, sebelumnya juga mengklaim demikian. Allah berfirman, yang artinya: Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata,”Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi dan Nashara.” [Al Baqarah : 111]

2. Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua di antara firqoh yang menerima arus pemikiran Murji’ah, sudah biasa melakukan tawasul dengan kuburan dan tempat-tempat keramat, seraya membumbuinya dengan aktivitas yang terlarang. Misalnya dengan berdo’a, sujud bernadzar dan berkurban selain untuk Allah. Pun ditambah dengan acara istighatsah atau isti’anah (minta pertolongan) kepada para wali yang masih hidup ataupun yang sudah terkubur ketika kehidupan mereka terjepit dengan kesengsaraan dan kesulitan. Tidak lupa mereka membangun masjid di atas pemakaman. Sehinga mereka terjebak meniru kaum Nashara.

3. Orang sufi dari kalangan Asy’ariyah meyakini sekian banyak doktrin agama Nasrani, seperti wihdatul wujud, wilayah dan ‘ishmah (dua hal yang berkaitan dengan kewalian dan keterpeliharan mereka dari dosa). Sudah menjadi rahasia umum, bahwa motivasi kunjungan mereka ke pemakaman adalah memohon pertolongan dari ahli kubur. Ibnu Taimiyah berkata: ”Mereka itu, kalau mengerjakan shalat wajib di rumah, hati mereka melayang, lalai. Membaca Al Quran tanpa penghayatan dan khusyu’. Namun kalau sedang mengunjungi kuburan orang yang di (dihormati), begitu mudah khusyu; dan menangis, pasrah dan tunduk.” [Al Istighatsah Fi Raddi ‘Alal Bakri (1/330-333]

JAHMIYAH
Jahmiyah dan arus pemikirannya bertumpu pada ajaran Nashara. Seperti yang diuraikan Imam Ahmad ketika Jahm, pendiri firqah Jahmiyah bertemu dengan suku Sumaniyah. Dan menjadikan pemikiran mereka yang nota bene beragama Nashara, sebagai pijakan jalan pikirannya dan menyebarkannya kepada orang lain. [Ar Raddu ‘Alal Jahmiyah Wa Zanadiqah, hlm. 26-28]

Demikian paparan ringkas perihal hubungan “emosional” yang terjalin antara ahli bid’ah dengan dua agama sebelumnya yang sudah banyak diamandemen oleh para tokoh agamanya. Seorang muslim hendaknya berdiri dengan izzah yang kokoh, bangga dengan nilai-nilai yang ada dalam agamanya, tidak perlu menoleh ke kanan kiri untuk mengais tambahan, yang sebenarnya akan menjadi blunder bagi dirinya di dunia akhirat. Dalam sebuah hadits, Nabi mewanti-wanti: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia merupakan bagian dari kaum tersebut” Wallahu a’lam.

(Tulisan ini merupakan terjemahan bebas Muhammad ‘Ashim, yang diangkat dari kitab Tanaqudhu Ahlil Ahwa` Wa Bida', karya Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad bin Mukhtar, Dosen Fakultas Tarbiyah Putri di Riyadh. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah Ar Rusyd, Cetakan I, Tahun 1421H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______




Membongkar Kebid'ahan Dan Penyimpangan Satu Tugas Pengemban Ilmu





Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْنَ وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu ini akan dipikul orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka menolak tahrif orang yang melewati batas, menolak intihaal ahli kebatilan dan ta’wil orang bodoh.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan periwayatan yang banyak, diantaranya:
1. Riwayat Ibrahim bin Abdirrahman Al ‘Udzri secara mursal [1] Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 10/209, dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233. Mereka meriwayatkan dari jalan Al Walid bin Muslim dari Ibrahim bin Abdirrahman dari orang tsiqah dari para gurunya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian juga ada jalan periwayatan lain dari Ibrahim ini, dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqah, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah 1/53, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid 1/59, Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 29 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/233 dari jalan Mu’an bin Rifa’ah As Salami.

Demikian juga Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’ 4/256, Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 2/17 meriwayatkan darinya.

2. Riwayat sahabat Usamah bin Zaid yang dikeluarkan oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang lemah.

3. Riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam kitab Syaraf Ashhabil, hadits hal. 28 dengan sanadnya dari Abu Shalih Abdullah bin Shalih dari Laits bin Sa’ad dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Al Musayyab dari Ibnu Mas’ud. Abu Shalih seorang shaduq katsirul ghaladz [2] (teliti dalam menulis namun memiliki kelalaian).

4. Riwayat Ali bin Abi Thalib yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad mu’dhal [3].

5. Riwayat Abu Umamah Al Bahili yang dikeluarkan oleh Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dengan sanad yang lemah.

6. Riwayat Mu’adz bin Al Jabal yang dikeluarkan oleh Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 11 dengan sanad yang lemah sekali.

7. Riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan dari beliau melalui tiga jalan.
a. Jalan periwayatan Abu Hazim Salman Al Asyja’i yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil. Dalam sanadnya ada Yazid bin Kisan seorang yang shaduq yukhti.[4]
b. Jalan periwayatan Abu Shalih Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil dan Al Khathib dalam Syaraf Ashhabil Hadits, hal 28 dengan sanad yang agak lemah.
c. Jalan periwayatan Abu Qubail Huyaiy bin Hani’ yang dikeluarkan oleh Al Bazar dalam Kasyful Astar, 1/86 dan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa dengan sanad yang lemah sekali.

8. Riwayat Abdullah bin Umar bin Al Khathab yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dengan sanad yang lemah sekali.

9. Riwayat Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa’, dengan sanad yang lemah sekali.

10. Riwayat Jabir bin Abdillah, disebutkan oleh Al Iraqi dalam At Taqyid Wal Idhah, hal. 139 belum dapat diketahui sanadnya.

11. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan As Sakhawi dalam Fathul Mughits, 1/294 dan belum diketahui sanadnya. [5]

Kesimpulannya.
Syaikh Abdul Aziz Ali Abdillathif menyatakan,“Sanad yang lemah sekali hanya ada pada riwayat Mu’adz bin Jabal, riwayat Al Bazzar dan ‘Uqaili, dari jalan periwayatan Abu Qubail dari hadits Abu Hurairah, riwayat Abdilah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr. Yang lainnya kelemahannya tidak berat.”[6]

Hadits ini dishahihkan Imam Ahmad dan dilemahkan oleh Imam Al Iraqi. Yang rajih, hadits ini adalah hadits hasan dengan banyaknya jalan periwayatan, sebagaimana dinyatakan Syaikh Ali Hasan Al Halabi, dalam kitab beliau At Tashfiyah Wat Tarbiyah, hal. 24 dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Hilyatul ‘Alim Al Mu’alim Wa Bulghatit Thalib Al Muta’allim, hal. 77. Wallahu a’lam.

SYARAH KOSA KATA
• يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْم : ilmu disini ialah ilmu kitab dan sunnah atau agama. Dinyatakan oleh Imam yang mulia Muhammad bin Sirin,“Sesungguhnya ilmu ini ialah agama. Maka lihatlah, dari siapa kalian mengambil agama kalian.” [7]

• مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُلُهُ : bermakna, ilmu kitab dan sunnah ini akan dibawa pada setiap generasi yang datang setelah Salaf oleh orang yang ‘adil [8] dari mereka. Ibnul Qayim menyatakan,“Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, bahwa ilmu yang dibawanya akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya pada setiap generasi, sehingga tidak terlantar dan hilang.” [9] Kemudian yang dimaksud orang adil disini ialah para ulama pewaris para nabi, yang bertugas di atas tiga hal. Yaitu, menolak sikap ghuluw (melampaui batas), menghancurkan kebatilan dan membongkar kebodohan, sebagaimana dalam hadits di atas. [10]

• يَنْفُوْنَ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ : bermakna menolak perubahan orang yang melampaui batas dalam permasalahan agama.

Tahrif, adalah berpaling dari posisi dan kebenaran kepada yang lainnya [11]. Tahrif ini terbagi menjadi dua, yaitu tahrif lafadz dan tahrif makna. Tahrif makna inilah yang dinamakan oleh ahli bid’ah sebagai ta’wil.

Ibnul Qayyim menyatakan, tahrif terbagi menjadi dua, (yaitu) tahrif lafdzi dan tahrif maknawi. Tahrif lafdzi bermakna merubahnya, adakalanya dengan penambahan atau pengurangan lafadz atau dengan perubahan harakat i’rob atau perubahan selain i’robnya. Demikian ini empat bagian tahrif lafadz. Al Jahmiyah dan Rafidhah melakukan itu semua, namun mereka hanya melakukan tahrif terhadap nash hadits dan tidak dapat melakukannya pada lafadz Al Qur’an. Walaupun demikian Rafidhah tetap banyak melakukannya terhadap lafazd Al Qur’an dan menuduh Ahlus Sunnah yang melakukan perubahan Al Qur’an.

Lalu Ibnul Qayyim menyatakan, adapun tahrif maknawi ialah tahrif yang mereka tampakkan dan kembangkan dengan nama ta’wil. Demikian ini merupakan istilah yang salah, diada-adakan dan tidak pernah digunakan dalam bahasa Arab. Ta’wil ini bermakna memalingkan makna dari yang semestinya. Hakikatnya, ialah memberikan kepada lafadz makna lain dengan adanya sedikit kesamaan diantara makna asal dan makna ta’wil tersebut. [12]

• وَ انْتِحِال الْمُبْطِلِيْن : membongkar kedustaan ahli bathil, karena intihal. Artinya, bila seseorang mendakwakan (mengklaim) sesuatu untuk dirinya secara dusta, baik berupa sya’ir atau perkataan, padahal itu milik orang lain.

• وَ تَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ : menolak takwil orang yang melakukannya tanpa dasar ilmu dan pemahaman terhadap ayat dan hadits Nabi, lalu memalingkannya dari dzahir lafadznya.[13]

SYARAH HADITS
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan para ulama setelah meninggalnya para nabi dan rasul. Mereka menunjuki orang tersesat kepada petunjuk dan membuat mereka dapat melihat kebenaran agama Allah secara benar. Berapa banyak orang yang tertolong dengan sebab ajaran dan perjuangan dakwah mereka. Alangkah baiknya pengaruh mereka terhadap masyarakat dan umat ini.

Demikianlah tugas para ulama pengemban ilmu. Mereka harus menjaga agama Islam dan umatnya dari seluruh kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan. Mereka menjaganya dari perpecahan dan kerusakan akibat hal-hal tersebut.

Namun apa yang mereka terima? Cercaan, teror dan berbagai kecaman datang silih berganti. Mereka dihujat sebagai pemecah belah umat, peruncing perbedaan umat, suka memfitnah dan segudang tuduhan lainnya. Itulah segala resiko, dari tugas pengemban ilmu yang mereka peroleh. Mereka tetap melaksanakan tugas menjaga agama dan umat ini dari perpecahan dan kehancuran, dengan mencurahkan kasih-sayangnya agar umat ini hidup di bawah lindungannya. Mereka hentikan para penyesat dan musuh Allah dari kegiatan pemurtadan dan penyesatan umat, dengan beramar makruf nahi mungkar, mengajak manusia bertauhid dan menjauhi segala kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan.
Merekalah yang dapat menjaga persatuan dan kesatuan umat, menegakkan tiang, kekuatan dan kejayaan Islam atas agama yang lainnya dan menghancurkan hawa nafsu, kebidahan, kefajiran dan kemaksiatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,“Para ulama memiliki kewajiban atas umat untuk menjaga dan menyampaikan agama ini. Jika mereka tidak menyampaikan ilmu agama ini kepada mereka atau melalaikan tugas menjaga agama, maka demikian itu merupakan kedzaliman yang paling besar terhadap kaum muslimin. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَآأَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَابَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلاَئِكَ يَلْعَنَهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. [Al Baqarah:159].

Hal ini, karena dampak jelek (bahaya) dari menyembunyikan ilmu mereka, berimbas kepada binatang dan yang lainnya. Sehingga semua melaknat mereka termasuk para binatang.” [14]

Oleh sebab itu para ulama salaf senantiasa membongkar dan menjelaskan kepada umat, tentang kebid’ahan dan para ahlinya. Tidak cukup hanya disitu, bahkan memperingatkan fitnah dan bahaya mereka terhadap persatuan dan kesatuan umat Islam. Lihatlah apa yang dinyatakan imam ahli sunnah Ibnul Qayim, ketika berbicara tentang sikap para salaf terhadap kebid’ahan. Beliau rahimahullah berkata,” “Pengingkaran para salaf dan imam mereka semakin keras terhadap kebidahan. Mereka membantah pelakunya dari segala penjuru dunia dan memperingatkan dengan keras fitnah ahli bid’ah. Sampai pengingkaran mereka terhadap kebida’han melebihi pengingkaran mereka terhadap kekejian, kedzaliman dan permusuhan. Karena bahaya kebid’ahan, kehancuran agama dan penentangannya lebih besar.”[15]

Lihatlah wahai saudaraku kaum muslimin, bagaimana para ulama berusaha menjaga agama dan umat Islam dengan mengerahkan segenap kemampuannya membongkar kesalahan dan kebid’ahan yang ada! Semua itu, karena bahaya dan implikasi bid’ah yang demikian mengerikan terhadap persatuan dan kesatuan kaum muslimin.

Jadi membongkar penyimpangan agama, bukanlah memecah persatuan umat dan memperuncing perselisihannya. Namun itu sangat membantu kaum muslimin merapikan barisannya menuju persatuan dan kejayaan Islam di muka bumi ini. Demikian ini dapat dilihat dalam sejarah kaum muslimin yang sangat panjang, sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini.

Membongkar kesalahan dan penyimpangan agama, merupakan perkara penting dan menjadi tugas mulia para pengemban ilmu. Juga menjadi nikmat dan anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kaum muslimin. Sehingga umat dapat mengerti kesalahan mereka, lalu dapat memperbaikinya agar lebih baik dan sempurna.

Memang demikianlah yang disinyalir dalam hadits yang mulia ini, yang tentunya juga menunjukkan keutamaan dan ilmu mereka.

Imam Ibnul Qayim menyatakan: Hadits ini menunjukkan sanjungan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para ulama yang membawa ilmu warisannya. Ilmu ini diisyaratkan beliau n dalam sabdanya:

(هَذَا الْعِلْمَ). Semua pengemban ilmu yang disebutkan itu mesti seorang yang ‘adil. Oleh karena itu, sudah terkenal di kalangan umat ini sifat ‘adil para penukil dan pengemban ilmu tersebut, tanpa ada keraguan dan kebimbangan lagi.

Sudah pasti, setiap orang yang telah di sanjung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak didapatkan jarh (celaan) pada mereka. Sehingga seluruh para imam yang telah terkenal sebagai periwayat ilmu nabawi dan warisannya, adalah orang-orang yang ‘adil dengan sanjungan (ta’dil) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidaklah diterima celaan sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya.

Bebeda dengan orang yang terkenal dari kalangan umat ini dengan sifat tercela dan buruk. Semisal tokoh ahli bid’ah dan yang mengikuti mereka dari orang yang diragukan keshalihanya. Karena mereka, menurut umat ini bukan termasuk pengemban ilmu nabawi. Sehingga, tidaklah mengemban ilmu Rasulullah n , kecuali orang yang ‘adil.

Namun terkadang, terdapat kesalahan dalam memahami istilah ‘adil ini. Sehingga menganggap, bahwa yang dimaksudkan ialah orang yang tidak memiliki dosa. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Yang benar ialah bermakna ‘adil, dipercaya atas agama ini.[16]

Pantaslah demikian, karena mereka merupakan pewaris para nabi dan rasul, sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewarisi dinar dan tidak pula dirham, namun mewarisi ilmu. Sehingga siapa yang telah mengambilnya, berarti telah mengambil bagian yang sempurna.[17]

Sungguh aneh bila seseorang yang berusaha meluruskan kesalahan sekelompok kaum muslimin atau jama’ah, lalu dianggapnya sebagai penyebar fitnah, pemecah persatuan dan persaudaraan Islam. Bahkan lebih dari itu, mereka harus diteror dengan berbagai celaan dan makian serta tuduhan tanpa bukti dan keterangan jelas, seperti julukan, sebagai antek Amerika dan Yahudi, penjilat pemerintah, atau bodoh tidak mengenal fiqih waqi’ dan lain-lainnya. Sungguh suatu tuduhan yang keji dan tak berperi-kemanusiaan, apalagi sesuai dengan syari’at. Tuduhan yang tidak mungkin akan keluar dari seseorang yang mengerti hak pengemban ilmu. Layak dan pantaskah tuduhan ini dialamatkan kepada orang yang membongkar penyimpangan suatu jama’ah atau sekelompok kaum muslimin, agar semua sadar dan kembali bertaubat kepada Allah l ?! Sungguh tidak pantas dan teramat sangat tidak pantas.

Demikianlah sunatullah yang bakal menimpa penegak kebenaran, dari para rasul dan nabi, serta para pengikut mereka.

وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيلاً

Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. [Al Ahzab:62].

Hujatan dan gelaran buruk telah menimpa para ulama Ahlu Sunnah sejak zaman dahulu. Imam Abu Utsman Ash Shabuni menjelaskan,“Saya melihat sikap ahli bid’ah dalam memberi gelaran-gelaran jelek kepada Ahlu Sunnah merupakan sikap meniru cara kaum musyrikin terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (kaum musyrikin) telah telah menggelari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbagai julukan. Sebagian mereka menggelarinya sebagai tukang tukang sihir. Ada yang menggelarinya dengan gelar dukun, sya’ir, orang gila, kesurupan, pembual dan pendusta. Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh dan suci dari aib-aib tersebut. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, semata-mata hanyalah seorang Rasul dan Nabi yang terpilih. Allah berfirman.

انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ اْلأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلاَيَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً

Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar). [Al Isra:48].

Demikian juga ahli bid’ah –semoga Allah Azza wa Jalla menghinakan mereka- telah memberikan gelaran yang banyak terhadap para ulama perawi hadits Nabi, orang yang menyampaikannya kepada orang lain dan pengikut sunnah Rasulullah n . Sebagian mereka menggelarinya dengan gelar hasyawiyah. Yang lainnya menjulukinya dengan gelaran musyabihah, nabitah, nashibah dan jabariyah. Padahal Ashhabul Hadits sendiri amatlah terjaga, jauh dan bersih dari aib celaan ini. Mereka tak lain adalah pengikut sunnah yang terang, pemilik peri kehidupan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala, orang yang berjalan di jalan yang lurus dan di atas hujjah yang kokoh dan kuat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan taufiq kepada mereka untuk mengikuti kitab, wahyu dan kalamNya. Mereka mendapatkan taufiq juga dalam mengikuti Rasulullah atas seluruh haditsnya. Hadits-hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berisi perintah kepada umatnya untuk berbuat kemakrufan dalam perkataan dan perbuatan, berisi larangan dari seluruh kemungkaran.

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala membantu mereka untuk berpegang teguh dan mengambil petunjuk kepada perilaku dan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga melapangkan dada mereka untuk mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para imam syari’at dan para ulamanya. Maka, barangsiapa yang mencintai satu kaum, maka ia bersama mereka pada hari kiamat nanti, dengan dasar sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Sesorang itu bersama orang yang dicintainya.[18]

Hadits yang mulia ini juga menjelaskan bahaya tahrif yang dilakukan seseorang yang melampaui batas, kedustaan ahli batil dan ta’wil, orang yang bodoh terhadap agama ini. Sehingga pemurnian Islam dari perkara ini, merupakan satu kewajiban dan tugas syar’i bagi para pengemban ilmu. Fardhu kifayah yang harus dilaksanakan dengan adab dan kaidah-kaidah syari’at, sehingga dapat menghilangkan dosa dan kewajiban umat ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kepada para ulama dengan kebaikan yang berlipat ganda.

BAHAYA MENDIAMKAN KEMUNGKARAN DAN KEBID’AHAN
Mendiamkan kebid’ahan dan kemungkaran yang menyebar di masyarakat Islam akan menimbulkan berbagai kerusakan dan bahaya. Diantara kerusakan dan kemudharatan tersebut ialah:

1. Kehilangan unsur penting kehidupan dan kejayaan umat Islam, yaitu amar makruf nahi mungkar dan memerangi kebatilan.
2. Menyebabkan kemenangan ahli batil dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
3. Menyebarkan dan mengembangkan amalan atau orang yang menyelisihi kebenaran, baik dalam masalah i’tikad, pemikiran dan amalan.
4. Berkembang syubhat-syubhat yang merusak aqidah dan akhlak, serta hati umat Islam.
5. Melemahkan kekuatan iman dan i’tikad (aqidah) yang benar.
6. Menghilangkan hukuman syar’i terhadap ahli hawa dan ahli bid’ah serta ahli syahwat.
7. Menghilangkan pembatas antara bid’ah dan sunnah, kemakrufan dan kemungkaran. Juga menghilangkan ghirah membela kesuciam agama ini.
8. Menyebabkan orang yang mampu melakukan perbuatan ini berdosa; karena membantah dan membongkar kebid’ahan dan kesalahan tersebut merupakan satu kewajiban.
9. Merusak agama ini dengan tercampurnya kebenaran dan kebatilan.[19]

Melihat sebagian bahaya dan kerusakan yang timbul, tentunya kita harus berusaha melaksanakan hal ini. Tentu semuanya dengan adab dan di atas koridor syari’at. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menegur kaum muslimin untuk berhati-hati dalam bersikap. Wallahu a’lam. (Disusun Oleh : Abu Aisyah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]




Bid'ah-Bid'ah Seputar Qira'ah



BID’AH-BID’AH SEPUTAR QIRA’AH (BACAAN AL-QUR’AN)

Oleh
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid



BEBERAPA BID’AH PARA AHLI QIRA’AH YANG DISEBUTKAN OLEH PARA ULAMA
1. Berlebih-lebihan melafazhkan huruf, bahkan menyalahi cara dan hukum penyebutan huruf karena adanya cara bertajwid yang dibuat-buat dan bahkan dipaksa-paksakan, sehingga meleset dari bacaan yang mudah dan lurus yang sesuai dengan firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

"Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil" [al-Muzzamil : 4]

2. Membaca al-Qur’an bukan dengan logat Arab.

3. Membaca seperti cara orang fasik dan fajir (durhaka).

4. Membaca dengan nada dan gerakan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh sebagian pengikut Tareqat yang membaca dengan iringan tarian/dansa/joget seperti yang dilakukan di halaman masjid al-Husein di Mesir dengan ditonton oleh orang banyak.

5. Membaca dengan cara melagu. Dan bid’ah yang lebih parah dari itu jika bacaan disertai dengan alat musik.

6. Melagu serta banyak mengulang-ulangi laguan.

7. Membaca cepat seperti halnya syair.

8. Membaca dengan cepat tanpa tadabbur (memperhatikan maknanya).

9. Mengangkat suara saat membaca dengan cara yang berlebih-lebihanan. Dan inilah yang menyebabkan timbulnya cara baru yang dibuat-buat saat membaca al-Qur’an, yaitu menempelkan kedua tangan pada kedua telinga ketika membaca al-Qur’an.

10. Duduk melingkar dan bergantian dalam membaca ayat atau surah sampai bacaan selesai. Tetapi cara ini diperbolehkan saat berkumpul untuk belajar al-Qur’an.

11. Membaca al-Qur’an di menara masjid. Ini merupakan tipu daya Iblis terhadap banyak ahli qira'ah, yaitu mereka membaca al-Qur’an di menara masjid pada waktu malam dengan paduan suara yang keras sampai berjuz-juz, sehingga mereka mengganggu dan menghalangi orang lain tidur, sekaligus dapat menjerumuskan diri mereka kepada perbuatan riya’[1] Bahkan di antara mereka ada yang sengaja membaca al-Qur’an di masjid di waktu setelah adzan, karena ini merupakan waktu berkumpulnya orang-orang di masjid.

12. Qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) membaca sambil mengisap rokok, atau membaca al-qur’an di suatu majlis di mana orang-orang yang berkumpul mengisap rokok.

13. Menyibukkan diri dengan cara-cara bacaan yang syadz (nyleneh/aneh/rancu), padahal ini merupakan tipu daya Iblis terhadap mereka. Yaitu mereka menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan seperti ini sehingga menghabiskan waktu dan umur mereka untuk mendalami, mengajarkan serta menyusun buku untuk hal itu, sehingga mereka sibuk dengan urusan qira’ah (bacaan) dan meninggalkan ilmu yang fardhu atau wajib. Sehingga anda terkadang mendapati seorang imam masjid yang sibuk dengan pengajaran cara bacaan yang syadz, padahal dia sendiri belum mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat. Bahkan terkadang sifat fanatik kejahilannya membuat dia berani dengan cepat tampil berfatwa, tetapi enggan ikut duduk menuntut ilmu di majlis ilmu yang dipimpin oleh ulama. Andaikan orang-orang seperti ini mau berfikir, niscaya mereka mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi prioritas tujuan ialah menghafal al-Qur’an serta membenarkan cara bacaan (qira’ah), lalu memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang dapat memperbaiki hati dan akhlaq, serta ilmu-ilmu syari’at yang lainnya. Dan merupakan kebodohan jika seseorang menghabiskan waktunya pada hal-hal yang tidak penting. Al-Hasan Al-Bashariy berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai pekerjaan.” Maksudnya: Mereka hanya mementingkan urusan bacaan tetapi tidak mengamalkan isi Al-Qur’an.

14. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) atau lebih pada satu ayat, di dalam shalat atau di luar shalat di tengah banyak orang. (Cara menbaca seperti ini diperbolehkan saat seorang guru menjelaskan cara-cara bacaan dalam pelajaran tafsir untuk mengetahui maksud setiap bacaan).

15. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan bacaan ayat atau surat tertentu dalam shalat wajib atau selain shalat wajib tanpa dalil, seperti:
a. Membiasakan membaca surah al-An’am pada rekaat terakhir malam ke tujuh bulan Ramadhan dengan meyakini bahwa hal itu disunnahkan.
b. Membaca surah al-Muddatstsir, al-Muzzammil atau al-Insyraah pada malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di shalat Isya’ atau shalat Fajar.
c. Membaca surat yang menyebutkan Nabi Musa Alaihissallam pada shalat fajar hari ‘Asyura.
d. Membaca surah al-Kafiruun dan al-Ikhlash di shalat maghrib pada malam Jum’at.
e. Membaca surah al-Falaq dan an-Naas pada shalat Maghrib pada malam Sabtu.
f. Menggabung ayat-ayat tertentu untuk dibaca secara khusus pada akhir-akhir shalat tarawih.
g. Membaca ayat-ayat yang berisi do’a di malam khatam pada rekaa’at terakhir shalat tarawih setelah membaca surah an-Naas.
h. Membaca dengan dua qira’ah (cara baca) dalam shalat adalah bid’ah, sama hukumnya dengan menggabung dua qira’ah saat membaca di luar shalat.
i. Membaca surah yang di dalamnya ada ayat sajadah selain (Alif Laam Miim –Tanzil- As-Sajdah) pada shalat fajar hari jum’at karena yang disunahkan ialah: membaca pada rekaat pertama (Alif Laam Miim –Tanziil- As-Sajdah) dan (surah al-Insan) pada rekaat kedua.
j. Menggabungkan ayat-ayat yang berisi tahlil (kalimat Laa ilaaha illa Allah) dan membacanya seperti halnya membaca surah.

16. Termasuk bid’ah adalah mengkhususkan membaca suatu ayat atau surah tanpa dalil pada waktu atau tempat tertentu untuk suatu hajat. Seperti:
a. Membaca al-Fatihah dengan niat untuk hajat tertentu atau menghilangkan kesusahan.
b. Membaca surah al-Kahfi pada hari Jum’at untuk orang-orang yang akan shalat Jum’at sebelum memulai khutbah Jum’at dengan suara yang keras.
c. Membaca surah Yaasiin 40 kali dengan niat terpenuhinya suatu hajat.
d. Mengkhususkan bacaan surah al-Kahfi sesudah Ashar pada hari Jum’at di masjid. (Kesalahannya karena mengkhususkan tempat dan waktu).
e. Membaca surah Yaasin saat memandikan mayit.
f. Membaca sepersepuluh dari al-Qur’an (oleh anak-anak dan selain anak-anak) pada malam Maulid.
g. Membaca al-Qur’an di hadapan jenazah atau di atas kubur.
h. Mengharuskan diri untuk senantiasa membaca al-Qur’an saat thawaf.

17. Termasuk bid’ah adalah kebiasaan para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) atau yang mendengarkan bacaannya mengucapkan do’a-do’a atau dzikir-dzikir yang tidak ada nash dalilnya saat membaca suatu ayat atau surah. Seperti:
a. Ucapan mereka setelah membaca al-Qur’an: “al-Fatihah.”
b. Ucapan mereka saat membaca al-Fatihah: “Shalluu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa.”
c. Ucapan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “al-Fatihah –Ziyaadatan Fii Syarafin Nabiyyi Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
d. Ucapan orang-orang yang mendengarkan bacaan qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an): “Allah, Allah,” atau ucapan-ucapan lainnya yang ditujukan kepada qaari saat ia membaca, padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأِذَا قُرِىءَ القُرءَانُ فاَستمعُوا لَهُ وَأنصِتُوا لَعَلكُم تُرحَمُونَ

"Dan apabila dibacakan al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" [al-A’raaf: 204]

e. Membiasakan ucapan: “Shadaqa Allaah ul-‘Azhiim” setelah selesai membaca al-Qur’an.

18. Bid’ah-bid’ah khatam, seperti:
a. Membaca semua ayat-ayat sajadah setelah khatam.
b. Bertahlil empat belas kali.
c. Mengadakan perayaan malam khatam.
d. Khutbah sebelum atau sesudah acara.
e. Saling berjanji untuk khatam.
f. Berteriak saat khatam.
g. Menyalakan api malam khatam

19. Termasuk bid’ah adalah membaca al-Qur’an untuk meminta-minta. Di antaranya dengan cara memutar bacaan kaset Qur’an sambil meminta-minta di gang-gang jalanan dan di toko-toko pasar.

20. Meletakkan kedua tangan di kedua telinga atau satu tangan di sebelah telinga saat membaca al-Qur’an.

21. Tujuh hal yang menyangkut khatam:
a. Penyempurnaan khatam, artinya: makmum membaca semua ayat yang ditinggalkan oleh imam, setelah itu imam kembali membaca semua ayat yang telah ia tinggalkan.
b. Menganggap bahwa disukai mengkhatam qur’an pada sore hari di musim dingin, dan di pagi hari pada musim kemarau.
c. Menyambung satu khatam dengan khatam lain dengan perantaraan/sambungan surah al-Fatihah atau dengan membaca lima ayat dari surah al-Baqarah.
d. Mengulang-ulangi surah al-Ikhlash tiga kali.
e. Bertakbir di akhir surat ad-Dhuha sampai akhir surah An-Naas di dalam shalat atau di luar shalat.
f. Puasa pada hari khatam.
g. Membaca do’a khatam dalam shalat.

TAQLID (MENIRU) SUARA QAARI’
Fitnah (kesesatan; kesalahan) meniru suara para qaari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) dan mempraktekkannya di masjid-masjid di hadapan Allah adalah perkara yang dianggap bid’ah (tambahan) dalam urusan ibadah membaca qur’an . Padahal merupakan suatu hal yang dimaklumi bahwa hal meniru suara yang qaari’ yang baik bisa dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pada zaman para sahabat Radhiyallahu 'anhum, tetapi tidak diketahui adanya di kalangan mereka yang bertaqaarub (beribadah) kepada Allah dengan meniru-niru suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga dari sini diketahui bahwa perbuatan tersebut tidak masyru’ (disyari’atkan/diajarkan) sekaligus merupakan sikap mengada-ada dalam persoalan ibadah.

Padahal menurut qaidah syara’ bahwa setiap perkara ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan.

Hal inilah -pada zaman kita ini- yang membuat banyak orang berdesak-desakan mengerumuni masjid-masjid yang imamnya mempunyai prinsip seperti di atas (meniru suara para qaari’ yang terkenal). Sehingga banyak orang pada bulan Ramadhan yang bepergian dari satu negeri ke negeri lain dengan tujuan shalat tarawih di suatu masjid yang imamnya mempunyai "suara yang bagus".

Coba anda camkan baik-baik hal ini, betapa terinjak-injaknya Sunnah Nabi tentang larangan "sengaja bepergian (ke tempat yang dimuliakan-red) kecuali ke tiga masjid: Masjid Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha".[2]

Dan di antara hal yang muncul dari perbuatan tadi:
1. Adanya perasaan tidak senang shalat di belakang imam yang tidak begitu bagus suaranya.
2. Banyaknya orang yang kehilangan khusyu’ dalam shalatnya akibat ketergantungan kepada kebagusan suara.

Dan saya menasehati setiap muslim yang membaca Kitab Allah Ta’ala, khususnya para imam masjid-masjid, agar menghentikan sifat meniru-niru dan taqlid dalam membaca kalam Allah Rabbul-Alamiin. Kalam Allah lebih mulia dan lebih besar nilainya dibanding dengan perbuatan seorang qaari’ dalam melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan secara syar’iy kepadanya.
Allah berfirman tentang perihal sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَمَاأَنَا مِنَ المُتَكَلفِينَ

"Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan". [Shaad: 86]

Hendaknya setiap hamba berusaha untuk menghadirkan hati dan memperbaiki niat, sehingga ia membaca al-Qur’an dengan memperbagus suaranya tanpa mengada-ada dan memaksakan diri di luar kemampuannya. Janganlah mengada-ada dengan melagu serta memaksa-maksakan bacaan serta cara baca yang dilarang.

Dan sepantasnya orang-orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengangkat imam masjid supaya memilih imam yang lebih memadai keilmuaanya, bertaqwa, bersifat wara’, mempunyai aqidah yang bersih dari penyakit syubhat, mempunyai perangai bersih dari penyakit syahwat, serta lebih mendahulukan yang bersuara baik.

MENGGOYANG-GOYANGKAN KEPALA DAN BADAN SAAT MEMBACA AL-QUR’AN
Yaitu bid’ah kebiasaan orang-orang Yahudi yang biasa mereka lakukan saat mereka belajar, kemudian merembet kepada anak-anak kaum muslimin, pertama-tama di Mesir. Jika mereka membaca al-Qur’an di sekolah, mereka mengerak-gerakan kepala dan melenggak-lenggok. (Seperti yang dijelaskan oleh Abu Hayyan Al-Andalusiy dan Al-Raa’iy Al-Andalusiy).

MEMILIH BACAAN AYAT-AYAT PADA SHALAT JUM’AT YANG SESUAI DENGAN PEMBAHASAN KHUTBAH
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyusun bacaan shalat Jum’at dengan tiga sunnah bacaan:
1. Surah Al-Jumu’ah dan Surah Al-Munafiqun
2. Surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Ghaasyiyah
3. Surah Al-‘A-laa (Sabbihisma) dan surah Al-Ghaasyiyah.

Sungguh pada zaman kita ini telah terjadi adanya sikap berpaling sebagian orang dari bacaan yang disyari’atkan ini kepada pilihan pribadi imam, yaitu memilih ayat-ayat atau surah yang menurutnya sesuai dengan thema khutbah.

Cara ini tidak berasal dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak berasal dari pengaalan Salaful-Ummah, sehingga menjadikan cara tadi sebagai suatu kebiasaan pengamalan adalah bid’ah. Begitu pula (jika) dengan niat meninggalkan yang disyari’atkan dan mengamalkan selain yang disunnahkan untuk dijadikan sebagai cara pengamalan yang dianggap sunnah, maka sikap ini dianggap sebagai sikap ingin menyempurnakan syariat (yang seakan-akan belum sempurna), meninggalkan yang masyru’, menganggap cara tadi sunnah serta membuat orang-orang awam terkecoh dengan cara-cara seperti itu, Wallahu a’lam.

MELAFAZHKAN AYAT-AYAT TERTENTU SAAT BERKHUTBAH DENGAN NADA SUARA BERUBAH-UBAH
Di antara hal-hal yang diada-adakan oleh para penceramah dan sebagian khatib pada zaman ini ialah merubah-ubah suara saat membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk mengatur suaranya saat berceramah atau berkhutbah.

Cara ini tidak dikenal dari ulama-ulama salaf terdahulu, dan juga para ulama yang mempunyai banyak pengikut. Dan anda tak menjumpainya di kalangan ulama-ulama yang mulia yang diakui pada zaman kita, bahkan mereka menghindari cara bacaan seperti ini, dan banyak hadirin yang mendengarkan bacaan itu yang merasa tidak suka. Cara membacanyapun berbeda-beda, dan semua cara yang salah tidak diperhitungkan, sebagaimana tidak diperhitungkannya orang yang menyalahi metode periode awal umat ini dan ulama salaf.

[Ringkasan kitab Bida’ul Qura’ Al-Qadimah wal Mu’ashirah karya Syeikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, diringkas oleh M. Dahri]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]





Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari'at Islam



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman yang maknanya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak".

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".

Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

...فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]

Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?

Keempat.: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]

Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

"Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]

Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

" … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian" [an-Nisâ'/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna: Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu 'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

"Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]

Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]

Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

"Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at"[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1). Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]

4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]

“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya...”

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.




Akhir Kesudahan Ahli Bid'ah



Oleh
Syaikh Muhammad Musa An-Nasr




Abu Musa Al As’ari Radhiyallahu 'anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling). Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan didepan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah) : “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya ……

Maka Abu Musa Radhiyallahu 'anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu iapun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin mas’ud pun membalas salamnya. Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud : “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.

Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa : “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab : “ Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud : “Mari kita pergi menuju mereka”.

Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud :“Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” mereka menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”. Maka berkatalah Abu Mas’ud : “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada diatas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad ? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata :

"Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.

Berkata Amru bin Salamah : “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij”. (Riwayat Darimi dengan sanad shahih)

Aku (Syaikh Musa Nasr) berkata : “Firasat Ibnu Mas’ud terhadap mereka (yaitu ahli bid’ah yang mengadakan halaqah dzikir) benar, dimana ahli bid’ah itu bergabung bersama kaum khawarij disebabkan “terus menerusnya” mereka dalam kebid’ahan. Dan inilah akhir kesudahan seseorang yang “terus menerus” dalam kebid’ahannya, serta menyelisihi para sahabat nabi.

Akan tetapi mungkin seseorang di zaman kita berkata : “Apakah yang diingkari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu? Apakah berdzikir kepada Allah itu bid’ah?!! Kita katakan : “Maha suci Allah, jika dikatakan dzikir kepada-Nya adalah bid’ah, khususnya jika dzikir itu adalah dzikir yang disyariatkan, tetapi yang bid’ah hanyalah cara (berdzikir) dimana mereka berkumpul padanya, serta cara yang mereka lakukan dalam berdzikir kepada Allah, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahanbat beliau tidak pernah mengamalkannya. Dan khawarij yang dicela oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang mereka :

“Jika aku menjumpai mereka, niscaya benar-benar akan aku bunuh mereka sebagaimana pembunuhan terhadap kaum Ad” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Sesungguhnya hanyalah Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam mengancam mereka dikarenakan perbuatan mereka yang bid’ah dan mungkar, yaitu : mereka mengkafirkan kaum muslimin lantaran perbuatan maksiyat, dan mereka menganggap kaum muslimin masuk neraka kekal (lantaran perbuatan maksiat) padahal (yang benar) pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka. Sebagaimana juga mereka mewajibkan bagi perempuan yang haid untuk mengganti shalat (yang ia tinggalkan ketika haid) sebagaimana ia mengganti puasa (Ramadhan jika ia haid pada waktu itu).

Maka mereka berbuat melampaui batas dalam agama mereka, dan mereka beramal dengan sangat membebani diri, bahkan mereka (yaitu khawari) telah khuruj (keluar) dari ketaatan kepada anak paman Rasulullah, menantu beliau Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu (ketika menjadi khalifah) bahkan mereka bunuh Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu secara dhalim dan kedustaan.

Dan Nabi kita Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya”

Sedangkan lisan keadaan ahli bid’ah berkata : “Ini adalah agama Muhammad bin Abdullah”. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik, dimana ia berkata :

“Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3). Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”

Pelaku bid’ah diharamkan dari minum seteguk air yang nikmat dari tangannya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan dari telaganya yang mana telaga itu lebih putih dari salju dan lebih manis daripada madu.

Maka sungguh telah benar dari hadits Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata : Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Artinya : Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Maka demikianlah kesudahan akhir ahli bid’ah baik pada masa lampau atau masa sekarang, (Semoga Allah melindungi kita dari akhir kematiaan buruk seperti mereka). Maka apakah sadar mereka para ahli bid’ah pada setiap zaman dan tempat pada buruknya tempat kembali mereka? Maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat “nasuha” (taubat yang murni), kita mengharapkan bagi mereka yang demikian itu.

Dan hanya Allah saja Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan untuk ittiba’ (mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya).

[Diterjemahkan dari majalah al Ashalah edisi 27 halaman 17-18]

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi Th. II/No. 07 Diterbitkan Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]



Antara Adat Dan Ibadah




Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.

Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits.

Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.

Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.

Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”

Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat

Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157] [2].

Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]

Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah : “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.

Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali” [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]

Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.

“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]

Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]

Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.

Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]






sumber:     http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment