Thursday, July 26, 2012

Hukum Shalat Di Kuburan; Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam : لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. [Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]


Hukum Shalat Di Kuburan; Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. [Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]


Oleh:
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA [1]


“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana ? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rizki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.

Kepada siapa meminta ? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Azza wa Jalla, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.

Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat !

PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian Ulama mengkategorikannya dosa besar. [2] Praktek ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah agama kita melarang praktek tersebut. Amat banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya :

1. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. [Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad Radhiyallahu anhu]

Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[3]

al-‘Allâmah al-Munawi rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.” [4]

Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’ani rahimahullah (w. 1182 H). [5]

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. [HR. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar Radhiyallahu anhuma]

Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.

Imam al-Baghawi rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.” [6]

Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H) [7] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H). [8]

Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.” [9]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. [HR. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[10] , Ibnu Taimiyyah rahimahullah [11] dan al-Albâni[12].

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan[13].

Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah [14] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [15].

4. Doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid [16]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Azza wa Jalla sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktek para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar!” [17]

5. Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. [HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.” [18]

Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).” [19]


Hukum Shalat Di Kuburan




HIKMAH DI BALIK TERLARANGNYA SHALAT DI KUBURAN

Para Ulama Islam sepakat bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[20] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut; [21]

Sebagian Ulama memandang bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia. Ada juga Ulama lain yang berpendapat bahwa sebabnya adalah karena khawatir umat ini akan terjerumus ke dalam perbuatan syirik.

Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram rahimahullah (w. 273)[22] , al-Mawardi rahimahullah (w. 450 H)[23] , Ibn Qudâmah rahimahullah [24] , Ibn Taimiyyah rahimahullah (w. 728 H)[25] , as-Suyuthi (w. 911 H)[26] dan yang lainnya.

Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindakan menjadikan kuburan sebagai berala, Imam Suyuthi memperjelas njelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan umat ini akan menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuti memeperjelas, “Inilah sebabnya mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau syirik di bawahnya.

Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Sebuah bentuk peribadatan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; maksudnya adalah masjid! …

Inilah mafsadah (keburukan) yang dicegah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sumbernya. Hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu atau celah yang berpotensi menghantarkan kepada kerusakan yang bisa memicu peribadatan kepada berhala.” [27]

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nas. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau rahimahullah paparkan :

1. Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.

2. Tempat masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.

3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh k melarang bumi untuk memakan jasad mereka. [28]

HUKUM ORANG SHALAT DI KUBURAN
Secara umum shalat di area kuburan itu terlarang, namun bagaimana dengan orang yang melakukannya ? Apakah hukumnya satu atau bagaimana ?
Kalau kita lihat faktanya, orang-orang yang shalat di area kuburan itu memiliki tujuan beragam. Berdasarkan ini, maka hukum bagi masing-masing pelaku juga berbeda berdasarkan niatnya.

Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk penghuni kubur.

Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar (besar); karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menegaskan :

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh, maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh. [al-Jinn/72:18]

Kedua: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan bertabaruk (memohon berkah) dengan tempat kuburan tertentu. Perbuatan seperti ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak. Karena itu termasuk mengada-adakan suatu yang baru dalam praktek beribadah.

as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan doanya terkabul di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Dan ini ) menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah yang tidak dizinkan oleh Allâh k dalam agama, juga Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para imam kaum Muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.” [29]

Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)[30] , al-Munawa[31] dan ar-Rumi (w. 1043 H)[32] juga menyampaikan keterangan senada.

Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan bertabarruk (ngalap berkah darinya) atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla.

Tentang yang ketiga ini, para Ulama berbeda pendapat [33]. Namun yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang berpotensi menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas Ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibnul Mundzir (w. 319 H). [34]

Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut menunjukkan hal itu boleh dilakukan :

أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: "مَاتَ". قَالَ: "أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟". قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: "دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!" فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ"

“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasûlullâh Shallalalhu ‘alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
“Dia sudah meninggal” jawab para sahabat.
“Mengapa kalian tidak memberitahuku?”
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan padaku di mana kuburannya?”
Setelah ditunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat atasnya, lalu bersabda, “Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka”. [HR. Bukhâri (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Kedudukan Shalat Dalam Islam


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada malam Isra' (ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit) diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru, 'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah. Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima puluh'.”[1]

Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau menjawab:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.

"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan." [3]

A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]

Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]

Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di antaranya:

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]

Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.

Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya shalat tadi.’” [7]

Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?”

Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga kali.” [8]

B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila hingga kembali sadar.” [9]

Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan shalat.

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah ranjang mereka.” [10]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]


Waktu-Waktu Shalat



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril Alaihissallam lalu ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Bangun dan shalatlah!” Maka beliau shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Jibril mendatanginya saat ‘Isya' dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Isya' ketika merah senja telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Shubuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Shubuh ketika muncul fajar, atau Jabir berkata, “Ketika terbit fajar.”

Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat Zhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Zhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat ‘Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang aslinya. Kemudian dia mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian dia mendatanginya saat ‘Isya' ketika pertengahan malam telah berlalu -atau Jibril mengatakan, sepertiga malam,- lalu beliau shalat ‘Isya'. Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Lalu beliau shalat Shubuh kemudian berkata, ‘Di antara dua waktu tersebut adalah waktu shalat.’” [1]

At-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad (yaitu Ibnu Isma'il al-Bukhari) berkata, “Riwayat paling shahih tentang waktu shalat adalah hadits Jabir.”

1. Zhuhur
Waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.

2. ‘Ashar
Waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.

3. Maghrib
Waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-merahan pada senja.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Waktu shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang.” [2]

4.‘Isya'
Waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu a'alaihi wa sallam: “Waktu shalat ‘Isya' hingga pertengahan malam.”

5. Shubuh
Waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ.

“Waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga sebelum matahari terbit." [4]

A. Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha (Pertengahan)?
Allah Ta'ala berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” [Al-Baqarah: 238].

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di hari terjadinya perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

شَغَّلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ، ملأَ اللهُ بُيُوْتَهُمْ وَقُبُوْرَهُمْ نَارًا.

"Mereka telah menyibukkan kita dari shalat al-Wustha (yaitu) shalat 'ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah dan kubur-kubur mereka dengan api."[5]

B. Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal Waktu Ketika Hari Tidak Terlalu Panas.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ.

"Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke barat)." [6]

C. Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak Keluar dari Waktunya-Ed.)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْـحِ جَهَنَّمَ.

"Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat hingga cuaca menjadi agak dingin. Sesungguhnya panas yang sangat itu merupakan bagian dari didihan Jahannam."[7]

D. Disunnahkan Menyegerakan Shalat 'Ashar
Dari Anas Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J كَانَ يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلَى الْعَوَالِيْ فَيَأْتِي الْعَوَالِيْ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ.

"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat 'Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan terang. Lalu seseorang pergi dan mendatangi al-'Awali (tempat di sudut Madinah) sedangkan matahari masih tinggi." [8]

E. Dosa Orang yang Melewatkan Shalat 'Ashar.
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang melewatkan shalat 'Ashar seperti orang yang berkurang keluarga dan hartanya."

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ.

"Barangsiapa meninggalkan shalat 'Ashar, maka terhapuslah amalannya." [10]

F. Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam)
Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً.

'Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil mengawasi matahari. Hingga ketika matahari berada di antara dua tanduk syaitan (waktu terbit dan tenggelamnya matahari) ia bangkit dan shalat empat raka'at dengan cepat. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit."[11]

G. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan Dimakruhkan Mengakhirkannya
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, Nabi Shalallahu a'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَـالَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ.

"Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam keadaan fithrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga banyak bintang bermunculan."[12]

Dari Salamah bin al-Akwa' Radhiyallahu anhu : “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Maghrib jika matahari telah terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak nampak).” [13]

H. Disunnahkan Mengakhirkan Shalat 'Isya' Selama Tidak Memberatkan
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Isya’, hingga berlalulah sebagian besar malam dan para penghuni masjid telah tertidur. Kemudian beliau keluar dan shalat, lalu berkata, 'Sesungguhnya ini adalah waktunya, hanya saja aku tak ingin memberatkan umatku. [14]

I. Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan yang Tidak Berguna Sesudahnya.
Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenci tidur sebelum 'isya' dan berbincang-bincang sesudahnya." [15]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu malam kami menunggu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pertengahan malam. Lalu beliau datang dan shalat dengan kami, kemudian menasihati kami. Beliau berkata:

أَلاَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا ثُمَّ رَقَدُوْا، وَإِنَّكُمْ لَمْ تَزَالُوا فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ.
'
Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat kemudian tidur. Dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam shalat selama kalian menunggu shalat.'"[16]

J. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal Waktunya (Ketika Masih Gelap)
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu para wanita mukminat menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berbungkus pakaian mereka. Kemudian kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun yang mengenali mereka karena gelapnya malam."[17]

K. Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan Waktu Shalat?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرِبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ.

"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati shalat Shubuh. Dan barangsiapa mendapati satu raka'at shalat 'Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapati shalat 'Ashar." [18]

Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan 'Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.

"Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat, maka dia telah mendapati shalat itu" [19]

L. Mengqadha Shalat yang Terlewatkan
Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.

“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau tertidur darinya, maka kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat itu jika ia telah mengingatnya.” [20]

M.Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk Mengqadha Shalat Tersebut?
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa (II/235), “Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menjadikan waktu tertentu, yaitu awal dan akhirnya, bagi setiap shalat wajib. Masuk pada waktu tertentu dan keluar pada waktu tertentu. Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena keduanya shalat pada selain waktunya. Qadha adalah kewajiban dari agama. Sedangkan agama tidak boleh selain dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang qadha wajib bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, maka tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan melalaikan dan melupakannya. Tidak pula sengaja menyulitkan kita dengan tidak memberi penjelasan mengenainya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64). Dan setiap syari'at yang bukan dari al-Qur-an dan Sunnah adalah bathil."

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]



Waktu-Waktu Dilarangnya Shalat




Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



N. Waktu-Waktu Dilarangnya Shalat
Dari 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبَرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَـا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْـنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّـى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّفَ الشَّمْسُ لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ.

“Tiga waktu yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami shalat atau mengubur orang-orang mati kami pada saat itu: ketika matahari terbit hingga naik, ketika pertengahan siang hingga matahari tergelincir, ketika matahari condong ke barat hingga tenggelam." [1]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan alasan dilarangnya shalat dalam waktu-waktu ini melalui perkataan beliau kepada 'Amr bin 'Abasah: “Kerjakanlah shalat Shubuh. Kemudian hentikanlah shalat hingga matahari terbit dan naik. Karena sesungguhnya ketika terbit, matahari berada di antara dua tanduk syaitan. Pada waktu itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Setelah itu shalatlah, karena sesungguhnya shalat tersebut disaksikan dan dihadiri. Hingga bayangan naik setinggi tombak. Kemudian hentikanlah shalat. Karena waktu itu Jahannam bergolak. Jika bayangan telah condong ke barat, maka shalatlah, karena sesungguhnya shalat itu dihadiri dan disaksikan. Hingga engkau shalat 'Ashar. Kemudian hentikanlah shalat hingga matahari terbenam. Karena sesungguhnya ia terbenam di antara dua tanduk syaitan. Dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” [2]

O. Dikecualikan dari Larangan Ini Waktu dan Tempat Tertentu
Adapun waktu, adalah ketika matahari berada tepat di atas pada hari Jum'at:
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَتَطَهَّرَ مَـا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنٍ أَوْ يَمُسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتْ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum'at, lantas bersuci sebaik-baiknya, mengenakan minyak rambut, atau mengenakan minyak wangi rumahnya. Kemudian keluar dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Setelah itu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara Jum'at yang satu dengan Jum'at yang lain."[3]

Beliau menganjurkan shalat sunnah semampunya dan tidak melarang kecuali setelah keluarnya imam. Oleh sebab itu, banyak ulama terdahulu, di antaranya 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yang kemudian diikuti oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa keluarnya imam menghentikan shalat, dan khutbahnya menghentikan perkataan. Mereka menjadikan keluarnya imam sebagai penghalang shalat, bukan pertengahan siang.

Adapun pengecualian tempat adalah, Makkah -semoga Allah menambah kemuliaan dan keagungannya-. Karena Allah Ta'ala telah melebihkannya dengan kemuliaan dan keagungan. Shalat di sana tidak ada yang dimakruhkan pada waktu-waktu tadi.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Bani 'Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi siapa pun yang melakukan thawaf dan shalat di Baitullah ini kapan saja. Baik malam maupun siang hari." [4]

Shalat yang dilarang pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah murni yang tidak ada sebabnya. Pada waktu-waktu ini diperbolehkan untuk mengqadha shalat-shalat yang terlewatkan, baik wajib maupun sunnah.

Dalilnya adalah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا إِلاَّ ذلِكَ.

"Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu." [5]

Shalat setelah selesai wudhu' juga boleh untuk dilakukan kapan saja.

Dalilnya adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata pada Bilal ketika Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu berada di depanku dalam Surga." Bilal menjawab, "Tidaklah aku melakukan suatu amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja, tidaklah aku bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya." [6]

Diperbolehkan juga shalat tahiyyatul masjid.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.

"Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka'at."[7]

P. Dilarang Shalat Sunnah setelah Fajar Terbit dan Sebelum Shalat Shubuh.
Dari Yasar bekas budak Ibnu 'Umar, dia berkata, “Ibnu 'Umar melihatku sedang shalat setelah fajar terbit. Lalu dia berkata, 'Wahai Yasar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami ketika kami sedang melakukan shalat ini. Kemudian beliau bersabda, 'Hendaklah orang yang hadir di antara kalian memberitahu yang tidak hadir. Janganlah kalian shalat setelah fajar kecuali dua raka'at.'" [8]

Q. Dilarang Shalat Sunnah setelah Iqamat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ.

"Jika iqamat shalat sudah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib." [9]

R. Tempat-Tempat Dilarangnya Shalat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فُضِّلْتُ عَلَى اْلأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيْتُ جَوَامِعُ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ.

"Aku dilebihkan atas para Nabi dengan enam perkara: (1) aku diberi ucapan yang singkat dan penuh makna, (2) aku ditolong dengan rasa takut (musuh atasku), (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang, (4) bumi dijadikan sarana bersuci dan masjid untukku, (5) aku diutus untuk seluruh makhluk, dan (6) para Nabi ditutup denganku."[10]

Semua bumi adalah masjid selain yang dikecualikan dalam beberapa hadits di bawah ini:

Dari Jundub bin 'Abdillah al-Bajali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Lima hari sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal aku mendengar beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَـانَ قَبْلَكُمْ كَـانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُرْرَ مَسَـاجِدَ، إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ.

‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kubur-kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu.’"[11]

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ.

"Semua bumi adalah masjid kecuali kubur dan kamar mandi." [12]

Dari al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di penderuman unta. Beliau menjawab:

لاَ تُصَلُّوْا فِي مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِيْنِ.

“Janganlah kalian shalat di penderuman unta. Karena ia termasuk syaitan.”

Dan beliau ditanya tentang shalat di penambatan kambing. Beliau menjawab:

صَلُّوْا فِيْهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ.

"Shalatlah di situ, karena ia adalah barakah." [13]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]



Hukum Adzan, Keutamaan Adzan Dan Tata Cara Adzan


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Hukum Adzan
Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafazh yang khusus [1]. Hukumnya adalah wajib.

Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ.

"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."[2]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan adzan, dan perintah mengandung pewajiban sebagaimana yang telah diketahui.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kami untuk memerangi sebuah kaum, tidaklah beliau berperang hingga datangnya pagi. Beliau menunggu, jika mendengar adzan, beliau tidak memerangi mereka. Sebaliknya, jika tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang mereka." [3]

B. Keutamaan Adzan
Dari Mu'awiyah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Sesungguhnya para mu-adzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.” [4]

Dari 'Abdurrahman bin 'Abdillah bin 'Abdirrahman bin Abi Sha'sha'ah al-Anshari kemudian al-Mazini dari ayahnya, dia mengabarkan bahwa Abu Sa'id al-Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat engkau menyukai kambing dan gurun (pedalaman). Jika engkau berada di antara kambingmu atau di gurunmu, maka adzanlah untuk shalat dan keraskanlah suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia, dan lain-lain mendengar suara mu-adzin melainkan mereka akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat." Abu Sa'id melanjutkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam." [5]

C. Tata Cara Adzan
Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah sepakat untuk menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena menyerupai kaum Nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat dengannya?" Aku menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara) yang lebih baik dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah:

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.

أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ. لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.

Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian jika engkau hendak mendirikan shalat (mengumandangkan iqamat) engkau mengucapkan:

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ الله، أَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.

أَللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلهَ إِلاَّ الله.

Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau menyuruh adzan. Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan (lafazh tersebut).[6]

Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas.

Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang di antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ ..." [7] Di sini terdapat isyarat yang jelas bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga menjawab seperti itu. [8]

Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan).
At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat syahadat dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan. [9]

Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini, “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian mengulang dan mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali. Hayya 'alal Falaah. dua kali. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” [10]

At-Tatswib (*) Pada Adzan Shubuh Pertama.
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, “Hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaah. Ash-shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan nauum.” Pada (adzan) awal Shubuh. (Lalu dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” [11]

Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam (I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya disyari'atkan pada adzan Shubuh pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun adzan kedua berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."

Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan khusus untuk shalat Shubuh.
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, “Bilal adzan jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun dari lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Jika beliau keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika melihatnya." [12]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” [13]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya dengan sabdanya, “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam di antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian.” [14]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]



Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan Dan Iqamat.




Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



D. Apa Yang Harus Diucapkan Ketika Mendengar Adzan dan Iqamat.
Disunnahkan bagi yang mendengar adzan dan iqamat untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin.

Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin." [1]

Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka hendaklah salah seorang di antara kalian (juga) mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Hayya 'alash shalaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika mu-adzin mengucapkan, ‘Hayya 'alal falaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Maka ia mengucapkan, ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Kemudian jika muadzin mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah.’ Maka ia mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan hati yang tulus, maka dia akan masuk Surga."[2]

Barangsiapa mengucapkan sebagaimana ucapan mu-adzin, atau ketika muadzin mengucapkan hayya 'alatain ("Hayya 'alash shalaah" dan "hayya 'alal falaah"), ia mengucapkan, "Laa haula walaa quwwata illaa billaah," atau menggabungkan antara apa yang diucapkan oleh muadzin dan hauqalah ("Laa haula walaa quwwata illaa billaah."), maka dia telah berbuat benar insya Allah.

Jika muadzin selesai adzan dan iqamat serta pendengar telah menjawabnya, maka hendaklah mengucapkan apa yang ada dalam dua hadits berikut ini:

Dari 'Abdullah bin 'Amr, dia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّـى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ بِهَا عَلَيْهِ عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةِ.

"Jika kalian mendengar mu-adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena barangsiapa yang bershalawat untukku sekali, maka dengannya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah al-wasilah kepada Allah untukku. Ia adalah sebuah tempat di Surga yang tak diraih kecuali oleh seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapat syafa'atku." [3]

Dari Jabir, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ عِنْدَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: "اَللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَـائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ،" حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan, ‘Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini serta shalat yang didirikan hammad wasilah dan keutamaan. Tempatkanlah ia pada kedudukan yang mulia sebagaimana Kau janjikan.’ Maka dia layak mendapat syafa'atku pada hari Kiamat.” [4]

Catatan:
Disunnahkan bagi seorang muslim agar memperbanyak do’a antara adzan dan iqamat. Karena do’a pada waktu itu dikabulkan.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّعَاءُ لاَيُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ.

"Do’a antara adzan dan iqamat tidak ditolak." [5]

E. Hal yang Disunnahkan Bagi Mu-adzin [6]
Disunnahkan bagi mu-adzin untuk mengikuti hal-hal berikut:
1. Mengharap wajah Allah dengan adzannya, maka janganlah ia mengambil upah.

Dari 'Utsman bin Abi al-'Ash Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku'. Beliau bersabda, 'Engkau adalah imam mereka. Ikutilah orang yang terlemah di antara mereka (jadikan ia sebagai patokan-ed.), dan angkatlah seorang mu-adzin yang tidak mengambil upah dari adzannya." [7]

2. Suci dari hadats besar dan kecil
Sebagaimana yang telah diulas dalam pembahasan "hal-hal yang disunnahkan wudhu' di dalamnya."

3. Berdiri menghadap Kiblat
Ibnul Mundzir berkata, “Telah disepakati bahwa berdiri saat mengumandangkan adzan termasuk sunnah. Karena adzan tersebut menjadi lebih terdengar. Dan termasuk sunnah adalah menghadap kiblat saat mengumandangkan adzan. Karena para mu-adzin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dulu adzan sambil menghadap Kiblat."

4. Menolehkan kepala dan lehernya ke kanan saat mengucapkan, "Hayya 'alash shalaah," dan ke kiri saat mengucapkan: "Hayya 'alal falaah."

Dari Abu Juhaifah, dia melihat Bilal sedang adzan. Dia berkata, “Aku mengikuti mulutnya ke sana kemari saat adzan.”[8]

5. Memasukkan dua jarinya ke telinga
Berdasarkan perkataan Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, “Aku melihat Bilal sedang adzan sambil memutar dan mengikuti mulutnya ke sana kemari. Sedangkan kedua jarinya ada di dalam kedua telinganya." [9]

6. Mengeraskan suaranya ketika menyeru
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah jin, manusia, dan yang lainnya mendengar suara mu-adzin melainkan akan memberikan kesaksian baginya di hari Kiamat.” [10]

F. Berapa Lamakah Jarak Antara Adzan dan Iqamat?
Antara adzan dan iqamat sebaiknya dipisahkan waktu yang cukup untuk persiapan menghadiri shalat. Itulah tujuan disyari'atkannya adzan. Jika tidak demikian, hilanglah hikmahnya.

Ibnu Baththal berkata [11], “Tidak ada batasan dalam hal ini kecuali kepastian tentang masuknya waktu dan berkumpulnya orang-orang yang hendak shalat.”

G. Dilarang Keluar dari Masjid setelah Adzan
Dari Abu Sya'tsa', dia berkata, “Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu maka mu-adzin pun mengumandangkan adzan. Lantas ada seorang laki-laki yang bangkit dan berjalan keluar masjid. Kemudian Abu Hurairah mengikutinya dengan pandangannya hingga ia keluar masjid. Lalu Abu Hurairah berkata, 'Orang ini telah mendurhakai Abul Qasim (Nabi Muhammad). Shallallahu 'alaihi wa sallam'”[12]

H.Adzan dan Iqamat Untuk Shalat yang Terlewatkan
Barangsiapa tertidur dari shalatnya atau lupa, maka disyari'atkan baginya untuk adzan dan iqamat.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kisah tertidurnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya pada suatu perjalanan hingga shalat Shubuh terlewatkan. Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Bilal (untuk adzan dan iqamat), lalu Bilal pun adzan dan iqamat."[13]

Jika shalat yang terlewatkan lebih dari satu, maka adzan sekali dan iqamat untuk setiap shalat.

Berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari mengerjakan empat shalat pada hari berlangsungnya perang Khandaq. Hingga berlalulah malam menurut kehendak Allah. Maka beliau menyuruh Bilal untuk adzan kemudian iqamat lalu shalat Zhuhur. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Ashar. Kemudian iqamat lalu shalat Maghrib. Kemudian iqamat lalu shalat ‘Isya'."[14]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]


Syarat-Syarat Sahnya Shalat


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa': 103].

Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.

B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah...” [Al-Maa-idah: 6].

Dan hadits Ibnu 'Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.

"Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci." [1]

C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.

"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya."[2]

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada 'Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.

"Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu." [3]

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.

"Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah." [4]

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:

أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.

“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]

Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.

Berdasarkan hadits Abu Sa'id: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, 'Kenapa kalian melepas sandal kalian?' Mereka menjawab, 'Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.' Beliau berkata, 'Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.'”[6]

D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” [Al-A'raaf: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu'aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:

مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:

غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

"Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat." [9]

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.

“Wanita adalah aurat.” [10]

Juga sabda beliau:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup." [11]

E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“... maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya...” [Al-Baqarah: 150].

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu'lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat...” [12]

Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.

Allah berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”

Nafi' berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [13]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]

Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.

Dari 'Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

“... maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah...” [Al-Baqarah: 115].”[15]

F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha'...”

Ini semua adalah bid'ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha'if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]





sumber:   http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment