Friday, August 3, 2012

Renungan Di Bulan Ramadhan


Renungan Di Bulan Ramadhan


Oleh
Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji


Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.

Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.

Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2]
.
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.

Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]

Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.

Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4]

RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :

يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, Pen).” [5]

Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.

Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”

Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.

Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah

وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]

Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.

Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain.[8]

Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]

Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya [10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]

Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.” [13]

Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.

PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].

Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]

Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.

Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.

Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”

Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.

Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]

Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).

2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.

3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”. [18]

RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :

حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]

Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).

Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.

Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. (Al Kahfi : 49).

Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]

Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]

Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”

Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).

Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.

Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.

Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ......

Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.

Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.

Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ....

Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.

Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.[22]

Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.

Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]

Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]

Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]

Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.

Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.

Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.

Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.

Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.

Rasulullah telah bersabda :

إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ

(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya.

Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf : 33).

Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :

اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29]

اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]

BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun : 60).

Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).

Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.

Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]

Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.”

‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”

Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”

Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.

Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”. [33]

Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.

Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.

Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).

Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]

Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah n : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. (An Nashr ayat 1-3).

Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah n , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata :

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .

Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.

Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”

Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36]

Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.” [37]

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maraji`:
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.
9. Tafsir Ibnu Katsir.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]



Mengharap Berkah Melalui Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Hakikat dari keberkahan adalah kebaikan yang senantiasa ada, kontinu, melimpah dan semakin bertambah. Dan semua kebaikan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan pendahuluan-. Karena itu, keberkahan tidak boleh diharapkan dan diminta kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, atau boleh juga melalui segala sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan suatu keberkahan kepadanya, yang tentunya dengan cara yang sesuai dengan syariat (masyruu’). Dan dzikrullaah (dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) merupakan salah satu sarana dalam mencari keberkah-an dari-Nya.

Dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dapat dilakukan dengan hati (bil qalbi), dan dapat pula dengan lisan (bil lisaan). Namun yang terbaik (al-afdhal) adalah dengan hati dan lisan sekaligus [1], tetapi jika dibatasi pilihannya hanya pada salah satu dari keduanya, maka dengan hatilah yang lebih utama (afdhal)[2] , karena dzikir hati (dzikrul Qalbi) akan membuahkan pengetahuan (ma’rifah) dan membang-kitkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa malu (al-hayaa’), melahir-kan rasa takut (makaafah) serta menghadirkan rasa pengawasan (muraaqabah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]

Macam-Macam Dzikir
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib menyebutkan tentang jenis-jenis dzikir, bahwa dzikir itu terbagi dua macam, yaitu:

Pertama : Menyebut Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung-Nya dengan menggunakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut, juga mensucikan-Nya dari segala dari segala hal yang tidak layak untuk disandarkan kepada-Nya. Dan hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:

1. Melakukan puji-pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Nama-Nama maupun Sifat-Sifat-Nya.
Bagian inilah yang sering diterangkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti, سُبْحَانَ اللهُ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ dan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ serta لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ atau yang lainnya.

Dan yang terbaik (afdhal) dalam bagian ini serta mencakup segala pujian, adalah سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. Ini lebih utama (afdhal) dari sekedar سُبْحَانَ اللهُ. Sebagaimana jika engkau mengucapkan, “الْحَمْدُ للهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَعَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِى وَعَدَدَ مَا بَيْنَهُمَا، وَعَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ” lebih utama (afdhal) dari sekedar “الْحَمْدُ للهِ”. Beliau menguatkan pendapat ini dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Informasi [4] tentang Allah Tabaaraka wa Ta‘aalaa dengan berbagai kaidah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna.
Seperti, bahwa Allah Azza wa Jalla mendengar suara-suara hamba-Nya, melihat gerak-gerik mereka, tidak ada sesuatu pun dari amal mereka yang tersembunyi, Dia Mahapenyayang kepada mereka, lebih dari orang tua mereka dan bahwa Dia Mahakuasa atas segala se-suatu, dan yang lainnya.

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: “Dan (cara) yang terbaik dari jenis ini, yaitu pujian kepada-Nya dengan pujian yang Dia gunakan dalam memuji Diri-Nya sendiri, dan dengan pujian yang Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gunakan dalam memuji-Nya tanpa tahriif (menyimpangkan makna dari Nama dan Sifat-Nya), tanpa ta’thiil (meniadakan Sifat-Sifat-Nya), tanpa tasybiih (menye-rupakan Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya) dan tanpa tamtsiil (menyamai Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya).

Lalu beliau menyebutkan beberapa jenis yang lain lagi, dan berkata:
Kedua, menyebut dan mengingat perintah, larangan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jenis ini pun terklasifikasi menjadi dua macam:
1. Menyebut dan mengingat hal-hal tersebut sebagai informasi dan pemberitahuan dari-Nya, bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan hal ini, melarang hal itu, suka pada hal ini, murka pada hal itu, serta ridha terhadap hal yang demikian.

2. Menyebut dan mengingat perintah-Nya kemudian bersegera merealisasikannya, atau menyebut dan mengingat larangan-Nya kemudian bersegera menjauhkan diri darinya.
Beliau melanjutkan: “Dan termasuk dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menyebut-nyebut karunia dan nikmat-Nya, kebaikan-Nya, bantuan-Nya dan segala pemberian-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, semuanya ada lima macam dzikir.”[5]

Kesimpulannya adalah, berdzikir kepada Allah Ta‘ala terbagi menjadi: Menyebut Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya Ta‘ala, yang sengaja digunakan untuk berdzikir maupun yang bersifat pengkabaran. Dan mengingat perintah dan larangan-Nya beserta hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat ucapan (qaulan) maupun prakteknya (‘amalan), dan menyebut-nyebut nikmat-nikmat-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya.

Maka, dibolehkan mencari berkah dengan dua dzikir yang tersebut di atas tadi, dengan jenis-jenis dan macam-macamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita agar membaca dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan baik yang umum maupun khusus, dan terikat oleh tempat, waktu maupun keada-an, seperti dzikir yang disyariatkan dalam shalat, sesudah adzan, haji dan berbagai ibadah lain, juga seperti dzikir-dzikir siang dan malam yang telah masyhur, contohnya dzikir pagi dan sore, saat tidur, mengendarai kendaraan, saat berpakaian, dan selainnya. Begitu pun pada saat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu yang berbeda-beda serta pada seluruh keadaan seorang Muslim.

Lafazh dzikir tertera dan termaktub dalam buku-buku Sunnah, dan sebagian ulama telah memisahkan pembahasan dzikir tersebut dalam buku yang tersendiri. Yang paling populer dan terbaik adalah kitab al-Adzkaar yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah. Adapun hukum berdzikir tersebut adalah beragam, ada yang wajib seperti dzikir-dzikir shalat, contohnya tasbih saat ruku’ dan sujud, serta selainnya. Begitu juga ada yang Sunnah, kelompok inilah yang terbanyak dari yang sebelumnya.

Menyebut Nama-Nama Allah Ta‘ala Adalah Salah Satu Bentuk Dzikir
Termasuk dalam kategori dzikir adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala saat akan berbicara dan bekerja. Tasmiyyah (mengucapkan بِسْمِ اللهِ) ini disunnahkan di awal setiap perkataan maupun perbuatan.[6] Artinya, “Aku memulai dengan menyebut Nama Allah (bi tasmiyyatillaah) sebelum aku berkata maupun aku berbuat.” Di antara hikmah dari dzikir ini adalah memperoleh keberkahan yang bersifat ukhrawi maupun duniawi pada hal-hal tersebut, serta menghalangi kerusakan-kerusakan dan keburukan darinya, dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya.

Setelah memberikan contoh-contoh bagi hal tersebut, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang disyariatkan adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat akan melakukan hal-hal tersebut di atas, dengan maksud untuk mengharap berkah, percaya, optimis dan berharap sebagai penolong, agar Allah berkenan menyempur-nakannya serta menerimanya.”[7] Dan di antara perkara-perkara yang disyariatkan bertasmiyyah (menyebut Nama Allah) padanya adalah pada saat berkurban dan berburu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan...” [Al-An‘aam: 121]

Dan juga firman-Nya:

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“...Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah Nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...” [Al-Maa-idah: 4]

Serta pada saat berwudhu’, mandi, tayammum,[8] dan juga pada saat masuk dan keluar masjid. Juga saat makan dan minum, sebagaimana yang disebutkan dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Umar bin Abi Salamah[9] Radhiyallahu anuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

"يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ!"

“Wahai pemuda sebutlah dengan Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu!”[10]

Di dalam beberapa kitab Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ."

“Jika salah seorang diantara kalian makan, maka ucapkanlah bismillaah (dengan Nama Allah). Namun bila ia lupa, maka ucapkanlah bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan Nama Allah di awal dan akhirnya).” [11]

Dan juga di antaranya adalah tasmiyyah ketika akan masuk dan keluar rumah, ketika akan tidur, akan jima', dan selainnya. Demikian pula basmalah (yaitu mengucapkan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) disyariatkan di saat akan membaca awal dari surat-surat dalam al-Qur-an kecuali pada surat Bara-ah (at-Taubah).

Sebagian ulama telah menyebutkan beberapa alasan melakukan hal tersebut, diantaranya dalam rangka bertabarruk (meng-harap berkah) dengannya. Demikian pula telah disepakati oleh para ulama umat, agar menuliskannya pada permulaan buku-buku maupun surat.

Shalawat Atas Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Dan termasuk pula dalam dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah, shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan bagian dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ungkapan syukur kepada-Nya, serta mengakui nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengutus beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shalawat atas Nabi adalah hukumnya wajib pada saat tasyahhud akhir dalam shalat -dengan lafazh yang telah diketahui sesuai menurut Sunnah- menurut pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama yang ada.[12] Shalawat tersebut juga disyari’atkan dalam berbagai kondisi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwasanya (shalawat ini) disyari’atkan dalam 40 kondisi dengan beserta dalil-dalilnya dalam kitab beliau, Jalaa-ul Afhaam fiish Shalaah was Salaam ‘alaa khairil Anaam.[13] Di antaranya adalah shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disebutkan namanya,[14] di awal-awal do’a serta akhirnya, pada hari Jum’at, dan selainnya.

Adapun dalil disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.” [Al-Ahzab: 56]

Serta hadits-hadits yang menganjurkannya, memperbanyak jumlahnya serta mengungkapkan keutamaan-keutamaannya adalah sangat banyak sekali.[15] Saya nukilkan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا."

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat[16] padanya 10 kali.”[17]

Dan disebutkan pada dalam kitab-kitab Sunan dari Anas Radhiyallahu anhu dengan lafazh:

"صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ."

“Niscaya Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali dan di-hapus darinya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat.”[18]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Hubungan Antara Do'a Dan Dzikir



Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i



Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala beriringan dengan dzikir kepada-Nya, ia merupakan permintaan seorang hamba kepada Rabb-Nya tentang kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dalam bentuk ungkapan situasi dan kondisi serta perkataan.

Maka di dalam do’a terkandung dzikir sekaligus, karenanya do’a biasa disebut juga dengan dzikir oleh kebanyakan orang. Hal yang perlu dijelaskan di sini, bahwa semakin banyak dzikir kepada Allah Ta‘ala dan memuji-Nya dalam berdo’a, maka itu lebih baik dan utama serta lebih pantas untuk dikabulkan.

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang disunnahkan (mustahab) dalam berdo’a adalah seorang yang berdo’a memulai do’anya dengan pujian-pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara permohonan yang akan disampaikannya, kemudian baru mengungkapkan keinginan-keinginannya,[1] selanjutnya beliau menyebutkan beberapa dalilnya yang menjelaskan hal ini.

Karena itu at-tawassul (memilih salah satu bentuk ibadah dalam rangka mendekatkan diri-pent.) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan salah satu nama dari Nama-Nama Allah yang baik (al-Asmaa-ul Husnaa) atau dengan salah satu sifat dari Sifat-Sifat-Nya yang tinggi (ash-Shifaatul ‘Ulyaa) di dalam berdo’a merupakan salah satu bentuk tawassul yang dibolehkan oleh syariat (at-tawas-sul al-masyruu’). Contohnya, seorang Muslim berucap dalam do’a-nya, “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, Engkau Mahapengasih lagi Mahapenyayang, Mahalembut lagi Mahamengetahui, berikanlah kesehatan kepadaku.” Atau ia berkata, “Aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, rahmati dan ampunilah dosaku.”[2]

Adapun dalil yang mensyari’atkan jenis tawassul seperti ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah-lah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu...” [Al-A’raaf: 180]

Dan di antara dalil-dalil dan landasan-landasan lainnya adalah sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang do’a Nabi Sulaiman Alaihissallam dalam firman-Nya:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

“...Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rah-mat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” [An-Naml: 19]

Adapun argumentasi dari as-Sunnah sebagaimana yang tercantum dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِعِزَّتِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْ تُضِلَّنِي."
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu, tidak ada yang berhak untuk diibadahi melainkan hanya Engkau, agar Engkau melindungiku.” [3]

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجِلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ، إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا."

“Tidaklah seseorang ditimpa kegundahan dan kesedihan lalu ia berucap, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak (keturunan) dari hamba-Mu (Adam), anak (keturunan) dari hamba perempuanmu (Hawa), ubun-ubunku berada di tangan-Mu, keputusan-keputusan-Mu berlaku kepadaku, takdir-takdir-Mu untukku adalah adil, aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, dan Engkau na-makan Diri-Mu dengannya, atau Engkau telah ajarkan kepada seorang hamba-Mu dari makluk-Mu, atau yang Engkau turun-kan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Qur-an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya kalbuku, pelipur laraku dan pengobat kesedihanku.’ Maka, Allah akan meng-hilangkan duka dan kesedihannya dan menggantikannya dengan kemudahan-kemudahan.” [4]

Setelah saya uraikan beberapa macam dzikir secara sederhana, maka sebaiknya sekarang saya menutup pembahasan ini dengan menerangkan bentuk-bentuk at-tabarruk (mengharap berkah) melalui dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (bi dzikrillaah) sehingga tata cara tabarruk dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin jelas.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Keberkahan Dzikir Dan Keutamaan-Keutamaannya


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki keutamaan-keutamaan yang agung dan keberkahan-keberkahan yang melimpah, baik di dunia maupun di akhirat, antara lain:

Keberkahan Duniawi, yaitu;
1. Ketenangan hati dan hilangnya rasa takut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“...Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d: 28]

2. Dzikir menguatkan ingatan, sehingga ia mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan tanpa dengan berdzikir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari anaknya Fathimah Radhiyallahu anhuma dan (menantunya) ‘Ali Radhiyallahu anhu agar bertasbih setiap malam ketika akan tidur sebanyak 33 kali, dan bertahmid sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Ketika ia (Fathimah Radhiyallahu anhuma) meminta pembantu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengadu kepadanya tentang apa yang ia hadapi dalam berumah tangga, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari hal tersebut di atas, kemudian bersabda:

"فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ."

“Itu lebih baik dari kalian berdua dari seorang pembantu.” [1]

Dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang terus menerus secara kontinu melakukan hal tersebut, maka akan mendapatkan kekuatan pada raganya sehingga ia tidak lagi memerlukan pembantu. [2]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwasanya kalimat “لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ”, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membantu kegiatan-kegiatan yang sulit dan meringankan kususahan dan kesulitan, selanjutnya beliau memberikan dalil-dalil dan ar-gumentasinya dalam hal tersebut.[3]

3. Di antara manfaat duniawi dari istighfaar (minta ampunan) lainnya adalah, dapat ditemukan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an-Nuh:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

“Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada-mu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nuh: 10-12]

Dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma:

"مَنْ لَزِمَ اْلاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ."

“Barangsiapa yang senantiasa ber-istighfaar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan jalan keluar terhadap setiap kesulitan yang dihadapinya, ketenangan pada saat keresahan, serta Allah akan memberinya rizki dari jalan yang tidak diduga-duga olehnya.” [4]

4. Di antara berkah dzikir dari aspek duniawi, adalah ar-Ruqyah (jampi-jampi) dengan Nama Allah Ta‘ala dan dengan dzikir yang disyari’atkan untuk memohon kesembuhan dan meminta kesehatan.
Melihat pentingnya masalah ini, maka saya menempatkan pembahasan ini secara khusus tersendiri, dan akan menjadi pembahasan kita selanjutnya (di pembahasan kedua), dengan tema ar-Ruqyah bi Dzikrillaahi Ta‘aalaa, wa bil Qur-aanil Kariim, yaitu ruqyah dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan al-Qur-an al-Karim.

Keberkahan Ukhrawi, yaitu;
1. Pengguguran dosa-dosa dan pelipatgandaan pahala.
Hadits yang menjelaskan tentang hal ini sangatlah banyak, saya menyebutkan sebagian darinya, antara lain yang diriwayatkan dalam ash-Shahiihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ."

“Barangsiapa yang mengucapkan: ‘Tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan Allah segala kerajaan dan pujian, dan Dia Maha-kuasa atas segala sesuatu,’ 100 kali dalam sehari, maka baginya setara dengan membebaskan 10 budak, dan dicatat baginya 100 pahala, dan dihapuskan darinya 100 kesalahan. Dan ia memiliki perisai yang menjaganya dari syaitan pada hari itu hingga malam harinya, tidak ada yang dapat berbuat lebih baik dari dirinya, kecuali orang yang mengamalkan (amalan dzikir tersebut) lebih banyak lagi darinya.” [5]

Juga yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam, beliau bersabda:

"مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: ((لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)) غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ."

“Barangsiapa yang bertasbih di setiap akhir shalatnya 33 kali, bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali, itu semua berjumlah 99, dan kemudian ia melengkapinya keseratusnya dengan membaca: ‘Tidak yang berhak diibadahi selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya-lah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Niscaya ia akan diampuni kesalahan-kesalahannya, walaupun sebanyak buih di lautan.” [6]

Di dalam Shahih al-Bukhari dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu [7] bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"سَيِّدُ الاسْتِغْفَارِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، إِذَا قَالَ حِينَ يُمْسِي فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِذَا قَالَ حِينَ يُصْبِحُ فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ مِثْلَهُ."

“Istighfaar yang paling utama adalah, ‘Ya Allah, Engkau-lah Rabb-ku, tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku, aku adalah hamba-Mu. Dan aku akan setia pada sumpah dan janjiku dengan-Mu sesuai dengan kemampuanku, aku mengakui segala nikmat-Mu padaku[8] dan aku mengakui kepada-Mu atas dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, karena tidak ada yang mengampuni segala dosa selain Engkau. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang aku perbuat.’ Jika ia mengucapkannya ketika malam hari lalu ia meninggal maka ia akan masuk Surga, atau ia akan menjadi ahli Surga. Dan bila ia mengucapkannya pada pagi hari lalu ia meninggal pada hari itu, maka ia pun akan seperti tersebut di atas.” [9]

2. Di antara manfaat ukhrawi lainnya, bahwa majelis-majelis dzikir merupakan salah satu sebab turunnya ketenangan dan melimpahnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta dikelilingi oleh para Malaikat. Telah diriwayatkan dari Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudry Radhiyallau anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ."

“Tidaklah suatu kaum berkumpul dan berdzikir kepada Allah, melainkan Malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka dan ketenangan akan menaungi mereka, serta Allah akan menyebut-nyebut (nama-nama) mereka di antara makhluk yang ada di sisi-Nya, yaitu mengakui (di hadapan para Malaikat).” [10]

Keberkahan Duniawi Dan Ukhrawi Sekaligus.
Berdzikir kepada Allah (dzikrullaah) merupakan benteng yang kokoh dari tipu daya syaitan dan kejahatan-kejahatannya.

Hadits-hadits yang menunjukkan hal tersebut sangat banyak, di antaranya adalah sebagai berikut:

Terdapat dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ."

“Apabila seseorang memasuki rumahnya, lalu ia menyebut Nama Allah ketika (akan) masuk dan juga ketika (akan) makan, maka syaitan berkata (kepada kawannya), ‘Tidak ada tempat bagi kalian untuk bermalam dan makan malam.’ Dan apabila ia memasuki rumahnya namun ia tidak menyebut nama Allah ketika (akan) masuknya, maka syaitan berkata (kepada kawannya), ‘Kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Dan apabila ia tidak menyebut Nama Allah ketika (akan) makan, syaitan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’." [11]

Di dalam ash-Shahiihain, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا."

“Seandainya ada seseorang yang hendak mendatangi isterinya (untuk berhubungan) dan ia mengucapkan, ‘Dengan Nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan (dari) apa yang Engkau karuniakan kepada kami.’ Karena sesungguhnya, apabila mereka ditakdirkan untuk mendapatkan seorang anak dari (hubungannya) tersebut, maka syaitan tidak akan sanggup mengganggunya untuk selamanya.” [12]

Dan dalam beberapa kitab Sunan, dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ، إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ، أَنْ يَقُولَ : بِسْمِ اللهِ."

“Penghalang antara mata jin dan aurat anak manusia, ketika seseorang memasuki kamar mandi (wc), adalah dengan mengucapkan, ‘Dengan menyebut Nama Allah.’” [13]

Sesungguhnya do’a itu memiliki buah dan hasil akhir yang baik di dunia maupun di akhirat. Diantara yang menunjukkan akan keutamaan dzikir, bahwa maksud dari segala bentuk ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Allah adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa mengingat Allah (dzikrullaah) merupakan rahasia, sekaligus sebagai ruh dari segala bentuk ketaatan. [14]

Masih banyak lagi berbagai keutamaan yang besar dan keberkahan yang banyak dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [15]. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap kondisinya.[16] Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.

Maka seyogyanya bagi kita untuk selalu konsisten dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai bentuk dan substansinya, yang jelas-jelas kesemuanya itu harus sesuai dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan, sebagai implementasi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengharap mendapatkan keutamaan-keutamaan yang agung dan keberkahan yang melimpah serta kebaikan yang banyak dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di Akhirat kelak.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Tabarruk Dengan Membaca Al-Qur'an Al-Karim


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Pada awal bab yang lalu, telah dijelaskan keutamaan al-Qur-an dan keberkahannya, dan sekarang saya akan lebih menspesifikan pembahasan hanya kepada persoalan-persoalan at-Tabarruk bi Tilaa-watil Qur-aanil Kariim, yaitu mengharap berkah dengan membaca al-Qur-anul Karim, dan berbagai hal lainnya yang memiliki hubungan dengannya.

Berkah Membaca Al-Qur-an Dan Keutamaannya
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar membaca kitab-Nya al-Karim dalam firman-Nya:

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ ۖ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ

“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur-an). Tidak ada (seorang pun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya...” [Al-Kahfi: 27]

Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

"اِقْرَئُوْا الْقُرْآنَ، فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ."

“Bacalah al-Qur-an, karena ia akan datang sebagai pemberi syafa’at bagi para pembacanya di hari Kiamat nanti.” [1]

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu.[2]

Allah Jalaa wa ‘Alaa dalam menjelaskan keutamaan membaca al-Qur-an berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahamensyukuri.” [Faathir: 29-30]

Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak dalam menjelas-kan masalah-masalah tersebut, di antaranya yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir [3] Radhiyallahu anhu yang terdapat di dalam oleh Shahih Muslim, dan Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"أَفَلاَ يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ."

“Tidakkah salah seorang di antara kalian pada pagi hari bersegera ke masjid, kemudian ia mengajar atau membaca dua ayat dari Kitabullah, (maka hal itu) adalah lebih baik daripada dua ekor unta, dan (jika) tiga ayat (maka hal itu) lebih baik dari tiga unta, dan (jika) empat ayat (maka hal itu) lebih baik dari empat unta, dan begitu seterusnya perbandingan jumlahnya dengan jumlah untanya.”[4]

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terdapat di dalam Shahih Muslim, Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ، فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ."

“Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah (masjid), sedang mereka membaca kitab Allah (al-Qur-an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kete-nangan atas mereka, dan mereka diliputi rahmat Allah, serta para Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyebut-nyebut (membanggakan) mereka pada (para Malaikat) yang ada di dekat-Nya.”[5]

Telah diriwayatkan dalam ash-Shahiihain bahwa Malaikat menghampiri dan mendengarkan bacaan Usaid bin Hudhair Radhiyallahu anhu.[6]

At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ الَم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ."

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur-an, maka baginya satu kebajikan, dan satu kebajikan tersebut dilipat-gandakan menjadi 10 kali lipatnya, aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.”[7]

Yang terakhir, saya mengangkat sebuah perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang membaca al-Qur-an atau meninggalkannya, baik dia adalah seorang mukmin maupun seorang munafiq, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الأُتْرُجَّةِ، رِيْحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ، لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ."

“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur-an bagaikan buah utrujjah (semacam lemon-pent)[8], baunya semerbak dan rasanya sedap. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur-an bagaikan kurma yang tidak berbau namun rasanya manis. Dan perumpamaan seorang munafik yang membaca al-Qur-an, bagaikan raihaanah (semacam kemangi-pent) baunya sedap dan rasanya pahit. Perumpamaan seorang munafik yang tidak membaca al-Qur-an, bagaikan hanzhalah (semacam pare-pent) tidak mempunyai bau dan pahit rasanya.”[9]

Demikianlah gambaran secara global mengenai keutamaan dan keberkahan ukhrawi dalam membaca al-Qur-an.

Adapun keberkahan dan maslahat duniawiyah, di antaranya adalah menjadikannya sebagai penyembuhan dan mengambil manfaatnya melalui cara ruqyah dengan beberapa surat maupun ayat-ayat al-Qur-an. Pembahasan mengenai masalah tersebut akan dibicarakan lebih luas lagi pada pembahasan selanjutnya, insya Allah.

Demikianlah keutamaan dan keberkahan duniawi dan ukhrawi tersebut, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, dan banyak lagi yang lainnya yang telah disediakan oleh Allah dalam bentuk berbagai kebaikan yang agung dan ganjaran yang besar bagi para pembaca al-Qur-an.

Dan ada beberapa surat atau pun ayat yang dikhususkan dan dijelaskan keutamaannya oleh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama seperti surat al-Fatihah, yang mana kewajiban shalat tidak akan sah kecuali dengan membacanya, juga dua surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran, yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang keduanya, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

"اقْرَئُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا."

“Bacalah az-Zahraawain [10] (dua hal yang bercahaya), yaitu surat al-Baqarah dan Ali ‘Imraan, karena sesungguhnya kedua surat tersebut akan datang pada hari Kiamat nanti, seperti dua awan yang tebal, atau seperti naungan yang menaungi,[11] atau seperti dua kelompok burung yang mengembangkan sayapnya di udara, yang akan menolong para pembaca kedua surat tersebut.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda tentang surat al-Baqarah ini:

"اقْرَءُوْا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلاَ تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ."

“Bacalah surat al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti kerugian. Tukang sihir tidak akan bisa (berbuat jahat kepada pembaca)nya[12] .”[13]

Dan dari keberkahan surat al-Baqarah lainnya, bahwa syaitan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu a’alaihi wa sallam.[14] Di dalam surat ini pula, ada ayat kursi yang mana ia merupakan ayat yang teragung dalam al-Qur-an, dan berisi keberkahan dan keutamaan-keutamaan, khususnya di dunia maupun di Akhirat.[15] Dan juga dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah ini pun memiliki keuta-maan yang besar.

Adapun surat yang juga dikhususkan memiliki keutamaan adalah surat al-Ikhlas, an-Naas, al-Falaq dan selainnya.[16]

Adab-Adab Membaca Al-Qur-an
Setelah kita mengetahui apa yang dikandung dalam membaca al-Qur-an dari keberkahan yang besar dan keutamaan-keutamaan yang luhur, maka saya akan membahas adab-adab terpenting me-nurut syari’at ketika akan membaca al-Qur-an, sehingga kita dapat memperoleh keberkahan dan keutamaan tersebut, dan sempurna-lah tujuan kita dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya, dan agar kita tidak gagal dalam meraihnya.

Sesungguhnya yang termasuk adab-adab terpenting dalam membaca al-Qur-an adalah niat ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, seperti firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ...” [Al-Bayyinah: 5][17]

Membaca al-Qur-an merupakan ibadah yang mulia seperti yang telah kita ketahui.

Dari Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى."

‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya...’”[18]

Ketika menyebutkan tentang adab-adab membaca al-Qur-an, Imam an-Nawawi berkata, “Seyogyanya ia tidak berniat dalam membaca dan mengajarkannya sebagai sarana baginya untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, seperti mencari harta, kedudukan, pangkat atau kesombongan terhadap teman-temannya atau pujian orang lain padanya atau pandangan orang tertuju padanya atau yang semacamnya.”[19]

Dan di antara adab-adab terpenting ketika akan membaca al-Qur-an adalah menghadirkan maknanya dalam hati (tadabbur), ikut sertanya hati dan kekhusyu’an. Yang jelas bahwa perkara yang perlu diperhatikan oleh pembaca al-Qur-an pada saat ia membacanya, bahwa ia harus menghadirkan makna-makna ayat yang dibacanya dalam hati, memahaminya serta merenungkannya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan al-Qur-an untuk direnungkan dan diambil pelajaran di dalamnya, seperti firman-Nya:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” [Shad: 29]

Pembaca mengikuti tema al-Qur-an; melaksanakan jika ada perintah, menjauh bila ada larangan, takut pada ayat-ayat yang mengancam, mengharap pada ayat-ayat harapan, memohon ampunan di saat ayat-ayat ampunan, mengambil pelajaran saat ayat-ayat yang mengkisahkan orang-orang terdahulu yang shalih maupun yang kafir, meyakini dan mengimani ayat-ayat yang menerangkan keimanan dan ‘aqidah.[20] Oleh karena itulah, Salafush Shalih mengamalkan hal-hal tersebut, mereka mempelajari al-Qur-an, meyakininya dan melaksanakan hukum-hukumnya secara menyeluruh dengan dasar ‘aqidah yang kuat.[21]

Ada adab-adab lain dalam membaca al-Qur-an yang telah diketahui dan juga sama pentingnya seperti membaca dengan tartil (perlahan, tidak tergesa-gesa dan menurut hukum tajwid-pent), memperindah suara, membaca ta’awwudz di awal bacaan dan lain-lain.[22]

Seyogyanya seorang Muslim menjaga konsistensinya dalam membaca al-Qur-an beserta adab-adabnya serta hukum-hukum tajwidnya, malam siang, saat perjalanan maupun tidak karena ia adalah dzikir yang paling utama.[23] Ulama-ulama kita terdahulu memiliki kebiasaan yang terpuji dalam ukuran mengkhatamkan al-Qur-an dengannya,[24] yang menunjukkan bahwa betapa gigihnya mereka dalam memperbanyak membaca al-Qur-an.

Setelah menyebutkan beberapa contoh ketika para Salafus Shalih mengkhatamkan al-Qur-an, Imam an-Nawawi berkata: “Pendapat yang terpilih bahwa hal tersebut harus disesuaikan dengan kondisi pembacanya masing-masing, dan akan berbeda pada setiap orang. Barangsiapa yang melihat bahwa dengan cara renungan yang mendalam dan wawasan yang luas dan hal itu menjadi prioritasnya dalam berinteraksi dengan al-Qur-an, maka baginya cukup dengan apa yang ia sanggup dalam menyelesaikan bacaan al-Qur-annya sehingga ia dapat memahami apa yang dibacanya. Demikian pula bagi yang sibuk dengan berdakwah atau hal lainnya yang penting dalam persoalan-persoalan agama dan kebaikan kaum Muslimin pada umumnya, maka baginya cukup standar ukuran waktu khatam yang dapat dipenuhinya, dan bagi siapa yang tidak termasuk kelompok orang-orang yang disebutkan di atas, maka perbanyaklah sesuai sesuai dengan kemampuannya, tanpa melewati batas kebosanan atau kejenuhan dalam membaca al-Qur-an.[25] Ini merupakan perincian yang cukup baik menurut saya.

Lalu saya ingin mengingatkan atas bahaya berpaling dari membaca al-Qur-an atau menolaknya atau lupa akan sebagian ayat-ayatnya atau menggantinya dengan membaca koran, majalah atau semacamnya, apalagi akhir-akhir ini telah banyak cara yang mudah untuk belajar al-Qur-an dan mengajarkannya -segala puji bagi Allah atas itu semua-, dan siapa yang tidak mampu membaca al-Qur-an dengan mush-haf oleh sebab-sebab tertentu, maka hendaklah ia mendengarkannya dari selainnya secara langsung atau lewat kaset-kaset al-Qur-an yang telah beredar.

Kita memohon kepada Allah l agar memberikan karunia-Nya kepada kita, yaitu membaca al-Qur-an dengan bacaan yang benar dan menjadikan kita orang-orang yang menjaga batasan-batasannya, dan huruf-hurufnya serta memudahkan kita mendapat-kan keberkahannya di dunia dan akhirat, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala Mahamendengar lagi Mahamengabulkan do’a.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Beberapa Keutamaan Dan Keberkahan Hari Senin Dan Kamis



Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Di antara keutamaan dan keberkahannya, bahwa pintu-pintu Surga dibuka pada dua hari tersebut, yaitu Senin dan Kamis. Pada saat inilah orang-orang Mukmin diampuni, kecuali dua orang Mukmin yang sedang bermusuhan. Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا."

"Pintu-pintu Surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. [1] Lalu dikatakan, ‘Tundalah [2] pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengam-punan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai.” [3]

Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

"تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ اْلاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ."

“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan...” [Al-Hadits] [4]

Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesama Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.

2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.
Sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab hadits dari ‘Aisyah Rahiyallahu anhuma, ia mengatakan,

"كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ."

”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis ”.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya,

"تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ."

“Amal-amal manusia diperiksa pada setip hari Senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” [HR. At-Tirmidzi dan lainnya] [6]

Dan dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

"ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ."

“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya al-Qur-an kepadaku pada hari tersebut.” [7]

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dan tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” [8]

Berdasarkan argumentasi dari hadits-hadits ini, maka disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).

3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada hari Kamis ini.
Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih al-Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan:

"لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إِلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ."

“Sangat jarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.”
Dalam riwayat lain yang juga dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu:

"أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكَ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ."

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk, dan (memang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis.” [9]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]





sumber:      http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment