Saturday, August 11, 2012

Renungan Di Bulan Ramadhan; Allah berfirman : يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]


Renungan Di Bulan Ramadhan; Allah berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]




Oleh
Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji


Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.

Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.

Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2]
.
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.

Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]

Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini.

Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4]

RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :

يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, Pen).” [5]

Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.

Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”

Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.

Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah

وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]

Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.

Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain.[8]

Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]

Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya [10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]

Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.” [13]

Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.

PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].

Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]

Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.

Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.

Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”

Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.

Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]

Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).

2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.

3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”. [18]

RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :

حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر

Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]

Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).

Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.

Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. (Al Kahfi : 49).

Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]

Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]

Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”

Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).

Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.

Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.

Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ......

Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.

Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.

Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ....

Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.

Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.[22]

Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.

Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]

Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]

Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]

Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.

Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.

Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.

Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.

Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal.

Rasulullah telah bersabda :

إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ

(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya.

Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf : 33).

Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :

اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29]

اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]

BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun : 60).

Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).

Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.

Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]

Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.”

‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”

Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”

Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima.

Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”. [33]

Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.

Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.

Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).

Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]

Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah n : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. (An Nashr ayat 1-3).

Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah n , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata :

سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .

Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.

Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”

Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36]

Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.” [37]

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maraji`:
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.
9. Tafsir Ibnu Katsir.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]


Atasi Marahmu, Capai Ridha Rabb-Mu!


Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan terkadang tidak bisa mengendalikan diri karena emosi yang sudah memuncak.

Memang sifat marah merupakan tabiat manusia, karena mereka memiliki nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan tidak mau ditolak keinginannya.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

Aku ini hanya manusia biasa. Aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.[1]

Disamping itu juga, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka. Karena dengan kemarahan, seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya.[2]

Oleh karena itu, hamba-hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa, meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka selalu berusaha melawan keinginan nafsu. Sehingga mereka mampu meredam kemarahan mereka karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla memuji mereka dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan [Ali 'Imrân/3:134]

Maksudnya, jika mereka disakiti orang lain yang memancing kemarahan, mereka tidak memperturutkan hawa nafsu mereka (demi melampiaskan kemarahan), akan tetapi sebaliknya, mereka (justru berusaha) menahan kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan orang yang menyakiti mereka.[3]

KUTAMAAN MENAHAN MARAH DAN MENGENDALIKAN DIRI KETIKA EMOSI
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.[4]

Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allâh Azza wa Jalla . Kekuatan seperti tidak dimiliki oleh banyak orang.[5]

Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, “Makna hadits ini yaitu orang kuat (dalam arti yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan diri ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan menundukkan nafsunya (ketika itu). Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa makna kekuatan fisik kepada makna kekuatan batin. Barangsiapa mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (yaitu hawa nafsunya)."[6]

Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allâh Subhanahu wa Ta'ala yang disebutkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allâh daripada orang mukmin yang lemah .[7]

Kuat dalam hadits ini, maknanya adalah kuat imannya dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allâh Azza wa Jalla . [8]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari Kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allâh membiarkannya memilih bidadari. [9]

Imam ath-Thîbi rahimahullah berkata, “(Perbuatan) menahan amarah itu terpuji karena menahan amarah berarti berhasil menundukkan nafsu yang selalu membisikkan keburukan, oleh karena itu Allâh k memuji mereka dalam firman-Nya :

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh k menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan [Ali 'Imrân/3:134][10]

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, “…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu melampiaskan kemarahannya dan dia menahannya karena Allâh Azza wa Jalla.[11] Adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini menahan kemarahan tidak terpuji.

Seorang Mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar, karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya. Orang yang seperti tentu akan mudah baginya untuk berlaku adil dan inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa [al-Mâidah/5:8]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan seorang Ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini. Beliau rahimahullah berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah, kemarahannya tidak menjerumuskan dirinya ke dalam kesalahan; Dan ketika dia senang, kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.” [12]

MENAHAN MARAH, KUNCI SEGALA KEBAIKAN
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Orang itu berkata, "Berilah wasiat (nasehat) kepadaku !" Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah.” Kemudian orang itu mengulang berkali-kali permintaan nasehatnya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi jawabannya, “Janganlah engkau marah.” [13]

Orang ini datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat yang ringkas namun mencakup semua sifat baik, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya agar selalu menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat berkali-kali dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah sumber segala keburukan dan menahannya merupakan penghimpun segala kebaikan. [14]

Imam Ja'far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, "(Melampiaskan) kemarahan adalah pembuka segala keburukan."

Imam Abdullâh bin al-Mubârak al-Marwazi rahimahullah, ketika ada yang meminta kepada beliau, "Sampaikanlah (nasehat) kepada kami yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat." Beliau rahimahullah berkata, "(Yaitu) meninggalkan (menahan) amarah."

Demikian pula imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan imam Ishak bin Rahuyah rahimahullah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka mengatakan, "(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan."[15]

Jadi perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab (perantara) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah lembut, dermawan, malu, tawadhu' (merendahkan diri), sabar, tidak menyakiti orang lain, pemaaf, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang akan muncul ketika seseorang berusaha menahan emosinya pada saat ada faktor-faktor yang memancing kemarahannya.[16]

PETUNJUK RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MENGATASI MARAH
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk atau kiat-kiat untuk meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allâh Azza wa Jalla [17], di antaranya:

1. Berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan, “(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling mencela. Salah seorang dari mereka, wajahnya telah memerah dan urat lehernya menegang. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan :

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Aku berlindung kepada Allâh dari godaan setan yang terkutuk

Maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya.” [18]

2. Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah.[19]
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam” [20]

3. Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain. [21]
Dari Abu Dzar al-Gifari Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring [22]

Disamping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah. Ini akan menutup jalan-jalan atau celah-celah setan yang ingin menjerumuskan manusia ke dalam jurang keburukan dan kebinasaan. [23]Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allâh apa yang tidak kamu ketahui [al-Baqarah/2:169]

Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah rahimahullah , maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Mâlik berkata kepadanya, "Wahai Amîrul Mukminîn, dengan karunia dan keutamaan yang Allâh berikan kepadamu, engkau marah seperti ini ?" Maka ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata, "Apakah kamu tidak pernah marah, wahai ‘Abdul Mâlik ?" Lalu ‘Abdul Malik rahimahullah menjawab, "Apalah artinya bagi perut (dada) yang lapang, kalau tidak aku (pergunakan untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga tidak mengakibatkan keburukan)." [24]

MARAH YANG TERPUJI
Ummul mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:

وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika batasan syariat Allâh dilanggar, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allâh. [25]

Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allâh Azza wa Jalla . Marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla dilanggar oleh manusia. Inilah akhlak mulia Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang selalu ridha dengan apa yang Allâh ridhai dalam al-Qur'ân dan benci atau marah dengan apa yang dicela oleh Allâh k dalam al-Qur'ân. [26]

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Sungguh akhlak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur'ân” .[27] Dalam riwayat lain ada tambahan, "…Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah atau benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur'ân dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur'ân” .[28]

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi seorang Mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla baginya, yang ini bisa termasuk niat baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allâh Azza wa Jalla). Dan wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain, serta dalam rangka menghukum atau mencela orang-orang yang menentang Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana firman-Nya :

قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ

Perangilah mereka, niscaya Allâh akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allâh Azza wa Jalla akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang beriman. [at-Taubah/9:14-15]” [29]

PENUTUP
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.

Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa menganugerahkan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Definisi Tawakkal



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji


A. Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).
Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan,
“ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah diri kepada-Nya.[1] Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya.[2]

Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan “tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada orang lain sekaligus bersandar padanya.[3] Al-Azhari mengatakan:

رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ

“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.”[4]

Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.

Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari mengatakan, “Disebut ‘وَكِِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan urusannya dan ia disebut sebagai [5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”

Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai “اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan, “Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil, tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil.” [6]

Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.

Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau “وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah [8] “اَلتِّكْلاَنُ”.

Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri [9]. Dan terkadang keduanya bersatu.

Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar kepadanya.” [10]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:

Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.

Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut.[11]

Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.

B. Pengertian secara Istilah.
Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama Salaf dalam penafsiran mereka.

Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya (pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit dari segi amal.”[12]

Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab lainnya.
Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.

Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:

1. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah [13]".

2. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk [14]."

Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya kepada-Nya.” [15]

3. ‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi [16] mengatakan, “Saya melihat tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah.” [17]

4. Syaqiq bin Ibrahim [18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla.” [19]

5. Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”

6. Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji [20] mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan kekuatan orang sepertimu.” [21]

7. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada kebaikan pengelolaan-Nya.” [22]

8. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan.” [23]

9. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu, memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’” [24]

10. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan, “Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.” [25]

11. Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi. Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas apa yang dia sandarkan pada-Nya.” [26]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426H April 2005M]



Hakikat Tawakkal



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji


Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa tawakkal merupakan keadaan yang muncul dari sekumpulan urusan, di mana hakikat tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Telah dikemukakan bahwa banyak dari ummat manusia yang menafsirkan tawakkal sebagai percaya sepenuhnya dan menjadikannya sebagai hakikat tawakkal itu sendiri. Dan sebagian lagi ada yang menafsirkannya sebagai penyerahan diri. Ada pula yang menafsirkannya sebagai penyerahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kedudukan tawakkal adalah menyatukan hal tersebut secara keseluruhan.”[1]

Beberapa ulama yang telah disebutkan namanya telah menafsirkan tawakkal sebagai salah satu, dua atau tiga dari urusan-urusan ini. Dan Ibnul Qayyim menyebutnya dengan beberapa tingkatan [2], yaitu sebagai berikut:

1. Mengenal Rabb dan Sifat-Sifat-Nya, baik itu kemampuan, kekuasaan, kecukupan, berakhirnya segala urusan pada ilmu-Nya, kemunculannya dari kehendak-Nya, keyakinan pada kecukupan dari lindungan-Nya, dan kesempurnaan pelaksanaan apa yang ditugaskan kepadanya Dan bahwasanya makhluk tidak dapat menduduki posisi ini.[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ma’rifat (pengetahuan) ini merupakan tingkatan yang pertama, di mana seorang hamba meletakkan kakinya di (kedudukan) tawakkal.”[4]

Dia juga pernah menukil ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu: “Karena itu, tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof ataupun golongan Qadariyah (golongan yang menolak sifat-sifat Allah), yang mengatakan bahwa di alam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendaki-Nya atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah Azza wa Jalla. Dan tidaklah tawakkal akan benar, kecuali dari ahlul Itsbat (Ahlus Sunnah).”[5]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Mereka itu, yakni para filosof dan penganut paham Qadariyah merupakan pemutus jalanan bagi hati, antara hati itu sendiri dengan Pencipta dan kecintaan hati terhadap Allah Subhanahu wa Ta’la.”[6]

Bagaimana mungkin mereka akan membayangkan hal tersebut -yakni, tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala-, sedang mereka mengingkari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap perkara-perkara kecil serta menafikan dari-Nya sifat-sifat al-fi’il al-ikhtiyariyah (perbuatan yang dikehendaki-Nya), iradah, dan kehendak.

2. Penetapan sebab-sebab, pemeliharaan, dan penerapannya.
Artinya, tawakkal seorang hamba tidak akan lurus dan benar, kecuali dengan menetapkan sebab-sebab, karena tawakkal merupakan sebab yang paling kuat dalam mengantarkan pelakunya untuk sampai kepadanya. Sebagian kaum sufi memahami bahwa penetapan sebab-sebab itu bisa menodai tawakkal dan penafiannya (peniadaannya) merupakan kesempurnaan tawakkal.

Dalam hal ini, mereka memiliki beberapa pendapat yang cukup terkenal, yang pembahasannya sekaligus bantahan terhadapnya akan disampaikan lebih lanjut, insya Allah. Tetapi, yang termasuk kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab-sebab ini dan bergantung kepadanya serta pemutusan hubungan hati darinya, sebagaimana yang akan dijelasskan lebih rinci nantinya.

Oleh karena itu, tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengan menghilangkan sebab-sebab dari hati dan ketergantungan anggota tubuh padanya, sehingga terkadang ia terputus darinya dan terkadang bersambung dengannya. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang lebih tahu.[7]

3. Memantapkan hati pada pijakan tauhid.
Tidaklah tawakkal seorang hamba dinilai benar sampai tauhidnya dinilai benar pula. Bahkan, hakikat tawakkal adalah tauhid yang ada pada hati. Oleh karena itu, selama di dalam hati itu masih terdapat kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya dinilai cacat. Seberapa jauh tingkat kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal dinilai. [8]

4. Menyandarkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa tenang dan tenteram serta percaya sepenuhnya terhadap pengelolaan-Nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kaum cerdik pandai: “Orang yang bertawakkal itu seperti anak bayi, tidak mengetahui apa-apa yang bisa dia jadikan perlindungan, kecuali payudara ibunya. Maka seperti itu pula orang yang bertawakkal, di mana dia tidak dapat berlindung, kecuali kepada Rabb-nya semata.”[9]

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tawakkal merupakan satu makna yang menempel pada dua dasar: percaya dan bersandar. Hal tersebut merupakan hakikat: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku memohon pertolongan.’ ”[10][11]

5. Berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla.
Hal tersebut telah ditafsirkan oleh sebagian orang yang telah lebih dulu berbicara tentang hal itu. Hal tersebut merupakan salah satu pilar tawakkal, di mana tawakkal tidak bisa digambarkan, kecuali dari orang-orang yang berhusnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah bahwa husnuzhan kepada Allah itu mengajaknya untuk bertawakkal kepada-Nya, karena tawakkal itu tidak bisa dibayangkan kepada pihak yang dijadikan sebagai sasaran buruk sangka dan tidak juga ada tawakkal pada pihak yang tidak diharapkan. hanya Allah Yang Mahatahu.”[12]

Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam satu hadits qudsi, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku.” [13]

Tiga hari sebelum wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى

“Jangan sampai salah seorang di antara kalian meninggal dunia, melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.” [14]

6. Kepasrahan hati kepada-Nya dan menarik semua faktornya yang mengarah kepadanya serta memotong semua perintangnya.
Ini merupakan bentuk kepasrahan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidak akan pernah berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mencintai, kecuali apa yang Dia cintai, tidak juga membenci, kecuali apa yang dibenci-Nya, dan tidak mengerjakan atau meninggalkan, kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

Dan inilah makna realisasi ‘ubudiyah (penghambaan) yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Dan itulah makna hadits mengenai wali (Allah), yang di dalamnya disebutkan:

...وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ...

“…Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia pergunakan untuk mendengar, pandangannya yang dia pergunakan untuk memandang, tangannya yang dia pergunakan untuk menyerang, dan kakinya yang dia pergunakan untuk berjalan. Dan jika meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika memohon perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya...” [15]

7. Pasrah Diri. [16]
Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya. Ibnul Qayyim mengatakan, “Penyerahan diri merupakan ruh, subtansi, sekaligus hakikat tawakkal. Yakni, sikap menyerahkan semua urusan kepada Allah, dan menempatkannya pada-Nya dengan penuh harapan, tanpa pemaksaan dan tuntutan.”[17]

Dengan demikian, pasrah diri berarti keterlepasan sekaligus keluar dari daya dan kekuatan serta penyerahan semua urusan hanya kepada Penguasannya [18] Yang Mahamulia lagi Mahaperkasa. Di dalam do’anya, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan:

اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ.

“Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu serta aku pasrahkan urusanku kepada-Mu.” [19]

Dan tentang orang yang beriman dari kalangan keluarga Fir’aun ia berkata dalam firman Allah Ta’ala:

وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“...Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [Al-Mu’min: 44]

Dilanjutkan dengan pemberian pahala atas kepasrahan tersebut, di mana Dia berfirman:

فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا

“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka...” [Al-Mu’min: 45]
.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya kepada as-Sya’abi, dia berkata, “Syatir [20] Ibnu Sahl pernah duduk mendekati Masruq, lalu Syatir berkata, bisakah engkau ceritakan apa yang engkau dengar dari Ibnu Mas’ud, sehingga aku akan membenarkan-mu atau aku yang akan memberitahumu sehingga engkau akan membenarkan diriku? Maka Masruq berkata, ‘Tidak. Tetapi, engkau saja yang memberitahu sehingga aku akan membenarkan-mu.’ Maka dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya ayat yang paling agung di dalam al-Qur-an adalah mengenai: Tafwiidhan [21] (penyerahan diri), yaitu, ‘Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.’ [22] Masruq berkata, ‘Engkau memang benar.’” [23]

8. Ridha.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ridha merupakan buah dari tawakkal. Dan orang yang menafsirkannya dengan hal itu [24], maka dia menafsirkannya dengan nilai dan faedah yang besar. Oleh karena itu, jika dia benar-benar bertawakkal, niscaya dia akan meridhai apa yang dikerjakan oleh pihak yang dipasrahinya.” [25]

Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ridha dan tawakkal mengelilingi apa yang ditakdirkan (dimana tawakkal sebelum kejadian, sementara ridha setelah kejadian).[26]

Oleh karena itu, orang yang bertawakkal kepada Allah sebelum perbuatan dan ridha pada apa yang ditetapkan baginya setelah perbuatan, berarti dia telah melakukan ‘ubudiyah, atau makna ini.[27]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyandingkan keduanya dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang di-berikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah,’ (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” [At-Taubah: 59].

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyandingkan antara keduanya di dalam do’a Istikharah yang beliau ajarkan kepada para Sahabatnya, sebagaimana beliau juga mengajarkan suatu surat dari al-Qur-an kepada mereka, di mana di awal do’anya itu, beliau mengucapkan:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ

“Ya Alah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung.”

Dan ini merupakan tawakkal dan tafwidh (penyerahan diri). Kemudian beliau menutup do’anya itu dengan meminta keridhaan di dalam ucapan beliau:

وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ, ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ

“Tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut.” [28]

Dan di antara do’a yang beliau panjatkan di dalam shalatnya adalah sebagai berikut: "...وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاء" (“…Dan aku memohon keridhaan setelah qadha’ (ketetapan)).” [29]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintah keridhaan setelah qadha’, karena pada saat itu antara hakikat ridha sebelumnya, karena sesungguhnya ia merupakan ketetapan bahwa beliau ridha jika mendapatkannya, karena ke-ridhaan itu akan teralisasi setelahnya.” [30]

Demikianlah kedelapan tingkatan, yang di antaranya ada yang merupakan bagian dari sebab-sebab dan sendi-sendi tawakkal, dan ada juga yang merupakan bagian dari nilai dan pengaruhnya, dan ada juga di antaranya yang merupakan bagian dari maknanya. Barangsiapa yang menyempurnakannya berarti dia telah menyempurnakan maqam tawakkal sekaligus teguh padanya. Dan jika kurang salah satu darinya, berarti berkurang pula nilai tawakkalnya sesuai kekurangannya itu. Wallahu a’lam.

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M]


Macam-Macam Tawakal



Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji



Dilihat dari orang yang bertawakkal, tawakkal terbagi menjadi dua macam, yaitu: tawakkal kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada selain Dia. Dan pada masing-masing bagian ini terdapat beberapa macam tawakkal.

Pertama: Tawakkal Kepada Allah Ta’ala
Sesuai dengan obyeknya, tawakkal ini terbagi menjadi empat macam:

1. Tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam meluruskan diri, mengarahkannya, memurnikan tauhid, dan berpegang teguh pada ajaran agama-Nya secara lahir maupun bathin, tanpa berusaha memberikan pengaruh pada orang lain. Dengan pengertian tawakkal kepada Allah dalam memperbaiki diri sendiri tanpa melihat orang lain.

2. Tawakkal kepada Allah dalam meluruskan diri, seperti poin pertama, ditambah dengan tawakkal kepada-Nya dalam menegakkan agama Allah di muka bumi dan mencegah kerusakan, memberantas bid’ah, dan memerangi orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Juga memberikan perhatian terhadap kemaslahatan kaum muslimin, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memberikan pengaruh kepada orang lain sehingga dia benar-benar menyembah Allah semata. Dan inilah tawakkal para Nabi dan para ulama pewaris mereka. Ini pula merupakan macam tawakkal yang paling agung sekaligus paling bermanfaat. [1]

Al-‘Allamah Ibnu as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Dan ketahuilah bahwa tawakkal para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tuntutan paling tinggi sekaligus tingkatan paling mulia. Dan itulah tawakkal kepada Allah dalam menegakkan dan menolong agama-Nya, memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, dan menyingkirkan kesesatan dari mereka. Yang demikian itu merupakan tawakkal yang paling sempurna.”[2]

Dengan demikian, tawakkal yang paling afdhal adalah tawakkal dalam hal yang wajib. Yang saya (penulis) maksudkan adalah kewajiban dalam menegakkan kebenaran dan kewajiban sesama makhluk, kewajiban pada diri sendiri. Dan yang paling luas serta paling bermanfaat, yaitu tawakkal dalam memberikan pengaruh kepada orang lain demi kemaslahatan agama atau mencegah kerusakan agama. Dan itulah tawakkal para Nabi dalam menegakkan agama Allah dan mencegah kerusakan yang dilancarkan orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Dan ini pula tawakkal para pewaris mereka (ulama).[3]

3. Tawakkal kepada Allah dalam memenuhi kebutuhan seorang hamba dan bagiannya yang bersifat duniawi, atau mencegah hal-hal yang tidak disukainya dan juga berbagai musibah duniawi, seperti orang yang bertawakkal dalam meraih rizki atau kesehatan atau istri atau anak atau pertolongan dalam melawan musuh dan lain sebagainya. Tawakkal ini akan memberikan kecukupan kepadanya di dunia maupun di akhirat atas apa yang dia bertawakkal kepada Allah, kecuali jika dia berniat meminta pertolongan dengan hal itu untuk menaati Allah Azza wa Jalla.

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Antara kedua macam tawakkal -yakni, macam yang kedua dan ketiga- terdapat keutamaan yang tidak diketahui jumlahnya, kecuali oleh Allah saja. Oleh karena itu, jika seorang hamba bertawakkal kepada-Nya dengan tawakkal kedua dengan sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan kecukupan yang secukup-cukupnya pada tawakkal macam ketiga. Dan jika seorang hamba bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal macam ketiga, maka dia juga akan diberikan kecukupan pula, tetapi dia tidak akan mendapatkan akibat dari obyek yang ditawakkalinya pada apa yang dicintai dan diridhai-Nya.”[4]

4. Tawakkal kepada Allah dalam melakukan sesuatu yang haram atau menolak apa yang diperintahkan.
Ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam berbuat dosa dan melakukan perbuatan keji. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki tujuan seperti ini tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan meminta pertolongan kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Bahkan bisa jadi tawakkal mereka lebih kuat daripada tawakkal kebanyakan orang-orang yang berbuat ketaatan. Oleh karena itu, mereka telah mencampakkan diri mereka ke dalam kehancuran dan kebinasaan sambil bersandar kepada Allah agar Dia menyelamatkan mereka serta mewujudkan tuntutan mereka.[5]

Dengan demikian, seringkali keinginan mereka itu terkabulkan, tetapi mereka berbuat dosa sehingga mereka akan mendapatkan balasan di akhirat kelak. Tawakkal macam ini tampak jelas pada orang-orang yang kemaksiatan mereka bersumber dari penafsiran yang salah atau syubhat yang menyesatkan. Termasuk di dalamnya keadaan banyak orang dari orang-orang yang berorientasi menyimpang, orang-orang yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka banyak memberikan perhatian terhadap masalah ini, bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta tolong kepada Allah dalam melakukannya. Tetapi, karena hal itu tidak sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka mendapatkan balasan yang disegerakan dan mereka mendapatkan akhir (akibat) yang buruk.[6] Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.

Demikianlah pembagian tawakkal kepada Allah ditinjau dari obyeknya. Dan tidak diragukan lagi bahwa tawakkal yang paling baik, paling sempurna, dan paling penting adalah tawakkal macam kedua, yang tercakup di dalamnya tawakkal macam pertama, kemudian yang ketiga. Dan yang paling buruk adalah tawakkal macam terakhir. Kita berlindung kepada Allah darinya.

Kemudian banyak dari orang-orang yang bertawakkal tertipu dalam tawakkalnya, meskipun dia telah benar-benar bertawakkal kepada Allah Ta’ala, seperti orang yang mengarahkan tawakkalnya itu kepada keadaan parsial, yang padanya dia mengerahkan seluruh kekuatan tawakkalnya, padahal ada kemungkinan baginya untuk melakukannya dengan mudah. Dan mengkonsentrasikan hatinya hanya untuk tawakkal dalam menambah iman dan ilmu serta menegakkan agama. Dan memberi pengaruh terhadap alam adalah lebih baik. Dan ini merupakan tawakkal orang yang lemah yang memiliki kemauan sangat rendah, sebagaimana sebagian mereka memalingkan kemauan, tawakkal, dan do’anya pada sakit yang mungkin diobati dengan sesuatu yang sangat ringan, atau rasa lapar yang mungkin dihilangkan dengan setengah potong roti atau setengah dirham. Sementara dia tidak mau berpaling kepada pembelaan terhadap agama dan pemberantasan terhadap segala bentuk bid’ah, menambah keimanan, dan kepedulian terhadap kepentingan kaum muslimin. Wallaahu a’lam.[7]

Dengan demikian, umat manusia ini terdiri dari berbagai macam orang yang berbeda-beda. Mereka banyak yang tertipu, bahkan mereka ada yang tertipu dalam bertawakkal, menyangkut berbagai kepentingan duniawi sesuai dengan kemauan dan tujuan mereka. Oleh karena itu, ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam mencapai kekuasaan dan ada juga orang yang bertawakkal dalam rangka memperoleh sepotong roti.[8]

Jika demikian keadaannya, maka yang wajib dilakukan oleh seorang yang berakal adalah tidak menyibukkan diri dan hatinya, kecuali dalam hal-hal yang lebih sempurna dan lebih baik, yaitu tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai-Nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

وَإِذَا عَلِـمْتَ بِـأَنَّهُ مُتَفَاضِلٌ فَاشْغَلْ فُؤَادَكَ بِالَّذِي هُوَ أَفْضَلُ

Dan jika engkau mengetahui bahwa ia [9] begitu berharga,
maka sibukkanlah hati nuranimu dengan hal yang lebih utama.

Kedua: Tawakkal Kepada Selain Allah Ta’ala
Tawakkal macam ini terbagi menjadi dua bagian:

1. Tawakkal Syirki (syirik), yang ia terbagi lagi menjadi dua macam:
a). Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala dalam urusan yang tidak ada seorang pun mampu mengerjakannya, kecuali Allah Azza wa Jalla, seperti orang-orang yang bertawakkal kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia dan para thaghut dalam mengharapkan tuntutan mereka, berupa pertolongan, penjagaan, rizki, dan syafa’at. Yang demikian itu merupakan syirik terbesar. Sesungguhnya hal-hal seperti ini dan yang semisalnya tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali hanya Allah Tabaraka wa Ta'ala.[10]

Tawakkal macam ini disebut sebagai tawakkal sirri, karena tawakkal ini tidak dilakukan, kecuali oleh orang yang meyakini bahwa orang yang meninggal ini memiliki kemampuan berbuat secara rahasia di alam ini. Tidak ada perbedaan antara Nabi, wali maupun thaghut yang menjadi musuh Allah Ta’ala. [11]

b). Tawakkal kepada selain Allah dalam hal-hal yang mampu untuk dikerjakan -berdasarkan perkiraan- orang yang bertawakkal kepadanya. Dan ini merupakan syirik kecil.[12]

Seperti, tawakkal dalam sebab yang tampak lagi biasa. Misalnya orang yang bertawakkal pada penguasa atau pemerintah dalam hal-hal yang Allah telah berikan kepadanya, baik itu berupa rizki, penolakan gangguan, dan yang lain-lainnya. Yang demikian ini termasuk syirik khafi (tersembunyi).[13]

Oleh karena itu, dikatakan, menolehnya hati kepada sebab-sebab merupakan perbuatan syirik dalam tauhid, karena kuatnya ketergantungan dan sandaran hati padanya.

Yang demikian itu, karena hati tidak akan bertawakkal, kecuali pada pihak yang diharapkannya. Oleh karena itu, barangsiapa berharap kepada kekuatan, perbuatan, ilmu, keadaan, teman, kerabat, syaikh, kekuasaan atau hartanya, tanpa melihat kepada Allah Ta’ala, maka di dalamnya terkandung semacam tawakkal karena ada sebab (sarana) tersebut. Tidaklah seseorang berharap kepada makhluk atau bertawakkal kepadanya, melainkan dia akan mendapatkan kegagalan, maka sesungguhnya ia termasuk syirik.[14]

Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj: 31]

Syaqiq al-Balakhi mengatakan, “Setiap orang memiliki maqam (kedudukan), di mana dia bisa bertawakkal pada hartanya, dirinya sendiri, lidahnya, pada pedangnya, atau kekuasaannya, dan juga kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun orang yang bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia telah mendapatkan ketenangan. Yang dengannya, Allah akan meninggikan kedudukannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

‘Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati...’ [Al-Furqaan: 58]

Sedangkan orang yang merasa tenang kepada selain Allah, maka dikhawatirkan ia akan terputus dari-Nya sehingga dia akan hidup sengsara.” [15]

Tetapi, jika dia mengambilnya dengan anggapan ia sebagai sarana, sedangkan Allah Ta’ala yang menetapkan semuanya pada dirinya, maka yang demikian itu tidak ada masalah, jika apa yang ditawakkali itu memiliki pengaruh yang baik dalam pencapaiannya.

2. Wakalah (mewakilkan) yang dibolehkan.
Yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang mewakilkan kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang mampu untuk dikerjakan, sehingga dengan demikian itu akan dicapai apa yang diinginkan.

Wakalah di sini berarti penyerahan dan pemeliharaan. Misalnya, Anda katakan, “وَكَّلْتُ فُلاَناً” (jika Anda memintanya untuk menjaganya). Dan “وَوَكَّلْتُ اْلأَمْرَ إِلَيْهِ” (jika Anda menyerahkan urusan kepadanya).

Dan menurut syari’at, wakalah berarti seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menggantikan dirinya secara mutlak atau terbatas. [16]
Wakalah dalam bentuk seperti ini, dibolehkan oleh al-Kitab, as-Sunnah maupun ijma’. [17] Allah Ta’ala telah berfirman melalui lisan Ya’qub Alaihissallam yang berbicara kepada anak-anaknya:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya...” [Yuusuf: 87]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan kepada para pekerja dan penjaga.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu telah berkata,

وَكَّلَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ...

“Rasulullah n pernah menjadikan diriku sebagai wakil untuk menjaga zakat di bulan Ramadhan…” [18]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan dalam menetapkan hukuman hadd dan pemberlakuannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Unais. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga pernah menjadi wakil Rasul di dalam penyembelihan hewan kurban beliau pada waktu haji Wada’ untuk menyedekahkan kulit dan sebagian besarnya. Dan memerintahkan untuk menyembelih seratus hewan kurban yang masih tersisa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih enam puluh tiga ekor dengan tangan beliau sendiri.

Penjelasan rinci mengenai wakalah ini terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.[19]
Tetapi, dia tidak boleh bertawakkal padanya, meskipun dia telah mewakilkan kepadanya. Melainkan, dia harus bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mempermudah apa yang diwakilkan kepada orang lain itu. [20] Sebab, seorang makhluk tidak akan dapat menanggung semua kebutuhan hamba dan tidak pula mampu memenuhi semua kebutuhannya, juga tidak kuasa untuk melakukan sesuatu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, kecuali atas kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla. [21]

[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M]



Perjalanan Menuju Akhirat



Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni


Hari akhirat adalah hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna dan hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia. Juga pada hari itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata penuh penyesalan:

يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.”[al-Fajr/89:24]

Maka hendaknya setiap Muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan bagi manusia yang sesungguhnya. Kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [al-Hasyr/59:18]

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qatâdah rahimahullah [1] berkata: “Senantiasa Rabbmu (Allah Azza wa Jalla) mendekatkan hari Kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok”[2].

Semoga Allah Azza wa Jalla meridhai Sahabat yang mulia Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang telah mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisablah (introspeksilah) dirimu saat ini, sebelum kamu dihisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat). Timbanglah dirimu saat ini, sebelum amal perbuatanmu ditimbang (pada hari Kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu menghadapi hari kiamat jika kamu mengintrospeksi dirimu saat ini; dan hiasilah dirimu dengan amal shaleh untuk menghadapi hari yang besar ketika manusia dihadapkan kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya)” [al-Hâqqah/69:18] [3]

Senada dengan ucapan di atas, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat telah datang menghampiri kita, dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini waktunya beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok di akhirat adalah saat perhitungan dan tidak ada waktu lagi untuk beramal”[4].

“JADILAH KAMU DI DUNIA SEPERTI ORANG ASING…”
Dunia adalah tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup, maka dengan izin Allah Azza wa Jalla dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dengan sabdanya: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan” [5]

Hadits ini sebagai nasehat bagi orang beriman, bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara; tidak terikat hatinya pada tempat persinggahannya, serta terus merindukan kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang Mukmin di dunia yang hatinya, selalu terikat dan rindu kembali ke kampung halaman yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam Alaihissallam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan oleh Imam Hasan al-Bashri rahimahullah kepada Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal yang sebenarnya, dan hanyalah Adam Alaihissallam diturunkan ke dunia untuk menerima hukuman akibat perbuatan dosanya…” [6].

Dalam mengungkapkan makna hal ini Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam syairnya:
Marilah (kita menuju) surga ‘Adn (tempat menetap)
karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di
dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh
(setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman
kita dengan selamat? [7]

Sikap hidup ini menjadikan seorang Mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke akhirat. Dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, karena keadaannya seperti perantau, yaitu tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya.” [8].

Inilah yang diisyaratkan ‘Abdullâh bin Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Jika kamu berada di waktu sore maka janganlah menunggu datangnya waktu pagi; dan jika kamu erada di waktu pagi maka janganlah menunggu datangnya waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum kematian menjemputmu” [9].

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah : “Maknanya adalah tidak panjang angan-angan, yaitu seseorang yang ketika berada di waktu pagi dia berkata: “Aku khawatir tidak akan bisa mencapai waktu sore lagi”” [10].

“BERBEKALLAH, DAN SUNGGUH SEBAIK-BAIK BEKAL ADALAH TAKWA”
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya” [11].

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia akan semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya meraih keselamatan menuju surga.

Inilah di antara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari Kiamat) sesuai dengan keadaannya sewaktu dia meninggal dunia” [12]. Artinya dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia [13].

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Lâ ilâha illallâh dan Muhammadur Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Lâ ilâha illallâh dan menyempurnakan al ittibâ’ (mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Azza wa Jalla akan memudahkan bagi manusia dalam menghadapi peristiwa besar yang akan dialami mereka pada hari kiamat, sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Ujian keimanan dalam kubur merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya. Mereka akan ditanya oleh dua malaikat yaitu Munkar dan Nakir [14] dengan tiga pertanyaan: “Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? Dan siapa nabimu?” [15]. Allah Azza wa Jalla hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika menghadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: “Tuhanku adalah Allah Azza wa Jalla, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . “ [16]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” [Ibrâhim/14:27]

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh riwayat al-Bara’ bin ‘âzib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang Muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Lâ Ilâha Illallâh) dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah makna firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” [17]

Termasuk peristiwa besar pada hari Kiamat adalah mendatangi telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya [18]. Dalam hadits yang shahîh [19] juga disebutkan bahwa ada orangorang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hal itu karena sewaktu di dunia mereka berpaling dari petunjuk dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terjerumus dalam masalah bid’ah.

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah [20] berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah Azza wa Jalla dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi pemahaman jama’ah kaum Muslimin, seperti orang-orang Khawârij, Syî’ah, Râfidhah dan para pengikut hawa nafsu. Demikian pula orangorang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan. Mereka semua dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) [21].

Termasuk peristiwa besar pada hari Kiamat adalah melintasi ash-Shirâth (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surge dan neraka. Dalam hadits yang shahîh [22] disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam; sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” [23] – na’ûdzu billâhi min dâlik – .

Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah ketika menjelaskan perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, mengatakan : “Ini semua bukan atas pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan sendiri tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat. Akan tetapi keadaan manusia sewaktu melintasinya sesuai dengan cepat atau lambatnya mereka dalam menerima dan mengamalkan syariat Islam di dunia ini. Barangsiapa yang bersegera dalam menerima petunjuk dan sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia akan cepat melintasinya. Sebaliknya barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka dia akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya” [24].

“BALASAN AKHIR YANG BAIK (SURGA) BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA”
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada ujungnya; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah Azza wa Jalla akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَأَمَّا مَن طَغَىٰ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” [an Nâzi’ât/79:37-41]

Maka balasan akhir yang baik hanya Allah Azza wa Jalla peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” [al-Qashash/28:83]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “…Jika mereka tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri atau berbuat maksiat di muka bumi, maka berarti keinginan mereka hanya tertuju kepada Allah Azza wa Jalla. Tujuan mereka hanya mempersiapkan bekal untuk akhirat, dan keadaan mereka sewaktu di dunia selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah; serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh. Mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allahk).” [25]

PENUTUP
Setelah merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup agar selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan berputus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita – dengan izin Allah Azza wa Jalla – Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertaubat kepada Allah k , serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang diberi Allah k taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah [26] pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu “? Lelaki itu menjawab: “Enam puluh tahun.” Fudhail rahimahullah berkata: “Berarti sudah enam puluh tahun kamu menempuh perjalanan menuju Allah Azza wa Jalla ; dan mungkin saja kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: “Sesungguhnya kita ini milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya.” Maka Fudhail rahimahullah berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata bahwa aku milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya; barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggung-jawaban atas semua perbuatannya di dunia. Barangsiapa yang mengetahui akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya), maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya”. Maka lelaki itu bertanya: “Lantas bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri ketika itu?” Fudhail rahimahullah menjawab: “Caranya mudah”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apa itu?” Fudhail rahimahullah berkata: “Perbaikilah dirimu pada sisa umurmu, maka Allah Azza wa Jalla akan mengampuni dosamu di masa lalu, karena jika kamu tetap berbuat buruk pada sisa umurmu, maka kamu akan disiksa (pada hari Kiamat) karena dosamu di masa lalu dan pada sisa umurmu” [27].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [28] untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

Kota Nabi Shallallahu a’alaihi wa Sallam, 20 Shafar 1430 H
Abdullâh bin Taslîm Al-Buthoni

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]





sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment