Friday, August 24, 2012

Hadits-hadits Palsu Tentang Keutamaan Menziarahi Kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


Hadits-hadits Palsu Tentang Keutamaan Menziarahi Kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam



Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA



عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي

Dari ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Barangsiapa berhaji lalu menziarahi kuburanku setelah aku wafat maka dia seperti orang yang mengunjungiku sewaktu aku masih hidup.”

Hadits ini dikeluarkan oleh imam ath-Thabrani[1], Ibnu ‘Adi[2], ad-Dâraquthni[3] , al-Baihaqi[4] dan al-Fakihani[5] dengan sanad mereka dari Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud, dari al-Laits bin Abi sulaim, dari Mujâhid, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Hafsh bin Sulaiman Ibnu Abi Dawud al-Asadi. Tentang orang ini, imam Ahmad, Abu Hâtim, al-Bukhâri, Muslim dan an-Nasâ’i mengatakan, “Hadits riwayat orang ini ditinggalkan (karena sangat lemah).”[6] Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Dia seorang pendusta”. Bahkan Ibnu Khirasy rahimahullah berkata, “Dia pendusta, (hadits riwayatnya) ditinggalkan dan dia pemalsu hadits.”[7]

Dalam sanadnya juga ada perawi yang bernama al-Laits bin Abi Sulaim. Imam Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari orang ini dengan mengatakan, “Dia orang jujur, tetapi hafalannya rancu dan tidak bisa dibedakan (yang benar dan salah) sehingga hadits (riwayat) nya ditinggalkan.”[8]

Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, akan tetapi dalam sanadnya juga terdapat perawi yang dihukumi sebagai pendusta oleh para Ulama ahli hadits.[9]

Kelemahan hadits ini yang sangat fatal telah diisyaratkan oleh imam Ibnu ‘Adi[10] dan Ibnu ‘Abdil Hadib [11].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kedustaan dalam hadits ini sangat jelas dan (maknanya) bertentangan dengan (ajaran) agama Islam.”[12]

Syaikh al-Albani rahimahullah juga menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu.[13]

Hadits Palsu Yang lain yang semakna dengan hadits di atas

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ فَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berhaji ke baitullah lalu tidak menziarahi (kuburanku) maka sungguh dia telah bersikap kasar terhadapku.”

Hadits ini dikeluarkan oleh imam Ibnu ‘Adi, Ibnu Hibbân dan Ibnul Jauzi dengan sanad mereka dari Ibnu ‘Umar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits yang kedua ini juga dihukumi sebagai hadits palsu. Karena dalam sanadnya ada perawi bernama an-Nu’mân bin Syibl al-Bahili al-Bashri. Tentang orang ini, imam Musa bin Hârûn mengatakan, “Dia orang yang tertuduh (telah berdusta dalam meriwayatkan hadits).”[14] Imam Ibnu Hibbân mengatakan, “Dia membawa bencana besar (beberapa riwayat-riwayat palsu) yang diklaim dari para perawi terpercaya, dan membawa hadits yang terbalik-balik, yang diklaim dari para perawi yang kuat”[15].

Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh imam Ibnu Hibbân [16], Ibnul Jauzi[17] , adz-Dzahabi[18] , asy-Syaukani[19] dan syaikh al-Albâni.[20]

Demikian pula beberapa hadits lain tentang keutamaan dan anjuran menziarahi kubur Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , semuanya adalah hadits yang sangat lemah atau palsu. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi dan landasan dalam beramal.[21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan dalam agama Islam. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) shahih dan sunan. Yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti ad-Dâraquthni, al-Bazzar dan lain-lain.”[22]

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits-hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan atau anjuran) menziarahi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semuanya dibawakan oleh as-Subki dalam kitabnya asy-Syifâ’, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya…Imam Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau ash-Shârimul Manki dengan penjelasan yang detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.”[23]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Mejaga Kehormatan, Menjauhi Perkara Meragukan




عَنْ أبي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ((إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ)). رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Abdillah an Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, (maka) baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging tersebut buruk, (maka) buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati". [HR al Bukhari dan Muslim].

MAKNA HADITS
Sabdanya: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ [Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang], mengandung pengertian bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga.

Pertama : Sesuatu yang jelas halalnya, seperti biji-bijian, buah-buahan, hewan-hewan ternak. Semua itu halal, jika mendapatkannya tidak dengan cara yang haram.

Kedua : Sesuatu yang jelas haramnya, seperti meminum khamr (minuman keras memabukkan), memakan bangkai, menikahi wanita-wanita yang mahram.

Dua hal tersebut diketahui, baik oleh orang-orang khusus (para ulama) ataupun orang kebanyakan.

Ketiga : Perkara-perkara syubhat (samar) yang berkisar antara yang halal dan haram. Ia tidak termasuk hal-hal yang jelas kehalalannya, dan begitu pula termasuk tidak jelas keharamannya. Perkara syubhat inilah yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, namun hanya diketahui oleh sebagian saja.

Sabdanya:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

[Maka barangsiapa yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkanNya].

Pengertian ini, kembalinya kepada bagian yang ketiga, yaitu perkara-perkara syubhat. Maka, hendaknya seseorang menjauhinya. Karena pada hal demikian ini terdapat keselamatan bagi agamanya yang urusannya berkaitan antara dirinya dengan Allah. Juga terdapat keselamatan bagi kehormatannya, yang hubungannya antara ia dengan orang lain. Sehingga, tidak ada celah dan kesempatan bagi orang lain untuk mencelanya.

Namun, jika seseorang menganggap remeh perkara-perkara syubhat ini, maka ia pun mungkin akan terjerumus ke dalam perbuatan yang jelas keharamannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan sebuah perumpamaan, bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, sehinga apabila ia jauh dari kawasan terlarang tersebut, maka ia akan selamat dalam menggembalakan hewan-hewan ternaknya. Namun, jika dekat-dekat dengan kawasan terlarang, maka dikhawatirkan akan memasukinya beserta hewan-hewan ternaknya, sedangkan ia tidak menyadarinya.

Yang dimaksud dengan الحِمَى (al hima), adalah lahan atau kawasan (khusus) yang subur, (yang biasanya) dijaga oleh para penguasa (raja). Mereka melarang orang lain mendekatinya. Maka, orang yang mengembalakan hewan-hewan ternaknya, ia sudah sangat dekat, dan hampir-hampir memasukinya, sehingga dapat membahayakan dirinya, karena ia akan dihukum. Adapun kawasan terlarang Allah, ialah perkara-perkara yang diharamkan olehNya. Maka menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk menjauhinya. Sehingga, begitu pula wajib bagi seseorang agar menjauhi perkara-perkara syubhat, yang bisa mengantarkannya kepada perbuatan haram.

Sabdanya:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

[Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, (maka) baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging tersebut buruk, (maka) buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati].

المُضْغَة adalah sepotong daging dengan ukuran yang dapat dikunyah. Hal ini mengandung penjelasan, betapa agung kedudukan hati dalam tubuh ini. Sebagaimana juga mengandung penjelasan bahwa hati adalah penguasa seluruh anggota tubuh. Baiknya seluruh anggota tubuh, bergantung pada baiknya hati. Begitu pula rusaknya anggota tubuh, bergantung pada rusaknya hati.

An Nawawi berkata: Sabdanya وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ , mengandung dua makna (perkara). Pertama. Seseorang terjerumus ke dalam perkara yang haram, namun ia mengira perihal itu tidak haram. Kedua. Seseorang mendekati (hampir-hampir) terjerumus ke dalam perkara haram.

Hal ini, seperti perkataan المَعَاصِي بَرِيْدُ الْكُفْرِ (maksiat-maksiat mengantarkan kepada kekafiran), karena jika seseorang terjatuh kepada perbuatan menyimpang (maksiat), maka ia secara bertahap akan berpindah kepada kerusakan (maksiat) yang lebih besar dari yang semula. Telah diisyaratkan oleh ayat:

وَيَقْتُلُونَ الْأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ

(…dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. - Ali 'Imran/3 ayat 112) maksudnya, mereka berbuat maksiat secara bertahap, sampai akhirnya pada tahapan membunuh para nabi.

Tersebut dalam sebuat hadits:

لَعَنَ الله ُالسَّارِقُ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

(Allah melaknat pencuri, ia mencuri sebutir telur lalu dipotong tangannya. Dia pun mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya. -HR al Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu - maksudnya, ia bertahap dalam mencuri, mulai dari mencuri sebutir telur, lalu seutas tali, dan seterusnya, dan seterusnya.

PERAWI HADITS
An Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhuma termasuk para sahabat kecil. Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, umur beliau baru mencapai delapan tahun.

Dalam periwayatan hadits ini, ia telah berkata: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ (Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda).

Hal ini menunjukkan sahnya periwayatan anak kecil mumayyiz. Yaitu yang sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk). Segala sesuatu yang ia dengar (dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) pada masa kecilnya, lalu ia sampaikan tatkala sudah dewasa, maka diterima. Demikian halnya orang kafir yang mendengar pada saat ia kafir, maka (juga diterima) jika ia menyampaikannya tatkala ia muslim.

BEBERAPA FAIDAH & PELAJARAN HADITS
1. Penjelasan bahwa segala sesuatu dalam syariat ini terbagi dalam tiga bagian : halal yang jelas, haram yang jelas, dan perkara yang masih samar kehalalan maupun keharamannya (syubhat).
2. Perkara yang syubhat ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang, tetapi hanya diketahui oleh sebagian mereka saja, baik menyangkut hukumnya maupun dalilnya.
3. Keharusan meninggalkan perkara yang syubhat, sampai (benar-benar) diketahui kehalalannya.
4. Perumpamaan digunakan untuk memahami perkara yang abstrak kepada perkara yang konkrit.
5. Sesungguhnya, jika seseorang terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka ia akan mudah meremehkan perkara-perkara yang jelas (haramnya).
6. Penjelasan mengenai agungnya kedudukan hati, dan seluruh anggota tubuh mengikutinya. Seluruh anggota tubuh akan baik jika hatinya baik, dan akan buruk jika hatinya buruk.
7. Sesungguhnya kerusakan lahir (seseorang) menunjukkan kerusakan batinnya.
8. Berhati-hati (dan menjuhi diri) dari perkara-perkara syubhat merupakan penjagaan diri terhadap agama seseorang dari kekurangan, dan penjagaan terhadap harga dirinya dari celaan-celaan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



Jangan Mencela Sahabat Rasulullah!

Oleh
Ustadz Abu Asma' Kholid bin Syamhudi


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu 'ahnu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini dikeluarkan oleh :
• Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Manaqib, Bab Qauluhu Lau Itakhadztu Khalilan, no. 3397 dan lafaz ini adalah lafazh Al Bukhari.
• Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Fadhail Al Sahabat, Bab Tahrim Sabbi Ash Shahabat, no. 4610 dan 4611.
• Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Al Manaqib ‘An An Nabi, Bab Fiman Sabba Ashabi An Nabi, no. 3796.
• Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab As Sunnah, Bab An Nahyu ‘An Sabb Ashabi An Nabi, no. 4039.
• Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Muqaddimah, Bab Fadhlu Ahli Badr, no. 157.
• Imam Ahmad dalam Musnad-nya, no. 10657, 11092 dan 11180.

SYARAH KOSA KATA
• (لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي) : jangan mencela sahabatku. Kata (أَصْحَابِي ) menurut etimoligi bahasa Arab diambil dari kata (صُحْبَة ), bermakna hidup bersama.[1]

Abu Bakar Muhammad bin Alth Thayyib Al Baqilani (wafat tahun 463) berkata,”Ahli bahasa Arab sepakat, bahwa perkataan ( صحابي) berasal dari kata (صُحْبَة ), dan bukan dari ukuran persahabatan yang khusus. Bahkan ia berlaku untuk semua orang yang menemani seseorang, baik sebentar atau lama,” kemudian ia menyatakan,”Secara bahasa menunjukkan, (bahwa) hal ini berlaku kepada orang yang menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam walaupun sesaat pada siang hari. Demikian asal dari penamaan ini.” [2]

Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mendefinisikan sahabat dalam pernyataan beliau: “Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi n setahun atau sebulan atau sehari atau sesaaat atau hanya melihatnya, maka ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [3]

Namun definisi yang rajih adalah menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam [4]. Sehingga tercakup dalam definisi ini orang yang berjumpa dengan Beliau dan bermulazamah (dalam waktu) lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari Beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama Beliau atau tidak, dan orang yang melihat Beliau walaupun belum bermajelis dengannya, dan orang yang tidak melihat Beliau karena buta.

• (فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ ) : Ucapan ini ditujukan kepada sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dalil sebab adanya hadits ini adalah kisah yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu perkataan Abu Sa’id :

كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَيْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ

Terjadi antara Khalid bin Al Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf perseteruan, lalu Khalid mencelanya. [5]

Dengan demikian jelaslah kedudukan Khalid, ia tidak sama dengan kedudukan Abdurrahman bin ‘Auf; karena Abdurrahman termasuk sahabat-sahabat yang masuk Islam pada awal dakwah Rasul. Adapun Khalid bin Walid masuk Islam belakangan, yaitu setelah penaklukan kota Makkah. Firman Allah Ta’ala:

لاَيَسْتَوِى مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبير

Tidak sama diantara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Hadid :10]

Namun orang yang setelahnyapun masuk dalam larangan ini

• (أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا) : berinfak emas sebesar Gunung Uhud.
• (مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ) : tidak dapat menyamai satu mud infak mereka dalam bentuk apapun. Satu mud adalah ¼ sha’.
• (وَلَا نَصِيفَهُ ) : an nashif bermakna an nisfu, yaitu setengah mud.

SYARAH HADITS
Hadits yang mulia ini menunjukkan kedudukan dan keutamaan para sahabat. Dengan mengetahui kedudukan dan keutamaansahabat, kita dilarang mencela sahabat. Hingga jika diantara kita berinfak emas sebesar Gunung Uhud, maka tidak akan dapat menyamai infak mereka sebesar mud dan tidak pula setengahnya.

FAIDAH HADITS
1. Larangan mencela sahabat.
Dalam Islam, mencela sahabat sangat diharamkan, dengan dalil:

a). Karena hal itu merupakan ghibah yang dilarang dan menyakiti kaum mukminin, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :

وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. [Al Hujurat:12]
.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min dan mu'minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [Al Ahzab:58].

b). Allah telah meridhai mereka. Sehingga, bila mencela mereka, berarti menunjukkan ketidak ridhaan kepada mereka. Demikian ini bertentangan dengan firman Allah :

لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sungguh Allah telah meridhai kaum mukminin ketika mereka memba’iatmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [Al Fath:18].

c). Perintah beristighfar (memohon ampunan) bagi mereka, sebagaiman firman Allah:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang". [Al Hasyr:10].

‘Aisyah menafsirkan ayat ini dalam pernyataannya kepada kemenakannya yang bernama Urwah bin Az Zubair :

يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ

Wahai kemenakanku, mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka justru mencacinya.[6]

Imam Nawawi menjelaskan pernyataan ‘Aisyah ini, dia berkata: “Tampaknya, beliau menyatakan hal ini ketika penduduk Mesir mencela Utsman dan penduduk Syam mencela Ali, sedangkan Al Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

Dan dengan ayat ini juga Imam Malik berhujjah, bahwa orang yang mencela sahabat tidak berhak mendapatkan harta fa’i. Karena Allah hanya menjadikan harta tersebut kepada orang yang datang setelah sahabat yang memohon ampunan bagi mereka. [7]

d). Allah melaknatnya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah :

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah.[8]

e). Larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id di atas.
Bahkan sudah menjadi kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jamaa’ah, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/34): ‘Ahlu Sunnah Wal Jama’ah telah bersepakat atas kewajiban tidak mencela seorangpun dari para sahabat.[9]

2. Bahaya mencela sahabat.
Diantara bahaya yang timbul dari perbuatan mencela sahabat adalah:

a). Mencela sahabat sebagai tanda kerendahan pelakunya, dan merupakan bid’ah dalam agama. Hal ini dinyatakan oleh Abu Al Mudzaffar As Sam’ani : “Mencela sahabat merupakan tanda kerendahan pelakunya. Ia juga merupakan kebid’ahan dan kesesatan”. [10]

b). Mencela mereka berarti mencela saksi Al Qur’an dan Sunnah, dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq.
Hal ini diungkapkan Imam Abu Zur’ah Ar Razi : ”Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Karena menurut kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar dan Al Qur’an benar. Sedangkan yang menyampaikan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al Qur’an dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas, dan mereka adalah zindiq”. [11]

c). Mendapat hukuman paling ringan, yaitu dita’zir (didera menurut kebijaksanaan pemerintah Islam). [12]

d). Mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah.[13]

e). Menuduh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jelek, karena memiliki sahabat yang berhak dicela, sebagaimana diungkapkan Imam Malik : “Mereka kaum yang jelek, ingin mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak bisa. Lalu mereka mencela para sahabat Beliau sampai dikatakan “orang jelek tentu memiliki sahabat yang jelek pula”. [14]

3. Hukum orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Orang yang mencela sahabat dapat kita bagi menjadi beberapa bagian:

a). Orang yang sekedar mencela sahabat, maka masih perselisihkan karena ia berada diantara melaknat karena marah dan karena i’tiqad.[15]

b). Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan ‘Ali sebagai tuhan atau Nabi, maka ia telah kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mengiringi celaannya dengan keyakinan bahwa Ali sebagai tuhan atau ia seorang Nabi, atau berkeyakinan Jibril salah dalam menyampaikan wahyu; maka tidak diragukan (ini merupakan) kekafirannya, bahkan tidak diragukan juga kekafiran orang yang tidak mengkafirkannya”.[16]

c). Orang yang mencela sahabat karena keyakinannya akan kekafiran sahabat, maka berdasarkanIjma’, ia adalah kafir dan dihukumi dengan hukum bunuh. Karena ia telah mengingkari sesuatu yang secara pasti telah diakui dalam agama, yaitu Ijma’ umat Islam tentang keimanan para sahabat.[17]

Syaikhul Islam berkata: “Adapun orang yang melakukan hal itu (yaitu sekedar mencela, Pen)) sampai menganggap para sahabat telah murtad setelah Rasulullah n kecuali sejumlah kecil tidak sampai belasan orang, atau menganggap para sahabat seluruhnya fasiq; maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Karena ia telah mendustakan nash Al Qur’an yang banyak berisi keridhaan dan pujian kepada mereka. Bahkan orang yang ragu tentang kekafiran yang seperti ini, maka kekafirannya itu pasti”.[18]

d). Orang yang mencela sahabat seluruhnya dengan keyakinan, bahwa mereka seluruhnya fasiq. Maka orang ini dihukumi kufur, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah di atas.

e). Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan, bahwa mencela mereka itu merupakan pendekatan diri (taqarub) kepada Allah. Sikap ini merupakan natijah (akibat) dari kebencian mereka terhadap sahabat, dan tentu ini adalah sebagai konsekwensi dari keyakinan mereka tentang kefasikan sahabat. Tentu hal itu adalah kufur dan keluar dari Islam.

Imam Thahawi mengatakan: “Benci terhadap sahabat adalah kufur, nifaq dan melampaui batas”.

Imam Malik mengatakan: “Barangsiapa yang bangun pagi, sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, berarti ia terkena ayat Al Qur’an, yakni firman Allah Ta’ala:

لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). [Al Fath :29]. [19]

f). Orang mencela sahabat dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama mereka, seperti menyatakan Abu Sufyan bakhil atau Abu Hurairah sukanya makan dan sejenisnya; maka ia berhak dididik dan dihukum ta’zir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mencela mereka (para sahabat) dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama para sahabat -seperti mensifatkan sebagian mereka dengan bakhil atau penakut atau sedikit ilmu atau tidak memiliki sifat zuhud dan sejenisnya- maka orang ini berhak mendapat pembinaan dan hukuman ta’zir, dan kita tidak menghukuminya kafir hanya dengan hal ini saja”. [20]

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah, yaitu ada diantara orang yang mencela sahabat yang sudah pasti kekufurannya, dan ada yang tidak divonis kufur, serta ada yang masih dibimbangkan kekufurannya.

4. Hukum mencela isteri-isteri Nabi. [21]
Adapun orang yang mencela isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ; maka barangsiapa yang menuduh ‘Aisyah dengan apa yang telah Allah lepaskan dirinya dari tuduhan tersebut, maka ia telah kafir. Lebih dari seorang ulama telah menyampaikan Ijma’ ini. Sedangkan orang yang mencela selain beliau dari kalangan para isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka terdapat dua pendapat.

Pertama, Menyatakan ia seperti mencela salah seorang sahabat.
Kedua, Menyatakan bahwa menuduh seseorang dari Ummahat Al Mukminin sama dengan (hukum) menuduh ‘Aisyah. Dan inilah yang benar.

Oleh karena itu, berhati-hatilah, wahai kaum Muslimin. Hendaklah kita memelihara lisan kita dari mencela ataupun berdusta atas nama sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



Kemenangan Umat Islam Dengan Sebab Orang Lemah Diantara Mereka


Oleh
Ustadz Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rojali:


عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: رَأَى سَعْدٌ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، أَنَّ لَهُ فَضْلاً عَلَى مَنْ دُوْنَهُ،
فَقَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: ((هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ؟)).

Dari Mush'ab bin Sa'ad, beliau berkata bahwa Sa'ad Radhiyallahu 'anhu memandang dirinya memiliki keutamaan di atas yang lainnya (dari para sahabat). Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bukankah kalian ditolong (dimenangkan) dan diberi rezeki melainkan dengan sebab orang-orang yang lemah di antara kalian?"

TAKHRIJ SINGKAT HADITS
Hadits ini shahih, dikeluarkan oleh:
• al Imam al Bukhari, di dalam Shahih-nya, Kitab al Jihad was-Siyar, Bab Man Ista'ana bidh- Dhu'afa-i wash Shalihina fil-Harbi, nomor (2896) dari jalan Muhammad bin Thalhah, dari Thalhah, dari Mush'ab bin Sa'ad.

• al Imam an-Nasa-i di dalam Sunan-nya (al Mujtaba), Kitab al Jihad, Bab al Istinsharu bidh-Dha'if, nomor hadits (3178), dari jalan Mis'ar, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mush'ab bin Sa'ad, dengan lafazh:

عَنْ أَبِيْهِ، أَنَّهُ ظَنَّ أَنَّ لَهُ فَضْلاً عَلَى مَنْ دُوْنَهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ، فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ : ((إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ)).

Dari ayahnya (yakni, Sa'ad bin Abi Waqqash), ia menyangka bahwa dirinya memiliki keutamaan di atas yang lainnya (dari para sahabat). Maka Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan sebab doa mereka, shalat mereka, dan keikhlasan mereka".

• dan lain-lain.

Berkaitan dengan konteks sanad hadits di atas, al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani rahimahullah berkata: "… Kemudian, sesungguhnya konteks sanad hadits ini adalah mursal [1], karena Mush'ab tidak mengalami masa diucapkannya hadits ini. Akan tetapi, hal ini telah dianggap bahwa ia mendengar langsung dari ayahnya. Bahkan telah ada keterangan, bahwa Mush'ab mendengar langsung dari ayahnya sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh al Isma'ili … dan disebutkan secara marfu' …."[2].

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dan berkata: "…Demikian pula riwayat yang dikeluarkan oleh an-Nasa-i, dari jalan Mis'ar, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mush'ab, dari ayahnya…".[3]

Syaikh al Albani rahimahullah menshahihkan sanad yang dikeluarkan oleh al Imam an-Nasa-i di atas dalam beberapa kitabnya, di antaranya Shahih Sunan an-Nasa-i (2/399) dan as-Silsilah ash-Shahihah (2/409).

BIOGRAFI SINGKAT PERIWAYAT HADITS [4]
Beliau bernama Sa'ad bin Abi Waqqash Malik bin Wuhaib bin Abdumanaf bin Zuhrah bin Kilab az Zuhri, Abu Ishaq. Beliau adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk surga. Beliau juga merupakan orang yang pertama kali terkena anak panah dalam peperangan fi sabilillah (di jalan Allah). Keutamaan beliau pun sangat banyak. menurut pendapat yang masyhur dari para ulama, beliau meninggal di al 'Aqiq pada tahun 55 H. Dan beliau-lah orang yang paling akhir meninggal dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga tersebut.

KOSA KATA HADITS
• (رَأَى), yakni, melihat atau memandang. Maksudnya adalah ظَنَّ , yakni menyangka atau mengira.
Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat an Nasa-i.[5]

• (عَلَى مَنْ دُوْنَهُ), yakni, di atas yang lainnya dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa keberaniannya, atau kelebihan hartanya, atau pun keutamaan lainnya secara umum.[6]

MAKNA GLOBAL DAN MAKSUD HADITS
Hadits ini, dengan kedua lafazh al Bukhari dan an-Nasa-i di atas, telah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang lemah merupakan sumber kebaikan, kekuatan dan kemenangan umat Islam. Hal ini telah diterangkan dalam hadits shahih lainnya -yang merupakan syahid (pendukung dan penguat makna hadits di atas)-, dari Abu ad-Darda' Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ يَقُوْلُ: ((اِبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ)).

Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Carikan untukku orang-orang yang lemah, karena sesungguhnya kalian diberi rezeki dan ditolong (dimenangkan) dengan sebab orang-orang yang lemah (di antara) kalian".[7]

Namun, satu hal yang perlu kita pahami dari hadits ini, bahwa tertolongnya dan menangnya kaum Muslimin bukanlah dengan sebab dzat dan kedudukan atau kehormatan orang-orang shalih yang lemah dan miskin dari kaum Muslimin semata. Bukan karena hal itu. Ini harus kita perhatikan, karena erat kaitannya dengan permasalahan 'aqidah. Yakni permasalahan tawassul [8]. Juga, karena ada sebagian kaum Muslimin yang ber-hujjah dengan hadits ini, terutama dengan lafazh dalam Shahih al Bukhari, dan dengan hadits Abu ad-Darda', atas bolehnya seseorang ber-tawassul dengan dzat atau kedudukan dan kehormatan orang-orang shalih yang lemah dari kaum Muslimin.

Oleh karena itu, hendaklah diketahui, bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk ber-tawassul, yang dilarang dalam Islam [9]. Para ulama pun telah menjelaskan bahwa hadits di atas -dengan lafazh dalam Shahih al Bukhari, dan lafazh hadits Abu ad-Darda'- terkait dengan lafazh hadits yang dikeluarkan oleh al Imam an-Nasa-i. Sehingga, lafazh hadits yang dikeluarkan oleh al Imam an-Nasa-i ini merupakan penafsiran dari keumuman lafazh dalam Shahih al Bukhari dan hadits Abu ad Darda' di atas. Yakni, tertolongnya dan menangnya kaum Muslimin bukanlah semata-mata dengan sebab dzat dan kedudukan atau kehormatan orang-orang shalih yang lemah dan miskin dari kaum Muslimin, melainkan karena doa, shalat, dan keikhlasan mereka dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani rahimahullah berkata, "Ibnu Baththal berkata, penafsiran (makna) hadits ini adalah, orang-orang yang lemah itu jauh lebih ikhlas dalam berdoa (kepada Allah), dan mereka lebih khusyu' dalam beribadah (kepada Allah). Karena tidak terdapat dalam hati mereka ketergantungan terhadap perhiasan dunia". [10]

Syaikh al Albani rahimahullah berkata,"… Hadits ini (dengan lafazh yang dikeluarkan oleh al Imam an- Nasa-i) menjelaskan bahwa kemenangan yang dimaksud, hanyalah dengan sebab doa orang-orang yang shalih, bukan dengan sebab dzat dan kedudukan mereka … Sehingga, dengan demikian kita bisa mengetahui dan memahami bahwa maksud dari tertolongnya kaum Muslimin dengan orang-orang yang shalih adalah dengan sebab doa, shalat, dan keikhlasan mereka."[11]

Al Imam Abdur-Ra'uf al Munawi rahimahullah berkata: (Makna hadits ini) ialah, dengan sebab doa mereka dan keikhlasan mereka. Karena ibadah orang-orang yang lemah lebih ikhlas, dengan sebab kosongnya hati mereka dari ketergantungan terhadap dunia, juga dengan sebab bersihnya hati mereka dari apa-apa yang memutuskan hubungan mereka dengan Allah. Sehingga, tujuan dan konsentrasi mereka tertuju pada satu hal saja (dalam beribadah kepada Allah). Maka, sucilah amal-amal ibadah mereka, dan dikabulkanlah doa mereka. Adapun sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (بِدَعْوَتِهِمْ) "dengan sebab doa mereka", hal ini sama sekali tidak berarti kelemahan dan kemiskinan menunjukkan tidak adanya kekuatan pada tubuh mereka. Juga tidak berarti kelemahan dan kemiskinan menunjukkan tidak adanya kekuatan untuk melakukan perintah-perintah Allah! Maka, hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang diterangkan di dalamnya pujian terhadap orang-orang yang kuat, tidak juga hadits yang menjelaskan bahwa "orang beriman yang kuat lebih dicintai Allah daripada orang beriman yang lemah" [12].

Kemudian, yang dimaksud dalam hadits (Sa'ad bin Abi Waqqash) ini adalah, hal itu (yakni ditolong, dimenangkan, dan diberikannya rezeki kepada kaum Muslimin) merupakan salah satu sebab saja dari sekian sebab-sebab lainnya yang ada. (Karena), betapa banyak orang-orang yang kafir dan fajir diberi rezeki (oleh Allah), bahkan mereka pun ada yang diberi kemenangan (oleh Allah). Namun (itu semua) karena istidraj (pemberian kenikmatan sementara, agar mereka semakin sesat dan jauh dari petunjuk Allah). Bahkan terjadi pula pada kaum Muslimin kekalahan, namun hal ini agar mereka kembali dan bertaubat untuk beribadah dengan ikhlas (kepada Allah). Sehingga, justru mereka pun mendapatkan ampunan Allah dan keleluasaan (kemenangan) setelahnya. Maka ketahuilah, tidak setiap pemberian nikmat (dari Allah) merupakan penghormatan dan kemuliaan, sebagaimana tidak setiap musibah merupakan siksaan.[13]

FAIDAH DAN PELAJARAN DARI HADITS
1. Orang-orang yang lemah merupakan sumber kebaikan umat Islam. Karena sesungguhnya, walaupun tubuh mereka lemah, namun keimanan mereka kuat. Demikian pula keyakinan dan kepercayaan mereka (kuat) kepada Rabb. Mereka pun tidak peduli terhadap kepentingan pribadi dan tujuan-tujuan keduniaan. Dengan sebab inilah, maka apabila mereka berdoa dengan ikhlas, Allah pun mengabulkan doa mereka. Allah juga memberi rezeki kerpada umat ini dengan sebab (doa) mereka.

2. Hadits ini mengandung anjuran untuk tawadhu' (merendah hati) dan tidak sombong kepada orang lain.

3. Hadits ini mengandung (penjelasan) hikmah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam merubah kemungkaran, melunakkan hati orang lain, dan mengarahkannya kepada apa-apa yang Allah cintai dan Allah ridhai.

Demikianlah, mudah-mudahan tulisan singkat ini bermanfaat, bisa menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita semua. Amin.
Wallahu A'lam bish-Shawab.

Maraji` dan Mashadir:
1. At-Tawassul, Anwa'uhu wa Ahkamuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Tansiq: Muhammad 'Id al 'Abbasi, al Maktab al Islami, Beirut, Cetakan V Tahun 1406 H/ 1986 M.
2. Bahjatun-Nazhirin Syarhu Riyadhis-Shalihin, Salim bin 'Id al Hilali, Dar Ibnul-Jauzi, KSA, Cetakan VI Tahun 1422 H.
3. Faidhul-Qadir Syarhu al Jami'ush-Shagir, Abdur-Ra'uf al Munawi, al Maktabah at-Tijariyah al Kubra, Mesir, Cetakan I, Tahun 1356 H.
4. Fathul-Bari, Ibnu Hajar al 'Asqalani (773-852 H), Tahqiq: Muhibbuddin al Khatib, Dar al Ma’rifah, Beirut.
5. Hasyiah al Imam as-Sindi, as-Sindi (1138 H), Tahqiq: Maktab at-Turats al Islami, Dar al Ma'rifah, Beirut, Lebanon, Cetakan V Tahun 1420 H / 1999 M.
6. Jami’ at-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi (209-279 H), Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dkk, Dar Ihya at-Turats, Beirut.
7. Musnad al Imam Ahmad, Abu 'Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy-Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
8. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats as-Sijistani (202-275 H), Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dar al Fikr.
9. Shahih al Bukhari, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256 H), Tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Darus-Salam, Riyadh, KSA, Cetakan II, Dzulhijjah 1419 H / Maret 1999 M.
10. Sunan an-Nasa-i (al Mujtaba), Abu 'Abdir-Rahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa-i (215-303 H), Tahqiq: 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al Mathbu’at, Halab, Cetakan II Tahun 1406 H/1986 M.
11. Shahih Muslim, Abu al Hushain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi an-Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
12. Silsilah al Ahadits ash Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, KSA, th 1415 H/ 1995 M.
13. Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah (207-275 H), Tahqiq: Muhammad Fuad 'Abdul Baqi, Dar al Fikr, Beirut.
14. Syarh al 'Aqidah ath-Thahawiyah, al Imam al Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi al 'Izz ad- Dimasyqi (792 H), Tahqiq: Jama'atun minal-Ulama. Takhrij: Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut-Libanon, Cetakan IX Tahun 1408 H/ 1988 M.
15. Taqrib at-Tahdzib, Ibnu Hajar al 'Asqalani (773-852 H), Tahqiq: Abu al Asybal al Bakistani, Dar al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, Cetakan II, Tahun 1423 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Hak Dan Kekhususan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam



Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَاءِيْ وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ.

Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat dan bukannya sombong, dan di tanganku bendera Al-Hamd dan bukannya sombong, dan tidak ada seorang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun, tidak pula Adam juga yang lainnya ketika itu kecuali semua di bawah benderaku, dan aku orang pertama yang keluar dari tanah/kubur dan bukannya sombong.

TAKHRIJ HADITS
Diriwayatkan oleh At Tirmidziy dalam Jami' Attirmidziy, kitab Al Manaaqib, Bab Fi Fadhli An Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam No. 3614 (5/548) dan dalam kitab Tafsir, bab Wa Min Surat Bani Israail (dengan lafadz dan kisah yang panjang) No.3148 (5/288), Ibnu Majah dalam sunannya kitab Azzuhud, bab Dzikru Asy Syafaat No.4308 (4/522) dan Ahmad dalam Musnadnya (3/2) dari sahabat Abi Said Al Khudriy, berkata Imam At-Tirmidziy setelah meriwayatkan hadits ini: ini hadits hasan shahih.

Dalam sanad hadits ini ada Zaid bin Jad'an seorang perawi yang lemah akan tetapi dalam Ibnu Hibban dalam Mawaarid Dzomaan No. 2127 meriwayatkannya dari sahabat Abi Said Al Khudriy juga dengan sanad yang shahih dan memiliki beberapa syahid dari beberapa sahabat sebagaimana disampaikan Syeikh Al Albaniy dalam Silsilah Ahadits Ash Shohihah 4/99-100 hadits No. 1571:

1. Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya (1/20) dan (7/59) dengan dua sanad dan yang kedua shohih diatas syarat Imam Muslim.

2. Jabir bin Abdillah yang diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrok dengan sanad lemah karena ada Al Qaashim bin Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Uqail perawi yang matruk dan Ubaid Al Athaar telah dilemahkan oleh sejumlah ulama.

3. Anas bin Malik diriwayatkan oelh Al Bukhari dalam kitabnya At Tarikh 4/1/400 dengan sanad yang perawinya semua tsiqah kecuali Lubaid dan hadits Anas ini memiliki jalan lain dalam sunan Ad-Darimi (1/27) dan Ahmad (3/144) dan sanadnya baik, perawinya adalah perawi Imam Bukhari.

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Albany dalam Sisilah Ahadits Shahihah.

SYARAH DAN KOSA KATA HADITS [1]
1. Sabda beliau: أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ : ini adalah berita dari beliau tentang anugrah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya dari keutamaan, kepemimpinan dan pemberitahuan kepada umatnya agar iman mereka terhadap rasululloh sesuai dengan yang seharusnya oleh karena itu beliau bersabda setelah itu: وَلاَ فَخْرَ :maknanya keutamaan yang saya dapatkan tersebut merupakan karomah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak saya dapatkan dari diri dan dengan kekuatan saya sendiri sehingga saya tidak sombong dengan hal itu. Imam Annawawiy menjelaskan makna sabda beliau ini dengan mengatakan: hal itu beliau ucapkan karena dua hal:

Pertama : Melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). [Adh Dhuhaa: 11]

Kedua : Hal itu merupakan penjelasan yang menjadi kewajiban beliau untuk menyampaikannya kepada umat Islam agar mereka mengetahui, meyakini dan mengamalkan konsekwensinya.

2. Sabda beliau: لِوَاءُ اْلحَمْدِ : liwa’ dalam bahasa Arab bermakna panji (bendera) yang hanya di pegang oleh panglima pasukan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir dalam Annihayah 4/279.maksudnya disini adalah beliau memegang satu panji yang dinamakan panji Al hamd (pujian) pada hari kiamat.

3. Sabda beliau : وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ: pertama kali dibangkitkan pada hari kiamat nanti.

FAIDAH HADITS
Hadits ini menunjukkan keutamaan dan kekhususan Nabi Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam atas sekalian bani Adam, tentang hal ini Imam Muwaffaqoddin Abu Abdillah bin Ahmad Muhammad Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata : Dan Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan tuan para rasul, tidak beriman dengan keimananyang benar sehingga seseorang itu beriman akan kerasulannya dan bersaksi akan ke nabiannya. Dan tidaklah diputuskan di antara manusia pada hari kiamat kecuali dengan sebab syafa’atnya. Dan tidaklah satu umatpun yang mendahului masuk ke dalam surga dari pada umatnya. Dia (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah pembawa bendera Al-Hamdi dan pemilik kedudukan yang terpuji, pemilik telaga pada hari kiamat. Dia adalah Imam para Nabi dan pembicara mereka serta pemberi syafa’at mereka. Umatnya adalah sebaik-baiknya umat dan shahabatnya adalah sebaik-baik shahabat para Nabi.

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah memberikan penjelasan terhadap perkataan Imam Ibnu Qudamah di atas sebagai berikut :

Makhluk yang paling utama adalah para Rasul kemudian para Nabi kemudian para Shiddiqun kemudian para Syuhada kemudian orang-orang Shalih. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan tingkatan ini dalam ayat 69 dari surat An-Nisa’:

وَمَن يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلاَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلاَئِكَ رَفِيقًا {النساء :69}

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang salih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisa’:69]

Dan rasul-rasul yang paling utama adalah ‘Ulul ‘Azmi yang lima yaitu : Nuh, Ibrahim Musa, Isa dan Muhammad. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan mereka salam surat al-ahzab ayat 7 :

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ……

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi -Nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, …

Dan rasul yang paling utama adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam karena sabda beliau :

أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (البخاري و مسلم)

Aku adalah tuan seluruh manusia pada hari kiamat [Bukhari dan Muslim]

Dan shalatnya mereka di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam Mi’raj adalah dalil lain yang menunjukkan hal itu.

Kemudian Ibrahim karena beliau adalah bapak para Nabi dan Millah beliau adalah Millah pokok dari semua Millah (Agama), kemudian Musa sebab beliau adalah Nabi yang paling utama daripada Nabi-Nabi Bani Israil dan syari’atnya adalah asal/pokok bagi syariat mereka, kemudian Nuh dan Isa.

Diantara hak dan kekhususan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat diambil dari hadits diatas dan dalil-dalil yang lainnya adalah:

1. Pemimpin manusia dihari kiamat dan Pembawa bendera Al-Hamd pada hari kiamat serta semua para Nabi berada dibawah bendera beliau.

2. Orang yang pertama di bangkitkan pada hari kiamat, karena hadits Abi Sa’id Al-Hudry Radhiyallahu 'anhu diatas.

3. Penutup para Nabi karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat 40 surat Al-Ahzab :

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi

4. Tidak sempurna iman seseorang hamba sampai dia beriman akan kerasulannya, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’: 65]

5. Tidak diputuskan antara manusia pada hari kiamat kecuali dengan syafa’at beliau.

6. Umat Muhammad adalah umat yang pertama kali masuk ke dalam surga karena keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

نَحْنُ الآخِرُوْنَ السَّابِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (ابن ماجه و مسلم)

Kita umat yang terakhir yang pertama/mendahului pada hari kiamat. [Ibnu Majah, dishahihkan oleh Imam Al-Albany rahimahullah]

7. Pemilik kedudukan yang terpuji yaitu amalan yang disanjung oleh Khaliq dan Mahluk. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. [Al-Israa': 79]

Dan kedudukan ini adalah apa yang didapat oleh beliau dari manaqib/sifat-sifat beliau , pemberi syafa’at dan lainnya.

8. Pemilik telaga yang didatangkan pada hari kiamat yaitu telaga yang besar yang banyak sekali pengunjungnya, karena apabila sekedar telaga biasa maka telah diketahui bahwa setiap Nabi memiliki telaga.

9. Imam para Nabi.

10. Yang berhak berbicara dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala mewakili semua Nabi.

11. Pemberi syafa’at untuk mereka. ini berdasarkan hadits Ubay Ibni Ka’ab bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُنْتُ إِمَامَ النَّبِيِينَ وَ خَطِيْبَهُمْ وَ صَاحِبَ شَفَاعَتِهِمْ غَيرْ فَخْرٍ

Apabila telah saatnya hari kiamat akulah Imam para Nabi, pembicara mereka dan pemberi syafa’at mereka dan bukannya sombong. [Riwayat Tirmidzi, dihasankan oleh Imam Al-Albani].

12. Umatnya adalah sebaik-baik umat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia …[Al Imran: 110]

Adapun ayat 47 dari surat Al-Baqarah yang berbunyi :

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. [Al Baqarah: 47]

Ini yang dimaksud adalah umat yang sejaman (Nabi Musa).

Dan selanjutnya Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin menyebutkan dalam buku karangannya “HUQUQ” hal. 10-12 : Hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hak yang paling besar dari hak-hak mahluk. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا . لِّتُوْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً .

Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya.Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang. [Al Fat-h: 8-9]

Oleh karena itu wajib untuk mendahulukan kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kecintaan seluruh manusia sampai diri sendiri, anak maupun orang tua.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (متفق عليه)

Tidak sempurna iman seseorang sehingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang-tuanya dan manusia semuanya. [Bukhari, Muslim]

Termasuk hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah membesarkan dan memuliakannya serta mengagungkannya dengan pengagungan yang sesuai baginya tanpa berlebih-lebihan atupun mengurangi. Memuliakan beliau ketika hidupnya adalah dengan memuliakan sunnahnya dan diri beliau yang mulia. Memuliakan beliau setelah wafatnya adalah dengan memuliakan sunnah dan syari’atnya yang lurus ini. Barang siapa mengetahui para sahabat beliau menghormati dan memuliakan beliau maka dia akan tahu bagaimana seharusnya memuliakan beliau, bagaimana para sahabatnya yang mulia bersikap terhadap beliau dan melaksanakan haq-haq beliau.

Berkata ‘Urwah Ibnu Mas’ud kepada Quraisy ketika beliau diurus untuk menyampaikan apa yang dari Rasul pada perjanjian Hudaibiyah, dia berkata : Aku sudah masuk atas raja-raja, kaisar dan pembesar serta Najasyi, maka aku tidak melihat seorangpun dari mereka yang diagungkan oleh para sahabatnya sebagaimana Rasulullah diagungkan oleh para shahabatnya. Apabila mereka diperintah mereka bersegera untuk melaksanakan perintahnya, apabila beliau berwudhu, hampir para shahabat itu berkelahi karena memperebutkan air wudhu beliau, apabila beliau berbicara mereka menundukkan suara-suara mereka di sisinya dan tidaklah mereka menunjukkan pandangan kepada beliau dikarenakan pengagungan mereka.

Demikianlah mereka memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan pada diri beliau ahlak yang agung, lembut, mudah dan jika beliau keras dan kasar tentu mereka akan lari dari beliau.

Dan sungguh termasuk dari hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah membenarkan semua yang beliau kabarkan dari perkara-perkara yang sudah dan akan terjadi, mewujudkan perintahnya, menjauhi larangannya, beriman bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah petunjuk yang paling sempurna dan syari’atnya adalah syaria’at yang paling sempurna dan tidaklah didahulukan atasnya syri’at atau aturan yang lain dari manapun asalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Imran: 31]

Dan termasuk dari hak beliau adalah membela syari’atnya dan petunjukknya sekuat kemampuan yang dimiliki seseorang, juga dengan senjata ketika keadaan mengharuskannya, apabila musuh-musuh menyerang dengan pikiran/pandapat dan syubhat maka kita bela dengan ilmu, kita bantah dan patahkan pendapat dan syubhat mereka dan kita jelaskan kacau dan rusaknya semua iru, dan jikalau mereka menyerang dengan senjata maka pembelaannya adalah dengan semacam itu juga. Dan tidaklah mungkin seorang mukmin mana saja yang ketika dia mendengar ada yang menyerang syari’at Nabi atau diri beliau lalu dia hanya diam saja atas hal itu padahal dia mampu untuk membelanya.

Dan berkata Syaikh Abdurrahman Ibnu Nashir As-Sa’dy rahimahullah : Pada ayat 31 surat Ali Imran di tas merupakan timbangan yang dapat diketahui dengannya siapa yang hakekatnya mencuntau Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan suapa yang hanya sekedar mengaku mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm dan tidak tanda mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan bahwa mengikitinya dan semua apa yang diperintahkan merupakan jalan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ridhoNya kecuali dengan membenarkan apa yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bawa dari Al-Qur’an dan Sunnah dan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang terdapat pada keduanya.

Semoga ini berfaedah bagi penulis di hari perhitungan amal dan kepada para pembaca yang aku cintai semoga bermanfaat di dunia dan akhirat, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuni kesalahanku, orangtuaku, para guruku dan kaum muslimin semuanya. Sesungguhnya Allah Subahnahu wa Ta'ala Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amiin.

Maroji’ :
• Al-qur’an dan Tarjamanya, cetakan Saudi 1418 H
• Taisir Karimir Rahman fii Tafsiri Kalami Al-Manan, Pengarang : Syaikh Abdurrhman Nashir As-Sa’diy, cetakan Yayasan Ar-Risalah edisi revisi, tahun 1420H/1999 M
• Lum’atul I’tiqod Al-Hadi Ilaa Sabiil Ar-Rasyaad, pengarang Imam Ibnu Qudamah, pensyarah Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, cetakan maktabah Adhwaaussalaf ke-3 tahun 1415 H/1995 M
• Huquuq Da’at Ilaiha al-fitrah wa Qorroroha As-Syari’ah, pengarang Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, cetakan Daar Al-Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta tahun 1417 H/ 1996 M
• Sunan At-Tirmidzi
• Sunan Ibnu Majah
• Silsilah Ahaadits Ash Shohihah
• Tuhfatul Ahwadziy dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Hindarilah Hal-Hal Yang Diharamkan (2)


Oleh
Syeikh Abdul ‘Adhim bin Badawi


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ الهِ مَنْ يَأْخُذُ عَنِّي هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ يَعْمَلُ بِهِنَّ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ أَنَا يَا رَسُولَ الهِn فَأَخَذَ بِيَدِي فَعَدَّ خَمْسًا وَقَالَ اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ الهُت لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah yang mau mengambil kata-kata ini dari saya, untuk diamalkan atau untuk diajarkan ?” Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menjawab: “Saya, wahai Rasulullah ! Beliau lalu memegang tanganku lalu mulai menghitung lima hal, seraya bersabda: “Hindarilah hal-hal yang diharamkan, kamu akan menjadi orang yang paling bagus ibadahnya; ridlalah terhadap apa yang Allah bagikan untukmu, kamu akan menjadi orang terkaya; berbuat baiklah kepada tetanggamu, kamu akan menjadi orang mukmin; cintailah untuk orang lain apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, kamu akan menjadi muslim; dan janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.

Ungkapan-ungkapan ini termasuk inti-inti ucapan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi motivasi untuk mengambilnya lalu diamalkan dan diajarkan untuk aspek penyempurnaan diri dan orang lain. Sebagaimana firman Allah:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

“Demi masa. Sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih”

Dengan iman dan amal shalih mereka menyempurnakan diri sendiri, dan:

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Saling nasehat menasehati dengan kebenaran dan dengan kesabaran”

Dengan menasehati kebenaran dan dan kesabaran mereka menyempurnakan orang lain.

• Perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu : “أَنَا “ maksudnya saya yang mengambil kata-kata ini dari Anda. Disini terdapat tanda semangat beliau Radhiyallahu 'anhu terhadap kebaikan.
• Perkataannya: “فَأَخَذَ بِيَدِي “ maksudnya untuk menghitung kata-kata ini atau karena Rasul (biasanya) memegang tangan orang yang diberi pelajaran.
• Perkataannya “فَعَدَّ خَمْسًا “ (lalu beliau menghitung lima) maksudnya lima hitungan atau jari sebagaimana yang telah dimaklumi yaitu satu demi satu.

Ketiga : Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا

Berbuat baiklah kepada tetanggamu, kamu akan menjadi orang mukmin.

Allah telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga, Dia berfirman:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu [An-Nisaa :36]

Dan banyak juga hadits yang membicarakan masalah itu, di antaranya:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Jibril terus saja berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai-sampai saya mengira bahwa seorang tetangga akan mendapatkan harta warisan dari tetangganya. [13]

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. [14]

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ الهِu خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ الهَِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

Sebaik-baik teman disisi Allah adalah yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga disisi Allah adalah yang paling baik kepada tetangganya. [15]

Jika anda tidak bisa berbuat baik kepada tetangga anda maka janganlah anda menyakitinya. Jika ia menyakitimu maka bersabarlah sampai Allah memberikan jalan keluar bagi anda.

Al-Hasan mengatakan: "Tentangga yang baik bukanlah yang hanya tidak menyakiti. Akan tetapi tetangga yang baik itu adalah yang sabar menanggung gangguan (dari tetangga yang lain)".

Menyakiti tetangga hukumnya haram, karena menyakiti siapa saja tanpa kebenaran (alasan) adalah haram, akan tetapi menyakiti tetangga lebih haram lagi.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari bahwasanya nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قَالَ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ

Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab: “Engkau membuat sekutu untuk Allah, padahal Dia telah menciptakanmu”. Beliau ditanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena engkau takut dia makan bersamamu” Beliau ditanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Engkau berzina dengan istri tetanggamu. [16]

Dari Miqdam bin al-Aswad, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para shahabatnya:

مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا قَالُوا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ الهِت صَلَّى الهُْ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَصْحَابِهِ لأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ قَالَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي السَّرِقَةِ قَالُوا حَرَّمَهَا الهُِ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ قَالَ لأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ

Apa yang kalian katakan pada masalah zina?” Mereka menjawab: “Haram, zina telah diharamkan oleh Allah dan rasulNya, haka hal itu haram sampai hari kiamat” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, seseorang berzina dengan sepuluh perempuan, masih lebih ringan (dosanya)daripada ia berzina (sekali) dengan istri tetangga” Kemudian beliau menanyai mereka tentang mencuri, mereka menjawab: “Haram, mencuri telah diharamkan oleh Allah dan rasulNya, maka hal itu haram sampai hari kiamat.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya, seseorang mencuri di sepuluh rumah, masih lebih ringan atasnya daripada ia mencuri sekali dirumah tetangga. [17]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالهِb لاَ يُؤْمِنُ وَالهِ لاَ يُؤْمِنُ وَالهِ) لاَ يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ الهِل قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

Demi Allah, dia tidak beriman ! Demi Allah, dia tidak beriman ! Demi Allah, dia tidak beriman !” Rasul ditanya: “Siapa yang Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya. [18]

Dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Tidak akan masuk syurga orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya. [19]

Dan Rasulullah menganjurkan kepada tetangga untuk saling memberi hadiah, saling mengunjungi, dan beliau melarang dari mencela pemberian tetangga. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا

Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai. [20]

Dan darinya juga, nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

Wahai kaum mukminat, janganlah seorang tetangga meremehkan untuk (memberikan) kepada tetangganya walaupun (berupa) kuku kaki kambing” [HR.Bukhari dan Muslim]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: “Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ

Wahai Abu Dzar jika engkau masak sayur maka perbanyaklah airnya (kuahnya) dan berilah sebagian kepada tetanggamu. [21]

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha :

يَا رَسُولَ الهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا

Saya mengatakan: “Wahai rasulullah, saya mempunyai dua tetangga, kemanakah saya memberikan hadiah?”, beliau menjawab: “Kepada yang paling dekat pintunya darimu. [22]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu,kamu akan menjadi orang yang beriman” maksudnya orang yang sempurna keimanannya, sebab iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang sebagaiman keyakinan Ahlu Sunnah wal jama’ah para pengikut Salaf Sholeh.

Keempat: Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا

Cintailah untuk orang lain apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri, kamu akan menjadi muslim

Maksudnya akan menjadi muslim yang sempurna keislamannya. Ini memberikan pengertian bahwa keislaman itu berkurang nilainya sebanding dengan kurangnya rasa cinta ini.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menetapkan point ini untuk masuk sorga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan masuk sorga, maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukkan orang lain sebagaimana dia ingin dirinya diperlakukkan oleh orang lain. [23]

Orang hanya akan bisa mencapai derajat ini dengan kebersihan hatinya dari rasa iri dan dengki, karena iri dan dengki ini mengakibatkan seseorang tidak suka diatasi atau tidak suka disamai kebaikannya, dia ingin dirinya istimewa di tengah-tengah orang banyak dengan kelebihan yang ia miliki. Sedangkan keimanan berbeda dengan hal itu, ia (menuntut) supaya orang-orang mukmin yang lain ikut merasakan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikan tersebut.

Ringkasnya, sudah menjadi keharusan bagi seorang mukmin itu untuk mencintai bagi mukmin yang lain apa yang ia cintai buat dirinya, dan membenci untuk orang lain apa yang ia benci untuk dirinya. Jika ia melihat ada kesalahan pada dien temannya, maka ia berusaha untuk memperbaikinya. Jika ia melihat keutamaan atau kelebihan pada orang lain yang melebihinya, maka dia berharap bisa seperti orang lain tadi, jika kelebihan itu berkaitan dengan agama maka keinginan seperti itu adalah bagus. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ الهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak ada(boleh) dengki kecuali pada dua hal: seseorang yang diberikan harta oleh Allah lalu ia belanjakan pada jalan kebenaran, dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu ia memberi keputusan dengannya dan mengajarkannya. [24]

Tetapi jika kelebihan itu dalam masalah keduniaan, maka tidak ada baiknya iri pada hal itu. Allah berfirman:

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. [An-Nisaa :32]

Dan Allah berfirman tentang Qarun :

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:"Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. [Al-Qashash :79]

Ketika Allah menenggelamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi,orang-orang yang kemarin menginginkan posisi Qarun itu mengatakan:

وَيْكَأَنَّ اللهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلآ أَن مَّنَّ اللهُ عَلَينَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لاَيُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Aduhai benarlah, Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang ia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah). [Al-Qashash:82]

Kelima: Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah engkau banyak tertawa, karena sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.

Dalam hadits ini terdapat larangan nyata dari banyak tertawa dan penjelasan sebab larangan tersebut, yaitu banyak tertawa itu menjadikan hati tenggelam dalam kegelapan, menjadikanya seperti mayit yang tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya dengan suatu yang bermanfaat, dan tidak bisa menghindarkan dirinya dari suatu yang buruk. Sedangkan kehidupan dan cahaya hati itu merupakan sumber segala kebaikan, dan kematian dan kegelapannya merupakan sumber segala keburukan. Dengan kehidupan hati terjadilah kekuatannya, pendengarannya, penglihatannya, dan persepsinya terhadap informasi dan hakekat sesuai dengan yang sebenarnya.

Dalam hadits ini terdapat idzin untuk sedikit tertawa, terutama untuk suatu keperluan. Inilah petunjuk para nabi dan hamba-hamba Allah yang shalihin. Allah berfirman tentang Sulaiman ketika dia mendengar pembicaran semut:

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا

Maka beliau tersenyum tertawa karena ucapannya (sang semut). [An-Naml : 19]

Dari Sa’ad bin Abi Waqash, dia berkata: “Ada seorang lelaki musyrik yang memanas-manasi kaum muslimin maka Rasul bersabda kepada Sa’ad: “Panahilah ia”. Sa’ad berkata: “Lalu saya cabutkan anak panah yang tidak bermata, saya kenakan tubuhnya sehingga ia jatuh dan auratnya terbuka. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai saya bisa melihat gigi gerahamnya Shallallahu 'alaihi wa salalm. [25]

Kegembiraan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut disebabkan oleh terkenanya lelaki tadi, bukan karena terbuka auratnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mungkin tertawa karena terbukanya aurat.

Dari Abdullah bin Mas’ud: Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda:

إِنِّي لأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولاً رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ حَبْوًا فَيَقُولُ الهًُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلأَى فَيَقُولُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلأَى فَيَقُولُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا أَوْ إِنَّ لَكَ مِثْلَ عَشَرَةِ أَمْثَالِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ تَسْخَرُ مِنِّي أَوْ تَضْحَكُ مِنِّي وَأَنْتَ الْمَلِكُ فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ الهِ n ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ وَكَانَ يَقُولُ ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً

Sesungguhnya aku mengetahui penduduk neraka yang paling akhir keluar darinya, dan penduduk syurga yang paling akhir masuk. Ada seorang lelaki yang dikeluarkan dari neraka dengan merangkak, lalu Allah katakan padanya: “Pergilah, masuklah syurga!” Orang itu mendatangi syurga dan nampak olehnya bahwa syurga itu telah penuh, lalu dia kembali dan berkata: “Ya Rabbi, aku dapatkan syurga telah penuh” Allah katakan padanya: “Pergilah, masuklah syurga!” orang itu mendatangi syurga dan nampak olehnya bahwa syurga itu telah penuh, lalu dia kembali dan berkata: “Ya Rabbi, aku dapatkan syurga telah penuh” Allah katakan padanya: “Pergilah, masuklah syurga! Sesungguhnya milikmu dunia tambah dengan sepuluh kali lipat” lelaki tadi berkata: “Engkau mengejekku atau menertawakanku, sedangkan Engkau adalah Raja”. Perawi berkata: “Sungguh aku melihat Rasulullah tertawa sampai gigi geraham beliau kelihatan”, lalu beliau bersabda: “Itulah penduduk Syurga yang paling rendah kedudukannya. [26]

Akan tetapi tertawa seperti ini bukanlah kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kebanyakan tertawa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tersenyum.

Dari Sammak bin Harb: “Saya bertanya kepada Jabir bin Samurah: “Pernahkah anda biasa duduk bersama dengan Rasulullah?” dia menjawab: “Ya, sering. Beliau biasa tidak bangkit dari tempat beliau melaksanakan sholat shubuh sampai matahari terbit, apabila matahari telah terbit, beliau bangkit. Para sahabat biasa berbincang-bincang, terkadang mereka menyinggung perkara jahiliyyah, lalu mereka tertawa dan beliau tersenyum. [27]

Umar pernah ditanya: “Apakah para shahabat itu pernah tertawa?” Beliau menjawab: “Ya, padahal keimanan di dalam hati mereka –demi Allah– lebih kokoh dibandingkan dengan gunung-gunung yang tinggi.”

Di antara kemurahan Islam adalah menjadikan senyum dan muka berseri-seri ketika bertemu dengan saudaranya sesama mukmin sebagai shadaqah. Abu Dzar berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda kepadaku:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah sekali-kali engkau meremehkan perbuatan yang baik, meskipun (hanya) engkau menjumpai saudaramu dengan wajah berseri-seri. [28]

Islam adalah agama kenyataan, tidak melayang tinggi dalam khayalan dan perumpamaan-perumpamaan yang kosong. Islam bersama manusia di atas bumi yang nyata. Islam tidak menganggap manusia seperti para malaikat yang memiliki dua sayap, tiga atau empat. Akan tetapi Islam menganggap manusia sebagai manusia yang (membutuhkan)makan, dan berjalan di pasar (untuk membeli kebutuhannya). Karenanya Islam tidak mewajibkan mereka supaya semua ucapan mereka adalah dzikir, tidak mewajibkan supaya semua diamnya adalah berfikir, dan tidak mewajibkan mereka agar menghabiskan semua waktu kosong mereka di masjid.

Islam mengakui ekstensi, fitrah, dan naluri-naluri mereka. Allah telah menciptakan manusia dalam keadaan bisa bergembira dan bahagia, bisa bermain, sebagaimana Allah telah menciptakan mereka dalam keadaan bisa makan dan minum. Maka tidak ada salahnya seorang muslim bergembira dan bercanda dengan apa yang ia sukai atau menghibur diri dan teman-temannya dengan permainan yang dibolehkan. Hanya saja hendaklah hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan dalam setiap waktu, yang menghabiskan waktu pagi dan sorenya sehingga lalai dari kewajiban dan bisa membuat ia tidak serius.

Ada syair yang mengatakan: “Berikanlah ucapan-ucapan itu senda gurau seukuran garam yang dicampurkan di sayur” (Artinya berguraulah seperlunya janganlah berlebihan)

Inilah nasehat-nasehat Rasulullah kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Meskipun nasehat-nasehat ini ditujukan kepada Abu Hurairah namun itu bukan berarti bahwa itu khusus untuk beliau saja. Kitapun yang hidup masa sekarang ini, jika kita mampu melaksanakan pesan-pesan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut maka semua janji Rasul itu pasti akan kita dapati.

Wallahu a’lam bisshawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]






sumber:    http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment