Friday, August 10, 2012

Kemana Perginya Uang Umat Islam?, sabda Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةِ “Makan dan minum, berpakaian dan bersedekahlah, tanpa ada sikap berlebih-lebihan dan kesombongan” [HR Al-Bukhari]


Kemana Perginya Uang Umat Islam?, sabda Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةِ
“Makan dan minum, berpakaian dan bersedekahlah, tanpa ada sikap berlebih-lebihan dan kesombongan” [HR Al-Bukhari]



Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA



PENDAHULUAN
Bulan suci ramadhan tak lama lagi akan tiba, dan nuansa religi ibadah dan perayaan hari raya Iedul Fitri mulai dirasakan umat Islam. Semangat ibadah dan kesucian hati yang selalu berkembang pada bulan suci ini pelan namun pasti mulai terasa di tengah-tengah masyarakat. Wajar bila, satu demi satu dari berbagai hal terkait dengan keduanya mulai semarak diperbincangkan.

Antusiasme umat Islam yang begitu besar terhadap kedatangan bulan suci Ramadhan dan hari raya Iedul Fitri sangat beralasan. Betapa tidak, bulan ini memiliki beribu-ribu keistimewaan dan mendatangkan berjuta-juta keberkahan.

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَانِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَنَادَى مُنَادٍ : يَابَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَابَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَاللَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُل لَيْلة

“Bila malam pertama bulan Ramadhan telah tiba, maka seluruh setan dan jin gentayangan di belenggu. Seluruh pintu neraka ditutup, tidak satu pintupun yang masih terbuka. Sebaliknya, seluruh pintu surga dibuka, dan tidak satu pintupun yang tertutup. Lebih dari itu, ada penyeru yang berkata. ‘Wahai para pencari kebaikan bergegaslah dan wahai pencari kejelekan berhentilah!. Dan pada setiap malam Allah memerdekakan sebagian hambanya dari ancaman siksa neraka” [HR, at-Tirmidzi dan lainnya]

Sebagaimana perayaan Iedul Fitri walaupun Anda lakukan setiap tahun, namun tetap saja mampu mendatangkan kebahagian yang tidak pernah dapat ditebus dengan apapun. Karena itu Anda senantiasa menanti-nantikan kesempatan ini, dan rela berkorban dengan apapun demi merasakan keindahannya di tengah-tengah keluarga. Biaya yang mahal, jauhnya perjalanan dan lelahnya menghadapi kemacetan jalan, dalam sekejap semuanya sirna bila Anda berhasil merasakan kehangatan Iedul Fitri di tengah orang-orang yang Anda cintai.

Hari besar ini tidak pernah surut mengobarkan kerinduan dalam batin Anda kepada kampung halaman dan kedamaian bercengkrama dengan keluarga. Iedul Fitri begitu istimewa dalam hidup Anda, karena terbukti mampu mengantarkan Anda kepada kenangan hidup keluarga semasa Anda kecil, namun dalam suasana dan keadaan yang berbeda. Betapa tidak, setelah Anda berhasil mewujudkan sebagian cita-cita dan merasakan indahnya sukses dalam urusan dunia, kenangan masa indah semasa kanak-kanak kembali bangkit. Kondisi semacam ini tentu terasa istimewa, sehingga Anda rela berkorban dengan apapun untuk mendapatkannya.

PENGORBANAN DEMI KENANGAN INDAH IEDUL FITRI
Indahnya nuansa berlebaran di tengah-tengah-tengah handai taulan tercinta di kampung halaman, terlanjur menguasai perasaan Anda. Akibatnya Anda tidak pernah menyoal berapapun biaya yang harus anda tanggung dan seberat apapun perjuangan yang harus Anda lalui.

Kondisi ini bukan hanya terjadi pada diri Anda seorang, namun juga terjadi pada seluruh umat Islam, termasuk penulis. Walau demikian tidak sepantasnya keindahan perayaan Iedul Fitri menjadikan kita lalai dan lupa daratan.

Benar Islam merestui Anda untuk bersenang ria dan menikmati hasil jerih payah Anda selama satu tahun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِى جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِى الأَنْصَارِ تَغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُوبَكْرٍ أَبِمُزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِى يَوْمِ عَيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا))

“Aisyah Radhiyallahu anhuma mengisahkan : Pada suatu hari raya, ayahku Abu Bakar Radhiyallahu anhu datang ke rumahku, sedangkan saat itu ada dua anak wanita kecil dari putri-putri kaum Anshar menyenandungkan slogan-slogan (yel-yel) kaum Anshar pada peperangan Bu’ats, namun keduanya bukanlah biduanita terlatih. Menyaksikan keduanya, ayahku Abu Bakar Radhiyallahu anhu langsung menghardik dan berkata, ‘Layakkah ada seruling-seruling setan di dalam rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mendengar hardikan ayahku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, sejatinya setiap kaum pastilah memiliki hari perayaan, dan hari ini adalah hari perayaan kita” [Muttafaqun ‘alaih]

Walau demikian, bukan berarti Islam membenarkan anda melampui batas sehingga perayaan Iedul Fitri Anda lepas kontrol dan tanpa ukur.

Pada suatu hari saya membaca suatu berita bahwa untuk menyambut perayaan Iedul Fitri tahun 1432H, BI menyiapkan dana tunai sebesar Rp 61,36 triliun. Namun pada kenyataannya, prediksi BI ini tidak tepat, bahkan jauh dari kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam kurun waktu sekitar 4 minggu ini, ternyata dana tunai yang diserap oleh masyarakat, terutama umat Islam mencapai angka fantastis. Tahukah Anda berapa jumlah yang diserap oleh umat Islam dalam waktu yang sangat singkat tersebut?

Deputi Direktur Pengedaran Uang BI, Bapak Adnan Djuanda menjelaskan bahwa hingga H-5 permintaan umat Islam terhadap uang receh telah mencapai Rp. 77 triliun. Angka ini jauh melebihi permintaan umat Islam pada periode sebelumnya yang mencapai 54,78 triliun. Dengan demikian permintaan pecahan uang kecil yang mencerminkan nilai belanja umat Islam mengalami peningkatan sebesar 12%

Walau demikian, sadarkah Anda bahwa banyak dari dana tersebut tidak mengalir ke kantung-kantung umat Islam, namun mengalir ke kantung-kantung umat lain. Silahkan Anda cermati pusat-pusat perbelanjaan yang paling banyak dibanjiri oleh umat Islam selama bulan Ramadhan, niscaya Anda dapatkan kebanyakannya milik umat lain.

Akan tetapi coba Anda amati hari-hari besar umat lain, adakah dari umat Islam yang turut menikmati berkahnya perayaan mereka?

Bila demikian adanya, mengapa selama ini umat Islam seakan-akan tidak perduli akan fakta ini ?

KEMANA UANG UMAT ISLAM SEBESAR ITU MENGALIR?
Angka di atas, mungkin tidak pernah anda bayangkan sebelumnya, namun itulah kenyataan. Dan disaat yang sama, mungkin Anda terheran mendapatkan fakta yang selama ini dilupakan oleh banyak orang. Kemampuan membelanjakan uang begitu besar dan dalam tempo waktu yang begitu pendek, adalah bukti nyata bahwa umat Islam sejatinya kaya

Bagaimana tidak kaya, angka di atas yaitu Rp 77 triliun hanyalah angka kasar, karena itu sebatas uang yang secara resmi dicairkan oleh BI. Adapun data tepatnya, yang mencakup uang yang oleh masyarakat disimpan di bawah bantal, atau brangkas pribadi, dan lainnya tidak ada yang tahu jumlahnya.

Andai dana begitu besar ini diinvestasikan pada proyek yang produktif, tentu dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang besar. Dan andai umat Islam menyisihkan sebagian dana yang di belanjakan untuk perayaan Iedul Fitri, guna menyantuni fakir miskin tentu banyak yang dapat terentaskan dari kemiskinan.

Coba Anda renungkan, bila dana sebesar 77.000.000.000.000 (77 triliun) dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin yang kebanyakannya beragama Islam niscaya mayoritas mereka terentaskan dari kemiskinan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rakyat miskin di Indonesia pada bulan Maret 2011 adalah 30,02 juta jiwa. Dengan demikian bila uang sebesar 77 triliun dibagikan kepada mereka maka masing-masing bisa mendapatkan paling sedikit 2,4 juta rupiah. Tentu uang sebesar ini bagi rakyat miskin sangat berarti dan bahkan bisa menjadi modal untuk usaha guna menyambung hidup keluarga mereka.

Namun kenyataannya dana tersebut dibelanjakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang bersifat konsumtif, sehingga tidak banyak memberikan nilai positif bagi kesejahteraan umat. Hanya segelintir orang, yaitu para pedagang yang dapat menikmati derasnya aliran dana umat.

Coba Anda kembali mengingat apa yang kemarin anda lakukan ketika merayakan Iedul Fitri. Berapa pasang baju baru yang Anda beli, sepatu atau sandal,dan berapa jenis makanan yang anda siapkan. Pada saat itu terkesan Anda seakan kekurangan baju yang layak pakai, dan seakan Iedul Fitri anda tidak sah bila tidak menyediakan hidangan dan kue yang beraneka ragam.

Tidak kah Anda ingat sabda Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيْلَةِ

“Makan dan minum, berpakaian dan bersedekahlah, tanpa ada sikap berlebih-lebihan dan kesombongan” [HR Al-Bukhari]

Lebih ironis lagi, perayaan Iedul Fitri telah beralih fungsi dari perayaan yang bernuansa ibadah dan syukur atas nikmat terlaksananya ibadah puasa, menjadi ajang pamer. Pamer baju baru, kue, perhiasan, kendaraan baru dan lain sebagainya.

Wajar bila nilai-nilai keimanan dan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari raya dari tahun ke tahun semakin luntur. Terlebih kesadaran tentang nilai-nilai ubudiyah kepada Allah Azza wa Jalla. Nilai ubudiyah yang terpancar pada kepatuhan Anda untuk menahan diri dari makan dan minum selama satu bulan penuh, lalu pada hari raya Anda dilarang dari berpuasa. Sebulan kepatuhan Anda diwujudkan dalam menahan diri dari makan dan minum, dan pada hari raya sebalikya, Anda beribadah dengan makan dan minum.

Ubudiyah kepada Allah Azza wa Jalla bukan terletak pada amaliyah lahir semata, namun lebih pada kepatuhan Anda kepada segala perintah dan larangan, apapun bentuknya. Ubudiyah bisa berupa makan dan minum, sebagaimana dapat terwujud pada menahan diri dari keduanya.

Namun, apa boleh dikata bila ternyata umat Islam lebih menekankan pada penampilan lahir, seakan Iedul Fitri hanya sekedar bersenang-senang dengan pakaian baru, dan hidangan enak.

Saudaraku! Renungkan penuturan Ummu ‘Athiyah, semoga Anda dapat membandingkan perayaan Iedul Fitri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shabat dengan perayaan Anda.

قَالَتْ يَارَسُوْلَ اللَّهِ عَلَى إِحْدَانَا بَأسٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ أَنْ لاَتَخْرُج؟ فَقَالَ لِتَلْبَسَهَا صَا حِبِتُهَا مِنْ جَلَبَابِهَا فَليَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Aku bertanya : Wahai Rasulullah, apakah kami berdoa bila kami tidak memiliki jilbab sehingga tidak turut menghadiri shalat Iedul Fitri? Maka Rasulullah menjawab : Hendaknya temannya meminjamkan jilbab kepadanya, sehingga ia turut serta mendapatkan kebaikan dan tercakup oleh doa-doa umat Islam” [HR Al-Bukhari]

Demikianlah, mereka merayakan Iedul Fitri, nilai-nilai ibadah lebih mereka tekankan, dibanding penampilan. Hari raya telah tiba, namun masih ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mempunyai jilbab yang dapat digunakan menutup auratnya ketika keluar rumah.

Walau tidak memiliki jilbab, mereka tidak putus asa untuk turut serta menyemarakan ibadah Iedul Fitri sebagai upaya mendapatkan berkah kepatuhan kepada Allah Azza wa Jalla.

Andai umat Islam di zaman sekarang kembali menekankan pada nilai-nilai ibadah dibandingkan penampilan, niscaya potensi dan kekayaan mereka tidak dihambur-hamburkan seperti saat ini.

Saudaraku! Camkanlah pepatah Arab berikut ini:

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمِنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ

“Bukanlah ‘ied itu milik orang yang berbaju baru, namun ied adalah milik orang yang ketakwaannya maju nan menderu”.

PENUTUP
Semoga paparan sederhana ini menggugah iman Anda, sehingga anda tidak menghamburkan uang hasil jerih payah Anda dalam hal-hal yang kurang bernilai. Semoga tulisan ini mengingatkan Anda bahwa hasil kucuran keringat Anda selama ini alangkah indahnya bila Anda titipkan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak pintu-pintu surga yang terbuka di sekitar Anda, namun betapa sedikit yang berhasil Anda raih dengan harta kekayaan Anda.

Wallahu ta’ala a’lam bisshawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Talfiq Dalam Pandangan Ulama



Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifudin


Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan (لَفَّقْتُ الثَّوْبَ) yang artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya. (Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.

PENGERTIAN TALFIQ
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid)[1], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam ‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah tersebut.

Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.[2]

Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang pada masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah.

RUANG LINGKUP TALFIQ
Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadi [3] yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, Pent.). Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.

Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.

HUKUM TALFIQ
Talfiq Yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat melanggar wilayah kesepakatan.

Misalnya seperti masalah ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwa‘iddahnya adalah (dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah yang paling jauh dari dua masa ‘iddah [4] . Maka tidak boleh memunculkan pendapat baru –misalnya- dengan menyatakan bahwa ‘iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.[5]

Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda. 1) Metode penolakan (al man’u) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode penetapan lawannya (itsbatul ‘aks).[6]

1. Metode Penolakan atau Peniadaan.
Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad, pent.).

Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini), tidak di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam (setelah mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad.

Demikian pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat dan tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya) tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya perbedaan pendapat yang banyak di antara mereka.

Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya. Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan bahwa –dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau telah sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan yang lain). Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang lain dalam bahasa Arab, misalnya.

Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang-orang awam[7], meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi umat [8] . Juga bertentangan dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syari’at Islam.

2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks).
Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab tertentu dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun mu’amalah. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syari’at serta kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusia

Contohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid kepada madzhab Imam Asy Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh kemaluannya setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah. Karena wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak sah karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut terpisah (antara satu dengan yang lain). Wudhu tersebut awalnya telah sempurna dengan bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai kemudian menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan (tetap dalam keadaan memiliki wudhu) dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu Hanifah hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan ibadah.

Adapun klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi [9], bahwa telah ada ijma’ yang melarang melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja (Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang didengar, atau cuma prasangka (zhan) saja. Karena, jika masalah tersebut sudah merupakan ijma’, seharusnya para fuqaha madzhab-madzhab lain pun akan menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara jelas perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama muta`akhirin terhadapnya (larangan talfiq). [10]

Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajj [11]- menyatakan: “Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa yang disukainya [12]. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang (awam) mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid –yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syari’at ini yang mencelanya, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang meringankan umatnya".

Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut tidaklah bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk menelitinya, tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan mengada-adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak berhak untuk mengatakannya.

Ibnu Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan Syaikh Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula ‘Allamah Abu As Su’ud memfatwakan kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam risalahnya yang berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq, sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah ‘Ala Asy Syarh Al Kabir. Allamah Al ‘Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu merupakan bentuk kelonggaran.[13]

Dan Jumhur ulama –di antaranya sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat bahwa Ijma’ yang dinukil oleh orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus diamalkan (karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.). Apalagi –dalam hal ini- mengklaim adanya ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan suatu masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata: “Sesungguhnya para ahli ushul berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar –menurut penelitian- adalah dibolehkan (melakukan talfiq)".

Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam, Pent.). Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [Al Hajj : 78].

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa’: 28].

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah : 185].

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ))

Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.[14]

Talfiq Yang Dilarang
Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan (secara qath’i atau pasti) seperti khamr (miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.). Jenis kedua ini ada tiga macam.[15]

1. Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan, Pent.) …… ”. [16] Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.

2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah), karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan.

3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang ditaklidinya.

Contoh keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih (paham tentang agama) berkata kepada isterinya “Saya mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itu- telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara dirinya dan isterinya tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa talaknya tersebut adalah talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya (yang telah ditalaknya) sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia sudah mengambil pendapat kedua dalam masalah yang sama.

Contoh keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya tentang (sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita)[17], maka ‘aqad (pernikahan) tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi sahnya pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam Asy Syafi’i yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya tersebut tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.) [18], maka tidak boleh dia melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara wajib yang telah disepakati.[19]

Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang telah dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan anak-anak yang dilahirkan (dari hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup setiap pintu yang dapat mengarahkan kepada upaya rekayasa (tahayul) seperti itu dalam segala masalah yang besar, seperti masalah pernikahan atau dalam setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan manusia atau kerusakan di atas muka bumi.

Adapun dalam urusan peribadahan dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at.

HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARI’AT (TAKALIF ASY SYAR'IYYAH)
Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu’ (cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan dengan urusan aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah ijtihad yang akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang menjadi dasar bagi taklid dan talfiq-.

Lantaran talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’ dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.[20]

1. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syari’at).
2. Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat.
3. Perkara-perkara furu' yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba.

Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan menjerumuskan kepada kebinasaan.

Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa) hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau tidak.

Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’) [21] (dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ))

Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[22]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tersebut.

Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[23]

Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan mereka.

Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud), menunaikan kewajiban harta dan pernikahan.

Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim :

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [Al Baqarah : 229].

Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah haram” [24] (kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at, Pent.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq menjadi terlarang.

Adapun masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana) dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah (yang bisa diterima).

Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at, Pent.). Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.

Sebagai tambahan, pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat (terpaksa) saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan syariat. Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti). Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Islam Merupakan Rahmat, Bukan Ancaman


Oleh
Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halaby


Saya tidak melupakan untuk menyebutkan satu hal yang nantinya menjadi pijakan tema sekarang ini, yaitu rahmat Islam dan rahmat Nabi Islam. Sungguh saya bisa merasakan dan melihat rahmat ada pada masyarakat muslim di negeri yang baik ini. Mereka mencintai Allah dan RasulNya, serta mencintai kebenaran yang datang dari Rabb dan RasulNya. Ini adalah keistimewaan yang tiada bandingannya. Sebuah etika yang sedikit sekali orang yang menghiasi dirinya dengannya pada masa sekarang ini. Dan memang semakin jauh masa dari masa nubuwwah, maka kebaikan semakin sedikit.

Seperti yang dikatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ

Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. [HR at Tirmidzi, no. 2132].

Maka, saya ucapkan selamat kepada Anda sekalian, atas etika yang baik ini, ketundukan kepada Allah dan RasulNya sebagai rasa pengagungan kepada Allah dan RasulNya. Dan saya mentazkiah (memuji) Anda sekalian dihadapan Allah.

Saya ingin menyampaikan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sesuatu ini nampak kontradiktif, akan tetapi merupakan sebuah kebenaran jika dijelaskan dan diterangkan. Hal tersebut tentang Islam adalah rahmat, Rabb kita adalah ar Rahim (Maha Penyayang) dan Nabi kita adalah rahmat bagi seluruh alam.

Adapun sisi kontradiksif yang ada dalam benak saya, bahwasanya masalah-masalah di atas termasuk perkara-perkara badahiy [2], yang jelas dan lebih jelas dari matahari pada siang hari. Kemudian, tiba-tiba kita harus menjelaskannya lagi sebagai wujud pembelaan terhadap Islam, penjelasan atas pemutarbalikkan kenyataan tentang Islam, dan penjelasan terhadap sebuah kondisi saat pandangan terhadap Islam sudah berubah.

Tidak disangsikan lagi, ini merupakan sesuatu yang merisaukan hati dan pikiran, kita menyaksikan fakta yang kontradiktif untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang sudah diimani, permasalahan yang jelas, yaitu agama ini (Islam) adalah rahmat, Allah Maha Penyayang dan Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga seorang penyayang. Karenanya, saya memohon kepada Allah agar berkenan menolong kita dalam memahami makna ini dan mengamalkannya.

Nash-nash dari al Qur`an dan Sunnah Nabawiyah yang menguatkan topik ini dan memantapkan penjelaskan ini sangatlah banyak, tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, kita harus menyebutkan sebagian, agar hati menjadi tenang dalam kebenaran. Dan akal pikiran serta jiwa merasa berbahagia dengan hidayah.

Nash yang paling agung yaitu, Allah mensifati diriNya sendiri bahwa Dia Dzat Yang Maha Penyayang. Sifat dengan nama ini, banyak terdapat di dalam al Qur`an. Cukuplah bagi Anda, sebuah nash yang Anda baca berulang kali dalam shalat sehari semalam sebanyak lebih dari sepuluh kali, agar pemahaman terhadap makna ini tertanam dan tertancap dalam hati dan perasaan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {1} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al Fatihah : 1-3].

Anda mengulanginya pada tiap raka’at, saat membaca basmalah dan membaca ayat kedua (dari surat al Fatihah), sehingga gambaran makna ini dan juga realisasinya, baik secara ilmiah atau amaliah bisa dilakukan (secara bersamaan) dalam satu waktu.

Allah juga mensifati NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sifat rahim (penyayang) itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :

بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

(Nabi Muhammad) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. [at Taubah : 128].

Nabi kita rahim (penyayang), sebagaimana juga Rabb kita Rahim (Maha Penyayang). Akan tetapi, rahim (kasih-sayang)nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam penghulu seluruh Bani Adam, sesuai dengan kebesaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sifat kemanusiaannya. Sedangkan Rahim (penyayang)nya Allah sesuai dengan keagunganNya dan kesempurnaanNya. Jadi rahmat (kasih-sayang) merupakan sifat Allah dan sifat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah dan RasulNya menginginkan agar rahmat ini menjadi nyata di muka bumi. Karena din (agama) ini merupakan din rahmat. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al Anbiya’ : 107].

Allah tidak mengatakan “ ... sebagai rahmat bagi kaum Mukminin,” namun Allah mengatakan rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia; bahkan rahmat ini terasa juga pada alam lain, yaitu alam jin dan malaikat.

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan tentang dirinya Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

Aku adalah rahmat yang dihadiahkan.[3]

Banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan kepada kaum Mukmin, kaum yang menyambut seruan Allah dan RasulNya, yang mengimani hukum Allah dan RasulNya, dan tunduk kepada hukum Allah dan RasulNya, agar menjadi orang-orang yang memiliki rasa kasih-sayang dan saling menyayangi, sehingga mereka akan disayangi oleh Allah Azza wa Jalla, bukan sekedar rahmat yang berbentuk angan-angan yang diimpikan oleh hati dan dilantunkan oleh lisan. Kalau hanya sekedar itu, maka ini bisa dilakukan oleh semua orang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {2} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [ash Shaf : 2,3].

Allah menginginkan kita menjadi orang-orang yang menyayangi dan saling menyayangi, lagi disayangi; bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi (dibuktikan) dengan amal; bukan sekedar ungkapan, akan tetapi (diwujudkan) dengan perbuatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang. Sayangilah orang yang ada di muka bumi, niscaya Dzat yang ada diatas langit (Allah) akan menyayangi kalian.[4]

Nabi juga bersabda :

ارْحَمُوا تُرْحَمُوا

Berbuat kasih-sayanglah kalian, pasti kalian akan disayangi [5]

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ

Orang yang tidak memiliki rasa kasih-sayang, tidak akan disayang.[6]

Semua nash di atas dan yang lainnya menegaskan makna rahmat, supaya membumi dalam kehidupan dan sistem yang dilaksanakan; saling menyayangi satu dengan yang lain, saling berlemah- lembut, saling menolong, terutama kepada orang yang diberi taufik oleh Allah, dan diberi petunjuk untuk memeluk Islam dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rahmat ini tidak akan bisa diwujudkan secara benar, kecuali dengan ilmu yang bermanfaat berlandaskan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Adapun rahmat tanpa dilandasi ilmu, tetapi dilandasi kejahilan, hanyalah sebuah perasaan yang berkutat di dalam dada, terkadang tidak sesuai dengan tempatnya; menjadi tidak jelas, dan ketidakjelasan ini membuahkan kesalahan besar.

Oleh karena itu Ahlus Sunnah itu berasal dari ahli ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah : “Ahlus Sunnah adalah orang yang paling tahu tentang al haq (kebenaran) dan paling sayang terhadap makhluk”.

Rasa kasih-sayang ini menuntut kita agar memberikan nasihat kepada orang lain, berlemah- lembut kepada mereka, dan menuntut Anda agar memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla, kembali ke jalan Allah sebelum mereka meninggal.

Rasa kasih-sayang (rahmat) ini menuntut Anda untuk memiliki rasa kepedulian (terhadap keselamatan makhluk) yang Anda ambil dari sifat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:

... حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

…(Rasulullah) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. [at Taubah : 128].

Semangat ini semestinya diiringi kelembutan dan kasih-sayang, yang merupakan ciri terbesar dan paling agung din (agama) ini, bukan kekasaran dan kekakuan, tidak dibarengi sikap ekstrim atau sikap berlebihan, tetapi, dengan kelembutan yang menjadi simbol agama ini.

Agar tidak ada orang yang berprasangka dan menduga bahwa rahmat (rasa kasih-sayang) ini hanya untuk kaum Muslimin saja, atau berlaku hanya di kalangan kaum Muslimin (saja), sehingga menyeretnya kepada kebatilan, maka saya perlu menyebutkan beberapa nash dari hadits Nabi yang menerangkan rahmat ini dan cakupannya. Rahmat ini bukan hanya bagi kaum Muslimin saja, akan tetapi juga bagi orang-orang kafir; bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk bangsa hewan sekalipun.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemimpin para da’i (mubaligh) dan pemimpin orang-orang yang bersabar terhadap berbagai macam siksa dan cercaan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabar menghadapi permusuhan dan penyiksaan, serta mendoakan kebaikan atas pelakunya. Ketika orang-orang kafir dahulu melukai kepala beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, membuat beliau mengeluarkan darah, dan saat mereka mematahkan gigi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberikan balasan buruk kepada mereka, tetapi, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menginginkan rahmat buat mereka, karena beliau adalah rahmat. Rasulullah berdoa saat itu :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Ya, Allah. Ampunilah kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui.[7]

Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam disiksa dan disakiti oleh mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَمَا أُوذِيَ أَحَدٌ فِي اللَّهِ مِثْلَ مَا أُوذِيْتُ

Tidak ada seorang pun yang disakiti di jalan Allah sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku.[8]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesabarannya Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :

لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يُوَحِّدُ اللَّهَ

Semoga Allah mengeluarkan kaum yang mentauhidkan Allah dari tulang punggung (keturunan) mereka.[9]

Kesabaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berperan besar dalam penyebaran din ini, menempati andil besar dalam membimbing umat melalui amal nyata, bukan sekedar teori sebagaimana yang dikatakan pada masa ini. Bahkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rahim (memiliki rasa sayang) dalam situasi peperangan dan sedang berhadapan dengan para musuh Islam. Peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi perang penebusan; peperangan untuk menebarkan sendi-sendi kasih-sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam, kedua adalah membayar jizyah (pembayaran sebagai ganti jaminan keamanan), dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin. Jika orang-orang kafir tidak mempedulikannya, tetap mengganggu dan menyakiti kaum Muslimin, maka mereka harus diperangi, dan ini pun harus dengan perintah dari penguasa dan para ulama yang saling bahu-membahu dalam menolong din Allah ini. Tetapi, kalau yang berinisiatif mengobarkan peperangan adalah individu-individu, maka perlu dimengerti, bahwa masalah memobilisasi perang bukanlah hak per individu. Allah berfirman :

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. [al Baqarah : 190].

Inilah sendi-sendi din Islam dalam keadaan damai maupun perang, juga ketika sedang berhadapan dengan musuh. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengarahkan para komandan supaya berbuat rahmat (kasih sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:" Janganlah kalian membunuh anak kecil, orang yang sudah renta, jangan membunuh para rahib di gereja, dan janganlah kalian mematahkan pepohonan".[10]

Allahu Akbar!!! Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, inilah karakter beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan membabi buta, apatah lagi menjadi tujuan, atau menjadi sesuatu yang digemari atau yang beliau perintahkan?

Pembunuhan dengan membabi-buta tidak pernah diridhai oleh Rabb kita dan Rasul kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin meridhai? Pembunuhan dengan membabi-buta, hanya akan mendatangkan masalah dan tertumpahnya darah yang sangat disesalkan hati nurani manusia, apalagi oleh Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan akhlak dan sendi-sendi ini, Islam mendapatkan keutamaan, Islam menjadi yang terdepan dan memiliki peran dalam menancapkan pondasi, atas apa yang mereka sebut menyuarakan hak-hak asasi manusia dan yang mereka sebut hak-hak asasi hewan. Sebelum ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, sebelum peradaban Barat, dan sebelum sarana komunikasi mengalami perkembangan yang saat ini dirasakan oleh berbagai belahan dunia, Islam terlebih dahulu menyuarakan hak-hak manusia dan hak-hak hewan. Bagaimanapun mereka berusaha mendahului, berusaha mengunggulkan peradaban mereka dan berusaha merealisasikan makna-makna dan ajaran-ajaran ini, maka Islam tetap yang terdepan.

Islam terdepan dalam menanamkan sendi-sendi yang luhur, dan selanjutnya merealisasikannya dalam kehidupan nyata, dalam sejarah masa lalunya, sekarang ini dan pada masa yang akan datang, insya Allah Azza wa Jalla. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian berbuat baik kepada segala sesuatu. Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum qishash), maka perbaikilah cara pelaksanaannya. Jika kalian melakukan penyembelihan hewan, maka berbuat baiklah dalam penyembelihan. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan binatang sembelihannya. [11]

Inilah akhlak yang ditampilkan dalam mu’amalah seorang muslim, mu’amalah dalam Islam, hingga dalam hal pemotongan hewan. Lalu bagaimana dalam mu’amalah dengan manusia yang diterangkan sifatnya oleh Allah Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. [al Israa’ : 70].

Dengan apa Allah memuliakan mereka? Dengan apa Allah mengunggulkan mereka? Tidak lain, kecuali dengan menunjukkan mereka kepada din Allah yang haq, memberikan petunjuk kepada mereka agar menjadi da’i menuju jalan Allah Azza wa Jalla. Sehingga mereka menjadi orang yang shalih dan mengadakan perbaikan bagi yang lain. Ini merupakan penghargaan yang teramat tinggi. Ini pulalah yang masih banyak, bahkan kebanyakan hilang dari manusia, kecuali manusia mau bertaubat kepada Allah. Dan ini, jika Allah tidak memberikan pentunjuk, maka tidak akan ada yang memberikan petunjuk selain Allah Azza wa Jalla.

Supaya gambaran ini menjadi sempurna dan kebenaran menjadi jelas, saya perlu mengingatkan, bahwa makna rahmat (kasih-sayang) dan lemah-lembut tidaklah bertentangan dengan ‘izzah (keperkasaan) seorang muslim. Rasa kasih-sayang seorang muslim tidak boleh menyebabkannya tunduk, kecuali kepada al haq (kebenaran) dan (tidak boleh) merendahkan diri, kecuali kepada kaum Muslimin. Rasa kasih-sayang memiliki tempat tersendiri; begitu juga dengan ‘izzah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ (فَذَكَرَ مِنْهَا) وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga hal, barangsiapa memiliki ketiga hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman ... (lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkannya, salah satunya yaitu) ... tidak mau kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran, sebagaimana dia tidak mau dicampakkan ke dalam api. [12]

Ini termasuk ‘izzah seorang muslim dengan keimanannya, tidak tunduk kepada selain Allah Azza wa Jalla. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada seorang mukmin yang lemah. Dan masing-masing memiliki kebaikan [13]. Masing mendapatkan kebaikan sesuai dengan kekuatan (yang dimilikinya).

Jadi kekuatan, perasaan tinggi, merasa perkasa, (itu) memiliki tempat tersendiri. Sama sekali tidak bertentangan dengan ketundukan seorang muslim kepada Rabb-nya, bukan tunduk kepada musuhnya. Sifat kasih-sayang ini tidak bertentangan dengan perintah Allah kepada NabiNya :

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. [at Tahrim : 9]

Juga tidak bertentangan dengan sifat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada kaum Mukminin, bahwa mereka itu,

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. [al Fath : 29]

Ketegasan sikap yang terdapat dalam firman Allah Azza wa Jalla di atas memiliki saat dan tempat tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa tempatnya adalah pada urutan ketiga, bukan urutan pertama. Karena orang yang tidak mau menerima ajakan masuk Islam, pada tahapan pertama; dan tidak menghiraukan peringatan, urutan kedua; berarti dia adalah orang yang enggan menerima kebenaran dan berlaku semena-mena terhadap makhluk, maka dia berhak mendapatkan sikap keras ini. Dan dalam sikap keras terdapat pelajaran bagi orang-orang yang lain. Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَشَرِّدْ بِهِم مَّنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. [al Anfal : 57].

Begitulah, sikap keras ini juga mengandung pembelajaran tentang rahmat (kasih-sayang), supaya orang-orang yang sombong itu berhenti dari kesombongannya. Karena pelajaran bagi mereka sudah cukup untuk mendidik jiwa.

Untuk memperjelas, saya bawakan permisalan, dan permisalan yang paling tinggi hanyalah milik Allah. Tidakkah Anda perhatikan, saat Anda mengajari anak Anda dan mendidiknya; jika ia gagal, Anda memberikan peringatan. Jika dia tetap dalam keadaannya, maka Anda akan memukulnya.

Ya, itu memang sebuah pemukulan yang menyakitkan, akan tetapi, (hal) itu untuk tujuan pendidikan, bukan pukulan yang mengandung dendam, tetapi, sebuah pukulan yang mengandung kebaikan. Begitu pula sikap keras dalam Islam, dia memiliki saat dan tempat tersendiri yang mengandung kasih-sayang dan sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al Anbiya’ : 107].

Akhirnya, saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang penyayang dan menjadi orang-orang yang mendapatkan kasih-sayang, menjadi orang yang mengajak manusia menuju Kitab Allah, menjadi orang yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, (menjadi) orang yang berpegang teguh dengan tali Allah, menjadi orang yang tunduk kepada tauhidNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Transkip ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta pada tanggal 19 Februari 2006 M
[2]. Aksioma, sudah menjadi hal yang diterima.
[3]. HR Imam ad Darimi
[4]. HR Imam Tirmidzi.
[5]. HR Imam Ahmad.
[6]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[7]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[8]. Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, yaitu :

وَلَقَدْ أُوذِيتُ فِي اللَّهِ وَمَا يُؤْذَى أَحَدٌ

Dan sungguh aku pernah diganggu di jalan Allah, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya.

[9]. Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

... بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Akan tetapi, saya berharap semoga Allah mengeluarkan orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak melakukan kesyirikan, dari tulang punggung (keturunan) mereka.

[10]. Hadits yang senada, terdapat dalam riwayat Abu Dawud :

... وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا امْرَأَةً ...

… dan janganlah kalian membunuh orang tua renta, anak kecil dan juga kaum wanita.

[11]. HR Imam Tirmidzi, Imam Nasa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
[12]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[13]. HR Imam Muslim.


Kejayaan Hanya Milik Islam


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali


Sesungguhnya termasuk hal yang sangat menggembirakan, kita bisa bersua kembali dalam masjid ini, di universitas ini, di tengah saudara-saudara kami, kita bersatu dikalimat yang sama, yaitu kalimat tauhid dan di atas kebesaran Islam. Tema kita di pagi hiri yang cerah ini ialah kebesaran milik Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman. Maksudnya, kebesaran hanya milik Islam semata.

Dalil-dalil yang menunjukan bahwa kejayaan hanya milik Allah, RasulNya dan kaum muslimin serta Islam banyak sekali. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui. [Al-Munafiqun : 8]

Ayat ini menegaskan bahwa kejayaan hanya milik Allah, RasulNya dan kaum mukminin.

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَن يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

Janganlah kamu merasa lemah dan meminta perdamaian, padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. [Muhammad : 35]

Dan sudah di ketahui bagi orang yang mendalami Al-Quran, ia menetapkan bahwa kalimatullah adalah paling tinggi, sedangkan kalimat orang kafir berada dalam tingkat yang paling rendah. Jadi kebesaran milik Islam dalam kitabullah. Demikian juga, hal ini di tegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga pernyataan dari generasi salaf, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لَا يَنْبَغِي لِمُسْلِمٍ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ

Tidak selayaknya seorang mukmin menghinakan dirinya” [Hadits Riwayat Ahmad]

Ini dalil agar setiap muslim merasa mulia dengan agamanya. Karena Islam mengajarkan al ‘izzah kepadanya.

Perhatikan dialog antara Abu Sufyan yang masih dalam kekufurannya -padawaktu itu- dengan Umar bin Khaththab, tatkala kaum musyrikin mendapatkan kemenangan dalam perang uhud.

Abu Sufyan berkata: Agungkanlah Hubal, kemudian nabi memerintahkan Umar bin Khaththab untuk menyanggah dengan (perkataan) : ”Allah lebih besar dan lebih tinggi”.

Ini merupakan sebagian dalil dari al kitab dan as Sunnah yang menunjukan bahwa izzah (kebesaran) hanya milik Allah, RasulNya dan Islam.

Apabila kita telah mengetahui bahwa kebesaran itu milik Islam, apakah yang dimaksud dengan izzah dalam Islam, dan bagaimana Islam bisa mengangkat kaum muslimin dari konsep kebesaran jahiliyah menuju kosep izzah imani. Renungkanlah ayat ini, kita lihat dan bandingkanlah. "Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al–Munafiqun : 8]

Lihatlah, Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafqin dalam perang bani Musthaliq. Setelah orang-orang pulang dari perang tersebut –termasuk Rasulullah- dia memunculkan ide penyebaran hadits ifk (berita palsu). Dia menuduh ummul mukminin ash Shiddiqah bin ash Shiddiq (‘Aisyah) dengan tuduhan zina. Wal iyyadzu billah.

Lihatlah, ia mengalihkan peperangan ke rumah beliau, pada kehormatan beliau. Dalam suasana panas penuh isu, simpang-siur sarat berita bohong, orang munafik ini ingin memanfaatkan kesempatan ini, atau ingin menghantam beliau, atau ingin memancing dalam air keruh.

Pada situasi demikian ia mengatakan: لَئِن رَّجَعْنَآ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ (Sesungguhnya jika telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya). Yang ia maksud dengan orang yang kuat adalah dia sendiri. Sedangkan yang ia maksud orang yang lemah adalah Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah konsep izzah dalam kaca mata jahiliyah, membanggakan diri, membanggakan kedudukan sosial, dengan nasab, nenek moyang, golongan, banyaknya pengikut, banyaknya harta, dengan jabatan dan harta. Inilah izzah menurut jahiliyah.

Dalam masalah berita palsu ini, Allah tidak membiarkan ada orang yang membantah para penyebar isu berita palsu tersebut. Yang membantah adalah langsung Allah sendiri. Allah merehabilitasi nama baik Ummul Mukminin dalam sebelas ayat pertama dari surat An-Nur. Sementara di dalam surat Al-Munafiqin, Allah membantah Abdullah bin Ubay bin Salul (dengan firmanNya).

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi RasulNya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [Al-Munafiqun : 8]

Firman Allah ini seolah-olah mengatakan, tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dialah yang maha perkasa dan bijak, Maha kuat dan perkasa.Tidak ada kebesaran, kecuali milik Allah. Tidak ada kejayaan, kecuali bersama dengan Allah.

Siapa saja yang tergantung dengan yang maha kuat, niscaya ia menjadi insan yang kuat. Oleh karena itu, Rasulullah berpegang dengan Allah, sehingga ia menjadi kuat. Dan demikian pula dengan kaum mukminin, mereka berpegang kepada Allah dan RasulNya, mereka menjadi insan–insan yang kuat.

Inilah makna izzah dalam kosep imani, bangga diri dengan agama, dengan Allah, Rasul, amal shalih, ilmu yang bermanfaat, serta dakwah kepada Allah. Lihatlah, bagaimana konsep Islam mengangkat manusia dari permukaan bumi menuju ketinggian izzah. Menuju tingginya tekad. Kendatipun jasad-jasad mereka bersentuhan dengan yang ada di bumi, tetapi jiwa-jiwa mereka terikat dengan malail a’la (majlis yang paling tinggi), dengan kenikmatan-kenikmatan yang ada di sisi Allah. Jadi izzah milik Islam.

Apakah (yang menjadi) sumbernya?
Sudah kami katakan tadi, bahwa tidak ada kebesaran kecuali milik Allah. Dan siapa saja yang bersama dengan yang maha perkasa, ia menjadi perkasa Dan siapa saja yang mencari kejayaan dengan selain Allah, niscaya akan hina.

Faktor paling besar yang mendukung kukuhnya izzah ini, adalah aqidah Islamiyyah. aqidah ini bertumpu pada tauhidullah (mentauhidkan Allah), terhadap dzatNya, tindakan-tindakanNya dan asma wa sifatNya,Tidak ada dzat yang berhak di sembah kecuali Allah. Karena itu, barang siapa menyambah Allah, ia menjadi insan yang perkasa. Dan orang yang meyekutukan Allah, akan menjadi manusia hina. Allah-lah yang mengangkat derajat atau menghinakan seseorang. Allah berfirman .

وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ

Dan Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. [Ali–Imron : 26]

Barang siapa konsisten pada aqidah yang benar dan tauhid yang lurus, niscaya Alloh akan memuliakannya dengan aqidah dan agama ini. Dan barang siapa yang menyimpang darinya, hendaknya tidak mencela kecuali dirinya sendiri saja.

Faktor lain yang juga dapat mewujudkan ‘ izzah adalah manhaj. Oleh karena itu, Alloh berfirman.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata : “Sesungguhnya aku termsuk orang–orang yang berserah diri.” [Fushiliat : 33]

Lihatah, setelah ia berpegangan dengan manhaj dan dakwah, kemudian mempunyai rasa bangga dengan agama. Dia mengumandangkan suaranya, bahwa ia seorang muslim, termasuk yang bertauhid kepada Allah dan mengikuti Allah dan RasulNya. Firman Allah :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا

(Dan siapakah yang lebih baik perkataannya …), maka jawabannya, tidak ada seorang pun yang lebih baik darinya. Dalam ayat ini Allah mengikat dakwah dengan manhaj. Baru kemudian mengerjakan amalan shalih. Setelah itu, akhirnya ia bangga dengan Islam.

Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat diterimanya amalan shalih, ada syarat sah dan syarat kamal (kesempurnaan).

Tentang syarat sah diterimanya amal adalah ikhls bagi Allah dan ittiba’ kepada Nabi. Sedangkan syarat kesempurnaannya amal ialah.

Pertama : Seseorang harus menggenggam agamanya dengan kuat. Allah berfirman.

يَا يَحْيَىٰ خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ

Hai, Yahya. Ambillah Al–Kitab (Taurat) itu dengan sungguh–sungguh. [Maryam : 12]

Allah berfirman :

خُذُوا مَا آتَيْنَاكُم بِقُوَّةٍ

"Pegangilah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu” [Al–Baqarah : 63]

Dan yang dimaksud dengan quwwah ini adalah berbangga diri dengan agama Islam.

Kedua : Tidak malas beramal shalih dan menyegerakan diri dalam mengerjakan amal kebaikan maupun ketaatan.

Sumber kemuliaan Islam yang lain, yaitu menjadi seorang muslim yang mempunyai ciri khas tersendiri dalam aqidah, cara–cara beribadah, penampilan lahiriah atau batiniah.

Dalam seluruh aspek, seorang muslim memiliki ciri khas tersendiri. Umat Islam memiliki nilai istimewa dengan menonjolnya kebaikannya. Allah berfirman :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” [Al–Imran : 110]

Memiliki nilai tersendiri sebagai umat yang adil dan pilihan. Allah berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kami (umat Islam), sebagai umat yang adil dan pilihan” [Al–Baqarah : 143]

Mereka menjadi saksi–saksi Allah di bumi. Lihatlah nilai istimewa yang dimiliki kaum Muslimin dalam ayat.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang–orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan kepada mereka, bukan (jalan) yang dimurkai Allah (yaitu : Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (yaitu : Nashara” )" [Al–Fatihah : 6–7]

"Tunjukilah kami wahai Rabb ke jalan yang benar dan lurus, bukan jalan orang–orang yang dimurkai Allah, yaitu kaum Yahudi. Juga bukan jalan orang–orang yang sesat, yaitu kaum Nashara. Seorang muslim berbeda dengan Yahudi dan Nashara, penganut agama dan golongan lain. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salaam melarang tasyabbuh (berserupa) dengan orang–orang kafir. Larangan itu tertuang dalam nasihat beliau yang sangat mengagumkan.

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Aku diutus dengan pedang, saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah. Ditimpakan kehinaan dan kerendahan pada orang yang menentang perintahku. Rezekiku ditetapkan berada di bawah ujung tombak. Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya ia termasuk dari mereka” [Hadits Riwayat Ahmad]

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ

“Aku diutus dengan pedang saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah”

Ini adalah ‘izzatul Islam. Kita memperjuangkan Islam sampai orang–orang menyembah Pencipta mereka. Kita berjuang untuk mengeluarkan orang–orang dari kegelapan menuju cahaya. Kita memperjuangkan Islam dengan kata–kata, dakwah, dengan hujjah dan burhan sebelum memasuki perjuangan dengan pedang, di setiap tempat dan moment.

Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa salaam mengatakan :

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ

(Aku diutus dengan pedang, saat hari Kebangkitan sudah dekat, supaya Allah saja yang disembah).

Jadi, kita berjuang sampai orang–orang menyembah Allah, yang menciptakan mereka.

وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

(Ditimpakan kehinaan dan kerendahan pada orang yang menentang perintah Ku). Jadi barang siapa mengikuti perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan menggenggam izzah (kebesaran) dan rif’ah (ketinggian kedudukan). Barang siapa menentang manhaj Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam, ia akan ditimpa kehinaan. Setelah itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan. وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, niscaya ia termasuk dari mereka). Maksudnya, barang siapa menyerupai musuh, niscaya akan terhina. Barang siapa silau dengan para musuh, ia akan tersesat. Barangsiapa mengikuti manhaj para musuh, ia akan terhina. Tetapi, orang yang mengikuti manhaj Nabi, tidak ada kesesatan dan tidak ada kehinaan yang menimpanya. Ringkasnya, seorang muslim harus berbeda jati dirinya dari orang lain, dalam hal aqidah, jati diri dalam setiap urusannya. Insan yang mandiri. Tidak ke timur juga tidak ke barat.

Bagaimana kita mengetahui bahwa Islam itu besar di mata manusia atau sebaliknya ? atau bagaimana kita mengetahui bahwa kaum muslimin itu agung atau lemah ?

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa kemuliaan Islam ada di tengah kehidupan kaum Muslimin dan kemuliaan kaum Muslimin ada di tengah umat manusia.

Bukti kemuliaan Islam yang pertama. Semaraknya dan tersebarnya panji–panji Islam yang banyak.

Jika Anda ingin mengetahui tegaknya izzah Islam di tengah kaum Muslimin, maka perhatikanlah, apakah syiar–syiar agama, seperti adzan, shalat, pelaksanaan rukun Islam, amar makruf nahi mungkar terlihat jelas di tengah kaum Muslimin ? Apakah berwasiat dalam kebaikan dan kesabaran ada di tengah kaum Muslimin ?

Kalau Anda melihat nilai–nilai ada, melihat amal shalih, ilmu yang bermanfaat ada. Jika anda menyaksikan kondisi–kondisi seperti ini dan akhlak yang shalih ada, berarti manusia dalam keadaan baik, dan agama Islam masih dalam keadaan mulia.

Oleh karena itu, Rasulullah menghubungkan kemuliaan Islam dengan pelaksanaan syiar–syiar agama Islam, berkembangnya Sunnah di kalangan umat Islam. Dan anda sekalian mengetahui, bahwa orang yang berpuasa, tatkala matahari telah terbenam, maka hendaknya langsung berbuka. Sebabnya, menyegerakan berbuka puasa termasuk sunnah. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Agama ini senantiasa akan tegak, selama orang–orang menyegarakan berbuka puasa”

Sabda beliau yang lain : “Agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa”

Disini, beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam menghubungkan tegaknya agama dengan tumbuhnya syiar–syiar agama. Kalian melihat ada semangat emosional bagi Islam. Orang–orang masih memilikinya, alhamdulillah, belum padam. Tetapi kita menginginkan tumbuhnya syiar–syiar Islam dalam kehidupan nyata kaum Muslimin. Kita ingin semangat yang ada di kalbu umat tersebut menjelma menjadi tumbuhnya syiar–syiar Islam.

Lihatlah, kasus sang pelukis kafir tatkala berbuat aniaya terhadap Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salalm, melukis karikatur–karikatur buruk lagi dusta yang melecehkan beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam. Di timur dan barat, utara dan selatan, umat tergerak untuk mengingkarinya. Sebagian tindakan mereka dapat dibenarkan syariat. Namun sebagian yang lain tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ada pemboikotan kepada negara–negara kafir dalam bidang ekonomi. Ini berarti masih ada semangat agama pada mereka. Kita tidak ingin ini saja. Tapi bersama ini, kita ingin tegaknya syiar–syiar agama.

Kita memang mencintai Rasulullah dengan sepenuh perasaan kita. Tapi pembelaan kita yang hakiki kepada Rasul adalah membela Sunnah Rasul, dengan menghidupkan sunnahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan pertolongan kepada orang yang menolong agamaNya.

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar–benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al–Hajj : 40]

Barang siapa yang menolong agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah membelanya. Barang siapa menolong Rasul, niscaya Allah akan membelanya. Allah berfirman.

وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

“Dan kami sekalian menguatkan (agama) nya dan menghormatiny” [ Al–Fath : 9]

Menurut mayoritas ulama tafsir, kata ganti ketiga (pada ayat di atas) ini mewaikili Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Kalau umat ingin benar–benar membela Rasul, maka harus konsisten dengan agamanya. Kita mendukung adanya pemboikotan produk musuh. Tetapi sebelum itu, kita harus memboikot pemikiran musuh, kebudayaan barat, aqidah musuh, kebudayaan asing. Dengan ini, syiar–syiar agama akan terlihat di tengah khalayak.

Tanda Kemuliaan Umat Yang Lainnya.
Yaitu adanya sikap mandiri, tidak bergantung kepada umat lain ; sebagai umat merdeka dengan aqidah, manhajnya, ekonominya, kebudayaannya, tidak meniru barat, umat kafir atau umat lainnya. Bukan berarti kita tidak boleh mengambil manfaat dari produk ilmu–ilmu mereka. Imu–ilmu teknologi tersebut bukan monopoli mereka saja, milik siapa saja, dapat diraih oleh siapa saja yang menekuninya. Dan umat Islam, diperintahkan untuk menyatukan dua kebaikan, dunia dan akhirat.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [Al–Qashash : 77]

Jadi, seorang mukmin beramal untuk akhiratnya, dengan amal shalih ; dan beramal untuk dunia, dengan membangunnya. Oleh karena itu terlihat kembali hadits Nabi Shalallahu 'slaihi wa sallam. “Agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa.”

Siapakah yang menunggu terbitnya bintang–bintang saat akan berbuka puasa ? (Mereka) ialah : Yahudi dari orang kafir dan golongan Rafidhah (Syi’ah). Artinya, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, apabila umatku menunggu terbitnya bintang–bintang untuk berbuka puasa, maka mereka telah mengekor umat lain yang mengakibatkan jati diri umat ini menjadi lemah.

Tanda Kemuliaan Islam Yang Lain.
Orang–orang memberlakukan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada denyut kehidupan mereka, para penguasa menetapkan Al–Qur’an dan As–Sunnah sebagai aturan perundang–undangan. Karena, aplikasi syari’at hukumnya wajib dan fardhu ‘ain atas setiap muslim. Perhatikanlah sabda Nabi.

ألَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin ditanya tentang pertanggung jawabannya”

Dari sini, setiap muslim adalah pemimpin. Dan sebagai pemimpin, bertanggung jawab untuk menerapkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa Salaam. Jadi, menegakkan hukum Allah sebagai undang–undang adalah wajib, fardhu ‘ain sesuai kedudukan dan tanggung jawabnya. Allah berfirman.

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Dan tentang perkara apa saja yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” [Asy-Syura : 10]

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

“Menetapkan hokum itu hanyalah hak Allah” [Al-An’am : 57]

Jadi, penerapan syari’at, hukum Allah dan penegakan Negara Islam merupakan kewajiban atas umat Islam. Sedangkan meremehkan atau lemah dalam mengusahakan masalah ini, tidak akan membuahkan hasil sama sekali. Tetapi dalam hal menyeru kepada hal ini, harus sesuai dengan metode Nabi. Kita menyeru agar ditetapkan syarat, agama dan hokum Allah dengan cara Rasulullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu, dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [An-Nahl : 125]

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]

Jadi, kita menyeru dengan hujjah, burhan, dalil dan penjelasan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menegakkan sebuah Negara Islam, tetapi tidak dengan pedang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menegakkannya tatkala berhasil menanamkan aqidah pada umat. Setiap umat yang telah berhasil mengekkan tauhid dan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan mereka, niscaya Allah menegakkan daulah Islam di negeri mereka.

Oleh karena itu tatkala Nabi menawarkan dakwah Islam kepada kabilah-kabilah saat musim haji, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan. “Katakanlah sebuah pernyataan! Dengan itu, bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan kalian akan menguasai bangsa Asing. Katakanlah Laa Ilaaha Illa Allah, niscaya kalian akan selamat”.

Jadi umat yang menegakkan tauhid, menegakkan sunnah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugrahkan kekuasaan bagi mereka di bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku” [An-Nur : 55]

Istikhlaf dan Tamkin (kekuasaan dan kemenangan) adalah sebuah janji dari Allah bagi orang-orang beriman yang berusaha. Kemudian lihatlah :

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ

(Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Allah ridhai untuk mereka)

Sebelum Allah menegakkan Negara di bumi, Allah menegakkan agama di hati manusia. Tatkala agama telah tertanam di hati kita masing-masing, kita sudah menegakkan hukum Allah di hati masing-masing, kita telah menegakkan hukum Allah dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan kita, niscaya Allah akan memberikan anugrah berupa Istikhlaf dan Tamkin.

Apakah Islam Akan Kembali Agung Seperti Semula ?
Perkara ini telah di beritahukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ وَأَهْلَهُ وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْشِّرْكَ وَأَهْلَهُ

“Agama ini akan menyebar sejauh jarak yang dicapai malam dan siang, dengan kemulian orang yang mulia dan kehinaan orang yang terhjina ; yaitu kemuliaan yang dengannya Allah akan memuliakan Islam dan penganutnya, dan menghinakan kesyirikan dan pengikutnya”.

(Dalam hadits ini) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Islam, meskipun tertekan dalam kehidupan manusia dan lemah di jiwa sebagian kaum muslimin, (tetap ia) akan kembali agung, menang, bercahaya sebagaimana disebutkan Rasul dalam hadits yang mulia. Ini juga menunjukkan, masa depan hanya milik Islam. Tidak syak lagi, ini pasti datiang dan tiba, tidak bisa tidak ! Karena kita mengimani Allah dan RasulNya. Maha Benar Allah, demikian juga RasulNya. Peristiwa yang diberitahukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti tiba, tidak ada yang bisa mengingkarinya.

Tapi ada faktor-faktor yang menghalangi menuju kebesaran Islam dan jalan ke sana, di antaranya yang paling penting ialah.

Pertama : Fanatisme Daerah Dan Sukuisme
Di tengah kaum muslimin tumbuh seruan-seruan kepada fanatisme daerah dan sukuisme. Seruan ini telah mencerai beraikan kaum muslimin. Juga merupakan perkara yang menekan dan menghinakan mereka.Bangsa Arab menyeru kepada fanatisme golongannya sendiri. Demikian juga bangsa Persia, Turki. Bangsa Urdu berperang untuk memperjuangkan fanatisme golongannya. Kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagi macam golongan. Bahkan dalam satu golongan pun bercerai berai, muncul banyak faksi. Satu pihak menyeru ke arah selatan dan pihak lainnya menyeru kea rah utara. Ini menyeru kepada barat dan itu menyeru kea rah timur, padahal mereka berasal dari negara yang sama, keturunan yang sama.

Kaum muslimin bercerai berai menjadi berbagai golongan dan sekte, padahal sebelumnya mereka adalah umat yang satu. Tatkala mereka terpecah belah, maka kekuatannya melemah dan menjadi pengekor musuh serta makanan yang diperbutkan musuh-musuh Islam. Inilah sebagian penghalang yang menghadang jalan menuju keagungan Islam.

Dengan pandangan yang tajam, kita bisa mengetahui dampak yang muncul bahwa penguasaan yang dilakukan orang-orang kafir bukan berbentuk dzati, tetapi merupakan penguasaan yang sifatnya efek dari kejadian lainnya. Maksudnya, lantaran kelemahan iman dan kelemahan umat Islam. Kita melihat factor penunjang kekuatan barat adalah kekuatan politik militer dan ekonomi serta kelemahan kaum muslimin.

Kalau kita memperhatikan kekuatan politik barat, ternyata konsep politik mereka telah terbuka kedoknya, terbongkar boroknya, politik yang tertumpu pada dusta, nifak, memainkan standard yang pincang, mengukur dengan timbangan ganda, memainkan dua benang. Mereka menuntut penerapan sesuatu, tetapi justru mereka yang mempecundanginya. Mereka menuntut negara-negara Islam menerapkan demokrai, tetapi ketika negara-negara kaum muslimin memenangkannya, mereka mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa politik mereka bedasarkan kedustaan dan kepalsuan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka kedok mereka.

Mari kita lihat kekuatan ekonomi barat. Kekuatan ekonomi mereka hancur. Kekuatan ekonomi mereka menjadi kuat lantaran menguasai kekuasaan alam negara-negara Islam, mengeruk kekayaannya. Mereka menjajah negara-negara Islam. Minyak bumi kita, mereka rampok. Emas-emas kita, mereka curi. Minyak bumi dan kekayaan negara kita dikeruk, dijual dipasar dengan nilai rendah. Tidak ada yang mengetahui berapa banyaknya kecuali Allah.

Adapun kekuatan militer mereka, Allah-lah yang akan mengatasinya. Lihatlah, di penghujung abad sebelumnya, ada dua kekuatan yang menguasai dunia. Kekuatan Timur yang terwakili oleh kekuatan komunisme Soviet dan kekuatan Barat yang kapitalisme dengan Amerika sebagai pemimpinnya.

Bagaimana Uni Soviet bisa terkoyak, padahal memiliki persenjataan yang canggih? Allah mendatangi mereka dari sudut yang tidak mereka sangka, dan melemparkan rasa takut di hati-hati mereka. Mereka hancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan kaum muslimin. Ambillah pelajaran dari kejadian ini, wahai orang-orang yang berakal.

Amerika tidak menyerang Uni Soviet dengan nuklirnya (sehingga hancur). Kehancuran kekuatan Uni Soviet berasal dari dalam. Sedab, adanya factor-faktor yang memaksanya hancur. Demikian juga, Amerika sudah berada di ambang kehancuran dari dalam. Melemahnya ekonomi, kerusakan dan degradasi moral, kekalahan kekiuatan militer. Kekuatan-kekuatan ini sudah tidak bertaji lagi. Kekuatan mereka yang tersisa adalah kelemahan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka berusaha mengkondisikan agar kaum muslimin dalam keadaan lemah. Lemah dalam agama, duniawi, pemikiran dan harapan. Jika kaum muslimin kembali pada agama mereka, niscaya kesyirikan akan runtuh, kekufuran akan lenyap. Kekuatan yang menakutkan dunia ini akan sirna dengan kalmatut tauhid, Laa Ilaaha Illallah.

Jadi, penghalang yang paling besar demi mencapai kebesaran Islam adalah terpecah belahnya umat Islam.

Apa Jalan Menuju Kebesaran Islam ?
Konsepnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tercantum dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegangi ekor-ekor sapi, dan menyenangi pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan pada kalian kehinaan, tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian”.

Jika demikian, jalan menuju ke sana, wahai saudara-saudaraku, wahai pemuda Islam, wahai harapan umat, wahai orang yang menjadi bekal harapan bagi masa depan yang terang ; jalan menuju keagungan Islam adalah degan kembali memegangi agama kita ini yang dahulu dipegangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan generasi Salafush Shalih. Tatkala mereka konsisten berada di atas agama ini, mereka menjadi umat manusia yang terbaik, para pemimpin wilayah, guru bagi umat manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju ke cahaya terang. Dengan kembali kepada agama kita, agama kita akan menjadi besar lagi. Masa itu pasti akan dating, tetapi membutuhkan kesabaran dan ketabahan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” [Ali-Imran : 200]

Semoga Allah Al-Qawiyyu Al-Aziz menolong Islam dan kaum Muslimin, menampakkan Al-Haq dan menegakkan negeri Islam dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah-lah yang akan mewujudkannya dan Dia Maha Kuasa untuk itu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


sumber:  http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment