Monday, August 27, 2012

Aqidah Imam Syâfi'i: Allah Subhanahu Wa Ta’ala Ada Di Atas

Aqidah Imam Syâfi'i: Allah Subhanahu Wa Ta’ala Ada Di Atas


Oleh
Syaikh Muhammad bin Mûsa Alu Nashr



Di antara pokok utama aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, ialah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alaberada di langit (di atas langit), Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas makhluk-makhluk-Nya dan ber-istiwâ` (bersemayam) di atas 'Arsy sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, tidak seperti bersemayamnya seorang manusia. Akan tetapi, meskipun Allah Subhanahu wa Ta’alabersemayam di atas Arsy, ilmu-Nya ada di setiap tempat dan Dia lebih dekat dari urat leher seseorang. Tidak pula tersembunyi dari-Nya apa pun yang ada di langit dan di bumi, bahkan Dia mengetahui dan menyaksikan pembicaraan-pembicaraan rahasia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا

… Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada …. [al-Mujâdilah/58:7].

Tapi kebersamaan ini adalah kebersamaan pendengaran, ilmu, penguasaan dan rahmah, bukan kebersamaan secara fisik sebagaimana dikatakan Jahmiyah [1] dan Huluuliyah [2] . Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan.
Sifat 'Uluw (Tinggi) Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbagi menjadi umum dan khusus. Umum ditinjau dari ketinggian-Nya atas seluruh makhluk; dan khusus, jika ditinjau dari bersemayamnya di atas 'Arsy setelah penciptaan langit dan bumi.

Dari sini Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah, Dzat-Nya yang Maha Suci. Dia ada sebelum penciptaan makhluk, sebelum penciptaan langit dan bumi, serta sebelum adanya waktu dan tempat.

Kemudian, setelah menciptakan 'Arsy, Dia bersemayam di atasnya. Di sini bisa disimpulkan bahwa ketinggian adalah sifat dzatiyah [3] Allah. Sedangkan bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’aladi atas 'Arsy adalah sifat fi’liyah ikhtiyariyah[4], maka Allah bersemayam kapan saja dan dengan cara apa saja yang Dia kehendaki.

Al-Istiwâ` (bersemayam), al-'uluw (tinggi) dan al-irtifa' (ketinggian) mempunyai empat arti. Berarti 'ala (di atas), irtafa'a (tinggi), sha'ada (naik), dan istaqarra (tetap) tanpa perlu ditanyakan bagaimananya.

Seperti jawaban Imam Mâlik ketika ditanya tentang istiwâ, beliau berkata: "Al-Istiwâ` tidaklah asing (yaitu bisa difahami) dan wujudnya tidak masuk akal (tidak mampu difahami akal), sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah," kemudian beliau memerintahkan untuk mengeluarkan si penanya dari masjid.

Oleh karena itu, Ahlus-Sunnah menetapkan ketinggian Dzat Allah dan sifat 'uluw (tinggi) secara umum atas seluruh makhluk sebelum penciptaan serta sifat 'uluw (tinggi) secara khusus, yaitu ketinggian dan bersemayam-Nya setelah penciptaan Arsy. Sehingga sifat 'uluw (tinggi) yang umum melekat dengan Dzat-Nya, sedangkan sifat 'uluw (tinggi) secara khusus berkenaan dengan kehendak dan pilihan-Nya.

Banyak kelompok telah menyelisihi Ahlus-Sunnah dalam penetapan sifat 'uluw; di antaranya Jahmiyah, Hulûliyah Ittihadiyah, Mu'tazilah dan selain mereka. Mereka menafsirkan kata istiwâ` dengan istilâ` (menguasai, merebut). Ini merupakan penafsiran baru yang disusupkan ke dalam Islam, yang tidak pernah dikenal oleh generasi pertama umat ini, generasi umat yang terbaik. Kata istiwâ`, jika dibuat aktif dengan kata sambung (على), maka tidak punya arti kecuali 'uluw (tinggi) dan fauqiyyah (ketinggian).

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20:5]

Sebenarnya, makna lainnya dari istiwâ` masih banyak, tetapi yang menjadi titik perbedaan antara Ahlus-Sunnah dengan kelompok-kelompok lain, ialah dalam bentuk aktif dengan kata sambung (على). Maka dalam firman Allah yang telah disebutkan tadi, makna (على) ialah di atas. Disinilah penyelisihan ahlul bid'ah terghadap Ahlus-Sunnah. Mereka bersikeras, makna istiwâ` ialah istaulâ`. Mereka berhujjah dengan sebuah bait syair palsu yang berbunyi:

اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مِهْرَاقٍ

(Bisyr menguasai/merebut Iraq tanpa pedang dan darah yang mengalir).

Syair ini tidak diketahui siapa yang membuatnya. Ada yang mengatakan syair ini milik Akhtal an-Nashrani (seseorang yang beragama Nashara), tetapi tidak ditemukan dalam kumpulan syair-syairnya. Kalaupun perkataan ini benar, apakah kita akan mengatakan bahwa Akhtal yang beragama Nashrani lebih paham tentang makna-makna Al-Qur`ân dibandingkan para sahabat dan generasi pertama dari umat ini? Padahal perkataan ini sangat jelas ketidakbenarannya. Bagaimana mereka sanggup menolak ayat-ayat Al- Qur`ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mengambil hujjah dari syair yang dipalsukan, tidak jelas siapa yang mengatakannya? Sehingga Ahlus-Sunnah bisa dengan mudah mematahkan argumen mereka yang lemah ini dengan Al-Qur`ân dan Sunnah, bahkan melalui tinjauan bahasa sekalipun.

Telah banyak kisah dari ahli ilmu tentang bantahan ini, sebagaimana sebuah kisah dari seorang ahli bahasa Imam Ibnul-'Arâbi. Suatu ketika ada yang bertanya kepada beliau: "Wahai Imam, apa makna firman Allah ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) ?"

Beliau menjawab: "Maknanya ialah isti'lâ` (tinggi di atas)".

Si penanya membantah: "Tidak, maknanya ialah istaula (menguasai/merebut)".

Beliau berkata: "Diam! Orang Arab tidak memaknai istawâ` dengan pengertian istaulâ`, kecuali ketika ada perlawanan dan perselisihan. Siapakah yang mampu melawan kekuasaan Allah dan menentang-Nya?"

Kemudian kalau kita mengatakan istawâ` bermakna istaulâ`, maka kita telah menetapkan kelemahan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berarti Arsy-Nya pernah dikuasai pihak lain selama beberapa waktu sehingga Allah perlu menguasainya kembali. Sehingga sangat jauh (tidak mungkin) hal ini terjadi terhadap Allah yang Maha Sempurna.

Ayat-ayat Al-Qur'ân yang menerangkan sifat 'uluw (tinggi) bagi Allah Subhanahu wa Ta’alasangatlah banyak. Di antaranya firman Allah Ta'ala:

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang. [al-Mulk/67:16].

Maksud man fis sama, ialah 'Dzat yang berada di dalam langit' ialah Dzat yang berada di atas langit. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit (bukan di dalamnya, Pent.). Lantaran jumlah langit adalah tujuh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit ke tujuh. Tempat 'Arsy berada di atas langit tujuh. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy tersebut sesuai dengan kesempurnaan-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala tempat. Ini karena kata sambung (في, fii) pada ayat di atas mempunyai arti "di atas" (fauqiyyah dan 'uluw), bukan sebagai zharfiyyah (keterangan tempat).

Ketika kita mengatakan الماء في الكوز (air di dalam cangkir), dalam perkataan ini (في) menjadi keterangan tempat (zharfiyyah), sehingga diartikan "di dalam". Seperti halnya kita mengatakan الطُّلاَّبُ فِيْ الْقَاعَة (murid-murid di dalam kelas). Karena kelas mengelilingi mereka, maka diartikan murid-murid "di dalam" kelas. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah, dimana langit mengelilingi-Nya. Maka kita artikan (في) dengan "di atas", karena ini juga salah satu makna (في).

Di antara dalil bahwa (في) bermakna "di atas" juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’alaketika menceritakan perkataan Fir'aun kepada para penyihirnya:

قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَاباً وَأَبْقَى

Berkata Fir'aun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku beri izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal-balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian di atas pohon kurma, dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya". [Thâhâ/20:71].

Dalam ayat ini Fir'aun mengancam para penyihir yang beriman dengan kenabian Musa. Mereka diancam akan disalib di atas pohon kurma. Apakah mungkin orang yang berakal mengatakan makna (في) dalam ayat tersebut adalah "di dalam"? Lalu apa gunanya ancaman Fir'aun ini kalau para penyihir disalib di dalam pohon kurma? Bukankah Fir'aun melakukan ancaman ini supaya yang lain takut dengan kekejamannya? Bagaimana yang lain akan takut kalau tidak bisa melihat apa yang terjadi?

Ayat lain yang menerangkan (في) bermakana "di atas", yaitu firman Allah:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Katakanlah: "Berjalanlah di atas bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu". [al-An'âm/6:11].

Apakah pengertian "berjalan di dalam bumi" yang termaktub dalam ayat di atas berarti menelusuri goa-goa di perut bumi yang gelap? Apakah mengarungi air bak? Apa yang dapat disaksikan? (Tidak ada, Pent.).

Jadi, maksud dari "berjalan di dalam bumi", ialah berjalan di atasnya untuk merenungi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta ini untuk mengantarkan kepada rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian, aqidah Imam Syafi'i rahimahullah yang terangkum dalam pernyataan beliau berikut ini: "Konsep ajaran Islam yang aku pegangi dan dipegangi orang-orang yang aku ketahui, semisal Sufyan (ats-Tsauri), (Imam) Mâlik dan lain-lain, (ialah) pengakuan terhadap persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya Allah di atas 'Arsy, mendekati makhluk-makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan turun ke langit bumi sesuai dengan kehendak-Nya". (Mukhtashar 'Uluw)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Pernyataan Imam Syafi'i Dalam Masalah 'Aqidah



Mengenal aqidah seorang imam besar Ahlu Sunnah merupakan perkara penting. Khususnya, bila sang imam tersebut memiliki pengikut dan madzhab yang mendunia. Karenanya, mengenal pernyataan Imam Syafi'i yang madzhabnya menjadi madzhab banyak kaum muslimin di negeri ini, menjadi lebih penting dan mendesak, agar kita semua dapat melihat secara nyata aqidah Imam asy-Syafi'i, dan dapat dijadikan pelajaran bagi kaum muslimin di Indonesia.
Untuk itu, kami sampaikan disini beberapa pernyataan beliau seputar permasalahan aqidah, yang diambil dari kitab Manhaj Imam asy-Syafi'i fi Itsbat al-Aqidah, karya Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-'Aqîl.

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I DALAM MASALAH KUBUR
1. Hukum Meratakan Kuburan.

وَ أُحِبُّ أَنْ لاَ يُزَادُ فِيْ القَبْرِ مِنْ غَيْرِهِ وَلَيْسَ بأَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ بَأْسٌ إِذَا زِيْدَ فِيْهِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَ إِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ شِبْرًا أَوْ نَحْوِهِ

"Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dari selainnya dan tidak mengambil padanya dari tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dari lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar.

Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu" [1]. (1/257)

2. Hukum Membangun Kuburan Dan Menemboknya.

وَ أُحِبُّ أَنْ لاَ يُبْنَى وَلاَ يُجَصَّصُ فَإِنَّ ذَلِكَ يُشْبِهُ الزِّيْنَةَ وَ الْخُيَلاَءَ وَ لِيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهَا زَلَمْ أَرَ قُبُوْرَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَ الأَنْصَارِ مُجَصَّصةً قَالَ الرَّاوِيُ عَنْ طَاوُسٍ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبْنَى أَوْ تُجَصَّصُ وَقَدْ رَأَيْتُ مِنَ الْوُلاَةِ مَنْ يَهْدِمُ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيْهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يُعِيْبُوْنَ ذَلِكَ

"Saya suka bila (kuburan) tidak dibangun dan ditembok, karena itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar ditembok".

"Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahwa Rasulullah n telah melarang kuburan dibangun atau ditembok".

Saya sendiri melihat sebagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut [2]. (1/258)

3. Hukum Membangun Masjid Di Atas Kuburan.

وَ أَكْرَهُ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ مَسْجِدٌ وَ أَنْ يُسَوَى أَوْ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَ هُوَ غَيْرُ مُسَوَى أَوْ يُصَلََّى إِلَيْهِ وَ إِنْ صَلَّى إِلَيْهِ أَجْزَأَهُ وَ قَدْ أَسَاءَ

"Saya melarang dibangun masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk shalat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau shalat menghadap kuburan. Apabila ia shalat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa"[3]. (1/261).

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I DALAM MASALAH FITNAH KUBUR DAN KENIKMATANNYA

وَ أَنَّ عَذَابَ القّبْرِ حَقٌّ وَ مُسَاءَلَةَ أَهْلِ ال} قُبُوْرِ حَقٌّ

Sesungguhnya Adzab kubur itu benar dan pertanyaan malaikat terhadap ahli kubur adalah benar [4]. (2/420)

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I DALAM MASALAH KEBANGKITAN, HISAB, SYURGA DAN NERAKA

وَ البَعْثُ حَقٌّ وَ الْحِسَابُ حَقٌّ وَ الْجَنَّةُ وَ النَّارُ وَغَيْرُ ذَلِكَ مَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَنُ فَظَهَرَتْ عَلَى أَلْسِنَىِ الْعُلَمَاءِ وَ أَتْبَاعِهِمْ مِنْ بِلاَدِ الْمُسلِمِيْنَ حَقٌّ

Hari kebangkitan adalah benar, hisab adalah benar, syurga dan neraka serta selainnya yang sudah dijelaskan dalam sunnah-sunnah (hadits-hadits), lalu ada pada lisan-lisan para ulama dan pengikut mereka di negara-negara muslimin adalah benar [5]. (2/426)

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I DALAM MASALAH BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN ALLAH

فَكُلُّ مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ كَرِهْتُ لَهُ وَ خَشِيْتُ عَلَيْهِ أََنْ تَكُوْنَ يَمِيْنُهُ مَعْصِيَّةً وَ أَكْرَهُ الأَيْمَانَ بِاللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِلاَّ فِيْمَا كَانَ طَاعَةً للهِ مِثْلُ الْبَيْعَةِ فِيْ الْجِهَادِ وَ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ

Semua orang yang bersumpah dengan selain Allah, maka saya melarangnya dan mengkhawatirkan pelakunya, sehingga sumpahnya itu adalah kemaksiatan. Saya juga membenci bersumpah dengan nama Allah dalam semua keadaan, kecuali hal itu adalah ketaatan kepada Allah, seperti berbai'at untuk berjihad dan yang serupa dengannya [6]. (1/271)

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I TENTANG SYAFA'AT

فَكَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَتَهُ الْمُصْطَفَى لِوَحْيِهِ الْمُنْتَخَبَ لِرِسَالَتِهِ الْمُفَضَّلَ عَلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ بِفَتْحِ رَحْمَتِهِ وَ خَتْمِ نُبُوَّتِهِ وَ أَعَمَّ مَا أَرْسَلَ بِهِ مُرْسَلٌ قَبْلَهُ

Beliau (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk wahyunya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dari ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa'at, yang syafa'atnya dikabulkan di akhirat [7]. (1/291).

Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa'at:

وَاسْتَنْبَطْتُ الْبَارِحَةَ آيَتَيْنِ فَمَا أَشْتَهِيْ بِاسْتِنْبِاطِهَا الدُّنْيَا وَ مَا قَبْلَهَا (وَهِيَ قِوْلُهُ تَعَالَى) : يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ وَفِيْ كِتَابِ اللهِ هَذَا كَثِيْرٌ. (قَالَ تَعَالَى) : مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَعَطَّلَ الشُّفَعَاءَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ

Semalam saya mengambil faidah (istimbâth) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: … Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada keizinan-Nya …. -Yunus/10 ayat 3.

Dan dalam kitabullah, hal ini banyak: … Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?.... –al-Baqarah/2 ayat 256.
Syafa'at tertolak kecuali dengan izin Alllah [8]. (1/291).

PERNYATAAN IMAM SYAFI'I TENTANG SIFAT ISTIWA' BAGI ALLAH

الْقَوْلُ فِيْ السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَ رَأَيْتُ عَلَيْهَا الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَ مَالِكٍ وَ غَيْرِهِمَا الإقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ أَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ...

Pendapatku tentang sunnah (aqidah) yang saya berada di atasnya, dan saya lihat dimiliki oleh orang-orang yang saya lihat, seperti Sufyaan, Maalik dan selainnya, ialah berikrar dengan syahadatain (Lâ Ilâha illallah wa Anna Muhammadar-Rasulullah), (beriman) bahwa Allah berada di atas 'Arsy-Nya di atas langit, mendekat dari makhluk-Nya bagaimana Dia suka, dan turun ke langit dunia bagaimana Dia suka … (2/354-355)

PERNYATAN IMAM SYAFI'I TENTANG SIFAT NUZUL (TURUN) BAGI ALLAH

وَ أَنَّهُ يَهْبِطُ كُلَّ لِيْلَةٍ إِلَى سَمَاء الدُّنْيَا بِخَبَرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Allah turun setiap malam ke langit dunia dengan dasar berita Rasulullah n . (2/358).

وَ أَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ

Sesungguhnya Allah berada di atas 'Arsy-Nya di atas langit-Nya, mendekat dari makhluk-Nya bagaimana Dia suka, dan Allah l turun ke langit dunia bagaimana Dia suka. (2/358).

PERNYATAN IMAM SYAFI'I TENTANG SIFAT TANGAN BAGI ALLAH
Sesungguhnya Allah memiliki dua tangan dengan dasar firman Allah, (yang artinya): Orang-orang Yahudi berkata:"Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al-Qur`an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. -Qs. al-Maidah/5 ayat 64.

Dan sungguh Dia juga memiliki tangan kanan dengan dasar firman Allah, (yang artinya): Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, pada hal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. -Qs. az-Zumar/39 ayat 67.

PERNYATAN IMAM SYAFI'I TENTANG MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT

عَنِ الرَبِيْعِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ كُنْتُ ذَاتَ يَوْمٍ عِنْدَ الشَّافِعِيِ رحمه الله زَ جَاءَهُ كِتَابٌ مِنَ الصَّعِيْدِ يَسْأَلُوْنَهُ عَنْ قَوْلِ اللهِ تَعَالَى : كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ فَكَتَبَ فِيْهِ لَمَّا حَجَبَ اللهُ قَوْمًا بِالسَّخَطِ دَلَّ عَلَى أَنَّ قَوْمًا يَرَوْنَهُ بِالرِّضَا قَالَ الرَّبِيعُ : أَوَتَدِيْنُ بِهَذَا يَا سَيِدِيْ قَألَ : وَ اللهِ لَوْ لَمْ يُقِنَّ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسِ أَنَّهُ يَرَى رَبَّهُ فِيْ الْمَعَادِ لَمَّا عَبَدَهُ فِيْ الدُّنْيَا

Dari ar-Rabi' bin Sulaiman, beliau berkata: "Suatu hari saya berada di dekat asy-Syafi'i dan datang surat dari daerah ash-Sha'id. Mereka menanyakan kepada beliau tentang firman Allah, (yang artinya): Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. -Qs. Muthaffifin/83 ayat 15- lalu beliau menulis (jawaban) berisi (pernyataan), ketika Allah menghalangi satu kaum dengan sebab kemurkaan, maka menunjukkan bahwa orang-orang melihat-Nya dengan sebab keridhaan".
Ar-Rubayyi' bertanya: "Apakah engkau beragama dengan hal ini, wahai tuanku?"
Lalu beliau menjawab: "Demi Allah! Seandainya Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia melihat Rabb-Nya di akhirat, tentu ia tidak menyembah-Nya di dunia". (2/286).

عَنِ ابْنِ هَرَمٍ الْقَرَشٍيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى : كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ قَالَ فَلَمَّا حَجَبَهُمُ فِيْ السَخَطِ كَانَ دَلِيْلاً عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَهُ فِيْ الرِّضَا

Dari Ibnu Haram al-Qurasyi, beliau berkata: "Saya mendengar asy-Syafi'i mengatakan pada firman Allah l " Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. - Muthaffifin/83 ayat 15-", ini adalah dalil bahwa para wali-Nya melihat-Nya pada hari Kiamat.[9] (2/387).

SIKAP IMAM SYAFI'I TERHADAP SYI'AH

عَنْ يُوْنُسِ بْنِ عَبْد الأَعْلِى يَقُوْلُ : سَمِعْتُ الشَّافِعِي إِذَا ذُكِرَ الرَّافِضَةُ عَابَهُمْ أَشَّدَّ الْعَيْبِ فَيَقُوْلُ شَرَّ عِصَابَةِ

Dari Yunus bin Abdila'la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi'i, apabila disebut nama Syi'ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: "Kelompok terjelek" [10]. (2/486).

لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَد بِالزُّوْرِ مِنَ الرَّافِضَةِ

Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi palsu dari Syi'ah Rafidhah [11]. (2/486).

قَالَ الشَّافَعِيُّ فِيْ الرَّافِضَةِ يَحْضُرُ الْوَقِعَةِ : لاَ يُعْطَى مِنَ الْفَيْءِ شَيْئًا لأَنَّ اللهَ تَعَالَى ذَكَرَ آيَةَ الْفَيْءِ ثُمَّ قَالَ : جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ فَمَنْ لَمْ يَقُلْ بِهَا لَمْ يَسْتَحِقَّ

Asy-Syafi'i berkata tentang seorang Syi'ah Rafidhah yang ikut berperang: "Tidak diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, karena Allah l menyampaikan ayat fa'i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, …". -Qs. al-Hasyr/59 ayat 10- maka barang siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan bagian fa'i) [12]. (2/487).

SIKAP IMAM SYAFI'I TERHADAP SHUFIYAH (TASHAWWUF)

لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتُه أَحْمَقُ

Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zhuhur, engkau dapati ia, kecuali menjadi orang bodoh [13]. (2/503).

مَا رَأَيْتُ صُوْفِيًّا عَاقِلاً قَطْ إِلاَّ مُسْلِم الْخَوَاص

Saya, sama sekali tidak mendapatkan seorang sufi berakal, kecuali Muslim al-Khawash [14]. (2/503).

أُسَسُ التَّصَوُّفِ الْكَسَلُ

Asas tasawwuf adalah kemalasan [15]. (2/504).

لاَ يَكُوْنُ الصُّوْفِيْ صُوْفِيًّا حَتَّى يَكُوْنَ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ : كَسُوْلٌ , أَكُوْلٌ, شُؤُوْمٌ , كَثِيْرُ الفُضُوْلِ

Tidaklah seorang sufi menjadi sufi, hingga memiliki empat sifat: malas, suka makan, sering merasa sial, dan banyak berbuat sia-sia [16]. (2/504).

Demikian, sebagian pernyataan dan sikap beliau, agar diketahui bagaimana seharusnya mengikuti beliau dengan benar. Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Apakah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Hidup Di Alam Kubur Dan Mendengar Salam ?



Pengantar Redaksi
Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia "Lajnah Da'imah", memberikan jawaban dalam fatwanya no. 4383 [1], ketika di tanya tentang beberapa hal berkaitan dengan kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di alam barzakh, sebagaimana tertuang dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dâwud rahimahullah. Arti hadits tersebut ialah: Tidak ada seorangpun yang memberi salam kepadaku, kecuali Allâh Azza wa Jalla mengembalikan rohku kepadaku, sehingga aku membalas salamnya.
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan dan jawaban Lajnah Da'imah yang kala itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah, Wakil Ketua: Syaikh Abdur Razaq Afifi rahimahullah dan anggota : Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Diangkat dengan terjemah bebas.

APAKAH NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM HIDUP DI KUBUR SEBAGAIMANA DI DUNIA

Soal :
Berkaitan dengan hidup Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apakah di dalam kuburnya yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup sebagaimana hidup secara fisik di dunia, yaitu dengan dikembalikannya roh Beliau kedalam jasad serta fisik Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Ataukah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup secara ukhrawiyah barzakhiyah di 'Illiyyun yang paling atas tanpa ada pembebanan (taklif) kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat kematian menjemputnya (artinya), "Ya Allâh, dengan ar-Rafiq al-A'la". Sementara jasadnya sekarang tetap terhampar di dalam kubur tanpa roh ? Sedangkan roh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di 'Illiyyun paling atas ? Sementara bersatunya roh dengan jasad serta badan Beliau yang harum terjadi pada hari kiamat ? Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ

Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh. [at-Takwîr/81:7]

Jawab :
Sesungguhnya Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di kuburnya dalam arti kehidupan alam kubur (barzakhiyah). Di alam kuburnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh berbagai keni'matan hidup yang dianugerahkan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai balasan atas kerja-kerja besar dan baik, yang dilakukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat hidupnya di dunia. Shalawat serta Salam paling afdhal dari Allâh hendaknya senantiasa tercurah kepada Beliau.

Tetapi bukan berarti rohnya dikembalikan ke jasad supaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup kembali sebagaimana hidup di dunia. Bukan pula rohnya dikumpulkan dengan jasadnya hingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup sebagaimana hidup di hari akhirat. Namun kehidupan ini merupakan kehidupan alam barzakh, pertengahan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Dengan demikian diketahui bahwa Beliau telah wafat (mati) sebagaimana nabi-nabi dan orang-orang lain terdahulu telah mati. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

Dan Kami tidak menjadikan seorang manusiapun hidup kekal sebelummu. Maka jika engkau mati, apakah mereka akan kekal ? [al-Anbiya'/21:34]

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Tetapi wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. [ar-Rahman/55: 26-27]

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) pasti akan mati, dan mereka pasti akan mati pula. [az-Zumar/39:30]

Dan ayat-ayat lain yang membuktikan bahwa Allâh Azza wa Jalla mewafatkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di samping itu juga (terdapat bukti-bukti lain, di antaranya) :

• Bahwa para Shahabat Radhiyallahu anhum telah memandikan jenazah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengafaninya, menyalatkannya dan menguburkannya. Jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup sebagaimana kehidupan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia, tentu mereka tidak akan melakukan itu semua, hal yang mereka lakukan kepada semua orang mati lainnya.

• Fatimah Radhiyallahu anhuma juga telah meminta warisan dari peninggalan ayahnya. Sebab Fatimah meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat. Dan keyakinan ini tidak diingkari oleh seorangpun di antara para Sahabat. Tetapi Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa para nabi tidak mewariskan harta. [2]

• Para Shahabat Radhiyallahu anhum juga telah bersepakat untuk memilih seorang khalifah bagi kaum Muslimin sepeninggal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penerus kepemimpinannya. Dan itu terjadi dengan diangkatnya Abu Bakar Radhiyallahu anhu sebagai khalifah. Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup sebagaimana hidup di dunia, tentu mereka tidak akan mengadakan pengangkatan khalifah. Dengan demikian hal ini merupakan ijma' dari para Sahabat Radhiyallahu anhum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.

• Demikian pula ketika fitnah (perselisihan umat) dan persoalan-persoalan berat melanda umat pada zaman pemerintahan Utsman dan Ali Radhiyallahu anhuma, juga persoalan-persoalan sebelum dan sesudahnya. Ketika itu terjadi, para Sahabat tidak pergi ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat atau meminta tolong supaya mendapat jalan keluar serta penyelesaian dari perselisihan-perselisihan dan persoalan-persoalan ini. Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup sebagaimana hidup di dunia, tentu mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, sedangkan mereka sangat membutuhkan kehadiran orang yang dapat menyelamatkan mereka dari bencana-bencana yang menyelimuti mereka itu.

Adapun roh Beliau, maka roh itu berada di 'Illiyun tertinggi karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik. Allâh telah memberikan kedudukan tinggi kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga.

APAKAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDENGAR SETIAP PANGGILAN ATAU DOA

Soal:
Apakah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di kuburannya yang mulia dapat mendengar setiap doa atau panggilan orang hidup, atau mendengar shalawat khusus yang ditujukan kepada Beliau ? Sebagaimana dalam hadits (artinya): "Barangsiapa yang bershalawat atasku di kuburanku, maka aku mendengarnya…" dst. sampai akhir hadits? Apakah hadits ini shahih, dha'if atau palsu atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Jawab:
Pada asalnya, semua orang mati tidak akan mendengar panggilan orang hidup dari keturunan anak Adam, tidak pula mendengar doanya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ

Dan engkau (Muhammad) tidak mungkin bisa menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. [ Fathir/35:22]

Tidak ada keterangan yang shahih, baik di dalam al-Qur'an maupun Sunnah Shahihah, yang dapat membuktikan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kuburnya mendengar setiap doa atau panggilan orang hidup, sehingga hal itu dianggap menjadi kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Yang pasti riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa shalawat serta salam dari orang yang membacanya akan sampai kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Itu saja. Baik yang membaca shalawat berada di dekat kuburan Nabi Muhammad atau jauh darinya. Sama saja, tetap akan sampai kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berdasarkan riwayat yang jelas dari Ali bin Husain bin Ali Radhiyallahu anhum (cucu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu –pen), beliau melihat seseorang datang ke suatu lobang di kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu orang ini masuk ke dalamnya dan berdoa. Maka Ali bin Husain bin Ali Radhiyallahu anhum melarangnya seraya berkata: "Maukah aku ceritakan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku, dari kakekku, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda :

لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِي عِيْدًا، وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا، وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ تَسْلِيْمَكُمْ يَبْلُغُنِي أَيْنَ كُنْتُمْ. رواه أحمد وغيره

Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai perayaan, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bacalah shalawat atasku, sesungguhnya salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.[3]

Adapun hadits :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِي سَمِعْتُهُ وَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ بَعِيْدًا بَلَغَتْهُ

Barangsiapa yang bershalawat atasku di dekat kuburanku, maka aku mendengarnya, dan barangsiapa yang bershalawat kepadaku dari jauh, maka akan sampai kepada Beliau.

Maka hadits ini adalah hadits dha'if menurut para Ulama Hadits. Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Hadits ini adalah hadits maudhu' (palsu) atas nama al-A'masy menurut ijma' para Ulama. [4]

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan isnad yang hasan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

Tidak ada seorangpun yang memberikan salam kepadaku kecuali Allâh akan mengembalikan rohku kepadaku, sehingga aku akan membalas salamnya. [5]
Maka hadits ini tidak secara terang (tidak sharih) menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar (langsung) salam seorang Muslim. Bahkan ada kemungkinan maknanya adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjawab salam seorang Muslim jika malaikat menyampaikan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam salam seorang Muslim kepadanya.

Jikapun kita andaikan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar mendengar salam seorang Muslim, namun hal itu tidaklah serta merta menjadi kepastian bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mendengar setiap doa dan panggilan orang hidup yang ditujukan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

SYIRIKKAH BERDOA KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau berdoa kepadanya supaya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi kebutuhan pemohon, atau ber-isti'anah (meminta tolong) kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau mengatasi musibah atau bencana, baik dilakukan di dekat kuburan Beliau yang mulia, atau dari jauh; apakah hukumnya syirik yang buruk atau tidak?

Jawab:
Memohon, memanggil dan meminta tolong kepada Beliau sesudah Beliau wafat, agar Beliau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemanggilnya dan agar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas marabahaya, maka hukumnya adalah syirik akbar, menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, baik dilakukan di dekat kuburannya, atau jauh dari kuburannya. Misalnya bila seseorang berkata, "Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berilah aku syafa'at !" Atau berkata, "Kembalikanlah barangku yang hilang, atau perkataan-perkataan lainnya. Berdasarkan keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Sesungguhnya tempat-tempat sujud adalah kepunyaan Allâh, maka janganlah kamu memohon (berdoa) kepada siapapun di samping kepada Allâh. [al-Jin/72:18]

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa memohon (beribadah) kepada tuhan yang lain selain kepada Allâh, padahal tidak ada suatu buktipun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Rabbnya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung. [al-Mu'minûn/23:117]

يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ ۚ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allâh, Rabbmu,, milik-Nyalah segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (berdoa/beribadah) selain Allâh tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu memohon kepada meraka, mereka tidak mendengar suaramu, dan sekiranya mereka mendengar, mereka juga tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu. Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Allâh Yang Maha teliti. [Fâthir/35:13-14]

Demikianlah fatwa Lajnah Da'imah yang menerangkan tentang apakah di kuburannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar salam, doa, permintaan serta suara orang yang hidup? Jawabnya, tidak ada nash yang jelas menerangkan hal itu. Seandainyapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar salam orang hidup yang ditujukan kepada Beliau, tetapi tidak berarti bahwa Beliau mendengar setiap perkataan, panggilan dan permohonan kepadanya. Bahkan memohon kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya Beliau memenuhi kebutuhan pemohon merupakan syirik akbar. Apalagi jika itu bukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , betapapun tinggi kedudukannya, seperti wali. Hendaknya orang takut kepada Allâh, dan takut akan ancaman-ancaman-Nya. Tiada seorangpun yang dapat menolongnya jika Allâh murka dan menimpakan siksa kepadanya. Nas'aluLLaha al-'Afiyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Bisa dilihat pada Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâ'imah, Tahqiq dan Tartib: Syaikh Ahmad bin Abdur Razaq ad-Duwaisy, Daar 'Ashimah, III/227-231
[2]. Sebagaimana tertuang dalam Shahih al-Bukhari no: 6725, 6726/Fathul Bâri XII/5, Shahih Muslim/Syarh an-Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha XII/299, no. 4555 dan Abu Dâwud (Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni II/239, no. 2968, 2969, 2970, 2977 dll
[3]. Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Ya'la al-Mushili dalam Musnadnya, no. 469. Muhaqqiq Musnad Abi Ya'la: Husain Salim Asad mengatakan, riwayat di atas dha'if karena munqathi'. Ali bin Husain bin Ali telah meriwayatkan dari kakeknya secara mursal. Lihat Musnan Abi Ya'la, Tahqiq: Husain Salim Asad I/361-362 no. 469, Maktabah ar-Rusyd dan Daar al-Ma'mun lit Turats, cet. I 1430 H/2009 M. Tetapi terdapat hadits senada yang shahih, diriwayatkan oleh Abu Dâwud, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا،وَ لاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِي عِيْدًا، وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ.

Janganlah engkau menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah engkau menjadikan kuburanku sebagai perayaan, dan shalawatlah atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku dimanapun engkau mengucapkannya. (Lihat Shahîh Sunan Abi Dâwud, Syaikh al-Albâni I/571, no. 2042
[4]. Dipersilahkan meruju' pada Majmû' Fatâwâ Ibni Taimiyah XVII/241
[5]. Lihat Shahîh Sunan Abi Dâwud, op.cit. I/570 Kitab al-Manasik, Bab Ziyarati al-Qubur, no. 2041


Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

J
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

• Penamaan ‘Aqidah menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka. [5]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]

3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]

5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama. [9]

6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]

7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

• Penamaan ‘aqidah menurut firqah (sekte) lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah [12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih men-dalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang AllahSubhanahu wa Ta'alal menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama [16]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[17]

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[18]

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menegakkan agama-Nya...” [19]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[20]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[22] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]



Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


D. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[1]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[2]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”[3]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [4]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. [5]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[6]

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa' (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” [8]

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang-orang asing).”[9]

Sedangkan makna al-Ghurabaa' adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma ketika suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa', beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.

“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.” [10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa':

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.

“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.”[11]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]

Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan [13] dan yang lainnya, رحمهم الله.

Imam asy-Syafi’i [14] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]

E. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.

‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [17] berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106]

“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.”[18]

Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:

1.Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”[19]

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [20] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan [21]: “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [22] (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhum hingga pada masa sekarang ini...”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shaallallahu 'alaihi wa sallam.” [23]

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.

Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah. [24]

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

1. Golongan Asy’ariyyah menta’-wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.

2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.[25]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


sumber:       http://almanhaj.or.id/


No comments:

Post a Comment