Tuesday, June 5, 2012

Syarat Pengobatan Yang Manjur. “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya” [1]

Syarat Pengobatan Yang Manjur.
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya” [1]


Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin bin Badri MA


Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَاأَنْزَلَ اللَّه دَاءً إِِلاقَدْأَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan telah menurunkan untuknya obat, hal itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya” [1]

Agar suatu pengobatan manjur dan mendatangkan hasil, kita harus mengindahkan beberapa persyaratan. Dan berikut ini akan saya paparkan dua syarat utama bagi pengobatan yang manjur.

SYARAT PERTAMA : PENGOBATAN TEPAT
Agar obat yang anda gunakan benar-benar berguna dan manjur, sehingga penyakit yang anda derita sembuh, pengobatan anda harus tepat.

• Tepat ketika mendiagnosis penyakit yang anda derita
• Tepat memilih obat
• Tepat dalam dosis obat
• Tepat waktu penggunaan
• Tepat dengan menghindari berbagai pantangan dan hal lain yang menghambat kerja obat.

Bila anda melakukan kesalahan pada satu dari hal-hal tersebut maka sangat dimungkinkan pengobatan yang anda lakukan tidak akan mendatangkan hasil sebagaimana diharapkan.

Demikianlah sebagian dari pelajaran yang dapat kita petik dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

عَنْ جَابِرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَنَّهُ قَالَ (لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَاأُصِيبَ دَوَاءُالدَّاءِ بَرَأَ بِإذْنِ اللَّهِ عَرَّ وَجَلَّ)

“Dari sahabat Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izzin Allah Azza wa Jalla” [HR Muslim]

Ibnul Qayim rahimahullah, mengomentari hadits ini dengan berkata, “Pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan (kecocokan) obat dengan penyakit. Sebab, tidak ada satu makhlukpun melainkan memiliki lawannya. Dan setiap penyakit pasti memiliki obat yang menjadi penawarnya, yang dengannya penyakit itu diobati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan. Ketepatan ini merupakan hal yang lebih dari sekedar ada atau tidak adanya obat (bagi suatu penyakit, pen) karena obat suatu penyakit bila melebihi kadar penyakit, baik pada metode penggunaan atau dosis yang semestinya akan berubah menjadi penyakit baru. Bila metode penggunaan atau dosis kurang dari yang semestinya, maka tidak akan mampu melawan penyakit, sehingga penyembuhannya pun tidak sempurna. Bila seorang dokter salah dalam memilih obat, atau obat yang ia gunakan tidak tepat sasaran, maka kesembuhan tak ‘kan kunjung tiba. Bila waktu pengobatan dilakukan tidak tepat dengan obat tersebut, niscaya obat tidak akan berguna. Bila badan pasien tidak cocok dengan obat tersebut atau fisiknya tidak mampu menerima obat tersebut atau ada penghalang yang menghalangi kerja obat tersebut, niscaya kesembuhan tak kan kunjung tiba. Semua itu dikarenakan ketidaktepatan dalam pengobatan. Bila pengobatan tepat dalam segala aspeknya, pasti –dengan izin Allah- kesembuhan akan diperoleh. Inilah penafsiran terbaik bagi hadits di atas. [2]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan yang senada dengan ucapan Ibnul Qayyim, “Pada hadits riwayat sahabat Jabir Radhiyallahu anhu terdapat isyarat bahwa kesembuhan tergantung pada ketepatan dan izin Allah. Yang demikian itu dikarenakan suatu obat kadang kala melebihi batas baik dalam metode penggunaan atau dosisnya, sehingga obat tersebut tidak manjur, bahkan dimungkinkan obat itu malah menimbulkan penyakit baru.[3]

SYARAT KEDUA : IZIN ALLAH
Sebagai seorang muslim anda pasti beriman kepada takdir Allah. Anda mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini terjadi atas kehendak dan ketentuan dari Allah Ta’ala.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ketentuan)” [Al-Qomar : 49]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرِ (كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِوَالْكَيْسِ)

“Segala sesuatu (terjadi) atas takdir (ketentuan dan kehendak), hingga rasa malas dan semangat pun (terjadi atas takdir)” [HR Muslim]

Kehendak dan ketentuan Allah ini mencakup segala sesuatu, tidak terkecuali penyakit dan kesembuhan yang menimpa manusia. Oleh karenanya, Nabi Ibrahim Alaihissallam berkata sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan bila aku sakit, maka Dialah Yang menyembuhkan”. [Asy-Syu’ara : 80]

Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ada salah seorang dari anggota keluarganya yang menderita sakit, atau ketika menjenguk orang yang sedang sakit, beliau mengusapnya dengan tangan kanannya, sambil berdo’a.

اللَّهُمِ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ اْلبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لاَشِفَاءَ إِلاشِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُسَقَمًا

“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkau Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit” [Muttafaqun ‘alaih]

Oleh karenanya, pada hadits Jabir Radhiyallahu anhu di atas, selain mengaitkan kesembuhan dengan ketepatan dalam pengobatan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengaitkannya dengan kehendak Allah.

“Bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla”.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ

“Yang menurunkan obat adalah (Dzat) yang menurunkan penyakit” [4]

Terdapat dalil (yang menjelaskan) bahwa kesembuhan, tidak ada seorang pun yang mampu menyegerakan kedatangannya, dan tidak seorang pun yang mengetahui waktu kedatangannya. Sungguh aku telah menyaksikan sebagian dokter (tabib) yang berusaha mengobati dua orang yang ia anggap menderita penyakit yang sama. Keduanya ditimpa penyakit pada waktu yang sama, umur yang sama, berasal dari negeri yang sama, bahkan kadangkala mereka adalah dua orang saudara kembar, dan makanan mereka pun sama. Sebab itu, dokter tersebut mengobati keduanya dengan obat yang sama. Akan tetapi, salah satunya sembuh, sedangkan yang lain malah mati atau penyakitnya berkepanjangan. Orang kedua itu baru sembuh setelah sekian lama, yaitu tiba waktu yang telah Allah tentukan kesembuhannya”. [5]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Di antara pelajaran yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

َلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

“Obat itu diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya”

(Di antara pelajaran tersebut ialah) apa yang dialami oleh sebagian pasien. Ia berobat dari suatu penyakit dengan suatu obat lalu ia sembuh. Kemudian pada lain waktu ia ditimpa oleh penyakit yang sama, lalu ia pun berobat dengan obat yang sama, tetapi obat itu tidak manjur. Penyebab terjadinya hal semacam ini adalah kebodohannya (ketidaktahuannya) tentang sebagian karakter obat tersebut. Mungkin saja ada dua penyakit yang serupa, sedangkan salah satunya terdiri dari beberapa penyebab (penyakit/komplikasi), sehingga tidak dapat diobati dengan obat yang telah terbukti manjur untuk mengobati penyakit yang tidak komplikasi, di sinilah letak kesalahannya. Dan kadang kala kedua penyakit tersebut sama, tetapi Allah menghendaki untuk tidak sembuh, maka obat itu pun tidak manjur, dan saat itulah runtuh keangkuhan para tabib (dokter).[6]

Penjelasan diatas membantah praduga atau pemahaman sebagian orang bahwa bila suatu hal telah dinyatakan sebagai obat bagi suatu penyakit maka harus pasti manjur dan penyakit sirna. Atau, apabila imunisasi terhadap suatu penyakit telah diberikan maka anak kita pasti kebal dan terhindar dari penyakit tersebut. Sadarlah wahai saudaraku, semua yang kita lakukan dan kita upayakan hanyalah sebatas usaha sedangkan Allah yang menentukan dan menakdirkan. Dahulu dinyatakan.

إِذَا وَقَعَ الْقَدَرُ بَطَلَ الحَذَرُ

“Bila takdir telah datang maka sirnalah kehati-hatian”

Maksudnya, bila Allah telah menentukan suatu penyakit menimpa seseorang, atau bila ajal telah datang maka berbagai upaya yang ditempuh manusia untuk menghindari tidak lagi berguna, dan kehendak Allah lah yang pasti terjadi. Aqidah dan keyakinan ini tidak boleh kita lupakan kapan pun kita berada, serta apa pun profesi kita. Kaitannya dengan proses pengobatan setiap penyakit yang kita derita, maka dapat dirangkum dalam beberapa hal berikut.

1. Hendaknya kita yakin, bahwa yang menciptakan penyakit adalah Allah, dan yang menentukan bahwa penyakit tersebut menimpa kita adalah Allah. Kita tidak perlu berkeluh kesah, kita menerima semuanya dengan lapang dada. Percayalah bahwa dibalik penyakit tersebut pasti tersimpan beribu-ribu hikmah. Dengan cara ini, apapun yang kita alami akan mendatangkan kebaikan bagi kita, baik di dunia ataupun di akhirat.

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya segala urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya” [HR Muslim]

2. Hal selanjutnya yang hendaknya kita lakukan ialah memohon kesembuhan kepada Allah, menumbuhkan keimanan dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang dapat menyembuhkan penyakit kita. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahui ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya do’a

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, sirnakanlah keluhan, sembuhkanlah dia, sedangkan Engkaulah Penyembuh, tiada kesembuhan melainan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tiada menyisakan penyakit”

Kita sering melupakan hal ini. Bahkan, sering kali do’a menjadi upaya terakhir yang kita lakukan dalam upaya penyembuhan, atau hanya kita lakukan bila tenaga medis telah kesulitan, atau kita telah mengeluarkan banyak biaya sehingga rasa putus asa telah menyelimuti sanubari dan –mungkin juga- dengan penuh keraguan kita berdo’a memohon kesembuhan kepada Allah, sambil berkata, “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”. Subhanallah, dengan tenaga medis kita optimis, akan tetapi dengan kekuasaan Allah kita ragu, sehingga kita berkata “Siapa tahu do’a kita dikabulkan”?

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun ke-10/Rabi'ul Awal 1432 (Feb - 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Secercah Nasihat Untuk Anda Wahai Para Dokter


Oleh
Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman



Termasuk nikmat Allah atas para hamba-Nya adalah Allah mengajarkan dan melebihkan sebagian orang dalam bidang kedokteran. Mereka membantu orang yang sakit dan menjadi sebab setelah Allah dalam menyembuhkan orang sakit. Berikut ini secercah nasihat yang ingin kami sampaikan kepada segenap saudaraku para dokter, sebagai peringatan dan nasihat dalam kebaikan. Terimalah nasihat sederhana ini dari saudaramu yang tidak menghendaki kecuali kebaikan. Terimalah dengan hati yang lapang, semoga Allah menunjuki kita semua ke jalan yang lurus.

PERTAMA : ALLAH TELAH MELEBIHKANMU
Wahai saudaraku para dokter –semoga Allah menjagamu-. Anda telah diberi nikmat oleh Allah dengan nikmat yang banyak. Salah satunya adalah Allah telah memilihmu untuk menjadi dokter. Keahlian ini tidak dimiliki oleh semua orang. Maka bersyukurlah atas nikmat yang besar ini. Jangan lupa diri. Ingatlah ilmu pengetahuan yang kita miliki adalah pemberian Allah. Tidaklah kita ingat bahwa dahulu kita tidak mengetahui apa pun? Allah berfirman.

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“Dan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu” [An-Nisa : 113]

Allah berfiman pula

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” [An-Nahl : 78]

Jadi, ilmu kedokteran yang anda –para dokter- miliki adalah pemberian Allah, maka syukurilah dengan cara menggunakan nikmat ilmu tersebut dalam kebaikan.

KEDUA : NIAT YANG SHALIH
Wahai saudaraku para dokter…. Niatkan ketika anda menjalankan tugas dan mengobati untuk mencari pahala dari Allah, jangan semata-mata hanya rutinitas tugas atau ingin meraih rizki yang melimpah. Niatkan dari tugas mulia ini untuk berbuat baik kepada sesama kaum muslimin, jangan tergambar hanya untuk urusan dunia. Ingatlah, tugasmu sangat mulia. Ikhlas dalam beramal. Akan tetapi, hal itu bukan berarti tidak boleh mengambil upah dalam mengobati. Ambillah gaji atau pemberian orang yang sakit, tetapi ingat, jangan membebani hingga si pasien merasa berat. Berilah keringanan kepada saudaramu yang sedang tertimpa musibah, insya Allah ganjaran yang anda dapat akan lebih besar. Allah berfirman.

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” [Al-Baqarah : 199]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ نَفَّسَ مُسلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ فِى الدُّنْيَا يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan, maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat” [1]

Demikian pula hendaklah anda amanah dalam menjalankan tugas mulia ini. Jangan mengatakan kepada pasien harus beli ini dan itu padahal tidak dibutuhkan, atau memberi resep obat mahal yang tidak dibutuhkan demi melariskan apotek tempat tugasmu. Takutlah kepada Allah dari dusta ketika bertugas. Bantulah saudaramu sebelum Allah mencabut kenikmatan ini darimu

KETIGA : KERJAKAN SHALAT KETIKA TIBA WAKTUNYA
Termasuk bentuk syukurmu kepada Allah adalah apabila adzan telah berkumandang maka bersegeralah berangkat shalat. Jangan akhirkan shalat, karena anda adalah teladan bagi orang-orang yang disekitarmu. Apabila amalan yang sedang anda kerjakan di rumah sakit sangat mendesak, seperti sedang operasi pasien dan tidak bisa menundanya, maka tidaklah mengapa anda mengakhirkan shalat hingga tugasmu selesai, setelah itu bersegeralah shalat. Allah berfirman.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'” [Al-Baqarah : 238]

KEEMPAT : BELAJAR ILMU AGAMA
Saudaraku, sang dokter..
Mungkin anda sering mendapati pasienmu tidak paham bagaimana tata cara berwudhu dan shalatnya orang yang sedang sakit. Maka tugasmu untuk mengajari mereka, membimbing mereka bagaimana tetap beribadah ketika sakit. Kewajibanmu wahai para dokter untuk belajar ilmu agama, agar anda bisa mengarahkan pasien ke jalan yang benar dan beribadah dengan benar pula.

KELIMA : JANGAN BERDUA-DUAAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM.
Saudaraku, sang dokter…
Terkadang pasienmu adalah seorang wanita. Apabila anda bisa mencari dokter wanita yang bisa menanganinya maka itulah yang seharusnya. Akan tetapi, jika tidak ada maka tetaplah anda menanganinya dengan didampingi mahram si pasien. Jangan hanya berdua-duan dengan pasien wanitamu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْمَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berdua-duan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya” [2]

Apabila mahram si pasien wanita tidak ada, dan tidak ada pula dokter wanita yang lain, maka tetaplah anda mengobati sewajarnya dengan tetap menjaga rasa takut kepada Allah. Obatilah seperlunya, jangan tambahi dengan obrolan yang keluar batas.

KEENAM : MEMBUKA AURAT WANITA?
Nasihatku selanjutnya, apabila kondisimu terpaksa dan menuntut membuka aurat pasien wanitamu, maka bukalah aurat tempat yang sakit yang perlu diobati saja, jangan berlebih-lebihan. Ini dibolehkan karena termasuk kondisi darurat. Dan darurat itu diukur sekedarnya saja, apabila telah selesai maka tutuplah kembali. Takutlah selalu kepada Allah untuk membuka aurat pasien wanita tanpa ada kebutuhan yang mendesak.

KETUJUH ; JAGALAH RAHASIA PASIEN
Sebagian pasien ada yang menyampaikan permasalahannya dan menceritakan rahasia dan isi hatinya kepada anda. Maka sebagai bentuk amanat sesama muslim, jagalah rahasia ini dan berilah solusi yang terbaik dan sesuai dengan kondisinya, jangan anda sebarkan aibnya di khalayak manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.

آيَةُ اْلمُنَا فِقِ ثَلاَ ثٌ : إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga : apabila berkata dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat” [3]

KEDELAPAN : MENASIHATI DENGAN KEBAIKAN
Apabila anda melihat atau mengetahui bahwa pasienmu tatkala sehat adalah orang yang sombong, sering mengganggu orang lain, dan sering berbuat dosa misalnya, kemudian sifat ini melemah ketika dia sakit atau bahkan jiwanya menjadi lemah, dan berbalik senang menerima nasihat, maka manfaatkanlah peluang emas ini dengan menasihatinya secara halus dan baik. Tunjukilah ke jalan kebenaran. Semoga ketika sembuh pasienmu menjadi baik dan anda pun meraih pahala yang setimpal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa yang menunjuki kebaikan, maka baginya semisal pahala orang yang mengerjakannya” [4]

KESEMBILAN : BERLEMAH LEMBUT KEPADA PASIEN
Barangsiapa anda mendapati di antara pasienmu yang sakit ada yang sulit untuk paham anjuranmu, bandel dalam minum obat, sering melanggar pantangan makanan, atau banyak bertanya dan lain-lain. Menghadapi watak pasien yang beragam seperti ini adalah dengan bersabar dan berlemah lembut kepada mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Tidaklah kelembutan berada dalam sebuah perkara kecuali akan membaguskannya. Dan tidaklah dicabut kelembutan dari suatu perkara kecuali akan mengotorinya” [5]

Bersabarlah dalam melayani tingkah polah pasienmu yang beragam, berlemah lembutlah kepada mereka. Tebarkan senyum, jangan bermuka masam, semoga dengan sikapmu seperti ini dapat membantu kesembuhan mereka.

KESEPULUH : SIAP KETIKA DIMINTA KAPANPUN
Nasihatku yang terakhir, bahwa keahlianmu dalam mengobati menuntut agar anda selalu siap bila ada orang yang membutuhkanmu. Siap di setiap waktu dan tempat. Barangkali dengan kamu bersegera berangkat ketika dimintai bantuan adalah sebab –setelah Allah- bagi hidupnya nyawa saudaramu sesama muslim. Ingatlah, mungkin dengan selamatnya saudaramu adalah sebab anda meraih pahala karena kebaikan yang dia kerjakan ketika sembuh. Renungkanlah selalu firman Allah ini.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.[Al-Maidah : 32]

Demikain kajian kita kali ini. Perlu kiranya diketahui bahwa kajian ini disarikan dari Rasa’il Ila al-Thabib al-Muslim karya Dr Thoriq bin Muhammad al-Khuwaithir dengan beberapa tambahan oleh penulis.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun ke-10/Rabi'ul Awal 1432 (Feb - 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Tata Cara Ruqyah Yang Benar
Rabu, 31 Maret 2010 15:04:22 WIB

TATA CARA RUQYAH YANG BENAR


Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya”. [1]

Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah tidak menyimpang dari kaidah syar’i.

Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:

1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.

2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah, dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.

3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan berdoa.

4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.

5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang dibaca.

6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai dengan syariat.

7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah. Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani, 17/184].

8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah. Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة

"Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari tumbuhan yang penuh berkah".[2]

9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An Nawawi (14/180].

Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali.

10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti".[3]

Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi sampai tujuh kali.
Atau membaca :

بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا

"Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini".[4]

Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]

11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata: “Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya membaca doa:

أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak meninggalkan penyakit"[6].

Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.

12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas, seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.[7]

Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah, penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini, Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah Minal ‘Ain Wan Namlah).
Demikian sekilas cara ruqyah. Mudah-mudahan bermanfaat. (Red).

Maraji` :
1. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Dikoreksi Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Jibrin.
2. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abdullah bin Muhammad As Sadhan, Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr. Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun 1426H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Ruqyah Yang Keliru
Kamis, 1 April 2010 22:55:12 WIB

RUQYAH YANG KELIRU


Kebenaran ruqyah sebagai pengobatan sudah dibuktikan oleh para ulama dahulu. Adapun pada masa sekarang ini (dan juga masa sebelumnya), praktek pengobatan yang dianjurkan oleh Sunnah Nabi ini, nampak mengalami beberapa pergeseran tata cara dan tujuan. Terjadinya pergeseran ini, disamping telah menimbulkan kesalahan persepsi tentang ruqyah, juga memunculkan adanya kekhawatiran menyangkut masalah aqidah.

Penyimpangan yang terjadi, di antaranya berpangkal dari dual hal. Pertama, buta atau kurang memahami permasalahan agama. Kedua, membenarkan bualan jin yang merasuki badan seseorang. Misalnya, jin tersebut melontarkan nasihat kepada orang yang akan mengobati, dengan mengatakan –misalnya- kondisi penderita ini demikian, bacalah ayat ini ayat itu, atau tulislah Al Qur’an dengan cara tertentu kemudian lakukan ini itu. Dari sini, kemudian sang terapis menuruti petunjuk jin yang banyak menjerumuskan orang-orang ke jurang perbuatan haram.

Berikut kami sebutkan di antara kekeliruan dalam praktek ruqyah.

1. Mengajak Jin Untuk Berkomunikasi Dan Membenarkan Ocehannya.
Sering terjadi adanya komunikasi dengan jin dan melontarkan pertanyaan kepadanya tentang banyak permasalahan. Baik tentang nama, umurnya dan keyakinannya. Orang-orang pun mudah mempercayainya. Fenomena ini hanya akan mengantarkan manusia menuju kerusakan dan pelanggaran. Orang-orang seolah melupakan bahwa jin bukan sumber talaqqi ilmu. Sebab kedustaanlah yang mendominasi sepak terjang jin. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah: “Dia (saat ini) jujur kepadamu, tetapi ia makhluk yang pendusta”.

Praktek seperti di atas mengandung unsur pelanggaran terhadap petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani berkata: Dahulu, orang-orang yang menangani ruqyah di hadapan orang kesurupan, hanyalah ditangani beberapa individu yang shalih dengan jumlah tidak banyak. Sedangkan sekarang ini, jumlah mereka ratusan orang. Bahkan termasuk juga sekumpulan wanita mutabarrijah (pesolek). Akibatnya praktek ini menyimpang dari statusnya sebagai sarana pengobatan syar’i – yang hanya dilakukan oleh para ahlinya- berubah menjadi fenomena dan sarana kehidupan yang tidak dikenal syariat ataupun ilmu kedokteran sekaligus. Justru menurutku termasuk praktek dajl (kedustaan) dan bisikan setan kepada musuhnya, manusia…. Barangsiapa yang meminta pertolongan dengan jin dalam membuang pengaruh sihir atau ingin mengetahui jati diri jin yang sedang merasuki seseorang – jin itu laki-laki atau perempuan, muslim atau kafir- dan kemudian dibenarkan oleh orang tadi dan juga orang-orang yang bersamanya, niscaya mereka ini tercakup dalam kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Barangsiapa mendatangi tukang ramal, atau dukun dan membenarkannya atas ucapannya, maka ia telah mengingkari risalah yang diturunkan kepada Muhammad”. [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan imam lainnya. Lihat Ghayatul Irwa`, no. 2006]. Maka aku ingin memberikan masukan untuk mereka –kalau mereka tetap menjalankannya- saat berkomunikasi dengan jin, tidak melebihi petunjuk Nabi yang hanya mengatakan “Keluarlah kamu, wahai musuh Allah”. Lihat Silsilah Shahihah, 6/1009-1010.

Komunikasi dalam pengobatan ruqyah ini justru berdampak buruk, di antaranya:

Pertama : Terjadinya fitnah dan perseteruan antara manusia. Sebab, tatkala jin mengatakan bahwa si Fulan adalah aktor yang menyusupkan pengaruh sihir, dan ini didengar oleh orang banyak, maka dapat mengakibatkan timbulnya permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslimin. Berapa banyak tali silaturahmi yang putus, rumah yang hancur dan keluarga yang tercerai-berai lantaran perkataan jin yang ada dalam tubuh korban kerasukan?

Kedua : Jin akan lebih lama tinggal dalam tubuh korban, lantaran bacaan Al Qur`an dihentikan dengan komunikasi tersebut.

2. Menyembelih Hewan Sembelihan Untuk Jin.
Perbuatan ini haram, karena termasuk dalam kategori syirik. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknati orang yang menyembelih untuk selain Allah”.

3. Terlalu Bergantung Pada Pengalaman.
Karena terlalu longgar, banyak peruqyah yang memiliki cara tersendiri, berbeda dengan cara rekan sejawatnya yang lain. Mereka berdalih, cara ini sudah melewati uji coba dan ternyata manjur.

Sebagai contoh, mengolesi minyak pada anggota tubuh tertentu, membaca Al Qur`an di depan satu bejana air dan berwudhu dengannya, juga untuk mandi dengan berlebihan, penggunaan kayu wangi (bukhur), penggunaan cara kekerasan dengan intimidasi terhadap jin, keinginan untuk membakarnya, atau bahkan ingin membunuhnya. Cara yang dipakai kadang dengan pukulan, cekikan (pada korban), menggelapkan ruangan tempat terapi, membakar beberapa bagian anggota tubuh korban. Atau dengan melakukan ruqyah di hadapan orang banyak demi menghemat waktu. Caranya, menggunakan pengeras suara di dalam masjid dengan memfokuskan pada ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat ruqyah.

Syaikh Al Albani mengatakan: “Tidak setiap pengalaman yang bermanfaat menunjukkan, bahwa cara seperti itu sesuai dengan syariat. Sebab, seandainya masalah ini dibuka secara bebas, maka akan membuka kelonggaran untuk kedustaan, bid’ah dan khurafat. Atau tidak menutup kemungkinan terjadinya kesyirikan”.

4. Berprofesi Sebagai Pembaca Ruqyah.
Ada sebagian orang yang menyibukkan diri untuk mengobati dengan cara ruqyah. Waktunya hanya habis untuk membaca di depan orang-orang yang sakit. Tempat tinggal diperluas dan siap menerima kedatangan para pasien. Jadwal kunjungan pun ditetapkan layaknya rumah sakit. Kesibukan ini dijadikan sebagai pekerjaan untuk mencari penghidupan. Fenomena ini akan menimbulkan dampak negatif.

Pertama : Kebanyakan orang akan mengira, bahwa peruqyah ini mempunyai keistimewaan tersendiri. Buktinya banyak pengunjung mendatanginya. Akibatnya, menimbulkan asumsi, jika posisi pembaca Al Qur`an melebihi kedudukan yang dibacanya, yaitu Al Quran. Oleh karena itu, segala akses yang berakibat melemahnya kepercayaan orang kepada Al Qur`an harus dicegah.

Kedua : Sang peruqyah juga mungkin akan mengira dirinya mempunyai kekuatan super sehingga setan-setan takluk di hadapannya. Sehingga penyakit ‘ujub dan takabur merasukinya, demikian juga perasaan buruk lainnya.

Dahulu, pada zaman sahabat, ada sekian sahabat yang dikenal doanya terkabul, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, dan juga Uwais Al Qarni dari kalangan tabi’in. Meski begitu, tidak diketahui atsar yang menunjukkan adanya orang-orang memadati rumahnya untuk meminta doa. Padahal doa mustajab sangat dibutuhkan orang-orang untuk memperbaiki dunia dan akhiratnya.

Ketiga : Orang yang menyibukkan diri untuk meruqyah, adalah laksana orang yang mengkhususkan diri untuk mendoakan orang lain, karena jenisnya sama. Apakah pantas bagi seorang muslim mengatakan, kemarilah aku akan doakan kalian. Apalagi praktek ini mematikan semangat orang untuk meruqyah diri sendiri dan meminta penyembuhan dari Allah semata.

5. Meminta Upah Dengan Berbagai Cara.
Imbal balik ini dilakukan dengan beragam cara :
Pertama : Memaksa agar diberi upah yang tinggi.
Kedua : Menolak meruqyah kecuali setelah menerima satu nominal uang dari penderita.
Ketiga : Sengaja mengulangi pengobatan dan memanjangkan waktunya sehingga dapat menerima upah untuk setiap kesempatan.
Keempat : Mereka mengaku tidak meminta upah, tetapi hanya ada jual beli air “bertuah” yang sudah dibacakan ruqyah padanya. Air “bertuah” dicampur dengan beberapa ramuan alami, kemudian dijual dengan harga mahal.

6. Membuat Dzikir-Dzikir Baru Dalam Agama.
Dalam beberapa buku disebutkan adanya pengobatan dengan ayat Al Qur`an, dzikir-dzikir yang umum dalam syariat, namun cara ketentuan membacanya ditetapkan dengan cara-cara yang khusus.

Sebagai misal, adanya ketentuan agar ayat ini atau dzikir ini dibaca duapuluh kali atau seratus kali. Padahal sama sekali tidak ada keterangannya dalam agama. Contoh konkretnya dalam buku Itsbatu ‘Ilaji Jami’i Al Amradhi Bil Qur`an (ketetapan penyembuhan segala penyakit dengan Al Qur`an). Dalam buku tersebut dijelaskan, setelah penulis menyebutkan ayat-ayat terapi, ia menambahkannya dengan ketentuan “hendaknya ditulis dalam piring buatan Cina, berwarna putih tanpa ornamen. Tentu yang seperti ini merupakan kesalahan.

Disamping cara-cara ruqyah yang keliru di atas, masih ada beberapa cara yang menyimpang lainnya, seperti:

- Meyakini bahwa ruqyah benar-benar bermanfaat dan merupakan faktor penyembuh.
- Membuka pengobatan dengan menanyakan nama dan nama ibu pasien.
- Meminta benda-benda yang pernah dipakai pasien.
- Meminta penyembelihan hewan dengan cara khusus. Dan kadang, setelah itu memerintahkan untuk melumuri badan penderita dengan darah hewan tersebut.
- Menuliskan beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami layaknya kode morse atau huruf yang putus-putus.
- Melakukan komat-kamit dengan kalimat yang tidak terpahami.
- Membekali pasien dengan benda untuk dipendam di sekitar rumah.
- Menyatakan mampu memberi tahu pasien tentang kondisi yang dialaminya.
- Terlihatnya tanda-tanda kefasikan pada seorang peruqyah, seperti malas menunaikan shalat berjamaah.
- Dalam pengobatan wanita, dengan dalih sebagai penyembuh atau dengan alasan terpaksa, kadang sang peruqyah membuka aurat wanita, melihat wanita di tengah pengobatan, meletakkan tangan di tubuh pasien wanita atau mengoleskan cream di beberapa anggota tubuhnya. Padahal, wanita adalah fitnah terbesar bagi kaum lelaki. Disinilah setan berusaha menjerumuskan para terapis ke jurang pelanggaran syari’at dengan dalih penyembuhan, dan masih banyak lainnya.

Demikian praktek ruqyah yang bisa dianggap bisa mewakili terungkapnya beberapa kekeliruan yang terjadi seputar ruqyah. Bagi mereka yang melakukan terapi ruqyah, hendaknya berpegang teguh dengan petunjuk Al Qur`an dan Sunnah yang shahih. Jangan sampai setan mempermainkan mereka. Allah berfirman, yang artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [QS An Nur ayat 63]. (Red)



Ruqyah, Penyembuhan Dengan Al-Qur`an Dan As-Sunnah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Allah menciptakan makhlukNya dengan memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut konsekwensi kesenangan, yaitu bersyukur; dan konsekwensi kesusahan, yaitu sabar. Hal ini bisa terjadi dengan Allah membalikkan berbagai keadaan manusia sehingga peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa musibah, penderitaan dan penyakit merupakan hal yang lazim bagi manusia. Dan semua itu pasti menimpa mereka, untuk mewujudkan peribadahan kepada Allah semata, serta untuk melihat siapa yang paling baik amalnya.

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun" [Al Mulk : 2]

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian; bahkan cobaan dan ujian merupakan Sunnatullah dalam kehidupan. Manusia diuji dalam segala sesuatu, baik dalam hal-hal yang disenangi maupun dalam hal yang dibenci dan tidak disukai. Allah berfirman :

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan". [Al Anbiya`: 35].

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan, kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, petunjuk dan kesesatan”.[1]

Berbagai macam penyakit merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hambaNya. Sesungguhnya, cobaan-cobaan itu merupakan Sunnatullah yang telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmahNya. Ketahuilah, Allah tidak menetapkan sesuatu, baik berupa takdir kauni (takdir yang pasti berlaku di alam semesta ini) atau syar’i, melainkan di dalamnya terdapat hikmah yang amat besar, sehingga tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia. Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, penyakit dan kesulitan, semua itu mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat banyak.

Pada zaman sekarang, banyak penyakit yang menimpa manusia. Ada yang sudah diketahui obatnya, dan ada pula yang belum diketahui obatnya. Hal ini merupakan cobaan dari Allah, yang juga akibat dari perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia. Allah berfirman:

"Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)". [Asy Syura : 30].

Setiap penyakit pasti ada obatnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ماَ أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Allah tidak menurunkan penyakit, melainkan pasti menurunkan obatnya".[2]

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ, فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ

"Setiap penyakit ada obatnya. Jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka akan sembuh dengan izin Allah". [3]

Seorang muslim, bila ditimpa penyakit, ia wajib berikhtiar mencari obatnya dengan berusaha secara maksimal. Dalam usaha mengobati penyakit yang dideritanya, maka wajib memperhatikan tiga hal.

Pertama : Bahwa obat dan dokter hanya sarana kesembuhan. Adapun yang benar-benar menyembuhkan penyakit hanyalah Allah.

Allah berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam.

"..dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku". [Asy Syu’ara’: 80].

"Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya, dan Dia-lah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang". [Yunus : 107].

Kedua : Dalam berikhtiar atau berusaha mencari obat tersebut, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.

Yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang yang haram, karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari barang yang haram.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ , فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan (obat) yang haram".[4]

إَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَ كُمْ فِي حَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian pada apa-apa yang haram".[5]

Tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik, seperti: pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, orang pintar, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh dan sebagainya yang tidak sesuai dengan syari’at, sehingga dapat mengakibatkan jatuh ke dalam perbuatan syirik dan dosa besar yang paling besar. Orang yang datang ke dukun atau orang pintar, ia tidak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ, لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

"Barangsiapa yang datang kepada dukun (orang pintar atau tukang ramal), lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama empatpuluh malam".[6]

مَنْ أَتَى عَرَّا فًـا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ, فَقَد كَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلى مُحَمَّدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi orang pintar (tukang ramal atau dukun), lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad".[7]

Apabila seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan lainnya atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka sekali-kali ia tidak boleh mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal. Perbuatan tersebut merupakan dosa besar. Begitu pula, seseorang tidak boleh bertanya kepada mereka tentang penyakit maupun tentang hal-hal yang ghaib, karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib, melainkan hanya Allah saja; bahkan Rasulullah pun tidak mengetahui perkara yang ghaib. Allah berfirman:

"Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku”. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" [Al An’am : 50].

Ketiga : Pengobatan dengan apa yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti ruqyah, yaitu membacakan ayat-ayat Al Qur`an dan do’a-do’a yang shahih; begitu juga dengan madu, habbatus sauda’(jintan hitam), air zam-zam, bekam (mengeluarkan darah kotor dengan alat bekam), dan lainnya. Pengobatan dan penyembuhan yang paling baik itu dengan ayat-ayat Al Qur`an, karena Al Qur`an merupakan petunjuk bagi manusia, penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin.

Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al Qur`an dan dengan apa yang diajarkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ruqyah, merupakan penyembuhan yang bermanfaat, sekaligus penawar yang sempurna. Allah berfirman:

"Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman". [Fushshilat:44].

"Dan kami turunkan dari Al Qur`an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Al Isra` : 82].

Pengertian “dari Al Qur`an” pada ayat di atas ialah Al Qur`an itu sendiri. Karena Al Qur`an secara keseluruhan ialah sebagai penyembuh, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas.[9]

Allah berfirman:

"Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Yunus : 57].

Dengan demikian, Al Qur`an merupakan penyembuh yang sempurna diantara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakitpun yang mampu melawannya untuk selamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb bumi dan langit, yang jika firman-firman itu turun ke gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung-gunung tersebut? Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan membelahnya? Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur`an terdapat jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah terhadap KitabNya. Allah ‘Azza wa Jalla (Yang Maha perkasa lagi Maha agung) telah menyebutkan di dalam Al Qur`an beberapa penyakit hati dan fisik, juga disertai penyebutan penyembuhan hati dan fisik.

Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: penyakit syubhat (kesamaran) atau ragu dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah Yang Maha suci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.[10]

Allah berfirman:

"Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al Qur`an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman". [Al ‘Ankabut : 51].

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan:

فَمَنْ لَمْ يَشْفِهِ الْقُرانُ فَلاَ شَفَاهُ اللهُ, وَمَنْ لَمْ يَكْفِهِ فَلاَ كَفَاهُ اللهُ.

"Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Qur`an, berarti Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan oleh Al Qur`an, maka Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya".[11]

Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al Qur`an telah membimbing dan menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya, juga kaidah-kaidah yang dimilikinya. Kaidah pengobatan penyakit badan secara keseluruhan terdapat di dalam Al Qur`an, yaitu ada tiga point: menjaga kesehatan, melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit dan mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan.[12]

Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al Qur`an secara baik dan benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang menakjubkan dalam penyembuhan yang cepat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat Al Fatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar”.[13]

Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jamak dari ruqyah) Nabawi yang riwayatnya shahih, merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dan juga suatu do’a yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari penghalang-penghalang terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang sangat bermanfaat dalam menolak hal-hal yang tidak disenangi dan tercapainya hal-hal yang diinginkan. Demikian itu termasuk salah satu obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang dilakukan berkali-kali. Dan do’a juga berfungsi sebagai penangkal bala` (musibah), mencegah dan menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau meringankannya jika ternyata sudah sempat turun.[14]

لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ, وَلاَ يَزِيْدُ فِي الْعُمُرِ إِلاَّ الْبِرُّ.

"Tidak ada yang dapat mencegah qadha` (takdir) kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat memberi tambahan umur kecuali kebijakan".[15]

Tetapi yang harus dimengerti secara benar, bahwa ayat-ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan kepada Allah) yang dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah, pada hakikatnya pada semua ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a. Ta’awudz itu sendiri memberi manfaat yang besar dan juga dapat menyembuhkan. Namun ia memerlukan penerimaan (dari orang yang sakit) dan kekuatan orang yang mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu penyembuhan itu gagal, maka yang demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh pelaku, atau karena tidak adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau adanya rintangan yang kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.

Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek, yaitu dari pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang mengobati.

Yang berasal dari pihak pasien, ialah berupa kekuatan dirinya dan kesungguhannya dalam bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti bahwa Al Qur`an itu sebagai penyembuh sekaligus rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan ta’awudz yang benar, yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang demikian itu merupakan suatu bentuk perlawanan. Sedangkan seseorang yang melakukan perlawanan, ia tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal, yaitu:

Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan kedua tangan yang mempergunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti; apalagi jika kedua hal di atas tidak ada, yaitu hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, tawajjuh (menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan tidak memiliki senjata.

Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al Qur`an dan As Sunnah juga harus memenuhi kedua hal di atas [16]. Oleh karena itu, Ibnut Tiin rahimahullah berkata: “Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat ta’awudz dan juga yang lainnya dari nama-nama Allah adalah merupakan pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan orang-orang yang baik, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala kesembuhan tersebut akan terwujud”. [17]

Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:[18]
Pertama : Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau asma`dan sifatNya, atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah itu harus diucapkan dengan bahasa Arab, diucapkan dengan jelas dan dapat difahami maknanya.
Ketiga : Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh bukanlah dzat ruqyah itu sendiri, tetapi yang memberi pengaruh ialah kekuasaan Allah. Adapun ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja.[19]

Wallahu a’lam bish Shawab, Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, Cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Tahun 1412 H.
2. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah Ar Risalah, Tahun 1415 H.
3. Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, Cet. Darul Fikr.
4. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan, Tahun 1419 H.
5. Adda’ wad Dawa’, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan bin Halabi.
6. Al ‘Ilaj Bir Ruqa` Minal Kitab Was Sunnah, oleh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthan

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Hukum Mengkhususkan Diri Untuk Meruqyah Dan Menjadikannya Sebagai Pekerjaan Tetap

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) menjadi terkenal bisa mengobati orang dengan menggunakan ruqyah. Kemampuan meruqyah membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai sarana-sarana tersebut di tengah-tengah masyarakat.

Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari meruqyah ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara mengkhususkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun banyak memperluas waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan meruqyah ini sebagai pekerjaan tetap (profesi).

Mereka mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi peruqyah itu sendiri maupun bagi mereka yang diruqyah. Di antara kemudharatan itu antara lain:

Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada peruqyah, bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya, peruqyah tadi mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, pentingnya peruqyah melebihi pentingnya bacaan-bacaan yang dibaca oleh peruqyah tadi, yaitu kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tidak lagi melihat pentingnya apa yang dibaca oleh peruqyah, namun hanya melihat kepada peruqyah itu saja.

Dalam hal meruqyah, yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca dari Al Qur`an, sedangkan peruqyah itu sendiri hanya membacakan saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].

Dalam surat lain Allah berfirman :

"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman …." [Fushilat:44].

Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan peruqyah, kuat keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan saja. Karena yang mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang dibaca oleh si peruqyah tersebut.

Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.

Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan akhirat. Tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia. Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dengan menggunakan Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada anggota badan yang sakit dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima dengan lapang dada, dan dengan keyakinan yang mantap serta semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah menghalanginya untuk mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yang ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur`an itu diturunkan di atas gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi, maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].

Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama kaum Muslimin yang tidak diragukan lagi keimanan dan kelebihan mereka, maka kita tidak akan menemukan seorang pun di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka dan mengkhususkan diri dengan membuka praktek pengobatan melalui ruqyah. Kita juga tidak akan mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yang menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi terkenal di kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga pekerjaannya ini beserta namanya.

Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum Muslimin yang menisbatkan dirinya sebagai tukang ruqyah seperti penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman dahulu, orang yang menderita suatu penyakit, dia sendirilah yang meruqyah dengan menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) dan do’a-do’a yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang yang sakit, kemudian ia diruqyah oleh orang yang faham tentang agama, maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yang digigit kalajengking pada waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya meruqyahnya?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ

"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan". [2]

Seandainya mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat adalah suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu daripada kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yang termasuk bagian dari syari’at Islam, namun dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, kemudian dianggap baik oleh masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal ini sesuai dengan penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pada suatu hari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan yang sedang memegang tasbih yang ia gunakan untuk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga melewati seorang laki-laki yang sedang bertasbih (memuji-muji kepada Allah) dengan menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang batu-batu itu dengan kakinya, lantas berkata,’Kelalaian telah membawa kebid’ahan yang merupakan suatu kezhaliman, atau kalian telah melampaui keilmuan para sahabat Radhiyallahu 'anhum ?’." [3]

Sebenarnya yang membuat para tukang ruqyah pada zaman kita ini lebih terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para dokter, pedagang atau pemilik perusahaan lainnya.

Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk meruqyah -tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya untuk menemui mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat mengajarkan ilmu syar’i, dan juga tidak dapat menjelaskan tentang kebenaran agama Islam kepada umat. Terlebih lagi pada zaman yang diliputi kejahilan seperti saat ini serta merebaknya kebodohan dan khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada wali-wali setan, para syaikh dan kepada tokoh tertentu.

Para ulama Ahlus Sunnah tidak mengkhususkan diri mereka semata-mata untuk melayani pengobatan dengan ruqyah ini, karena mereka betul-betul faham terhadap agama Islam -semoga Allah merahmatinya-. Para ulama Ahlus Sunnah banyak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu untuk memahami agama Islam, mendakwahkannya dan berjihad di jalan Allah.

Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada peruqyah yang sudah menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan berpura-pura takut kepada peruqyah, kemudian akan mengatakan bahwa dirinya akan keluar dari tubuh orang yang dimasukinya tadi dan yang semisalnya, dengan tujuan untuk menambah kepercayaan orang tadi kepada peruqyah lebih kuat daripada kepercayaannya terhadap apa yang dibaca oleh peruqyah itu. Di samping itu, setan-setan itu juga bermaksud agar orang awam berkeyakinan, bahwa ruqyah mempunyai keanehan tersendiri.

Dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab -istri Abdullah bin Mas’ud c – berkata: Sesungguhnya Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku menjawab,”Benang untuk meruqyahku”. Zainab berkata: Lalu Abdullah mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia berkata : Kamu semua, wahai keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada syirik. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda.

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ

"Sesungguhnya ruqyah [4], tamimah[5], dan tiwalah[6] adalah syirik".

Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, dan aku berobat kepada fulan Yahudi. Jika ia meruqyahku, maka aku merasa enak”.

Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu merangsangnya dengan tangannya. Karenanya, jika ia meruqyah, ia menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan sebagaimana Rasulullah ucapkan.

أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.

"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah! Engkau adalah Dzat Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit". [7]

Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tidak bisa diketahui, kecuali oleh orang-orang yang faqih dalam masalah agama. Sedangkan apa yang dilakukan orang-orang awam ketika mendengar cerita-cerita aneh tentang si peruqyah, mereka hanya berlomba-lomba menemui tukang ruqyah itu dan memberikan kepada mereka upah yang tidak sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi apabila mereka mendengar bahwa setan-setan berbicara dengan menggunakan lidah orang-orang yang dimasukinya tadi di depan peruqyah, kemudian peruqyah tadi membuat perjanjian dengan setan itu untuk tidak masuk lagi ke dalam tubuh orang yang dimasukinya tersebut.

Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak pula orang-orang yang mendatangi peruqyah ini dengan maksud untuk memastikan bahwa dalam dirinya memang tidak ada jin. Seandainya keadaan seperti ini memang benar merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seharusnya bagi peruqyah itu untuk takut dari akibat yang disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi seandainya ia tidak bisa menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj, atau hal itu hanya merupakan tipu daya setan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yang luar biasa itu sering terjadi pada diri seseorang, maka hal itu tidaklah mengurangi derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih yang bertaubat dari hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana taubatnya orang-orang yang berbuat dosa-dosa, seperti dosa zina dan mencuri. Mereka mengadukan hal itu kepada yang lainnya lantas berdo’a memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan kepada orang-orang yang ingin bertaubat agar jangan mengharapkan kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi yang harus didapatkannya. Jangan pula berbangga dengan hal itu kemudian menyangka, bahwa hal itu sebagai bagian dari karamah. Bagaimana seandainya, jika hal itu benar-benar perbuatan setan dengan maksud untuk menyesatkan mereka? Karena saya tahu, orang-orang yang diajak berbicara oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa di dalam dirinya ada manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yang mengajak mereka berbicara itu adalah para setan yang ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya juga mengerti orang-orang yang diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu dan pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat menyenangkanmu wahai wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya, maka hilanglah semua itu. Saya juga mengerti orang-orang yang pergi menangkap burung; lantas burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah diriku agar aku dimakan oleh orang-orang yang sangat membutuhkan”. Hal itu bisa terjadi, karena setan masuk ke dalam tubuh burung itu; sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu berkata seperti yang diucapkan tadi”.[8]

Bisa jadi, orang-orang yang meruqyah itu merasa bahwa dirinya adalah salah seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi hati dan yang lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui ruqyahnya; demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya dan langsung keluar dari orang yang kesurupan, dan yang lainnya. Para salafush shalih dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir terhadap hal-hal seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk perasaan-perasaan seperti itu.

Orang yang meruqyah, sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang sudah diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat kecuali apabila pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu tergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh dokter, bukan dengan dokter yang mengobatinya. Ini berbeda dengan seorang peruqyah; maka dia menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pada dirinya bukan kepada apa yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada diri setiap Muslim, mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si peruqyah. Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri peruqyah; dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam. Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu a’lam bish shawab.

Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang ruqyah yang menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu, kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila mereka meruqyah seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut tidak mau berbicara, mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata “kami tidaklah meruqyah orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada kami, atau kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.

Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si peruqyah tersebut berilmu. Karena sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan dzikir-dzikir yang biasa digunakan untuk meruqyah, kemudian jin yang ada di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tidak berbicara dan tidak takut. Jadi, dari mana para tukang ruqyah itu mengatakan dengan yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit ‘ain pada diri seorang kesurupan yang sedang diruqyahnya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi, karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan perkataan-perkataan para tukang ruqyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].

Hal yang perlu juga dikritik dari para peruqyah tersebut, yaitu cara mereka mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian dia membacakan kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan untuk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yang datang berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah peruqyah dengan menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk diruqyah, kemudian diruqyah satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada masyarakat sebagai media pengobatan massal.

Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara seperti itu oleh para peruqyah, seperti harta banyak, maka beberapa dukun maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba menampakkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun membuka tempat-tempat khusus untuk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dengan kebatilan sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan orang pintar, karena semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan bacaan mereka dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal itu bermaksud baik.

Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor melarang untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, sebagai cara untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus pada penggantungan tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]

Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh saja dilakukan dan hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan ruqyah sebagai profesi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh para khulafa’ur rasyidin.

Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada yang dapat meruqyah karena di dekat sumber air itu ada orang yang tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia sembuh, maka ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau menerima kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menjawab:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.

"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".[11]

Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku :

اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ

"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12]

Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan kemustajaban doa mereka untuk memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin, meski sebenarnya tidak ada larangan syar’i untuk datang dan meminta doa kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab z kepada Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian, tidak diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk Makkah dan Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi fitnah pada diri orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha menyembunyikan keberkahan doanya dan tidak menjerumuskan diri sendiri dan orang lain terhadap fitnah.

Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yang datang dari negeri Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais, kemudian beliau berkata: “Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau berkata lagi,”Uwais yang berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais menjawab,”Ya, betul.” Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena penyakit kusta, namun setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal sedikit lagi?” Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau mempunyai seorang ibu?” Uwais menjawab,”Betul.” Setelah itu Umar berkata lagi,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,‘Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit tersebut kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Dia sangat berbakti kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dengan Nama Allah, karena baktinya kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala permintaannya. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata: “Mohonkanlah pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah itu Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.

Setelah itu Umar bertanya,”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab,”Ke negeri Kufah.” Umar berkata lagi,”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat kepada gubernur di sana?” Dia menjawab,”Aku lebih senang bersama orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu bertemu dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab,”Aku tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.” Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’."

Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab,”Engkau baru saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang lebih pantas untuk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah engkau bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab: “Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya, sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]

Pada hakikatnya ruqyah itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan sebagai doa dan yang semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri bergantian mendatangi seseorang yang tampaknya bisa memberikan kebaikan bagi anak-anak mereka dengan cara men-tahnik-nya dengan kurma atau lainnya, maka banyak juga orang yang datang membawa anak mereka untuk di tahnik. Yang nampak sangat jelas pada zaman Nabi, banyak bayi yang lahir, tetapi tidak dibawa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam minta untuk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yang meruqyah khawatir terhadap dirinya atau terhadap mereka dari fitnah.

Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; apakah mereka tidak merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong dan lain sebagainya?

Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan dan kepasrahan mereka terhadap peruqyah lebih besar daripada ketergantungan dan kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dengan peruqyah hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya, sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat pada sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi, mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan. Di samping itu, meruqyah seperti itu juga bisa mendatangkan kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai ruqyah dengan cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush shalih, seperti dengan cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan, lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini adalah perbuatan bid’ah.

Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk meruqyah, sama seperti orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain; sehingga dengan demikian, ruqyah dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku akan mendoakanmu”.

Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”

Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada diri orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka, cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan ruqyah, sehingga mereka pun pergi meminta ruqyah kepada orang lain dan melupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah, yaitu meruqyah diri sendiri dan menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memohon kesembuhan kepadaNya.

Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri menjadi peruqyah dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar, mengikuti Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.





Terapi Penyakit Suka Sesama Jenis


Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri


Dalam setiap proses pengobatan, langkah pertama yang ditempuh oleh dokter atau tenaga medis adalah melakukan diagnosis. Tujuannya, ialah untuk mengetahui penyebab penyakit yang diderita. Diagnosis ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari wawancara dengan pasien, hingga dengan test laborat dengan menggunakan teknologi canggih.

Islam sendiri telah memudahkan proses pengobatan. Yaitu dengan cara mengajarkan kepada umatnya hasil diagnosa yang benar-benar aktual. Allah Ta'ala yang telah menurunkan penyakit, telah mengabarkan kepada kita bahwa di antara faktor yang menjadi penyebab datangnya penyakit adalah perbuatan dosa kita sendiri.

Allah Ta'ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ الشورى 30

"Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri". [asy-Syûrâ/42 : 30]

Abu Bilaad rahimahullah yang terlahir dalam keadaan buta bertanya kepada al-'Alâ` bin Badr rahimahullah : "Bagaimana penerapan ayat ini pada dirinya, padahal ia menderita buta mata sejak dalam kandungan ibunya?"

Jawaban al-'Alâ` bin Badr sangat mengejutkan, ia berkata: "Itu adalah akibat dari dosa kedua orang tuamu".[1]

Singkat kata, penyakit yang menimpa kita, tidak terkecuali penyakit suka sesama jenis sangat dimungkinkan adalah akibat dari perbuatan dosa, baik yang kita lakukan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita.

DIAGNOSA PENYAKIT SUKA SESAMA JENIS
Berikut beberapa perbuatan dosa atau kesalahan yang mungkin pernah dialami oleh orang yang dihinggapi penyakit suka sesama jenis.

Pertama : Nama Yang Tidak Menunjukkan Identitas.
Di antara kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh kedua orang tua, ialah memilihkan nama yang baik untuk anaknya. Bukan sekedar baik ketika didengar atau diucapkan, akan tetapi juga baik dari segala pertimbangan, dari makna maupun nilai sejarahnya. Pertimbangan pemilihan nama yang baik dapat menunjukkan identitas, baik secara agama maupun jenis kelamin. Oleh sebab itu, banyak ulama yang mencela penggunaan nama-nama yang terkesan "lembut" bagi anak laki-laki.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Ada hubungan keserasian antara nama dan pemiliknya. Sangat jarang terjadi ketidakserasian antara nama dan pemiliknya. Yang demikian itu, karena setiap kata sebagai pertanda makna yang terkandung di dalamnya. Dan nama adalah petunjuk bagi kepribadian pemiliknya. Bila engkau merenungkan julukan seseorang, niscaya makna dari julukan tersebut ada padanya. Sehingga nama yang buruk merupakan pertanda bahwa jiwa pemiliknya buruk. Sebagaimana wajah yang buruk, pertanda bagi buruknya jiwa seseorang".[2]

Oleh karena itu, bila seseorang yang ditimpa penyakit suka sesama jenis memiliki nama yang kurang menunjukkan jati dirinya, maka hendaklah segera merubah namanya, sehingga lebih menunjukkan jati dirinya sebagai seorang laki-laki atau wanita.

Kedua : Pengaruh Pakaian Dan Perhiasan.
Islam melarang kaum laki-laki menyerupai kaum wanita, baik dalam berpakaian, perhiasan, perilaku atau lainnya, dan demikian juga sebaliknya.

لَعَنَ النبي n الْمُخَنَّثِينَ من الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ من النِّسَاءِ وقال: (أَخْرِجُوهُمْ من بُيُوتِكُمْ). متفق عليه

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki, dan beliau bersabda: “Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian". [Muttafaqun 'alaih]

Berdasarkan hadits ini, kaum laki-laki dilarang mengenakan pakaian dan perhiasan yang merupakan ciri khas kaum wanita, dan demikian juga sebaliknya. Sebagaimana kaum laki-laki juga dilarang untuk menyerupai suara, cara berjalan, dan seluruh gerak-gerik kaum wanita, demikian juga sebaliknya.[3]

Berdasarkan ini pula, maka diharamkan bagi kaum lelaki mengenakan perhiasan emas dan pakaian yang terbuat dari sutera. Karena kedua hal itu merupakan ciri khas kaum wanita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبُ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني

"Diharamkan pakaian sutera dan perhiasan emas atas kaum laki-laki dari umatku, dan dihalalkan atas kaum wanita mereka" [HR at-Tirmidzi, an-Nasâ`i, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

Para ulama menjelaskan hikmah larangan ini, bahwa perhiasan emas dan pakaian sutera dapat mempengaruhi kepribadian seorang laki-laki yang mengenakannya. Bahkan Ibnul-Qayyim rahimahullah menyatakan, biasanya, seseorang yang mengenakan perhiasan emas atau pakaian sutera memiliki perilaku yang menyerupai kaum wanita. Kedua hal ini akan terus-menerus melunturkan kejantanan laki-laki yang memakainya. Hingga pada akhirnya (sifat kelelakiannya) akan menjadi sirna, dan berubah menjadi seorang yang banci. Karena itu, pendapat yang benar ialah diharamkan bagi orang tua mengenakan kepada anak lelakinya perhiasan emas atau pakaian sutera, agar kejantanan anak tersebut tidak terkikis.[4]

Aturan untuk membedakan dari lawan jenis. Demikian juga hal ini ditekankan kepada kaum wanita, sehingga mereka juga dilarang berperilaku yang menyerupai kaum laki-laki, dan dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang selaras dengan kewanitaannya.

Salah satu yang dapat menunjukkan identitas kewanitaan seseorang, ialah dengan cara merubah warna kuku jari jemarinya dengan hinna' (pacar kuku dari tumbuhan tertentu, ed).

عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت: مَدَّتِ امْرَأَةٌ من وَرَاءِ السِّتْرِ بِيَدِهَا كِتَاباً إلى رسول اللَّهِ n، فَقَبَضَ النبي n يَدَهُ، وقال: (ما أَدْرِى أَيَدُ رَجُلٍ أو أيد امْرَأَةٍ) فقالت: بَلِ امْرَأَةٌ . فقال: (لو كُنْتِ امْرَأَةً، غَيَّرْتِ أَظْفَارَكِ بِالْحِنَّاءِ).

"'Aisyah Radhiyallahu 'anha menceritakan: "Ada seorang wanita dari balik tabir yang menyodorkan secarik surat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabipun menahan tangannya, dan beliau bersabda: 'Aku tidak tahu, apakah ini tangan seorang laki-laki atau wanita?' Wanita itupun berkata: 'Ini adalah tangan wanita,' maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Andai engkau benar-benar wanita, niscaya engkau telah mewarnai kukumu dengan hinna'." [HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasâ`i dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Ketiga : Pengaruh Makanan Haram.
Tidak dapat dipungkiri, perangai dan kepribadian setiap manusia bisa dipengaruhi oleh jenis makanan yang ia konsumsi. Sehingga tidak mengherankan bila seseorang yang memakan daging onta disyari'atkan untuk berwudhu, untuk menghilangkan pengaruh buruk daging yang ia makan.

Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia mengisahkan: "Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Apakah kita diwajibkan berwudlu karena memakan daging kambing?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Engkau boleh berwudhu, dan juga boleh untuk tidak berwudhu,' laki-laki itu kembali bertanya: 'Apakah kita wajib berwudhu karena memakan daging onta?' Beliau menjawab: 'Ya, berwudhulah engkau karena memakan daging onta'." [HR Muslim]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Orang yang berwudhu setelah memakan daging onta akan terhindar dari pengaruh sifat hasad dan jiwa yang kaku yang biasa menimpa orang-orang yang senang memakannya, sebagaimana dialami orang-orang pedalaman. Ia akan terhindar dari perangai hasad dan jiwa yang kaku seperti disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Imam Bukhâri dan Muslim:

(إِنَّ اْلغِلْظَةَ وَقَسْوَةَ الْقُلُوْبِ فِيْ الْفَدَّادِيْنَ أَصْحَابِ الْإِبِلِ وَإِنَّ السَّكِيْنَةَ فِيْ أَهْلِ الْغَنَمِ)

"Sesungguhnya perangai kasar dan jiwa yang kaku, biasanya ada pada orang-orang pedalaman, para pemelihara onta, sedangkan lemah-lembut biasanya ada pada para pemelihara kambing" [5].

Bila demikian, maka tidak diragukan lagi bahwa makanan yang jelas keharamannya memiliki pengaruh buruk pada diri dan kepribadian pemakannya. Dan di antara makanan haram yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga dijangkiti penyakit suka sesama jenis ialah daging babi dan keledai. Ibnu Sirin rahimahullah berkata: "Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai".[6]

Bila seseorang membiasakan dirinya dan juga keluarganya memakan daging babi atau keledai, lambat laun, berbagai perangai buruk kedua binatang ini dapat menular kepadanya. Na'udzubillah.

Keempat : Pengaruh Pergaulan Dan Pendidikan.
Masing-masing diri kita pasti memiliki pengalaman tersendiri tentang pergaulan dalam mempengaruhi pembentukan jati diri dan perangainya. Sedikit banyak, cara berpikir dan kesukaan manusia dipengaruhi oleh keluarga, teman bergaul, atau masyarakat sekitar. Oleh karena itu, jauh hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar memilihkan kawan yang baik untuk anak-anak kita, sehingga mereka terpengaruh oleh kebaikan dan terhindar dari pengaruh buruk.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah ada seorang yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (muslim), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. Perumpamaannya bagaikan seekor binatang yang dilahirkan dalam keadaan utuh anggota badannya, maka apakah kalian mendapatkan padanya hidung yang dipotong?” [Muttafaqun ‘alaih]

Sebagaimana Islam juga mengajarkan agar orang tua mulai memisahkan tempat tidur anak laki-laki dengan tempat tidur anak wanita.

(مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عليها وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في الْمَضَاجِعِ)

"Perintahlah anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun, dan pukullah bila enggan mendirikan shalat ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka" [Riwayat Abu Dawud dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

Pemisahan tempat tidur antara anak laki-laki dan tempat tidur anak wanita dapat menumbuhkan kesadaran pada diri masing-masing tentang jati dirinya. Sehingga anak laki-laki mulai menyadari bahwa dirinya berlawanan jenis dengan saudarinya, demikian juga dengan anak wanita. Sejalan dengan perjalanan waktu dan disertai pendidikan yang baik, masing-masing akan menjadi manusia yang berkepribadian lurus lagi luhur.

Di antara yang dapat memupuk kesuburan jati diri anak-anak, ialah dengan membedakan jenis permainan mereka. Melalui sarana permainan yang terarah dan mendidik, orang tua dapat menumbuhkan kesadaran pada masing-masing anak tentang jati dirinya. Salah satu permainan yang dapat memupuk kepribadian anak wanita adalah boneka.

Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

(كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ في بَيْتِهِ وَهُنَّ اللُّعَبُ) متفق عليه

"Dahulu, aku bermain boneka anak-anak di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Muttafaqun 'alaih]

Para ulama' menyatakan, bahwa dibolehkannya membuatkan boneka untuk anak-anak wanita yang masih kecil ini merupakan keringanan atau pengecualian dari dalil-dalil umum yang melarang kita membuat patung. Melalui sarana permainan ini, anak-anak wanita kita diharapkan mulai memahami jati dirinya dan juga peranan yang harus mereka lakukan kelak ketika telah dewasa dan berkeluarga.[7]

Dengan demikian, pergaulan dan pendidikan memiliki peranan besar dalam pembentukan karakter dan cara pandang anak-anak. Sehingga kesalahan dalam pendidikan dan pergaulan dapat mengakibatkan perilaku kurang terpuji di kemudian hari.

TERAPI PENYEMBUHAN
Bila melalui diagnosa di atas, seseorang dapat menemukan penyebab datangnya penyakit yang dideritanya, maka segeralah melakukan langkah-langkah pengobatan.

Langkah Pertama : Yang harus dilakukan ialah dengan membenahi kesalahan dan bertobat dari kekhilafan.

Langkah Kedua : Berdoa Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ketahuilah, perbuatan dosa dan khilaf dapat terjadi karena kita memperturutkan bisikan kotor, baik yang datang dari iblis maupun dari jiwa yang tidak suci. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang suci dan dijauhkan dari perilaku buruk :

اللهم آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أنت خَيْرُ من زَكَّاهَا (رواه مسلم )

"Ya Allah, limpahkanlah ketakwaan kepada jiwaku dan sucikanlah. Engkau adalah sebaik-baik Dzat Yang Mensucikan jiwaku" [Riwayat Muslim]

Pada kesempatan lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ (رواه الترمذي والحاكم والطبراني )

"Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari akhlak, amalan, dan hawa nafsu yang buruk" [Riwayat at-Tirmidzi, al-Hakim, dan ath-Thabrani]

Oleh sebab itu,bagi orang yang telah terjangkiti penyakit ini, hendaknya memohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar jiwanya disucikan, dan perangainya diluruskan. Ia hendaklnya yakin, bila bersungguh-sungguh berdoa, terlebih ketika sedang sujud dan pada sepertiga akhir malam, yakinlah, pasti Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengabulkan.

Langkah Ketiga : Melakukan Kegiatan-Kegiatan Yang Sesuai Dengan Jenis Kelamin Kita.
Di antara cara yang dapat kita tempuh untuk memupuk jati diri ialah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang selaras dengan diri kita. Bagi kaum wanita, misalnya dengan mengasuh anak kecil (keponakan, adik, atau lainnya), memasak, berdandan, menjahit, membuat karangan bunga. Bagi kaum laki-laki, misalnya dengan mencangkul, olah raga angkat besi, bela diri, tukang kayu, berenang. Dan hendaklah menjauhi segala perbuatan dan perilaku yang biasa dilakukan oleh lawan jenis.

Langkah Keempat : Terapi Hormon.
Salah satu metode pengobatan yang sekarang dikenal masyarakat adalah dengan terapi hormon. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bila seseorang yang menderita penyakit suka sesama jenis mencoba pengobatan dengan cara ini. Akan tetapi, sebelum mencoba terapi ini, seyogyanya ia terlebih dahulu berkonsultasi kepada tenaga medis yang berkompeten, untuk mengetahui sejauh mana kegunaannya. Juga untuk meyakinkan bahwa dalam seluruh proses terapi ini tidak mengandung hal-hal yang diharamkan atau melanggar syari'at.

Langkah Kelima : Berbesar Harapan Dan Kuatkan Semangat.
Sebagaimana telah diisyaratkan di atas, bahwa setiap manusia terlahir ke dunia dalam keadaan normal dan berjiwa suci, dan hanya lantaran pengaruh dunia luarlah seseorang mengalami perubahan. Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عن دِينِهِمْ (رواه مسلم)

"Sesungguhnya Aku telah menciptakan seluruh hamba-Ku dalam keadaan lurus lagi suci, kemudian mereka didatangi oleh setan dan kemudian setanlah yang menyesatkan mereka dari agamanya" [Riwayat Muslim]

Dari situ, hendaklah kita senantiasa berbesar harapan dan optimis bahwa segala penyakit yang kita derita dapat disembuhkan. Yakinlah, penyakit yang kita derita merupakan salah satu akibat dari ulah dan godaan setan. Setanlah yang telah menodai kesucian jiwa kita. Oleh karena itu, besarkan harapan, bulatkan tekad, dan kuatkan semangat untuk merebut kembali kesucian jiwa kita dari belenggu setan dengan selalu berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca Al-Qur`ân. Ketahuilah, wahai Saudaraku, membaca Al-Qur`ân dengan khusyu' dan penuh penghayatan merupakan senjata paling ampuh untuk menghancurkan perangkap syetan.

Termasuk pula di antara cara untuk menghindarkan diri dari perangkap setan ialah dengan senantiasa menghadiri majlis-majlis ilmu, dan berusaha agar selalu berada bersama dengan teman-teman yang baik.

إِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ ، وَ هُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ (رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني)

"Sesungguhnya setan itu bersama orang yang menyendiri, dan ia akan menjauh dari dua orang" [Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]

Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi kita. Dan semoga Allah Ta'ala senantiasa melimpahkan kesucian jiwa dan keluhuran budi pekerti kepada kita.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Wallahu a'lam bish-Shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Penyembuhan Tanpa Obat


Obat adalah suatu bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan seseorang dari penyakit. Pengobatan sudah dikenal sejak jaman dahulu, bahkan para nabi pun mempunyai cara-cara tersendiri dalam hal pengobatan.

Penyembuhan seseorang dari sakit adalah mutlak kekuasaan Allah, bukan kekuasaan manusia. Karena penyakit datang dari Allah, pasti Allah akan menurunkan obatnya. Rasulullah bersabda,

إِ نَ اللهَ لَمْ يُنْزِ لْ دَ ا ءً إ لأَ أَنزَ لَ لَهُ شِفَا ءً فَتَدَ ا وَ واْ

Allah tidak akan menurunkan penyakit, kecuali menurunkan obatnya, maka berobatlah. [HR Ibnu Majah].

Seseorang yang memberikan obat, baik obat-obatan moderen, tradisional, pengobatan cara Nabi, atau pengobatan alternatif yang lainnya, merupakan perantara-perantara kesembuhan dari Allah.

وَإِذَامَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku. [Asy Syu’ara: 80].

Ketika mencari pengobatan alternatif, jangan sampai seseorang terjerumus kepada kemaksiatan, kesyirikan. Tetapi yang harus dibenarkan oleh syari’at Islam.

إِ نَ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَا ءَ كُمْ فِيْمَا حَرَّ مَ عَلَيْكُمْ

Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan obatnya di segala yang diharamkan terhadap kalian. [HR. Thabrani].

Penyembuhan tanpa obat, maksudnya ialah penyembuhan tanpa obat kimiawi maupun obat-obatan moderen. Melainkan dengan pengobatan alternatif, yang bisa diterima ajaran Islam. Atau dengan kata lain, bisa disembuhkan tanpa menggunakan obat-obatan moderen yang berkembang dalam bidang medis.

PERTAHANAN ALAMIAH JAUH LEBIH PENTING DARIPADA OBAT-OBATAN
Pada beberapa penyakit, terkadang tidak memerlukan obat-obatan. Dengan kata lain, bisa disembuhkan tanpa menggunakan obat-obatan. Karena sebenarnya, tubuh manusia mempunyai antibodi atau pertahanan sendiri untuk melawan suatu penyakit. Biasanya pertahanan tubuh ini lebih baik daripada menggunakan obat-obatan. Beberapa penyakit yang sembuh dengan sendirinya, misalnya: influensa (selesma) dan masuk angin.

Untuk membantu tubuh untuk memerangi, melawan dan mengatasi suatu penyakit, harus diutamakan dan diperhatikan tiga hal. Yaitu: menjaga kebersihan diri, banyak istirahat dan makan minum yang baik.

Bahkan pada penyakit parah, yang sangat memerlukan obat-obatan; tubuh sendirilah yang harus mengatasi penyakit tersebut. Obat-obatan hanya membantunya. Kebersihan diri, istirahat yang cukup dan makan minum yang baik, tetaplah menjadi prioritas utama. Sebagian dari cara-cara kesehatan, tidak dan tidak boleh tergantung kepada penggunaan obat.

Sekalipun kita tinggal di daerah yang tidak ada obat-obatan moderen, banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengobati beragam penyakit yang umum dijumpai.

PENYEMBUHAN DENGAN AIR[1]
Kita dapat hidup tanpa obat-obatan. Akan tetapi, tidak seorang pun yang bisa hidup tanpa air. Karena lebih dari setengah (57 %) tubuh kita berupa air. Apabila semua orang dapat menggunakan air dengan sebaik-baiknya, maka jumlah penyakit dan kematian -terutama anak-anak- mungkin dapat dihindari. Insya Allah.

Sebagai contoh, penggunaan air merupakan dasar, baik dalam pencegahan maupun dalam pengobatan mencret (diare). Di banyak daerah, diare merupakan penyebab paling umum dari kematian anak-anak balita. Air yang tercemar dan kotor sering menjadi penyebab dari penyakit tesebut.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan diare, ialah merebus air sebelum dikonsumsi, diminum atau sebelum diolah dengan makanan. Tindakan ini sangat penting, terutama untuk bayi. Botol susu dan peralatan bayi, sebaiknya direbus terlebih dadulu sebelum digunakan.

Mencuci tangan dengan air sabun setelah buang air besar, buang air kecil, sebelum makan dan sebelum memegang makanan, perlu dipentingkan juga.

Penyembuhan dengan air diperlukan sekali bagi anak yang menderita dehidrasi atau kekurangan cairan akibat diare. Dengan memberikan banyak air madu atau air garam kepada anak yang diare, maka dehidrasi insya Allah dapat dicegah, diperbaiki dan disembuhkan

Terapi air, juga bisa menyembuhkan beberapa penyakit. Bahkan minum air sebanyak-banyaknya pada pagi hari sangat baik untuk kesehatan. Sebanyak-banyaknya di sini maksudnya janganlah berlebih-lebihan. Karena lambung harus mampu menerimanya. Rasulullah juga mengisaratkan, bahwa lambung dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk udara dan sepertiga untuk minuman.

CONTOH PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN DENGAN AIR[2]

PENCEGAHAN PENYAKIT
1. Mencret, cacingan, infeksi saluran usus : Rebuslah air, minum dan jangan lupa cuci tangan
2. Infeksi kulit : Sering mandi
3. Luka yang dapat mengalami infeksi, tetanus : Cuci luka sebaik-baiknya dengan sabun dan air

PENGOBATAN PENYAKIT
1. Mencret, kehilangan cairan dalam tubuh : Minum banyak air
2. Penyakit dengan panas : Minum banyak air
3. Panas yang tinggi : Usaplah tubuh dengan air dingin
4. Infeksi saluran kencing yang ringan (sering terjadi pada wanita) : Minum air yang banyak
5. Batuk, asma, radang pada tenggorok (bronchithis), radang paru-paru (pneumonia), batuk rejan : Minum air yang banyak dan hiruplah uap air panas untuk mencairkan lendir (kadang diperlukan obat-obatan tertentu khusus untuk peyakit ini)
6. Luka-luka borok, impetigo, kurap pada kulit kepala, jerawat : Bersihkan dengan sabun dan air
7. Luka-luka infeksi, kantong bernanah (abses, bisul) : Kompres dengan air hangat
8. Sendi dan otot kaku : Kompres dengan air hangat
9. Rasa gatal, terbakar atau rangsangan kulit : Kompres dengan air dingin
10. Luka bakar yang ringan : Rendam dalam air dingin
11. Sakit leher atau peradangan tonsil (tonsilitas) : Kumur air garam hangat
12. Asam, basa, kotoran, debu, atau bahan-bahan yang merangsang mata : Segera mata disiram dengan air dingin
13. Hidung yang tersumbat : Menghirup uap air/air garam

Apabila penyembuhan alternatif dengan air tidak bisa menyembuhkan penyakit, segeralah hubungi tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya.

PENYEMBUHAN DENGAN PRODUK LEBAH
Dalam Al Qur’an Allah Azza wa Jalla telah berfirman tentang khasiat lebah.

وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah,"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia,” Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan. [An Nahl :68,69].

Termuat dalam Shahih Al Bukhari, dari Sa’id Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas dari Nabi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنِ الْكَيِّ

Kesembuhan ada dalam tiga perkara; meminum madu, berbekam dengan gelas dan bakaran api. Tetapi aku melarang umatku melakukan pembakaran dengan besi.”

Madu adalah cairan manis yang tersimpan dalam sel-sel sarang lebah yang melalui pengambilan nektar tanaman oleh lebah madu.

Sejak dahulu, madu telah dijadikan diet khusus untuk vitalitas, kosmetika dan kesehatan secara umum. Tercatat pada zaman kerajaan, seperti: Yunani, China, dan Mesir. ada kajian moderen, ternyata madu mempunyai khasiat membunuh bakteri dan cendawan. Pada kajian klinis, telah membantu penyembuhan kulit terbakar, kulit luka, lambung dan gastroteritis. Madu dapat menghentikan pertumbuhan bakteri, karena kandungan gulanya yang tinggi. Komponen anti bakteri lainnya yaitu hidrogen prioksida yang terbentuk dari aktifitas enzim glukos oksidase. Meskipun kedua hal tersebut ditiadakan, ternyata madu masih mengandung anti bakteri. Aktifitas anti bakteri ini sangat menentukan madu sebagai makanan kesehatan. Karena madu mampu menekan kemungkinan timbulnya penyakit yang berhubungan dengan bakteri dan cendawan. Madu dengan kandungan gula sederhana, baik bagi kebutuhan vitalitas tubuh. Dengan tambahan sifat fisik madu, madu sangat disarankan untuk perawatan kulit dalam menu kosmetika keluarga.

Madu merupakan salah satu jenis makanan dengan kandungan nutrisi yang sangat baik. Komponen yang menyusun madu ialah 20 % air, 38% fruktosa, 30 % glukosa, 1% sukrosa, 70 % maltosa, gula lain 1 %, asam bebas 0,4 %, total asam 0,6 %, laktosi 0,1 %, abu 0,2 % dan nitrogen 0,04 %. Kandungan mineral antara lain kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, mangan, klor, pospor, sulfur dan silikon. Kandungan enzim pada madu berupa invertase, glikooksidase, diastase, sedikit katalase, asam porpatase. Vitamin yang terkandung dalam madu meliputi: B1, B2. B3, B4, B5, B6 dan C. Sifat fisik madu yang menguntungkan antara lain higroskopisitas dan uskositas. Sering mungkin minum madu memberikan efek yang mengagumkan secara medis.

Selain madu dari lebah yang merupakan ciptaan Allah, juga terdapat bahan yang disebut Royal Jely. Adalah subtansi menyerupai jeli (milk) yang disekresikan oleh lebah pekerja muda, lewat kelenjar hipotaring sebagai makanan khusus bagi larva calon ratu dan larva muda calon pekerja.

Royal Jely dikenal sebagai bahan katalis, yaitu bahan penyeimbang dalam sistem metabolisme. Sehingga Royal Jely sering diindikasikan sebagai makanan yang berfungsi untuk stimulan yang membangkitkan selera, pengendali bobot tubuh, bantuan pada efisiensi pencernakan, anti depresan, stimulan sekresi kelenjar, penyelaras metabolisme, antibiotik, meningkatkan kekebalan melawan penyakit, menormalisasi fungsi seksual, dan pemacu jaringan tubuh untuk menjadi sehat. Beberapa catatan kasus kesehatan yang berhasil diatasi dengan mengkonsumsi Royal Jely antara lain, ialah: alergi, angina (jantung), anoreksia, kegelisahan, asma, rambut rontok, jerawat, sesak nafas, bronkitis, kanker, masuk angin, sembelit, jantung koroner, kejang, sintetis, kelelahan, depresi, dermatitis, nyeri haid, dyspepsia, aksim, demam, sakit kepala, herpes, impotensi, insomnia, mual, nyeri, malmetisi. Fungsi lain dari Royal Jely adalah merawat kecantikan dan meningkatkan pretensi kecerdasan.

Dua pertiga bagian Royal Jely berupa air, dan sepertiga berupa padatan yang terdiri dari: protein, gula sedikit lemak, abu dan bahan yang belum terindentifikasi. Komponen nutrisi dominan dalam Royal Jely berupa protein (38%). Tersusun dari 30 asam amino (15 protein esensial) yang berguna dalam perawatan dan pembentukan jaringan serta fungsi reproduksi. Komponen nutrisi gula sebanyak 33 % yang berupa fruktosa dan glukosa. Komponen lemak sebanyak 9 % (berbeda dengan lemak hewani dan nabati) yang berguna dalam aspek biologis Royal Jely, seperti proses anti bakteri, anti tumor, antioksidasi (anti radikal bebas), pemurnian kolesterol dan triglesida dalam darah dan perbaikan jaringan. Komponen nutrisi mineral sebanyak 3 % yang didominasi oleh kalium dan disertai mineral lainnya yaitu magnesium, kalium, natrium, kalsium, seng, besi, tembaga, mangan. Vitamin yang terkandung adalah B1, B2. B3, B4, B5, B6, B7, B8, B9, B12, A, D, K dan C. Komponen lainnya yang belum teridentifikasi sebanyak 11% yang dinamakan bahan R dan diduga dapat memberikan sumbangan terhadap Royal Jely.

PENYEMBUHAN DENGAN AL HABBATUS SAUDA
Dalam Shahihain dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَلَيْكُمْ بَهذ ه الحَبَّةَ السَّود ا ء فإ نَّ فيها شِفَا ء لكلَّ د ا ءٍ إ لا السَّام ,, السَّام : المو ت

Gunakanlah biji hitam ini, karena di dalamnya terdapat obat dari segala penyakit kecuali racun, racun itu adalah kematian.

Biji hitam itu memang banyak sekali manfaatnya. Ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, obat dari segala macam penyakit; seperti halnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Ahqaf :25

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

Artinya:Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.

Maksudnya ialah segala sesuatu yang dapat dihancurkan dan yang serupa dengannya.

PENYEMBUHAN DENGAN BERBEKAM
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa berbekam termasuk sunnah Rasulullah. Berbekam (hijamah) ialah mengeluarkan darah dari badan seseorang dengan menelungkupkan mangkuk panas di kulit, sehingga kulit menjadi bengkak, kemudian digores dengan benda tajam, supaya darahnya keluar.

Sangat perlu diperhatikan dalam berbekam ialah peralatan yang digunakan haruslah dalam keadaan suci hama (steril), sehingga tidak menimbulkan penyakit (infeksi sekunder).

Berikut ini contoh bagian tubuh yang dibekam, diambil dari kitab At Tibbun Nabawi karangan Ibnul Qayyim.

• Pembekaman di bagian atas punggung, bermanfaat terhadap nyeri pundak dan kerongkongan.
• Berbekam di urat lengan, bermanfaat terhadap penyakit–penyakit kepala dan bagian-bagiannya, seperti: wajah, gigi, telinga, mata, hidung dan tenggorokan, Hal demikian itu dikarenakan banyaknya darah, atau rusaknya darah, atau karena kedua-duanya.
• Anas Radhiyallahu 'anhu menyatakan,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan berbekam di urat Beliau dan di bagian atas punggung Beliau (punuk).”
• Termuat di dalam Shahihain, darinya,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam dengan tiga bekaman. Satu di punuk dan dua di urat lengan Beliau.”
• Termuat di dalam Shahihain, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam pada kepala Beliau, ketiak Beliau dalam keadaan ihram. Yaitu untuk menghilangkan pening yang ada di kepala Beliau.”
• Termuat di dalam Sunan Ibnu Majah, dari Ali,”Jibril menginspirasikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berbekam di kedua urat, lengan dan punuk.”
• Termuat di dalam Sunan Abu Dawud, dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam di pinggul Beliau untuk menghilangkan kelesuan yang dideritanya.”

PENYEMBUHAN DENGAN BAHAN-BAHAN TRADISIONAL
Pengalaman membuktikan, bahwa obat-obat tradisional banyak manfaatnya bagi kesehatan. Bahkan sekarang perusahaan-perusahaan farmasi sudah mulai menggunakan bahan-bahan tradisional dalam campuran obat yang dihasilkannya.

Bahan-bahan tradisional memang sudah turun-temurun digunakan oleh masyarakat dan biasa dimanfaatkan dalam kehidupan rumah tangga. Misalnya kunyit, temulawak, daun sirih, kayu manis, cengkeh, buah mengkudu dan lain sebagainya. Bahan-bahan seperti ini mudah ditanam sebagai tanaman obat keluarga (TOGA) yang memang dipersiapkan untuk anggota keluarga.

PENYEMBUHAN DENGAN DO’A
Manusia yang ditakdirkan sakit memang wajib berikhtiar mencari kesembuhan, baik dengan obat-obatan moderen maupun alamiah. Selain itu harus disadari, bahwa pengobatan paling hakiki ialah memohon langsung kepada Allah dengan do’a disertai tawakal atau berserah diri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Artinya: Dan Rabbmu berfirman, "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [Al Mu’min:60]

Juga firmanNya ketika mengisahkan permohonan Nabi Ayyub Alaihissallam untuk disembuhkan dari penyakitnya.

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ ۖ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَابِدِينَ

Artinya : Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya,"(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. [Al Anbiya:83,84]

Dalam hadits juga banyak diriwayatkan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kita sakit, diantaranya,

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ الثَّقَفِيِّ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعًا يَجِدُهُ فِي جَسَدِهِ مُنْذُ أَسْلَمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ ثَلَاثًا وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

Dari Utsman bin Abi Al ‘Ash Ats Tsaqafi, bahwasanya dia mengadu kepada Rasulullah tentang rasa sakit yang ia derita pada badannya semenjak ia masuk Islam, maka Rasulullah berkata kapadanya,”Letakkanlah tanganmu pada bagian yang sakit dan bacalah bismillah tiga kali dan bacalah tujuh kali,’Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan sesuatu yang aku jumpai dan aku takuti’.” [HR Muslim 4/1728].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَوِّذُ بَعْضَ أَهْلِهِ يَمْسَحُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَيَقُولُ اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

Dari Aisyah, bahwasanya Nabi memohon perlindungan bagi keluarganya, Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan berdoa,”Ya Allah Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah deritanya, sembuhkanlah. Engkaulah Dzat Yang mampu menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu semata, kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit.” [Muttaffaqun ‘alaihi].

Apabila sakit dan tidak ada harapan untuk sembuh atau hidup, Rasulullah n juga mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo’a dan berdo’a.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْ حَمْنِيْ وَألْحِقْنِي بِا لرَّ فِيْقِ الأَعلى

Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku, dan pertemukan aku dengan Engkau, Kekasih Yang Maha Tinggi.” [HR Al Bukhari 7/10, Muslim 4/1893].

PENUTUP
Penyembuhan tanpa obat merupakan pengobatan alternatif yang tidak menggunakan obat-obat moderen atau obat-obatan yang tidak mengandung bahan kimiawi. Bisa juga disebut penyembuhan tanpa obat didasarkan pada pengobatan alamiah dan pengobatan ilahiah.

Penyembuhan tanpa obat, tidak dengan pergi ke orang pintar (dukun), menggunakan mantra, jampi, pengobatan alternatif dengan menggunakan tenaga paranormal (supranatural), ataupun sarana lainnya yang menjurus kepada kesyirikan. Hal tersebut dilarang dan diharamkan.

Ibnul Qayyim Al Jauziah dalam kitab At Tibbun Nabawi menyebutkan, bahwa pengobatan Nabi terhadap penyakit, ada tiga macam. Yaitu: dengan obat-obatan alami, obat-obatan Ilahi dan dengan gabungan dari keduanya.

Meskipun pengobatan alamiah tersebut menurut pengalaman sudah banyak manfaatnya, tetapi sebaiknya memang diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut supaya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. (dr. Ira)

Maraji :
- Al Quran nul Karim.
- Ibnul Qayyim Al Jauziyah. 1997. Pengobatan Cara Nabi, Pustaka, Bandung.
- Hishnul Muslim
- Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al Jarullah, 1997. Hukum Orang Sakit dan Adabnya. Pustaka Mantiq, Bandung.
- David Werner,. 2000. Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.
- Madu, Royal Jelly Dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Tanpa Tahun. Pusat Perlebahan Nasional
- Kumpulan Do’a Dalam Al Qur’an Dan Al Hadits, Said bin Ali bin Wahf Al Qathani, Darul Haq, Jakarta.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______






Pengobatan Menggunakan Habbatus Sawda', Dengan Madu Dan Dengan Bekam


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya di dalam habbatus sawda’ (jintan hitam) terdapat penyembuh bagi segala macam penyakit kecuali kematian”.

Ibnu Syihab mengatakan : “Kata As-Saam di sini berarti kematian, sedangkan habbatus sawda’ berarti syuniz” [1]

Habbatus sawda’ ini mempunyai manfaat yang sangat banyak. [2]

Jintan hitam sangat bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit dengan izin Allah.

PENGOBATAN DENGAN MADU
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan” [An-Nahl : 69]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Kesembuhan itu ada pada tiga hal, yaitu : Dalam pisau pembekam, meminumkan madu, atau pengobatan dengan besi panas (kayy). Dan aku melarang ummatku melakukan pengobatan dengan besi panas (kayy)”. [3]

PENGOBATAN DENGAN BEKAM [4]
Berbekam [5] termasuk pengobatan yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan bekam dan memberikan upah kepada tukang bekam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian lakukan untuk mengobati penyakit adalah dengan melakukan bekam” [6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sebaik-baik pengobatan penyakit adalah dengan melakukan bekam” [7]

Wasiat Malaikat Untuk Berbekam
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah aku melewati seorang Malaikat –ketika di Mi’rajkan ke langit- kecuali mereka mengatakan ‘Wahai Muhammad, lakukanlah olehmu berbekam” [8]

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan ketika beliau di Isra’kan, tidaklah beliau melewati sekumpulan Malaikat melainkan mereka meminta kami,” Perintahkanlah ummatmu untuk berbekam” [9]

Waktu Yang Paling Baik Untuk Berbekam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang ingin berbekam, hendaklah ia berbekam pada tanggal 17,19,21 (bulan Hijriyyah), maka akan menyembuhkan setiap penyakit” [10]

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya hari yang paling baik bagimu untuk berbekam adalah hari ke 17, hari ke 19, dan hari ke 21 (bulan Hijriyyah)” [11]

Hari yang paling baik untuk berbekam adalah pada hari Senin, Selasa dan Kamis. Sebaliknya hindari berbekam pada hari Rabu, Jum’at, Sabtu dan Ahad” [12]

PENGOBATAN MENGGUNAKAN AIR ZAMZAM
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai air zamzam ini.

“Air zamzam itu penuh berkah. Ia merupakan makanan yang mengenyangkan (dan obat bagi penyakit)” [13].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Air zamzam tergantung kepada tujuan di minumnya” [14]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membawa air zamzam (di dalam tempat-tempat air) dan girbah (tempat air dari kulit binatang), beliau menyiramkan dan meminumkannya kepada orang-orang yang sakit” [15]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Aku sendiri dan juga yang lainnya pernah mempraktekkan upaya penyembuhan dengan air zamzam terhadap beberapa penyakit, dan hasilnya sangat menakjubkan, aku berhasil mengobati berbagai macam penyakit dan aku pun sembuh atas izin Allah” [16]

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberikan bimbingan kepada kita untuk dimudahkan dalam menggunakan pengobatan yang sesui dengan syari’at (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).

[Disalin dari buku Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna Dan Sihir Menurut Al-Qur’an Dan As-Sunnah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cetakan Keenam Dzulhijjah 1426H/Januari 2006M]







Pentingnya Penyembuhan Dengan Al-Qur'an Dan As-Sunnah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Tidak diragukan lagi bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an dan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ruqyah [1], merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Katakanlah ; Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman” [Fushshilat : 44]

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” [Al-Israa : 82]

Pengertian “dari Al-Qur’an”, pada ayat di atas adalah Al-Qur’an itu sendiri. Karena Al-Qur’an secara keseluruhan adalah penyembuh, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas [2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” [Yunus : 57]

Dengan demikian, Al-Qur’an merupakan penyembuh yang sempurna di antara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al-Qur’an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawan Al-Qur’an untuk selamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang jika (firman-firman itu) turun ke gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung-gunung tersebut, atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan membelahnya.

Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat jalan penyembuhannya, sebab kesembuhan, serta pencegahan terhadapnya bagi orang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah terhadap Kitab-Nya. Dan Allah Azza wa Jalla (Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung) telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an beberapa penyakit hati dan fisik, juga disertai penyebutan penyembuhan hati dan juga fisik.

Adapun penyakit-penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu : penyakit syubhat (kesamaran) atau ragu, dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah yang Mahasuci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci yang disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara penyembuhan penyakit-penyakit tersebut. [3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” [Al-Ankabuut : 51]

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan.

“Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al-Qur’an, berarti Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan oleh Al-Qur’an, maka Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya” [4]

Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al-Qur’an telah membimbing dan menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya, dan juga kaidah-kaidah yang dimilikinya. Yakni, bahwa kaidah pengobatan penyakit badan secara keseluruhan terdapat di dalam Al-Qur’an, yaitu ada tiga point.

1). Menjaga kesehatan
2). Melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit
3). Mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan. [5]

Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al-Qur’an secara baik dan benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang sangat menakjubkan dalam penyembuhan yang cepat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al-Faatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zamzam dan membacakan padanya surat Al-Faatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar. Kemudian aku beritahukan kepada orang banyak yang mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan cepat”[6]

Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jama’ dari ruqyah) Nabawi yang riwayatnya shahih merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dengan ayat dan do’a yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari penghalang-penghalang terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang sangat bermanfaat dalam menolak hal-hal yang tidak disenangi dan akan tercapai hal-hal yang diinginkan. Yang demikian itu termasuk salah satu obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang dilakukan berkali-kali. Dan do’a pun berfungsi sebagai penangkal bala’ (musibah), mencegah dan menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau meringankannya jika ternyata sudah sempat turun. [7]

“Tidak ada yang dapat mencegah qadha’ (takdir) kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat memberi tambahan pada umur kecuali kebajikan” [8]

Tetapi yang harus dimengerti dengan cermat, yaitu bahwa ayat-ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan kepada Allah) yang dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah pada hakikatnya pada semua ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan ta’awwudz itu sendiri memberi manfaat yang besar dan juga dapat menyembuhkan. Namun, ia memerlukan penerimaan (dari orang yang sakit) dan kekuatan orang yang mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu penyembuhan itu gagal, maka yang demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh pelaku, atau karena tidak adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau adanya rintangan yang kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.

Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek, yaitu dari pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang mengobati

Yang berasal dari pihak pasien adalah berupa kekuatan dirinya dan kesungguhan bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti bahwa Al-Qur’an itu memang penyembuh sekaligus rahmat bagi orang-orang yang beriman dan ta’awwudz yang benar yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang demikian itu merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap penyakit. Dan seseorang yang melakukan perlawanan tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal, yaitu :

Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan kedua tangan yang menggunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti, apalagi jika kedua hal di atas tidak ada, yaitu, hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, tawajjuh (menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan tidak memiliki senjata.

Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah juga harus memenuhi kedua hal di atas [9]. Oleh karena itu, Ibnut Tiin rahimahullah berkata : “Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat ta’awwudz dan juga yang lainnya dari Nama-Nama Allah adalah pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan orang-orang yang baik, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala kesembuhan tersebut akan terwujud” [10]

Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu : [11]

[1]. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau Asma dan sifat-Nya, atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[2]. Ruqyah itu boleh diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lain yang difahami maknanya.

[3]. Harus diyakini bahwa bukanlah dzat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberi pengaruh itu adalah kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. [12]

[Disalin dari buku Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna Dan Sihir Menurut Al-Qur’an Dan As-Sunnah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cetakan Keenam Dzulhijjah 1426H/Januari 2006M]

sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment