Thursday, June 28, 2012

Hakikat Islam, firman Allah: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].


Hakikat Islam, firman Allah: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].



HAKIKAT ISLAM

Pagi itu pukul 10.00 WIB, hari Kamis tanggal 9 Desember 2004, saya bersama dua ikhwan turut menemani Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi yang akan memberikah ceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam perjalanan, disela-sela kesibukan Syaikh membolak-balik lembaran koran berbahasa Arab terbitan Yordania itu, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan memberikan informasi-informasi penting seputar IAIN dan pergolakan pemikiran yang terjadi di dalamnya. Sebuah dialog yang membuat Syaikh terperanjat dan terperangah, sehingga Syaikh menyuruh saya untuk menuliskan poin-poin yang dianggap urgen untuk ditanggapi. Sayapun menulis 10 poin dan menyodorkan kepada beliau.

Tidak terasa waktupun menunjukkan pukul 11.40 WIB dan kamipun sampai di halaman Masjid Kampus IAIN Surabaya. Ternyata shalat jama’ah telah selesai. Acara langsung dimulai. Salah seorang dosen IAIN memberikan sambutan singkat dalam Bahasa Indonesia yang isinya menyambut kedatangan Syaikh, berterima kasih kepada Allah atas kedatangan seorang ulama ahli hadits dari Yordania, dan mengharapkan kepada hadirin untuk menyimak ceramah ilmiah yang akan disampaikan Fadhilah Asy Syaikh.

Saya yang bertindak selaku penerjemah mengawali tabligh itu memperkenalkan Syaikh kepada hadirin yang berjumlah sekitar seratusan orang. Saya katakana, bahwa tamu kita ini adalah Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, merupakan salah satu murid senior Syaikh Nashiruddin Al Albani, seorang ahli hadits terkemuka di dunia Islam yang meninggal 3 tahun yang lalu. Beliau menyertai Syaikh Al Albani selama 25 tahun, dan kini telah menulis lebih dari 150 kitab; baik ta’lif, ta’liq, tahqiq maupun Syarah.

Berikut ini ceramah Syaikh Ali Ibnu Al Hasan Al Halabi yang disampaikan di Masjid Kampus IAIN Surabaya, yang telah kami transkrip dengan memberikan sub-sub judul. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
_______________________________________________________________________

Setelah khutbah hajah, Syaikh mengatakan:
Amma ba’du,
Sungguh saya bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang luar biasa ini; kesempatan bertemu dan bertatap muka dengan saudara-saudaraku seagama di Perguruan Tinggi yang baik ini, Insya Allah. Kesempatan untuk berdialog, saling berwasiat dan saling memberi nasihat. Ini semua manakala kita mengetahui bahwa yang hadir di sini adalah para penuntut ilmu dan para mahasiswa yang mana kondisinya mengatakan “Ya, Allah. Tambahkanlah ilmu kepadaku”. Saya mohon kepada Allah tambahan ilmu untuk mereka.

Saya tidak ingin pertemuan ini hanya basa-basi, akan tetapi sebuah pertemuan serius yang jelas-jelas memfokuskan pada beberapa poin ilmiah yang dapat mencerahkan akal dan mengokohkan naql (wahyu) dengan pemahaman yang benar. Dengan harapan agar syubhat-syubhat (kerancuan pikiran) yang mengacaukan cara mencari ilmu di Perguruan Tinggi maupun di lembaga pendidikan lainnya dapat dilenyapkan.

Imam Adz Dzahabi (w. 748 H) mengatakan: “Hati ini lemah, sedang syubhat-syubhat ganas merajalela”. Apabila imam ini mengatakan demikian pada ratusan tahun yang lalu sementara para ulama masih banyak dan lingkungan global masih religius Islami, maka bagaimana lagi dengan kita pada hari ini, dengan kondisi kebodohan merajalela, ulama telah langka dan metodologi keilmuan menjadi tidak karuan, maka tentunya hati kita lebih lemah dan syubhat sangat kuat dan berkuasa.

Oleh karena itu, pembahasan ini akan kita tekankan pada masalah-masalah ilmiah yang amat mendasar.

HAKIKAT ISLAM
Tentang hakikat agama Islam, agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali Imran : 85].

Ayat ini merupakan dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syari’at yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq, agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.

Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi Muhammad n . Sedangkan makna umumnya, yaitu agama semua nabi yang mengajarkan tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [Al An’am : 162-163].

Pasrah, menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus, yang karenanya Al Qur'an diturunkan, yaitu tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.

Di dalam Al Qur'an, Al Fatihah, surat terbesar dalam Al Qur'an, yang menjadi rukun shalat, dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini, ialah agama yang dianut oleh para nabi, para shiddiq, syuhada dan kaum shalih, seperti firman Allah.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An Nisa’: 69].

Telah shahih di dalam As Sunnah, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, Beliau mengatakan, yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.

Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima, tetapi sifat agama, maka ini tertolak dan batil. Yang Pertama, ia tertolak oleh Al Qur’an surat Ali Imran ayat 85:
« وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ »

Dalam ayat ini, kata Islam terkait dengan nama dan sebutan, bukan dengan sifat dan sikap. Yang Kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menafsiri surat Al Fatihah tadi.

Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara agama Islam, Yahudi, Nasraniyah dan agama keberhalaan, sebab para penyembah berhala itupun berniat menyembah Allah. Bukankah mereka mengatakan.

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. [Az Zumar : 3].

Jadi, mereka mengaku bertaqarrub (mendekatkan) kepada Allah. Tetapi ucapan mereka ini batil dan rusak, kesesatan yang nyata yang sangat jelas di depan mata, dan tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami telah membantahnya.

Guna menguatkan yang haq dan menumbangkan yang batil, Allah telah berfirman.

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ

Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).[Al Anbiya’ : 18].

Maka berikut ini kami sebutkan satu ayat dan dua hadits.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. [Al Baqarah:120].

Jika Islam hanya diartikan pasrah kepada Tuhan melalui agama apapun, maka apa artinya ayat yang telah membedakan satu agama dari yang lain ini?!

Adapun haditsnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada bayi yang lahir, melainkan dia dilahirkan di atas fitrah (tauhid, Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”. [HR Bukhari Muslim].

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tanganNya. Tidak ada seorangpun dari umat ini, baik Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada agama yang aku bawa, melainkan ia menjadi penghuni neraka”. [HR Muslim].

Lalu bagaimana ucapan mereka yang mengatakan bahwa semua agama sama saja? Bagaimana mereka menyamakan antara yang haq dengan yang batil?

SUMBER ISLAM BUKAN PRODUK BUDAYA
Apabila kita telah mengenal Islam, makna, sifat dan hakikatnya, bahwa ia merupakan agama yang diterima oleh Allah dan tidak ada lagi sesudahnya atau bersamanya agama lain yang diterima, maka kita harus mengetahui sumber-sumber agama Islam ini berikut penjelasannya. Sumber agama ini ialah Al Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman.

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al Isra’: 9].

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad : 24].

Inilah Al Qur'an yang telah dinyatakan oleh Allah.

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Fushshilat : 42].

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [At Taubah : 6].

Sungguh kalam (firman Allah) seluruhnya sempurna, tidak ada cela, cacat atau kurang. Kalam Allah adalah sifat Allah. Bila Allah Yang Pemilik sifat adalah Maha sempurna, maka sifatnya adalah sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya.

Orang-orang yang tidak memahami hakikat Al Qur'an itu, entah karena bodohnya atau sikap sok pintarnya mengatakan bahwa Al Qur'an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya). Sungguh, yang muncul dari mulut mereka adalah kebohongan besar. Bagaimana mungkin Al Qur'an disamakan dengan buku-buku lain yang dikarang oleh manusia, sedangkan Allah berfirman.

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [Al Mulk : 14].

Al Qur'an diturunkan Allah melalui Jibril Alaihissallam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Dan Kami turunkan Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. [Al Isra’ : 105].

Bagaimana mungkin Al Qur'an yang sempurna keseluruhannya sejajar dengan produk manusia yang penuh dengan kekurangan? Seandainya ucapan ini keluar dari orang yang telah ditegakkan hujjah atasnya, tentu ia menjadi kafir; akan tetapi kita memakluminya, yang dikarenakan kebodohannya. Kami nasihatkan kepada orang-orang seperti ini agar bertaqwa kepada Allah, ingat kematian, kebangkitan, pertemuannya dengan Allah Penguasa alam semesta, hisab, pahala dan siksa.

Maka wajib mengimani bahwa Al Qur'an adalah Kalam Allah (bukan makhluk dan bukan produk budaya), tidak mengandung kebatilan dan kekurangan, semuanya merupakan kebaikan, agama dan kebenaran, dan selainnya adalah batil dan rusak. Sehingga, selama-lamanya tidak boleh mengatakan bila Al Qur'an sebagai produk budaya. Ucapan seperti ini sesat menyesatkan.

Al Qur'an, sebagaimana saya katakan tadi, adalah sempurna keseluruhannya, sebagaimana firman Allah tentang ucapan jin yang mendengarkan Al Qur'an.

فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا(1)يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami. [Al Jin : 1-2].

Al Qur'an adalah kitab hidayah, petunjuk kepada jalan yang benar. Semua bagian Al Qur'an menunjukkan kepada jalan yang benar. Anggapan ayat-ayat Makkiyyah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah adalah tipikal dan lokal adalah batil dan rusak. (Mengapa?) Pertama : Karena nash Al Qur'an dalam ayat tadi –misalnya- bersifat umum menyeluruh: “Sesungguhnya Al Qur'an ini menunjukkan kepada jalan yang lurus” mencakup ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Kedua : Ucapan ini merupakan tafsir yang semena-mena, pendapat belaka, dugaan dan nafsu, tidak ada dasar rasional dan tidak pula dasar syar’i: “Datangkanlah bukti-buktimu jika kamu benar”. Ketiga : seluruh ulama telah bersepakat bahwa pelajaran itu didasarkan pada keumuman lafazh, bukan pada kekhususan sebab.

Bila ayat itu jelas makna dan petunjuknya, maka ia mencakup semuanya. Sebab nuzulnya ayat tidak membatasi berlakunya ayat, (tetapi memperjelas dan mempertegas makna yang dimaksud oleh ayat). Jadi ucapan mereka ini batil dan rusak, dan dimaksudkan untuk meragukan Al Qur'an dan mengingkarinya.

AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER KEDUA
Al Qur'an ini adalah firman Allah yang telah menunjukkan agar kita berhujjah dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. [Al Hasyr : 7].

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [An Nur : 54].

Seandainya yang diterima di sini hanya Al Qur'an, tentu ayat-ayat Al Qur'an ini tidak ada maknanya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang tidak berbicara kecuali dengan wahyu

“ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَ “

dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya [An Najm : 3]

(Beliau) bersabda : Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Qur’an dan yang semisalnya bersamanya. Yang semisal dengan Al Qur'an adalah As Sunnah. Permisalan di sini bukanlah dalam kedudukan dan kesucian. Kalam Allah sesuai dengan kesucian Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala, sedangkan kalam RasulNya sesuai dengan diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kesamaannya di sini adalah dalam bidang hukum; hukum-hukum As Sunnah sama dengan hukum-hukum Al Qur'an, karena ia adalah wahyu seperti Al Qur'an.

Abdullah Ibn Umar Ibn Al Ash Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Ya, Rasulullah! Engkau berbicara pada waktu ridha dan pada waktu marah. Maka apakah aku menulisnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku ada di tanganNya. Tidak ada yang keluar dari lisanku, melainkan kebenaran, maka tulislah!”

Barangsiapa mencela Sunnah, sebenarnya pukulan itu mengenai Al Qur'an sebelum As Sunnah itu sendiri. Maka hendaklah ia bertaubat, kembali kepada akal sehatnya dan kembali kepada kebenaran. Sebelum datang waktu penyesalan; penyesalan yang tidak lagi berguna dan tidak pula didengar.

Kondisi mereka benar-benar mengingatkan pada sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari dada para ulama, akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut nyawa para ulama hingga tidak tersisa satu orang alimpun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu (satu riwayat: dengan ra’yu mereka), maka mereka sesat dan menyesatkan”. Ini adalah berkata dusta atas Allah. Satu dosa besar yang terbesar, karena Allah berfirman tentang beberapa dosa besar, dan yang terakhir adalah berkata tentang Allah tanpa ilmu.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. [Al A’raf : 33].

SYUBHAT PENOLAK HADITS
Orang-orang yang mencela hadits, logika mereka sangat rendah dan rapuh. Syubhat-syubhat mereka yang paling penting ada dua macam.

Syubhat Pertama. Mengandalkan akal untuk membatalkan naql (wahyu Al Qur'an dan Sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas (pondasi). Hal ini lemah, karena akal itu berbeda-beda; ada akal orang awam, ada akal orang terpelajar, ada akal sarjana, ada akal bukan sarjana, ada akal orang kota, ada akal orang desa, dan seterusnya. Lalu akal siapakah yang harus kita ikuti? Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An Nisa’ : 59].

Allah mengajarkan, jika akal kalian berselisih dan pemahaman berbeda-beda dan jika terdapat sengketa, maka kembalikanlah kepada Al Qur'an dan As Sunnah. Inilah solusi bagi perselisihan. Bagaimana mungkin mengembalikan perselisihan kepada akal, yang ia menjadi penyebabnya, lalu kita jadikan sebagai hukum atas Al Qur'an dan As Sunnah?!

Kemudian, akal itu sendiri berkembang, sedangkan agama Islam ini tetap. Karena ia (Islam) menjadi timbangan yang berfungsi untuk memperbaiki keadaan. Dinamika kehidupan dan kemajuan dapat bertemu dengan agama, bukan agama yang harus berjalan di belakang perkembangan jaman. Agama adalah guru dan pengawal bagi kebudayaan. Kebudayaan itu ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang bermanfaat dan ada pula yang membayakan, ada yang lurus dan ada pula yang sesat. Untuk memilah-milah ini semua, (maka) harus kembali kepada agama.

Sebagai ilustrasi bahwa akal itu berkembang, saya sebutkan satu contoh sederhana. Lima tahun yang lalu, tidak lebih dari itu, kalau ada orang yang mengatakan di sakuku ada kitab Shahih Bukhari, ada Tafsir Ibn Katsir dan ada Majmu’ Nawawi. Tentu seorang akan mengatakan: “Kamu sudah gila. Mana mungkin Shahih Bukhari yang 4 jilid, Tafsir Ibn Katsir yang 4 jilid dan Majmu’ Nawawi yang 20 jilid itu masuk dalam saku yang kecil? Sekarang, akal yang sama akan mempercayainya, sebab CD yang beratnya sekitar 5 gram itu dapat memuat kitab-kitab tadi, bahkan lebih. Oleh karena itu, jangkauan akal amat terbatas. Dia tidak akan memahami apa yang belum dijangkaunya.

Sementara syara’ (Al Qur'an dan Sunnah) adalah sempurna dan terjaga dari kesalahan, berada di atas akal. Dan akal, tidak disebut mukmin sebelum (ia) tunduk patuh kepada ketentuan syara’. Allah berfirman.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An Nisa’: 65].

Dengan demikian jika akal berseberangan dengan syara’, maka tuduhlah akal, karena akallah yang belum dapat memahami kebenaran wahyu. Kitab Allah adalah wahyu yang sempurna, sementara akal selalu memerlukan bimbingan wahyu untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangannya. Menjadikan akal sejajar dengan wahyu atau setingkat di atas wahyu, demikian ini merupakan pemahaman yang batil. Mereka adalah orang-orang yang lancang, angkuh dan sombong. Lalu dengan akal siapakah dan yang manakah kita harus menghukumi dan berhukum?!

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al Ahzab : 36].

Anda tidak memiliki pilihan lain di hadapan Kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, kecuali menerima, mengimani, mengikuti, ridha dan istiqamah di atasnya. Inilah sifat orang yang cerdas, bijak, mendapat petunjuk di dunia dan bahagia di akhirat.

Syubhat logika yang rusak tadi, akal sendiripun memvonisnya sebagai cara berpikir yang tidak logis.

Syubhat Kedua : Kemudian syubhat kedua sama dengan yang pertama, jauh dari nilai ilmiah, yaitu mencela para rawi hadits. Di antaranya dengan membuat keragu-raguan seputar sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sahabat yang terbanyak dalam meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang yang melakukan ini, sepertinya tidak mengetahui semua hadits atau sebagian besar hadits. Sebab, sebagian besar hadits itu diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Cukuplah keutamaan Abu Hurairah dalam dua riwayat berikut ini; yang pertama dari Abu Hurairah dan yang kedua tentang Abu Hurairah.

Riwayat dari Abu Hurairah, dia berkata: “Saya menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengisi perut seadanya. Aku tidak menginginkan harta dan dunia. Aku hanya ingin menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam"

Jadi Abu Hurairah meninggalkan dunia seisinya dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di sinilah letak kekayaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Riwayat yang kedua, Abu Hurairah datang kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam melaporkan perihal hafalannya. Maka Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Angkat pakaianmu”. Abu Hurairah lalu mengangkatnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meniup pada pakaiannya. Abu Hurairah lalu berkata: “Semenjak itu, aku tidak pernah lupa satu haditspun yang telah aku hafal dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam"

Begitulah kecintaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu kepada Rasul dan kecintaan Rasul kepada Abu Hurairah. Kemudian tiba-tiba mereka datang lalu mencela dan mencaci maki Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Sungguh mereka adalah orang-orang yang jauh dari kitab Allah dan Sunnah RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

HARAPAN SYAIKH
Akhirnya, saya akan menutup (muhadharah ini) dengan dua perkara. Yang satu bersifat umum, (yaitu) berkaitan dengan ceramah kita. Dan yang kedua bersifat khusus, berkaitan dengan Perguruan Tinggi Sunan Ampel.

Setelah kami menjelaskan hakikat Islam –tidak ada satu agama yang diterima setelahnya dan bersamaan dengannya- setelah kami jelaskan sumber-sumber agama Islam, yaitu kitab Allah yang berisi hukum, hidayah dan syari'at. Kemudian kami jelaskan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan wahyu yang sama dengan Al Qur'an, lalu kami jelaskan tentang akal dan kedudukannya yang amat tinggi dalam Islam untuk memahami Al Qur'an dan Sunnah, bukan untuk menghakimi dan menolak Al Qur'an dan Sunnah. Berikutnya menjelaskan tentang Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, kedudukan dan keutamaannya. Dia adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. (maka setelah saya jelasakan hal-hal di atas), saya katakan: “Di antara manhaj ilmi yang benar yang wajib diketahui, bahwa Al Qur'an dan Sunnah harus kita pahami sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih. Secara ringkas saya sebutkan dua dalil berikut ini.

Allah berfirman.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An Nisa’: 115].

Ini sebagai isyarat kepada pemahaman lurus yang terdapat pada diri para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Karena itu, wajib memahami Al Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salafush shalih, dan tidak boleh memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari pemahaman mereka.

(Yang) kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sebaik-baik generasi manusia adalah generasiku kemudian generasi berikutnya kemudian berikutnya.”

Tidak mungkin khairiyyah (nilai kebaikan) di sini dikaitkan dengan jaman, tempat, orang atau fisik. Akan tetapi, kebaikan yang dimaksud ialah kebaikan iman, kepatuhan, pemahaman, ilmu dan amal. Dan kebaikan ini terdapat pada tiga kurun yang utama tersebut agar menjadi pelita bagi generasi sesudahnya.

Terakhir, perkara yang khusus, bahwa saya memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memudahkan adanya muhadharah ini. Namun saya sangat terheran-heran dan tidak habis pikir, Perguruan Tinggi yang dengan bangga menyematkan label Islam di belakangnya ini, yaitu Al Jami’ah Al Islamiyyah (Universitas Islam) bukan Al Jami’ah Al Mukhalifah Lil Islam (Universitas Penolak Islam), tetapi saya menemukan di dalamnya tiga fenomena yang memprihatinkan:

Pertama. Banyak akhwat, Mahasiswi yang tidak mengenakan pakaian syar’i atau hijab Islami. Hijab yang dimaksud bukan hanya menutup kepala, tetapi menutup seluruh tubuh dan seluruh badan, tidak menampakkan bentuk tubuh dan perhiasan.

Kedua. Banyak pemuda, Mahasiswa yang duduk-duduk dengan fatayat (mahasiswi). Tidak mungkin pemuda itu ayahnya, saudaranya, atau suaminya. Kalaupun ada, paling satu di antara seratus, sedangkan sisanya apa yang mereka lakukan di Perguruan Tinggi Islam ini?!

Ketiga. Kita sekarang berada di rumah Allah, berdzikir kepada Allah menuntut ilmu Allah. Saya sendiri datang dari jauh, dari balik Samudra Hindia, sementara saudara-saudara kita dengan santai ada yang duduk-duduk di pinggir jalan, ada yang di atas tangga, ada yang di halaman, ada yang di pojok sana dan pojok sini; mengapa tidak berkumpul di sini, di rumah Allah ini, mendengarkan dan mengikuti majelis ilmu, sesuai dengan do’a: “Ya Rabb, tambahkan ilmu kepadaku”?

Harapan saya pada Perguruan Tinggi Sunan Ampel ini, semoga pada kunjungan saya yang akan datang, fenomena yang “menakjubkan” ini dapat dihilangkan atau dapat diminimalisir semaksimal mungkin.

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]




Antara Ijtihad Dan Taklid



Oleh
Ustadz Azhar Robani


Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid.

Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.

Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy Syarif. Semoga bermafaat.

IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah, ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.

Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab tersebut, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid, karena dia hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahuinya.

Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.

2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan rijalnya.

3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara - Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan hukumnya telah dihapus.

Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi ijma’.

4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.

Sebagai contoh, seseorang membaca hadits “Di dalam panenan yang diairi dengan air hujan zakatnya sepersepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1412]

Di dalam hadits ini terdapat dua keumuman. Yaitu keumuman dalam ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib dikeluarkan dari hasil panenan yang keluar dari bumi dari jenis apa saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “Tidak ada (kewajiban) shadaqah (zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. (Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541) Dengan demikian, maka tidak wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.

5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan demikian, dia bisa menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut. Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya- maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga tidak mungkin bisa beristimbat hukum secara benar. Karena bisa jadi, lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya. Seperti itu juga pada dalalah lafazhlafazh lainnya.

6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaklid kepada orang lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain. Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat (menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.

BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau masalah tersebut.

Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab lainnya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataanperkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716]

Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala bersusah payah.

Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.

Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah berfirman, artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].

TAKLID
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid. Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan dasar hujjah, maka bukan muqallid.

Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al Kitab dan Sunnah.

Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.

Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya : Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, taklid yang tercela sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.

Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan istilah.

Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.

Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid dilarang.

Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.

Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan agamanya”.

KAPAN SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.

Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri. Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah berfirman, artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘:7]

Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.

Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan dan kewara`annya.

Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.

Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaklid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaklid kepada yang tingkatannya di bawahnya.

MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh, seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.

Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”. Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu seseorang bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada perkataan Nabi.

Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah [Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]

Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang sama”.

2. Taklid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan tentang dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.

Taklid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.

PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah din, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.

Dalam masalah taklid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan tercela. Taklid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain dengan hujjah. Taklid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu: ittiba’, su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun taklid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah. Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaklid, seseorang harus menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi n dan Ijma’.

Maraji‘ :
- Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit Al Mktabah At Taufiqiyah, Al Qahirah – Mesir.
- Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzhabiyyah , Muhammad Syakir Asy Syarif, cet. I th 1408 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Sikap Islam Terhadap Perbudakan


Oleh
Syaikh Abdullah Ali Bassam dan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi


Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam berkata di dalam kitab Taisir ‘Allam juz 2 halaman 567-571 : Beberapa musuh Islam mencela keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan mereka termasuk tindakan biadab. Karena itu saya ingin menjelaskan permasalahan perbudakan di dalam pandangan Islam dan ajaran-ajaran lain, serta secara ringkas akan saya jelaskan sikap Islam terhadap perbudakan.

Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru dunia/bumi, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia, Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri. Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian.

Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak diperkerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat. Dan karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal di akherat, baik mereka di Surga atau di Neraka, jadi para budak tidak bedanya dengan hewan. Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli. Inilah perbudakan, sebab, pengaruh dan bentuknya di dalam ajaran selain Islam. Contoh yang baru saja kami sampaikan baru sedikit dari sekian banyak perlakuan keji merek kepada para budak.

Sekarang marilah kita perhatikan pandangan Islam terhadap perbudakan.

1. Islam Mempersempit Sebab-Sebab Perbudakan.
Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Dan Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan. Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan da’wah, ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya memperluas jalannya da’wah.

Inilah satu-satunya sebab perbudakan didalam Islam, bukan dengan cara perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka sebagaimana umat-umat yang lain.

2. Islam Menyikapi Para Budak Dengan Lemah Lembut Dan Penuh Kasih Sayang.
Karena itu Islam mengancam dan memperingatkan orang yang memberikan beban berlebihan kepada para budak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

اتَّقُوا اللهَ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki” [1]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لاَ يُطِيقُ

Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya. [2]

Bahkan Islam mengangkat derajat mereka, dari sekedar budak menjadi saudara bagi tuan mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. [3]

Islam tidak hanya meninggikan derajat mereka dalam masalah sikap yang harus diberikan, akan tetapi juga di dalam berbicara dengan mereka, sehingga mereka tidak merasa rendah diri, karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي

Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pembantu laki-lakiku, hai pembantu perempuanku. [4]

Bukan hanya itu, Islam bahkan tidak menjadikan nasab atau jasad/tubuh sebagai standard kemuliaan seseorang di dunia dan di akhirat, namun kecakapan dan nilai maknawilah standar kemuliaan manusia.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa. [Al-Hujurat:13]

Karena itu, berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, beberapa bekas budak bisa menyamai kedudukan tuannya, baik dengan menjadi penglima tentara, pemimpin umat, hakim atau jabatan-jabatan agung yang lainnya. Ini semua karena kemampuan mereka yang merupakan sumber kemuliaan.

Disamping mengangkat derajat mereka, syari’at juga mengawasi dan memperhatikan pembebasan dengan cara mendorong perbuatan tersebut dan menjanjikan keselamatan dari neraka serta keberuntungan dengan masuk syurga bagi seorang yang membebaskan budak. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ الهُأ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يُعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ

Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya. [5]

Cukuplah didalam keutamaan membebaskan budak, hadits shohih diatas dan sebuah hadits yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Umamah dan shahabat yang lain.

أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا كَانَ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ

Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.[6]

Hadits dan atsar yang mendorong untuk membebaskan budak banyak sekali, dan tidak ada perbuatan baik yang lebih besar daripada membebaskan seorang muslim dari perbudakan. Karena dengan kemerdekaan dirinya sempurnalah derajat kemanusiaan yang ia miliki setelah dahulunya berstatus seperti hewan.

Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka secara paksa adalah.

1. Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang mengisahkan adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu.

اذْهَبْ فَأَنْتَ حُرٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِن فَمَوْلَى مَنْ أَنَا ؟ قَالَ : مَوْلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka, maka budak itu berkata: “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa”, Beliau menjawab : “Maula Allah dan RasulNya. [7]

2. Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ

Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya. [8]

Dalam hal ini perlu ada rincian yang memerlukan pembahasan tersendiri.

3. Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa. Berdasarkan hadits :

مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ

Barang siapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahromnya maka budak itu merdeka. [9]

Inilah sebab-sebab secara terpaksa yang menghilangkan hak milik tuan terhadap budaknya. Sebab-sebab terpaksa ini di syari’atkan karena adanya rahasia syar’iyah dan pengaruh khusus sehingga syari’at tidak menjadikannya sebagai sebab pilihan atau sebab yang bisa dirujuk/di batalkan.

Disamping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa, pembebasan budak sebagai alternatif pertama untuk kafarah bersetubuh di siang bulan Ramadlan, zhihar (seorang suami mengatakan kepada istrinya bahwa punggungnya seperti punggung ibunya, yakni suami tidak mau menggauli istrinya-red) dan membunuh secara tidak sengaja.

ISLAM AGAMA KEMULIAAN, KEAGUNGAN DAN KEADILAN.
Setelah keterangan diatas, bagaimana mungkin orang-orang Barat atau orang yang kebarat-baratan mencela sikap Islam terhadap masalah perbudakan. Kemudian mereka membuka mulut lebar-lebar seraya meneriakkan kemerdekaan dan hak asasi manusia, sedangkan merekalah yang memperbudak rakyat dan menghinakan banyak bangsa. Mereka memperbudak bangsa lain di tengah-tengah bangsa itu sendiri, merampas harta benda dan menghalalkan negeri untuk dijajah. Mereka mengangkat kepala untuk meneriakkan HAM, sedangkan mereka sendiri menyikapi golongan masyarakat di dalam negeri mereka lebih rendah dari pada cara bergaul dengan budak.

Dimanakah keadilan Islam dibandingkan dengan sikap orang-orang Amerika terhadap orang-orang Negro dengan adanya larangan masuk sekolah, menjabat atau bekerja sebagai pegawai negeri. Seolah-olah mereka menganggap orang-orang Negro sama dengan hewan.

Dan dimanakah “Ihsan” dan rasa santun Islam dibandingkan dengan tindakan orang-orang Barat kepada para tahanan yang kini masih terdapat di dalam penjara yang gelap, padang belantara dan tempat-tempat yang tidak dikenal (di pembuangan)

Dimanakah negeri Isam yang penuh cinta kasih sayang yang memberikan keadilan kepada seluruh penduduknya dari berbagai jenis strata sosial, agama dan ras sebagai bangsa dalam hak dan kewajiban, bila dibandingkan dengan perbuatan kriminil orang-orang Prancis terhadap manusia-manusia merdeka di Aljazair (dahulu Aljazair dijajah Prancis), di tengah-tengah negeri mereka sendiri dan di tengah-tengah bangsa mereka sendiri. Nyatalah sudah bahwa tuduhan yang mereka kumandangkan adalah tuduhan palsu/batil.

Setelah keterangan ini, apakah belum tiba saatnya bagi para reformis dan pecinta kedamaian untuk membuka mata mereka kemudian kembali kepada ajaran Islam dengan penuh perenungan dan kesadaran, sehingga mereka menjadi sadar akan kebahagiaan manusia dalam ajaran Islam, baik untuk saat ini atau masa yang akan datang.

TAMBAHAN
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh al-Aqidah al Washithiyah juz 1 hal 229-230 takhrij Sa’ad bin Fawwaz ash Shomil cet. II Dar Ibnu Jauzi : “Disini kami wajib mengingatkan perbuatan sebagian orang yang menggantkan (istilah) keadilan dengan dengan persamaan. Ini merupakan kesalahan, keadilan tidak boleh dikatakan persamaan, karena kata persamaan terkadang menuntut adanya persamaan antara dua hal yang seharusnya dibedakan.

Karena seruan yang tidak adil ini (ajakan kepada persamaan) mereka berkata: “Apakah perbedaan laki-laki dengan perempuan? Samakanlah laki-laki dengan perempuan!”. Sampai-sampai orang-orang Komunis mengatakan: “Apakah perbedaan antara pemerintah dengan rakyat, tidak mungkin orang bisa menguasai orang lain meskipun orang tua dengan anak, orang tua tidak mungkin mempunyai kekuasaan terhadap anak”, demikian seterusnya!

Akan tetapi jika kita mengatakan “keadilan” yang maknanya memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki hak tersebut, niscaya hilanglah bahaya (dari istilah persamaan) ini dan (kalimat yang) diungkapkan akan menjadi selamat dari makna yang batil. Karena itu selamanya tidak ada di dalam al-Qur’an ayat yang berbunyi : "Sesungguhnya Allah memerintahkan persamaan". Tetapi yang ada adalah :

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan. [An-Nahl :90]

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Dan jika engkau menghukumi manusia maka hukumilah dengan adil. [An-Nisa’ : 58]

Maka orang yang mengatakan "Islam adalah agama persamaan" telah salah, akan tetapi yang benar adalah "Islam adalah agama keadilan", yang bermakna: menyamakan perkara yang sama dan memisahkan perkara yang berbeda. Jika yang dia maksudkan dengan persamaan adalah makna keadilan di atas tetapi dia menggunakan istilah persamaan, maka orang ini salah dalam memilih kata/istilah walaupun yang dimaksudkan benar.

Karena ini mayoritas ayat al-Qur’an meniadakan persamaan seperti :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Adakah orang yang mengetahui sama dengan orang tidak mengetahui? [Az-Zumar : 9]

هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ

Adakah orang yang buta sama dengan orang yang melihat ? ataukah kegelapan-kegelapan sama dengan sebuah cahaya ? [Ar-Ra’d : 16]

لاَ يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا

Tidaklah sama orang yang berinfaq dan berperang sebelum datangnya kemenangan (fathu Makkah), mereka lebih besar derajatnya dari pada orang yang berinfaq dan berperang sesudah kemenangan kemenangan (Fathu Makkah). [Al-Hadid : 10]

لاَ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang ) yang tidak memiliki udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah. [An-Nisa: 95]

Dan selamanya tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang memerintahkan persamaan, yang ada hanyalah ayat yang memerintahkan keadilan, dan kata keadilan lebih diterima oleh jiwa.

Saya mengingatkan hal ini, supaya omongan kita tidak seperti ocehan beo, karena sebagian manusia meniru ucapan orang lain tanpa perenungan, tanpa dipikirkan apa isinya, siapa yang membuatnya dan apa maksud kata tersebut menurut orang yang membuatnya.

Syaikh Abu Bakar al-Jazairy berkata dalam Minhajul Muslim hal. 459: "Jika ada orang yang bertanya: Mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam hal ini?

Jawabannya: Sesungguhnya Islam datang pada saat perbudakan telah tersebar dimana-mana, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang adil, yang yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidak mampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidak tahuan mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka (lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan laksana neraka jahim”.

KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas penerjemah menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Perbudakan saat ini masih diakui oleh Islam.
2. Syarat untuk diperbudaknya seorang manusia adalah : (a) Kafir (non Muslim) (b) Menjadi tawanan kaum muslimin (c) Ditawan karena peperangan (d) Panglima perang muslim tidak memberikan alternatif lain kepada orang tersebut.
3. Islam menilai seorang budak sebagai saudara bagi tuannya.
4. Disisi lain, Islam mengusahakan kemerdekaan seorang budak dengan beberapa jalan, baik secara paksa maupun sukarela atau sebagai kafarah (penebus) dosa.

(Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Aris Munandar bin S. Ahmadi al-Lamfunji)

Daftar Referensi/Maraji’:
• Taisir ‘Allam, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Juz II, Darul Faiha dan Darus Salam cet. I tahun 1414 H
• Minhajul Muslim, Syeikh Abu Bakar al-Jazairi, Darul Fikr, cet. I tahun 1995 M.
• At-Targhib wat-Tarhib, al-Imam al-Mundziri, Darul Fikr, tahun 1993 M.
• Bahjatun Nazhirin, Syeikh Abu Usamah Salim al Hilali, Daar Ibnul Jauzi, cet. I tahun 1415 H.
• Fathul Majid Syarh kitab Tauhid, Takhrij Syeikh Ali bin Sinan, Darul Fikr, tahun 1412 H
• Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Ashqalani , al Maktabah as-Salafiyah.
• Ghoits alMakdud takhrij Muntaqo ibnil Jaruud, Abu Ishaq al-Huwaini, Darul kitab al-Arabi, cet. II tahun 1414 H.
• Irwa’ul Ghalil, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.
• Shahih Jami’ ash-Shagir, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami.
• Dha’if Sunan Abu Dawud, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1412 H.
• Dha’if Sunan Ibnu Majah, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.
• Sunan Ibnu Maajah, Toha Putra Semarang.
• Tuhfatul Awadzi, Syeikh al-Mubarakfury, Daarul Fikri, th. 1415 H
• Dhaif Sunan Tirmidzi, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1411 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Saya tidak menemukan lafazh hadits sebagaimana yang ada diatas yang saya temukan adalah lafazh berikut :

إِتَّقُوااللهَ فِيْمَا مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (صحيح) صحيح الجامع رقم 106 والإرواء 2178 . إِتَّقُوااللهَ فِي الصَّلاَةِ وَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (صحيح) رواه الخطيب البغدادى عن أم سلمة. صحيح الجامع رقم 105 و الصحيحة رقم :868

[2 Dalam Shahih Muslim saya tidak menemukan lafazh yang ada diatas, yang saya temukan adalah sebagai berikut :

لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ (صحيح) رواه مسلم وأحمد والبيهقي ]صحيح الجامع رقم 5191 والإرواء 2172 وفى رواية : "...فَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَالاَ يُطِيقُ" رواه أحمد والبيهقى أنظر تخريجه فى الإرواء 2172

3]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari I/16, II/123-124 dan IV/125, juga terdapat dalam Adabul Mufrad No. 189, Muslim V/93, Abu Daud No. 5158, Tirmidzi I/353, Ibnu Majjah No. 3690, Baihaqi VIII/7 dan Ahmad V/158 dan 161 dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[4]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari kitab Al-‘Itqu No. 2552 dan Muslim No. 2449.
[5]. Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari (lihat Fathul Bari V/146 dan Shahih Muslim No. 1509
[6]. Imam al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini Hasan Shahih (No. 1547), juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud semakna dengan hadits diatas diriwayatkan dari Ka’ab Bin Murrah, dan juga Ibnu Majah dari riwayat Ka’ab Bin Murrah atau Murrah Bin Ka’ab (No. 2522) Lihat at-Targhib juz 2 hal. 421-424 No. 2947. Hadits ini tidak saya jumpai dalam Dhaif Sunan Abi Daud kitab al-‘Itqu hal 389-391, juga tidak saya temukan dalam Dhaif Sunan Ibnu Majjah kitab al-‘Itqu hal. 199-201, juga tidak saya temukan dalam Dhaif Sunan Tirmizi pada Abwabun Nudzur wal aiman hal. 180-181
[7]. Hasan diriwayatkan oleh Ahmad II/182 dan lafaz ini adalah lafaz dari Ahmad. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud No. 4519, Ibnu Majah No. 2680, Ahmad II/225. Semakna dengan lafaz diatas juga diriwayatkan oleh Baihaqi VIII/36
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari No. 2503. Lihat Fathul Baari juz 5 hal. 137 dan lengkapnya adalah sbb :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ إِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ قَدْرَ ثَمَنِهِ يُقَامُ قِيمَةَ عَدْلٍ وَيُعْطَى شُرَكَاؤُهُ حِصَّتَهُمْ وَيُخَلَّى سَبِيلُ الْمُعْتَقِ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya jika dia mempunyai harta sekadar dengan harganya yang diukur dengan adil, dan diberikan kepada para sekutunya bagian mereka, kemudian orang yang dimerdekakan dilepaskan.
[9].Hadits tersebut termasuk hadits dhaiful isnad shahihul matan (sanadnya dha’if, tetapi maknanya/isinya shahih-red). Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh Abu Daud No. 3949, Tirmizi 1365, Ahmad V/15 dan 20, Ath-Thayalisi No. 910, Ath-Thobrani dalam al-Kabir juz 7 No. 5852, Hakim II/214 dan Baihaqi X/289. Lihat penjelasan kedhaifannya dalam Ghaitsul Makdud no. 972. Namun hadits ini memiliki syahid yang diriwayatkan oleh Tirmizi III/289 secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh Nasa’i dalam al’Itqu sebagaimana tersebut di dalam al-Athrof V/451, Ibnu Majah No. 2525 dan Baihaqi X/289 dan sanad syahid dishahihkan oleh Syeikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Gahitsul Makdud no. 972, Lihat juga Irwa’ul Ghalil juz 6 hal. 169-171 no. 1746. Lihat juga Shahih Sunan Abu Daud No. 3342 dan 3949, Shahih Ibnu Maajah No. 2046 dan 2047 dan Miskatul Mashobih (tahqiq Al-Bani) No. 3393. Hadits dengan lafaz ini juga diriwayatkan dari Umar Bin Khattab z secara mauquf namun sanadnya dhaif. Lihat Dhaif Sunan Abu Daud no. 850





Orang Awam : Antara Taklid Dan Ijtihad




Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya.

Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai permasalahan. Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat.

Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran? Pernyataan ini tidak keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa, qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab, masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam; bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?

Berikut kami nukilkan dari kitab Ad Durratul Bahiyah Fi Taqlid Wal Madzhabiyah Min Kalamil Syeikhul Islam Ahmad Abdul Halim bin Taimiyah, yang disusun oleh Muhammad Syakir Asy Syarif, sehingga kita -sebagai orang awam- dapat memetik pelajaran, hubungannya dengan para ‘alim yang menguasai ilmu. Semoga bermanfaat. (Redaksi)

SIAPAKAH YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN BERTAKLID?
• Adapun seperti Malik, Asy Syafi’i, Sufyan, Ishak bin Rahaweh dan Abu ‘Ubaid, maka Imam Ahmad telah mengatakan di berbagai tempat, bahwa tidak dibolehkan bagi seorang yang ‘alim (yang mampu berdalil) bertaklid kepada mereka….Dan dia melarang ulama dari murid-muridnya seperti Abu Dawud, Utsman bin Sa’id, Ibrahim Al Harbi, Abu Bakar Al Atsram, Abu Zur’ah, Abu Hatim As Sajastani, Muslim dan lain-lainnya,”(Melarang) bertaklid kepada seseorang, pun di antara ulama.” Dan dia mengatakan,“Berpeganglah kalian dengan sumber Al Quran dan As Sunnah.“

• Sedangkan bagi seseorang yang mampu berijtihad, apakah boleh bertaklid? Tentang masalah ini terdapat khilaf. Pendapat yang benar ialah boleh bertaklid bila tidak mampu berijtihad yang dikarenakan takafu’ (adanya dalil yang memiliki derajat sama kuatnya), sempitnya waktu untuk berijtihad, atau tidak jelas dalilnya. Maka, tatkala ia tidak mampu; gugurlah yang menjadi kewajiban (berijtihad), sehingga dibolehkan untuk bertaklid.

• Bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui hukum Allah dan RasulNya, sehingga menyebabkannya mengikuti seseorang yang ahli ilmu agama, serta tidak mendapatkan pendapat yang lebih rajih dari pendapat orang tersebut, maka hal itu terpuji dan mendapatkan pahala. Tidak tercela dan tidak disiksa.

• Sedangkan pendapat jumhur umat ini ada yang memperbolehkan ijtihad ataupun taklid (secara umum). Mereka tidak mewajibkan ijtihad bagi setiap orang dan mengharamkan taklid. Tidak mewajibkan taklid untuk setiap orang dan mengharamkan ijtihad. Tetapi ijtihad diperbolehkan untuk yang mampu berijtihad. Serta taklid diperbolehkan untuk yang tidak mampu berijtihad.

• Menurut jumhur, bagi orang yang tidak mampu berijtihad diperbolehkan taklid kepada orang ‘alim.

SIAPAKAH YANG DIMINTAI FATWA OLEH ORANG AWAM?
• Apabila seorang muslim menghadapi suatu masalah (nazilah), maka dia menanyakan fatwa kepada orang (‘alim ) yang diyakini akan berfatwa sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya dari madzhab manapun.

• Bilamana dalam masalah-masalah yang sulit, memungkinkannya dapat mengetahui petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, maka wajib mengikutinya. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, tidak mampu mencarinya, dalilnya takafu’ -menurut pendapatnya-, atau sebab lainnya, maka ia boleh bertaklid kepada orang yang diridhai ilmu dan agamanya.

YANG TIDAK BOLEH DILANGGAR OLEH ORANG YANG BERTAKLID
• Barangsiapa yang bertaklid, maka ia harus menetapi hukum taklid. Tidak boleh merajihkan, meneliti, membenarkan, dan menyalahkan.

APABILA SESEORANG HARUS BERTAKLID, MAKA SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI?
• Jika seseorang harus bertaklid, maka hendaknya bertaklid kepada orang yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran.

DIPERBOLEHKAN MENGIKUTI MADZHAB TERTENTU APABILA TIDAK MAMPU MEMAHAMI SYARA’ (AGAMA), KECUALI DENGAN MENEMPUH CARA TERSEBUT
Diperbolehkan bagi seseorang mengikuti madzhab tertentu karena ketidakmampuannya dalam memahami agama, kecuali melalui madzhab tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang mampu memahami agama tanpa melalui cara tersebut. Dan setiap orang wajib bertakwa kepada Allah menurut kemampuannya. Berusaha mengetahui perintah Allah dan RasulNya. Kemudian mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya. Wallhu ‘alam.

Dan barangsiapa mengetahui petunjuk tanpa dengan mengikuti syeikh tertentu, maka tidak perlu mengikuti kepada satu syeikh (tertentu) dan tidak disunatkan, bahkan dimakruhkan (dibenci).

Adapun jika tidak memungkinkan untuk beribadah kepada Allah yang bersesuaian dengan perintahNya, kecuali dengan cara mengikuti madzhab orang tertentu, seperti apabila bertempat-tinggal di lingkungan yang lemah pengenalannya kepada petunjuk, ilmu, dan iman; serta orang–orang yang mengajari dan mendidiknya tidak mau memberikan ilmu kecuali dengan menisbatkan kepada syeikh mereka, atau penisbatan kepada syeikhnya itu akan menambah agama dan ilmu, maka ia melakukan yang lebih maslahat untuk agamanya. Tetapi pada umumnya hal itu tidak terjadi, kecuali karena kelalaiannya (tidak mempelajari ilmu). Sebab kalau tidak demikian, andaikata ia mau mencari petunjuk sesuai dengan apa yang diperintahkan, pasti akan mendapatkannya.

TETAPI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN PEMBELAAN DAN MEMUSUHI ATAS DASAR PENISBATAN KEPADA MADZHAB. BARANGSIAPA MELAKUKAN HAL ITU, MAKA IA TERMASUK AHLI BID’AH
• Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada pembedakan diantara imam-imam mujtahidin, antara yang satu dengan seorang lainnya. Malik, Al Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan Ats Tsauri, adalah imam–imam pada zamannya, bertaklid kepada sebagian mereka seperti bertaklid kepada lainnya. Dan tidak ada seorang muslim yang mengatakan,“Sesungguhnya boleh bertaklid kepada imam ini dan tidak boleh kepada imam itu.”

• Orang yang beranggapan lebih kuat (tepat) bertaklid kepada Asy Syafi’i, tidak boleh mengingkari orang lain yang beranggapan lebih kuat bertaklid kepada Malik Dan orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Asy Syafi’i dan seterusnya.

• Barangsiapa menjadikan seseorang untuk diikuti, sehingga ia membela dan memusuhi atas dasar kesesuaian dan tidaknya dengan orang tersebut, maka ia termasuk (dalam ayat, peny.).

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا . الآية

Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. [Ar Rum : 32].

Apabila seseorang itu belajar dan beradab sebagaimana cara orang-orang yang beriman, seperti mengikuti imam–imam dan syeikh-syeikh, maka tidak boleh menjadikan panutannya atau sahabat–sahabatnya menjadi ukuran. Membela orang yang menyetujuinya dan membenci orang yang menyelisihinya….(sesungguhnya) tidaklah boleh bagi siapapun untuk menyeru kepada perkataan atau meyakininya, berdasarkan perkataan sahabat–sahabatnya. Tidak boleh pula memerangi dengan dasar tersebut. Tetapi harus didasarkan kepada perintah atau berita Allah dan RasulNya, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

• Tidak boleh bagi siapapun menjadikan seseorang selain Nabi untuk diikuti umat, dia menyeru kepada jalannya serta mencintai dan membenci karenanya. Tidak boleh membuat perkataan selain perkataan Allah, perkataan RasulNya, dan Ijma’ umat untuk menjadi pegangan ummat, membela dan memusuhi karenanya. Termasuk perbuatan ahlu bid’ah, apabila menjadikan seseorang atau perkataannya untuk memecah belah umat, membela dan memusuhi atas dasar perkataan atau penisbatan kepada orang tersebut.

• Barangsiapa fanatik kepada seorang tertentu diantara imam-imam, tanpa fanatik kepada lainnya, maka ia seperti orang yang fanatik kepada salah seorang sahabat, tanpa fanatik kepada sahabat-sahabat lainnya. Seperti, seorang Rafidhi yang fanatik kepada Ali (tetapi) tidak kepada tiga khalifah lainnya dan mayoritas Sahabat. Atau Khawarij yang mencela Utsman dan Ali. Ini adalah cara–cara ahlu bid’ah dan pengikut hawa nafsu, yang telah ditetapkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagai orang-orang yang tercela. Mereka keluar dari syari'at dan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti melalui Rasulullah. Barangsiapa yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam, maka ada kesamaan dengan mereka. Baik fanatik kepada Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad , dan lain-lain. Batas akhir orang yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam adalah tidak mengetahui kemampuan imam yang diikutinya dan kemampuan imam-imam lain di dalam ilmu dan agama. Maka dia menjadi bodoh dan dzalim. Padahal Allah memerintah supaya berilmu dan berbuat adil, melarang kebodohan dan kedzaliman.

• Adapun penisbatan yang memecah-belah antara kaum muslimin, berarti keluar dari jamaah dan persatuan. Mereka menuju kepada perpecahan dan mengikuti jalan kebid’ahan, serta menyelisihi sunnah dan ittiba’. Hal ini merupakan perkara yang dilarang. Pelakunya berdosa dan keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya .

DARURAT YANG MENYEBABKAN MENYELISIHI HUKUM ASHL (PRINSIP) TIDAK BOLEH DILAKUKAN SECARA TERUS-MENERUS, TETAPI WAJIB BERUSAHA UNTUK MENGHILANGKAN SEBAB-MUSABABNYA
Meskipun diperbolehkan mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian karena darurat; tatkala orang tersebut yang paling baik diantara mereka, akan tetapi tetap wajib berusaha untuk memperbaiki keadaan sehingga terwujud kemaslahatan yang sempurna bagi umat berupa persoalan–persoalan kepemerintahan, pendelegasian dan lain–lain. Sebagaimana wajib bagi orang miskin untuk berusaha melunasi hutangnya. Meskipun saat itu tidak dituntut, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana wajib bersiaga berjihad dengan menyiapkan kekuatan dan kendaran pada waktu kalah akibat kelemahannya. Karena sesuatu yang melengkapi terlaksananya kewajiban, hukumnya wajib. Berbeda dengan kemampuan dalam berhaji dan sejenisnya. Hal itu tidak wajib diusahakan secara khusus karena kewajibannya tergantung kepada kemampuan itu sendiri. (Ibnu Ramli)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]





Ulama-Ulama Pembela Da'wah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang



Oleh
Syeikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari


Sesungguhnya segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari keburukan–keburukan diri kami dan kejelekan – kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa memberi petunjuk kepadanya Subhanahu wa Ta'ala.

Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya.

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, seburuk–buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Amma ba’du :

Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki da’wah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya da’wah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits–hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penutut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syaratnya terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat–syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya, maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam da’wah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah da’wah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya. Dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.

Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana–sini, mengaku–aku bermanhaj salaf dan mengaku–aku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah–masalah manhaj dan perkara–perkara aqidahnya. Di samping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal ( terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang–kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih).

Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan–pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan–persangkaan dan pemikiran–pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara–saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik–baiknya.

Memang da’wah kita berdiri di atas silsilah (mata-rantai) para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

"Ilmu ini akan dibawa oleh orang – orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perobahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang – orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang – orang bodoh".

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan), memberikan faidah terus–menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : من كل خلف artinya من كل جيل ( dari setiap generasi ). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong Allah k dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak mebahayakan mereka orang – orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang –orang yang menghinakannya sampai terjadi kiyamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian".

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : لَا يَزَالُ ( Senantiasa ) juga memberi faidah terus – menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ

(sampai terjadi kiyamat ) menguatkan kepada faidah tersebut.

Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang – kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang – kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang dida’wahkan oleh ulama – ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar – pembesar kita di dalam da’wahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.

Wahai saudara – saudaraku fillah....
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama –ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.

Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang, bahkan beberapa majlis, bahkan berhari – hari, berbulan – bulan, dan bertahun – tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakankan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama – ulama da’wah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang atau beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam da’wah yang penuh berkah ini.

Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam da’wah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:

الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ - وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas

IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-.

Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.

Ini adalah salah satu alamat dan pintu da'wah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.

Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.

Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.

Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.

Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.

Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.

Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.

Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.

SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-

Adapun pada abad-abad pertengahan, (sebagaimana yang sudah saya katakan), dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol.

Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah, An-Numairi, Ad-Dimasyki, Al-Harani –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah, dan menjawab masalah-masalah.

Demi Allah, demi Allah dan demi Allah hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini. Setelah delapan abad dari kematian Imam ini, wahai saudaraku yang mendapatkan taufik, di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik. Sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kegeniusan otaknya –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-.

Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kegeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan : Al-Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja. Bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlaq, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.

Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup pada masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tartar sampai fitnah Rawafidh, juga fitnah tersebarnya madzhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan mendzaliminya. Sulthan berkata kepadanya : “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka ?” Dia menjawab : “Saya memberi maaf kepada mereka”. Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata : “Wahai Ibnu Taimiyah, kami mendzalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab : “Ini adalah akhlak orang-orang beriman”. Memang, akhlak ini tidak dimilki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak didzalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyah telah membantah keduanya. Nama Ibnu Taimiyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah.

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ

“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4]

Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini : “Sesungguuhnya setiap orang yang menolong sunnah, meninggikan sunnah dan mendukung Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4] Setiap orang yang merusak sunnah dan menentang Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Alllah.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus” [Al-Kautsar : 3]

Mereka (musuh-musuh sunnah) itu terputus. Sedangkan mereka (penolong-penolong sunnah) mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian.

Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tartar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata : “Sesungguhnya kami pasti akan menang!”. Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya : “Katakanlah insya Allah!”. Dia berkata : “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan”. Karena dia percaya kepada pertolongan Allah. Merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.

Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.

Dia juga menulis bantahan kepada Al-Amidi, Al-Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama “ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql”. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab. Sebagian orang menyangka dua nama kitab itu untuk dua kitab. Yaitu kitab “Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul” yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.

Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yag diberi nama “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” Dia menulis 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al-Muthahhar Al-Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah. Dia membantahnya dalam 10 jilid.

Kelompok Syi’ah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya, kecuali Ibnu Taimiyah. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemahkan dan dipelajari. Di hadapan kitab tersebut tidak bisa bergerak. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang imam yang merupakan ulama terbesar bagi da’wah yang agung dan penuh berkah ini.

Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan di fitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan Sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut. Bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang. Penduduk Damaskus semuanya keluar kepada jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah : “Katakanlah kepada ahlul bid’ah perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah”.

Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qayyim (yang saya katakan) dan saya berharap tidak berlebih-lebihan : “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad”. Dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah. Mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan.

Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim. Bukan berarti Ibnu Taimiyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan. Beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.

Diantara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah.

بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ

“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimanan dalam agama dicapai”

Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah.

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As-Sajdah : 24]

Inilah Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat masyhur dalam dakwah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-

Beliau hidup tiga abad yang lampau. Pada saat dunia dipenuhi syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang bertawajjuh (menghadapkan wajah mereka) kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdo’a dan beristighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan hati kepada pohon, batu, kain-kain, pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka mencari berkah dari semua hal di atas.

Maka imam ini melaksanakan apa yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada imam lainnya, Amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad, pena dan tombak. Keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk membela tauhid dan aqidah yang lurus. Beliau berdakwah menuju Allah Ta’ala dan menuju tauhid yang murni. Membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan muhdatsat (perkara baru dalam agama), dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Terjadilah berbagai bantahan, perdebatan dan disukusi diantara beliau dengan musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya, karena beliau telah meninggikan Sunnah dan Tauhid.

Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, dan setiap rumah wajib memiliki kitab-kitab tersebut. Seorang tholabul ilmi –juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi Alal Abid (Tauhid Merupakan Haq Allah Atas Para HambaNya). Kitab ini, kitab yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya. Yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkkan faidah-faidah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.

Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenan dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seseorang diantara penduduk Afrika. Disana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan sunnah Nabi. Dia (seorang Afrika) berkata : “Ada seorang syaikh, di antara syaikh Thariqah Sufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendo’akan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia memohon kepada Allah, agar Allah menimpakan kerburukan kepadanya …dan seterusnya”. Do’a yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid. Seorang Afrika tadi berkata : “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia (syaikh Sufi) berkata kepadaku : ‘Kitab apa ini ?’. Aku jawab : ‘Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama’. Dia berkata : ‘Bolehkah aku membacanya?’. Maka seolah-olah aku berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Aku lalu memberikannya, dan berkata : “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang alim yang agung, sehingga aku mendapatkan manfaat”. Maka besoknya dia kembali, lalu syaikh itu mengatakan : “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Didalamnya hanya ada firman Allah dan sabda Rasul. Siapakah yang menyusunnya ?” Dia menjawab : “Inilah penyusunnya, orang yang selalu engkau do’akan kecelakaan pada waktu malam dan siang”. Maka syaikh itu bertaubat kepada Allah saat itu juga. Dahulu dia selalu mendo’akan kecelakaan untuknya, kemudian dia lalu mendo’akan kebaikan untuknya. Inilah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat, dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup.

Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya, risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi -yang kami sampaikan ini– adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita pembesar kita.

Pada zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah. Cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa dan disegala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Kita lihat Ahlus Sunnah yang baik, para da’i Salafi. Mereka tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), diorganisasi oleh thariqah, atau harakah. Akan tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.

Pada zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah yang diberkahi. Di antara mereka, yang pertama adalah Imam Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’alimi Al-Yamani, kemudian Allamah Mahmud Syakir Al-Mishri, juga para saudara dan kawan mereka, Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrahman Hamzah, Muhammad Khalil Harras.

Sampai perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu keturunan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, sampai kemudian muridnya Imam Allamah Al-Bashir Abu Abdullah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Bersamanya juga ada saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam, alamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya yang serupa dengannnya, imam, allamah, Abu Abdullah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ahli fikih yang teliti, memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama pada zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugrahkan kepadanya, yang tidak diberikan kepada orang lain. Bahwa ceramahnya merupakan karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya, seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa, luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua diatas satu jalan, yang cemerlang dan bersih, dalam membela sunnah Nabi. Meninggikan bendera aqidah Salafiyyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah menyelesaikan kewajiban. Kita bersikap kurang jika kita berhenti dibelakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari kemenengan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka. Kalau demikian jadilah musibah yang besar. Kita mohon perlindungan kepada Allah.

Dengan semua ini kita mendengar orang bodoh dari sana-sini mencela ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka mengatakan : “Ibnu Baz termasuk ulama penguasa”. Wahai miskin, apa yang kau inginkan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim, zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini, -sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama penguasa yang mengikuti hawa nafsu.

Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan “Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi (kenyataan/situasi dan kondisi)”. Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang alim, tegar bagaikan gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu. Seperti perkataan ulama : “Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu”. Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap sesuatu masalah, tanpa memahami waqi, tanpa melihat sisi-sisinya, dan tanpa meliputi detail-detailnya. Memang istilah “memahami waqi” yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal-hal itu berbalik menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas ?). Kita mohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.

Kemudian, ada orang ketiga dari golongan yang mencela ulama kita itu. Mungkin dia seorang yang bodoh, tolol, berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani, bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Seandainya si bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tetolak. Demi Allah sesungguhnya zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang menganggap perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan para ahli fiqih Murji’ah sebagai perselisihan semu, (tidak sebenarnya). Syaikh Al-Albani menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.

Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah berlalu 30 tahun lalu, bahkan lebih. Sedangkan orang yang membantah beliau, jika engkau Tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau –wahai miskin- (yang membantah beliau) sedang bermain-main bersama anak-anak di jalan-jalan. Saat itu engkau sedang membaca alif, ba’, di Taman Kanak-kanak !. Kemudian ketika wajahmu tumbuh sebagian rambut, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap. Kita memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.

Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah). Bendera mereka berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka, niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.

Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Utsaimin,-pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita lihat pada ahli ilmu dan sunnah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Mereka semua berada di atas jalan dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh sebagain orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik dalam hakekat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Aku melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakkal kepada Allah, wahai saudara-saudaraku, sebagaimana anda sekalian melihat.

Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan orang-orang bodoh. Teruslah dakwah ini dengan karunianya, kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita berharap menjadi para pembelanya. Aku memohon taufik dan ketetapan, petunjuk dan ketetapan, kepada Allah untuk diriku dan anda semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya semua. Akhir ucapan kami Alhamdulillahi Rabbil Alamin

(Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau pada Daurah di Surabaya, dengan judul A’lam Dakwah Salafiyyah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]





Pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum


Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari


KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [Al Fath : 29].

Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".

Allah berfirman, yang artinya : "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At Taubah : 100].

Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni Ash Shiddiq Al Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah kedudukan iman mereka kepada Al Quran, sementara mereka mencaci orang yang telah Allah ridhai?

Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu ánhum), mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu, mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.

Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta, Pent)" [1].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zama pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindiq.

Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [2].

Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [3].

SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku". [Hadits riwayat Muslim, no 2531, dari jalur Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa Al Asy'ari zRadhiyallahu 'anhu].

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, yakni para sahabat -radhiyallahu 'anhum jami'an.

Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar.” Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat pungkasan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ

"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti menurut" [4].

Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni Al Jama'ah". [HR Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]

Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir Al Jama'ah:

مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي

"Pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.

Maksud Al Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Al Qur`an dan As Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum.

Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita, tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun. Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah”. [Atsar shahih, riwayat Ahmad, no 3600; Al Bazzar, no. 1816 dan Ath Thabrani, no. 8582].

BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ

"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)”. Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.

Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu 'anhum.

SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al 'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ

"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita". Para sahabatpun bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau n menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian".

Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar.

Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin Al 'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin Al Asqa', dia berkata, Rasulullah n bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku".

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ

"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik". [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya'qub].

Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464): "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah".

Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165): "Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama".

LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya"[5].

Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata: "Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir”.

Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: "Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka"[6].

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`, dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]

SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI
DI ANTARA SAHABAT
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah ini.

Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,"Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka." Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad (321) dan Abul 'Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.

Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hasyr : 10].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "

Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا

"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri".

Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah n , kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.

Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.

Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya” [8].

Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9].

Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua’"[10].

Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu"[11].

Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat".

PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
Imam Al Bukhari t menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab : Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari Al A'masy, dari Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka"[12].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya".

Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ

"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya"[13].

Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, beliau berkata: "Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi" [14].

Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia berkata: "Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata: "Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi"[15].

Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku,”Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab,"Akan kupenggal lehernya!" aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?" Jawab ayahku,"Juga akan kupenggal lehernya!"[16].

Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata: "Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat".

Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS Al Hasyr : 9-, mereka adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. –QS Al Hasyr:10. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i" [17].

Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’ Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,’Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam’".

Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama’."

Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia bukan orang Islam’."

Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al Faryabi, Red) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya dishalatkan?" Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab,"Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."

Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Ja'far bin Ya'qub Al Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat”.

Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut" [18].

Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: "Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya”.

Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar".

Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab'i. Dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata: "Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu` anhum ajma'in"[20].

Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. 'Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.[21]

Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.

Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba'iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi'ah Rafidhah." [22]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka”.

Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni': “Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh Al Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu".

Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.

Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka". Wallahul musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]






sumber:  http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment