Saturday, June 23, 2012

Menentukan Ramadhan. firman Allah : شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa". [al Baqarah:185].


Menentukan Ramadhan. firman Allah :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa". [al Baqarah:185].



Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Ramadhan adalah bulan mulia, selalu ditunggu dan diharapkan kedatangannya oleh kaum mukminin. Al Qur’an turun pada bulan ini. Dan pada bulan ini, Allah menjadikannya sebagai bulan puasa dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia berpuasa". [al Baqarah:185].

Dalam ayat di atas, Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya Al Qur’an. Pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai dengan huruf (ف ), yang berfungsi menunjukkan makna “alasan dan sebab” – dalam ( فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ). Hal itu menunjukkan, yang menjadi penyebab dipilihnya bulan Ramadhan sebagai bulan puasa, ialah karena di dalamnya diturunkan Al Qur’an.

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sudah seharusnya kita bersungguh-sungguh memperhatikan bulan Ramadhan ini, agar dapat mencapai apa yang diharapkan dan ditunggu-tunggu.

Salah satu bentuk perhatian tersebut, yaitu menghitung bulan Sya’ban 29 hari. Karena hitungan satu bulan dalam Islam adalah 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar, Beliau bersabda:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ )رواه البخاري(

"Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30 hari" [1].

BAGAIMANA MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
Dalam menentukan permulaan bulan Ramadhan, kita diperintahkan untuk melihat hilal atau menyempurnakan jumlah bulan Sya’ban 30 hari, bila hilal terhalang dari penglihatan manusia. Itulah satu-satunya cara yang disyari’atkan dalam Islam, sebagaimana diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam banyak hadits, diantaranya:

Hadits Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

"Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka berbukalah (berhari Raya ‘Id). Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya), maka ukurlah". [2]

Kata (فَاقْدُرُوا ) dalam hadits ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits Ibnu Umar di atas dengan lafadz : فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ dan dalam riwayat lain dengan lafadz :

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

"Jika kalian terhalang melihatnya, maka ukurlah untuknya tigapuluh". [3]

Demikian juga dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

"Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian (untuk Idul Fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari".[4]

Dalam riwayat lain :

فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الْشَهرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ dan dalam lafadz lainnya: فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعَدَدَ

Serta dalam lafadz lainnya فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا .

Hal ini cukup jelas, apalagi ditambah dengan hadits ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ

"Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya" [5].

Ibnu Hajar menyatakan, masih terdapat lagi beberapa hadits penguat tentang penyempurnaan 30 hari ini, dari hadits Hudzaifah dari riwayat Ibnu Khuzaimah, Abu Hurairah dan Ibnu Abas dalam Sunan Abu Daud dan Sunan An Nasa’i dan lainnya.[6]

Adapun hadits Hudzaifah dengan lafadz :

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

"Janganlah kalian memulai bulan baru sampai melihat hilal atau menyempurnakan bilangan bulan, kemudian berpuasalah sampai melihat hilal atau menyempurnakan jumlah bilangan harinya" [6].

Sedangkan hadits Abu Hurairah telah diisyaratkan dii atas, dan hadits Ibnu Abas adalah :

لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

"Janganlah mendahului Ramadhan dengan satu hari puasa atau dua hari, kecuali puasa yang biasa salah seorang kalian lakukan, dan janganlah berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal), kemuidan berpuasalah sampai melihatnya. Jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan hari 30, kemudian beridul fithri dan bulan itu 29 hari".[8]

Hal inipun ditegaskan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan ‘Aisyah dalam pernyataannya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ

"Dulu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan bulan Sya’ban, melebihi perhatiannya terhadap bulan lain, kemudian Beliau berpuasa karena melihat hilal Ramadhan. Jika terhalang mendung, maka Beliau menggenapkan 30 hari, kemudian berpuasa".[9]

Dan pernyataan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ

"Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga kali, sampai menyebut 29".

Demikianlah penjelasan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang permasalahan ini. Cukuplah keterangan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini sebagai sebaik-baiknya penjelas. Oleh karena itulah telah terjadi Ijma’ tentang penentuan bulan Ramadhan dengan melihat hilal (ru’yah). Jika melihat adanya hilal, maka wajib berpuasa, sebagaimana pendapat para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir [10], Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H)[11] dan Ibnu Taimiyah [12].

Penentuan bulan dengan melihat hilal, juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji".[al Baqarah:189].

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Allah, (dalam ayat ini) mengkhabarkan bahwa hilal adalah tanda waktu bagi manusia. Dan ini umum dalam seluruh urusan mereka. Dikhususkan penyebutan haji dalam ayat ini, sebagai pembeda. Dan karena haji disaksikan para malaikat dan makhluk lainnya, serta haji berada di akhir bulan dalam setahun, sehingga menjadi tanda untuk tahun, sebagaimana hilal menjadi tanda untuk bulan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyatakan, ‘usianya tujuh puluh haji dan kami tinggal selama lima haji’. Allah telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum syari’at, atau sebab dari ibadah dan untuk hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat hamba, sehingga semua yang ada dari waktu-waktu dalam syari’at atau syarat, maka hilal sebagai batas waktunya. Termasuk dalam hal ini, yaitu puasa, haji, masa illa’ dan iddah dan puasa kafarat. Kelima perkara itu ditetapkan dalam Al Qur’an.” [13]

Dari sini kita ketahui bahwa tidak diwajibkan puasa dengan penunjukan hisab. Sehingga, seandainya ulama telah menetapkan secara hisab falakiyah bahwa malam ini adalah malam Ramadhan, namun merekapada waktu itumereka belum melihat hilal, maka tidak berpuasa. Karena syari’at menentukan hukum ini dengan sesuatu yang ter-indrakan, yaitu melihat hilal.”[14]

Oleh kerenanya Ibnu Taimiyah berkata: “Kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa termasuk dalam agama Islam, yaitu beramal dengan melihat hilal puasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun pengambilan dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya dengan hisab, baik dia melihat ataupun tidak, maka tidak boleh. Nash-nash yang masyhur dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini cukup banyak, dan kaum musliminpun telah Ijma’ atasnya, dan sama sekali tidak diketahui adanya perselisihan baik (pada waktu) terdahulu ataupun sekarang, kecuali sebagian mutafaqqihah mutaakhirin setelah tahun tiga ratusan, (yang) menyatakan, jika hilal terhalang mendung, diperbolehkan al hasib (orang yang bisa menghisab) beramal dengan hisab untuk dirinya sendiri. Jika hisab menunjukkan ru’yah maka ia berpuasa, kalau tidak, maka tidak boleh. Pendapat ini, walaupun terbatas pada keadaan mendung dan khusus untuk orang yang menghisab saja, namun tetap merupakan pendapat syadz (aneh) yang menyelisihi Ijma’ yang ada. Sedangkan mengikuti hisab pada keadaan cerah, atau menentukan perkara syari’at umum yang lain dengan hisab, maka ini tidak dikatakan oleh seorang muslimpun.” [15]

Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggantungkan perkara puasa dan Id (fithri) dengan sesuatu yang tampak. Sehingga manusia dapat mengetahui secara jelas urusan mereka. Yaitu dengan melihat hilal bulan, atau menyempurnakan bilangan bulan yang lalu 30 hari. Karena tidak mungkin lebih dari 30 hari. Rasulullah n telah memerintahkan umatnya untuk puasa bila melihat hilal Ramadhan, dan memerintahkan berbuka Idul Fithri bila melihat hilal Syawal. Jika ada halangan melihatnya karena mendung atau sejenisnya, maka mereka menyempurnakan jumlah bulan terdahulu (yaitu) 30 hari, karena pada asalnya demikian, sehingga tidak dihukumi keluar dari bulan tersebut kecuali dengan keyakinan”.[16]

Namun penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal ini dapat ditetapkan dengan persaksian seorang muslim yang adil, sebagaimana dikatakan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النبي أَنِّيْ رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

"Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya, maka Beliau berpuasa dan memerintahkan manuasia untuk berpuasa".[17]

KAPAN DIAKUI ADANYA HILAL?
Manusia berselisih tentang hilal, apakah ia merupakan nama untuk hilal yang terbit di langit, ataukah tidak dinamakan hilal sampai manusia melihat dan mengetahuinya?

Ibnu Taimiyah memandang, hilal ini diambil dari makna tampak dan mengangkat suara. Berdasarkan hal ini, maka terbitnya hilal di langit jika tidak tampak dari permukaan bumi, maka tidak ada hukumnya sama sekali. Dan sesungguhnya nama hilal diambil dari perbuatan manusia. Dikatakan ( أَهْلَلْنَا الْهِلاَل وَاسْتَهْلَلْنَاه ) sehingga tidak ada hilal, kecuali yang tampak. Bila seorang atau dua orang melihat hilal, lalu tidak memberitahukannya (kepada umum), maka hal itu tidak dikatakan hilal. Tidak ditetapkan hukumnya sampai diberitahukan. Sehingga pemberiatahuan inilah yang dinamakan hilal, yang bermakna mengangkat suara dengan memberitahukannya. Juga karena beban syari’at mengikuti ilmu. Maka jika tidak diketahui keberadaannya, tidak diwajibkan berpuasa” [18].

Syaikh Islam berkata: “Pertama, kata hilal adalah nama sesuatu yang ditampakkan, yang maknanya disuarakan. Dan disuarakan (diumumkan) tidak benar, kecuali dengan diketahui oleh mata dan pendengaran. Kedua, Allah menjadikannya sebagai tanda waktu bagi manusia. Tidak dapat menjadi tanda waktu bagi manusia, kecuali jika diketahui dengan mata dan telinga. Karena jika tidak diketahui, maka tidak mungkin menjadi tanda waktu.” [19]

Beliau juga menyatakan: “Tidak diwajibkan puasa, kecuali ketika diberitahukan dan terlihat, bukan ketika terbitnya [20]. Dan syarat dikatakan hilal, yaitu diketahui dan terlihatnya di kalangan orang banyak”.[21]

Kesimpulannya, hilal Ramadhan dianggap sebagai tanda masuk Ramadhan, jika terlihat oleh manusia atau sebagiannya, dan diberitahukan kepada yang lainnya, sehingga diketahui oleh khalayak ramai. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

Macam-Macam Puasa



Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar




Pembahasan 1
MACAM-MACAM PUASA

Kita akan membicarakan tentang pembagian puasa dari segi halal dan haram. Hal itu karena puasa terkadang bisa wajib, terkadang sunnah, terkadang makruh dan terkadang haram. Pembahasan mengenai hal itu akan diberikan dalam beberapa permasalahan berikut ini:

Pertama: Puasa Wajib
Puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa qadha’ dari puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa fidyah dan kaffarat.

Kedua: Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dianjurkan untuk dikerjakan, yaitu:

1. Puasa enam hari pada bulan Syawwal.
2. Puasa hari ‘Arafah bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibdah haji.
3. Puasa hari ‘Asyura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram) dengan satu hari sebelum atau sesudahnya.
4. Puasa hari-hari bidh (putih, yakni hari-hari di saat terjadi bulan purnama-ed), yaitu hari ke-13, 14 dan 15 pada setiap bulan Hijriyyah.
5. Puasa hari Senin dan Kamis.
6. Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban dan Muharram.
7. Puasa Nabi Dawud (sehari puasa, sehari tidak puasa).
8. Puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah.
9. Puasa bagi orang yang belum mampu menikah.

Ketiga: Puasa Makruh
Puasa makruh adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dilarang untuk dikerjakan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat keras, karena tidak sampai pada tingkat pengharaman. Di antara hari-hari yang dimakruhkan untuk puasa adalah:

1. Puasa hari ‘Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
2. Puasa hari Jum’at saja.
3. Puasa hari Sabtu saja.
4. Puasa hari terakhir dari bulan Sya’ban, kecuali jika bertepatan dengan puasa yang telah biasa dilakukan, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
5. Puasa ad-Dahr. Ini diartikan bahwa harus berbuka pada hari-hari diharamkannya puasa, jika tidak berbuka pada hari-hari tersebut, maka diharamkan puasa ad-Dahr.

Keempat: Puasa yang Diharamkan
Puasa yang diharamkan adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dilarang secara mutlak untuk dikerjakan, yaitu:

1. Puasa dua hari raya; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.
2. Puasa pada hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 dari bulan Dzul Hijjah.
3. Puasa pada saat haidh dan nifas bagi wanita.
4. Diharamkan bagi wanita melaksanakan puasa tathawwu’ (sunnah) jika suaminya melarang untuk mengerjakan puasa tersebut.
5. Puasanya orang sakit yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan bisa mengakibatkan kematiannya.[1]

Pembahasan 2
PUASA SUNNAH[2] DAN PENGARUHNYA DALAM TAQARRUB (PENDEKATAN DIRI) SEORANG HAMBA KEPADA RABB-NYA

Setiap kewajiban memiliki satu nafilah (sunnah) yang mempertahankan keberadaannya serta menyempurnakan kekurangannya. Shalat lima waktu misalnya, memiliki shalat-shalat sunnah, baik sebelum maupun sesudahnya. Demikian juga dengan zakat, yang memiliki shadaqah sunnah. Haji dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Puasa wajib dikerjakan pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak sekali, di antaranya puasa sunnah yang tidak pasti, seperti puasa bagi orang yang tidak mampu me-nikah. Puasa sunnah yang ditentukan, misalnya puasa enam hari di bulan Syawwal, karena barangsiapa mengerjakan puasa ini se-telah Ramadhan, maka seakan-akan dia telah berpuasa sepanjang tahun.

Hal tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa ad-Dahr.”[3]

Di antara pengaruh puasa sunnah adalah:

1. Puasa sunnah dapat digunakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya, karena membiasakan diri berpuasa setelah Ramadhan merupakan tanda diterimanya amal perbuatan, insya Allah. Hal ini karena Allah Jalla wa 'Ala jika menerima amal seorang muslim, maka Dia akan memberikan petunjuk kepadanya untuk mengerjakan amal shalih setelahnya.

2. Puasa Ramadhan yang dikerjakan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, akan mengharuskan pemberian ampunan atas dosa-dosa sebelumnya. Orang-orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala pada hari ‘Idul Fithri, karena hal itu merupakan hari pemberian pahala. Puasa setelah Rama-dhan merupakan bentuk rasa syukur terhadap nikmat ini bagi hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya.

3. Puasa sunnah merupakan janji seorang muslim kepada Rabb-nya, bahwa musim ketaatan itu akan terus berlangsung dan bahwasanya kehidupan ini secara keseluruhan adalah ibadah. Dengan demikian, puasa itu tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan, tetapi puasa itu terus disyari’atkan sepanjang tahun. Mahabenar Allah Yang Mahaagung ketika berfirman:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah...’” [Al-An’aam: 162]

4. Puasa sunnah menjadi sebab timbulnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya serta pengabulan do’anya, penghapusan kesalahan-kesalahannya, pelipatgandaan kebaikan-kebaikannya, peninggian derajatnya, serta keberuntungannya mendapatkan Surga kenikmatan.[4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Ramadhan, Bulan Kemenangan



Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar



Puasa memiliki ikatan yang sangat kuat dengan jihad. Puasa memberikan persiapan yang mantap untuknya. Puasa senantiasa menemaninya dalam perjalanan kehidupan yang terus-menerus sampai Allah mewariskan bumi dan seisinya. Dengan demikian, puasa akan senantiasa tetap ada sampai hari Kiamat sebagai fase persiapan untuk jihad. Jihad itu sendiri akan senantiasa tetap ada sampai hari Kiamat sebagai fase amaliah bagi puasa.

Umat Islam adalah umat yang suka berpuasa sekaligus mujahid (pejuang) yang mampu mengambil manfaat dari lembaga pendidikan puasa sebagai tempat penggemblengan untuk jihad. Selama umat Islam masih terus menjalankan puasa yang hakiki, maka ia tetap sebagai mujahid. Oleh karena itu, banyak kemenangan yang diperoleh kaum muslimin pada bulan Ramadhan.

Di tahun ke-2 Hijriyyah, terjadi perang Badar al-Kubra pada bulan Ramadhan. Perang ini berakhir dengan kemenangan Islam atas kesyirikan di awal perlawanan perang fisik. Kemenangan ini sangat lekat dengan perjalanan sejarah, di mana kelompok orang-orang beriman yang jumlahnya sedikit berhasil mengalahkan kesyirikan dan kelompok yang jauh lebih kuat.

Pada bulan Ramadhan di tahun ke-5 Hijriyyah, kaum muslimin melakukan persiapan untuk melakukan perang Khandaq, di mana perang ini berlangsung pada bulan Syawwal di tahun yang sama. Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan pasukan untuk menghancurkan patung-patung berhala. Ini merupakan tugas kemiliteran yang sangat penting, karena adanya kemungkinan terjadinya kontak senjata.

Pada bulan Ramadhan di hari ke-21 dari tahun ke-8 Hijriyyah, berakhir pembebasan teragung, yaitu pembebasan kota Makkah (Fat-hu Makkah), hingga akhirnya para pemimpinnya menyerahkan diri setelah lama melakukan permusuhan. Akhirnya mereka pun berbondong-bondong memeluk agama Allah. Patung-patung juga berjatuhan oleh "pukulan" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan alat pemukulnya yang kokoh. Mahabenar Allah Yang Mahaagung ketika berfirman:

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Mahapenerima taubat." [An-Nashr: 1-3]

Pada bulan Ramadhan di tahun ke-9, terjadi perang Tabuk.

Pada bulan Ramadhan pula di tahun ke-10, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu untuk memimpin pasukan ke Yaman, dengan mengirimkan bersamanya sepucuk surat yang ditujukan kepada mereka.

Masih banyak lagi peperangan dahsyat lainnya yang dilakukan oleh kaum muslimin di bulan Ramadhan dalam melawan musuh-musuh mereka. Peperangan penting di antaranya adalah peperangan yang dipimpin oleh seorang pahlawan muslim, Shalahuddin al-Ayyubi ketika melawan pasukan Salib dan pertempuran Ain Jalut, yang di dalamnya kaum muslimin berhasil mengusir pasukan dari bangsa Tartar. Semuanya itu terjadi pada bulan Ramadhan, yang merupakan bulan ibadah dan kemenangan. Akankah kaum muslimin mengulangi kemenangan-kemenangan tersebut serta mengembalikan sejarah Salafush Shalih? [1]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Macam-Macam Puasa : Puasa Sunnah Dan Pengaruhnya Dalam Taqarrub Seorang Hamba Kepada Rabb-Nya



Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pembahasan 1
MACAM-MACAM PUASA

Kita akan membicarakan tentang pembagian puasa dari segi halal dan haram. Hal itu karena puasa terkadang bisa wajib, terkadang sunnah, terkadang makruh dan terkadang haram. Pembahasan mengenai hal itu akan diberikan dalam beberapa permasalahan berikut ini:

Pertama: Puasa Wajib
Puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa qadha' dari puasa Ramadhan, puasa nadzar, puasa fidyah dan kaffarat.

Kedua: Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang oleh nash-nash syar'i dianjurkan untuk dikerjakan, yaitu:

1. Puasa enam hari pada bulan Syawwal.
2. Puasa hari Arafah bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibdah haji.
3. Puasa hari Asyura (puasa pada tanggal 10 Muharram) dengan satu hari sebelum atau sesudahnya.
4. Puasa hari-hari bidh (putih, yakni hari-hari di saat terjadi bulan purnama-ed), yaitu hari ke-13, 14 dan 15 pada setiap bulan Hijriyyah.
5. Puasa hari Senin dan Kamis.
6. Memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban dan Muharram.
7. Puasa Nabi Dawud (sehari puasa, sehari tidak puasa).
8. Puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah.
9. Puasa bagi orang yang belum mampu menikah.

Ketiga: Puasa Makruh
Puasa makruh adalah puasa yang oleh nash-nash syar'i dilarang untuk dikerjakan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat keras, karena tidak sampai pada tingkat pengharaman. Di antara hari-hari yang dimakruhkan untuk puasa adalah:

1. Puasa hari Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
2. Puasa hari Jum'at saja.
3. Puasa hari Sabtu saja.
4. Puasa hari terakhir dari bulan Sya'ban, kecuali jika bertepatan dengan puasa yang telah biasa dilakukan, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
5. Puasa ad-Dahr. Ini diartikan bahwa harus berbuka pada hari-hari diharamkannya puasa, jika tidak berbuka pada hari-hari tersebut, maka diharamkan puasa ad-Dahr.

Keempat: Puasa yang Diharamkan
Puasa yang diharamkan adalah puasa yang oleh nash-nash syar'i dilarang secara mutlak untuk dikerjakan, yaitu:

1. Puasa dua hari raya; Idul Fithri dan Idul Adh-ha.
2. Puasa pada hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 dari bulan Dzul Hijjah.
3. Puasa pada saat haidh dan nifas bagi wanita.
4. Diharamkan bagi wanita melaksanakan puasa tathawwu' (sunnah) jika suaminya melarang untuk mengerjakan puasa tersebut.
5. Puasanya orang sakit yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan bisa mengakibatkan kematiannya. [1]

Pembahasan 2
PUASA SUNNAH [2] DAN PENGARUHNYA DALAM TAQARRUB (PENDEKATAN DIRI) SEORANG HAMBA KEPADA RABB-NYA

Setiap kewajiban memiliki satu nafilah (sunnah) yang mempertahankan keberadaannya serta menyempurnakan kekurangannya. Shalat lima waktu misalnya, memiliki shalat-shalat sunnah, baik sebelum maupun sesudahnya. Demikian juga dengan zakat, yang memiliki shadaqah sunnah. Haji dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunnah. Puasa wajib dikerjakan pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak sekali, di antaranya puasa sunnah yang tidak pasti, seperti puasa bagi orang yang tidak mampu menikah. Puasa sunnah yang ditentukan, misalnya puasa enam hari di bulan Syawwal, karena barangsiapa mengerjakan puasa ini setelah Ramadhan, maka seakan-akan dia telah berpuasa sepanjang tahun.

Hal tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa ad-Dahr." [3]

Di antara pengaruh puasa sunnah adalah:
1. Puasa sunnah dapat digunakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Rabb-nya, karena membiasakan diri berpuasa setelah Ramadhan merupakan tanda diterimanya amal perbuatan, insya Allah. Hal ini karena Allah Jalla wa Ala jika menerima amal seorang muslim, maka Dia akan memberikan petunjuk kepadanya untuk mengerjakan amal shalih setelahnya.

2. Puasa Ramadhan yang dikerjakan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, akan mengharuskan pemberian ampunan atas dosa-dosa sebelumnya. Orang-orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala pada hari Idul Fithri, karena hal itu merupakan hari pemberian pahala. Puasa setelah Ramadhan merupakan bentuk rasa syukur terhadap nikmat ini bagi hubungan seorang muslim dengan Rabb-nya.

3. Puasa sunnah merupakan janji seorang muslim kepada Rabb-nya, bahwa musim ketaatan itu akan terus berlangsung dan bahwasanya kehidupan ini secara keseluruhan adalah ibadah. Dengan demikian, puasa itu tidak berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan, tetapi puasa itu terus disyari'atkan sepanjang tahun. Mahabenar Allah Yang Mahaagung ketika berfirman:

"Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah ...." [Al-An'aam: 162]

4. Puasa sunnah menjadi sebab timbulnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya serta pengabulan do'anya, penghapusan kesalahan-kesalahannya, pelipatgandaan kebaikan-kebaikannya, peninggian derajatnya, serta keberuntungannya mendapatkan Surga kenikmatan. [4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Syi'ar-Syi'ar Ta'abbudiyyah Bulan Ramadhan : Meningkatkan Infak Di Jalan Allah, Membaca Al-Qur'an


Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Pendahuluan
Iman itu bisa berkurang dan juga bisa bertambah. Dia akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Juga bisa bertambah dengan beristiqamah dan berkurang dengan penyimpangan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba-lasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

"Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada) ...." [Al-Fat-h: 4]

Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus paling agung. Di mana setiap syi'ar yang ada padanya merupakan syi'ar ta'abbudiyyah yang disyari'atkan yang bisa menambah keimanan. Oleh karena itu, orang-orang shalih di setiap zaman dan tempat mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan terdapat suatu makna yang tidak diketahui oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, mereka memperoleh keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain, di mana mereka berhasil menyucikan jiwa, menjernihkan diri serta membela kebenaran. Selain itu, hati mereka dipenuhi dengan cahaya, dan lisanul hal mereka mengatakan, "Ini adalah jalan menuju jihad di jalan Allah sekaligus penegakan kalimat-Nya."

Syaikh Abdullah bin Mahmud mengatakan, "....Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan dan kegigihan sekaligus sebagai ladang bagi hamba-hamba-Nya. Juga sebagai sarana untuk menyucikan hati dari kerusakan, pembelengguan nafsu syahwat, kejahatan, dan kedurhakaan. Oleh karena itu, barangsiapa yang menanam kebaikan, maka akibat baiknya akan kembali kepadanya. Pada saat hari panen, pintu-pintu Surga akan dibuka untuknya dan di-tutup semua pintu Neraka. Yang demikian itu disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam beribadah dan juga upaya mereka untuk berlomba-lomba dalam beramal shalih, di antaranya adalah memperbanyak shalat, membuka tangan mereka untuk bershadaqah, menyambung tali silaturahmi, berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan anak-anak yatim juga orang-orang yang mem-butuhkan, serta memperbanyak do'a, istighfar, dan bacaan al-Qur-an..."

Pembahasan 4
MENINGKATKAN INFAK DI JALAN ALLAH

Islam telah memerintahkan untuk berderma, memberi dan berinfak di jalan Allah pada setiap saat. Pada bulan Ramadhan, perintah tersebut lebih ditekankan sebagai upaya mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.

Allah Ta'ala berfirman:

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak..." [Al-Baqarah: 245]

Allah juga berfirman:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui." [Al-Baqarah: 261]

Pernahkah engkau mengetahui seruan untuk berinfak dan berderma dalam bentuk yang sangat aktif dan dinamis seperti yang disampaikan oleh al-Qur-an al-Karim ini? Sesungguhnya harta itu tidak akan hilang karena sikap pemurah, karena sebenarnya yang demikian itu merupakan pinjaman yang baik yang dijamin di sisi Allah dengan pelipatgandaan yang banyak. Akan dilipatgandakan di dunia, baik dalam bentuk harta, keberkahan, kebahagiaan dan ketenangan. Sedangkan di akhirat akan dilipatgandakan berupa kenikmatan yang abadi.

Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

"Tidaklah suatu pagi hari itu datang melainkan padanya ada dua Malaikat yang turun. Salah satu di antaranya mengatakan, Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak. Sedangkan Malaikat yang lainnya mengatakan, Ya Allah, berikan kerusakan (kebangkrutan) kepada orang yang kikir...." [1]

Ramadhan merupakan bulan ketaatan dan ibadah. Padanya, para hamba menghadapkan diri kepada Rabb-nya dengan shalat, puasa, shadaqah, dan derma. Jika Ramadhan disebut, maka disebut pula kemurahan bersamanya sebagai suatu kemurahan yang sempurna. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai panutan di dunia ini merupakan orang yang paling pemurah dalam hal kebaikan dibandingkan angin yang berhembus.

Ramadhan merupakan satu musim, di mana orang-orang kaya berlomba-lomba untuk berderma dan berinfak dalam kebaikan. Sebesar apapun tingkat derma dan infak mereka di dalam kebaikan di masyarakat, maka sebesar itu pula rasa aman dan ketenangan hinggap di dalam jiwa orang-orang fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sehingga masyarakat akan tetap berpegang teguh pada bangunan, kekokohan dan kekuatannya.

"Orang mukmin bagi orang mukmin lainnya adalah seperti bangunan yang sebagian memperkuat sebagian lainnya." [2]

Dalam pandangan Islam, harta itu hanya sebagai sarana, bukan tujuan. Sedangkan bagi budak materi, harta merupakan tujuan.

Dari hal tersebut, maka terjadilah persaingan yang sengit dalam mendapatkan kenikmatan dan kesenangan di antara hamba-hamba pengabdi nafsu syahwat.

Terjadi pula persaingan yang mulia di antara hamba-hamba Allah yang shalih yang mengerahkan seluruh harta untuk ketaatan kepada Allah, karena harta itu adalah harta Allah sedang mereka hanya sekedar dititipi saja. Mahabenar Allah Yang Maha-agung ketika berfirman:

"Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir, sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah Yang Mahakaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya)." [Muhammad: 38]

Pembahasan 5
MEMBACA AL-QUR-AN

Sangat ditekankan kepada setiap muslim untuk memperbanyak bacaan al-Qur-an pada bulan Ramadhan dalam rangka mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana Jibril melakukan pengajaran kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Selain itu, karena Ramadhan merupakan bulan al-Qur-an:

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an." [Al-Baqarah: 185]

Allah Jalla wa Ala telah menjamin bagi orang yang membaca al-Qur-an sekaligus mengamalkan kandungannya, bahwa dia tidak akan disesatkan di dunia dan tidak disengsarakan di akhirat.

Dia berfirman:

"Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." [Thaahaa: 123]

Sebagaimana Dia juga telah menjanjikan bagi orang yang menolak membaca dan mencermati serta mengamalkannya melalui firman-Nya:

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." [Thaahaa: 124]

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi seorang muslim di setiap saat, khususnya pada bulan Ramadhan, untuk memperbanyak bacaan al-Qur-an, mencermati apa yang dikandungnya, mempelajari makna-maknanya serta mengamalkannya. Hal itu dilakukan agar memperoleh apa yang dijanjikan oleh Allah kepada ahli al-Qur-an, yaitu berupa karunia yang besar, pahala yang banyak, derajat yang tinggi, serta kenikmatan yang abadi. Benarlah apa yang telah disabdakan oleh Nabi al-Mushthafa Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur-an dan mengajarkannya..." [3]

Diturunkannya al-Qur-an pada bulan Ramadhan memberikan inspirasi agar kaum muslimin memberikan perhatian yang besar terhadapnya pada bulan tersebut, melakukan pengkajian terhadap al-Qur-an di antara mereka serta mengadakan halaqah-halaqah untuknya di masjid-masjid, di mana sebagian mereka menjelaskan kepada sebagian lainnya. Betapa bagusnya orang berpuasa, yang menghabiskan waktunya di masjid untuk membaca Kitabullah, menghafal, sekaligus mempelajari makna dan hukum-hukumnya, serta menanyakan hal-hal yang tidak dia mengerti. Dia duduk bersama orang-orang shalih dan para ulama untuk mempelajari ilmu dan adab. Mahabenar Allah Yang Mahaagung ketika berfirman.

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitabullah, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." [Al-Faathir: 29-30] [4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]



Fidyah Di Dalam Puasa



Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa'at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1].

Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

ا"Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui". [Al Baqarah : 184].

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)".

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه . Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

Dari 'Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir]. [3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa'di di dalam tafsirnya: "Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar".[4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah".[5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.[6]

2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7]

Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :

1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.

Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah.

Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:

اَلْمُرْضِعُ وَالْحُبْلَى إذَا خَافَـتَا عَلىَ أوْلَادِهِمَا أفْطَرَتاَ وَأَطْعَمَتَا

"Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].

Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.

Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i. [8]

Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.

Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:

إنَّ اللهَ وَضَعَ الصِّـيامَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ

"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui". [HR Al Khamsah].

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*]

Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.
Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha' (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu 'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:

إِنَّ الهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبِْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha' dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]

Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.

Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha', tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha'? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain".

Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11]

2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.

Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).

Dalil dari pendapat ini adalah:
Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)". [14]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha". [15]

Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha', kemudian mati sebelum mengerjakannya.

Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha'nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha', tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.

Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.
Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.

Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada".

Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja". [17]

Ukuran Satu Mud.
Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18]

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. [19]

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha' (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.

Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.

Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil).

Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan".

F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Maraji`:
1. Al Majmu' Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun 1402 H.
3. Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4. Asy Syarhul Mumti', Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam, Riyadh, Tahun 1416 H.
5. Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419 H.
6. Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al Islami, Tahun1405 H.
8. Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma'rifah, Beirut.
9. Fatawa Islamiyah, Jama': Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]


Meraih Ampunan Allah Al-Ghafur Di Bulan Ramadhan Yang Mulia



Di antara nama Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun), dan di antara sifat-sifat-Nya adalah maghfirah (memberi ampunan). Sesungguhnya para hamba sangat membutuhkan ampunan Allah Azza wa Jalla dari dosa-dosa mereka, dan mereka rentan terjerumus dalam kubangan dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَذَهَبَ اللََّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُوْنَ فَيَسْتَغْفِرُوْنَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ

Seandainya kalian tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian, dan Dia pasti akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka akan memohon ampun kepada Allah, lalu Dia akan mengampuni mereka. [HR. Muslim, no. 2749]

Dosa telah ditakdirkan pada manusia dan pasti terjadi. Allah Azza wa Jalla telah mensyariatkan faktor-faktor penyebab dosanya, agar hatinya selalu bergantung kepada Rabbnya, selalu menganggap dirinya sarat dengan kekurangan, senantiasa berintrospeksi diri, jauh dari sifat ‘ujub (mengagumi diri sendiri), ghurûr (terperdaya dengan amalan pribadi) dan kesombongan.

Dosa-dosa banyak diampuni di bulan Ramadhan, karena bulan itu merupakan bulan rahmat, ampunan, pembebasan dari neraka, dan bulan untuk melakukan kebaikan. Bulan Ramadhan juga merupakan bulan kesabaran yang pahalanya adalah surga. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Puasa adalah perisai dan penghalang dari dosa dan kemaksiatan serta pelindung dari neraka. Dalam hadits shahîh dijelaskan:

الصَّحَابَةُ : أَمَّنْتَ يَا رَسُوْلَ اللَّه قَالَ : جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ :بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْلَهُ قُلْتُ : آمِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّانِيَةُ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ ذُكِرتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ : آمِِيْن فَلَمَّا رَقَيْتُ الشَّالِشَةَ قَالَ بُعْدًا لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ قُلْتُ آمِيْن

Sesungguhnya Nabi mengucapkan amîn sebanyak tiga kali tatkala Jibril berdoa. Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Engkau telah mengucapkan amîn”. Beliau menjawab: “Jibril telah mendatangiku, kemudian ia berkata: “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan salawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu mereka tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”. [1]

Seorang Muslim yang berusaha mendapatkan ampunan dosa, akan berbahagia dengan adanya amalan-amalan shalih agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan perbuatan jeleknya, karena kebaikan bisa menghapus kejelekan.

Sebab-sebab ampunan yang disyariatkan itu di antaranya:

1. TAUHID
Inilah sebab teragung. Siapa yang tidak bertauhid, maka kehilangan ampunan dan siapa yang memilikinya maka telah memiliki sebab ampunan yang paling agung. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ‘/4:48]

Siapa saja yang membawa dosa sepenuh bumi bersama tauhid, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan ampunan sepenuh bumi kepadanya. Namun, hal ini berhubungan erat dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Apabila Diak berkehendak, akan mengampuni. Dan bisa saja, Dia Azza wa Jalla berkehendak untuk menyiksanya. Siapa yang merealisasikan kalimatut tauhîd di hatinya, maka kalimatut tauhîd tersebut akan mengusir kecintaan dan pengagungan kepada selain Allah Azza wa Jalla dari hatinya. Ketika itulah dosa dan kesalahan dihapus secara keseluruhan, walaupun sebanyak buih di lautan. ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menyendirikan seorang dari umatku (untuk dihadapkan) di depan semua makhluk pada hari Kiamat. Lalu Allah menghamparkan sembilan puluh sembilan lembaran (catatan amal) miliknya. Setiap lembaran seperti sejauh mata memandang. Kemudian Allah berfirman: “Apakah kamu mengingkarinya? Apakah malaikat pencatat amalan menzhalimimu”. Maka ia pun menjawab: “Tidak wahai Rabbku”. Lalu Allah berfirman lagi: “Apakah kamu memiliki udzur?” ia menjawab: “Tidak ada wahai Rabb”. Lalu Allah berfirman: “(Yang benar) ada, sesungguhnya kamu memiliki kebaikan di sisi Kami, tidak ada kezhaliman atasmu pada hari ini”. Lalu dikeluarkan satu kartu berisi syahadatain. Kemudian Allah berfirman: “Masukanlah dalam timbangan!” Ia pun berkata: “Wahai Rabbku apa gunanya kartu ini dibandingkan lembaran-lembaran itu?” Maka Allah berfirman: “Sungguh kamu tidak akan dizhalimi”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selanjutnya lembaran-lembaran tersebut diletakkan dalam satu anak timbangan dan kartu tersebut di anak timbangan yang lain. Ternyata lembaran-lembaran terangkat tinggi dan kartu tersebut lebih berat. Maka tidak ada satu pun yang lebih berat dari nama Allah”. [2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi menyatakan:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًاَلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah berfirman: Wahai anak keturunan Adam, seandainya kamu membawa dosa sepenuh bumi kemudian kamu menjumpai-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Ku (tidak berbuat syirik) tentu saja Aku akan membawakan untukmu sepenuh bumi ampunan. [HR Muslim].

Ini adalah keutamaan dan kemurahan dari Allah Azza wa Jalla dengan pengampunan seluruh dosa yang ada pada lembaran-lembaran tersebut dengan kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid adalah kalimat ikhlas yang menyelamatkan pemiliknya dari adzab. Allah Azza wa Jalla menganugerahinya surga dan menghapus dosa-dosa yang seandainya memenuhi bumi; namun hamba tersebut telah mewujudkan tauhid, maka Allah Azza wa Jalla menggantikannya dengan ampunan.

2. DOA DENGAN PENGHARAPAN
Allah Azza wa Jalla memerintahkan berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. [Ghâfir/40:60]

Doa adalah ibadah. Doa akan dikabulkan apabila memenuhi kesempurnaan syarat dan bersih dari penghalang-penghalang. Kadangkala, pengabulan itu tertunda, karena sebagian syarat tidak terpenuhi atau adanya sebagian penghalangnya.

Di antara syarat dan adab terkabulnya doa adalah kekhusyukan hati, mengharapkan ijâbah dari Allah Azza wa Jalla, sungguh-sungguh dalam meminta, tidak menyatakan insya Allah (Ya Allah Azza wa Jalla, kabulkanlah permintaanku bila Engkau menghendakinya-red), tidak tergesa-gesa mengharap pengabulan, memilih waktu-waktu dan keadaan yang mulia, mengulangulang doa tiga kali dan memulainya dengan pujian kepada Allah Azza wa Jalla dan shalawat, berusaha memilih makanan dan minuman yang halal dan lain-lain.

Di antara permohonan terpenting yang dipanjatkan seorang hamba kepada Rabbnya yaitu permohonan agar dosa-dosanya diampuni atau pengaruh dari pengampunan dosa seperti diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda Kepada seseorang yang berujar: “Saya tidak mengetahui doamu dengan perlahan yang juga dilakukan Mu’âdz.

”حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ

Permohonan kami di seputar itu. [3]

Maksudnya doa kami itu berkisar pada permohonan agar dimasukkan surga dan diselamatkan dari neraka. Abu Muslim al-Khaulâni mengatakan: “Tidaklah datang kesempatan berdoa kepadaku, kecuali saya jadikan doa itu permohonan agar dilindungi dari api neraka.”

3. ISTIGHFÂR (MEMOHON AMPUNAN)
Permohonan ampun ini merupakan pelindung dari adzab, penjaga dari setan, penghalang dari dari kegelisahan, kefakiran dan penderitaan, pengaman dari masa paceklik dan dosa; meskipun dosa-dosa seseorang telah menggunung sampai menyentuh langit. Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَادَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَاكَانَ فِيْكَ وَلاَأُبَالِىْ يَاابْنَ آدَمَ لَؤْ بَلَغَتْ ذُنُوْ بُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَاابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أََتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai bani Adam, sesungguhnya selama engkau masih berdoa dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak akan peduli; Wahai bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampunimu dan Aku tidak peduli; Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan seukuran bumi kemudian engkau datang menjumpai-Ku dalam keadaan tidak berbuat syirik atau menyekutukanKu dengan apapun juga, maka sungguh Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan seukuran bumi juga. [HR. at-Tirmidzi]

Membaca istighfâr adalah penutup terbaik bagi berbagai amalan, umur, serta penutup majelis.

4. BERPUASA DI SIANG HARI DAN SHALAT MALAM KARENA IMAN, MENGHARAPKAN BALASAN PAHALA DARI ALLAHk, IKHLAS SERTA DALAM RANGKA TAAT KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA
Dia berpuasa bukan dengan niat mengikuti orang banyak, juga tidak untuk mendapatkan sanjungan orang, tidak untuk melestarikan adat atau supaya sehat; juga tidak berniat pamer serta tidak untuk mensukseskan urusan duaniawi. Dia juga tidak berniat untuk mendoakan keburukan yang tidak pantas buat seorang Muslim. Dia melaksanakan ibadah puasa terdorong oleh niat beriman kepada Allah Azza wa Jalla, merealisasikan ketaatan kepada-Nya dan mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Dalam sebuah hadits dinyatakan :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.[al-Bukhâri dan Muslim]

Alangkah luar biasanya seorang yang melaksanakan ibadah puasa lalu keluar dari ibadahnya dalam keadaan sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibundanya, yaitu tidak menanggung dosa dan berhati suci.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُم قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan saya menyunnahkan bagi kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa melaksanakan ibadah puasa dan shalat malamnya karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, niscaya dia keluar dari dosadosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibundanya.[4]

Dengan melaksanakan semua ini berarti seorang Muslim telah menjaga waktu siangnya dengan puasa, memelihara waktu malamnya dengan shalat tarawih serta berusaha mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla
.
5. MELAKSANAKAN SHALAT MALAM PADA LAILATUL QADAR KARENA IMAN DAN INGIN MENDAPATKAN PAHALA
Lailatul Qadar adalah suatu malam yang Allah Azza wa Jalla muliakan, melebihi semua malam lainnya, suatu malam saat Allah k menurunkan kitab-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‘ân) pada malam kemuliaan. [al-Qadr/97:1]

Allah Azza wa Jalla menjadikan Lailatul Qadar ini lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam ini para malaikat turun dan menjadikannya malam keselamatan dari segala keburukan dan dosa. Allah Azza wa Jalla mengkhususkan satu surat dalam al-Qur’ân yang membicarakan tentang malam ini. Orang yang terhalang dari berbagai kebaikan pada malam ini berarti dia terhalang dari semua kebaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencari Lailatul Qadar ini pada seluruh hari pada bulan Ramadhan, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, kemudian sepuluh hari kedua dan sepuluh hari terakhir. Orang yang ingin mendapatkan keberuntungan, maka dia akan antusias untuk melaksanakan shalat malam pada malam yang lebih baik dari delapan puluh tiga tahun dan empat bulan.

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ

Barangsiapa melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni semua dosanya yang telah lewat. [5]

Untuk mendapatkan ampunan di malam itu, tidak disyaratkan untuk menyaksikannya secara langsung. Namun syaratnya adalah orang melakukan qiyamul lail sebagaimana tertuang dalam hadits tersebut.

6. BERSEDEKAH
Bersedekah termasuk salah satu qurbah (ibadah yang mendekatkan diri) yang agung di hadapan Allah Azza wa Jalla . Dengannya, seorang hamba memperoleh kebaikan, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan. sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imrân/3:92].

Dalam hadits Mu’âdz, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَبِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّهٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِىءُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِىءُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

“Maukah aku tunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai. Bersedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan shalat seseorang di kegelapan malam …” [at-Tirmidzi no: 2541]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang sangat dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau berjumpa dengan malaikat Jibril. Saat itu beliau lebih berbaik hati daripada angin yang bertiup sepoi-sepoi. Di antara bentuk sedekah terbaik adalah memberi makan orang yang puasa (ifthârus shâim). Disebutkan dalam hadits:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِشْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّا ئِمِ شَيْئًا

“Barang siapa memberi buka puasa bagi orang yang puasa maka ia memperoleh pahala sepertinya, tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” [HR. at-Tirmidzi dan dishahîhkan oleh al-Albâni]

Pahala orang yang bersedekah dilipatgandakan sampai tujuh ratus lipat dan kelipatan yang lebih banyak lagi. Di bulan Ramadhan, penggandaan pahala itu semakin besar. Di antara pemandangan yang sangat menarik, antusiasme orang di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya untuk memberi buka puasa bagi kaum Muslimin di bulan Ramadhan.

7. MELAKUKAN UMRAH
Ibadah umrah termasuk faktor yang menggugurkan dosa-dosa. Rasulullah bersabda:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Ibadah umrah ke ibadah umrah (berikutnya) adalah penggugur dosa antara keduanya. Dan pahala haji mabrur tiada lain adalah surga” [al-Bukhâri no: 1650]

Umrah di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar daripada di bulanbulan lainnya. Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehabis pulang dari haji Wada’ berkata kepada seorang wanita dari Anshar bernama Ummu Sinân : “Apa yang menghalangimu untuk berhaji (denganku).” Ia menjawab: “Abu Fulan (suaminya) memiliki dua onta. Salah satu dipakainya untuk berhaji dan yang lain untuk mengairi persawahan.”

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمََضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِيْ

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadhan dapat mengganti haji bersamaku.”[HR Bukhâri no 1863; Muslim no 3028]

Betapa besar keberuntungan orang yang umrah di bulan Ramadhan. Ia bagaikan berhaji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti orang yang menyertai beliau dalam ihram, sai dan thawaf dan seluruh manasik haji beliau.

8. MENYEMPURNAKAN PUASA SEBULAN PENUH
Ada sekian banyak orang yang akan bebas dari api neraka di bulan Ramadhan, dan itu terjadi di setiap malam. Allah Azza wa Jalla menyempurnakan pahala orang-orang yang sabar tanpa perhitungan khusus. Ada Ulama yang mengatakan:

مَنْ صَامَ الشَّهْرَ وَاسْتَكْمَلَ اْلأَجْرَ وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ فَقَدْ فَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبَّ

Barang siapa berpuasa sebulan penuh dan meraih pahala sempurna, dan berjumpa dengan malam lailatul qadar, sungguh ia telah menggapai hadiah dari Allah.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa kita sekalian dan menutupi kekurangan-kekurangan kita dan memudahkan segala urusan kita.

Diambil dari kitab Tadzkîrul Anâm Bidurûs ash-Shiyâm, karya Syaikh Sa‘d bin Sa‘îd al-Hajri, Dâr Ibnul Jauzi hlm 265-27

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]



Amalan Puasa Ramadhan



Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid bin Syamhudi



DEFINISI PUASA
Secara bahasa, puasa (ash shiyam) dalam bahasa Arab artinya menahan diri, seperti tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

"Aku telah bernadzar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)".[Maryam : 26].

Adapun secara istilah syar'i ialah, menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.

AMALAN-AMALAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PUASA
1. Niat.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib bagi setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu". [Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al Baihaqi, dari Hafshah binti Umar]

Niat itu, tempatnya berada di hati. Sedangkan melafalkannya, termasuk amal bid'ah. Berniat puasa pada malam hari, ini khusus untuk puasa wajib saja.

2. Qiyam Ramadhan.
a). Qiyam Ramadhan Disyariatkan Dengan Berjamaah.
Dalam melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) disyariatkan berjamaah. Bahkan berjamaah itu lebih utama dibandingkan mengerjakannya sendirian, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya. Tersebut dalam hadits Abu Dzar:

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ الهِd صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

"Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah. Beliau tidak mengimami shalat tarawih kami selama bulan itu, kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tinggal 6 hari), Beliau tidak shalat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima (tinggal 5 hari), Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu separoh malam. Saat itu kami berkata kepada Beliau: 'Wahai Rasulullah. Sudikah engkau menambah shalat pada malam ini'. Beliau menjawab,'Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis baginya pahala shalat satu malam'. Lalu pada malam keempat (tinggal 4 hari), kembali Beliau tidak mengimami shalat kami. Dan pada malam ketiga (tinggal 3 hari), Beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya serta orang-orang, lalu mengimami kami (pada malam tersebut) sampai kami takut kehilangan kemenangan. Aku (perawi dari Abu Dzar) berkata: Aku bertanya, Apa kemenangan itu?. Beliau (Abu Dzar) menjawab, Sahur." [HR At Tirmidzi].

Demikianlah shalat tarawih atau qiyamu ramadhan tidak dilaksanakan dengan berjamaah pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan masa Abu Bakar, sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus-menerus, sebab Beliau khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin, sehingga ummatnya tidak mampu mengerjakannya. Disebutkan dalam hadits Aisyah (dalam Shahihain): "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada suatu malam, lalu shalat di masjid, dan beberapa orang ikut shalat bersamanya. Pagi harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka, lalu (Rasulullah) shalat dan orang-orang tersebut shalat bersamanya. Pada keesokan harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka pada malam ke tiga, jama'ah semakin banyak, lalu Rasulullah keluar dan shalat bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung jama'ah (namun Beliau tidak keluar) sehingga Beliau keluar untuk shalat Subuh; ketika selesai shalat Subuh, Beliau menghadap jama'ah, lalu membaca syahadat dan bersabda: Amma ba'du. Aku sudah mengetahui sikap kalian. Akan tetapi, aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya. Lalu (setelah beberapa waktu) Rasulullah meninggal, dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah". [HR Al Bukhari dan Muslim].

Jadi, sebab shalat ini tidak dilaksanakan secara berjama'ah terus-menerus pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kekhawatiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau-kalau shalat ini diwajibkan atas umatnya. Dan sebab ini telah hilang dengan wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena dengan wafatnya beliau berarti agama ini telah disempurnakan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak mungkin lagi ada penambahan. Dengan demikian, tinggallah hukum disyariatkannya berjamaah dalam qiyam Ramadhan (baca tarawih) yang hal itu dihidupkan oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.

b). Jumlah Rakaatnya.
Menurut pendapat yang rajih (kuat), qiyam ramadhan dikerjakan 11 rakaat, dan boleh kurang darinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menentukan banyaknya maupun panjang bacaannya.

c). Waktunya.
Waktunya dikerjakan dari setelah shalat Isya` sampai munculnya fajar Subuh. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ زَادَ كُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu shalat, dan dia adalah witir, maka shalatlah kalian antara shalat Isya sampai shalat Fajar". [HR Ahmad dari Abi Bashrah, dan dishahihkan Al Albani dalam Qiyam Ar Ramadhan, 26].

d). Qunut.
Setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku, kadang-kadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qunut, dan boleh dilakukan setelah ruku.

e). Bacaan Setelah Shalat Witir.

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْس

Cara membaca doa ini, yaitu dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.

3). Sahur.
Allah mensyariatkan sahur atas kaum Muslimin untuk membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ رواه مسلم

"Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur". [Riwayat Muslim].

a). Keutamaan Sahur.
• Sahur adalah berkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللهُ إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ رواه النسائي وأحمد بسند صحيح

"Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka kalian jangan meninggalkannya". [Riwayat An Nasa-i dan Ahmad, dengan sanad yang shahih].

Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas, karena itu mengikuti Sunnah dan menguatkan orang berpuasa, serta menambah semangat untuk menambah puasa. Juga mengandung maksud untuk membedakan dengan ahli kitab.

• Shalawat dari Allah dan malaikat ditujukan kepada orang yang bersahur. Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

السَّحُوْرُ أَكْلَةُ الْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ رواه ابن أبي شيبة وأحمد

"Sahur adalah makanan berkah, maka kalian jangan tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah dan para malaikat bershalawat atas orang-orang yang bersahur".[Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad].

b). Mengakhirkan Sahur Adalah Sunnah.
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati Subuh (Fajar), sebagaimana disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu dari Zaid bin Tsabit, ia berkata :

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيْثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ:كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيـة رواه البخاري ومسلم

"Kami sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau pergi untuk shalat. Aku (Ibnu Abbas) bertanya: Berapa lama antara adzan dengan sahur? Dia menjawab, Sekitar 50 ayat." [Riwayat Al Bukhari dan Muslim]
.
c). Hukum Sahur.
Sahur merupakan sunnah muakkad (sunnah yang ditekankan). Dalilnya :
• Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً رواه البخاري ومسلم

"Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].

• Larangan meninggalkan sahur sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa'id yang terdahulu. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (3/139) menukilkan ijma tentang sunnahnya sahur.

4. Waktu Puasa.
Waktu puasa dimulai dari terbit fajar Subuh sampai terbenam matahari. Dalilnya, yaitu firman Allah, yang artinya : "Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam". [Al-Baqarah:186].

Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari, lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ رواه البخاري ومسلم

"Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim]

Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.

5. Perkara-Perkara Yang Membatalkan Puasa.
a). Makan dan minum dengan sengaja. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam" [Al-Baqarah:186].
b). Sengaja untuk muntah, atau muntah dengan sengaja.
c). Haid dan nifas.
d). Injeksi yang berisi makanan (infus).
e). Bersetubuh.

6. Perkara-Perkara Lain Yang Harus Ditinggalkan Saat Berpuasa.
a). Berkata bohong. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah nbersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ اْلعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهُِ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه رواه البخاري

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum". [Riwayat Al Bukhari].

b). Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan). Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشَّرَابِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ رواه ابن خزيمة والحاكم

"Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum, (tetapi) puasa itu adalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah : Saya sedang puasa. Saya sedang puasa". [Riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim].

7. Perkara-Perkara Yang Dibolehkan.
a). Orang yang junub sampai datang waktu fajar, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan fajar (Subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian mandi dan berpuasa". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].
b). Bersiwak.
c). Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu`.
d). Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa, dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda, karena dikhawatirkan hawa nafsunya bangkit.
e). Injeksi yang bukan berupa makanan.
f). Berbekam.
g). Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h). Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i). Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

8. Orang-Orang Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa.
a). Musafir (orang yang melakukan perjalanan atau bepergian ke luar kota). Mereka diberi kemudahan oleh Allah untuk berbuka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain". [Al-Baqarah :185]. Mereka diperbolehkan berbuka dan mengqadha (mengganti) puasanya pada bulan-bulan yang lainnya.

b). Orang yang sakit diperbolehkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan sebagai rahmat dan kemudahan yang Allah limpahkan kepadanya. Orang Sakit yang dibolehkan untuk berbuka puasa, jika sakit tersebut dapat membahayakan jiwanya, atau menambah sakitnya yang ditakutkan akan mengakhirkan atau memperlambat kesembuhannya jika si penderita berpuasa.

c). Wanita yang sedang haid atau nifas diwajibkan berbuka, maksudnya tidak boleh berpuasa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

"Bukankah kalau dia sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa? Maka itulah kekurangan agamanya". [HR Bukhari].

Juga hadits Aisyah ketika beliau ditanya tentang wanita yang mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalatnya:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَوْمِنَا وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَلاَتِنَا

"Dulu kamipun mendapatkannya, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat". [HR Bukhari dan Muslim].

Berdasarkan ijma' para ulama, maka wanita yang sedang haid atau nifas, diwajibkan berbuka dan mengqadha puasanya pada bulan-bulan yang lain.

d). Orang yang sudah tua dan lemah, baik laki-laki maupun perempuan dibolehkan untuk berbuka, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas: "Orang laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan setiap hari seorang miskin". [Riwayat Al Bukhari, no. 4505].

e). Wanita sedang hamil atau menyusui, yang takut terhadap keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, juga termasuk yang mendapat keringanan untuk berbuka. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali fidyah. Demikian ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ishaq. Dalilnya ialah firman Allah, yang artinya : Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak puasa), (yaitu) memberi makan seorang miskin. [Al-Baqarah : 184].

Ayat ini dikhususkan bagi orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang tidak kunjung sembuh, orang hamil dan menyusui jika keduanya takut terhadap keselamatan dirinya atau anaknya. Karena ayat di atas telah dinasakh oleh ayat yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa':

كُنَّا فِيْ رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِيْنِ
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْ.

"Kami dahulu pada bulan Ramadlan dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mau berpuasa, boleh dan yang tidak bepuasa juga boleh, tapi memberikan makan kepada satu orang miskin, sampai turun ayat (yang artinya) "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, -QS Al Baqarah ayat 185-
,
Akan tetapi Ibnu Abbas berpendapat, bahwa ayat tersebut tidak dinasakh (dihapus). Ayat ini khusus bagi orang-orang tua yang tidak mampu berpuasa, dan mereka boleh memberi makan satu orang miskin setiap hari. (Lihat perkataannya yang diriwayatkan Ibnul Jarut, Baihaqi dan Abu Dawud dengan sanad shahih). Pendapat ini dikuatkan juga oleh hadits Mu'adz bin Jabal, ia berkata:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَهَذَا حَوْلٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ إِلَى أَيَّامٍ أُخَرَ فَثَبَتَ الصِّيَامُ عَلَى مَنْ شَهِدَ الشَّهْرَ وَعَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يَقْضِيَ وَثَبَتَ الطَّعَامُ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ اللَّذَيْنِ لَا يَسْتَطِيعَانِ الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Rasulullah setelah datang ke Madinah memulai puasa tiga hari setiap bulan dan puasa hari Asyura, kemudian Allah turunkan firmanNya " Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kelian berpuasa..." sampai pada firmanNya "...memberi makan.". Ketika itu, siapa yang ingin berpuasa, dia berpuasa. Dan yang ingin berbuka (tidak puasa), bisa menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin. Ini selama satu tahun. Kemudian Allah menurunkan lagi ayat yang lain "Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al Qur'an ..." sampai pada firmanNya "..di hari yang lain ..". Maka puasa tetap wajib bagi orang yang mukim (tidak safar) pada bulan tersebut, dan bagi musafir wajib mengqadha puasanya, dan menetapkan pemberian makanan bagi orang-orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa ... . " [HR Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan Salim Al Hilali dalam Shifat Shaum Nabi, lihat halaman 80-84.

9. Berbuka Puasa.
a). Mempercepat waktu berbuka puasa. Termasuk sunnah dalam puasa, yaitu mempercepat waktu berbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Amr bin Maimun Al Audi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya. [Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, no. 7591 dengan sanad yang dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bary, 4/199].

Manfaat dari mempercepat berbuka ialah :

• Untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ رواه البخاري ومسلم

"Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].

• Merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
• Untuk membedakan dengan puasa ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ رواه أبو داود وابن حبان بسند حسن

"Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum Muslimin) mempercepat buka puasanya, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya". [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan].

Dan berbuka puasa dilakukan sebelum shalat Maghrib, karena merupakan akhlak para nabi.

b). Makanan Berbuka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk berbuka dengan kurma, dan kalau tidak ada, maka dengan air sebagaimana dikatakan Anas bin Malik: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka dengan kurma, dan kalau tidak ada kurma, Beliau menghirup (meminum) beberapa teguk air". [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih]. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umatnya.

c). Bacaan Ketika Berbuka.
Berdoa ketika berbuka termasuk dari doa-doa yang mustajab, sebagaimana disabdakan Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

"Ada tiga doa yang mustajab, (yaitu): doanya orang yang berpuasa, doanya orang yang terzhalimi dan doanya para musafir". [HR Al Uqaili].

Sebaiknya berdoa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَ ثَبَتََ الأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

"Mudah-mudahan hilang dahaga, basah otot-otot dan mendapat pahala, insya Allah".

d). Memberi Makan Kepada Orang Yang Berpuasa.
Hendaknya orang yang berpuasa menambah pahala puasanya dengan memberi makan orang yang berbuka puasa. Orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberi buka puasa orang yang berpuasa, maka dia mendapat (pahala) seperti pahalanya (orang yang berbuka itu) tanpa mengurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut". [HR Ahmad dan At Tirmidzi]

10. Adab Orang Yang Berpuasa.
a). Memperlambat sahur.
b). Mempercepat berbuka puasa.
c). Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka.
d). Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
e). Bersiwak.
f). Memperbanyak berinfak dan tadarus Al Qur`an.
g). Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah puasa yang kamisampaikan secara singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji` :
1. Shifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh Salim Al Hilali dan Ali Hasan.
2. Fatawa Ramadhan.
3. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4. Qiyam Ar Ramadhan, Syaikh Muhammad Nashruddin Al Albani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]



sumber:  http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment