Thursday, June 14, 2012

Kiat-Kiat Menghapal Al-Qur-an Dan As-Sunnah.


Kiat-Kiat Menghapal Al-Qur-an Dan As-Sunnah.


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya.

Para ulama kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk memperoleh ilmu. Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman Allah Tabaaraka wa Ta’aala,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al-Qur-an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” [Al-Israa': 106]

Dan firman Allah Ta’ala,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur-an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengan-nya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” [Al-Furqan: 32]

Banyak manusia yang tercegah dari tujuannya dalam menuntut ilmu karena meninggalkan ushul (landasan pokok). Yang dimaksud ushul adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Seorang penuntut ilmu hendaklah memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur-an kemudian hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah yang dinasihatkan oleh para ulama Salaf kepada orang yang hendak menimba ilmu dari mereka.

Imam Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Menuntut ilmu memiliki tingkatan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggarnya secara keseluruhan, maka ia telah melanggar jalan para ulama Salaf, siapa yang melanggar jalan mereka dengan sengaja, maka ia telah tersesat, dan siapa yang melanggarnya lantaran ijtihadnya, maka ia telah menyimpang.

Awal dari ilmu adalah menghafalkan Kitabullah dan memahaminya. Segala apa yang dapat membantu untuk memahaminya, maka wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak mengatakan bahwa menghafal seluruh Al-Qur-an adalah fardhu, tetapi aku katakan bahwa hal itu adalah wajib (sunnah yang mendekati wajib) dan keharusan bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang yang alim, bukan fardhu.

Al-Qur-an adalah pokok dari ilmu. Siapa yang menghafalkannya sebelum usia baligh, kemudian meluangkan waktunya untuk mempelajari apa yang dapat membantunya dalam memahaminya berupa bahasa Arab, maka hal itu adalah penolong terbesar untuk mencapai tujuan dalam memahami Al-Qur-an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...

Kemudian melihat kepada Sunnah-Sunnah yang masyhur, yang telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga dengannya seorang penuntut ilmu sampai kepada maksud Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya. Dan Sunnah itu membukakan hukum-hukum Al-Qur-an baginya...

Barangsiapa mencari Sunnah-Sunnah Nabi, hendaklah ia prioritaskan pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para imam, yang tsiqah dan banyak hafalannya (huffazh)[1].” Maka, wahai saudaraku, engkau harus menghafal ushul dan mencari bantuan dengannya.

Imam Ibnu Jama’ah (wafat th. 733 H) rahimahullaah mengatakan, “Hendaklah (penuntut ilmu) memulai dengan Kitabullaahil ‘Aziiz, menghafalkannya dengan mutqin (betul-betul matang), bersungguh-sungguh memahami tafsirnya, dan semua ilmunya (ilmu Al-Qur-an). Karena, Al-Qur-an adalah pokok ilmu, induk-nya, dan yang paling penting.”[2]

Jadi, target utama penuntut ilmu adalah menghafal Kitabullah dan Sunnah Nabi yang shahih. Setelah itu hendaklah ia menghafalkan kitab-kitab matan, baik dalam bidang aqidah, fiqih, hadits, nahwu, maupun fara-idh. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Yang paling penting bagi seseorang dalam menuntut ilmu adalah mempelajari tafsir Kalamullaah karena Kalamullaah seluruhnya adalah ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“... Dan Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” [An-Nahl: 89]

Dahulu para Shahabat tidak pernah melewati sepuluh ayat sampai mereka mempelajari apa yang ada di dalamnya berupa ilmu dan amal sehingga mereka mempelajari Al-Qur-an, ilmu, dan amal sekaligus. Menurut saya inilah yang paling penting. Maka hendak-lah para remaja -terutama anak-anak- memulainya dengan menghafalkan Al-Qur-an... Bersamaan dengan itu hendaklah penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya terhadap Sunnah karena merupakan landasan syari’at yang tidak dapat dipisahkan selamanya, Al-Qur-an dan As-Sunnah keduanya merupakan wahyu. Dan apa yang telah tetap dalam As-Sunnah sama saja dengan apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur-an.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113][3]

• Kiat-kiat Menghafal Al-Qur-an [4]
Dahulu menghafalkan Al-Qur-an dalam pandangan ulama merupakan hal pokok. Dengannya mereka memulai menuntut ilmu. Karena itulah mereka tidak pernah ragu memulai menghafal Al-Qur-an. Hafalannya menjadi ciri khas yang tampak di masyarakat ulama dan penuntut ilmu. Sebagian Salaf sangat menganggap aib karena tidak menghafal Al-Qur-an. Di antara buktinya adalah apa yang diungkapkan al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th. 852 H) dalam Taqriibut Tahdziib (I/664, no. 4529), tentang biografi ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah, “Dia adalah tsiqah, seorang hafizh yang terkenal, tetapi dia memiliki auham (sejumlah kesalahan) dan dikatakan dia tidak hafal Al-Qur-an.”[5]

Sesungguhnya menghafalkan Al-Qur-an bukan merupakan kewajiban atas seorang penuntut ilmu, tetapi hafalannya adalah kunci menuju jalan hafalan dan pemahaman. Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui bahwa menghafalkan Al-Qur-an dan mengamalkannya dapat menambah ketinggian derajat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan Kitab (Al-Qur-an) dan merendahkan yang lainnya dengan Al-Qur-an". [6]

Berikut beberapa hal yang dapat membantu se-orang penuntut ilmu dalam menghafal Al-Qur-an:

1. Berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas agar diberikan kemudahan dalam menghafalkan Al-Qur-an. Hendaklah menghafal Al-Qur-an dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala.

2. Memperdengarkan semampunya ayat-ayat yang telah dihafalnya kepada seorang qari’ yang baik bacaan dan hafalannya.

3. Mengulang-ngulang ayat yang telah dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin.

4. Menggunakan satu mushaf Al-Qur-an agar dapat menguatkan hafalan.

5. Mengulang-ngulang ayat yang dihafal sepuluh kali/dua puluh kali -boleh juga lebih- dengan berdiri, duduk, dan berjalan.

6. Membaca ayat-ayat yang baru dihafalkan dalam shalat karena dapat lebih melekatkan hafalan.

7. Membaca terjemah dan tafsir ayat yang telah dihafalkan.

8. Menjauhi dosa dan maksiyat.

Imam adh-Dhahhak (wafat th. 102 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur-an kemudian ia lupa, melainkan disebabkan dosa.” Beliau lalu membaca firman Allah,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Asy-Syuura: 30]

Kemudian beliau melanjutkan, “Musibah apakah yang lebih besar daripada melupakan al-Qur-an?” [7]

9. Menentukan jadwal yang teratur untuk menentukan batas hafalan harian (apa yang dihafal setiap hari).

Diusahakan untuk tidak menyelisihi aturan atau mengubahnya, kecuali karena ada hal-hal yang darurat untuk dilakukan.

10. Hendaknya ayat yang diahafal sedikit setiap hari agar lebih melekat

Bagi yang sudah hafal beberapa juz Al-Qur-an atau yang sudah hafal 30 juz, hendaklah ia selalu muraja'ah (mengulang-ngulang) hafalannya dan menjaganya dengan baik karena Al-Qur-an lebih cepat hilangnya daripada unta yang diikat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُتَا مِنَ الْإِبِلِ فِيْ عُقُلِهَا

Bacalah selalu Al-Qur'an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh, Al-Qur-an itu lebih mudah lepas daripada seekor unta dalam ikatannya"[8]

• Kunci dalam Menghafal dan Mengingat
Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam menghafalkan atau mengingat pelajarannya dengan gambaran yang baik, di antaranya:

1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.

2. Menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang syari’at.

3. Hasil usaha yang baik, memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram.

4. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.

5. Tidak menghafal pada saat sangat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.

6. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.

7. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ngulang pelajaran.

8. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena mendengarkan pelajaran dapat membantunya dalam menghafal.

9. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang dapat membantunya dalam menghafal, atau mengulang-ngulang pela-jaran dengan cara ditulis.

10. Dan sebelum semua hal di atas, hendaklah selalu bertaqwa kepada Allah Ta’ala.[9]

Imam al-Bukhari rahimahullah adalah orang yang kuat hafalannya. Beliau pernah ditanya, "Apakah obat lupa itu?" Beliau menjawab, "Senantiasa melihat ke kitab" (Yaitu selalu membaca dan mengulanginya).[10]

• Waktu-waktu Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah menuturkan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah ketika sahur; untuk membahas di pagi hari; untuk menulis di siang hari; dan untuk muthala’ah dan berdiskusi (mudzakarah) di malam hari.”

Al-Khatib al-Baghdadi (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah di waktu sahur, kemudian pertengahan hari, dan selanjutnya di pagi hari.” Beliau menambahkan, “Menghafal di malam hari lebih mendatangkan manfaat daripada menghafal di siang hari, dan ketika lapar (yang tidak sangat) lebih bermanfaat daripada ketika kenyang.” [11]

• Tempat Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah mengatakan -menukil dari al-Khatib, “Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai.” Beliau berkata, “Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan tempat yang bising karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal).”[12]

• Penuntut Ilmu Harus Akrab dengan Al-Qur-an
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepadaku,

اِقْرَإِ الْقُرْآنَ فِيْ كُلِّ شَهْرٍ، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ.

“Bacalah Al-Qur-an (sampai khatam) setiap bulan.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu mengerjakan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Maka bacalah (sampai khatam) selama dua puluh hari.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu melakukan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Jika demikian, bacalah (sampai khatam) selama tujuh hari dan jangan lebih dari itu.” [13]

Jundub bin ‘Abdullah bin Sufyan al-Bajali (wafat antara th. 60-70 H) radhiyallaahu ‘anhu pernah berwasiat, “Aku berwasiat kepada kalian, hendaklah bertakwa kepada Allah. Aku juga berwasiat kepada kalian agar selalu (membaca dan menghayati) kandungan Al-Qur-an karena ia adalah cahaya di malam yang kelam dan petunjuk di siang yang terang. Ketahuilah bahwa Al-Qur-an bisa menyebabkan kamu meraih sesuatu yang nilainya sangat tinggi... .”[14]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______

Pentingnya Bahasa Arab




Imam Syafi'i berkata: "Manusia tidak menjadi bodoh dan selalu berselisih paham kecuali lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles". [2]

Itulah ungkapan Imam Syafi'i buat umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang imam menyaksikan kondisi umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatian beliau akan semakin memuncak.

Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang menjadi alat komunikasi di kalangan umat manusia. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Idealnya, umat Islam mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa ini. Baik dengan mempelajarinya untuk diri mereka sendiri ataupun memfasilitasi dan mengarahkan anak-anak untuk tujuan tersebut.

Di masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan bahkan para khalifah tidak melihatnya dengan sebelah mata. Fashahah (kebenaran dalam berbahasa) dan ketajaman lidah dalam berbahasa menjadi salah satu indikasi keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya saat masa kecil.

Redupnya pehatian terhadap bahasa Arab nampak ketika penyebaran Islam sudah memasuki negara-negara 'ajam (non Arab). Antar ras saling berinteraksi dan bersatu di bawah payung Islam. Kesalahan ejaan semakin dominan dalam perbincangan. Apalagi bila dicermati realita umat Islam sekarang pada umumnya, banyak yang menganaktirikan bahasa Arab. Yang cukup memprihatinkan ternyata, para orang tua kurang mendorong anak-anaknya agar dapat menekuni bahasa Arab.

KEISTIMEWAAN BAHASA ARAB
1. Bahasa Arab adalah bahasa Al Quran. Allah berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya.[3]

2. Bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dan bahasa verbal para sahabat. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita dengan berbahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab fikih, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi pintu gerbang dalam memahaminya.

3. Susunan kata bahasa Arab tidak banyak. Kebanyakan terdiri atas susunan tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya.

4. Indahnya kosa kata Arab. Orang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas dan padat.

PETUNJUK URGENSI BELAJAR BAHASA ARAB
1. Teguran Keras Terhadap Kekeliruan Dalam Berbahasa.
Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi tradisi generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak seirama dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Apalagi bila hal itu terjadi pada orang yang terpandang. Ibnul Anbari menyatakan: "Bagaimana mungkin perkataan yang keliru dianggap baik…? Bangsa Arab sangat menyukai orang yang berbahasa baik dan benar, memandang orang-orang yang keliru dengan sebelah mata dan menyingkirkan mereka”.

Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: "Alangkah buruk bidikan panah kalian". Mereka menjawab,” قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ نَحْنُ (kami adalah para pemula), [4]” maka Umar berkata, ”Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya didikan kalian… "[5]

2. Perhatian Salaf Terhadap Bahasa Arab.
Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: "Amma ba'du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab".

Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: "Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)".

Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: "Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta mendalami bahasa Arab".

Beliau juga mengatakan: "Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan". [6]

Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar dalam menekuninya, layaknya ilmu syar'i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan sarana untuk memahami ilmu syariat.

Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang terlewatkan olehku, kecuali aku memahami maknanya".

Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab.

Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau belajar kepada Ibnul Fathi Al Ba'li kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa`, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi.

Ulama lain yang terkenal memiliki perhatian yang besar terhadap bahasa Arab adalah Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu : Sayyid Isma'il bin Al Hasan, Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.

3. Anak-Anak Khalifah Juga Belajar Bahasa Arab.
Para khalifah, dahulu juga memberikan perhatian besar terhadap bahasa Arab. Selain mengajarkan pada anak-anak dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memberikan jadwal khusus untuk memperdalam bahasa Arab dan sastranya. Motivasi mereka, lantaran mengetahui nilai positif bahasa Arab terhadap gaya ucapan mereka, penanaman budi pekerti, perbaikan ungkapan dalam berbicara, modal dasar mempelajari Islam dari referensinya. Oleh karena itu, ulama bahasa Arab juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan dan dekat dengan para khalifah. Para pakar bahasa menjadi guru untuk anak-anak khalifah.

Al Ahmar An Nahwi berkata,”Aku diperintahkan Ar Rasyid untuk mengajarkan sastra Arab kepada anaknya, Muhammad Al Amin. Al Makmun dan Al Amin juga pernah dididik pakar bahasa yang bernama Abul Hasan 'Ali bin Hamzah Al Kisai yang menjadi orang dekat Khalifah. Demikian juga pakar bahasa lain yang dikenal dengan Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As Sari mengajari anak-anak Khalifah Al Mu'tadhid pelajaran bahasa Arab. Juga Abu Qadim Abu Ja'far Muhammad bin Qadim mengajari Al Mu'taz sebelum memegang tampuk pemerintahan”.

PENGARUH BAHASA ARAB UNTUK PENDIDIKAN
1. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan.
Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah berfirman.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. [Al 'Alaq : 1].

Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan.

Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham (manzhumah atau nazhaman). Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunannya, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik.

Sebagai contoh, kitab Asy Syathibiyah Fi Al Qiraati As Sab'i Al Mutawatirati 'Anil Aimmati Al Qurrai As Sab'ah, adalah matan syair yang berisi pelajaran qiraah sab'ah, karangan Imam Al Qasim bin Firah Asy Syathibi. Buku lain berbentuk untaian bait syair. Kemudian Al Jazariyah, yaitu buku tentang tajwid karya Imam Muhammad bin Muhammad Al Jazari. Dalam bidang ilmu musthalah hadits, ada kitab Manzhumah Al Baiquniyah, karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni. Dan masih banyak contoh lainnya.

2. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir.
Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata,”Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.”

Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasi. Dan ini salah satu factor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk merenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَآءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. [Al Hajj : 31].

Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka permisalan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan ramai-ramai menyambarnyanya sehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, mereka hancurkan. [7]

3. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak.
Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor.

Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi'in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”. [8]

Misalnya, penggalan syair yang dilantunkan Habib bin Aus yang menganjurkan berperangai dengan akhlak yang baik :

يـَعِيْشُ المْـَرْءُ مَا اسْتَحْيـَا بِخَيْرٍ وَيَبْـقَى العُودُ مَا بَقِيَ اللِّحَاءُ
فَلاَ وَاللهِ مَا فِي العَيْشِ خَيْـــرٌ وَلاَ الدُّنْيـَا إِذَا ذَهَبَ الْحَيَاءُ

Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama ia mempunyai rasa malu
Batang pohon senantiasa abadi, selama kulitnya belum terkelupas
Demi Allah, tidak ada sedikit pun kebaikan dalam kehidupan,
Demikian juga di dunia, bila rasa malu telah hilang sirna

Juga ada untaian syair yang melecut orang agar menjauhi tabiat buruk. Imam Syafi'i mengatakan:

إِذَا رَمَيْتَ أَنْ تَحْيَا سَلِيْمًا مِنَ الرَّدَى وَدِيْنُكَ مَوْفُوْرٌ وَعِرْضُـكَ صَيـِّنُ
فَلاَ يَنْطِقـَنَّ مِنْكَ اللِّساَنُ بِسَـوءَةٍ فَكُلُّــكَ سَوْءَاتٌ وَلِلنَّاسِ أَعْيـُنُ

Bila dirimu ingin hidup dengan bebas dari kebinasaan,
(juga) agamamu utuh dan kehormatanmu terpelihara,
Janganlah lidahmu mengungkit cacat orang,
Tubuhmu sarat dengan aib, dan orang (juga) memiliki lidah.

Jadi, bahasa Arab tetap penting, Bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Seyogyanya menjadi perhatian kaum muslimin. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



Adab Majelis Ilmu



Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi.


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :

• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr [1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat.

Selama tiga atau empat tahun bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau Radhiyallahu 'anhu. Senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.

Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang di alaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّه - (tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah), yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafadz.

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk yang berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]

السَّكِينَة - , ketenangan.

وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَة - , diselimuti rahmat Allah.

وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَة - , dikelilingi malaikat rahmah.

وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه - , Allah memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه - , siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS
Pertama : Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imran : 79].

Hal inipun dilakukan Rasulullah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu. Dengan sabdanya,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya,”Apakah taman syurga itu?” Beliau menjawab,”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu). [Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].

Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua : Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
• Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para salaf shalih.
• Mendapatkan ketenangan.
• Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga : Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :

• Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]

•Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.

Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.

Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.

Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

• Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]

• Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.

• Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.

• Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]

• Tidak Boleh Berputus Asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.

Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.

• Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya.

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’].

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.

• Beradab Dalam Bertanya.
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].

Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]

Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:

1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang mashur.

2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dalam firmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْئَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema'afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah l berfirman kepada NabiNya,

قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ

Katakanlah (hai Muhammad),"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur'an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur'an setelah beberapa waktu lagi. [Shad : 86-88].[8]

3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَدَعَهُ

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim].

5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

• Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya.
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.

Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]

Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. [10]

Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]



Ketika Beramal Tanpa Ilmu



Oleh
Ustadz Armen Halim Naro



Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]

Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].

Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].

Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”

KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى

Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].

Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .

Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].

وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].

Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.

Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu,"Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah,"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya." [Al Maidah:4] [5]

Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.

Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.

Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib ... Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja ... Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad ...

Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.

Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.

Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya ...

Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid ...dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.

Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”

Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?

Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.

Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.

Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.

Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!

Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:

... Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar ... Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “

Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:

إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ

Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka

Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]

Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Kaidah-Kaidah Menuntut Ilmu




Oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah-


Pembaca,
Untuk memahami ilmu secara benar, seorang thalibul-'ilmi dituntut untuk berusaha dan mengerahkan seluruh kemampuannya. Begitu pula dengan keluasan ilmu yang tidak mungkin diraih secara menyeluruh dalam satu waktu, maka untuk meraihnya pun memerlukan tahapan-tahapan dan langkah demi langkah, dari persoalan-persoalan ringan hingga ilmu-ilmu yang memerlukan analisa secara lebih terperinci dan mendalam. Disinilah ia harus menunjukkan kesungguhannya, sehingga pemahamannya terhadap setiap ilmu yang direngkuhnya tidak menyisakan kesamaran. Dan manakala harus menyampaikannya pun tidak akan menimbulkan kesesatan.

Demikian sebagian pesan yang bisa kita ambil dari Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar-Ruhaili –hafizhahullah- saat menyampaikan ceramah pada Daurah Syar'iyyah, di Agro Wisata Kebun Teh, Wonosari, Lawang, Malang, Jawa Timur yang diadakan antara tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M. Saat ini, Syaikh juga aktif sebagai Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam, Madinah, Kerajaan Saudi Arabia. Adapun ceramah beliau ini diterjemahkan dan dengan pemberian judul serta catatan kaki oleh Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari. Semoga kita mendapatkan faidah (manfaatnya). (Redaksi).
_____________________________________

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami bertaubat kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami, dan dari keburukan amalan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang akan menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan, maka tidak ada yang akan memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad n nabi kita adalah hamba Allah dan utusan-Nya.

Mudah-mudahan Engkau, wahai Allah, memberikan shalawat kepada hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya dan meneladani jejaknya sampai hari Pembalasan.

Amma ba’du:
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla dibangun berdasarkan dua pondasi yang besar. Pondasi Pertama : Yaitu mengenal agamanya yang telah disyariatkan Allah Azza wa Jalla. Pondasi Kedua : Yaitu melaksanakan ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah Azza wa Jalla berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya. Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu. Pondasi kedua berkaitan dengan amal. Dengan ilmu dan amal akan didapatkan keselamatan.

Dan manusia berbeda-beda dalam mewujudkan ilmu dan amal. Mereka terbagi menjadi empat bagian. Sedangkan menurut Syaikhul-Islam terbagi menjadi dua. Akan tetapi, sesuai dengan tabiatnya, maka sesungguhnya kedudukan manusia terbagi menjadi empat, sesuaidengan keadaan mereka.

1. Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang shahîh dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.

2. Martabat kedua, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal. Tidak ada keraguan, hal ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi. Mereka ini berilmu, namun tanpa amal.

3. Martabat ketiga, yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Mereka beramal, namun tanpa ilmu. Demikian ini keadaan ahli bid'ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun dalam ibadahnya tanpa mempergunakan ilmu.

4. Martabat keempat, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para ulama menyebut mereka adalah manusia yang menyerupai binatang ternak. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia, tidak memiliki cita-cita dalam ilmu dan amal. Sedangkan orang yang diberi taufiq ialah yang diberi taufiq oleh Allah terhadap ilmu yang shahîh dan amal shalih.

Adapun ilmu itu sendiri menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan terwujud kecuali dengan konsekwensinya. Ilmu itu hanyalah dengan belajar, mengerahkan kesungguhan dan kemampuan untuk mendapatkannya. Dan caranya, seorang thalibul-'ilmi mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh fid-dîn, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang menyusahkannya, sampai Allah memberikan kepadanya rezeki berupa ilmu. Seorang thalibul-'ilmu harus mengikuti manhaj yang shahîh dalam mengambil dan menuntut ilmu.

Di antara manhaj (jalan, kaidah) dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Oleh karena itulah dikatakan tentang seorang 'alim rabbani, bahwa dia adalah orang yang membina para penuntut ilmu kecil dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar. Demikianlah, menuntut ilmu itu harus tadarruj (bertahap).

Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa dan pembahasan. Dari sini, maka di antara masalah-masalah yang sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang jelas dan gamblang, yaitu mengenai ushuludin (pokok-pokok agama), seperti mengetahui ushuludin, ushul i'tiqad. Oleh karena itu, para ulama dalam mengajari para thulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap cabang-cabang ilmu. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu melalui mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas) ini. Secara bertahap, mulai dari teks-teks mukhtasharat sampai kemudian meningkat, dengan membaca kitab-kitab syarh (penjelasan) terhadapnya, kemudian meluas sehingga para thalib sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab tebal/luas) dan menumbuhkan nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam masalah-masalah ini, sehingga mencapai derajat ulama dengan taufiq Allah. Demikianlah, bahwasanya dalam thalibul-'ilmi harus dengan tadarruj (bertahap).

Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas untuk Allah Azza wa Jalla dalam mencari ilmu. Karena sesungguhnya ikhlas memiliki pengaruh yang besar untuk meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam segala sesuatu. Barangsiapa mendapatkan taufiq dengan ikhlas, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak dalam segala urusan agama dan dunia. Pengaruh ikhlas terhadap taufiq (bimbingan Allah) ditunjukkan oleh firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:

"... Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu ... " [an-Nisâ`/4:35].

Demikian juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pengaruh hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu`man bin Basyir:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

"Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati".[1]

Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat dengan ilmunya. Dengan demikian, seseorang diberi taufiq disebabkan oleh ilmu dan pemahamannya. Oleh karena itu, perkara ini harus diperhatikan.

Termasuk ikhlas dalam thalabul-'ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh (memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Malik bin Dinar rahimahullah berkata: ''Barangsiapa menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit mencukupinya. Dan barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung''.

Seseorang lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya. Engkau membutuhkan untuk mengetahui thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan ibadahmu kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, hendaklah engkau bertafaqquh (memahami) ilmu yang membuahkan amalan. Dan amalan itu ada yang wajib dan ada yang mustahab. Sehingga seseorang hendaklah memulai dengan ilmu yang wajib baginya secara individu. Kemudian secara bertahap mempelajari yang mustahab (sunah, disukai). Oleh karena itu wajib ikhlas dalam thalabul-'ilmi.

Di antara perkara yang perlu diperhatikan juga oleh penuntut ilmu, yaitu isti'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla, tawakkal kepada-Nya, dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberikan kepadanya ilmu yang shahih (benar) yang nafi` (bermanfaat). Hal ini dituntunkan oleh Allah dalam firman-Nya:

"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". [Thâhâ/20:114].

Allah berfirman (di dalam hadis qudsi):

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

"Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepadamu".[2]

Maka, meminta hidayah kepada Allah, niscaya Allah Azza wa Jalla akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas.

Dan, dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju pintu-pintu kebaikan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan agar ia berdoa:

أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي

"Wahai, Allah! Berilahkan petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku".

Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Juga sebuah doa lain dalam atsar (riwayat):

أَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَااتِّبَاعَهُ وَ أَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

"Wahai, Allah! Tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq, dan berilah rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah al-batil kepada kami sebagai al-batil, dan berilah rezeki kepada kami untuk menjauhinya".

Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk mengikutinya; dan ditunjukkan al-batil oleh Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberi rezeki-Nya untuk menjauhinya. Jika tidak, maka banyak di antara manusia yang mengamalkan kebatilan, dan menyangkanya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib memperhatikan sisi ini, yaitu tawakal kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, agar Dia memberi taufik terhadap al-haq, memahamkannya dalam agama, dan agar mengajarinya. Demikian pula perlu banyak beristighfar dan selalu berlindung kepada Allah Azza wa Jalla.

Syaikhul-Islam rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah kesusahan memahami suatu masalah. Beliau berkata,"Lalu aku beristighfar kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Aku selalu melakukannya, sehingga Allah membukakan masalah itu untukku''.

Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Akan tetapi, sebagian manusia hanya bersandar kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan tawakkal dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dalam semua perkara, manusia membutuhkan tawakkal dan usaha. Menghadiri majlis ulama dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, termasuk melakukan usaha. Dan manusia juga membutuhkan tawakkal. Berapa banyak manusia duduk di depan ulama, namun tidak mendapatkan manfa'at. Berapa banyak manusia membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan manfa'at. Dan berapa banyak manusia hafal Al-Qur`ân, namun mereka tidak mendapatkan manfa'at sedikitpun darinya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang Khawarij:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

"Mereka membaca Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân itu tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang buruan".[3]

Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq. Syaikhul-Islam rahimahullah berkata tentang para filosof: "Mereka diberi kecerdasan, namun tidak diberi kesucian''. Maksudnya, Allah memberikan kepada mereka kecerdasan dan akal, namun mereka tidak diberi taufiq untuk mensucikan jiwa mereka.

Oleh karena itu, jika manusia itu diberi kecerdasan oleh Allah, hendaklah dia memohon kepada Allah agar Allah Azza wa Jalla mensucikannya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup.

Dahulu, Abu Jahal digelari dengan Abul-Hakam karena faktor akalnya, yaitu kecerdasan akalnya. Tetapi ia tidak mengikuti petunjuk agama ini, padahal orang yang akalnya lebih rendah darinya mengikuti petunjuk agama ini.

'Abdullah bin Ubaiy bin Salul, dahulu termasuk orang yang paling cerdas, sehingga sebelum diutusnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, penduduk Madinah berniat mengangkatnya sebagai raja. Akan tetapi, ia tidak mengikuti petunjuk agama ini.

Manusia itu lemah, kecuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akal tidaklah cukup, kecerdasan tidaklah cukup, maka hendaklah engkau memohon kepada Alah Azza wa Jalla agar diberi taufiq. Bahkan terkadang kecerdasan merupakan sebab kesesatan seseorang. Dia hanya bersandar kepada akalnya, kecerdasannya dan pemahamannya. Dia menyangka bahwa dirinya memahami, sedangkan orang lain tidak memahami. Lalu ia berbuat lancang, dan berlaku sombong dengan akalnya.

Manusia (yang berakal, Pent.) jika diberi akal dan kecerdasan oleh Allah Azza wa Jalla, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan untuk meraih hidayah kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang yang beragama adalah orang-orang yang berakal. Tidak ada seorang 'alim kecuali mengetahui bahwasanya tidak ada hidayah kecuali dengan agama ini. Sehingga, jika ada orang yang menyangka bahwa ia boleh keluar dari agama ini, dan bahwa menyangka akalnya mencukupi untuk mendapatkan hidayah, maka ini sebagai bukti kurangnya hidayah akal dan ilmunya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan untuk disucikan oleh Allah Azza wa Jalla.

Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar dalam menuntut ilmu. Pembicaraan masalah ini sangat panjang. Telah dijelaskan dalam ceramah (saya) di Universitas Islam Madinah tentang jalan para ulama dalam mempelajari akidah, dan persiapan materi ceramah ini lebih dari seminggu. Dan Allah memberikan nikmat yang banyak dengan sebab ini, dengan membaca perkataan para ulama, jalan mereka mendapatkan ilmu, dan metode memahami nash-nash.

Ceramah ini direkam dan mungkin bisa didapatkan dari sebagian mahasiswa yang telah merekamnya. Dalam ceramah itu, terdapat banyak sisi penting yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah dalam menetapkan lafazh-lafazh syar'iyyah, dan mengetahui perbedaan antara makna lughawi (menurut bahasa Arab) dengan makna syar'i (menurut agama).

Sesungguhnya kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena ketiadaan dalil. Terkadang ada dalil di hadapannya, dan terkadang telah mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya, yang kemungkinan karena lafazh itu musykil pada mereka. Kesamaran lafazh termasuk di antara yang menjadi penyebab kesalahan pada diri ulama. Seperti kesamaran lafazh al-quru`, apakah itu haidh ataukah suci dari haidh? Begitulah pula dalam lafazh al-muzâbanah, al-muhâqalah, al-mukhâbarah, dan semacamnya sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam dalam kitab Raf'ul Malam 'an Aimmatil-A'lam.

Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh pada mukhathab (orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat 'Adi bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah Azza wa Jalla :

"..hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]

Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan ditaruhnya di bawah bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberitakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pun bersabda: ''Engkau benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud warna putih fajar, dan warna hitam ialah malam''.

Di sini terjadi kesamaran pada sahabat yang agung ini.

Begitu pula kesamaran yang terjadi pada ulama terhadap lafazh mulâmasah dalam firman Allah:

أو لمستم النساء

(Atau kamu menyentuh perempuan).[4]

Apakah yang dimaksud dengan mulâmasah adalah semata-mata menyentuh wanita, ataukah kiasan dari jima'?

Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara' (agama) yang diperselisihkan para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan makna-makna lafazh syar'iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan makna lughawi (menurut bahasa arab). Demikian juga banyak kitab-kitab disusun dalam pembahasan gharibul-hadits dan gharibul-Qur`ân.[5]

Dalam menafsirkan Al-Qur`ân, para ulama tidak mencukupkan dengan mengetahui makna lughawi (bahasa) saja. Bahkan Imam ath-Thabari rahimahullah -seorang pakar ahli tafsir- menyebutkan, sebagian ahli tafsir telah salah dalam menafsirkan Al-Qur`ân, dikarenakan mereka bersandar kepada arti bahasa, tanpa mengetahui istilah syariat. Maka seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil buku kamus bahasa Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda artinya.

Misalnya, kata khair. Dalam kitab Allah Azza wa Jalla, khair memiliki makna hasanah (kebaikan). Juga bermakna dunia. Dimaksudkan juga dengan pahala di sisi Allah. Bagaimana engkau mengetahui makna kalimat ini?

Misalnya lagi kata kufur. Di dalam kitab Allah, kufur mengandung maksud kufur akbar dan kufur ashghar. Demikian juga kezhaliman dan syirk. Begitu pula kata iradah (kehendak Allah), terkadang dimaksudkan dengan iradah kauniyah dan terkadang iradah syar'iyyah. Demikian juga qadha` dan kitabah. Maka untuk memahaminya harus mengetahui perkataan para ulama dalam menafsirkan nash-nash dan lainnya. Di antara yang membantu perihal ini ialah bersandar kepada perkataan ulama.

Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir. Bagaimana penafsiran oleh ath-Thabari, oleh al-Baghawi, oleh Ibnu Katsir, oleh Ibnu Taimiyyah. Perkataan para ulama yang mendalam ilmunya, yang telah memahami masalah-masalah ini dengan baik. Hendaklah seseorang mengambil manfaat dengan perkataan para ulama. Kemudian, setelah itu tidaklah membahayakan dirinya, yang telah jelas baginya bahwa itu adalah haq. Adapun jika usaha seseorang dalam memahami nash-nash tanpa berpedoman dengan penjelasan ulama, maka ini merupakan kesalahan. Demikian juga untuk memahami kitab-kitab Sunnah, untuk mengetahui makna-maknanya perlu meruju` kitab-kitab gharibul-hadits (kata-kata asing dalam hadits,-red).

Demikian juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya memiliki makna yang lain.

Demikian juga nafyi (peniadaan) dan itsbat (penetapan), terkadang dimaksudkan sesuatu tertentu. Misalnya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

"Tidaklah berzina seseorang yang sedang berzina sedangkan dia mukmin". [6]

Apakah yang dimaksud dengan nafyi (peniadaan iman) dalam hadits ini?

Maksud seorang pezina bukan mukmin, adalah bahwa seorang pezina bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya. Bagaimana kita mengetahuinya? Karena dalam nash-nash yang lain terdapat penjelasan tentang keberadaan iman bagi pelaku maksiat.

Sehingga kita mengetahui, maksud peniadaan di sini ialah peniadaan kesempurnaan (iman) yang wajib, bukan yang pokok. Jadi, penetapannya ialah untuk yang pokok, dan bukan untuk kesempurnaan.

Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung di dalam siyaq (rangkaian kalimat), dan penunjukan makna siyaq terhadap masalah ini. Karena sebagian nash diketahui dengan makna-makna syar'iyyah. Dan (untuk memahami) sebagian nash, Anda membutuhkan pengetahuan makna nash ini dengan melihat makna nash-nash lainnya yang menjadi penjelas.

Contohnya, orang yang memperhatikan firman Allah:

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya." [an-Nisa`/4:93].

Orang yang memandang nash ini akan mengatakan bahwa pembunuh ini kekal di dalam neraka. Akan tetapi, jika dia melihat nash lainnya, maka ia akan mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan firman Allah Aza wa Jalla:

"(Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang) -Qs al-Hujurat/49 ayat 9. Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan iman dengan adanya peperangan.

Allah juga berfirman

"Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)". [al-Baqarah/2:178].

Di dalam ayat ini Allah menjadikan wali qishash saudara (seiman/seagama, Pent.) bagi pembunuh. Maka kita mengetahui bahwa nash ini tidak bertentangan dengan itu.

Jika kita memperhatikan dengan teliti nash ini:

"(Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya...)" -Qs an-Nisa`/4 ayat 93- bahwa ayat ini dirangkaikan dengan penyebutan balasan. Sedangkan balasan, terkadang terjadi dan terkadang tidak.

Berdasrkan pemahaman ini, semua nash-nash diatas bisa dipertemukan di atas kebenaran, yaitu dalam masalah hukum Allah dan keadilan-Nya; barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam. Tetapi Allah Azza wa Jalla -dengan rahmat dan karunia-Nya- telah menetapkan bahwa barang siapa bertemu Allah dengan tauhid dan terbebas dari perbuatan syirik, ia tidak akan kekal di dalam neraka, walaupun Allah menyiksanya terhadap sebagian dosa-dosanya. Maka kita mengetahui bahwa seorang pembunuh walaupun mendapatkan siksa, tetapi sesungguhnya dia tidak akan kekal di dalam neraka.

Dari sini, maka sesatlah orang yang memahami masalah ini tanpa berdasarkan yang semestinya, yaitu Sunnah. Sehingga muncullah Khawarij dan Mu'tazilah disebabkan buruknya pemahaman mereka terhadap nash-nash ini [7]. Demikian juga Murji'ah telah menyimpang dalam masalah ini [8]. Dan Allah memberi petunjuk kepada Ahlus-Sunah untuk mengetahui nash-nash ini dengan memperhatikan nash-nash lainnya. Sesungguhnya ilmu itu saling melengkapi, saling berkaitan, dan saling menunjukkan. Seperti yang Anda lihat sekarang, seseorang hanya melihatnya dari satu sisi. Dia menghukumi secara umum dan menyalahkan orang lain yang berbicara tentangnya. Dia tidak memperhatikan bahwa masalah ini terbagi dalam beberapa bagian, dan dalam masalah ini terdapat perincian.

Seperti yang kita dengar dari sebuah pertanyaan, bahwa penuntut ilmu tidak mengambil ilmu dari mubtadi.

Perkataan ini benar merupakan perkataan ulama, tetapi dalam keadan yang bagaimana? Yaitu dalam keadaan manakala ada kemudahan. Adapun dalam keadaan darurat dan sangat mendesak, sedangkan di tempat itu tidak ada yang mengajarkan ilmu ini, maka tidak dilarang mengambil ilmu dari orang yang menyimpang, jika ia ahli dalam bidang ilmu dimaksud.

Orang yang tidak memperhatikan bagian-bagian dan perincian-perincian ini akan terjatuh dalam kesalahan. Oleh karena itu, (untuk mendapatkan kebenaran) harus memperhatikan lafazh-lafazh (syari'at) dan siyaq (rangkaian kalimat). Seseorang harus mengetahui makna lafazh dan kandungannya (madlul siyaq).

Sehingga jika kita memperhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

(Tolonglah saudaramu, baik dia menzhalimi atau dizhalimi) [9] –HR Bukhari, no. 2343, Pent.-, maka kita akan mengetahui bahwa kezhaliman yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini bukanlah kezhaliman yang besar seperti halnya disebutkan dalam firman Allah:

"(Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar)". -Qs Luqmân/31 ayat 13.

Demikian juga kita akan mengetahui semisal sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita-wanita:

يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

(Mereka kufur terhadap suami) [10], Kufur disini bukan berarti kufur akbar, tetapi kufur (mengingkari) terhadap suami; kufur di bawah kekafiran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan lainnya dari kalangan ahli tafsir dalam ayat semisalnya, (yaitu) firman Allah Azza wa Jalla :

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir". [al-Maidah/5: 44]

"Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim". [al-Maidah/5:45]

"Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" [al-Maidah/5:47].

Tentang tiga ayat dalam surat al-Maidah ini, 'Abdullah bin 'Abbas mengatakan kufur duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari iman), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman di bawah kezhaliman, yaitu kezhaliman yang tidak mengeluarkan dari iman), fisqun duna fisqin (kefasikan di bawah kefasikan, yaitu kefasikan yang tidak mengeluarkan dari iman). Bagaimana mereka mengetahui ini, mereka mengetahui dengan nash-nash yang lain. Maka harus memperhatikan sisi-sisi ini.

Perincian masalah ini panjang, namun saya mengingatkan bahwa dalam masalah itu terdapat ilmu-ilmu yang daqiq (pelik/komples), dan sebagian perkara-perkaranya sangat luas, sehingga sulit dipahami oleh sebagian manusia. Tak diketahuinya masalah ini oleh sebagian manusia, menyebabkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang berbahaya dalam masalah keyakinan dan muamalah.

Oleh karena itu, semua sisi dalam masalah ini seharusnya diperhatikan dan dicermati. Dengan beristi'anah (memohon pertolongan) kepada Allah Azza wa Jalla dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu (masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka akan mengoreksi kesalahannya, jika memang ia melakukan kesalahan.

Kita memohon taufiq kepada Allah untuk kita semua, wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan salam dan berkah kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Jangan Mengambil Ilmu dari Ahli Bid'ah


Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari


Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.

Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.

Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]

Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)" [2].

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”

Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]

Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).

Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]

Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.

Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?

Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.

Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]

PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.

1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :

اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ

"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama" [7]

Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).

2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].

Dalam riwayat lain disebutkan :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

"Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa" [9]

3). Imam Malik rahimahullah berkata :

لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]

4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].

5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.

TUJUAN PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]

Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]

Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]

PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah : 217].

Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?

وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}

"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]

Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?

Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.

Inilah sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment