Sunday, June 10, 2012

Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla. Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [Al Maidah:56].

Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla. Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [Al Maidah:56].


Oleh
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani


Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman,

أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [Al Mujadalah:22].

Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman,

وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. [Al Maidah:56].

Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, red.) pengkotak-kotakan umat kepada jama’ah-jama’ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela. Allah berfirman,

وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar Rum:31-32].

Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telah melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam - atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan (dia) mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [Al An’am:159].

Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhu berkata, ketahuilah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda,

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan. Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Tujuhpuluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama’ah.[1]

Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah berkata,“Penyebutan bilangan pada hadits ini, bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153].

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak pada kata yang menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan tidak berbilang.[2]

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca,

إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153]. [3]

Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan (kebenaran, pent.) itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusia datang dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka; terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa mengantarkan kepadaNya. [4]

Aku (penyusun) mengatakan: Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang, telah menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri. Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban perjalanan yang panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya.”

MENGENAL JALAN YANG SATU
(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang kedua” dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan (kalimat) ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat; Pertama, mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.

(Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti.[5]

Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju Allah Azza wa Jalla itu (jumlahnya banyak, pent.), sejumlah bilangan nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah Azza wa Jalla –yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara [Ali Imran:103].

Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,

إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ

Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla . Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah (Al Qur’an). [6]

Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ini, mengandung dua makna yang sangat penting.

Pertama : Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq) itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman,

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yunus:32].

Kedua : Tafsir hablullah (tali Allah Azza wa Jalla) yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berbunyi,

الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ

Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami dtinggal oleh Rasulullah. [7]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,

تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ

Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.[8]

Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An Nahl:44].

Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,

كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ

Akhlaq beliau adalah Al Qur’an. [9]

Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersada,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama); karena sesungguhnya, setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama) adalah bid’ah. [10].

Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Bathuthah rahimahullah mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa Jalla, dan berkat ‘InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu. [Lihat kitab Al Ibanah atau Al Qadar, I].

Apa yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar; karena agama Allah itu hanya satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berfirman,

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا

Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’:82].

Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang, paling kaya (dengan dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan binasa. [11]

Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula oleh para sahabat Radhiyallahu anhum, berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,

البِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ

Bid’ah adalah kesesatan

Oleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menuturkan,

إِيَّاكُمْ وَ مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا (وفي رواية) وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا

Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa (dalam sebuah riwayat, mereka diserang) hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mampu memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka malu untuk mengatakan,“Kami tidak mengetahui,” lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio itu lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu (khuf), itu lebih utama daripada mengusap bagian atasnya. [12]

Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’ (mengikuti wahyu), bukan dengan ikhtira’ (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam menjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian.[13] Abdullah bin Mas’ud berkata,

اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ

Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari’at Islam ini) telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala. [14]

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Semua bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik. [Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih]

Dan selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.

Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata: Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata kepadanya, أوصيني ( berilah wasiat kepadaku); diapun berkata,

نَعَمْ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ

“Ya , bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan (berpeganglah pada) atsar (jejak para salaf, pent). Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama. [15]

Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba’ (perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.). Kedua, al ittiba’, yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan kedua hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan membentengi (seseorang).

Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokoh-tokoh tersebut.

Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para ulama’, mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan mendahulukan wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah) setelah jelas permasalahannya, juga merupakan perkara lain.

Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,“Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh hari ( pertama bulan Dzul Hijjah), padahal tiada umrah pada hari-hari itu.” Maka Ibnu Abbas berkata,“Wahai Uray [16] Tanyakanlah kepada ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah berkata (berpendapat) seperti itu, padahal mereka benar-benar lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas,

مِنْ هَهُنَا تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ

Dari sinilah kalian didatangi. Kami membawakan kepadamu (perkataan) Rasulullah, dan kamu membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya,

أَهُمَا –وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ

Celaka engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar dan Umar, pent), lebih engkau dahulukan ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya?

Dalam riwayat lain, ia bertutur,

أُرَاهُمْ سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

Kelihatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata “Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”. [17].

Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan,“Dalam ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu terdapat isyarat yang menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid kepada imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang menyelisihi dalil.”[18]

Beliau juga mengatakan,”Kemungkaran ini [19]. telah merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi (manusia) dari mengambil Al Qur’an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjunjung tinggi perintah serta larangannya.”

Diantara ucapan mereka, “tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus.” Ada juga yang mengatakan, “orang yang aku taklidi (ikuti) padanya, lebih mengetahui daripada kamu tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , yang (beliau) tidak pernah berbicara karena terdorong hawa nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja berbuat kesalahan. Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berdalih “tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)”.

Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari’at), jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah,

اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [Al A’raf:3].

FirmanNya

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [Al Ankabut:51].

Dan di depan telah disampaikan perihal ijma’ (kesepakatan) para ulama’ terhadap yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid (orang yang taklid) tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama’ lainnya, telah menceritakan ijma’ atas masalah ini. [20].

Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah telah mengadu kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah syari’at) Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi [21]. Beliau berkata,”Aku berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi [22].

Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, Al Qur’an (mengundi) itu judi,” maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu judi,” Abul Bakhturi menjawab,”Wahai Abu Abdillah, ajukan seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam riwayat lain ida berkata,”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.” [23]

(Diterjemahkan Oleh : Ustadz Mubarak Bamualim, dari Sittu Durar Min Ushuli Ahlil Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]



Kewajiban Mengikuti Pemahaman Salafush Shalih


Oleh
Ustadz Muslim Al Atsari



Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.

Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.

Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.

Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.

Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama.

DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah:137].

Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. [Ali Imran:110].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka menyuruh kepada seluruh yang ma'ruf dan mencegah dari seluruh yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].

Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.

Jika demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!

Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid”. [2].

DALIL DARI AS SUNNAH
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].

Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah n . Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur'an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit mereka fahami.

Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”. [4].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5].

Ketika menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum“[6]

DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu 'anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.

Abdullah bin Masud Radhiyallahu 'anhu mengatakan:

وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi n telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal: 100]

Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”. [7]

2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:

أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ

Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. [Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali].

3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:

تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ

Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5].

4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:

كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ

Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36].

5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ

Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104].

Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya.

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].

6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:

آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ

Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]

8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:

مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ

Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka. [10].

9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:

عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ…

Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].

Demikianlah penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______


Kewajiban Mengikuti Pemahaman Salafush Shalih


Oleh
Ustadz Muslim Al Atsari



Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.

Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.

Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.

Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat [1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.

Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama.

DALIL DARI AL QUR’AN
Allah berfirman dalam Al Qur’an:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Baqarah:137].

Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui. [Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.. [Ali Imran:110].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka menyuruh kepada seluruh yang ma'ruf dan mencegah dari seluruh yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”. [Limadza Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86].

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa’:115].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu'min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At Taubah:100].

Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.

Jika demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!

Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid”. [2].

DALIL DARI AS SUNNAH
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). [Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”. [3].

Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah n . Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur'an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah n tentang ayat yang sulit mereka fahami.

Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau Shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”. [4].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku.” [5].

Ketika menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum“[6]

DIANTARA PERKATAAN SAHABAT DAN ULAMA ISLAM
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu 'anhu. Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.

Abdullah bin Masud Radhiyallahu 'anhu mengatakan:

وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan. [HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi n telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!” [Limadza, hal: 100]

Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”. [7]

2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:

أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ

Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi. [Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali].

3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:

تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ

Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5].

4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:

كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ

Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih). [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36].

5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ

Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka. [Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104].

Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya.

مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. [Al Fath: 29] [8].

6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:

آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ

Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka. [Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik t berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat. [9]

8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:

مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ

Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka. [10].

9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:

عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ…

Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].

Demikianlah penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]




Berpegang Dengan Kebenaran


Oleh
Doktor Walid Ar Rabi’


BERPEGANG DENGAN KEBENARAN, TANPA MENGKONFRONTASIKANNYA DENGAN PERKATAAN MANUSIA
Allah berfiman

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dia-lah yang mengutus Rasulnya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun orang-orang musyrik benci. [Ash Shaf:9]

Dalam ayat ini, Allah memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalahNya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allah meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allah memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah.

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman.

اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). [Al A’raf :3].

Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata maa, Red) adalah Al Qur’an dan Sunnah; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al Qur’an.
Firman Allah :

وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ

dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya

Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al haq karenanya.

Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allah Azza wa Jalla dan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, Red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat.

Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Allah, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih.

Dikatakan oleh Imam Syatibi, ”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasulullah, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.”

Beliau juga berkata,”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, Pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.”

Beliau juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat.

DALIL-DALIL WAJIBNYA BERPEGANG KEPADA KEBENARAN
Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu.

Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Hujurat:1].

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata,”Ayat ini memuat adab kepada Allah, RasulNya, mengagungkan, menghormati serta memuliakanNya. Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allah dan RasulNya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah n dalam semua urusan, tidak mendahului Allah dan RasulNya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allah mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allah memerintahkannya.

Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasulullah daripada sabdanya. Apabila Sunnah Rasulullah telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga.

Allah berfirman.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولُُ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِينَ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. [Ali Imran:144].

Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan : “Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allah untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Dmikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allah dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”.

Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

Umar bin Khathab (datang) kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut. Nabi marah dan bersabda,”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab? Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tanganNya. Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani]

Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَعْجَبُوا بِعَمَلِ أَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَا يُخْتَمُ لَهُ فَإِنَّ الْعَامِلَ يَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِهِ أَوْ بُرْهَةً مِنْ دَهْرِهِ بِعَمَلٍ صَالِحٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا سَيِّئًا وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ زَمَانًا مِنْ دَهْرِه بِعَمَلٍ لَوْ مَاتَ عَلَيْهِ دَخَلَ النَّارَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ فَيَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَوَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ

Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang, sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya, karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga. Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek. Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Maka apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah 1/174. Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih]

Juga dari beliau, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَعْجَبُوا بِأَحَدٍ حَتَّى تَنْظُرُوا بِمَ يُخْتَمُ لَهُ

Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”]

Juga dari beliau.

يَخْرُجُ فِيكُمْ أَوْ يَكُوْنُ فِيكُمْ قَوْمٌ يَتَعَبَّدُونَ وَيَتَدَيَّنُوْنَ حَتَّى يُعْجِبُوكُم وَتُعْجِبُهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum yang beribadah dan taat beragama, sehingga kalian merasa takjub dengan mereka dan mereka bangga dengan diri mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim, Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”]
`
TIGA HAL YANG MENGHANCURKAN AGAMA
Dari Umar bin Khathab, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ثَلاَثٌ يَهْدِمَنَّ الدِّيْنَ : زَلَّةُ عَالِمٍ وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلَّوْنَ

Tiga hal yang menghancurkan agama; kesalahan seorang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al Qur’an dan para imam yang menyesatkan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi].

Dari Abu Darda’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَالْقُرْآنُ الْحَقُّ وَعَلَى الْقُرْآنِ مَنَارٌ كَأَعْلاَمِ الطَّرِيْقِ

Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian, adalah kesalahan orang yang ‘alim, perdebatan orang munafiq dengan Al Qur’an. Sementara Al Qur’an adalah sebuah kebenaran, di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan. [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi].

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan,”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.” Beliau ditanya : “Bagaimana itu bisa terjadi?” Ia berkata,”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasulullah dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.”

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata,”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allah dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup. [Al Jami’, Ibnu Abdil Barr].

TAULADAN TERBAIK
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata,”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”.

Beliau juga berkata: “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, Red) adalah para sahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allah memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilahlah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.”

Abdullah bin Mubarak berkata,”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.”

Imam Malik berkata: Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Allah berfirman.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. [Az Zumar:18].

Az Zuhri berkata: Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.”

Al Auza’i mengatakan, ”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh sahabat Nabi dan para tabi’in ; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allah.”

Mujahid mengatakan,’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, Red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Ibnu Khuzaimah berkata,”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH
Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan peri hidup para salafush shalih, berupa pengagungan terdahap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan sipapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang Allah telah memberikan tazkiyah (pengakuan, Red.) kepada mereka.

Allah telah berfirman di dalam kitabNya dan Nabi telah wafat. Dia ridha atas mereka dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik. Rasulullah telah bersabda tentang mereka.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. [Muttafaq ‘alaih]

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______

sumber: http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment