Friday, September 20, 2013

Menjaga Diri Dengan Yang Halal






Menjaga Diri Dengan Yang Halal

J
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin


Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaqwaan. Ilmuilah yang telah diwajibkan Allah terhadap diri kita. Yaitu berupa hukum-hukum agama. Dengan begitu, kita akan selalu beribadah sesuai dengan yang telah disyariatkan Allah, dan kita akan semakin mampu berpegang teguh dengan agamaNya. Sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.

Pada kesempatan kali ini, kami ingin menyampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ الهَa أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Sesungguhnya Allah itu Maha baik dan tidak menerima, kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Mukminin dengan perintah yang Allah gunakan untuk memerintahkan para rasul. Maka Allah berfirman,”Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah (Al Mukminun : 41).” Dan Allah juga berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik, yang telah kami berikan kepada kalian (Al Baqarah : 172).” Kemudian Rasulullah menyebutkan tentang seseorang yang melakukan perjalanan panjang, kusut rambutnya, kemudian mengangkat tangannya dan mengatakan : Wahai Rabb-ku, Wahai Rabb-ku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, perutnya diisi dengan sesuatu yang haram, maka bagaimana Kami mengabulkan doanya?"[HR Muslim]

Di dalam hadits mulia ini terdapat banyak pelajaran yang bisa kita ambil.

Pertama : Di antara nama Allah adalah thayyib. Maksudnya, Allah memiliki sifat-sifat yang baik, suci dari segala kekurangan dan kejelekan. Allah Maha baik di dalam dzatNya, Maha baik di dalam sifat-sifatNya, nama-namaNya, hukum-hukumNya, perbuatan-perbuatanNya, dan dalam segala apa yang bersumber dariNya.

Sehingga apabila melihat nama-nama Allah yang kita ketahui, maka kita mengetahui bahwa semua nama-nama itu indah. Di dalamnya terkandung sifat-sifat yang indah. Sedikitpun tidak kita dapatkan kekurangan di dalam nama-nama Allah tersebut. Allah berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ

"Dan hanya milik Allah-lah nama-nama yang baik" [al A’raf/7 : 180].

Demikian pula di dalam sifat-sifat Allah, maka Allah memiliki sifat-sifat yang baik, Allah Maha mampu, Maha mendengar, Maha melihat dan sifat-sifat baik lainnya yang dimiliki oleh Allah. Dan dalam segala perbuatan Allah, selalu tersimpan hikmah-hikmah yang agung.

Kedua : Karena Allah Maha baik, maka Dia tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Allah tidak menerima amalan-amalan yang tercampur dengan berbuatan syirik, karena amalan syirik bukanlah amalan yang baik. Demikian pula Allah tidak menerima amalan yang tercampur dengan perbuatan bid’ah.

Perlu kita ketahui, ikhwani fiddin … Amalan yang baik, bukanlah amalan yang banyak atau amalan yang dipuji oleh manusia, akan tetapi amalan yang baik ialah amalan yang dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana dikatakan Fudhail bin Iyad ketika ia menafsirkan firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

"Dan Dia-lah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya" [al Mulk/67 : 2]

Ia mengatakan, bahwa yang paling baik amalnya ialah, yang paling benar dan yang paling ikhlas. Benar apabila sesuai dengan yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan ikhlas, apabila hanya dilakukan karena mengharap wajah Allah.

Kemudian hadits ini juga menjelaskan adanya amalan yang diterima dan yang ditolak oleh Allah.

Ketiga : Para rasul juga diperintahkan dan dilarang oleh Allah, sebagaimana pula kaum Mukminin.

Walaupun mereka adalah orang yang telah diampuni Allah, mereka tetap beribadah kepada Allah, sebagaimana kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegakkan qiyamullail sehingga kedua kakinya bengkak. Ditanyakan kepada Beliau:

أَتَكَلَّفُ هَذَا وَقَدْ غَفَرَ الهُl لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ

“Apakah engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan dosa yang akan datang?”

Ditanya seperti ini, bagaimanakah jawab Beliau? Rasulullan Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan jawaban yang menakjubkan:

أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

"Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?" [Muttafaqun alaih].

Begitulah pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri tauladan bagi kita sampai hari Kiamat. Demikian pula dengan para sahabat Rasulullah. Mereka selalu bersemangat dalam beribadah kepada Allah. Bahkan di antara mereka ada yang telah dijamin oleh Allah masuk ke dalam surga, akan tetapi, jaminan tersebut tidak menjadikan mereka malas beribadah kepada Allah, tetapi justru membuat mereka lebih bersungguh-sungguh menjalankan syariatNya. Keadaan ini berbeda dengan yang terjadi pada manusia zaman sekarang ini.

Keempat : Di dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyebutkan, bahwasanya Allah memerintahkan kepada para rasul dan juga kaum Mukminin untuk memakan makanan yang baik. Yaitu makanan yang dihalalkan oleh Allah. Dan dalam mencarinya juga dengan cara yang halal, bukan dengan cara-cara yang dimurkai Allah.

Kemudian Allah memerintahkan agar beramal shalih, karena amal shalih merupakan wujud rasa syukur seseorang kepada Allah. Artinya, setelah seseorang diberi karunia dengan mendapatkan makanan yang halal dan didapatkannya dengan cara yang halal, maka sudah sepantasnya ia bersyukur kepada Allah. Yaitu dengan menyandarkan kenikmatan tersebut kepada Allah dan beramal shalih.

Faidah kelima dari hadits mulya ini, bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan doa seseorang, yang di dalam diri orang tersebut terisi dengan hal-hal yang diharamkan Allah, sekalipun ia melakukannya dengan sungguh-sungguh; maka bagaimana Allah akan mengabulkan doa orang yang perutya terisi dengan barang-barang yang haram, makanannya haram, minumannya haram, ataupun makanan dan minuman yang halal akan tetapi dicari dengan cara yang haram?

Oleh karena itu, ikhwani fiddin, ini merupakan sebuah peringatan keras serta ancaman yang berat bagi orang yang tidak mau memperdulikan darimana ia mendapatkan rezekinya. Patut disesalkan, ternyata masih banyak orang yang bermuamalah dengan muamalah yang haram, dan tidak jarang hanya demi sedikit harta, kemudian rela mencarinya dengan melanggar batasan-batasan Allah. Waliyadzu billahi min dzalik. Benarlah yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

"Akan datang kepada manusia suatu zaman, yaitu seseorang tidak lagi memperdulikan dari mana ia mengambil hartanya, apakah dari jalan yang halal ataukah dari jalan yang haram".[HR Bukhari].

Kita lihat saat ini, berapa banyak di antara kaum Muslimin yang berjual beli dengan sistim riba, ataupun utang-piutang dengan sistim riba? Ingatlah wahai, kaum Muslimin! Apabila kita masih melakukan perbuatan tersebut, sesungguhnya hanya dosa serta kehinaan yang akan kita dapatkan.

Ikhwani fiddin, karena harta merupakan amanah dari Allah dan kita akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di hadapan Allah, maka marilah kita renungan, dari manakah harta yang kita dapatkan? Apakah kita dapatkan dengan cara yang halal, ataukah sebaliknya dengan cara yang haram?

Dengan begitu, kita berharap semoga terhindar dari harta yang haram, sehingga doa yang kita panjatkan, dikabulkan oleh Allah.

Disamping itu, karena doa merupakan ibadah yang agung, maka marilah kita lakukan dengan penuh keikhlasan, sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah, dan kita penuhi syarat-syaratnya. Insya Allah, doa kita akan diterima dan dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang mulia ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Kebenaran hanya datang dari Allah, dan kesalahan datang dari kami dan dari setan. Dan Allah berlepas diri dari kesalahan tersebut.

[Diangkat dari Syarah Hadits Arbain, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Agar Rizki Mendapat Keberkahan



Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri


MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?

Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?

Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]

DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.

بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba/34 : 15]

Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.

Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]

Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan” [4]

Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?

DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.

Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf/7 : 96]

Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.

Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.

Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا

“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah/28: 78]

Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان

“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]

Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]

Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.

Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]

Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]

Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” [Al-Kahfi/18 : 82]

Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]

Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم

“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]

Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق عليه)

“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun ‘alaih]

Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]

Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.

AMAL SHALIH MEMBANTU MENDATANGKAN KEBERKAHAN
Setelah terpenuhi dua syarat diatas, keberkahan juga bisa diraih berkat beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya sebagai berikut.

Pertama : Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia, melainkan datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas dasar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucapkan hamdalah, dan selanjutnya menafkahkan sebagai kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang telah mendapatkan taufik untuk bersyukur, ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan kenikmatan baginya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan ingatlah tatkala Rabbmu mengumandangkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” [Ibrahim/14 : 7]

Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” [An-Naml/27: 40]

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Manfaat bersyukur tidak akan dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia berhak mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum dicapai” [8]

Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. (yang artinya) : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugrahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara” [Saba : 15-16]

Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan tenteram, Allah subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur. Ini menunjukkan, dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka dapatkan.

Kedua : Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah), merupakan salah satu amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah/2 : 276]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. متفق عليه

“Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah kepada orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” [Muttafaqun alaih]

Ketiga : Bekerja Mencari Rizki Dengan Hati Qona’ah, Tidak Dipenuhi Ambisi dan Tidak Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qona’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ. فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله لَهُ بَارَكَ الله لَهُ فِيْهِ وَوَسَّعَهُ . وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ لَهُ وَلَمْ يَزِدْهُ عَلَى مَا كُتِبَ لَهُ) رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني

“Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi” [HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Al-Munawi rahimahullah menyebutkan : “Penyakit ini (yaitu tidak puas dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya, pent) banyak dijumpai pada pemuja dunia. Hingga engkau temui salah seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya ; merasa hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain dan menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan senantiasa membanting tulang untuk menambah hartanya , sampai umurnya habis, kekuatannya sirna ; dan ia pun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang digapainya dan rasa letih. Dengan itu, ia telah menyiksa tubuhnya, menghitamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidak akan memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan pailit. Dia tidak mensyukuri yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan” [9]

Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan agama dan diri dalam setiap usaha yang ditempuhnya guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh, melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan telah menjaga kehormatan dirinya.

Keempat : Bertaubat Dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab terhalangnya rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Hud Alaihissallam bersama kaumnya.

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuta dosa” [Hud/11 : 52]

Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ‘Ad –berdasarkan keterangan para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan, sehingga tidak seorang wanita pun yang bisa melahirkan anak. Keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, Nabi Hud Alaihissallam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar. Sebab, dengan taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan hujan, dan mengaruniai mereka anak keturunan. [10]

Kelima : Menyambung Tali Silaturahmi
Di antara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup, yaitu menyambung tali silaturrahim. Ini merupakan upaya menjalin hubungan baik dengan setiap orang yang akan terkait hubungan nasab dengan kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . ( متفق عليه )

“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim” [Muttafaqun ‘alaih]

Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya, ialah umurnya diberkahi, diberi taufiq untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [11]

Keenam : Mencari Rizki Dari Jalan Yang Halal.
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta, ialah memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَسْتَبْطِئُوْا الرِّزْقَ ، فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ الْعَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَهُ آَخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلوُاْ فِيْ الطَّلَبِ: أَخْذِ الْحَلَالِ، وَترَكِ الْحَرَامِ.

“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim]

Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah/2 : 276]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata :”Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya akibat harta tersebut” [12]

Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang merasakan keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.

Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari rizki, termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang meminta-minta.

(ما يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ). متفق عليه

“Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain, hingga kelak akan datang pada hari Kiamat, dalam keadaan tidak ada secuil daging pun melekat di wajahnya” [Muttafaqun alaih]

Ketujuh : Bekerja Saat Waktu Pagi.
Di antara jalan untuk meraih keberkahan dari Allah, ialah menanamkan semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan sifat malas sejauh-jaunya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidup kita.

Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan mencari rizki, ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan do’a keberkahan.

اللَّهُمَّ باَرِكْ لِأُمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا ( رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجة وصححه الألباني )

“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan, lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktifitas manusia. Saat itu pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.

Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus pasukan perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di pagi hari, sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.

Contoh lain dari keberkahan waktu pagi, ialah sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Shakhr Al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu perawi hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah ia mengirimkan barang dagangannya kecuali di pagi hari. Dan benarlah, keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan, perniagaannya berhasil dan hartanya melimpah ruah. Dan berdasarkan hadits ini pula, sebagian ulama menyatakan, tidur pada pagi hari hukumnya makruh.

Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Apa yang telah saya paparkan di atas hanyalah sebagai contoh

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini dapat berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau membacanya. Tak lupa, bila pemaparan diatas ada kesalahan, maka hal itu datang dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada Allah. Dan bila ada kebenaran, maka itu semua atas taufik dan inayah-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment