Tuesday, October 1, 2013

Menyoroti Shalat Arba’in Di Masjid Nabawi


Hadits Shalat Arba’in

Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : ‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdurrahman bin Abir Rijal.

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3]

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5]

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” [9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat karena Allah, selama empat puluh hari, secara berjama’ah, dengan selalu mendapatkan takbir yang pertama (bersama imam); niscaya akan diberikan kepadanya kebebasan (keselamatan) dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Kecuali riwayat Bahsyal, yang redaksinya berbeda yaitu:

مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلاَةَ الْغَدَاةِ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat shubuh bersama imam (yakni: secara berjama’ah) selama empat puluh hari; niscaya ia akan terbebas dari dua hal, yaitu : neraka dan kemunafikan.

Redaksi ini juga tidak ada penyebutan tempat secara khusus. Wallahu a’lam.

Sanad hadits ini hasan, disebabkan oleh dua orang perawi dalam sanadnya yang tidak sampai derajat tsiqah. Keduannya adalah : Thu’mah bin ‘Amr dan Salm bin Qutaibah.

Thu’mah bin ‘Amr, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberinya derajat tsiqah, seperti : Ibn Ma’in [12], Abu Hatim [13] dan yang lainnya. Ibn Hibban rahimahullah juga menyebutkan nama beliau dalam kitabnya al-Tsiqat [14]. Pandangan yang berbeda disampaikan al-Daruquthniy, beliau berkata, “dia tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap boleh dijadikan sandaran.”[15]

Perkataan inilah yang kemudian menurunkan derajat Thu’mah dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah “Shaduq ‘abid (bisa dipercaya dan ahli ibadah).”[16]

Keadaan Salm bin Qutaibah juga tidak jauh beda, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberikannya derajat tsiqah, di antaranya: Ibn Ma’in [17], Abu Zur’ah [18], Abu Dawud [19], Abu Hatim [20], al-Daruqthniy [21] dan yang lainnya. Hanya saja Abu Hatim mengatakan, “....(beliau) banyak salahnya....”. dan Abu Hatim termasuk ulama ahli hadits yang perkataannya sangat kuat dalam hal ini. Pandangan beliau ini menyebabkan derajat perawi ini turun dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar. [22]

Kemudian, Thu’mah bin ‘Amr yang meriwayatkannya dari Habib bin Abu Tsabit (riwayat al-Tirmidzi) diikuti oleh khalid bin Thahman, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad [23] dengan sanad beliau dari Qais bin al-Rabi’, dari khalid bin Thahman, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik; secara marfu’ dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan matn sebagai berikut:

مَنْ لَمْ تَفُتْهُ الرَّكْعَةُ الأُوْلَى أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، كَتَبَ آللَّهُ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةُ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa tidak pernah terlewatkan raka’at pertama (dalam shalat) selama empat puluh pagi (hari), niscaya Allah akan mengganjarnya dengan dua keselamatan; keselamatan dari neraka, dan keselamatan dari kemunafikan.

Qais bin al-Rabi’ diikuti oleh ‘Aِِtha’ bin Muslim, yang juga meriwayatkannya dari Khalid bin Thahman, dan seterusnya; secara marfu’, sebagaimana yang disebutkan oleh ad-Daruquthniy dalam kitabnya al-‘Ilalul Waridah [24]

Namun, riwayat mereka berdua (Qais bin al-Rabii’ dan ‘Athaa’ bin Muslim) ternyata diselisihi oleh riwayat berikut:

1. Waki’, yang disampaikan oleh: at-Tirmidzi [25], dan Ibn ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil [26]
2. Abu Usamah, yang disampaikan oleh : al-Baihaqi dalam Su’abul Iman [27]
3. Ahmad bin Yunus, yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Muttafiq wal Muftariq[28]
4. Sufyan al-Tsauri, dan Qurrah bin ‘Isa, yang keduanya disampaikan oleh Bahsyal dalam Tarikh Wasith” [29], dengan redaksi yang sama seperti riwayat Bahsyal sebelumnya.

Semuanya (Waki’, Abu Usamah, Ahmad, Sufyan dan Qurrah) meriwayatkan dari Khalid bin Thahman (Abul ‘Ala al-Khaffaf), dari Habib bin Abu Habib (Ab ‘Amirah al-Bajali al-Iskaf), dari Anas bin Malik secara mauquf ; dari perkataan Anas, dan tidak menjadikannya marfu’ dengan redaksi yang hampir sama dengan riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya, tanpa ada penyebutan tempat secara khusus, baik tempat maupun jenis shalat tertentu. Kecuali riwayat Abu Usamah yang disampaikan oleh al-Baihaqi, redaksinya sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، صَلاَةَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ الآخِرَةِ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat selama empat puluh hari dengan berjama’ah, shalat fajr (subuh) dan ‘Isya’; niscaya akan diganjar dengan kebebasan dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Riwayat mereka inilah yang kemudian dianggap lebih kuat (rajih) dan lebih terjaga (mahfudh), sebab tiga di antaranya adalah para perawi yang tidak diragukan lagi ketsiqahan (kafabelitas) mereka dalam meriwayatkan hadits, yaitu : ًWaki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), Sufyan al-Tsauriy dan Ahmad bin Yunus [30], sedangkan derajat para perawi yang menyelisihi mereka, yaitu : Qais bin ar-Rabi’ dan ‘Atha’ bin Muslim, tidak bisa disamakan dengan ketiga imam ini. [31].

Walaupun demikian, sanadnya masih bermasalah. Sebab, Habib bin Abu Habib tidak disebutkan dan tidak dijelaskan kondisi dan derajatnya oleh para ulama ahli hadits, kecuali Imam Ibn Hibban, yang hanya menyebutkan nama beliau dalam kitab al-Tsiqat [32]. Imam ad-Daruquthni menyebutkan nama Habib bin Abu Habib) dalam kitab al-Dhu’afa’ wal Matrukun [33].

KESIMPULAN
Hadits yang mengandung perintah untuk shalat sebanyak empat puluh kali (arba’in shalah) di masjid Nabawi adalah hadits yang dla’if, sebagaimana dijelaskan tadi. Bahkan bisa dihukumi hadits mungkar [34], karena menyelisihi hadits-hadits lainnya yang mengandung perintah untuk shalat selama empat puluh hari tanpa pengkhususan masjid Nabawi (arba’in yaum atau arba’in shabah / arba’in lailah). Walaupun, kita perhatikan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan arba’in yaum atau arba’in shabah/ arba’in lailah. Semuanya tidak lepas dari ‘illah, baik yang terlihat dan diketahui atau pun tidak, ditambah lagi adanya banyak perbedaan (idlthirab) dalam redaksi (matn)nya, karena sebagiannya bersifat umum dan sebagiannya lagi ada yang mengkhususkan shalat tertentu. Namun, dengan berkumpulnya sejumlah riwayat itu, bisa kita katakan bahwa haditsnya menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.

TAMBAHAN
Ini sekaligus sebagai nasihat bagi sebagian kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, yang masih sangat yakin tentang keharusan untuk melaksanakan shalat sebanyak empat puluh kali shalat secara bertutut-turut di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kiranya lebih memperhatikan dan merenungi hadits yang jelas-jelas shahih yaitu:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini muttafaq ‘alaih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa derajatnya lebih shahih dari hadits-hadits shalat arba’in di atas. Hadits ini lebih umum dan tidak ada pengkhususan tempat juga tidak ada penyebutan batas waktu tertentu.
Wallahu a’lam

(Ustadz Astinizamani Lc : Beliau sedang menempuh kuliah S2 Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah KSA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Menyoroti Shalat Arba’in Di Masjid Nabawi


Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA


MUQADIMAH
Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat berkunjunga ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan memiliki kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyemai dakwah Islam di sana. Oleh karena itu, meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, namun para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukan para jamaah haji selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi. Tulisan ini mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam.

KEUTAMAAN SHALAT DI MASJID NABAWI.
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allah Azza wa Jalla telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah Azza wa Jalla telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.” [HR. Al-Bukhari no.1190 dan Muslim no 505]

Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari di tempat yang lain. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.

APA ITU SHALAT ARBA'IN?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka tebebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ صَلَّ فِي مَسجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاَةً، لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنْ الْعَذَابِ، وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ

Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. [HR. Ahmad no.12.583 dan ath-thabrani dalam al-ausath no. 5.444]

Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa ulama seperti al-Mundziri rahimahullah, al-Haitsami rahimahullah dan Hammad al-Anshari rahimahullah [1] karena Ibnu Hibban rahimahullah memasukkan Nubaith bin Umar, salah seorang perawi hadits tersebut dalam kitab ats-Tsiqat. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul), dan para Ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban rahimahullah memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul ke dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).

Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini ?[2]

Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albani, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi) [3]. Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PRAKTEK SHALAT ARBA'IN
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:

1. Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal. [HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no.154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari]

2. Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelang kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memperhatikan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in ? jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampal buruk atau dipahami secara salah.

Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim – salah satu ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, ”Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.”[4]

3. Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan meyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebaian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in. [5]

Adapun jamaah haji Indonesia, insya Allah tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.

Disamping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.

4. Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang sakit keras demi mengejar keautamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.

5. Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini:

عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi bahwa ia telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,”wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata,”aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada shalat di kamar depan. Shalatmu dikamar depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid dibagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allah. [HR. Ahmad no.27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar]

Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jammah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid Radhiyallahu anhuma yang begitu menaati sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji yang kadang shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.

ADA ARBA'IN LAIN.
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat karena Allah Azza wa Jalla empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. [HR at-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan : para rawinya tsiqah] [6]

Dibanding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa pendapat yaitu :

1. Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari. Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.

2. Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi.

JANGAN LEWATKAN PAHALA JIHAD DI MASJID NAWABI
Diakhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلَّا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa mendatangi masjidku ini tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ini dia pelajari atau ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datan untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” [HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani]

Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah suq al ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya. [7]

Jika anda paham bahas arab, anda bisa belajar langsung kepada para ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau mengadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini Insya Allah akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari Anda.

Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para Ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para Ulama haramain atau para ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para shahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.

KHATIMAH
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadits arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan diatas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allah membimbing kita dan kaum Muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cintai dan ridhai.
Amin.

Referensi:
1. Adhwa’ul bayan fi idhahil Qur’an bil Qur’an, syaikh Muhammad amin asy-syinqithi, darul Fikr.
2. Al-bahtsul amin fi haditsil Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
3. At-Targhib wat Tarhib, al-Mundziri.
4. Fadhlul Madinah, syaikh abdul muhsin al’abbad.
5. Fatawa al-Lajnah Daimah,
6. Majma’ az-zawaid wa manba’ al-fawa’id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
7. Majmu’ fatawa syaikh Bin Baz, Muhammad asy-syuwai’ir.
8. Mir’atul mafatih syarh misykatil mashabih, abul hasan alMubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
9. Shahihut Targhib wat tarhib, al-albani, Maktabah al-Ma’arif.
10. Silsilah al-ahadits adh-dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
11. Takhrij ahadits ihya ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘ashimah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/content/
_______

No comments:

Post a Comment