Friday, May 11, 2012

Pilar-Pilar Ibadah Dalam Islam


Pilar-Pilar Ibadah Dalam Islam


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya serta meneladani Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui hakikat ibadah yang sebenarnya agar amalan yang dikerjakannya diberikan ganjaran kebaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang di-cintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Barang-siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-pilar ‘Ubudiyyah yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus dibarengi dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Sedangkan orang-orang yang beriman mereka sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata[1]: “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq [2], barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan raja’, maka ia adalah murji’ [3]. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [4]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [5]

Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan adanya dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

أَسْلَمَ وَجْهَهُ “Menyerahkan diri,” artinya memurnikan ibadah kepada Allah. وَهُوَ مُحْسِنٌ “Berbuat kebajikan,” artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“... Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasuulullaah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[6]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Syirik Dan Macam-Macamnya


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa syirik merupakan bentuk kemaksiatan yang paling besar kepada Allah Azza wa Jalla, syirik merupakan sebesar-besar kezhaliman, sebesar-besar dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mengetahui tentang syirik dan berbagai macamnya merupakan jalan untuk dapat menjauhi-nya dengan sejauh-jauhnya.

A. Definisi Syirik
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah serta Asma dan Sifat-Nya [2]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Syirik ada dua macam; pertama syirik dalam Rububiyyah, yaitu menjadikan sekutu selain Allah yang mengatur alam semesta, sebagaimana firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ لَا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

“Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.’” [Saba’: 22]

Kedua, syirik dalam Uluhiyyah, yaitu beribadah (berdo’a) kepada selain Allah, baik dalam bentuk do’a ibadah maupun do’a masalah [3].”

Umumnya yang dilakukan manusia adalah menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah adalah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah di samping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a, dan sebagainya kepada selain-Nya.

Karena itu, barangsiapa menyembah dan berdo’a kepada selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“... Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]

Diriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ (ثَلاَثًا)، قَالُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: َاْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ -وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ-: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ. قَالَ: فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali.) Mereka (para Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Ra-sulullah.” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” -Ketika itu beliau bersandar lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:- “Dan ingatlah, (yang ketiga) perkataan dusta!” Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami berharap beliau diam.” [4]

Syirik (menyekutukan Allah) dikatakan dosa besar yang paling besar dan kezhaliman yang paling besar, karena ia me-nyamakan makhluk dan Khaliq (Pencipta) pada hal-hal yang khusus bagi Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia telah menyamakannya dengan Allah dan ini sebesar-besar kezhaliman. Zhalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.[5]

Contoh-contoh perbuatan syirik, di antaranya adalah orang yang memohon (berdo’a) kepada orang yang sudah mati, baik itu Nabi, wali, maupun yang lainnya. Perbuatan ini adalah syirik.

Berdo’a (memohon) kepada selain Allah, seperti berdo’a me-minta suatu hajat, isti’anah (minta tolong), istighatsah (minta tolong di saat sulit) kepada orang mati, baik itu kepada Nabi, wali, habib, kyai, jin maupun kuburan keramat, atau minta rizki, meminta kesembuhan penyakit dari mereka, atau kepada pohon dan lainnya selain Allah adalah syirik akbar (syirik besar).

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah, maka ia musyrik kafir.” [6]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain bersama Allah, padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” [Al-Mukminuun: 117][7]

B. Ancaman Bagi Orang Yang Berbuat Syirik
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak bertaubat kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah (berbuat syirik), maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48] Lihat juga [An-Nisaa': 116].

2. Diharamkannya Surga bagi orang musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zha-lim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’aam: 88]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” [Az-Zumar: 65]

Dua ayat ini menjelaskan barangsiapa yang mati dalam ke-adaan musyrik, maka seluruh amal kebaikan yang pernah dilaku-kannya akan dihapus oleh Allah, seperti shalat, puasa, shadaqah, silaturahim, menolong fakir miskin, dan lainnya.

4. Orang musyrik itu halal darah dan hartanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ

“...Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian...” [At-Taubah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa Jalla.”[8]

Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemunkaran yang paling munkar.

C. Jenis-Jenis Syirik
Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.

1. Syirik Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja.[9] Allah Ta’ala berfirman:

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.’” [Yunus: 10]

Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.

Syirik besar ada banyak [10], sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:[11]

Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]

Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]

Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]

Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]

2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:

Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucap-an dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” [12]

Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.

Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:

وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.

“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’” [13]

Contoh lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:

مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.

“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”

Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah:

مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.

“Atas kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”

Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.

“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan:

مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.

‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.’” [14]

Kata ثُـمَّ (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]

Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [15]) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.[16]

Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin men-dapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.

Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesung-guhnya aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [17]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ.

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya'.” [18]

Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.

Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ.

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [19]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[20]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

• Penamaan ‘Aqidah menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka. [5]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]

3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]

5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama. [9]

6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]

7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

• Penamaan ‘aqidah menurut firqah (sekte) lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah [12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih men-dalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang AllahSubhanahu wa Ta'alal menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama [16]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[17]

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[18]

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menegakkan agama-Nya...” [19]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[20]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[22] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Mengapa Tidak Semakin Mendekat Kepada Allah?


Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Ketika bencana terjadi secara beruntun, mengapa banyak manusia semakin merendahkan diri dan semakin mengagungkan para pembesar jin yang diyakini sebagai penguasa laut, gunung-gunung, hutan-hutan atau tempat-tempat tertentu lainnya? Mengapa Allah sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta sesungguhnya, sekaligus sebagai pembuat bencana, justeru ditinggalkan, dilupakan dan diabaikan? Adakah pembesar-pembesar jin itu –meskipun mereka berkoalisi- mampu mengatasi bergolaknya gelombang laut dan mampu mengendalikan lahar-lahar dan awan panas jika Allah, Penguasa alam semesta ini, menghendaki terjadinya?

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang dapat mengabulkan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepadanya, dan yang dapat menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). [an Naml/27 : 62].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan : Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan bahwa hanya Dia sajalah yang akan dimohon ketika ada kesulitan-kesulitan berat, dan hanya Dia sajalah sandaran harapan ketika turun bencana-bencana. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam ayat lain:

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah (dari ingatan kamu) sesembahan yang biasanya kamu seru kecuali Allah. [al Israa`/17 : 67].

ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan bila kamu ditimpa oleh kemadharatan, maka hanya kepada Allah sajalah kamu meminta pertolongan. [an Nahl/16 : 53].

Maksudnya, tidak ada Dzat yang dapat dijadikan tempat berlindung oleh orang yang terhimpit kesulitan kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat melepaskan marabahaya dari seseorang kecuali Dia saja.[1]

Sementara Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan : Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa kaum musyrikin dari bangsa Arab dan semisalnya, dahulu benar-benar mengetahui bahwasanya tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang terdesak dalam himpitan berat dan tidak ada yang dapat menghilangkan kesulitan kecuali Allah saja. Kemudian Allah menyebutkan pengetahuan mereka itu di sini sebagai hujjah pematah bagi tindakan mereka yang (meskipun sudah mengetahui hanya Allah saja yang dapat melepaskan seseorang dari himpitan kesulitan, tetapi tetap) menjadikan selain Allah sebagai pemberi syafa’at. Karena itulah Allah selanjutnya berfirman:

أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ

Apakah di samping Allah ada sesembahan yang benar selainNya?[an Naml/27:62]

Maksudnya, adakah sesembahan selain Allah yang dapat memberikan pertolongan? Jika sesembahan-sesembahan mereka tidak mampu mengabulkan pertolongan pada saat mereka dalam kesulitan, maka seharusnya mereka tidak menjadikannya sekutu-sekutu bagi Allah.[2]

Kenyataannya, banyak orang sekarang tidak bertambah dekat kepada Allah pada saat mendapat himpitan keadaan yang berat seperti bencana dan lainnya. Sebaliknya justeru semakin durhaka kepadaNya Azza wa Jalla. Mereka bukan memohon pertolongan kepada Allah, tetapi malah mencari solusi dan alternatif lain yang justeru mendatangkan murkaNya. Ironisnya, hal ini dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dewasa ini yang hidup di era moderen.

Padahal kaum musyrikin pada masa jahiliyah di Arab dahulu ketika dihadapkan pada keadaan genting dimana nyawa seakan berada di ujung tanduk, mereka segera berlindung kepada Allah dengan tulus ikhlas dan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). [al Ankabut/29 : 65]

Mereka dengan ikhlas kembali kepada Allah pada saat mengalami keadaan genting, meskipun mereka kembali lagi pada kemusyrikannya setelah terbebas dari kesulitan.

Tetapi banyak orang sekarang, meskipun terhimpit oleh keadaan yang menyulitkan, bahkan terancam oleh kematian, seakan-akan tidak meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya penolong yang kuasa melepaskan seseorang dari kesulitan, dan tidak ada siapapun selainNya yang dapat melakukannya. Oleh sebab itulah mereka enggan mendekatkan dirinya kepada Allah dengan meningkatkan semangat beribadah dan meninggalkan perbuatan syirik, khurafat, bid'ah dan kemaksiatan. Mereka justeru mencari pelarian kepada dukun-dukun atau ke tempat-tempat keramat atau benda-benda penangkal atau kepada pembesar-pembesar jin yang diyakini sebagai penunggu atau pengendali kawasan tertentu. Mereka ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Apakah ini pertanda, orang sekarang yang hidup di era teknologi serba canggih lebih terbelakang sikap hidupnya dibanding dengan orang-orang dahulu yang memiliki sebutan jahiliyah? Ataukah ini merupakan pertanda hari kiamat makin dekat sebab batas antara muslim dengan orang musyrik semakin tidak jelas?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dan tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah di antara umatku bergabung dengan kaum musyrikin, dan sampai kabilah-kabilah di antara umatku menyembah berhala. Dan sesungguhnya akan ada di tengah umatku para pendusta yang berjumlah tiga puluh, semuanya mengaku nabi. Padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.[3]

Itulah fakta yang ada, sebagian orang sekarang, ketika berada dalam kesulitan, tidak tergerak hatinya untuk menyadari bahwa Allah-lah Penguasa tunggal yang menjadi tempat berlindung dari segala marabahaya. Apalagi ketika mereka dalam keadaan lapang dan senang. Ketika bencana semakin banyak melanda, maka semakin bersemangat pula sebagian orang memuja setan dan semakin tidak percaya kepada Allah. Padahal semakin banyak orang berbuat durhaka kepada Allah, jaminan keamanan dan ketenteraman dari Allah akan semakin sirna, bahkan tidak mustahil jika Allah justeru akan semakin banyak menimpakan bencana di dunia sebelum di akhirat. Dan bencana akhirat tentu lebih mengerikan daripada bencana dunia.

Allah Azza wa Jalla berfirman, di antaranya:

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ بَغْتَةً أَوْ جَهْرَةً هَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الظَّالِمُونَ

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika datang siksaan Allah kepadamu dengan sekonyong-konyong atau terang-terangan, maka adakah yang dibinasakan (Allah) selain orang-orang yang zhalim. [al An'am/6 : 47].

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Sesungguhnya kebinasaan yang menyelimuti diri-diri orang-orang zhalim hanyalah disebabkan oleh kemusyrikan kepada Allah. Dan selamatlah orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi Allah. Maka orang-orang yang beribadah ini tidak diliputi rasa takut dan tidak pula kesedihan. [4]

Allah juga berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan. [Hud/11 : 117]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan: Kemudian Allah Ta'ala memberitakan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya berbuat zhalim kepada diri sendiri. Dan Allah tidak akan mendatangkan siksa dan adzabnya kepada suatu negeri yang penduduknya melakukan perbaikan, sampai mereka melakukan kezhaliman-kezhaliman. Tentu kezhaliman terbesar adalah kemusyrikan kepada Allah seperti telah dikemukakan di atas.

Sesungguhnya mencari solusi kepada selain Allah dengan mendekatkan diri kepada setan, misalnya dengan memberikan sesajian ke tempat-tempat tertentu yang dianggap rawan karena diyakini ada yang mbaurekso (Jawa : menunggu, mengusai), atau melakukan upacara-upacara tertentu untuk meminta keselamatan kepada selain Allah, seperti ruwatan, sedekah bumi, sedekah laut dan lain-lain, adalah perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an Nisaa`/4 : 48]

Oleh karena itu, hendaknya orang menjauhi perbuatan-perbuatan syirik semacam itu. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim (musyrik). Jika Allah menimpakan suatu madharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[Yunus/10 : 106-107].

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1307H-1376H, menjelaskan firman Allah pada ayat di atas:

فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ

(sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim).

Kezhaliman di sini maksudnya adalah syirik. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

[sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. –Luqman/31 ayat 13].[6]

Maksudnya, pelaku yang berbuat demikian itu (memohon kepada sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan madharat) termasuk orang musyrik. Seperti yang juga dikatakan oleh Imam ath Thabari dalam tafsirnya tentang ayat di atas : "Termasuk orang-orang yang zhalim" ialah termasuk orang-orang yang musyrik kepada Allah, zhalim kepada diri sendiri [7]. Dan ayat ini merupakan salah satu dalil yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah tentang syiriknya ber-istighatsah (mengeluhkan masalah untuk mencari solusi) kepada selain Allah.

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh mengatakan [9] : Banyak ayat senada dengan ayat di atas. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ

Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) ilah yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di 'azab. [asy Syu'ara/26 : 213].

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللَّهِ مَن لَّا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

Dan tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do'a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh bagi mereka (para penyembahnya) dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. [al Ahqaf/46 : 5-6].

Para ulama menjelaskan, maksud ayat di atas ialah tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang meminta-minta dan melakukan persembahan kepada selain Allah yang berupa patung-patung serta meminta-minta kepada sesuatu yang tidak dapat memberikan apa-apa hingga hari kiamat. Patung-patung dan sesembahan-sesembahan selain Allah itu tidak akan mendengar permintaan dan tidak akan menyambut panggilan para pemintanya. Bahkan pada hari kiamat para sesembahan selain Allah tersebut akan menjadi musuh bagi para pemintanya. [11]

Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ
إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Dan makhluk-makhluk yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan berita kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Allah Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35 : 14 - 15]. [12]

Memotong hewan untuk dipersembahkan kepada yang diyakini sebagai penunggu laut selatan atau penunggu gunung berapi supaya tidak murka dan mengamuk hingga terjadi tsunami, gempa, gunung meletus atau bencana-bencana lainnya, juga jelas merupakan perbuatan syirik, dilaknat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hanya dilakukan oleh orang-orang terbelakang. Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَسُرَيْجُ بْنُ يُونُسَ كِلَاهُمَا عَنْ مَرْوَانَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ عَامِرُ بْنُ وَاثِلَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ قَالَ فَقَالَ مَا هُنَّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ. (أخرجه مسلم)

Zuhair bin Harb dan Suraij bin Yunus telah menceritakan kepada kami, kedua-duanya dari Marwan. Zuhair berkata,”Marwan bin Mu'awiyah al Fazari telah menceritakan kepada kami (bahwa) Manshur bin Hayyan telah menceritakan kepada kami, (bahwa) Abu ath Thufail 'Aamir bin Waatsilah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya pernah berada di hadapan Ali bin Abi Thalib, kemudian datanglah seorang laki-laki seraya berkata: ‘Apakah yang pernah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rahasiakan kepadamu?’ Abu ath Thufail berkata: Maka Ali marah seraya berkata: ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikannya kepada manusia. Hanya saja beliau menceritakan kepadaku tentang empat perkataan,’ maka orang itu bertanya: ‘Apakah empat perkataan itu?’ Ali menjawab: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi orang yang berbuat bid'ah (atau berbuat kejahatan), dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-tanda batas tanah".[13]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar zaman ini yang wafat beberapa tahun lalu, menjelaskan: "Menyembelih binatang untuk maksud mendekatkan diri dan mengagungkan selain Allah hukumnya syirik akbar, mengeluarkan pelakunya dari Islam".[14]

Lebih lanjut beliau rahimahullah menerangkan arti laknat Allah. Beliau menerangkan, laknat dari Allah artinya menjadikan terusir dan jauh dari rahmat Allah. Apabila dikatakan: Allah melaknatnya, berarti: Allah mengusir dan menjauhkannya dari rahmatNya. Apabila dikatakan: Ya Allah laknatlah Fulan, artinya: Ya Allah, jauhkanlah Fulan dari rahmatMu." [15]

Demikian pula memakai gelang dari besi, perak, emas, tembaga, benang, janur, akar bahar atau yang semacamnya untuk maksud tolak bala atau menghilangkan bala, juga termasuk perbuatan syirik.

Mengapa? Karena orang yang membuat sebab, -misalnya sebab kesembuhan atau sebab kesuksesan, padahal Allah tidak pernah menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar'i maupun secara takdir- [16] berarti ia telah mempersekutukan Allah. Karena ia menganggap selain Allah dapat membuat sebab [17]. Namun syirik yang dimaksud pada pembahasan terakhir ini, bisa syirik asghar/kecil (tidak sampai mengeluarkan dari agama), bisa pula syirik akbar (yang mengeluarkan dari agama); tergantung pada keyakinan pemakainya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. [18]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah membawakan dalil-dalil tentang syiriknya hal ini, antara lain firman Allah :

قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan madharat kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan madharat itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya.Katakanlah:"Cukuplah Allah bagiku".Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.'' [az Zumar/39 : 38]

Dan masih banyak nash lain, baik dari al Qur`an maupu hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesimpulannya, dari pemaparan ayat-ayat serta hadits-hadits di atas, menunjukkan bahwa makhluk, siapapun adanya, baik malaikat, para nabi, apalagi setan, jin dan apalagi makhluk-makhluk yang sudah mati atau benda-benda mati, tidak akan dapat memberikan manfaat apapun dan madharat apapun. Maka memohon, mendekatkan diri dan merendahkan diri dengan melakukan persembahan kepada makhluk-makhluk ini hukumnya syirik. Orang akan hancur dan binasa karenanya.

Ketika umat banyak mendapat musibah dan bencana hingga mengakibatkan lenyapnya nyawa, harta benda dan tempat tinggal serta kesengsaraan-kesengsaraan duniawi lain, mestinya mereka semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak bertaubat, meluruskan dan meningkatkan ibadahnya kepada Allah, menjauhi kemusyrikan, bid'ah, khurafat, takhayul dan maksiat. Sebab Allah-lah penolong satu-satunya. Hanya Dia saja yang kuasa memberikan solusi sebaik-baiknya dan Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

Marilah kembali ke jalan lurus. Dan hendaknya setiap insan menyayangi dirinya, apalah arti hidup di dunia ini jika kelak di akhirat mengalami kesengsaraan tak berkesudahan di neraka akibat perbuatan syirik yang dilakukannya di dunia hanya karena tidak sabar menghadapi cobaan atau bahkan lebih percaya pada keyakinan-keyakinan batil kepada dukun, tempat tertentu atau penunggu tempat tertentu. Nas'alullaha al 'Afiyah was Salamah min Kulli asy Syirki.

Maraji':
1. Tafsir al Qur`anul ‘Azhim, Ibnu Katsir, taqdim Abdul Qadir al Arna'uth, Darul Fa-iha` dan Darus Salam. Cet. I, 1414H/1994M.
2. Tafsir Taisir al-Karimir-Rahman, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as Sa'di, Masyru' Maktabah Thalib al Ilmi, Jum'iyyah Ihya'ut Turats al Islami, Kuwait, Cet. I, 1418H/1997M dalam 2 jilid.
3. Tafsir Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Aayil Qur`an, atau dikenal dengan Tafsir ath Thabari, dhabt wa ta'liq Mahmud Syakir, Daarut Turats al Arabi, Cet. I, 1421H/2001M.
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha, Darul Ma'rifah, Beirut, Cet. III, 1417H/1996M.
5. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh al Albani, III/9, Maktabah al Ma'arif, Cet. II, 1421H/2000M.
6. Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, tash-hih dan ta'liq Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Masyru' Idarah al Masajid wal Masyari' al Khairiyah, Riyadh (Maktabah Darus-Salam dan Maktabah Darl Faiha'), Cet. I, 1413H/1992M.
7. Al Qaulul Mufid 'ala Kitabut Tauhid, yang dikumpulkan, ditulis dan ditakhrij oleh Dr. Sulaiman bin Abdillah bin Hamud Abal Khail dan Dr. Khalid bin Ali al Musyaiqih, Daarul 'Ashimah, Cet. I, 1415H.
8. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Rasul Tugas Dan Kekhususannya


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi



Mengenal para rasul yang diutus kepada umat manusia merupakan perkara penting dan sangat dibutuhkan kaum muslimin, baik berkenaan dengan iman, tugas, kekhususan dan kehidupan mereka agar dapat dijadikan suri teladan bagi manusia.

Apalagi dimasa kini dan khususnya kaum muslimin yang sudah jauh dari kenabian dan ajarannya. Sehingga sudha menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengajak saudaranya mengenal kembali permasalahan ini sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.

TUGAS PARA RASUL
1. Tugas agung mereka ialah mengajak manusia beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selainNya.[1]

Dakwah kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah merupakan dasar dan jalan dakwah para rasul seluruhnya, sebagaimana dikhabarkan Allah dalam firmanNya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu. [An Nahl:36].

Dalam ayat yang mulia ini, Allah menjelaskan tugas, dasar dakwah dan inti risalah para rasul. Yaitu mengajak kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan menjauhi segala sesembahan selainNya [2]. Hal ini juga disebutkan dalam firmanNya:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : "Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". [Al Anbiyaa’:25].

Hal ini dikarenakan para rasul diutus untuk menjelaskan jalan menuju tujuan penciptaan manusia yang Allah jelaskan dalam firmanNya:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [Adz Dzaariyaat:56].

Tauhid juga merupakan asas fithrah manusia yang diperintahkan untuk ditegakkan, sebagaimana dalam firmanNya:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepadaNya dan bertaqwalah kepadaNya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. [Ar Ruum:30-31].

Para rasul mengajak umatnya untuk mewujudkan tauhid dalam diri mereka dan dengan segala kemampuannya, mereka merealisikan dakwahnya tersebut. Cukuplah kisah Nabi Nuh dalam surat Nuh sebagai contoh kegigihan para rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada masing-masing kaumnya.

2. Menyampaikan syari’at Allah kepada manusia dan menjelaskan agama yang diturunkan kepada manusia, sebagaimana firman Allah:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [Al Maidah:67]

بِالبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan. [An Nahl:44].

3. Menunjukkan umat kepada kebaikan dan menyampaikan kabar kepada mereka tentang pahala yang disiapkan bagi pelakunya, serta memperingatkan kepada mereka dari kejelekan dan siksaan yang disiapkan untuk yang melanggarnya. Allah berfirman :

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [An Nisaa’:165].

4. Memperbaiki manusai dengan teladan dan contoh yang baik dalam perkataan dan perbuatan. Allah berfirman :

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. [Al An’am:90].

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].

5. Para rasul mempunyai tugas menegakkan dan menerapkan syari’at Allah diantara hamba-hambaNya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. [Al Maidah:49].

6. Menjadi saksi sampainya hujjah kepada manusia.

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَآؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri. [An Nahl:89].

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al Baqarah:143].

Di dalam muqadimah kitabnya, Imam Abul Qasim Al Ashbahani menyatakan : “Segala puji bagi Allah yang telah menampakkan tanda-tanda kebenaran lalu menjelaskannya, dan telah memunculkan mahaj agama ini lalu menerangkannya. Dialah yang telah menurunkan Al Qur’an lalu seluruh hujjah ada padanya dan mengutus Muhammad sebagai Rasul, sehingga memutus seluruh alasan (udzur). Lalu Rasulullah menyampaikan, bersungguh-sungguh dan berjihad, serta menjelaskan kepada umat ini jalan (kebenaran). Juga menyampaikan kepada mereka syari’at, agar mereka tidak menyatakan “Belum datang kepada kami pemberi kabar gembira (basyir) dan pemberi peringatan (nadzir)’.” [3]

Demikianlah beberapa tugas penting para nabi dan rasul.

KEKHUSUSAN PARA NABI DAN RASUL
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memilih di antara para hambaNya sebagai nabi dan rasul dengan memberikan beberapa kekhususan yang tidak dimiliki hamba-hambaNya yang lain. Di antara kekhususan para nabi dan rasul tersebut ialah:

1. Wahyu.
Allah telah mengkhususkan mereka dengan wahyu, sehingga mereka menjadi perantara Allah dengan hamba-hambaNya. Hal ini telah ditegaskan dalam firmanNya:

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku,’Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa’.” [Al Kahfi:110].

Di antara nabi dan rasul ada yang langsung berbicara dengan Allah dan ada yang melalui perantara Malaikat jibril, sehingga mereka mengetahui perkara-perkara ghaib dengan wahyu tersebut.

2. Kemaksuman (al ishmah).
Seluruh umat sepakat, para rasul memiliki kemaksuman dalam menerima risalah Allah, sehingga mereka tidak lupa sedikitpun terhadap wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Mereka juga memiliki kemaksuman dalam penyampaian wahyu tersebut kepada manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

سَنُقْرِئُكَ فَلاَتَنسَى

Kami akan membacakan (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. [Al A’laa:6].

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [Al Maidah:67]

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. [Al Haaqqah:44-47].

3. Diberi pilihan ketika akan dicabut nyawanya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَكَانَ فِي شَكْوَاهُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ أَخَذَتْهُ بُحَّةٌ شَدِيدَةٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَعَلِمْتُ أَنَّهُ خُيِّرَ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada seorang nabipun yang sakit kecuali diminta memilih antara dunia dan akhirat Pada saat sakit mendekati kematiannya, Beliau mengeluarkan suara parau sekali, sehingga aku mendengarnya. Beliau mengatakan : Bersama orang yang Allah berikan kenikmatan pada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, lalu aku tahu Beliau sedang diberi pilihan. [5]

4. Dikuburkan di tempat meninggalnya.
Bila seorang nabi meninggal dunia di suatu tempat, maka ia dikuburkan di tempat tersebut. Hal ini didasari hadits Abu Bakar, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُقْبَرَ نَبِيٌّ إِلَّا حَيْثُ يَمُوتُ فَأَخَّرُوا فِرَاشَهُ وَحَفَرُوا لَهُ تَحْتَ فِرَاشِهِ رَوَاهُ أَحْمَد

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Seorang nabi tidak dikuburkan kecuali di tempat kematiannya dengan menyingkirkan pembaringannya dan dibuat lubang di bawah pembaringannya tersebut.” [6]

5. Jasadnya tidak dimakan bumi.
Allah memuliakan jasad para nabi dengan tidak dihancurkan oleh tanah yang menguburnya, walaupun dengan rentang waktu yang sangat lama, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ

Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala mengharamkan tanah menghancurkan jasad para nabi. [7]

6. Mata mereka terpejam tidur, namun hatinya tetap sadar dan terjaga.
Dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:

تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Mataku tidur namun hatiku tidak tidur. [8]

Berkata Anas bin Malik ketika mengisahkan kisah isra’ mi’raj :

وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam matanya tidur, namun hatinya tidak tidur. Dan demikian juga para nabi, mata mereka tidur sedang hati mereka tidak tidur.[9]

7. Tetap hidup di kuburan mereka
Para nabi dan rasul walaupun telah meninggal dunia, namun mereka tetap hidup di kuburannya dalam keadaan shalat, sebagaimana diberitakan Rasulullah dalam sabdanya:

الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ

Para nabi itu tetap hidup di kuburan mereka dalam keadaan shalat.[10]

Demikianlah tugas dan kekhususan para nabi secara umum dan ringkas. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan keimanan kita secara benar terhadap mereka. Wallahu a’lam.

Maraji :
1. Tulisan Dr. Abdul Aziz Shalih Ath Thawiyaan dalam pengantar tahqiq kitab An Nubuwat karya Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tahun 1420H, Adwaa As Salaf, Riyaadh. KSA
2. Ar Rusul War Risalaah, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Cetakan Ketiga, Tahun 1405H, Maktabah Al Falaah, Kuwait.
3. Usus Manhaj As Salaf Fi Dakwah Ila Allah, karya Fawaaz Halil As Suahaimi, Cetakan Pertama, Tahun 1423H, Dar Ibnu Hazm, Kairo, Mesir.
4. Al Hujjah Fi Bayaan Al Mahajjah Wa Syarh Aqidah Ahli Sunnah, karya Abul Qasim Isma’il bin Muhammad bin Al Fadhl At Taimi Al Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Ar Rabi’ Al Madkhali, Cetakan ke-2, Tahun 1419H, Dar Al Raayah, Riyadh, KSA.
5. Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, karya Syaikh Al Alamah Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Ketiga, Tahun 1408H, Al Maktab Al Islami, Beirut.
6. Al Kutub At Tis’ah (CD).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 129/Tahun VIII/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Hidayah Hanya Milik Allah Subhanahu Wa Ta'ala



Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk". [Al Qashash/28 : 56]

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam". [At Taubah/9 : 113]

Adapun mengenai Abu Thalib, Allah berfirman:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki". [Al Qashash/28 : 56].

Dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama : Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada RasulNya, ‘Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang mengalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia kehendaki. (Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf:103).”

Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata: ‘Hidayah yang dinyatakan oleh Allah tidak dimiliki oleh Rasulullah Shllallahu 'alaihi wa sallam di sini ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wal ilham. Yaitu, Allah Subhanahu w Ta'ala menjadikan dalam hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini ke dalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paling Beliau cintai sekalipun, tidak mampu Beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.

Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.

Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ ۖ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi hidayah". [Ar Ra‘d/13 : 7].

Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ صِرَاطِ اللَّهِ

"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah". [Asy Syura/42 : 52-53]

Makna “engkau memberi hidayah” di sini ialah, engkau memberi petunjuk dan bimbingan ke jalan yang lurus dengan beragam petunjuk dan bimbingan, dengan didukung oleh sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata hidayah, dipakai untuk makna memasukkan petunjuk ke dalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh di atas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak-balikkan hati dan mengubahnya, serta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatkan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah RasulNya dusta.

Adapun petunjuk menuju ilmu, dalil, keterangan Al Qur`an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus". [Asy Syura : 52].

Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak dapat membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi mungkar, berdalih dengan ayat “Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.

Kedua : Berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh berkata: ‘Artinya, memintakan ampunan untuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lafazh hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astaghfiranna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.

Di dalam Al Qaulul Mufid 'Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al Qur`an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia” (Maryam : 35). Demikian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak” (Maryam : 92). Dan firmanNya “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Yasin : 40). Serta sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,”Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur”. [HR Muslim].

Kemudian firmanNya “mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik”, maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.

Sedangkan firmanNya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallamk meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.

Allah melarang Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak untuk dimintakan ampunan. Jika engkau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.

Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.

Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dalam Al Qur`an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud di sini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para rasul, para nabi dan para wali, serta selain mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup dari meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak mau memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau memohon kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka -saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah, atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a‘lam.”

Ketiga : Sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Ucapkanlah la ilaha illallah”, berbeda dengan yang dipahami oleh orang-orang yang mengaku berilmu.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna kalimat “la ilaha illallah”, sehingga setiap orang yang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan kekufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, menghalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan Allah, dan menjadikan para rahib atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah. Seandainya mereka mempunyai hati untuk memahami kalimat itu, tentu mereka akan mengetahui, makna la ilaha illallah ialah berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan melaksanakan hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat " [Al Baqarah : 256]”
.
Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam sendiri menyatakan, golongan Khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur`an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”Seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihain.

Jika sekadar mengucapkan la ilaha illallah sudah cukup, tentu tidak akan terjadi peperangan antara Rasulullah n dengan kaum musyrikin. Bukankah kaum musyrikin pada saat itu juga memahami kalimat la ilaha illallah, bahkan pemahamannya melebihi orang-orang yang mengaku berilmu pada zaman sekarang ini? Namun Allah telah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak memahami.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, bahwa perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (yaitu, berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu) pada point ketiga ini, seolah-olah beliau menunjuk kepada penafsiran para ahli ilmu kalam terhadap makna kalimat la ilaha illallah, yakni mereka (ahli ilmu kalam) mengatakan, bahwa al ilah (dalam kalimat tersebut) adalah Dzat yang Maha Kuasa untuk melakukan ikhtira‘ (mencipta sesuatu tanpa contoh sebelumnya), dan tidak ada yang mampu untuk melakukan ikhtira‘, kecuali hanya Allah semata. Ini adalah tafsir yang batil.

Memang benar, bahwa tidak ada yang mampu melakukan ikhtira‘ kecuali Allah, namun itu bukan makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilaha illallah. Makna yang sebenarnya ialah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Karena, kalau mengatakan la ilaha illallah bermakna tidak ada yang mampu melakukan ikhtira` kecuali Allah, maka orang-orang musyrik yang dahulu diperangi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para wanita, anak-anak, dan harta mereka beliau bolehkan untuk ditawan dan diambil, telah menjadi muslim.

Jadi, secara zhahir perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini menunjukkan bahwa (mereka yang mengaku berilmu tersebut) adalah para ahli ilmu kalam yang menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan Tauhid Rububiyah, dan begitu pula orang-orang yang menyembah Rasulullah dan para wali tetapi berani berkata, ‘Kami mengucapkan la ilaha illallah.’”

Maraji‘:
1. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh.
2. Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
3. At Tamhid Li Syarh Kitab At Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Ibad, oleh Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Rahasia Dibalik Nama Allah, As-Salam



Iman, menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah bisa bertambah dan bisa berkurang. Di antara yang menjadi faktor bertambahnya keimanan seorang muslim, ialah dengan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia.

Syaikh 'Abdurrazzâq bin 'Abdul-Muhsin al-‘Abbâd –hafizhahullah- berkata: “Sesungguhnya mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, dan hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari segala segi merupakan gerbang ilmu paling agung yang dapat menambah keimanan”.[1]

Dalam rubrik ini, kami mengajak para pembaca untuk menyelami makna as-Salâm, yang merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mulia. Nama ini tercantum dalam Al-Qur`ân dan Hadîts, serta sebagaimana ucapan para ulama.

NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA AS-SALAM DALAM AL-QUR'AN
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

هو الله الذى لآ اله الا هو الملك القدوس السلم المؤ من المهيمن العز يز الجبا ر التكبر سبحن الله عما يشر كون

"Dialah Allah, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Maha Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera (as-Salâm), Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan" [al-Hasyr/59:23]

NAMA ALLAH, AS-SALAM DALAM HADÎTS

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي الصَّلَاةِ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ مِنْ عِبَادِهِ السَّلَامُ عَلَى فُلَانٍ وَفُلَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ لَا تَقُولُوا السَّلَامُ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ وَلَكِنْ قُولُوا التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

'Abdullah (bin Mas’ud) Radhiyallahu 'anhu Berkata : Dahulu, jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami mengucapkan: "As-Salâm (keselamatan) bagi Allah dari hamba-hamba-Nya, dan as-salâm atas Fulan dan si Fulan," maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian mengucapkan as-Salâm atas Allah, karena sesungguhnya Allah itu as-Salâm, akan tetapi ucapkanlah: 'At-Tahiyât (ucapan selamat), ash-Shalawat (ibadah) dan ath-Thayyibât (pujian) bagi Allah. Salam (keselamatan) serta rahmat Allah, dan keberkahan-Nya atas anda, wahai Nabi. Dan salam atas kita dan hamba-hamba Allah yang shâlih'." [HR Bukhâri].

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

"Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, dan berkata: 'Ya Allah, Engkau adalah as-Salâm, dan dari-Mu lah keselamatan, Engkau Maha Tinggi Yang Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan'." [HR Muslim].

MAKNA AS-SALÂM
As-Salâm, secara bahasa bermakna as-Salâmah. Yaitu selamat dari aib dan kekurangan.[2]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “As-Salâm, maknanya, yang selamat dari segala aib dan kekurangan, karena kesempurnaan dzat, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya (Allah)" [3]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata: “As-Salâm, maksudnya, yang selamat dari semua kekurangan dan aib".

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “As-Salâm adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan isim mashdar, seperti al-Kalâm dan al-‘Athâ`, yang bermakna selamat. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih berhak untuk menyandangnya daripada selain-Nya, karena Dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala ) selamat dari setiap cacat, aib, kekurangan maupun celaan. Dia Subhanahu wa Ta'ala memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segi. Kesempurnaan-Nya merupakan keharusan dari Dzat-Nya. Tidaklah Dia Subhanahu wa Ta'ala kecuali Maha Sempurna.

Ada pula yang mengatakan: Yang mengucapkan salam kepada hamba-hamba-Nya di surga, berdasarkan ayat.

سلم قو لأ من رب رحيم

"(Kepada mereka dikatakan), “Salâm,” sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang" [Yâsîn/36:58].

Ada pula yang memaknai, makhluk yang selamat dari kezhaliman-Nya [4], dan inilah pendapat kebanyakan para ulama…[5]

As-Salâm, mencakup keselamatan perbuatan-perbuatan-Nya dari kesia-siaan, kezhaliman, kecurangan, dan mencakup keselamatan sifat-sifat-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk, serta meliputi kesempurnaan Dzat-Nya dari setiap kekurangan dan aib, dan meliputi keselamatan nama-nama-Nya dari setiap celaan".

Nama Allah, as-Salâm, mencakup penetapan semua kesempurnaan bagi-Nya dan peniadaan semua kekurangan dari-Nya. Ini adalah kandungan makna dari Subhnâllah wal-Hamdu lillahi” (Maha Suci Allah dan segala pujian bagi-Nya). Dan nama Allah, as-Salâm, mengandung pengesaan bagi-Nya dalam ulûhiyah (penyembahan dan pengagungan). Dan ini merupakan kandungan dari makna Lâ ilaha illallah, wallahu Akbar (tidak ada yang berhak disembah dengan haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan Dia Maha Besar). Maka nama Allah, as-Salâm, mengumpulkan al-Bâqiyâtu ash-Shâlihât (semua nama Allah yang baik dan sifat-Nya yang mulia), yang dengannya Allah Azza wa Jalla dipuji.

Di antara rincian penjelasan terhadap apa yang sudah disebutkan di atas, bahwasanya Dia adalah al-Hayyu (Yang Maha Hidup), yang selamat kehidupan-Nya dari kematian, rasa ngantuk, tidur dan perubahan. Dia adalah al-Qâdir (Yang Maha Kuasa), yang selamat kekuasaan-Nya dari kelelahan, kecapekan, keberatan dan kelemahan. Dia adalah al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), yang selamat ilmu-Nya dari ketidaktahuan terhadap sesuatu meskipun sebesar biji sawi.

Demikianlah, semua sifat-Nya berada dalam timbangan di atas. Keridhaan-Nya selamat dari kemurkaan, kelembutan-Nya selamat dari balas dendam, keinginan-Nya selamat dari kebencian, kekuasaan-Nya selamat dari kelemahan, kehendak-Nya selamat dari hal yang menyelisihinya, firman-Nya selamat dari kedustaan dan kezhaliman, bahkan Maha Sempurna kalimat-kalimat-Nya sesuai dengan keadilan dan kebenaran, dan janji-Nya selamat dari penyelisihan …" [6]

ANTARA NAMA ALLAH, AS-SALÂM DENGAN UCAPAN AS-SALÂMU ‘ALAIKUM
Makna as-Salâm dalam ucapan as-salâmu ‘alaikum, ada dua. Pertama, (semoga) barakah nama Allah as-Salâm tercurah kepada kalian. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan melontarkan salam kepada orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab. Karena as-Salâm merupakan salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, tidak boleh memintakan keberkahan bagi orang kafir dari nama Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut. Kedua, keselamatan yang dimohonkan ketika ucapan salam.

Kedua makna ini sama-sama benar. Maksudnya, barang siapa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan nama-nama-Nya yang baik, untuk dia meminta dalam setiap permintaan dan bertawassul kepada-Nya dengan nama Allah yang sesuai dengan permintaannya. Jika hal ini sudah jelas, maka ketika seseorang meminta keselamatan (as-Salaamah) yang merupakan bagian terpenting dalam hidupnya, maka dia menyebut nama Allah “As-Salaam”.

Jadi, ucapan as-salâmu ‘alaikum mencakup nama Allah, as-Salâm, dan memohon keselamatan dari-Nya.

Apabila hal ini sudah jelas, maka terbukalah tabir hikmah (rahasia) pengucapan salam ketika seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, bukan dengan doa atau ucapan lain. Karena, setiap umat memiliki ucapan salam tersendiri, seperti "selamat pagi", "semoga engkau berumur panjang", dan lain-lain. Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan kepada kaum muslimin ucapan selamat di tengah mereka dengan ucapan ”as-salâmu’alaikum”. Ucapan ini lebih utama dari semua ucapan selamat yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Karena ungkapan as-salâmu’alaikum ini mencakup keselamatan yang menjadi tonggak kehidupan dan kebahagiaan. Ini juga merupakan inti segala sesuatu. Karena harapan manusia terbagi dua. yaitu selamat dari kejelekan dan memperoleh kebaikan. Dan selamat dari kejelekan lebih diutamakan daripada memperoleh kebaikan.

Begitu pula di surga, dikarenakan surga adalah Dârussalâm, tempat keselamatan dari segala aib, kejelekan, dan cacat, bahkan selamat dari setiap perkara yang mengurangi kenikmatan hidup. Sehingga ucapan selamat para penghuni surga adalah salâmun, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengucapkan kepada mereka ucapan selamat ”As-Salâm”. Begitu pula, para malaikat mendatangi mereka dari segala pintu dengan mengucapkan :

سلم عليكم بما صبريم فنغم عقبى الدار

"Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu,” maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu" [ar-Ra’d/13:24)]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn rahimaullah berkata: “As-Salâm, bermakna doa meminta keselamatan dari setiap gangguan. Jika anda mengatakan kepada seseorang "as-salâmu'alaika", maka maksudnya, anda sedang berdoa kepada Allah untuknya agar Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkannya dari gangguan-gangguan, kegilaan, (kejahatan) manusia, kemaksiatan dan dari penyakit hati, serta dari api neraka. Ini adalah lafazh yang umum, dan maknanya adalah doa bagi seorang muslim dengan keselamatan dari segala gangguan”.[9]

KESIMPULAN DAN FAIDAH
1. Penentuan nama Allah haruslah sesuai dengan dalil dari Al-Qur`ân dan Hadiits yang shahiih, serta sesuai dengan pemahaman ulama Ahlus-Sunnah.

2. Merenungi dan memahami nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan faktor yang utama yang dapat menambah keimanan seorang muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

3. Di antara 99 asma` Allah al-Husna adalah as-Salâm. Sehingga kita wajib menetapkan hal itu.

4. Dibolehkan untuk memberi nama anak dengan 'Abdussalâm. Karena as-Salâm merupakan nama Allah. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata : “Di antara nama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah as-Salâm, dan karenanya seseorang dinamakan 'Abdussalâm, seperti halnya (nama) 'Abdullah”.

5. As-Salâm, merupakan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang kita diperintahkan untuk berdoa dengannya, sebagaimana Allah berfirman :

"Dan bagi Allah al-Asma` al-Husna, maka berdoalah kepada Allah dengannya" [al-A’râf/7:180]

6. Makna as-Salâm, ialah yang selamat (disucikan) dari segala aib, cacat dan sifat kekurangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Suci dari setiap hal yang mengurangi sifat kesempurnaan-Nya, dan dari penyerupaan makhluk terhadap-Nya, serta dari sekutu yang menandingi-Nya dalam segala segi.[11]

7. Seorang muslim wajib untuk meminta keselamatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab, keselamatan hanyalah bersumber dari-Nya [12]. Dan diharamkan baginya meminta keselamatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik kepada malaikat yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, nabi yang diutus, wali atau kiai atau habib atau tuan guru, atau makhluk lainnya.

8. Dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan hanya sekedar bacaan di bibir. Dzikir haruslah direnungkan maknanya, dan konsekwensinya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang memahami nama Allah, as-Salâm, dan menjadikannya sebagai dzikir serta doa seperti yang telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia akan selalu mensucikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ulûhiyah (ibadah), rububiyah, serta nama dan sifat-Nya dari sekutu-sekutu, maupun dari hal yang tidak layak bagi-Nya. Dan inilah jalan para nabi dan rasul, sebagaimana Allah berfirman:

"Mahasuci Rabbmu, Rabb Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam" [ash-Shâffât/37:180-182].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat di atas: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mensucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan oleh orang-orang yang menyimpang dari ajaran para rasul, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengucapkan selamat kepada para rasul, dikarenakan selamatnya ucapan mereka dari kekurangan dan aib …, maka Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah tidak menyimpang dari ajaran para rasul, karena ia adalah shirathal mustaqim”.[13]

9. Betapa indah ajaran Islam, dan alangkah mulia petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah mengajarkan ucapan salam. Sebuah ucapan yang merupakan doa keselamatan dari seorang muslim kepada saudaranya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُم

"Tidaklah kalian bisa masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian tidaklah beriman hingga kalian saling mencintai. Tidakkah kalian ingin aku tunjukkan kepada sesuatu? Jika kalian melaksanakannya, maka kalian saling mencintai. Yaitu tebarkan salam di antara kalian". [HR Muslim]

10. As-Salâm, adalah as-Salâmah (keselamatan) yang merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Semoga Allah senantiasa memberikan keselamatan kepada kita di dunia dan di akhirat.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia - Akhirat




Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin



Banyak orang salah memahami takdir. Walhasil muncul banyak kesesatan karenanya. Ada dua kubu ekstrim yang saling berlawanan arah dan sama-sama sesat dalam hal ini. Satu kubu menolak takdir. Mereka adalah Qadariyah dan Mu’tazilah serta pengikutnya. Sedangkan kubu lainnya menetapkan takdir secara salah. Mereka adalah golongan Jabriyah dan pengikutnya. Hanya kelompok yang berada di tengah dua kubu itulah kelompok yang benar. Kelompok ini adalah kelompok asli umat Islam yang memahami takdir serta mengimaninya secara proporsional, sesuai dengan dalil al Qur`an dan Sunnah sebagaimana difahami oleh Salafush Shalih.

Beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, hukumnya wajib, karena ia merupakan salah satu di antara rukun iman yang enam. Adalah sangat ironis jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun ia ragu bahkan ingkar terhadap takdir, meskipun tidak total. Seseorang yang tidak beriman kepada takdir dan mengingkarinya, maka ia kafir.

Dalam hubungannya dengan kasus pengingkaran terhadap takdir ini, Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’i, menceritakan laporannya kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu tentang Ma’bad al Juhani, tokoh Mu’tazilah pertama yang menyeret penduduk Basrah pada penolakan terhadap takdir. Maka Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang itu, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari golongan mereka dan merekapun terlepas dari golonganku”. (Selanjutnya Ibnu Umar berkata):

وَالَّذِى يَحْلِفُ بِهِ عبدُ الله بْنُ عُمَرَ ، لَوْ أنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًاَ فَأَنْفَقَهُ ، مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ، حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ. ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَ فِيْهِ:
الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ . رواه مسلم

“Demi Allah Yang dengan namaNya Abdullah bin Umar bersumpah, kalaulah ada sesorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian ia infakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya sebelum ia beriman kepada takdir”. Selanjutnya beliau berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang panjang, di antaranya.

"Iman ialah bila kamu beriman kepada Allah, kepada para malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada para rasulNya, kepada hari akhirat dan bila kamu beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk" [HR Muslim secara ringkas] [1]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, menerangkan : “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan, bahwa iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Maka barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, berarti ia telah meninggalkan dan mengingkari satu rukun agama. Kedudukan orang ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

"Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain?". [Al Baqarah : 85].[2]

عَنْ ابْنِ الدَّيْلَمِيِّ قَالَ : أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ لَهُ : وَقَعَ فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْ الْقَدَرِ فَحَدِّثْنِي بِشَيْءٍ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبِي. قَالَ : لَوْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ، وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ. قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَحَدَّثَنِي عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ . أخرجه أبو داود.

"Dari Ibnu ad Dailami (seorang tabi’i), ia berkata : Saya datang kepada Ubay bin Ka’ab, lalu saya berkata kepada beliau : 'Dalam diriku terjadi penyakit ragu terhadap takdir. Ceritakanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah akan melenyapkan keraguan itu dari dalam hatiku'.
Ubay menjawab: “Kalaulah Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan penghuni bumiNya, maka Allah menyiksa mereka bukan karena zhalim kepada mereka. Dan kalaulah Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya, maka rahmat Allah jauh lebih baik dari semua amal mereka.
Andaikata engkau berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerima infakmu sebelum engkau beriman kepada takdir dan memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, sedangkan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu.
Bila engkau mati tidak berdasarkan iman kepada takdir ini, niscaya engkau masuk ke dalam neraka”.

Ibnu ad Dailami selanjutnya berkata: Kemudian saya datang kepada Abdullah bin Mas’ud, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay bin Ka’ab. Ibnu ad Dailami berkata lagi: Kemudian aku datang pula kepada Hudzaifah bin al Yaman, beliaupun berkata seperti perkataan Ubay. Ibnu ad Dailami berkata lagi : Kemudian aku juga datang kepada Zaid bin Tsabit, beliaupun membawakan hadits kepadaku dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal yang senada dengan perkataan Ubay.[Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud].[3]

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh, membawakan beberapa riwayat lain yang senada dengan hadits di atas, di antaranya diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain. Dan pada akhirnya beliau t menyimpulkan: “Semua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mengandung ancaman keras bagi siapa saja yang tidak beriman kepada takdir. Hadits-hadits tersebut juga merupakan hujjah pemukul bagi para penolak takdir dari kelompok Mu’tazilah maupun kelompok lainnya. Sementara itu, di antara pemahaman yang dianut Mu’tazilah, ialah menyatakan, bahwa pelaku kemaksiatan akan kekal di dalam neraka. Padahal, keyakinan mereka tentang tidak ada takdir, merupakan salah satu dosa besar dan kemaksiatan yang paling besar. Dengan demikian, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir tentang wajibnya mengimani takdir yang meruntuhkan hujjah mereka, mereka sebenarnya telah menghukumi diri mereka sendiri untuk kekal di dalam neraka jika tidak bertaubat. Ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman salah mereka. Mereka ternyata menentang dalil-dalil mutawatir dari al Qur`an dan Sunnah yang mewajibkan iman kepada takdir, dan dalil-dalil mutawatir yang menolak kekalnya orang-orang bertauhid yang berbuat dosa besar di neraka”. [4]

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ ؛ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي" أخرجه أبو داود

"Ubadah bin Shamit berkata kepada anaknya: "Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan rasa hakikat iman sebelum engkau memahami bahwa apa yang menimpamu pasti tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu pasti tidak akan menimpamu. Aku mendengar Rasulullah n bersabda : “Sesungguhnya, pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya,’Tulislah!!’. Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat’."
(Ubadah melanjutkan perkataannya:) Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mati tidak atas dasar (beriman kepada takdir) ini, maka ia tdak termasuk golonganku" [HR Abu Dawud].[5]

Namun mengimani dan menetapkan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala juga harus secara benar, supaya tidak terperangkap ke dalam pemahaman Jabriyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: Iman kepada takdir meliputi dua peringkat iman. Masing-masing peringkat meliputi dua bentuk keimanan.

Pertama : Beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh segenap makhluk, dengan ilmuNya yang bersifat azali dan abadi.[6] Allah Maha mengetahui semua keadaan para maklukNya, baik berkaitan dengan ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan, rizki-rizki maupun ajal-ajal mereka. Kemudian Allah menuliskan segenap takdir makhluk ke dalam Lauh Mahfuzh".

Selanjutnya Syaikhul Islam rahimahullah membawakan dalil-dalilnya. Di antaranya hadits berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

"Sesungguhnya pertama-tama yang Allah ciptakan adalah pena (al Qalam). Lalu Allah berfirman kepadanya ‘Tulislah!!’ Pena menjawab,’Ya Rabbi, apa yang harus aku tulis?’. Allah berfirman,’Tulislah segenap ketetapan takdir bagi segala sesuatu hingga hari kiamat!". [HR Abu Dawud]. [7]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، إِنَّ ذَلِكَ فِى كِتاَبٍ، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al Hajj : 70].

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا، إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis pada kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".[Al Hadid : 22]

Berikutnya Syaikhul Islam rahimahullah melanjutkan penjelasannya:

Kedua, beriman kepada adanya kehendak dan kekuasaan Allah yang pasti berlangsung dan meliputi segalanya. Artinya, harus beriman bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak terjadi. Juga beriman bahwa tidak ada suatu gerakan apapun di langit maupun di bumi, begitu pula tidak akan terjadi sesuatupun yang diam, kecuali terjadi dengan kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi di wilayah kekuasaanNya, bila Allah tidak menghendakinya. Allah juga Maha berkuasa terhadap segala sesuatu, baik terhadap yang ada maupun terhadap yang tidak ada. Maka tidak ada satu makhlukpun di bumi maupun di langit, kecuali Allah-lah yang menciptakannya. Tiada Pencipta selain Allah dan tidak ada Rabb selain Dia.[8]

Dari penjelasan syaikhul Islam rahimahullah di atas, sesungguhnya bisa disimpulkan, bahwa dalam memahami dan mengimani takdir, sebagaimana dikemukakan oleh para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, harus meliputi keimanan terhadap empat perkara.

Perkara pertama dan kedua disimpulkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bagian pertama. Sedangkan perkara ketiga dan keempat disimpulkan dari perkataan beliau bagian kedua. Empat perkara tersebut sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Beriman kepada ilmu Allah yang meliputi segala zaman dan tempat. Artinya, harus mengimani bahwa Allah Maha mengetahui segala sesuatu, di mana dan kapanpun, baik yang ada maupun yang tidak ada. Termasuk mengetahui amal-amal perbuaan makhluk, baik berupa ketaatan-ketaatan maupun kemaksiatan kemaksiatan. Begitu juga tentang rizki, ajal maupun lain-lainnya.

Kedua : Pada saat yang sama harus beriman pula bahwa Allah menuliskan segala sesuatu yang telah diketahuiNya di Lauh Mahfuzh sebagai ketetapan takdirNya. Ketetapan takdir ini terjadi limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ. رواه مسلم

"Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah n bersabda : “Allah telah menuliskan ketetapan segenap takdir bagi segenap makhluk, sebelum Allah menciptakan langit-langit dan bumi dengan jarak limapuluh ribu tahun”. Beliau bersabda: “Sedangkan ‘arsyNya berada di atas air”. [HR Muslim].[9]

Ketiga : Beriman kepada kehendak (masyi’ah) Allah. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang Allah tidak kehendaki, pasti tidak terjadi.

Keempat : Beriman bahwa Allah Maha mencipta. Artinya, apa saja yang Allah kehendaki adanya, baik benda maupun gerakan benda, maka Allah pasti akan menciptakan dan mengadakannya.

Keempat perkara di atas harus diimani dan difahami sebagai satu kesatuan yang tidak dapat di pisah-pisahkan, karena keempatnya tidak saling bertentangan satu sama lain.

Pemahaman terhadap masalah takdir di atas, sebenarnya merupakan sebagian konsekuensi penting dalam memahami dan mengimani rukun iman pertama secara benar, yaitu beriman kepada Allah yang meliputi iman kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan UluhiyahNya. Jika benar keimanan seseorang kepada Rububiyah, Asma’ wa Shifat, serta Uluhiyah Allah, benar dalam arti sebenar-benarnya sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, niscaya akan benar pula keimanannya kepada takdir. Sebab iman kepada takdir terkait erat dengan masalah Rububiyah, Asma’ wa Shifat dan Uluhiyah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Tentu beriman kepada takdir secara benar, tidak menghilangkan daya upaya seseorang untuk melakukan tindakan tertentu agar sukses meraih sesuatu atau terhindar dari marabahaya. Justeru disinilah salah satu letak; benar atau tidaknya seseorang memahami takdir. Sebab daya upaya ini adalah termasuk yang diperintahkan dalam Islam dan wajib dilaksanakan.

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ عُودًا يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ أَوْ مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.. الْآيَةَ) متفق عليه

Dari Ali Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau n pernah mengiringi jenazah seseorang ke kuburan, lalu beliau n mengambil sebatang kayu sambil memukul-mukulkannya ke tanah. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya; apakah di neraka atau di surga”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kita tidak bergantung (pada nasib) saja?” Beliau menjawab: “(Tidak), berbuatlah, karena masing-masing akan dimudahkan (menuju takdir yang ditetapkan untuknya),” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Al Lail ayat 5-10". [Hadits yang muttafaq ‘alaih].[11]

Dalam hadits di atas, setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sudah ditetapkannya seseorang, apakah kelak menjadi penghuni sorga atau penghuni neraka, para sahabat lalu menyatakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, bukankah kami lebih baik menunggu takdir saja dan tidak usah berbuat apa-apa?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung menolak pernyataan mereka seraya menjelaskan: “Tidak!! Tetapi kalian harus tetap berbuat, sebab masing-masing akan dimudahkan menuju takdir yang ditetapkan baginya”.

Dengan demikian beriman kepada takdir secara benar, sama sekali tidak menghambat upaya dan kreatifitas seseorang. Bahkan semakin memperkuat kreatifitas yang benar dan terarah. Amat berbahaya orang yang secara serampangan mengenyampingkan persoalan takdir, atau terlalu banyak gagasan mengenainya seperti yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah dan pengikut-pengikutnya. Begitu juga, amat berbahaya mengimani takdir menurut gaya Jabriyah. Sebab semua itu berarti melancarkan tuduhan yang sangat keji terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat, diikuti para sahabat serta dua generasi berikutnya sebagai generasi terbaik umat Islam adalah suri tauladan dalam segala hal. Mereka telah tercatat dalam sejarah emas, dengan tinta emas, sebagai generasi yang beriman kepada takdir secara benar dan sebagai generasi yang gigih melakukan perjuangan untuk meraih mardhatillah, tidak ada yang duduk berpangku tangan. Adakah suri tauladan yang lebih baik dari mereka?

Dengan beriman kepada takdir dan kepada rukun-rukun iman lain secara benar sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, maka Allah akan membukakan pintu-pintu pertolonganNya. Kebahagiaan dunia dan akhirat akan dapat diraih, dan kemunduran peradaban akan dapat tersingkirkan. Bi-idznillah wa Taufiqih.

Maraji` :
1. Al Qur’an al-Karim dan juga terjemahnya.
2. Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari. Tash-hih wa tahqiq Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, tarqim Muhammad Fu’ad Abdul Baqi- wa Isyraf ‘ala Thab’ihi : Muhibbuddin al Khathib. Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
3. Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Cet. VII, Th. 1421H/2000 M, Beirut, Libanon.
4. Shahih Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. II, dari terbitan yang baru – 1421 H/2000 M.
5. Shahih Sunan at Tirmidzi, Syaikh al Albani, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. I, dari terbitan yang baru – 1420 H/2000 M.
6. Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Aalu asy Syaikh. Muraja’ah Hawasyihi : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz. Idaaratul Masajid wal Masyari’ al Khairiyah, Riyadh, dari penerbit Maktabah Daar as Salam, Riyadh, Cet. I, 1413 H/1992 M.
7. Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Maktabatul Ma’arif, Riyadh, Cet. VI, 1413 H/1993 M. Dan lain-lain.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Penjabaran Makna Nama Allah Azza Wa Jalla Al-Karîm




Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra


MAKNA AL-KARIM DARI TINJAUAN BAHASA
Berikut ini beberapa penjelasan para ulama pakar bahasa Arab mengenai makna al-Karîm:

Ibnu Fâris rahimahullah menyebut bahwa asal kata karom (bentuk noun kata al-Karîm) menunjukkan dua makna, salah satunya adalah kemuliaan[1].

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, "al-Karîm artinya pemaaf. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm yang memaafkan dosa para hamba-Nya yang beriman"[2].

Al-Azhari rahimahullah mengartikannya dengan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Maknanya, yaitu dzat yang sangat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah, pemberi nikmat dan keutamaan". al-Karîm adalah nama yang mencakup segala sifat yang terpuji. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm (Maha Mulia) amat terpuji segala perpuatan-Nya.[3]

Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Yakni dzat yang amat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah lagi pemberi. Pemberian-Nya tidak pernah habis. Dia-lah Dzat Yang Maha Mulia secara mutlak. al-Karîm adalah nama mencakup segala kebaikan, kemuliaan dan keutamaan. Nama ini juga menghimpun segala hal yang terpuji. Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Mulia) artinya amat terpuji dalam segala perpuatan-Nya, Rabb yang memiliki 'Arsy yang mulia lagi agung"[4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-KARIM
Jika kita mencermati nama al-Karîm dalam al-Qur'ân, nama Allah Azza wa Jalla yang mulia ini terulang sebanyak dua kali. Pertama, dalam surat an-Naml/27:40:

فَلَمَّا رَآَهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

"Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Tempat kedua, dalam surat al-Infithâr/82:6: Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ

"Hai manusia, apa yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah".

Pada ayat surat an-Naml di atas, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang perkataan Nabi Sulaiman Alaihissalam saat beliau menyaksikan wujud istana ratu Balqis di hadapannya. Pemberian Allah Azza wa Jalla tersebut dinilai oleh Nabi Sulaiman guna menguji rasa syukurnya pada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Lalu, ayat ini ditutup dengan dua nama Allah Azza wa Jalla yang mulia al-Ghani (Maha Kaya) dan al-Karîm (Maha Mulia). Kedua nama ini sangat erat dengan konteks awal ayat tersebut. Siapa saja yang mau bersyukur, sikap tersebut tidak akan menambah kekayaan Allah Azza wa Jalla karena Allah Maha Kaya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mau bersyukur tidak akan mengurangi kekayaan Allah Azza wa Jalla. Demikian pula, barangsiapa yang bersyukur akan mendapat balasan dari al-Karîm (Yang Maha Pemurah) balasan yang berlipat ganda. Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Allah Azza wa jalla tetap senantiasa memberi rezeki bagi mereka. Hal ini seperti termaktub dalam firman Allah:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya AllahMaha Kaya darimu (tidak memerlukanmu) dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi para hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuran itu bagimu" [az-Zumar/39:7]

Barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya lagi Maha Mulia. Allah Azza wa Jalla memberi bukan karena membutuhkan makhluk tapi karena Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Pemurah).

Adapun pada ayat surat al-Infithâr, Allah Azza wa Jalla bertanya kepada manusia, apa yang membuat mereka teperdaya untuk selalu berbuat durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Padahal, Allah Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan berbagai nikmat dan rahmat bagi mereka. Karena Allah bersifat Maha Pemurah terhadap seluruh manusia. Tidaklah pantas manusia berlaku demikian, karena Allah al-Karîm (pemurah) terhadap mereka.

Al-Karîm adalah yang mulia dalam segala hal, yang amat banyak pemberian dan kebaikannya, baik ketika diminta maupun tidak. Nama al-Karîm menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Allah Azza wa Jalla dalam zat dan segala sifat serta perbuatan-Nya:

1. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam dzat-Nya. Tidak ada cacat sedikit pun dalam dzat Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dzat Allah k Maha Indah.

2. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam segala sifat-Nya. Tidak ada sifat jelek pun pada Allah k . Sesungguhnya sifat-sifat Allah amat sempurna dalam segala maknanya.

3. Allah Azza wa Jalla juga Maha Mulia dalam segala perbuatannya. Tidak ada cacat dalam perbuatan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya segala perbuatan Allah Azza wa Jalla penuh dengan berbagai hikmah yang luas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Nama Allah al-Karîm mencakup makna kedermawanan, juga makna kemuliaan dan keluhuran, serta bermakna kelembutan dan memberi kebaikan" [5].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Secara global, makna al-Karîm adalah dzat yang suka memberi kebaikan yang banyak dengan amat mudah dan gampang. Lawannya, orang pelit yang amat sulit dan jarang mengeluarkan kebaikan "[6].

Diantara makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla berbuat baik kepada seluruh makhluk tanpa sebuah kewajiban yang mesti mereka kerjakan. Semua kebaikan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhluk adalah semata-mata atas kemurahan-Nya kepada para makhluk.

Kemudian, sebagai (cermin) sifat karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memaafkan sesuatu hak yang wajib diserahkan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah. Karena nama Allah al-Karîm beriringan dengan nama Allah al-'Afuww (Maha Pemberi Maaf), seperti tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata: "Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seandainya aku mengetahui malam Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?" Beliau bersabda: "Ucapkanlah: Ya Allah sesungguhnya engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau mencintai sifat pemaaf, maka ampunilah aku". [HR. at-Tirmidzi 5/534, dan dishahîhkan al-Albâni]

Disamping itu, jika seseorang bertaubat dari kesalahannya, Allah Azza wa Jalla menghapus dosanya dan menggantikan kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [al-Furqân/25:70]

Begitu juga, sebagai cermin karom-Nya, Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi, tanpa pernah terhenti pemberian-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" [Luqmân/31:20]

Demikian pula sebagai bentuk karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memberi nikmat dari semenjak pertama meskipun tanpa diminta. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan berapa banyak binatang yang tidak membawa rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-'Ankabût/29:60]

Sebagai cermin sifat karom-Nya yang lain, Allah Azza wa Jalla memberi berbagai kebaikan tanpa mengharap pamrih, karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah secara mutlak. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz-Dzâriyât/51:57-58]

Termasuk pula dalam makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya dan berjanji akan memperkenankan permintaan mereka. Bahkan memberitakan mengenai pemberian lain diluar permintaan mereka tersebut. Sebaliknya, akan marah kepada orang yang tidak berdoa kepada-Nya. Karena Allah itu Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabbmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [Ghâfir/40:60]

Jadi intinya, pengertian nama al-Karîm adalah yang memiliki segala macam kebaikan dan kemuliaan serta keutamaan[7].

ALLAH AZZA WA JALLA MENAMAKAN AL-QUR'AN DENGAN NAMA AL-KARIM
Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kitab suci al-Qur'ân kalamullah adalah kitab yang Karîm (mulia). Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ

"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia" [al-Wâqi'ah/56:77]

Dijelaskan oleh para ulama, alasannya karena al-Qur'ân adalah kalâmullah (perkataan Allah Azza wa Jalla), mengandung kebaikan yang begitu banyak. Di dalamnya terdapat petunjuk yang lurus, keterangan yang jelas, ilmu yang berguna dan hikmah yang banyak [8]. Segala kebaikan terjamin dengan menjalankan isi Al Quran tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, "Allah Azza wa Jalla menyebutkan sifat al-Qur'ân dengan sesuatu yang menunjukkan keindahan, limpahan kebaikan juga manfaat serta keagungannya. Karena al-Karîm adalah sesuatu yang sarat dengan kebaikan yang amat banyak lagi agung manfaatnya. Dan al-Qur`ân sendiri, ditinjau dari segala segi merupakan yang terbaik dan paling afdhal. Maka, Allah Azza wa Jalla mensifati diri-Nya dengan sifat al-Karam (kemuliaan) serta mensifati kalam dan 'Arasy-Nya dengan sifat karam pula. Dan juga memberikan sifat tersebut sesuatu yang banyak kebaikannya dan indah bentuknya..."

Al-Azhari rahimahullah berkata, "Al Qur'ân disebut al-Karîm karena kandungannya akan berbagai petunjuk, penjelasan, ilmu dan hikmah" [9].

Al Qur'ân yang mulia ini dibawa oleh malikat yang mulia pula yaitu Jibril Alaihissalam, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Qur'ân itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)" [at-Takwîr/81:19].

Kemudian Al Qur'ân yang mulia tersebut disampaikan oleh malaikat yang mulia kepada rasul yang mulia pula, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.." [al-Hâqqah/69:40]

Berdasar ayat di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sebagai utusan yang karîm (mulia) karena Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang mulia, membawa kitab yang mulia, mengajak manusia kepada segala hal yang mulia, baik dalam hal keyakinan maupun amalan.

Demikian pula, 'Arsy Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

"Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Rabb (Yang memiliki) 'Arsy yang mulia.". [al-Mukminûn/23:116]

Karena 'Arsy merupakan makhluk yang paling besar dan paling tinggi di atas seluruh makhluk. Segala kemuliaan yang terdapat pada makhluk adalah atas pemberian Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mulia. Hal tersebut menunjukkan akan kemulian makhluk tersebut di sisi Allah, melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Surga yang dipenuhi berbagai macam kenikmatan, segala nikmat yang terdapat di dalamnya melebihi segala apa yang ada di dunia. Yang disediakan bagi orang-orang yang memiliki sifat mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". [an-Nisâ/4:31]

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL MELALUI NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM
Selanjutnya, berikut ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari mengetahui dan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm. Perkara ini merupakan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim ketika memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla tersebut. Agar nama al-Karîm benar-benar memberikan pengaruh positif bagi peningkatan iman dan perbaikan ibadah dan akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, diantaranya:

1. Menanamkan sifat mulia dalam diri seorang muslim, karena Allah Maha Mulia dan mencintai orang yang bersifat mulia.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Makhluk yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah orang yang mampu menghiasi diri dengan sifat yang merupakan penjabaran dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia makam Dia Azza wa Jalla mencintai orang yang memiliki sifat mulia dari para hamba-Nya"[10] .

2. Menanamkan sifat pemurah dalam diri seorang muslim. Karena diantara makna al-Karîm adalah Maha Pemurah. Tentu Allah Azza wa Jalla amat mencintai orang yang bersifat pemurah. Dan Allah Azza wa Jalla membenci orang yang bersifat kikir. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

"Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini". [Muhammad/47:38]

3. Menumbuhkan rasa cinta yang dalam pada diri seorang muslim kepada Allah Azza wa Jalla . Karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla memberi nikmat tanpa batas kepadanya meskipun tanpa diminta.

4. Wajibnya memuliakan kitab Allah Azza wa Jalla, al-Qur'ânul Karîm. Karena, al-Qur'ân adalah kalam Allah Azza wa Jalla yang mulia, yang diturunkan melalui perantara malaikat yang mulia kepada Rasul yang mulia.

5. Wajibnya memuliakan malaikat-malaikat Allah Azza wa Jalla, diantaranya malaikat Jibril. Barang siapa yang membencinya, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir". [al-Baqarah/2:98]

6. Wajibnya mencintai para rasul Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang membenci salah seorang diantara mereka, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla, sesuai dengan kandungan ayat di atas.

7. Menumbuhkan sifat suka memuliakan tetangga dan tamu, sesuai anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

8. Menumbuhkan sifat suka pemaaf, karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat pemaaf.

9. Mendorong kita untuk selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla malu mengembalikan tangan hamba yang diangkat saat berdoa dalam keadaan kosong. Karena nama Allah al-Karîm bergandengan dengan nama Allah Azza wa Jalla al-Hayiyyu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha Mulia, Allah malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya mengembalikannya dalam keadaan kosong lagi merugi". [HR. Abu Dâwud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albâni]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita orang yang bersifat mulia lagi pemurah. Dan menjadikan kita orang yang mencintai segala hal yang mulia, baik berbentuk keyakinan, ucapan maupun tindakan dan perbuatan. Wallahu A'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Makna Syahadat


Oleh
Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr


Pembicaraan saya kepada Anda semua, seputar rukun pertama dari rukun-rukun Islam, rukun yang terbesar dari rukun-rukun Islam yang lima. Iman seseorang tidak akan tegak, kecuali dengannya. Barangsiapa yang tidak mewujudkannya, maka dia bukanlah seorang muslim. Dan barangsiapa yang membatalkannya, maka sesungguhnya Allah mengharamkan surga baginya, tempat kembalinya adalah neraka, dan orang-orang zhalim tidak memiliki para penolong.

Rukun Islam pertama itu adalah syahadat Laa ilaaa illa Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kalimat thayyibah (yang baik), yang lebih berat dalam timbangan daripada seluruh langit dan bumi. Ini adalah kalimat pembuka (kunci) Islam. Kita mengajarkannya kepada anak-anak kita, pertama kali yang dia katakan, dan lafazh-lafazhnya mengetuk pendengaran-pendengaran mereka pada waktu pertama kali dia turun dari perut ibunya. Kita juga mengajarkannya kepada orang-orang yang akan mati di antara kita pada waktu sakaratul maut. Kita terus berjalan di atasnya, kita mengamalkannya disertai konsekuensi-konsekuensinya, agar kita selamat pada hari Kiamat.

Kita semua menghafalnya, baik orang Arab maupun non Arab, orang kulit putih maupun orang kulit hitam, orang buta huruf maupun orang ‘alim. Kita semua hafal kalimat ini. Akan tetapi, apakah kita mengetahui maknanya? Apakah kita memahami konsekuensinya? Apakah kita mengenal yang dimaksud dengan Laa ilaah illa Allah, dan apakah yang dimaksud dengan perkataan Laa ilaaha illa Allah Muhamadar Rasulullah?

Bagian pertama dari syahadat itu berkaitan dengan Allah, dengan rububiyahNya (kekuasaanNya), uluhiyahNya (hakNya untuk diibadahi), dan asma’ dan sifatNya, dengan tauhid yang murni yang dibawa oleh para nabi Allah semua, semenjak Nuh q sampai Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bagian yang kedua, berkaitan dengan Muhammad utusan Allah, pembawa rahmat dan orang yang diberi petunjuk (oleh Allah). Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh makhluk. Allah meninggikan namanya di kalangan orang-orang dahulu dan kemudian. Tidaklah Allah disebut, kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga disebut bersamaNya. Kita menyebut nama Rasulullah jika kita menyebut Allah, yaitu pada shalat, adzan, ucapan takbir dan tahlil, khutbah-khutbah, dan sebelum kajian-kajian dan pada tasyahhud yang kita lakukan dalam shalat kita. Dan kita bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membaca shalawat dan salam untuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam . Beliau adalah pemberi syafa’at bagi kita dengan idzin Allah pada waktu kita menghadapNya.

Di dalam bagian pertama dari syahadat, yaitu kalimat Laa ilaaha illa Allah, mengandung makna: mengikhlaskan agama dan mengikhlaskan tauhid bagi Allah. Sedangkan (syahadat) Muhammad utusan Allah, mengandung makna mengikhlaskan mutaba’ah (keteladanan) dan memurnikannya bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Agama ini tegak di atas dua landasan tersebut ini. Oleh karena itulah, para ulama dan para imam kita mengatakan: “Agama tegak di atas dua dasar. Dasar yang pertama, bahwa tidak ada yang diibadahi kecuali Allah. Dan dasar kedua, Allah diibadahi dengan cara yang Dia syari’atkan”.

Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah adalah makna Laa ilaaha illa Allah. Maka Laa ilaaha illa Allah maknanya adalah, tidak ada yang berhak diibadahi yang ada di alam ini, kecuali Allah. Jadi, ada unsur nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan).

Nafi terhadap seluruh sesembahan yang batil, dan itsbat bahwa ilaah yang haq dan ma’bud (sesembahan) dengan haq, adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Harus ada nafi dan itsbat, harus ada bara’ (sikap berlepas diri) dan wala’ (kecintaan dan pembelaan). Bara’ dari seluruh sesembahan selain Allah, dan itsbat ubudiyah (penghambaan diri) bagi Allah.

Maka, seandainya kita beribadah kepada Allah dengan nafi saja, yaitu Laa ilaaha, maka kita belum beribadah, karena telah menafikan dan mengingkari bahwa dalam alam ini ada ilaah. Dan seandainya kita beribadah kepada Allah dengan itsbat saja, yaitu illa Allah, maka itu hal tersebut tidak meniadakan keberadaan sekutu. Maka harus ada nafi dan itsbat, harus ada bara’ dan wala’. Sebagaimana firman Allah :

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kepadaKu". [al Anbiya`: 25]

Firman Allah “maka beribadahlah kepadaKu”, maknanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.

Sesungguhnya Allah telah mengutus para rasul sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tugas mereka semua mengatakan satu perkataan yang sama : “Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah, kamu tidak punya ilaah kecuali Dia”. Mereka semua mengatakan: “Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah, dan jauhilah thaghut”. Thaghut adalah seluruh yang diibadahi selain Allah.

Inilah tauhid yang dibawa oleh para Rasul, hak Allah yang menjadi kewajiban hamba, sebuah kewajiban paling besar yang telah Allah wajibkan, dan perintah terbesar yang Allah perintahkan. Dengan alasan ini, Allah mengutus Rasul, menurunkan kitab, dan pedang-pedang dihunus di kalangan para mujahid untuk meninggikan kalimat Allah. Setiap orang yang menginginkan masuk Islam, wajib mengucapkan Laa ilaaha illa Allah. Kalimat ini maknanya, tidak ada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya di bumi dan dilangit, kecuali satu ilaah , yaitu Allah. Oleh karena itulah, tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada orang-orang musyrik untuk mengatakannya, hal itu berat bagi mereka, sebab mereka mengetahui maknanya. Juga karena di antara konsekuensinya adalah berlepas diri dari tuhan-tuhan mereka, dan dari berhala-berhala mereka yang mereka sembah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, mereka mengatakan:

أَجَعَلَ اْلأَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. [Shad : 5].

Kalimat Laa ilaaha illa Allah memuat tiga jenis tauhid yang dibawa oleh para rasul. Tauhid rububiyah, yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatanNya. Seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menurunkan rizqi, dan selain itu. Dan memuat tauhid uluhiyah atau ibadah, yaitu mentauhidkan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Seperti shalat, puasa, haji, zakat, menyembelih binatang, nadzar, istighatsah, isti’anah, inabah, thawaf di Ka’bah, bersumpah dengan nama Allah, dan jenis-jenis ibadah lainnya. Barangsiapa mempersembahkan satu jenis ibadah ini kepada selain Allah, maka dia telah terjerumus ke dalam syirik uluhiyah, atau syirik ubudiyah. Dan tauhid yang ketiga, tauhid asma’ was sifat, yaitu menetapkan hal-hal yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya, dan meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dari diriNya.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidaklah ada sesuatupun yang serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syura : 11].

Firman Allah “tidaklah ada sesuatu pun yang serupa denganNya”, adalah bantahan terhadap (yaitu) golongan musyabbihah; yaitu orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Sementara firmanNya “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” adalah bantahan terhadap golongan mu’aththilah; (yaitu) orang-orang yang menolak sifat Allah. Allah Yang Maha Agung memiliki asmaul husna (nama-nama yang indah) dan sifatul ‘ulya (sifat-sifat yang tinggi atau sempurna).

Demikian juga kalimat Laa ilaaha illa Allah, memuat sikap berlepas diri dari hal yang bertentangan dengannya, yang berupa kesyirikan; syirik rububiyah, syirik uluhiyah, atau syirik sifat.

Barangsiapa menafsirkan Laa ilaaha illa Allah dengan arti tidak ada Rabb (Pencipta, Penguasa) kecuali Allah, maka dia tidak mentauhidkan Allah, dan tidak mengenal tauhid. Sebab, tauhid rububiyah telah tertanam di dalam fithrah (manusia), dan hanya diingkari oleh sedikit manusia. Yaitu orang-orang Majusi dan orang-orang Dahriyah (orang-orang yang menisbatkan segalanya kepada dahr atau masa). Sedangkan mayoritas manusia mengakui jenis tauhid ini. Adapun tauhid yang menjadi ajang permusuhan antara para nabi dengan para pengikut mereka adalah tauhid uluhiyah, atau tauhid ibadah.

Para ulama mendefinisikan ibadah dengan: satu istilah yang meliputi seluruh yang dicintai dan diridhai oleh Allah, yang berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, yang lahir maupun yang batin.

Maka, barangsiapa membatalkan tauhid ini, Laa ilaaha illa Allah, maka dia bertemu dengan Allah dalam keadaan musyrik, surga haram baginya, dia kekal dan dikekalkan di dalam neraka. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az Zumar : 65].

Dan berdasarkan firmanNya:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka (para Nabi) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al An’am : 88].

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ لَقِيَ اللَّهَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Barangsiapa bertemu Allah, sedangkan dia menyekutukan Allah, maka Allah haramkan surga baginya. [1]

Setiap orang yang mengatakan Laa ilaaha illa Allah, dia berkewajiban mengucapkan dan bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah. Karena tauhid dan syahadat tidaklah sempurna, kecuali dengan pengakuan terhadap risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ittiba’ (mengikuti) beliau, dan (pengakuan) bahwa beliau adalah penutup seluruh Nabi dan Rasul, tidak ada nabi setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga dengan pengakuan bahwa syariat beliau adalah syari’at yang diridhai oleh Allah sampai hari pembalasan, sebuah syari’at yang menghapus seluruh syariat para nabi yang telah lalu. Juga meyakini sabda beliau : [2]

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Dia (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya. Tidaklah seorang pun dari umat ini, baik seorang Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada risalah yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka. [HR Muslim, no. 153; Ahmad; dari sahabat Abu Hurairah, Pent]

Kalau demikian, maka apakah hak Rasulullah n atas umatnya? Apakah hak beliau atas umat Islam di belahan bumi bagian timur dan barat? Sungguh, hak beliau sangat besar. Karena setiap satu orang Islam yang ada, itu merupakan salah satu dari kebaikan-kebaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm adalah penyebab kaum muslimin mendapatkan petunjuk, dan beliau menjadi faktor penyebab keselamatan mereka. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membawa agama ini kepada kita, dan beliau adalah orang yang dicintai oleh Rabbul ‘alamin, beliau adalah utusan Rabbul ‘alamin.

Seandainya bukan melalui beliau, kita tidak mendapatkan petunjuk, kita tidak berpuasa, dan tidak shalat.

Oleh karena itulah, hak beliau atas kita adalah besar. Dan kewajiban kita kepada beliau kuat. Kita harus mencintai beliau secara lahir dan batin. Kita menghormatinya, mengagungkannya, memuliakannya. Kita berlaku sopan terhadap beliau, pada waktu hidup dan setelah mati. Kita mencintai orang yang mencintai Allah dan RasulNya. Kita memusuhi orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa meremehkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita memusuhi orang itu, dan berlepas diri darinya, dan memusuhinya, walaupun dia adalah orang yang paling dekat (dengan kita). Karena ini merupakan tuntutan tauhid, tuntutan iman, tuntutan wala’ wal bara` (pembelaan dan permusuhan karena Allah, Pent). Allah Ta’ala berfirman :

لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwasanya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [al Mujadilah : 22] [3]
.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. [al Mumtahanah : 4].

Nabi Ibrahim Alaihissallam memusuhi bapaknya –karena Allah- tatkala bapaknya terus-menerus di atas kemusyrikan. Nabi Nuh Alaihissallam memusuhi anaknya –karena Allah- dan berlepas diri darinya, ketika dia terus-menerus di atas kekafiran. Nabi Muhammad n memusuhi pamannya, Abu Lahab, tatkala dia berkeras kepala di atas kemusyrikan. Kemudian Allah menurunkan al Qur`an tentang Abu Lahab yang terus dibaca sampai hari Pembalasan. Demikian juga para sahabat memusuhi kerabat-kerabat mereka –karena Allah- . Abu Ubaidah membunuh bapaknya –karena Allah- karena dia memusuhi Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan ‘Asiyah, seorang wanita mukminah istri Fir’aun berlepas diri dari Fir’aun, dia mengatakan:

رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Ya, Rabb-ku. Bangunlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. [at Tahrim : 11].

Demikianlah, kita mesti mencintai orang yang mencintai Allah dan RasulNya, dan membenci orang yang membenci Allah dan RasulNya. Kita memusuhi orang yang dimusuhi oleh Allah dan RasulNya. Inilah Islam, dan ujian iman. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ اَلْحُبُّ فِيْ اللهِ وَ الْبُغْضُ فِيْ اللهِ

Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.[4]

Oleh sebab itu, kita mencintai para sahabat, karena mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah, dan orang-orang yang dicintai oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. wafat dalam keadaan ridha terhadap mereka dan Allah yang berada di atas ‘ArsyNya meridhai mereka. Kita mencintai mereka dan kita membenci orang yang melaknat mereka dan membenci mereka. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai wali-waliNya yang shalih. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai orang-orang yang bertauhid. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci orang-orang musyrik, dan ahli-ahli bid’ah, ahli kesesatan, dan pengikut hawa-nafsu, dan membenci firqah-firqah yang membuat-buat perkara baru dalam agama Islam yang Allah tidak menurunkan keterangan dan hujjah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita membenci firqah-firqah yang sesat, seperti Rafidhah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Jahmiyah, dan seluruh firqah sesat. Kita membenci mereka, karena mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan tidak mengikuti Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Sesungguhnya Allah telah menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah. Allah menguji mereka melalui ittiba’ kepada Rasulullah. Dia menguji mereka dengan mencintai Rasulullah. Telah datang beberapa orang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mencintai Rabb kami,” maka Allah menurunkan ayat ini, tentang mereka:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran : 31].[5]

Jika anda benar-benar mencintai Allah, maka wajib mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.Karena jika anda menyimpang dari jalannya, berarti dusta dalam kecintaan anda kepada Allah. Jika anda menyimpang dari jalannya, maka anda bukanlah orang-orang yang dicintai oleh Allah. Anda menjadi bagian dari musuh-musuh Allah, jika menyimpang dari jalan Allah dan RasulNya. Jika anda menginginkan kecintaan Allah, maka kecintaan Allah akan ada, dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. secara lahir dan batin. Anda mengagungkannya, mencintainya, beradab terhadap beliau, tidak memperolok-olok sunnahnya, tidak memperolok-olok pribadi beliau, dan tidak melakukan perkara yang menyelisihi syariatnya, niscaya Allah akan mencintai dan mangampuni dosa-dosa anda.

Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. adalah wajib, dan mengikuti beliau hukumnya wajib, menghormatinya wajib, memuliakannya wajib, mengagungkan sunnahnya wajib. Barangsiapa meremehkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada waktu hidup atau setelah wafat melalui ungkapan, atau dengan isyarat, atau dengan cerita, maka dia telah kafir kepada Allah dan amalannya terhapuskan. Dan dia berhak mendapatkan hukuman yang menghentikannya (dari perbuatan itu), darahnya pun menjadi halal.

Oleh karena itulah para ulama kita, ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan, bahwa barangsiapa memperolok-olok Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau melecehkannya, atau merendahkannya, maka dia kafir, dia boleh dibunuh. Dan para ulama berselisih, apakah dia punya kesempatan bertaubat dan dimintai untuk bertaubat atau tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan dalam Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, bahwa orang itu tidak berhak bertaubat setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena hak beliau tetap berlaku. Adapun hak Allah, seandainya seseorang mencela Rabb atau agama, kemudian bertaubat, maka ini antara dia dengan Allah. Adapun berhubungan dengan orang yang mencela Rasul, maka dia, walaupun bertaubat, tidaklah gugur hak Rasul. Sebab dia telah melontarkan gangguan kepada beliau. Menyakiti Rasul sudah ada sejak dahulu, bahkan menyakiti para nabi juga terjadi sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلُُ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَاكُذِّبُوا وَأُوذُوا

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka. [al An’am : 34]

Allah memberitakan istihza’ (olokan) kaum Nuh terhadap beliau:

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأٌ مِّن قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِن تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ

Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Nuh berkata : "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)”. [Huud : 38].

Allah memberitakan tentang mujrimin (orang-orang yang banyak berbuat dosa) yang mengedipkan mata dan mencela kaum mukminin.

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ . وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. [al Muthaffifin : 29, 30]

Celaan ini terjadi. Orang Islam di masa sekarang menjadi komunitas asing di antara manusia. Jika engkau berpegang teguh dengan Sunnah, terkadang orang yang paling dekat denganmu memperolok-olokmu. Engkau mungkin mendapatkan cemoohan dari keluargamu, kerabatmu, dan saudara-saudaramu. Akan tetapi, ada perbedaan antara yang diperolok-olok dan dicemooh itu seorang manusia biasa, dengan yang diperolok-oloknya itu adalah Allah, kitab Allah, agama Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk kekafiran. Dalil hal ini adalah firman Allah (di dalam surat at Taubah). Yaitu ketika ada sekelompok orang-orang munafik membicarakan tentang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang para sahabat beliau, maka Allah menurunkan tentang mereka al Qur`an, lalu mereka datang meminta ma’af (beralasan): “Sesungguhnya kami hanyalah berbincang dan bersendau gurau, maka Allah membantah mereka dengan firmanNya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ {65}
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [at Taubah : 65-66].

Karenanya, hendaklah berhati-hati. Jangan sampai engkau memperolok-olok agama, al Qur`an, Allah dan Rasulullah. Karena semua tindakan ini merupakan kekafiran.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih dari hadits Anas:
Dahulu ada di antara kami seorang laki-laki dari Bani Najjar yang menyusul Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu duduk kepadanya, untuk menghafal surat al Baqarah dan Ali Imran, dan dia menulis untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian dia bergabung dengan orang-orang Romawi, -yaitu menjadi kafir- dan mulai membuat-buat kebohongan atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia mengatakan: “Muhammad tidak mengetahui apa-apa dari al Qur`an, sesungguhnya akulah yang menuliskan untuknya”. Namun tidaklah dia hidup, kecuali sehari atau dua hari saja, dia mati, Allah membunuhnya.

Orang-orang Romawi menghendaki untuk menguburnya, di dalam bumi. Mereka menggali lubang kubur baginya. Kemudian bumi memuntahkannya dari dalam tanah. Mereka mengatakan: “Mungkin kawan-kawan Muhammad mengeluarkannya”. Mereka menggali lubang kubur lagi baginya dengan dalam. Namun bumi memuntahkannya lagi. Mereka lalu mengatakan: “Mungkin kawan-kawan Muhammad mengeluarkannya”. Mereka membuat lubang kubur yang ketiga baginya dengan sangat dalam. Namun bumi memuntahkannya lagi. Maka mereka mengetahui bahwa perkara ini bukanlah dari para sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum. Mereka meninggalkannya terlantar.[6]

Karena dia mencela Rasulullah, menuduh beliau berdusta, menuduh Rasul membuat-buat al Qur`an ini, dan bahwa tidak ada sesuatu pada Muhammad kecuali yang dia tulis untuknya. Maka lihatlah, apa yang Allah lakukan terhadapnya? Allah membunuhnya, kemudian Dia menjadikannya sebagai ayat (tanda kekuasaan Allah) dan ‘ibrah (pelajaran), sebagaimana Dia menjadikan Fir’aun sebagai ayat dan ‘ibrah.

فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ ءَايَة ً

(Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu. - [Yunus ayat 92]- akan tetapi, mereka tidak mengambil pelajaran dan nasihat.

Inilah akibat buruk orang yang mencela Rasulullah, membuat-buat kedustaan dan memperolok-olok beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kisah tentang ini banyak, bahkan sangat banyak. Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul berkata:

لَأَخْرَجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ َ
(Sesungguhnya orang yang kuat [mulia] akan mengusir orang-orang yang lemah [hina] dari kota Madinah).[7]

Yang dia maksudkan dengan “orang yang kuat (mulia)” adalah dirinya sendiri, dan “orang yang lemah (hina)” adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. maksudnya dia akan mengusir beliau dari Madinah.

Maka datanglah Abdullah (seorang sahabat yang beriman, anak Abdullah bin Ubay Si Munafik) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai, Rasulullah. Telah sampai berita kepadaku, bahwa engkau hendak membunuh Abdullah bin Ubay (yakni bapaknya sendiri, seorang munafik). Sesungguhnya orang-orang Anshar telah mengetahui, bahwa aku adalah orang yang paling berbakti di antara mereka kepada kedua orang tuanya. Jika engkau benar-benar harus membunuhnya, maka perintahkan aku untuk membunuhnya. Karena aku khawatir, jika orang lain yang membunuhnya, aku tidak akan membiarkan pembunuh itu berjalan (bebas), sehingga aku akan membunuh seorang muslim dengan sebab membunuh orang kafir.

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”justru kita akan bersahabat dengannya dengan sebaik-baiknya.”

Tatkala bapaknya, bapak Abdullah, telah datang untuk masuk kota Madinah, dia (Abdullah si anak) menghadangnya di jalan, dia mengatakan: “Berhentilah di tempatmu! Hari ini aku benar-benar akan mengetahui, siapakah yang paling mulia, dan siapakah yang paling hina?”.

Bapaknya berkata,”Celaka engkau, kenapa kau?”
Anaknya mengatakan: “Engkau mengatakan begini dan begini? Hari ini aku benar-benar akan mengetahui, siapakah yang paling mulia, dan siapakah yang paling hina. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah paling mulia, dan engkau yang paling hina”. Dia menghalanginya masuk, sehingga bapaknya itu mengutus seseorang untuk mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah bersabda: “Biarkan dia,” Abdullah berkata,”Adapun setelah datang perintah Rasulullah, maka ya,” diapun mengizinkannya masuk setelah ada izin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian tidaklah Abdullah, Si Munafik itu, hidup beberapa hari sampai akhirnya sakit perut lalu mati. Demikianlah sunatullah (ketetapan Allah) terhadap orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ketika salah seorang penguasa Mongol menghendaki untuk masuk Kristen, dia mengumpulkan banyak sekali manusia. Seorang uskup Nashrani datang untuk mengkristenkan penguasa itu. Uskup itu mulai mencela Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tempat itu ada seekor anjing yang diikat, anjing itu mulai menggonggong, dan memutuskan talinya, dan menyerang orang Nashrani tersebut. Maka orang-orang pun melindunginya dan mengeluarkan anjing itu, dan kembali mengikatnya.

Mereka mengatakan : “Anjing itu menyalak kepadamu, karena engkau mencela Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam“.

Dia mengatakan: “Tidak, itu hanyalah seekor anjing seperti anjing-anjing yang lain. Ia menyalak kepadaku dan kepada orang selainku”.

Kemudian mereka mengikat anjing itu lagi dan mengencangkan ikatannya. Kemudian Nashrani itu mengulangi mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anjing itu menyalak lagi dan memutuskan talinya. Kemudian menuju ke arah orang Nashrani tadi dan menggigitnya pada bagian lehernya, sampai anjing itu membunuhnya. Maka masuk Islamlah -sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani- empat puluh ribu orang Nashrani setelah peristiwa ini. Tatkala mereka melihat apa yang Allah lakukan terhadap orang Nashrani yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang-orang kafir sekarang ini yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka ingin melecehkan dan merendahkan umat Islam. Karena mereka melihat – sangat disayangkan - umat Islam saling berpecah-belah dan terbelakang. Mereka melihat banyak negara-negara Islam saling berperang. Setiap negara mengikuti negara-negara lain dan berusaha menjadikan mereka ridha melebihi usaha mereka dalam menggapai ridha Allah.

Sebabnya, umat Islam tidak memiliki keteguhan, kehendak, dan mereka itu orang-orang yang lemah. Walaupun umat Islam memiliki potensi yang sangat besar, harta benda, minyak bumi, dan lainnya, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk memerangi musuh-musuh mereka.

Lantaran itu, orang-orang kafir itu berani menulis, menggambar karikatur Nabi, dan koran-koran Eropa menerbitkan pelecehan terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Akan tetapi, ketika mereka melihat reaksi masyarakat dan umat ini –segala puji bagi Allah- masih tetap merasa memiliki Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan cinta kepada Rasulullah, memuliakan Rasulullah, dan tatkala mereka telah melihat dilakukannya pemutusan hubungan bilateral, yang menimbulkan akibat-akibat (yang buruk) pada mereka, menyaksikan antusiasme manusia untuk mengingkari, saat mereka melihat bangsa-bangsa tidak meridhainya, dan melakukan pemutusan hubungan terhadap negaranya, dan berhasil mendatangkan pengaruh, mereka takut dan gelisah. Sebab mereka adalah bangsa yang menyembah dolar (uang), menyembah harta. Mereka pun mulai minta ma’af.

Sebenarnya, mereka ingin menguji hati umat ini, apakah umat ini memiliki kelezatan ruh keimanan, semangat untuk agamanya, atau apakah umat ini telah mati, tidak hidup, dengan demikian mereka akan berpindah menuju fase setelahnya.

Dan –segala puji hanya bagi Allah- kemenangan adalah bagi pemimpin orang-orang Muhajirin dan Anshar, bagi Nabi yang terpilih, beliau seorang yang mulia di seluruh alam. Adanya pemutusan hubungan, menampakkan (kemarahan), dan protes, ini semua menunjukkan bahwa umat ini tetap memiliki kebaikan dan mencintai agamanya.

Sesungguhnya agama merupakan garis merah, iman merupakan garis merah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah garis merah, tidak boleh dilangkahi dan dan tidak boleh dilanggar.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu, dialah yang terputus. [al Kautsar : 3]

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah meninggikan kedudukan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di seluruh alam. Dan Allah dari atas ‘ArsyNya menjamin (pembalasan) terhadap orang-orang yang memperolok-olok, sebagaimana firmanNya :

إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِءِينَ

Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu). [al Hijr : 95].

Dan firmanNya:

فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka Allah akan memelihara kamu (wahai Rasul) dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah : 137].

Maka jika ada orang yang mencela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan atau dengan perbuatan, atau dengan isyarat, maka Allah yaang akan menanganinya. Allah akan menyiksanya di dunia, sebelum di siksa di akhirat. Karena Allah telah menjanjikan siksaan pedih terhadap orang-orang yang memperolok-olok, dengan laknat, dijauhkan dari rahmatNya. Allah yang menjamin (siksaan) terhadap mereka, dan Dia telah melakukan pada setiap waktu.

Oleh sebab itu, kita berharap kepada Allah untuk membalas terhadap orang-orang yang memperolok-olok beliau, orang-orang Denmark, orang-orang Perancis, orang-orang Norwegia, dan dan lain-lain. Kita berharap agar Allah membalas mereka semua untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar Dia mengembalikan umat Islam dengan sebaik-baiknya kepada agama mereka. Dan ini merupakan reaksi terbesar terhadap mereka, yaitu kita berpegang teguh kepada agama kita, kita berpegang teguh kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang yang dipilih oleh Allah. Kita menghidupkan sirah (perjalanan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumah-rumah kita, dan di antara anak-anak kita. Kita ajarkan sirah kepada anak-anak kita. Kita keluarkan harta kita untuk menyebarkan Islam, dan untuk menerjemahkan sirah Nabi kepada bahasa-bahasa yang lain di seluruh dunia ini. Agar kita mengenalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan akhlak beliau kepada manusia, dan kita memperkenalkan kepada orang-orang yang bodoh itu, siapakah orang yang mereka cela dan perolok-olok itu.

Tidaklah mengherankan, jika kita dapati sebagian orang-orang yang insyaf dari orang-orang Barat yang mengagungkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga salah seorang dari mereka menyusun sebuah buku 100 Tokoh di Dalam Sejarah, dia menjadikan tokoh yang pertama kali adalah Nabi Muhammad, Rasul agama Islam Shallallahu 'alaihi wa sallam. [8]

Karenanya, termasuk kesalahan, apabila kita menzhalimi orang-orang lain yang tidak bersalah, membakar gereja-gereja, mengebom dan merobohkan kantor-kantor kedutaan, ini merupakan kesalahan.

Konsistensi kita terhadap Islam, pengagungan kita terhadap Sunnah, ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tahkiim (berhukum) terhadap syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan reaksi paling penting. Juga kita mempergunakan anugerah yang Allah berikan kepada kita yang berupa kekuatan dan kemampuan serta harta, dalam memutuskan hubungan dengan mereka merupakan reaksi penting terhadap mereka.

Kita mohon kepada Allah agar menampakkan kekuatanNya kepada musuh-musuh kita, dan agar Dia menolong Islam dan umat Islam, menghinakan musuh-musuh agama, menerima syafa’at Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kita, penghulu orang-orang dahulu dan kemudian, dan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan keluarga beliau.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

20 Kesalahan Dalam Beraqidah

Kamis, 25 Mei 2006 15:11:32 WIB

DUAPULUH KESALAHAN DALAM BERAQIDAH*)


Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.

Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.

1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan ( لا إله إلا الله) hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara yang dituntut adalah nafi dan itsbat.

Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah

Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” [An-Nahl 36]

Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya. Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.

2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.

Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam [2]. Berdasarkan dalil.

قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [At-Taubah: 65-66]

Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.

3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah.

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [Al-Furqan: 2]

Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. [3]

4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.

Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Al-Mulk : 2]

Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian

5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam.

هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ

Ini adalah hari yang amat sulit.. [Huud : 77]

Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil.

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَايَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. [Al-Faathir : 13]

Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya, maka hal ini termasuk larangan. [4]. Dalilnya.

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ“ هُوَ الدَّهْرُ

Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.

Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang dan malam. [HR. Muslim 5862]

Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan [5]

6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab, “Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”

Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau berkata.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta dan kehormatannya. [Shahih Muslim 2564]

Begitulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”

Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”. Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” [HR. Muslim]

Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:

a). Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”

b). Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan disunnahkan. Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam yang masyhur.

إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعِ نَفَرٍ فَذَكَرَ رَجُلَيْنِ : رَجُلاً أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ رَجُلاً لَمْ يُؤْتِهِ مَالاً لَكِنَّهُ يَقُوْلُ : لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ مَالِ فُلاَنٍ لَفَعَلْتُ مِثْلَ مَا فََعَلَ قَالَ صلى الله عليه و سلم فَهُوَ فِي اْلأَجْرِ سَوَاءٌ
Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata, “Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal. [Shahih Jami’ 3024]

c). Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.

8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau, “Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.

Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan. [Ar-Rahman : 26-27]

Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

9. Salah memahami ‘Ibadah’.
Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيمَانِ

Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim]

Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)

10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya. Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ

Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim. [Luqman : 34]

Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan keimanan.

Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut. Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia), ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. [HR. Bukhari]

Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.

11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.

Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. [6]

12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan sabda Rasulullah.

لاَيَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَّ الدُّعَاءُ

Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a. [Dihasankan oleh Al-Albani]

Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a. Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi]

Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a juga sudah ditakdirkan oleh Allah.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghaafir : 60]

13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini dipertegas dengan firman Allah.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya [Al-An’am: 116]

Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.

14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.

Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah.

فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah: 22]

Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.

Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih gRadhiyallahu 'anhum.

15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.

اللهُ أَعْلَمَ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,

مَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ الله أَوْ قُتِلَ فَهُوَ شَهِيْدٌ

Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.

Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz من menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”

16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.

17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. [Abu Daud]

Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.

18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”

Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu'laiahi wa asallam,

لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ

Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].

Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah ( khat ) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat dikabulkan doanya.

19. Mencaci-Maki Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi n ,

لاَ تَسُبُّوْا الشَّيْطَانَ وَ تَعَوَّذُوْا بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ

Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya]

Dan hadits yang lain.

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ

Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka terantuklah tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau n bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’. Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.” [Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237] [7]

Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.

20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar. [HR. Bukhari 5757, Muslim 2220]

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih. Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.

Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

sumber:  http://almanhaj.or.id/


dalam bahasa lainnya:

http://almanhaj.or.id/
http://melayuholykoran.blogspot.com/
http://qurangermany.blogspot.com/
http://holyquranurdu.blogspot.com/
http://coranspain.blogspot.com/
http://alquranserb.blogspot.com/
http://rusiaquran.blogspot.com/
http://holyquranhindi.blogspot.com/
http://coranfranche.blogspot.com/
http://al-quranbahasa.blogspot.com/
http://melayuholykoran.blogspot.com/
http://muqaddasquran.blogspot.com/
http://albamiaquran.blogspot.com/
http://kuran-kerimal.blogspot.com/
http://quranfarsi.blogspot.com/
http://qurangermany.blogspot.com/
http://holyquranurdu.blogspot.com/
http://coranspain.blogspot.com/
http://al-quranbahasa.blogspot.com/
http://www.allvoices.com/users/yusufagusno
http://holykoranenglish.blogspot.com/
http://kekabah.blogspot.com/
http://travelandhealthnews.blogspot.com
http://entertainmentandgetextramoney.blogspot.com
http://mjusuf.blogspot.com/
http://computer-internet-usaha.blogspot.com/
http://computer-internet-3d-animationsetc.blogspot.com/
http://newsvideo-photo.blogspot.com/
http://allsportcourseskursusolahraga.blogspot.com/
http://computer-internet-bussines.blogspot.com/
http://education-pendidikan-online.blogspot.com/
http://jobvacancieslowongankerja.blogspot.com/
http://soccercoursessepakbola.blogspot.com/
http://moviemusicfilmmusik.blogspot.com/
http://languagecourseskursusbahasa.blogspot.com/
http://cookreciperesepmasakan.blogspot.com/
http://clickbankbussinesbankdatabisnis.blogspot.com/
http://entertainmentandgetextramone.blogspot.com
http://al-quranbahasa.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment