Wednesday, May 9, 2012

Mengambil Lahiriyah (apa adanya/seutuhnya) Al-Qur'an Dan As-Sunnah Merupakan Prinsip Dasar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah


Mengambil Lahiriyah (apa adanya/seutuhnya) Al-Qur'an Dan As-Sunnah Merupakan Prinsip Dasar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dasar pertama bagi mereka, karena Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah satu-satunya sumber untuk mengambil atau mempelajari ‘aqidah Islam. Seorang Muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur-an dan As-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang Muslim, dan apa yang dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang Muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [Al-Ahzaab: 36]

Sikap orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwasanya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dikatakan beriman.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa': 65]

Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, manakala mereka berselisih, dalam menentukan jalan keluar dari apa yang mereka perselisihkan. Simaklah firman-Nya berikut ini:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]

Imam Mujahid (wafat th. 103 H) rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah maksudnya adalah kembali kepada kitab Allah Azza wa Jalla. Sedangkan kembali kepada Rasul maksudnya adalah kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Penafsiran seperti ini juga dilakukan oleh para ulama Salaf lainnya.[1]

Hal terbesar yang membedakan antara Salaf dengan yang lain dari golongan pelaku bid’ah (ahli bid’ah) adalah, Salaf menghormati dan menjunjung tinggi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah bagi mereka adalah penjelas, penafsir dan pengurai Al-Qur-an, baik dalam bidang ‘aqidah maupun syari’ah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil lahiriyah hadits, tidak menakwilkan serta tidak menolaknya dengan argumentasi yang lemah, sebagaimana ahli kalam yang mengatakan, bahwa hadits-hadits itu adalah hadits-hadits Ahad yang tidak bisa dijadikan sebagai dasar ilmu dan keyakinan. Ucapan ahli kalam ini sesat dan menyesatkan.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah melihat bahwa di dalam syari’ah, kedudukan As-Sunnah adalah seperti Al-Qur-an. Apa yang ditetapkan dalam As-Sunnah adalah seperti apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur-an, dan apa yang diharamkan oleh As-Sunnah sama dengan apa yang diharamkan oleh Al-Qur-an. Sebabnya adalah karena keduanya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.[2]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Tafsiiruth Thabari (IV/154, no. 9884-9886) dan Tafsiir Ibni Katsiir (I/568).
[2]. Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/86).


Kesebelas:
SUNNAH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MENAFSIRKAN AL-QUR'AN, DALAM MENGURAIKAN, MENERANGKAN DAN MENJELASKAN NAMA DAN SIFAT ALLAH[1]


Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani semua hal yang disifatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits-hadits yang shahih dan telah diterima oleh para ulama. Hukum As-Sunnah sama dengan hukum Al-Qur-an dalam menetapkan ilmu, keyakinan: ‘aqidah (i’tiqad) dan amalan, karena As-Sunnah menjelaskan Al-Qur-an tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah menurut hakikatnya yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.[2]

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Dan Allah telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah) kepadamu.” [An-Nisaa': 113]

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Dan Allah telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah).” [Al-Baqarah: 129]

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]

Pada firman-Nya yang lain:

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ ۙ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur-an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [An-Nahl: 64]

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarang, maka jauhilah.” [Al-Hasyr: 7]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamanya.”[3]

Maka, segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Sifat-Sifat Allah, maka sesungguhnya Al-Qur-an telah menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang hadits-hadits mengenai Sifat Allah Azza wa Jalla:

نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا وَلاَ نَرُدُّ شَيْئًا مِنْهَا إِذَا كَانَتْ أَسَانِيْدُ صِحَاحٌ.

“Kita mengimani dan meyakininya dengan tidak menolak sedikit pun daripadanya, jika isnadnya shahih.”[4]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Hindari Koran, Tadabburi Al-Qur'an


Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


Sekarang ini membaca koran sudah menjadi rutinitas yang nyaris tidak bisa ditinggalkan oleh manusia. Dimana-mana tersedia bacaan yang satu ini, di rumah, kantor, restoran, warung, bahkan sebagian orang ada yang menyempatkan diri membaca koran di toilet. Seakan koran sudah seperti bacaan wajib bagi mereka. Sikap yang berbeda mereka tujukan untuk al-Qur’ân, sebuah kitab yang menjadi pedoman hidup. Al-Qur'ân nyaris tidak tersentuh, apalagi diperhatikan. Mereka lebih hafal nama koran, atau tokoh-tokoh dalam koran daripada nama surat-surat al-Qur’ân. Bahkan lebih ironinya lagi, banyak dari mereka yang tampak tekun memelototi koran, ternyata tidak bisa baca al-Qur’ân. Sebegitu pentingkah berbagai sajian koran bagi mereka ? Sehingga rela meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk membaca dan mengikuti buah tangan para wartawan.

Allâh Azza wa Jalla telah menyediakan bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bacaan yang sangat berkualitas, berisi hidayah yang menunjukkan hal-hal terbaik bagi mereka. Membacanya adalah ibadah yang berbuah pahala, bahkan pada setiap huruf dihitung satu pahala.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ آلم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim adalah satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu satu huruf" [1]

Al-Qur'an adalah bacaan yang tidak ada kebohongan dan kebatilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebuah bacaan yang akan mendatangkan ketenangan jiwa dan kekhusyukan hati. Itulah al-Qur’ânul Karîm, Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Membaca al-Qur'ân adalah ibadah yang tidak selayaknya diremehkan apalagi ditinggalkan oleh seorang Muslim. Membaca al-Qur'ân termasuk dzikrullâh yang sangat agung. Allâh Subhanahu wa Ta'ala telah menjanjikan pahala dan keutamaan yang sangat besar bagi orang yang senantiasa membaca dan mempelajari al-Qur’ân.

Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri". [Fâthir/35:29-30]

Dan Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita supaya membacanya dengan tartil dan sungguh-sungguh.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

"Dan bacalah al-Qur'ân itu dengan tartil (perlahan-lahan)". [al-Muzammil/73:4].

ذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

"Orang-orang yang telah Kami berikan al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya". [al-Baqarah/2:121]

Yaitu membacanya dengan memperhatikan hukum-hukum tajwîd, kaidah-kaidah bacaan, mentadabburi kandungan dan mengamalkan isinya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menganjurkan kita untuk senantiasa membaca, mentadabburi, mempelajari, mengajarkan dan memperhatikannya.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur'ân dan mengajarkannya".[2]

Bahkan kalaupun belum lancar, kita tetap dianjurkan untuk membacanya.

Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

"Orang yang mahir membaca al-Qur'ân akan bersama rombongan Malaikat yang mulia lagi terpuji. Dan orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapatkan dua pahala". [3]

Dan dengan membaca al-Qur'ân, seorang mukmin akan terbedakan dengan fasik, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا

"Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur'ân adalah seperti al-utrujjah (sejenis jeruk), aromanya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur'ân adalah seperti buah kurma yang tidak memiliki aroma tapi manis rasanya. Perumpamaan seorang fasiq yang membaca al-Qur'ân seperti ar-raihaanah, aromanya wangi tapi rasanya pahit dan perumpamaan seorang fasiq yang tidak membaca al-Qur'ân seperti al-hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma".[4]

Disamping itu, al-Qur'ân juga akan menjadi pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

"Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya". [5]

Setiap kali membaca al-Qur'ân, seorang Mukmin akan naik derajatnya satu tingkatan. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً

"Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rabbku, hiasilah ia (penghafal al-Qur’ân).” Maka iapun dipakaikan mahkota kemuliaan. Lalu al-Qur'ân berkata, “Wahai Rabbku, tambahkanlah untuknya.” Maka iapun dipakaikan jubah kemuliaan. Lalu al-Qur'ân berkata, “Wahai Rabbku, ridhailah ia.” Maka Allâh pun meridhainya. Kemudian dikatakan kepadanya (penghafal al-Qur’an), “Bacalah dan naiklah, untuk tiap-tiap ayat akan ditambahkan bagimu satu pahala.". [6]

Dan masih banyak lagi keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keutamaan membaca al-Qur'ân. Lalu pantaskah kita ganti yang lebih utama ini dengan sesuatu yang rendah ?

Bukankah menyibukkan diri dengan tilâwah al-Qur'ân dan menghafalnya lebih utama daripada menyibukkan diri membaca koran ?

Mengabaikan al-Qur'ân dan beralih kepada koran akan menyebabkan kekosongan hati dan kehampaan pikiran. Sebagian orang jahil apabila sedang kosong, ia sibuk menelaah. Menelaah apa? Menelaah majalah, koran dan tabloid. Bukankah lebih baik mengisi kekosongan waktu dengan membaca atau menghafal al-Qur'ân ? Terlebih bagi seorang penuntut ilmu. Bahkan salah satu penyebab seorang penuntut ilmu itu mengalami future (sindrom) adalah beralih dari al-Qur'ân ke koran.

Termasuk bentuk fitnah pada hari ini adalah promosi-promosi terselubung yang banyak sebarkan oleh orang-orang kafir dan fasik melalui berbagi media audio visual maupun cetak, melalui program-program radio dan televisi, majalah, koran, buku dan selebaran-selebaran. Orang-orang jahil kembali menjadi korban dengan mengkonsumsi barang-barang itu. Merekapun percaya, meyakini kebenarannya, menggandrunginya dan akhirnya terpedaya. Tanpa sadar mereka mengagumi keyakinan dan ibadah orang-orang kafir. Orang-orang awam akan melahap semua yang ada di koran-koran itu.

Ini merupakan bahaya besar yang dapat menerkam setiap orang jahil yang tidak punya tameng ilmu untuk menangkis syubhat-syubhat tersebut. Sebagian orang yang merasa berilmu beralasan bahwa kesibukannya membaca koran adalah untuk mengetahui fiqhul waqi’, mengetahui perkembangan terkini. Inilah syubhat mereka. Sehingga membaca koran menjadi kegiatan utama sementara membaca al-Qur'ân menjadi kegiatan nomor sekian bahkan tidak masuk agenda sama sekali.

Syaikh Abdul Mâlik ar-Ramadhâni hafizhahullâh telah membantah syubhat seperti ini. Beliau hafizhahullâh mengatakan, “Alangkah besar kejahatan para pendidik itu! Karena mereka telah memalingkan umat dari penyakit sesungguhnya! Lalu bagaimana umat bisa mendapatkan obatnya?! Betapa besar musibah ini! Musibah yang memalingkan umat dari jalan Allâh Azza wa Jalla ! Memalingkan umat dari ilmu al-Qur'ân dan as-Sunnah, dari mengangungkan keduanya dan berkumpul di majelis-majelis Ulama kepada ilmu politik terkini dan berkumpul mendengarkannya dari media-media informasi politik audio maupun visual (radio dan televisi), koran-koran maupun majalah! Yang mana kejujuran adalah suatu hal yang tabu! Bahkan berlalu tanpa acuh di hadapan para pengikut al-Qur'ân dan as-Sunnah! Hobbi mereka adalah melihat video (film) dan membaca majalah al-Bayân dan as-Sunnah [7]. Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur'ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh!

Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi!

Abu Nu'aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari seorang lelaki dari Bani Asyja' ia berkata, "Orang-orang mendengar berita kedatangan Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu 'anhu dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang.

Ia melanjutkan, "Salman pun bangkit dan berkata, "Duduklah, duduklah! Setelah semua hadirin duduk, beliau Radhiyallahu 'anhu membuka majelis dengan membacakan surat Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu 'anhu marah. Beliau Radhiyallahu 'anhu berkata, "Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!"

Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di dalamnya terkandung anjuran qanâ'ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla :

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ

"Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik". [Yûsuf/12:3]

Dan karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diminta membacakan kisah-kisah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan kepada mereka ayat-ayat yang diturunkan Allâh Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat Yûsuf ini.

Seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu ketika melihat orang-orang lebih suka membaca kitab yang bercerita tentang keajaiban-keajaiban umat terdahulu.[9]

Semoga Allâh meridhai para Salaf ! Betapa besar kesungguhan mereka dalam mengikuti sunnah nabi!”

Kemudian beliau melanjutkan, “Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu 'anhu serta para sahabat lainnya telah mendengar desas-desus bahwa raja Ghassân hendak menyerang mereka. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dengan alasan mengikuti perkembangan ! Sangat disayangkan sekali, bila Anda memasuki perpustakaan-perpustakaan umum yang biasa dikunjungi oleh para pelajar, akan Anda lihat mereka lebih banyak berkumpul di bagian majalah dan koran-koran sedang asyik mengulas berita. Padahal perpustakaan itu dipenuhi dengan koleksi kitab-kitab tauhid, tafsir dan hadits. Jarang sekali Anda lihat mereka menjamah kitab-kitab tersebut kecuali bila terpaksa, misalnya untuk menulis makalah untuk meraih gelar atau untuk mencari sesuap nasi. Kecuali segelintir pelajar saja yang memang benar-benar berminat menimba ilmu agama! Sungguh aneh memang! Berapa banyak diantara mereka yang tidak memiliki buku doa harian dan dzikir nabawi. Wajar saja karena dzikir dan wirid mereka bersama siaran-siaran radio dan televisi serta berita-berita koran ! Wallâhul Musta'ân.

Syaikh al-Albâni rahimahullah mengkritik perkataan Nashir al-Umar tentang referensi fiqih wâqi' yang mengatakan, "Berita politik dan informasi dari media massa merupakan referensi terpenting sekarang ini. Dalam bentuk media cetak (koran dan majalah) maupun audio visual (radio dan televisi). Sebagai contoh : koran, majalah, tabloid, bulletin, informasi dari sejumlah kantor berita internasional, siaran radio dan televisi, kaset, piagam dan beberapa media informasi modern lainnya"

Salah seorang hadirin bertanya kepada Syaikh al-Albâni rahimahullah , "Bagaimana pandangan Anda tentang referensi tersebut ?" Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab, "Itu musibah! Kita semua tahu bahwa berita yang disebarkan oleh orang kafir ke negara-negara Islam hanyalah untuk memperdaya kaum Muslimin. Lalu bagaimana mungkin berita-berita seperti itu digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi ? Sebagai konsekuensinya, harus dibentuk tim wartawan atau reporter Muslim yang tugasnya khusus mempelajari berita-berita itu menurut kode etik aqidah dan agama. Tim ini harus independen, tidak boleh bergantung kepada pihak lain sebagaimana yang Anda singgung tadi. Sumber berita yang Anda sebutkan tadi tentu tidak sama dengan konsekuensi yang saya sebutkan ini !"

Nashir al-Umar berusaha membela diri, ia mengklaim telah memberi batasan-batasan dan pantangan-pantangan, ia menyebutkan diantaranya :

"Pertama, memegang teguh kaedah-kaedah dasar syariat, pedoman ilmiah dan logika dalam menganalisa berita, memprediksi kemungkinan dan meramalkan masa depan.

Kedua, mengecek kebenaran berita dan teliti dalam menyampaikannya. Saya telah menjelaskan masalah ini sebagai berikut : Tindakan yang tepat, menjauhi bahaya dan kesalahan serta memperhatikan batasan-batasan tersebut dalam menerima berita."

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata: "Akan tetapi hal itu tidak mungkin diwujudkan. Anda meletakkan kaedah yang teoritis dan cuma berlaku di atas kertas saja! Hal itu tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan konsekuensi yang saya sebutkan tadi. Dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab kelompok tertentu apalagi orang-perorang. Sebagaimana yang kami ketahui, saluran radio BBC London bukanlah milik pemerintah, namun milik perusahaan swasta.

Syaikh rahimahullah melanjutkan: "Jadi harus ada lembaga atau badan yang didirikan atas kesepakatan negara-negara Islam untuk melaksanakan fardhu kifâyah ini dalam rangka membantu memahami berita-berita tersebut. Jika pemerintah tidak sanggup -–dalam hal ini pemerintahlah yang paling berhak dan paling kuasa melaksanakan fardhu kifayah tersebut-- barulah badan-badan swasta yang ditangani oleh kaum Muslimin yang punya kepedulian dalam masalah ini yang melaksanakannya. Mereka harus menugaskan pekerja-pekerjanya untuk menukil berita-berita itu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Jika hal itu terlaksana barulah kita tidak lagi bergantung kepada pihak lain dalam mengolah berita musuh dan seteru kita. Kemudian barulah kita coba menerapkan batasan-batasan yang Anda sebutkan tadi. Sebab, tidak seorangpun dapat memastikan kebenaran berita-berita itu selama masih bersumber dari orang-orang kafir. Sama halnya bila kita ingin memastikan kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang terpercaya lagi tsiqah.....Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang yang ingin menyelami fiqh waqi' dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat. Maka tidaklah mungkin merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi' seperti yang Anda sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu mushtalah hadits."

al-Umar berkata, "Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?"

Syaik al-Albâni rahimahullah menanggapi, "Hal itu sangat sulit diwujudkan!"

al-Umar berkata, "Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai Syaikh...."

Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: "Semoga Allâh memberkati Anda, berhubung melimpahnya berita dan banyaknya sumber berita dari kalangan kaum kafir, maka akibatnya seseorang akan tenggelam ditelan gelombang berita tersebut. Hal itu sangat sulit terealisasi sekarang ini !"[10]

Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, "Apa sandaran fiqih yang mereka sebut fiqh waqi' itu ? Apakah koran, majalah dan siaran-siaran radio ? Bukankah berita-berita koran, majalah dan radio itu banyak bohongnya ? Media-media informasi cetak maupun eletronik sekarang ini tidak bisa dijadikan sandaran. Boleh jadi beberapa rancangan terdahulu sudah basi karena keadaan ternyata berubah! Bilamana seorang yang berakal memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini tentu ia dapat mengetahui bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan itu tidak lagi riil. Oleh sebab itu menurut kami memalingkan para pemuda dari menuntut ilmu agama dan mengalihkannya kepada berita-berita fiqih waqi' itu, membolak-balik majalah, koran dan mendengar siaran-siaran berita merupakan penyimpangan manhaj!"[11]

Itulah nasihat dari para ulama rabbani kepada umat khususnya kepada para pemuda dan kalangan penuntut ilmu. Janganlah terpedaya dengan syubhat-syubhat yang menyesatkan, sehingga kita terpalingkan dari kebenaran dan hidayah, wallahul musta’ân.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

Adakah Ayat Al-Qur'an Yang Mansukh?



Soal:
Ringkasan pertanyaan:
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?
3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: لَيْسَ فِيْ الْقُرْآنِ آيَةٌ مَنْسُوْخَةٌ
“Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang mansukh!”.
4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat golongan Mu’tazilah?

Adli Shidqi bin Minghat
Pesantren Persatuan Islam 1-2 Bandung
JL. Pajagalan, no: 14-16, Bandung 40241

Jawaban.
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
Nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an itu ada. Dan untuk melengkapi jawaban ini, silahkan simak Rubrik Fiqih edisi 3 ini.

2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?

Jawab:
Ayat 27 surat Al-Kahfi yang dimaksudkan berbunyi: لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ
Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. [Al Kahfi :27]

Yaitu kalimat-kalimat Allah yang ada dalam Al-Qur’an tidak akan ada seorangpun yang dapat merobahnya dan menggantinya. Dan begitulah kenyataannya. Semenjak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak ada siapapun yang dapat merubahnya dan menggantinya, kecuali Allah sendiri secara langsung atau lewat rasulNya berdasarkan wahyu Allah. Dan ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Adapun perkataan Ustadz Abdul Qadir Hassan rahimahullah tentang ayat ini (beliau berpendapat “tidak ada ayat mansukh dalam Al-Qur’an”): “Menurut ayat ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merobah firman-firman Allah. Maka tidak patut kita mengatakan “ini mansukh” “itu mansukh”, kalau tidak ada keterangan dari yang mempunyai firman itu”. [1]

Maka kami jawab:
Benar bahwa kalau tidak ada keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu tidak seorangpun berhak merobah firman-firmanNya. Oleh karena itulah banyak ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa Naasikh (Yang menghapuskan hukum) pada hakekatnya adalah Alloh. Sehingga yang menjadi naasikh adalah dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun ijma’ atau qiyas tidak menjadi nasikh.

Dan telah datang keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu, atau dari Rasulnya, atau penjelasan para sahabat –yang mereka adalah manusia terbaik setelah para nabi- tentang mansukhnya sebagian ayat Al-Qur’an. Sebagaimana hal itu disebutkan oleh para ulama ahli ushul fiqih. Dan adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh oleh ayat lainnya dalam Al-Qur’an telah terjadi ijma’ padanya, sebagaimana akan kami sampaikan insya Alloh. Sedangkan ijma’ adalah haq, karena umat Islam tidak akan bersatu di atas kebatilan.

Adapun ayat 42 surat Al-Fushilat berbunyi:

لاَ يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an) baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [Al-Fushilat :42]

Ayat ini dipakai dalil oleh Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah, tentang tidak adanya naskh dalam Al-Qur’an, karena dia menganggap naskh merupakan kebatilan. Namun pemahaman tersebut tidak benar!

Tentang maksud ayat ini, Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: Syaithon dari kalangan syaithon-syaithon jin dan manusia tidak akan mendekatinya, baik dengan mencuri (dengar-red), memasukkan sesuatu yang bukan darinya kepadanya, menambah, ataupun mengurangi. Maka Al-Qur’an itu terjaga di saat turunnya, terjaga lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya. (Alloh) Yang telah menurunkannya telah menjamin penjagaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[Al Hijr:9] [2]

Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi berkata: “Sisi pertama: Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an)”, mungkin kebatilan (dalam ayat ini) maknanya adalah kedustaan. Yaitu: kedustaan tidak akan menyusulnya. Atau, kemungkinan yang dimaksudkan adalah bahwa kitab (Al-Qur’an) ini tidak didahului oleh kitab Allah Ta’ala yang membatalkannya, dan tidak akan datang setelahnya (kitab) yang akan membatalkannya. Sisi kedua: Kita menerima bahwa naskh adalah membatalkan hukum, sedangkan kebatilan (artinya) bukanlah membatalkan. Kebatilan adalah kebalikan dari al-haq, sedangkan naskh adalah haq, tidak ada sisi kebatilan padanya. Dan kita mungkin menambahkan sisi yang ketiga: yaitu bahwa yang dimaksudkan dengan kebatilan adalah perobahan dan penggantian sebagaimana terjadi pada kitab-kitab dahulu. Maka kebatilan dengan makna ini tertolak sama sekali dari Al-Qur’an. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 428-429, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih Adh-Dhuweihi]

Maka ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh, karena adanya ayat yang masukh bukanlah kebatilan, bahkan itu adalah haq, dan telah terjadi ijma’ tentang hal itu.

3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: “Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang mansukh!”.

Jawaban:
Menangapi perkataan Abu Muslim di atas, para ahli ushul berbeda pandangan, menjadi beberapa kelompok:

1. Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh di dalam syari’at, namun dia membolehkannya menurut akal.

Al-Amidi rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya naskh secara akal dan terjadinya secara syari’at, dan tidak ada yang menyelisihi di antara umat Islam dalam hal itu kecuali Abu Muslim Al-Ashfahani. Dia menolak hal itu secara syara’ dan membolehkannya secara akal ”. [3]

Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh (yang mansukh) dalam ayat Al-Qur’an, menurut akal, namun dia mengakui adanya di dalam syari’at.
Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Roozi (wafat 606 H) berkata: “Umat telah sepakat atas bolehnya naskh (di dalam) Al-Qur’an. Namun Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan: “Tidak boleh”. [4]

Jika memang kemungkinan 1 atau 2 ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka pendapatnya tertolak dengan ijma’ dan dalil-dalil lainnya yang telah kami sampaikan.

2. Bahwa Abu Muslim tidak menolak adanya naskh, namun dia menamakannya dengan “takhshiish zamaniy”. Yaitu bahwa hukum itu berlaku pada waktu yang dikhususkan sebelum turunnya naasikh. Jika memang ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka dia hanyalah menyelisihi penamaan, bukan menyelisihi hakekat adanya naskh. Ini berarti tidak ada satu orangpun di kalangan ulama’ umat Islam yang mengingkari naskh dalam Al-Qur’an!

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Tidak diragukan bahwa mengingkari naskh merupakan perkara yang rusak, dan bahwa adanya naskh boleh/mungkin menurut akal –sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa naskh tidak mengharuskan bada’ (nampaknya sesuatu terhadap Alloh yang sebelumnya samar). Demikian juga adanya naskh nyata secara syara’, dalilnya adalah firman Allah.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Dan firman Alloh Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya. [An Nahl :101]

Dan pengingkaran Abu Muslim Al-Ashfahani (dia ini seorang Mu’tazilah!) terhadap naskh, maknanya adalah bahwa dia condong kepada (pendapat) bahwa naskh adalah pengkhususan pada zaman, bukan menghilangkan hukum, sebagaimana telah terdahulu penjelasannya”. [Mudzakiroh, hal: 126-127]

Bagaimanapun juga, maka pendapat Abu Muslim di atas adalah pendapat yang sangat ganjil di kalangan ulama Islam. Abul Husein Al-Bashri berkata: “Umat Islam telah sepakat tentang bagusnya naskh syari’at-syari’at, kecuali satu hikayat ganjil dari sebagian umat Islam, bahwa naskh itu tidak bagus”. [Al-Mu’tamad 1/370]

Imam Asy-Syaukani berkata: “Naskh boleh secara akal dan terjadi secara sam’ (agama). Tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara umat Islam, kecuali yang diriwayatkan dari Abu Muslim Al-Ashfahani, dia mengatakan bahwa naskh boleh (secara akal) namun tidak terjadi (secara syari’at). Jika (perkataan) ini benar darinya, maka ini dalil bahwa dia adalah seorang yang bodoh terhadap syari’at Nabi Muhammad dengan kebodohan yang sangat buruk. Dan lebih mengherankan lagi daripada kebodohannya adalah hikayat orang yang menghikayatkan darinya: adanya perselisihan di dalam kitab-kitab agama. Karena sesungguhnya yang dianggap (perselisihan) adalah perselisihan ahli ijtihad, bukan dengan perselisihan orang yang kebodohannya telah sampai pada puncak ini”. [5]

4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah pendapat golongan Mu’tazilah?

Jawaban:
Itu bukan pendapat Mu'tazilah. Karena orang-orang Mu’tazilah, seperti Al-Qodhi Abdul Jabbar, Abul Husein Al-Bashri, mengakui adanya naskh. Pendapat di atas adalah pendapat ganjil dari Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah.[6]

Wallohu a’lam bish Showwab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

Penyelewengan Terhadap Ayat : Ingatlah Suatu Hari Kami Panggil Tiap Umat Dengan Pemimpinnya



Oleh
Ustadz Abu Minhâl


Penyelewengan Terhadap Ayat

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ

(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..[al-Isra : 71]


PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis, dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak. Para pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.

Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah, yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas. Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII, yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam "tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari kami panggil setiap manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan masuk neraka". Penyebutan kata "imam" yang dimaksud oleh LDII ialah amir mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ'i yang pernah berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan 'Ubaidah Lubis, pendiri LDII.[1]

Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah dicetuskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru) penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada muatan sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas dari dua sisi.[2]

Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun dari mereka yang memaknai kata "imam" dengan makna "syaikh-syaikh tarikat". Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu, seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk, mereka memberi penafsiran kata "imam" dengan makna kitab yang berisi amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.

Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.

Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah –sebagaimana klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.

Imam ath-Thabari rahimahullah sendiri merajihkan pengertian "imam" tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.

Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata "imam mereka" dalam ayat, yaitu "imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan".[3]

Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau: "Mungkin saja pengertian dari "imam mereka", maksudnya ialah setiap kaum (dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka …. (al-Qashash/28:41).

Mujahid berkata,"Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri".

Apabila telah jelas bahwa "imam" itu bisa bermakna panutan dalam hidayah atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan dihimpun di bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan maupun dalam kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia menjadi panutan dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang menjadi "imam" mereka al-Kitab dan as Sunnah, niscaya mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah

DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI[4]
Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat terbaik dan akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua wali Allah.

Al-Fûti berkata: "Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh (thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu ahli ma'rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya". Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan thariqatnya, dengan perkataannya: "Sungguh, seluruh wali akan memasuki kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok kita". Lihat ar-Rimâh, 2/29.

Sanggahan : Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas. Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?

Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu anggapan aneh yang sangat nyata.

Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar thariqatnya. Dia berkata: "Adapun orang-orang yang masih berada dalam kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas, kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta'ala, terhambat dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian". Lihat ar-Rimâh, 2/44.

Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan akhirat sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi Allah, walau bagaimanapun kondisinya". Lihat as-Sirrul-Akbar wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).

Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata: "Pegangilah ujung-ujung pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di majlisnya. Jangan sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh …, mereka semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya, dan komitmen dengan thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.

Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Tilawah Al-Qur'an Dan Adab-Adabnya




Seorang muslim meyakini kesucian dan keutamaan kalamullah, kalam yang paling utama dan sempurna; tidak ada cela dan kebatilan sedikitpun padanya. Al-Qur`an merupakan sebaik-baik dan sebenar-benarnya kalam, barangsiapa yang berhukum dengan Al-Qur`an pasti ia akan berada di atas keadilan dan jauh dari kezhaliman. Dan barangsiapa yang berpegang teguh dengan Al-Qur`an (dan Al-Hadits) sebagai jalan hidupnya dalam segala aspek kehidupanya maka -dengan idzin Allah Ta'ala- hidupnya akan sukses di dunia hingga di akhirat kelak. Namun hal itu tidak akan bisa tercapai kecuali jika kita mempelajari dan melaksakannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka kita -sebagai seorang muslim- tidaklah pantas melupakan Al-Qur`an dan mengambil hukum lain dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Dengan tilawah (membaca) dan memahami Al-Qur`an terus menerus, sedikit demi sedikit, Insya`Allah akan kita dapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang menambah keimanan kita.

Sebelum memasuki pembahasan inti (Tilawah Al-Qur`an & adab-adabnya) sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang makna Al-Qur`an, keutamaan – keutamaannya dan kewajiban-kewajiban yang bertautan dengannya, agar menambah semangat dalam Tilawah dan menjaga adab-adab terhadapnya.

MAKNA AL-QUR'AN
1. Secara bahasa atau etimologi.
Al-Qur`an (القرآن) adalah bentuk masdar dari kata ( يقرأ وقرآناً قرأ ) yang memiliki dua makna: (تلا) “Talaa” atau (جمع) “Jama`a”. Maka ma`nanya:
• (تلا) menjadi Isim maf`ul yang artinya (متلو) “Yang dibaca/ bacaan”.
• (جمع) menjadi mashdar, maka ma`nanya menjadi Isim Fa`il atau Kumpulan dari berbagai macam khabar-khabar dan hukum-hukum.

2. Secara syari`at
Al-Qur`an adalah kalamullah Ta`ala yang diturunkan kepada rasul-Nya dan penutup para nabi, yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنزِيلاً

Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Al-Qur`an dengan sebenar-benarnya turun”. [Al-Insaan 23]

Allah Ta'ala telah menjamin Al-Qur`an yang agung ini dari perubahan; penambahan dan pengurangan ataupun pergantian. Dia berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. ([Al-Hijr :9]

Telah berlalu masa yang cukup lama semenjak Al-Qur`an diturunkan ( kurang lebih 15 abad) namun kitab yang suci ini tidak mengalami perubahan, penambahan, pengurangan atau penggantian ini semua menunjukan kebenaran janji Allah Ta'ala . [Lihat: Kitab Al-Ushul fit-Tafsir oleh: Syaikh Al-Utsaimin, hal: 10]

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR'AN
Seorang hamba yang telah menyatakan dirinya muslim dan beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap Al-Qur`an, yang merupakan salah satu dari kitab-kitab Allah Ta'ala. Kewajiban-kewajiban itu antara lain:

1. Beriman terhadap Al-Qur`an. Konsekwensi pertama keimanan seorang mu`min terhadap Al-Qur`an adalah mempelajarinya, membacanya sekaligus mentadabburinya untuk mendapatkan nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu sifat Al-Qur`an adalah sebagai mau’izhah (nasehat; pelajaran). Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ

Hai sekalian manusia telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian. [Yunus : 57]

Demikian juga menjadikan Al-Qur`an sebagai petunjuk dalam menempuh perjalanan menuju Allah, dan dalam rangka inilah Al-Qur`an diturunkan. Firman-Nya.

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al-Isra`:9]

2. Setelah diimani dan di ketahui hukum-hukumnya maka kewajiban kedua adalah menjalankan perintah-perintah Al-Qur`an sekaligus menjauhi hal-hal yang dilarangnya, kemudian menda`wahkannya ke seluruh ummat manusia. Hal itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, dan seterusnya. Hal itu walaupun hanya satu ayat yang diilmu. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

بَلِّغُوْا عَنىِّ وَلَوْ آَيَةً… رواه البخارى في الأحاديث:3461)

Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat. [HR.Bukhari]

DIANTARA KEUTAMAAN TILAWAH DAN MEMPELAJARAI AL-QUR'AN
1. Orang yang mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur`an termasuk insan yang terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam bersabda.

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkanya” [HR Bukhari]

أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللهِ وَخَاصَّتُهُ ..رواه النسائى وابن ماجة والحاكم بإسناد حسن)

Ahli Al-Qur`an adalah Ahlullah dan merupakan kekhususan baginya
[HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah, Al-Hakim. Lihat: Kitab Minhajul Muslim. hal. 70]

2. Mendapatkan Syafaat dari Al-Qur`an pada hari kiamat.

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

Bacalah Al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat bagi pembacanya”.[1] [HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili]

3. Shahibul Qur`an akan memperoleh ketinggian derajat disurga.

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا

Dikatakan kepada Shahibul Qur`an (di akhirat): “Bacalah Al-Qur`an dan naiklah ke surga serta tartilkanlah (bacaanmu) sebagai mana engkau tartilkan sewaktu di dunia. Sesungguhnya kedudukan dan tempat tinggalmu (di surga) berdasarkan akhir ayat yang engkau baca”. [HR. Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dari Abdillah bin Amru bin Ash Radhiyallahu 'anhuma] [2]

4. Orang yang membaca Al-Qur`an akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
Firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. [Al-Fathir:29-30]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka dia akan memperoleh satu kebaikan dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya. Saya tidak mengatakan (الم) itu satu huruf, akan tetapi (ا) satu huruf dan (ل) satu huruf seta (م) satu huruf”. [HR. At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainya; dari Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu 'anhu] [3].

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

Orang yang Mahir membaca Al-Qur`an akan bersama para Malaikat yang Mulia, sedangkan orang yang membaca (Al-Qur`an) dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam membacanya, maka dia akan mendapatkan dua pahala. [HR. Muslim dalam Shahihnya dari `Aisyah Radhiyallahu 'anha]

5. Sakinah (ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada
orang-orang yang berkumpul untuk membaca Al-Qur`an.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah (ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan para malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisi-Nya. [HR. Muslim]

6. Bacaan Al-Qur`an merupakan “Hilyah” (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang beriman).

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

Perumpamaan orang mu`min yang membaca Al-Qur`an laksana buah “Al-Utrujah” (semacam jeruk manis) yang rasanya lezat dan harum aromanya, dan perumpamaan orang mu`min yang tidak membaca Al-Qur`an ibarat buah “At-Tamr” (kurma) rasanya lezat dan manis namun tidak ada aromanya, dan perumpamaan orang munafiq yang membaca Al-Qur`an ibarat “Ar-Raihanah” (sejenis tumbuhan yang harum) semerbak aromanya (wangi) namun pahit rasanya, dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca Al-Qur`an ibarat buah “Al-Handhalah” (nama buah) rasanya pahit dan baunya tidak sedap”. [HR. Bukhari, Muslim dari Abi Musa Al-Asy`ary Radhiyallahu 'anhu]
.
Dan diriwayatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengibaratkan bagi orang mukmin yang tidak pernah membaca Al-Qur`an (tidak ada bacaan Al-Qur`an didadanya) ibarat rumah yang tak berpenghuni; gelap, kotor, seolah-olah akan roboh.

إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ

Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur`an (yakni tidak memiliki hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. [HR. At-Tirmidzi, dan lainya] [4]

7. Orang yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur`an dan luas pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur`an.

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ

Orang yang paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur`an. [HR. Muslim]

8. Boleh hasad kepada orang yang ahli Al-Qur`an dan mengamalkannya.

لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ هَذَا الْكِتَابَ فَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَتَصَدَّقَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

Tidak boleh hasad [5] kecuali kepada dua orang : (1) Seseorang yang dikaruniai Al-Qur`an oleh Allah Ta'ala, kemudian ia melaksanakannya, di waktu siang maupun malam. (2) Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian ia bershadaqah dengannya di waktu siang maupun malam. [HR. Muslim]

9. Membaca dan memahami Al-Qur`an tidak bisa disamai oleh kemewahan harta duniawi.

أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ

Tidakkah salah seorang di antara kamu berangkat ke masjid untuk mengetahui atau membaca dua ayat dari Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat) lebih baik baginya dari pada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya dari pada empat (onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat lebih baik) dari onta. [HR. Muslim dari ‘Uqbah bin Amir]

10. Tilawah Al-Qur`an akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya atau orang yang mendengarkanya dengan baik.

11. Kedua orang tua akan dihiasi dengan mahkota pada hari kiamat.

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا فيقولان: بم أعطينا هذا؟ فيقال: بأخذ ولد كما للقرآن. (رواه أبو داود في الوتر(1456) وأحمد في مسنده (15218) والحاكم في المستدرك (2086) وقال: صحيح الإسناد ولم يخرجاه).

Barangsiapa membaca Al-Qur`an dan mengamalkannya, maka -pada hari kiamat- akan dipakaikan kepada kedua orang tuanya sebuah mahkota yang berkilau, yang sinarnya lebih baik dari sinar mentari, maka keduanya berkata: “Mengapa kami diberi mahkota ini? Maka dikatakan: “Karena anakmu mengambil (membaca dan mengamalkannya) Al-Qur`an”. [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim] [6]

MACAM-MACAM TILAWAH
Tiwalah Al-Qur`an secara umum terbagi atas dua bagian:

1. Tilawatu Lafdhihi ( تلاوة لفظه ) ya`ni membaca Al-Qur`an dari segi lafadz-lafadznya; tahapan ini yang mesti dilalui bagi pemula (orang yang baru mengenal islam) atau pun anak-anak, yaitu mengenal atau mengetahui makharijul huruf (tempat-tempat keluarnya huruf melalui lisan) dan shifat-shifat huruf Al-Qur`an serta mempelajari hukum-hukum tajwid yang semuanya guna memperbaiki tilawah itu sendiri; Sebagaimana arti tajwid itu sendiri:

a. Tajwid secara bahasa: ( جود – يجود – تجويداً) Ma`nanya “Menata sesuatu dengan baik” atau (التحسين) “Membaguskan”.
b. secara Istilah: (هو تصحيح التلاوة بالقرآن الكريم) “Yaitu membenarkan bacaan dalam tilawah Al-Qur`an Al-Karim”. [Al-Halaqatul Qur`an. hal.78]

2. Tilawatu Hukmihi (تلاوة حكمه) ya`ni membaca Al-Qur`an dari segi hukum-hukumnya ; yaitu menela'ah kandungan Al-Qur'an itu sendiri dengan mempercayai khabar-khabarnya, mengikuti hukum-hukum yang telah Allah tetapkan, dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi seluruh larangan yang telah disebutkan di dalamnya, dan inilah tujuan utama diturunkanya Al-Qur`an. Firman Allah Azza wa Jalla.

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. [Shad: 29]

Demikianlah jalan yang ditempuh oleh para salafus Shalih, dan atas dasar inilah mereka mempelajari Al-Qur`an kemudian mereka mempercayai beritanya dan menerapkan hukum-hukumnya.

Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahullah berkata: “Telah berkata kepada kami orang-orang yang membacakan/mengajarkan Al-Qur`an kepada kami, yaitu Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas`ud serta yang lainya: “Sesungguhnya mereka (para sahabat) apabila mempelajari 10 ayat (Al-Qur`an) dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tidak menambahnya sehingga mereka mengetahui ilmu dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: “Maka kami mempelajari Al-Qur`an, ilmu dan amal semuanya”. (Ini adalah atsar yang shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (1/80-Syakir) dan beliau berkata: “Ini adalah sanad yang shahih, bersambung”.
Dan beliau menyatakan:

فتعلمنا القرآن والعمل جميعاً بدون لفظٍ “العلم”

Maka kami mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkan semua (kandungannya)”, tanpa ada lafadz “Al-Ilmu”

Dan di antara hikmah tilawah adalah sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an sehingga bisa meyakini beritanya dan mengamalkan kandungannya, kemudian akan menghantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى {124} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا {125} قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى {126} وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat". Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan". Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih keka. [Thaha:123-127].

Sesungguhnya tilawah al-Qur’an adalah lebih afdhal (utama) daripada dzikir, dan dzikir lebih afdhal daripada do`a, hal ini dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitabnya “Al-Adzkar” halaman: 101, beliau menyebutkan: “Seseungguhnya tilawah al-Qur’an itu lebih afdhal daripada dzikir-dzikir, dan di dalam qira’ah (tilawah) mempunyai adab-adab dan tujuan-tujuan.”

Oleh sebab itu, hendaknya kita (semua) sebagai thalibul ilmi, memperhatikan adab-adab dan menetapkan tujuan ketika hendak membaca Al-Qur’an; karena memang sesungguhnya al-Qur’an ini (adalah) yang kita baca, kita dengar, kita hafalkan dan kita tulis adalah kalam Rabb kita, Rabb semesta alam yang Maha Awal dan Maha Akhir. Al-Qur’an ini merupakan tali Allah yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus, serta merupakan dzikir yang penuh berkah dan cahaya yang terang. Inilah di antara sifat-sifat agung al-Qur’an, maka wajiblah kita mengagungkan dan memuliakannya. Apabila seorang hamba hendak membacanya maka janganlah dia meremehkannya dan janganlah sambil bermain-main.

DIANTARA ADAB-ADAB TILAWAH
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya. [HR. Bukhari-Muslim]

2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika membaca, khusyu’, tenang dan sopan, berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau memikirkan (tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam tilawah.

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ

Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?! [An-Nisa’:82, Muhammad:24]

Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau memusatkan hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat yang kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, (ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka berusahalah untuk bisa menangis. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا

Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kamu membacanya hendaklah kamu menangis, jika kamu tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk menangis. [HR. Ibnu Majah] [7]

Allah berfirman:

وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. [Al-Israa : 109]

Ibnu Mas’ud berkata.

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) رَفَعْتُ رَأْسِي أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berkata kepadaku: “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku!” saya pun berkata: Ya Rasulullah, apakah saya harus membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka beliau menjawab: “Benar, akan tetapi saya senang (ingin) mendengarkan bacaan dari orang lain”. Kemudian sayapun membaca surat an-Nisa’ sampai: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (ayat 41). Maka beliaupun berkata: “Cukup-cukup, maka tatkala saya melirik kepada beliau, beliau meneteskan air mata. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya]

3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat yang suci (haram atau dilarang di WC) atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. Terutama di masjid sebagai upaya memakmurkan masjid

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ

Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]

Selain di tempat yang suci, kitapun sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan hadast besar dan hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta'ala

4. Membaca do`a Isti`azhah (berlindungan kepada Allah Ta'ala dari godaan setan) ketika hendak membaca al-Qur’an.

Allah berfirman

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]

Membaca basmalah apabila membaca al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat at-Taubah. Berlindung kepada Allah Ta'ala, yakni membaca:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

hukumnya wajib menurut sebagian ulama’ . [Lihat Mabahits fi Ulumil Qur’an]

Dan diantara bentuk membersihkan jasmani (selain mandi) ialah bersiwak atau memakai sikat dan pasta gigi dalam rangka membersihkan sisa makanan yang terdapat pada sela-sela gigi yang dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak enak baunya. Bersiwak merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut dan mendapat keridhaan Allah Ta'ala:

مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta'ala )”. [HR. Bukhari dalam bab Shaum.1831].

5. Menghadap kiblat hal ini juga sebagai upaya menghidupkan sunnah dalam bermajlis.

خَيرُْ المجالس ما استقبل القبلة (رواه الطبرانى فى الأوسط من حديث ابن عمر

Sebaik-baik Majlis adalah yang menghadap kearah qiblat. [HR. Thabrani dalan Al-Ausath hadits dari Ibnu Umar]. [8]

6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya` (agar dilihat orang) , sum`ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ..رواه أحمد وابن ماجة والنسائى والحاكم وصححه

Perindahlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian. (HR. Ahmad, Ibnu Majah Nasa`i dan Hakim menshahihkannya] [9].

Tetapi jangan sampai seseorang mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara orang lain dalam keadaan shalat, sedangkan hal yang demikian itu telang dilarang.

خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum, sedang mereka sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka janganlah kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur`an) kalian atas sebagian yang lain. [HR. Imam Malik dalam kitabnya “Al-Muwatha`”[1/80]), Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits shahih] [10]. [Lihat: Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]

7. Hendaknya membaca dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya` atau sum`ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam Masjid sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm.

الجْاَهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرُ بِالصَّدَقَةِ .

Mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur`an sama dengan menampakan dalam bershadaqah. [Minhajul Muslim, hal.71] [11]

Dan telah diketahui bahwa shadaqah yang dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu yang berfaidah. Misalnya: untuk mendorong orang lain agar melakukan seperti yang kita lakukan.

8. Hendaknya membaca Al-Qur`an dengan tartil.

وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا

Dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. [Al-Muzammil : 4]

Ali bin Abi Thalib menjelaskan ma`na tartil dalam ayat tersebut diatas adalah:
”Mentajwidkan huruf-hurufnya dengan mengetahui tempat-tempat berhentinya”. [Syarh Mandhumah Al-Jazariyah, hl. 13]

Maka seyogyanya bagi kita bersabar, jangan terburu ingin segera selesai (khatam) dalam membaca Al-Qur`an atau terburu nafsu ingin segera menguasai (memahami) Al-Qur`an sehingga lalai memperhatikan kaidah-kaidah dalam tilawah.

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang dalam tilawah, menamatkan al-Qur’an kurang dari 3 malam, sebab tidak akan bisa memahami maknanya. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ

Barangsiapa membaca al-Qur’an kurang dari 3 hari maka tidak akan dapat memahaminya. [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah]

Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma supaya mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari (sekali). [HR. Mutafaq Alaih]

Adapun beberapa riwayat dari Salafus Shalih yang menyatakan bahwa di antara mereka ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sehari semalam sekali, atau 2 kali khatam, atau 3 kali dan bahkan ada juga yang 8 kali khatam, maka semua itu tidak bisa menjadi hujjah karena bertentangan dengan hadits di atas. Demikian juga sekelompok Salaf tidak menyukai mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari semalam. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits di atas dengan perkataan: “Inilah yang benar dan sesuai dengan Sunnah. [Lihat At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an, tahqiq: Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth, hal: 49]

Bacaan dengan perlahan-perlahan (tartil), bukan dengan cepat-cepat, hal yang demikian itu akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya dan menghindari dari kesalahan dalam melafadzkan atau mengeluarkan huruf-hurufnya. Di dalam Shahih Bukhari disebutkan.

سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ

Dari anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa ketika ditanya tentang qira’ah (bacaan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia berkata: “Bahwa bacaannya panjang-panjang, kemudian membaca: ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ memanjangkan (بِبِسْمِ اللَّهِ ) kemudian (الرَّحْمَنِ) kemudian (الرَّحِيمِ ) [HR. Bukhari, 5046].

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu ayat). [HR. Ahmad (6/3020, Abu Dawud (4001) Tirmidzi (2927) dan Dishahihkan An-Nawawi, dalam “Al-Majmu’” 3/333 ]

Dalam kitab Majalis Fi Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin dijelaskan, bahwa tidak mengapa dengan (bacaan) cepat yang tidak sampai merubah lafadz, dan tidak meninggalkan sebagian huruf atau idghamnya. Tetapi apabila tidak benar dalam pengucapan idghamnya, sampai salah dalam lafadznya, maka hal itu haram, karena yang demikian berarti mengganti lafadz al-Qur’an”.

9. Hendaknya sujud, ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud, hal ini dilakukan dalam keadaan berwudhu’, di waktu siang maupun malam, dengan takbir dan mengucapkan: سبحان ربي الأعلى( Suci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdoa, kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan tanpa salam. [Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]

Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthany, menyebutkan bahwa do’a sujud tilawah yang dibaca, berbunyi:

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَ قُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakanku, yang memberi pendengaran dan penglihatanku, dengan daya dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. [HR. At-Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30 dan Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi 1/220]

Ada beberapa ayat yang disunahkan sujud ketika membacanya, yaitu:
Dalam surat al-A’raf: 206, Ar-Ra’d: 15, An-Nahl: 50, Al-Isra’:109, Al-Furqan: 60, Al-Hajj: 18 dan 77, Al-Furqan: 60, An-Naml:26, As-Sajdah:15, Shaad:24, An-Najm:62, Al-Isyiqaq:21, Fushilat:38, Al-Alaq:19

WAKTU-WAKTU TEPAT UNTUK TILAWAH AL-QUR'AN
Ketahuilah bahwa sebaik-baik bacaan adalah di waktu shalat. Dan madzab Imam Asy-Syafi’i dan yang lain rahimahullah, berpendapat memanjangkan bacaan (al-Qur’an) di dalam shalat lebih baik daripada (memanjangkan) sujud dan lainnya. Adapun bacaan selain di dalam shalat (yang afdhal) adalah bacaan di malam hari, dan pertengahan terakhir di malam hari lebih baik daripada di permulaan malam, bacaan yang dicintai (bacaan) di antara maghrib dan isya’, dan bacaan siang hari yang afdhal setelah shalat subuh. Dan bacaan diwaktu-waktu lain bukanlah waktu yang tercela untuk membaca al-Qur’an di dalam atau di luar shalat.

Adapun tatkala Ibnu Abi Dawud rahimahullah dari Mu’adz bin Rifa’ah dari para syeikh bahwasanya mereka membenci (tidak suka) bacaan setelah shalat ashar, dan mereka berkata: Sesungguhnya itu adalah waktu yang dipergunakan belajar oleh orang-orang Yahudi, maka (yang demikian) itu tidak dapat diterima, karena tidak ada dasarnya. [Dinukil dari kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi]

Demikianlah, maka kami mengajak seluruh pembaca untuk bersama-sama memanfaatkan waktu kita masing-masing untuk membuka lembaran demi lembaran kitab Allah, dengan penuh kecintaan dan tidak bosan-bosan, sesuai kesanggupan kita masing-masing. Kemudian kita dakwahkan kepada keluarga kita, saudara-saudara kita dan seluruh umat manusia, perlu diketahui bahwa membaca dan mengkhatamkan (menamatkan) al-Qur’an adalah merupakan aktifitas atau amalan yang terbaik.

Ikhwani fiddin...
Kita pelihara al-Qur’an, agar terjaga dari berbagai penyimpangan atau perubahan. Kita berdoa kepada-Nya, semoga Allah memperkenankannya. Semoga menjadi saksi bagi kita, kita bersyukur kepada-Nya, semoga kita diberikan rahmat dan petunjuk dari padaNya.

Akhirnya kita berdo’Allah Ta'ala dengan doa:
Ya Allah! Anugerahkan kepada kami dari bacaan Kitab-Mu agar (bacaan kami) menjadi sebenar-benarnya bacaan, dan jadikanlah kami, tergolong orang-orang yang mendapatkan kebaikan dan kebahagian.

Ya Allah!...jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya, orang-orang yang beriman dengan (ayat-ayat) yang muhkam (tetap, pasti dan jelas maknanya) dan mutasyabih (ayat-ayat yang sulit dipahami), meyakini berita-beritanya, dan dapat mengambil manfaat dari hukum-hukumnya, dan ampunilah kami dan kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin, dengan Rahmat-Mu Yang Maha Pemurah dan Pengasih, dan semoga shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang setia mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Disusun oleh Abdul Wahid).

Maraji’:
1. Kitab Al-Adzkar, An-Nawawiyah, (Nawawi)
2. Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jaabir Al-Jazaairi
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Majaalis Syahru Ramadhan, Muhammad bin Shalih bin Utsaimin
5. Hisnul Muslim, Said bin Wahfi Al-Qhahthany
6. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawy

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______

Berbenah Diri Untuk Penghafal Al-Qur'an



Oleh
Dr. Anas Ahmad Kurzun


Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menjamin kemurnian Al-Qur`ân telah memudahkan umat ini untuk menghafal dan mempelajari kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan para hamba-Nya agar membaca ayat-ayat-Nya, merenungi artinya, dan mengamalkan serta berpegang teguh dengan petunjuknya. Dia Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan hati para hamba yang shalih sebagai wadah untuk memelihara firman-Nya. Dada mereka seperti lembaran-lembaran yang menjaga ayat-ayat-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Sebenarnya, Al-Qur`ân itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim …"[al-Ankabût/29:49].

Dahulu, para sahabat Radhiyallahu 'anhum yang mulia dan Salafush-Shalih, mereka berlomba-lomba menghafal Al-Qur`ân, generasi demi generasi. Bersungguh-sungguh mendidik anak-anak mereka dalam naungan Al-Qur`ân, baik belajar maupun menghafal disertai dengan pemantapan ilmu tajwid, dan juga mentadabburi yang tersirat dalam Al-Qur`ân, (yaitu) berupa janji dan ancaman.

Berikut ini adalah nasihat yang disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Kurzun, diangkat dari risalah beliau Warattilil Qur'ana Tartila yakni menyangkut metode, sebagai bekal dalam meraih kemampuan untuk dapat menghafal Al-Qur`ân secara baik.

Karena, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah : Bahwasanya dahulu, para salaf mewasiatkan agar betul-betul memperbagus dan memperbaiki amalan (membaca dan menghafal Al-Qur`ân, Red.) Bukan hanya sekedar memperbanyak (membaca dan menghafalnya, Red.) karena amalan yang sedikit disertai dengan memperbagus dan memantapkannya, itu lebih utama daripada amalan yang banyak tanpa disertai dengan pemantapan. Lihat Risalah Syarah Hadits Syadad bin Aus, karya Ibnu Rajab, hlm. 35.

Mudah-mudahan dengan kedatangan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan ini, dapat kita manfaatkan untuk meningkatkan perhatian kita kepada Al-Qur`ân, mempelajarinya, mentadabburi, memperbaiki bacaan, dan menghafalnya. (Redaksi).

SATU : IKHLAS, KUCI ILMU DAN PEMAHAMAN
Jadikanlah niat dan tujuan menghafal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan selalu ingat bahwasanya yang sedang Anda baca ialah Kalamullah. Berhati-hatilah Anda dengan faktor yang menjadi pendorong dalam menghafal, untuk meraih kedudukan di tengah-tengah manusia, ataukah ingin memperoleh sebagian dari keuntungan dunia, upah dan hadiah? Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedikitpun dari amalan melainkan apabila ikhlas karena-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan (menjalankan) agama dengan lurus". [al-Bayyinah/98:5]

DUA : MENJAUHI MAKSIAT DAN DOSA
Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat cahaya al-Qur’ân. Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan mentadabburi Al-Qur`ân. Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Setan telah mengusai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah". [al-Mujadilah/58:19].

'Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/42 ayat 30- . Sungghuh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar.[1]

Ketahuilah, Imam asy-Syafi’i yang terkenal dengan kecepatannya menghafal, pada suatu hari ia mengadu kepada gurunya, Waqi`, bahwa hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata. Maka gurunya memberikan terapi mujarab, agar ia meninggalkan maksiat dan mengosongkan hati dari segala hal yang dapat memalingkannya dari Rabb.

Imam asy-Syafi’i berkata:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يؤتى لعاصى"
شَكَوْتُ إِلىَ وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ # فَأَرْشَدَنِيْ إِلىَ تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْــبَرَنِيْ بِأَنَّ الْعِلْـمَ نُوْرٌ # وَنُوْرُ اللهِ لَا يُـؤْتىَ لِعَاصِى

Saya mengadu kepada Waqi’ buruknya hafalanku,
maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat.
Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya,
dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat.

Imam Ibnu Munada berkata,"Sesungguhnya menghafal memiliki beberapa sebab. Di antaranya, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela. Hal itu dapat terwujud, apabila seseorang mencegah diri (dari keburukan, Pent.), menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ridha, memasang telinganya, dan pikirannya bersih dari ar-râin." [2]

Yang dimaksud dengan ar-râ`in, ialah sesuatu yang menutupi hati dari keburukan maksiat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka". [al-Muthaffifin/83:14].

Barang siapa menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala membukakan hatinya untuk selalu mengingat-Nya, mencurahkan hidayah kepadanya dalam memahami ayat-ayat-Nya, memudahkan baginya menghafal dan mempelajari Al-Qur`ân, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik". [al-’Ankabût/29:69].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah telah membawakan perkataan Ibnu Abi Hatim berkaitan dengan makna ayat ini: "Orang yang melaksanakan apa-apa yang ia ketahui, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberinya petunjuk terhadap apa yang tidak ia ketahui".[3]

TIGA : MEMANFAATKAN MASA KANAK-KANAK DAN MASA MUDA
Saat masih kecil, hati lebih fokus karena sedikit kesibukannya. Dikisahkan dari al-Ahnaf bin Qais, bahwasanya ia mendengar seseorang berkata:

اَلتَّعَلُّمُ فِيْ الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ عَلَى الْحَجَرِ ,
فَقَالَ الْأَحْنَفُ : اَلْكَبِيْرُ أَكْثَرُ عَقْلًا لَكِنَّهُ أَشْغَلُ قَلْبًا.

"Belajar pada waktu kecil, bagaikan mengukir di atas batu".

Maka al-Ahnaf berkata,”Orang dewasa lebih banyak akalnya, tetapi lebih sibuk hatinya.”

Seharusnya siapa pun yang telah berlalu masa mudanya supaya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menghafal. Jika ia konsentrasikan hatinya dari kesibukan dan kegundahan, niscaya ia akan mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur`ân, yang tidak dia dapatkan pada selain Al-Qur`ân.
Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`ân untuk pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran?". [al-Qomar/54:17].

Demikianlah di antara keistimewaan Al-Qur`ân.

Perlu Anda ketahui, tatkala manusia telah mencapai usia tua, saraf penglihatannya akan melemah. Kadangkala dia tidak mampu membaca Al-Qur`ân yang ada di mushaf. Dengan demikian, yang pernah dihafal dalam hatinya, akan dia dapatkan sebagai perbendaharaan yang besar. Dengannya ia membaca dan bertahajjud. Tetapi jika sebelumnya ia tidak pernah menghafal Al-Qur`ân sedikitpun, maka alangkah besar penyesalannya.

EMPAT : MEMANFAATKAN WAKTU SEMANGAT DAN KETIKA LUANG
Tidak sepantasnya bagi Anda, wahai pembaca, menghafal pada saat jenuh, lelah, atau ketika pikiran Anda sedang sibuk dalam urusan tertentu. Karena hal itu dapat mengganggu kosentrasi menghafal. Tetapi pilihlah ketika semangat dan pikiran tenang. Alangkah bagus, jika waktu menghafal (dilakukan) ba’da shalat Subuh. Saat itu merupakan sebaik-baik waktu bagi orang yang tidur segera.

LIMA : MEMILIH TEMPAT YANG TENANG
Yaitu dengan menjauhi tempat-tempat ramai, bising. Sebab, hal itu akan mengganggu dan membuat pikiran bercabang-cabang. Maka ketika Anda sedang berada di rumah bersama anak-anak, atau (sedang) di kantor, di tempat bekerja, di tengah teman-teman, jangan mencoba-coba menghafal sedangkan suara manusia di sekitar Anda. Atau di tengah jalan ketika sedang mengemudi, di tempat dagangan ketika transaksi jual beli. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya …" [al-Ahzab/33:4].

Sebaik-baik tempat yang Anda pilih untuk menghafal ialah rumah-rumah Allah (masjid) agar mendapatkan pahala berlipat ganda. Atau di tempat lain yang tenang, tidak membuat pendengaran dan penglihatan Anda sibuk dengan yang ada di sekitar Anda.

ENAM : KEMAUAN DAN TEKAD YANG BENAR
Kemauan yang kuat lagi benar sangat memengaruhi dalam menguatkan hafalan, memudahkannya, dan dalam berkosentrasi. Adapun seseorang yang menghafal karena permintaan orang tua atau gurunya tanpa didorong oleh kemauannya sendiri, ia tidak akan mampu bertahan. Suatu saat pasti akan tertimpa penyakit futur (sindrom).

Keinginan bisa terus bertambah dengan motivasi, menjelaskan pahala dan kedudukan para penghafal Al-Qur`ân, orang yang selalu bersama Al-Qur`ân, dan membersihkan jiwa yang berlomba dalam halaqah, di rumah atau di sekolah. Tekad yang benar akan menghancurkan godaan-godaan setan, dan dapat menahan jiwa yang selalu memerintahkan keburukan.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

مَنْ صَدَقَ الْعَزِيْمَةَ يَئِسَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ, وَمَتَى كَانَ الْعَبْدُ مُتَرَدِّدًا طَمَعَ فِيْهِ الشَّيْطَانُ وَسَوَّفَهُ وَمَنَّاهُ

"Barang siapa memiliki tekad yang benar, setan pasti akan putus asa (mengganggunya). Kapan saja seorang hamba itu ragu-ragu, setan akan mengganggu dan menundanya untuk melaksanakan amalan, serta akan melemahkannya".[5]

TUJUH : MENGGUNAKAN PANCA INDRA
Kemampuan dan kesanggupan seseorang dalam menghafal berbeda-beda. Begitu juga kekuatan hafalan seseorang dengan yang lainnya bertingkat-tingkat. Akan tetapi, memanfaatkan beberapa panca indra dapat memudahkan urusan dan menguatkan hafalan dalam ingatan.

Bersungguh-sungguhlah, wahai Pembaca, gunakanlah indra penglihatan, pendengaran dan ucapan dalam menghafal. Karena masing-masing indra tersebut memiliki metode tersendiri yang dapat mengantarkan hafalan ke otak. Apabila metode yang digunakan itu banyak, maka hafalan menjadi semakin kuat dan kokoh.

Adapun caranya, yaitu Anda mulai terlebih dahulu membacanya dengan suara keras, apa yang hendak dihafalkan, sedangkan Anda melihat ke halaman yang sedang Anda baca. Dengan terus melihat dan mengulanginya sampai halaman tersebut terekam dalam memori Anda. Sertakan pendengaran Anda dalam mendengarkan bacaan, lalu merasa senang. Apalagi jika Anda membaca dengan suara senandung yang disukai oleh jiwa.

Seseorang yang menghafal Al-Qur`ân dengan melihat mushaf, sedangkan ia diam, atau dengan cara mendengarkan kaset murottal tanpa melihat mushaf, atau merasa cukup ketika menghafal hanya membaca dengan suara lirih, maka semua metode ini tidak mengantarnya mencapai tujuan dengan mudah.

Perlu Anda ketahui, bahwasanya (dalam menghafal) manusia ada dua macam.
1. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara mendengar daripada menghafal dengan melihat mushaf. Ingatannya ini disebut Sam’iyyah (pendengaran).
2. Orang yang lebih banyak menghafal dengan cara melihat. Apabila ia membaca satu penggal ayat Al-Qur`ân (akan) lebih bisa menghafal daripada (hanya dengan) mendengarkannya. Ingatannya ini disebut Bashariyyah (penglihatan).

Apabila Anda termasuk di antara mereka, maka sebelum menghafal, perbanyaklah membaca ayat dengan melihat mushaf dalam waktu yang lebih lama. Kemudian tutuplah mushaf dan tulis ayat-ayat yang baru saja Anda hafal dengan tangan. Setelah itu cocokkan yang Anda tulis dengan mushaf, agar Anda mengetahui mana yang salah, dan tempat-tempat hafalan yang lemah, sehingga Anda dapat mengulangi (untuk) memantapkannya.

Jika Anda memperhatikan bahwa Anda selalu salah dalam satu kalimat tertentu atau lupa setiap kali mengulangnya, maka tanamkan kalimat tersebut dalam memori Anda dengan membuat kalimat serupa yang Anda ketahui. Dengan demikian, Anda akan mengingat kalimat tersebut dengan kalimat yang Anda buat.

Imam Ibnu Munada telah menunjukkan kepada kita masalah ini dengan perkataannya: “Seorang guru hendaklah mempraktekkan metode ini kepada murid. Yaitu memerintahkannya agar mengingat nama, atau sesuatu yang dia ketahui yang serupa dengan kalimat al-Qur`ân yang ia selalu lupa, sehingga akan menjadikannya ingat, insya Allah.” [6]

Kemudian beliau berdalil dengan perkataan Ali Radhiyallahu 'anhu kepada Abu Musa Radhiyallahu 'anhu : “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan agar aku memohon petunjuk dan kebenaran kepada Allah. Lalu aku mengingat kalimatالْهُدَى (petunjuk) dengan ِهِدَايَةُ الطَّرِيْق (petunjuk jalan), dan aku mengingat السَّدَادُ (kebenaran) dengan تَسْدِيْدَاتُ السَّهْم (membetulkan busur)".[7]

DELAPAN : MEMBATASI HANYA SATU CETAKAN MUSHAF
Bagi para penghafal, utamakan memilih cetakan mushaf, yang diawali pada tiap-tiap halamannya permulaan ayat dan diakhiri dengan akhir ayat. Ini memiliki pengaruh sangat besar dalam menanamkan bentuk halaman dalam memori (ingatan), dan mengembalikan konsentrasi terhadap halaman tersebut ketika mengulang. Jika cetakan mushaf berbeda-beda, akan menimbulkan ingatan halaman dalam otak berbeda-beda, dan akan membuyarkan hafalannya, serta tidak bisa konsentrasi.

Begitu pula saya wasiatkan kepada saudaraku agar bersungguh-sungguh menggunakan mushaf saku, atau mushaf yang terdiri dari beberapa bagian, sesuai dengan cetakan mushaf yang sedang Anda hafal. Ini merupakan hal yang sangat baik. Setiap kali Anda mendapatkan waktu luang dan semangat, dimana pun Anda berada, supaya segera memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal hafalan baru, atau mengulang hafalan lama.

SEMBILAN : PENGUCAPAN YANG BETUL
Setelah Anda memilih waktu, tempat yang sesuai dan membatasi hanya satu cetakan mushaf yang hendak Anda hafal, maka wajib bagi Anda membetulkan pengucapan dan mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur`ân kepada seorang guru yang mutqin (mampu) sebelum mulai menghafal. Atau dengan cara mendengarkannya melalui kaset murattal seorang qari`. Hal ini supaya Anda terjaga dari kekeliruan. Karena apabila kalimat yang telah Anda hafal itu salah, akan sulit bagi Anda membetulkannya setelah terekam dalam memori.

Imam Ibnu Munada berkata,"Ketahuilah, menghafal itu memiliki beberapa sebab. Di antaranya, seseorang membaca kepada orang yang lebih banyak hafalannya, karena orang yang dibacakan kepadanya lebih mengetahui kesalahan daripada orang yang membaca.” [8]

Wahai saudaraku, bersungguh-sungguhlah menghadiri majlis-majlis tahfizhul-Qur`ân, bertatap muka dengan para hafizh dan guru-guru yang mutqin, agar Anda terhindar dari kesalahan dan dapat menghafal dengan landasan yang kokoh.

Saya wasiatkan juga kepada saudaraku para pengajar Al-Qur`ân, di masjid-masjid, di sekolah-sekolah agar bersungguh-sungguh membetulkan bacaan para murid terhadap ayat-ayat yang hendak mereka hafal, dan mengarahkan mereka supaya betul-betul mengoreksi kalimat-kalimat Al-Qur`ân yang sering terjadi padanya kesalahan. Begitu juga seorang guru meminta kepada para muridnya agar selalu mengulang-ulang hafalan kepada sesama teman untuk menjaga mereka dari kemungkinan terjadinya kesalahan.

SEPULUH : HAFALAN YANG SALING BERSAMBUNG
Jangan lupa, wahai saudaraku! Jadikanlah hafalan Anda saling berkaitan. Setiap kali Anda menghafal satu ayat kemudian merasa telah lancar, maka ulangilah membaca ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Kemudian lanjutkan menghafal ayat berikutnya sampai satu halaman dengan menggunakan metode ini.

Disamping itu, apabila Anda telah menghafal satu halaman, maka harus membacanya kembali sebelum meneruskan ke halaman berikutnya. Begitu pula apabila hafalan Anda sudah sempurna satu surat, hendaklah menggunakan metode tadi, agar rangkaian ayat-ayat itu dapat teringat dalam memori Anda. Sungguh, jika tidak menggunakan metode ini, membuat hafalan Anda tidak terikat. Dan ketika menyetor hafalan, Anda akan membutuhkan seorang guru yag selalu mengingatkan permulaan tiap-tiap ayat. Begitu juga akan membuat Anda mengalami kesulitan ketika muraja`ah hafalan.

SEBELAS :MEMAHAMI MAKNA AYAT
Di antara yang dapat membantu Anda menggabungkan ayat dan mudah dalam menghafal, yaitu terus-menerus meruju` kepada kitab-kitab tafsir yang ringkas, sehingga Anda memahami makna ayat meskipun global. Atau paling tidak, Anda menggunakan kitab كَلِمَاتُ الْقُرْآنِ تَفْسِيْرٌ وَبَيَانٌkarya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf. Dengan mengetahui makna-makna kalimat, dapat membantu Anda memahami makna ayat secara global.

DUA BELAS : HAFALAN YANG MANTAP
Sebagian pemuda membaca penggalan ayat, dua sampai tiga kali saja. Lalu menyangka bahwa ia telah hafal. Lantas pindah ke penggalan ayat berikutnya karena ingin tergesa-gesa disebabkan waktunya sempit, atau karena persaingan di antara temannya, atau disebabkan desakan seorang guru kepadanya. Perbuatan ini, sama sekali tidak benar dan tidak bermanfaat. Sedikit tetapi terus-menerus itu lebih baik, daripada banyak tetapi tidak berkesinambungan. Hafalan yang tergesa-gesa mengakibatkan cepat lupa.

Fakta ini tersebar di kalangan para penghafal. Penyebabnya, kadangkala seseorang merasa puas dan tertipu terhadap dirinya ketika hanya mencukupkan membaca penggalan ayat beberapa kali saja. Apabila ia merasa penggalan ayat tadi sudah masuk dalam ingatannya, maka ia beralih ke ayat berikutnya. Dia menyangka, semacam ini sudah cukup baginya.

Faktor yang mendukung fakta ini, karena sebagian pengampu hafalan mengabaikan persoalan ini ketika penyetoran hafalan. Padahal semestinya, seorang penghafal tidak boleh berhenti menghafal dan mengulang dengan anggapan bahwa ia telah hafal ayat-ayat tersebut. Bahkan ia harus memantapkan hafalannya secara terus-menerus mengulang ayat-ayat yang dihafalnya. Karena setiap kali mengulang kembali, akan lebih memperbagus hafalannya, dan meringankan bebannya ketika muraja`ah.

TIGA BELAS : TERUS MENERUS MEMBACA
Tetaplah terus membaca Al-Qur`ân setiap kali Anda mendapatkan kesempatan. Karena banyak membaca, dapat memudahkan menghafal dan membuat hafalan menjadi bagus. Banyak membaca termasuk metode paling utama dalam muraja`ah.

Cobalah Anda perhatikan, sebagian surat dan ayat yang sering Anda baca dan dengar, maka ketika menghafalnya, Anda tidak perlu bersusah payah. Sehingga apabila seseorang telah sampai hafalannya pada ayat-ayat tersebut, maka dengan mudah ia akan menghafalnya. Contohnya surat al-Wâqi`âh, al-Mulk, akhir surat al-Furqân, apalagi juz ‘amma dan beberapa ayat terakhir dari surat al-Baqarah.

(Dengan sering membaca), dapat dibedakan antara seorang murid (yang satu) dengan murid lainnya. Barang siapa yang memiliki kebiasaan setiap harinya selalu membaca dan memiliki target tertentu yang ia baca, maka menghafal baginya (menjadi) mudah dan ringan. Hal ini dapat dibuktikan dalam banyak keadaan. Ayat mana saja yang ingin dihafal, hampir-hampir sebelumnya seperti sudah dihafal. Akan tetapi yang sedikit membaca dan tidak membuat target tertentu setiap harinya untuk dibaca, ia akan mendapatkan kesulitan yang besar ketika menghafal.

Perlu diketahui, wahai saudaraku! Membaca Al-Qur`ân termasuk ibadah paling utama dan mendekatkan diri kepada Allah. Setiap huruf yang Anda baca mendapatkan satu kebaikan, dan kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Sama halnya dengan banyak membaca surat-surat yang telah dihafal, ia dapat menambah kemantapan hafalan dan tertanamnya dalam memori. Khususnya pada waktu shalat, maka bersungguh-sungguhlah Anda melakukan muraja`ah yang telah dihafal dengan membacanya ketika shalat. Ingatlah, qiyamul-lail (bangun malam) dan ketika shalat tahajjud beberapa raka’at, Anda membaca ayat-ayat yang Anda hafal merupakan pintu paling agung di antara pintu-pintu ketaatan, dan membuat orang lain yang sulit menghafal menjadi iri terhadap apa yang Anda hafal.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membimbing kita kepada metode ini, yang merupakan kebiasaan orang-orang shalih, supaya hafalan Al-Qur`ân kita menjadi kuat melekat, dan selamat dari penyakit lupa.

Dari Sahabat 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقَرْآنِ فَقَرَأَهَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ, وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ فَنَسِيَهُ
رَوَاهُ مُسْلِمٌ – بَابُ الْأَمْرِ بِتَعَهُّدِ الْقُرْآنِ – رقم (227)

"Dan apabila shahibil-Qur`ân (penghafal Al-Qur`ân) menghidupkan malamnya, lalu membaca Al-Qur`ân pada malam dan sianganya, niscaya ia akan ingat. Dan apabila dia tidak bangun, maka niscaya dia akan lupa". [HR Muslim]

EMPAT BELAS : MENGHAFAL SENDIRI SEDIKIT MANFAATNYA
Karena kebiasaan manusia itu menunda-nunda amalan. Setiap kali terlintas dalam pikirannya bahwa ia harus segera menghafal, datang kepadanya kesibukan-kesibukan dan jiwa yang mendorongnya untuk menunda amalan. Akibatnya membuat tekadnya cepat melemah. Adapun menghafal bersama seorang teman atau lebih, mereka akan membuat langkah-langkah tertentu. Masing-masing saling menguatkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga menumbuhkan saling berlomba di antara mereka, serta memberi teguran kepada yang meremehkan. Inilah metode yang dapat mengantarkan kepada tujuan, Insya Allah.

Cobalah perhatikan, betapa banyak pemuda telah menghafal sekian juz di halaqah tahfizhul-Qur'ân di masjid, kemudian mereka disibukkan dari menghadiri halaqah ini. Mereka menyangka akan (mampu) menyempurnakan hafalan sendirian saja, dan tidak membutuhkan halaqah lagi. Tiba-tiba keinginan itu menjadi lemah lalu )ia pun) berhenti menghafal. Yang lebih parah lagi, orang yang seperti mereka kadang-kadang disibukkan oleh berbagai urusan dan pekerjaan. Kemudian mereka tidak mengulang hafalan yang telah dihafalnya. Hari pun berlalu, sedangkan semua hafalan mereka telah lupa. Mereka telah menyia-nyiakan semua yang telah mereka peroleh.

Menghafal sendiri bisa membuka peluang pada diri seseorang terjerumus ke dalam kesalahan saat ia mengucapkan sebagian kalimat. Tanpa ia sadari, kesalahan itu terkadang terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama. Tatkala ia menperdengarkan hafalannya kepada orang lain atau kepada seorang ustadz di halaqah, maka kesalahannya akan nampak.

Oleh karena itu, wahai saudaraku! Pilihlah menghafal bersama mereka apa yang mudah bagi Anda untuk menghafalnya dari Kitabullâh, mengulang hafalan Anda bersama mereka. Ini merupakan sebaik-baik perkumpulan orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

LIMA BELAS : TELITI TERHADAP AYAT-AYAT MUTASYABIHAT
Sangat penting untuk memperhatikan ayat-ayat mutasyabih (serupa) di sebagian lafazh-lafazhnya, dan membandingkan ayat-ayat mutasyabih itu di tempat-tempat (lainnya). Ketika Anda menghafalnya, alangkah baik jika ayat-ayat mutasyabih itu disalin di buku yang khusus. Supaya letak ayat-ayat mutasyabih itu dapat Anda ingat ketika mengulangi membacanya.

Dapat dilihat pada sebagian penghafal yang tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih yang satu dengan lainnya. Sehingga mereka terjatuh dalam kesalahan ketika menyetor hafalan, disebabkan tidak memperhatikan letak ayat-ayat mutasyabih itu. Dalam hal ini, suatu ayat tertentu membuat mereka menjadi ragu dikarenakan menyerupai dengan ayat pada surat lain. Ketika membaca ayat-ayat tersebut, ternyata berpindah ke surat berikutnya tanpa mereka sadari. Bisa jadi ketika menyetor hafalan, kadangkala berpindah ke ayat mutasyabih yang ketiga atau keempat apabila ayat mutasyabih itu ada di beberapa tempat. Oleh karena itu, metode yang paling baik agar hafalan menjadi mantap, yaitu memusatkan perhatian terhadap ayat-ayat yang sama antara satu dengan lainnya. Curahkan kesungguhan dan fokuskan diri Anda dalam mencermatinya.

Para ulama telah menyusun berbagai kitab dalam masalah ini. Di antara kitab yang paling bagus. ialah kitab مُتَشَابِهُ الْقُرْآنِ الْعَظِيْم karya Imam Abi al-Hasan bin al-Munada wafat pada tahun 366 H, dan kitab أَسْرَارُ التِّكْرَارِ فِيْ الْقُرْآنِ karya seorang qari` handal, Muhammad bin Hamzah al-Karmani, seorang ulama abad kelima Hijriyah. Sebagian ulama juga menyusun Mandzumah Syi’riyyah (susunan bait-bait sya’ir) dalam masalah ini, untuk memudahkan para penuntut ilmu menghafalnya. Di antaranya, kitab نُظْمُ مُتَشَابِهِ الْقُرْآنِ karya Syaikh Muhammad at-Tisyiti, (ia) termasuk ulama abad kesebelas Hijriyah.

Imam Ibnu Munada dalam menjelaskan pentingnya mengetahui letak (tempat-tempat) ayat-ayat Al-Qur`ân yang mutasyabih, (beliau) berkata: “Mengetahui tempat-tempat ayat-ayat mutasyabih, sesungguhnya dapat membantu menambah kekuatan hafalan seseorang, dan melatih orang yang masih menghafal. Sebagian ahli qiraat telah membukukan hal ini, lalu menyebutnya dengan al-mutasyabih, penolak dari buruknya hafalan”.[9]

Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah, wahai saudaraku dengan wasiat dan bimbingan ini. Segeralah menghafal Kitabullâh, merenungi ayat-ayatnya, dan berpegang teguh dengan petunjuknya, sebab Kitabullâh merupakan cahaya yang nyata dan jalan yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seidzin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus". [al-Mâidah/5:15-16].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Keistimewaan-Keistimewaan Al-Qur'an



Oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu


Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimulai dengan surat al-Fatihan dan ditutup dengan surat an-Nas, bernilai ibadah bagi siapa yang membacanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م satu huruf. [HR. Bukhari].

Banyak hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan membaca surat-surat dari al-Qur’an.

Berikut ini kami paparkan sebagian keistimewaan-keistimewaan al-Qur’an al-Karim: [2]

1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat Al-Fatihah-Red) berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah". [HR. Bukhari-Muslim]

2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan tabdil (penggantian) sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya". [al-Hijr:9]

Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil telah banyak dirubah oleh pemeluknya.

3. Al-Qur’an terjaga dari pertentangan/kontrakdiksi (apa yang ada di dalamnya) sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an-Nisa’: 82]

4. Al-Qur’an mudah untuk dihafal berdasarkan firman Allah:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran". [al-Qamar: 32]

5. Al-Qur’an merupakan mu’jizat dan tidak seorangpun mampu untuk mendatangkan yang semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menantang orang Arab (kafir Quraisy) untuk mendatangkan semisalnya, maka mereka menyerah (tidak mampu). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّثْلِهِ

"Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya ... ". [Yunus: 38]

6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis kecuali turun pada mereka ketenangan dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka di hadapan para malaikatnya". [HR. Muslim].

7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang yang mati berdasarkan firman Allah:

لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا

"Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)". [Yaasiin: 70]

Dan firman Allah:

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya". [an-Najm:39]

Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena bacaan tersebut bukan amalan si mayit. Adapun bacaan seorang anak untuk kedua orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai kepadanya, karena seorang anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah n .

8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati badan seperti surat al-Fatihah, an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Yunus :57]

Begitu pula dalam firmanNya:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". (ِAl-Israa’:82)

9. Al-Qur’an akan memintakan syafa’at (kepada Allah) bagi orang yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

"Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memohonkan syafa’at bagi orang yang membacanya (di dunia)". [HR. Muslim].

10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu". [al-Maidah: 48]

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan beberapa pendapat tentang tafsir (مُهَيْمِنًا ): “Pendapat-pendapat ini mempunyai arti yang berdekatan (sama), karena istilah (مُهَيْمِنًا ) mencakup semuanya, yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna, yang diturunkan sebagai penutup kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh kebaikan (pada kitab-kitab) sebelumnya. Dan ditambah dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada dalam kitab) yang lainnya. Oleh karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi kebenaran serta hakim untuk semua kitab sebelumnya, dan Allah menjamin untuk menjaganya. [Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal. 65]

11. Berita Al-Qur’an pasti benar dan hukumnya adil. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ

"Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya" [al-An-‘aam: 115].

Qatadah rahimahullah berkata: “Setiap yang dikatakan al-Qur’an adalah benar dan setiap apa yang dihukumi al-Qur’an adalah adil, (yaitu) benar dalam pengkhabaran dan adil dalam perintahnya, maka setiap apa yang dikabarkan al-Qur’an adalah benar yang tidak ada kebohongan dan keraguan di dalamnya, dan setiap yang diperintahkan al-Qur’an adalah adil yang tidak ada keadilan sesudahnya, dan setiap apa yang dilarang al-Qur’an adalah bathil, karena al-Qur’an tidak melarang (suatu perbuatan) kecuali di dalamnya terdapat kerusakan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

"Dia menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [al-A’raaf: 157] [Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 2 hal. 167]

12. Di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang nyata, dan tidak (bersifat) khayalan, maka kisah-kisah Nabi Musa bersama Fir’aun adalah merupakan kisah nyata. Firman Allah:

نَتْلُوا عَلَيْكَ مِن نَّبَإِ مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ

"Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar". [al-Qashash: 3]

Begitu pula kisah As-Haabul Kahfi merupakan kisah nyata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ

"Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya". [Al-Kahfi: 13].

Dan semua apa yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur’an adalah haq (benar). Allah berfirman:

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ

"Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar". [ali-Imran: 62]

13. Al-Qur’an mengumpulkan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu". [al-Qashash: 77]

14. Al-Qur’an memenuhi semua kebutuhan (hidup) manusia baik berupa aqidah, ibadah, hukum, mu’amalah, akhlaq, politik, ekonomi dan. permasalahan-permasalahan kehidupan lainnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Allah berfirman:

مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ

"Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab". [al-An’aam: 38]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri". [an-Nahl: 89]

Al-Qurthubi berkata dalam menafsirkan firman Allah (مَّافَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ ) Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab (Al-An’aam: 38)
: “Yakni di dalam al-Lauh al-Mahfud. Karena sesungguhnya Allah l sudah menetapkan apa yang akan terjadi, atau yang dimaksud yakni di dalam al-Qur’an yaitu Kami tidak meninggalkan sesuatupun dari perkara-perkara agama kecuali Kami menunjukkannya di dalam al-Qur’an, baik penjelasan yang sudah gamblang atau global yang penjelasannya bisa didapatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , atau dengan ijma’ ataupun qias berdasarkan nash al-Qur’an”. [Juz 6 hal. 420].

Kemudian Al-Quthubi juga berkata: “Maka benarlah berita Allah, bahwa Dia tidak meninggalkan perkara sedikitpun dalam al-Qur’an baik secara rinci ataupun berupa kaedah.

Ath-Thabari berkata dalam menafsirkan ayat (وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ) “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (An-Nahl: 89): “Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan apa yang dibutuhkan manusia, seperti mengetahui halal dan haram dan pahala dan siksa. Dan sebagai petunjuk dari kesesatan dan rahmat bagi yang membenarkannya dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, berupa hukum Allah, perintahNya dan laranganNya, menghalalkan yang halal mengharamkan yang haram. …Dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri …… beliau berkata : “dan sebagai gambar gembira bagi siapa saja yang ta’at kepada Allah dan tunduk kepadaNya dengan bertauhid dan patuh dengan keta’atan, maka Allah akan berikan kabar gembira kepadanya berupa besarnya pahala di akhirat dan keutamaan yang besar. [Juz 14 hal. 161].

15. Al-Qur’an mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin.
Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) manusia maka banyak kaum musyrikin pada permulaan Islam yang terpengaruh dengan al-Qur’an dan merekapun masuk Islam. Sedangkan di zaman sekarang, saya pernah bertemu dengan pemuda Nasrani yang telah masuk Islam dan dia menyebutkan kepadaku bahwa dia terpengaruh dengan al-Qur’an ketika ia mendengarkan dari kaset. Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) jin, maka sekelompok jin telah berkata:

قُلْ أُوحِىَ إِلَىَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا {1} يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَئَامَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدًا

"Katakanlah (hai Muhammad0 :" Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya : sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur'an) , lalu mereka berkata : Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseoranpun dengan Rabb kami". [al-Jin : 1-2]

Adapun orang-orang musyrik, banyak diantara mereka yang terpengaruh dengan al-Qur’an ketika mendengarnya. Sehingga Walid bin Mughirah berkata: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya. [Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443].

16. Orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkan adalah orang yang paling baik. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya." [HR. Bukhari]

17.
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

"Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala" [HR. Bukhari-Muslim].
Arti As-Safarah = para malaikat.

18. Allah menjadikan al-Qur’an sebagai pemberi petunjuk dan pemberi kabar gembira. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

"Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar". [al-Isra: 9]

19. Al-Qur’an menenangkan hati dan memantapkan keyakinan. Orang-orang yang beriman mengetahui bahwa al-Qur’an adalah tanda (mujizat) yang paling besar yang menenangkan hati mereka dengan keyakinan yang mantap. Allah berfirman:

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenteram". [ar-Rad: 28].

Maka apabila seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, atau penyakit, maka hendaklah ia mendengarkan al-Qur’an dari seorang Qari’ yang bagus suaranya, seperti al-Mansyawi dan yang lainnya. Karena Rasulullah Shalalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:

حَسِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حَسَنًا

"Baguskan (bacaan) al-Qur’an dengan suaramu maka sesungguhnya suara yang bagus akan menambah keindahan suara al-Qur’an". [Hadits Shahih, lihat Shahihul Jami’ karya Al-Albani rahimahullah].

20. Kebanyakan surat-surat dalam al-Qur’an mengajak kepada tauhid, terutama tauhid uluhiyah dalam beribadah, berdo’a, minta pertolongan.
Maka pertama kali dalam al-Qur’an yaitu surat al-Fatihah, engkau dapati firman Allah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) “Kami tidak menyembah kecuali kepadaMu dan kami tidak minta pertolongan kecuali kepadaMu”. Dan diakhir dari al-Qur’an yaitu surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, engkau jumpai tauhid nampak sekali dalam firmanNya:

(قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ).

"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa ". [al-Ikhlash:], dan:

(قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ)

"Katakanlah "Aku berlindung kepada Rabb Yang Menguasai subuh". [al-Falaq:1] dan:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

"Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb manusia". [an-Naas:1].

Dan masih banyak ayat tauhid di dalam surat-surat al-Qur’an yang lain. Di dalam surat Jin engkau baca firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّمَآ أَدْعُوا رَبِّي وَلآ أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbmu dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya". [al-Jin: 20].

Juga di dalam surat yang sama Allah berfirman:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". [al-Jin: 18].

21. Al-Qur’an merupakan sumber syari’at Islam yang pertama yang Allah turunkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kufur, syirik dan kebodohan menuju cahaya keimanan, tauhid dan ilmu. Allah berfirman:

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

"Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". [Ibrahim: 14].

22. Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara ghaib yang akan terjadi, tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ

"Golongan itu (yakni kafirin Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang". [al-Qamar: 45].

Dan sungguh orang-orang musyrik telah kalah dalam perang Badar, mereka lari dari medan peperangan. Al-Qur’an (juga) banyak memberitakan tentang perkara-perkara yang ghaib, kemudian terjadi setelah itu.

[Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dosen di Darul Hadits Al-Khairiyah di Makkah Al-Mukarramah]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Meraih Cinta Allah Subhanahu Wa Ta'ala Dengan Al Qur'an



Oleh
Abdul Aziz Musthafa


Sesungguhnya di antara sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah membaca al Qur`an dengan khusyu' dan berusaha memahaminya. Sehingga tidak mengherankan, apabila kedekatan dengan al Qur`an merupakan perwujudan ibadah yang bisa mendatangkan cinta Allah.

Para salafush-shalih, ketika membaca al Qur`an, mereka sangat menghayati makna ini. Sehingga ketika membaca al Qur`an, seolah-olah seperti seorang perantau yang sedang membaca sebuah surat dari kekasihnya.

Al Hasan al Basri berkata,"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap al Qur`an adalah surat-surat dari Rabb mereka. Pada malam hari, mereka selalu merenunginya, dan akan berusaha mencarinya pada siang hari."[1]

Seandainya kita berpikir, sungguh ini merupakan keistimewaan yang luar biasa. Allah Yang Maha Besar, Maha Tinggi, Raja Diraja, mengkhususkan khitab (pembicaraan) dan kalamNya untuk manusia yang penuh dengan kelemahan ini. Allah memberikan kepada mereka kemuliaan untuk berbicara, berkomunikasi denganNya.

Al Imam Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya melihat bagaimana Allah berlemah-lembut kepada makhlukNya dalam menyampaikan makna perkataanNya ke pemahaman mereka. Dan hendakya ia menyadari, apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Dzat yang mengucapkannya, dan hendaknya ia merenungi perkataanNya."[2]

Ibnu Shalah berkata,"Membaca al Qur`an merupakan sebuah kemuliaan yang Allah berikan kepada hambaNya. Dan terdapat dalam riwayat, bahwa para malaikat tidak mendapat kemuliaan ini, tetapi mereka sangat antusias untuk mendengarkannya dari manusia."[3]

Kemuliaan ini akan lebih sempurna apabila disertai keikhlasan. Karena ikhlas -sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi- merupakan kewajiban utama bagi pembaca al Qur`an. Dan seharusnya ia menyadari, bahwa dirinya sedang bermunajat kepada Allah.[4]

Perhatikanlah, wahai saudaraku!
Allah telah memberikan izin kepadamu untuk bermunajat kepadaNya. Dengan demikian, berarti Allah telah memberikan rahasia cintaNya kepadamu. Dan al Qur`an, merupakan bukti kecintaanNya. Karena al Qur`an memberikan petunjuk tentang Allah dan yang dicintaiNya. Maka, tentu cinta kepadaNya merupakan jalan hati dan akal untuk mengetahui sifat-sifat Allah dan hal-hal yang dicintaiNya. Melalui al Qur`an, kita bisa mengetahui nama-namaNya, apa yang layak dan yang tidak layak bagiNya, serta (mengetahui) secara rinci syari'at yang diperintahkan dan yang dilarang Allah, dan mengantarkan seseorang menuju cinta dan ridhaNya.

Oleh karena itu, ada di antara para sahabat berusaha untuk mendapatkan kecintaan Allah dengan membaca satu surat. Dia renungi dan dia cintai; yaitu surat al Ikhlash, yang mengandung sifat-sifat Allah. Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab : "Karena ia merupakan sifat Allah, dan aku sangat suka menjadikannya sebagai bacaan". Mendengar jawaban itu, Nabi bersabda :

أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ

"Beritahukan kepadanya, bahwa Allah mencintainya".[5]

Orang yang mencintai al Qur`an, mestinya cinta kepada Allah Azza wa Jalla, karena sifat-sifat Allah terdapat di dalam al Qur`an. Dan semestinya, ia juga cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliaulah yang menyampaikan al Qur`an.

'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Barangsiapa yang mencintai al Qur`an, maka ia akan cinta kepada Allah dan RasulNya." [6]

Bukti terbesar cinta kepada al Qur`an, yaitu seseorang berusaha untuk mehamami, merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta kepada al Qur`an atau tidak cinta sama sekali, yaitu berpaling tidak merenungi maknanya. Allah Azza wa Jalla mencela orang munafik, karena tidak merenungi al Qur`an dengan firmanNya :

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [an Nisaa`/4 : 82] .

Mentadabburi al Qur`an dapat mengobati berbagai macam penyakit hati, membersihkannya dari kotoran, serta dapat memberikan jawaban dan bantahan terhadap syubhat yang dibawakan setan, manusia, dan jin. Berbeda dengan orang munafik, karena enggan merenungi al Qur`an dan tidak mencari petunjuk darinya, maka hati mereka sakit, penuh penyakit syubhat dan syahwat, sebagaimana firman Allah :

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta". [al Baqarah/2 : 10].

Jadi, ketika Allah Azza wa Jalla mengajak manusia untuk mentadabburi al Qur`an, pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla mengajak untuk mengobati hati mereka dari berbagai macam penyakit yang membahayakan.

Tadabbur al Qur`an, juga merupakan cara untuk mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang telah dibebankan Allah kepada para hamba. Imam al Qurthubi berkata,"Ayat ini -an Nisaa`/4 ayat 82- dan juga firmanNya

"(Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an ataukah hati mereka terkunci-QS Muhammad/47 ayat 24)" menunjukkan wajibnya mentadaburi al Qur`an supaya dapat mengetahui maknanya.[7]

Juga, kemuliaan lain yang dimiliki oleh orang yang mentadaburi al Qur`an yaitu, kebaikan yang dijanjikan oleh Rasululah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari jalan sahabat 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al Qur`an dan mengajarkanya".[8]


Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al Qur`an.

Bisyr bin as Sura berkata,"Sesungguhnya ayat al Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya," kemudian perkataan ini diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,"Benar! Maksudnya, apabila salah seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca yang berikutnya."[9]

Al Qur`an akan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah. Orang yang menjaganya, berarti ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad : "Hamilul Qur`an adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allah".[10]

Orang yang menjunjung tinggi al Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan membawa panji Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya" [al Anbiyaa`/21 : 10].

Dalam menafsirkan kata دكركم , 'Abdullah bin 'Abbas berkata,"Maksudnya, di dalamnya terdapat kemuliaan kalian."[11]

Allah juga berfirman :

"(Dan sesungguhnya al Qur`an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kalian akan diminta pertanggungan jawab". -az Zukhruf/43 ayat 44- maksudnya adalah, (al Qur`an) merupakan kemuliaan bagimu dan bagi mereka, apabila mereka menegakkan hak-haknya.[12]

Rasulullah juga memberitahukan tentang ketinggian derajat Ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

"Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain".[13]

Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al Qur`an untuk tidak seperti orang kebanyakan. 'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Hamilul Qur`an itu mestinya dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan dengan khusyu'nya ketika manusia dalam keadaan sombong."[14] Demikian ini merupakan sifat mulia yang harus dimiliki oleh Hamilul Qur`an.

Begitu pula orang yang mencintai al Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tertipu dan sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya. Allah berfirman :

"Katakanlah : "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". [Ali Imran/3:73].

Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang hendaknya tidak membanggakan kemampuan dan kekuatan dirinya. Hendaknya tidak memandang dirinya dengan perasaan puas dan menganggap dirinya bersih. Orang yang memandang dirinya penuh kekurangan, akan mengantarkannya semakin dekat denganNya."[15]

Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allah atau tidak boleh menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.

Hamilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia mengamalkannya. 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,"Wahai Qurra` (para pembaca al Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia."[16]

Az Zarkasyi berkata,"Ketahuilah, seseorang yang Allah ajarkan padanya al Qur`an, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, al Qur`an merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan dakwah Islam. Dan juga, karena Rasulullah merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah al Qur`an akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena al Qur`an merupakan kalamullah dan kitabNya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi al Qur`an hendaknya memandang, bahwa Allah Azza wa Jalla telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa al Qur`an akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.[17]

Sebagaimana juga, ia harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya, mengumpulkan dalam dirinya yang dapat menyebabkan hati menjadi hidup. Mungkin ada yang bertanya, bagaimanakah cara memaksimalkan dalam mengambil pelajaran dari al Qur`an?

Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya, al Fawaid, beliau rahimahullah menyatakan :

“Apabila engkau hendak mengambil pelajaran dari al Qur`an, maka konsentrasikanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya, pasanglah telingamu. Jadikanlah dirimu seperti orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang mengucapkannya, yaitu Allah Subhanahu w Ta'ala, karena al Qur`an merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan Allah kepadamu melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. -Qaaf/50 ayat 37-)". Karena pengaruh al Qur`an sepenuhnya tergantung dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

أن فى ذللك لذ كرى

"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan)", (ini merupakan) isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir (yang memberikan pengaruh).

Dan firmanNya :

لمن كان له قلب

"(bagi orang-orang yang mempunyai hati)" adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagaiamana Allah Azza wa Jalla berfirman :

(Al Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) –Yasin/36 ayat 69, 70-), yaitu yang hatinya hidup.
Sedangkan firman Allah :

أو ألقى السمع

"(atau yang menggunakan pendengarannya)", maknanya, orang yang mengarahkan pendengaran dan memusatkan indera pendengarannya kepada ucapan yang diarahkan kepadanya. Ini merupakan syarat bisa terpengaruh dengan ucapan.

Adapun firmanNya :

وهو شهد

"(dan dia menyaksikannya)", maknanya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,"Yakni, dia mendengarkan al Qur`an dengan penuh perhatian, tidak dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa yang dikatakan kepadanya.

Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al Qur`an dan mengambil pelajaran darinya".[18]

Setelah itu, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengamalkanya. Karena ilmu mengajak pemiliknya agar mengamalkannya. Jika diamalkan, ilmu akan terjaga. Jika tidak, maka ilmu itu akan hilang.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma'ad berkata,"Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al Qur`an turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca al Qur`an sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang yang memahami al Qur`an dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, maka dia bukan Ahlul Qur`an, meskipun dia mendudukkan huruf-hurufnya sebagaimana mendudukan busur panahnya (artinya, sangat perhatian terhadap huruf-hurufnya, Red).[19]

Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allah, maka hendaklah ia memiliki perhatian yang besar kepada al Qur`an, berusaha membacanya, merenugi dan mengamalkanya. Jika kita sudah bertekad untuk mengambil pelajaran darinya, maka hendaklah kita mengamalkan adab-adab berikut.

ADAB-ADAB MEMBACA AL QUR`AN
Imam an Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, at Tibyan, (tentang) beberapa adab-adab dan hukum saat membaca al Qur`an. Di antaranya adalah :

1. Ikhlas, hanya mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla dan menyadari bahwasannya ia sedang berkomunikasi dengan Allah.
2. Membersihkan mulutnya dengan siwak atau sejenisnya.
3. Bagi orang yang junub dan haid, diharamkan membaca al Qur`an, baik semuanya atau sebagiannya, kecuali apabila bacaan tersebut merupakan salah satu dzikir pagi dan petang, atau dzikir secara mutlak yang disunnahkan bagi seseorang untuk membacanya.
4. Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaklah membacanya di tempat yang bersih dan lebih utama melakukannya di masjid. Karena di masjid, kebersihan dan kemuliaan tempat menyatu.
5. Ketika membaca al Qur`an, hendaknya menghadap kiblat, kemudian duduk dengan tenang. Dan boleh membaca al Qur`an dengan duduk atau dengan merebahkan badan. Tetapi, cara yang pertama lebih utama.
6. Apabila memulai membaca al Qur`an, disunnahkan membaca ta'awudz disertai dengan membaca Basmalah di setiap awal surat, kecuali surat Bara'ah (At Taubah). Demikian ini yang dikatakan jumhur ulama.
7. Konsentrasi saat membacanya.
8. Menghadirkan perasaan takut kepada Allah k saat membacanya.
9. Membacanya dengan tartil. Dan para ulama telah sepakat tentang sunnahnya tartil, berdasarkan firman Allah :

"Dan bacalah al Qur`an itu dengan tartil (perlahan-lahan)". [al Muzammil/73:4]
.
Dan karena membaca dengan tartil lebih menghargai dan lebih memberikan pengaruh dibandingkan membacanya dengan cepat.

10. Disunnahkan meminta karunia dari Allah saat selesai membaca ayat-ayat tentang rahmat Allah Azza wa Jalla, memohon perlindungan dari siksa apabila selesai membaca ayat-ayat tentang adzab, dan bertasbih kepada Allah apabila melewati ayat-ayat tentang pensucian Allah Azza wa Jalla .

11. Menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi sikap hormat terhadap al Qur`an, seperti tertawa pada saat membacanya, melakukan perbuatan sia-sia, menjadikannya sebagai bahan perdebatan, atau perbuatan lainya yang bisa mengurangi keagungan al Qur`an. Berdasarkan firman Allah :

"Dan apabila dibacakan al Qur`an, maka hendaklah kalian dengarkan baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, semoga kalian mendapat rahmat". [al A'raf/7:204].

12. Tidak boleh membaca al Qur`an dengan selain bahasa Arab, sekalipun bahasa Arabnya fasih, ataupun sama sekali tidak bisa, baik dalam shalat ataupun di luar shalat.

13. Tidak boleh membaca al Qur`an, kecuali dengan qira’at as sab'ah (bacaan tujuh) yang mutawatir. Dan hendaknya tidak mencampur-adukkan bacaan yang tujuh tersebut selama dalam satu pembahasan.

14. Hendaknya membaca sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, baik saat shalat ataupun yang lainnya.

15. Membaca al Qur`an dengan cara melihat mushaf lebih utama, dibanding membacanya dengan cara menghafal, tentunya di luar shalat. Karena melihat kepada mushaf, merupakan ibadah yang diperintahkan, kecuali apabila orang yang membaca al Qur`an dengan hafalannya merasa lebih khusyu’.

16. Disunnahkan membuat halaqah dalam membaca dan mempelajari al Qur`an, berdasarkan sabda Rasulullah :

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah suatu kaum berkumpul pada salah satu rumah-rumah Allah, membaca al Qur`an dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan. Mereka akan diselimuti rahmat, dan Allah akan menyebut (menceritakan) mereka kepada para malaikat yang ada di sisiNya".[21]

17. Disunnahkan membaca dengan mengeraskan suara, selama tidak khawatir riya' dan tidak mengganggu orang lain. Karena mengeraskan suara bisa mengggugah hati, memusatkan hati, serta memusatkan pendengaran ke konsentrasi untuk merenungi bacaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :

مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ..

"Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu kepada seorang nabi seperti izinnya untuk memperbagus suara dan mengeraskannya ketika membaca al Qur`an".

18. Ketika membaca al Qur`an, disunnahkan untuk memperbagus suara, sebagaimana sabda Rasulullah :

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

"Hiasilah al Qur`an dengan suaramu".[22]

19. Disunnahkan minta dibacakan al Qur`an dari orang yang bersuara bagus, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :

اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ قُلْتُ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي قَالَ فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا قَالَ لِي كُفَّ أَوْ أَمْسِكْ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَذْرِفَانِ

"Bacakanlah Aku (al Qur`an)!" Dia mengatakan : Aku berkata,"Apakah aku membacakanmu al Qur`an, padahal ia diturunkan kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Sesungguhnya aku senang mendengarnya dari orang lain." Dia mengatakan : Aku berkata,"Lalu aku membaca surat an Nisaa`, saat sampai pada ayat

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا

"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku : "Cukuplah!" Lalu aku melihat kedua mata beliau berlinang".[23]

20. Dimakruhkan membaca al Qur`an pada kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika ruku`, sujud, dan yang lainya ketika sedang shalat, kecuali saat berdiri. Dan bagi makmum, dimakruhkan membaca al Qur`an lebih dari surat al Fatihah apabila dia mendengar bacaan imam. Juga makruh membaca al Qur`an dalam keadaan mengantuk dan ketika sedang mendengarkan khutbah.

21. Dilarang mengkhususkan membaca surat-surat tertentu pada saat-saat tertentu, kecuali jika ada dalil yang menjelaskannya, seperti mengkhususkan membaca surat-surat yang ada ayat sajdahnya pada waktu Subuh hari Jum'at selain surat Sajdah, atau membaca surat al An'am pada raka'at terakhir shalat tarawih pada malam ketujuh dengan diiringi keyakinan bahwa itu sunnah.

22. Apabila ada seseorang yang memberikan salam kepada orang yang sedang membaca al Qur`an, hendaklah ia hentikan bacaannya dan menjawab salam tersebut. Apabila ia mendengar orang yang bersin mengucapkan alhamdulillah, maka hendaknya ia menjawabnya dengan mengatakan yarhamukallah. Demikian pula apabila ia mendengar adzan, maka hendaknya ia hentikan dan menjawab adzan yang dikumandangkan.

23. Disyari'atkan untuk bersujud apabila melewati ayat-ayat sajdah

BAHAYA BERPALING DARI AL QUR'AN
Apabila membaca al Qur`an termasuk salah satu faktor yang akan mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba, maka sebaliknya, berpaling dari al Qur`an merupakan salah satu faktor yang akan mendatangkan murka Allah. Nabi n mengadukan kepada Allah k , orang yang meninggalkan dan berpaling dari al Qur`an, sebagaimana difirmankan Allah :

"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].

Ibnu katsir rahimahullah berkata,"Apabila mereka dibacakan al Qur`an, mereka banyak berbuat gaduh dan sibuk dengan perkataan yang lain, sehingga mereka tidak mendengarkan bacaan al Qur`an. Ini merupakan perbuatan berpaling dari al Qur`an. Tidak mengimani dan tidak membenarkannya, juga termasuk hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an). Tidak merenungi dan berusaha memahaminya, termasuk hajrul Qur`an. Cenderung kepada yang lainya, seperti syair, nyanyian, perbuatan sia-sia, perkataan dan jalan hidup yang tidak bersumber dari al Qur`an, juga termasuk berpaling dari al Qur`an." [24]

Dari sini kita bisa memahami, berpaling dari al Qur`an itu bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjaga dirinya agar tidak terjerumus dalam salah satu perbuatan tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an) itu ada beberapa bentuk. Pertama : Berpaling tidak mau mendengarkannya, dan tidak mengimaninya. Kedua : Tidak mengamalkannya, dan tidak berhenti pada apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkannya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga : Ttidak berhukum dengannya dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) serta cabang-cabangnya. Keempat : Tidak merenungi dan tidak memahami, serta tidak mencari tahu maksud yang diinginkan oleh Dzat yang mengatakannya. Kelima : Tidak mengobati semua penyakit hatinya dengan al Qur`an, tetapi justru mencari obat dari selainnya. Semua perbuatan ini termasuk dalam firman Allah Azza wa Jalla :

"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [al Furqan/25 : 30].

Ini semua merupakan perbuatan hajr terhadap al Qur`an. Ditambah lagi dengan meng-hajr bacaan. Artinya, dia tidak mau membaca al Qur`an.

Fenomena seperti ini merebak di tengah masyarakat, seperti meletakkan al Qur`an pada tempat-tempat tertentu untuk bertabarruk (mendapatkan barakahnya saja), meletakkan di salah satu pojok rumah, di bagian belakang atau di depan kendaraan sampai tertutup debu. Ini menunjukkan telah menghajr al Qur`an (tidak mempedulikan dan tidak pernah membacanya), sekaligus hal ini merupakan perlakukan yang buruk terhadap al Qur`an.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,"Barangsiapa yang memiliki mushaf, maka hendaklah membacanya setiap hari walaupun beberapa ayat, supaya mushaf itu tidak seperti ditinggalkan.”

Demikian ini merupakan tingkatan seseorang yang meninggalkan al Qur`an serta beberapa keadaan mereka. Adapun keadaan seseorang yang selalu menyertai al Qur`an, maka ikatan hubungan mereka dengan al Qur`an juga bermacam-macam, sesuai tingkat keseriusan yang diberikan Allah k kepada mereka.

Para salafush-shalih, selalu menghidupkan hari-hari mereka dengan al Qur`an, sepanjang waktu siang maupun malam. Mereka selalu mempersiapkan hati ketika membaca al Qur`an, sehingga hati mereka selalu terasa hidup dan jauh dari kelalaian.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk Hamilul Qur`an yang memiliki ikatan kokoh dengannya, dan selalu menjadikan al Qur`an sebagai pedoman dan penawar penyakit hati.

Diringkas dari Syarhul Asbabul 'Asrah al Mujibah limahabatillah kama 'addaha ibnul qayyim,Abdul Aziz Musthafa, halaman 13-33 cet. Ke VIII, 1422H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Macam-Macam Wahyu




Oleh
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah



Diterimanya wahyu oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.

Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.

Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut.

Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada NabiNya dari belakang hijab. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.

Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :

" …Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" [an Nisaa`/4 : 164].

Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ رَبِّ لَا أَدْرِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ ...

"Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman : "Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat.
Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika!"
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"………". (Al hadits).

Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.

Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :

1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.

2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan :

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ...

Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu :

يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

"Wahai, 'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?" Aku menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui," (kemudian) Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian."

Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.

Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur".[2]

Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ

"Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia menyampaikannya kepadaku, maka akupun memperhatikan apa yang dia ucapkan."

Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka dapat dipahami bahwa saat menerima semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang paling berat ialah cara yang semacam ini.

Ketiga : Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي : لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ مَاعِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

"Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya".

Keempat : Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham.
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.

Kelima : Wahyu diturunkan melalui mimpi.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". [ash Shaffat/37 : 102].

Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.

Washallahu 'ala Nabiyina Muhammad, wa 'ala alihi washabihi wasallam.

[Diangkat dari as-Siratun Nabawiyah fi Dau-il Qur'an was Sunnah, Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, hlm. 269-271]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______

sumber: http://almanhaj.or.id/


dalam bahasa lainnya:

http://almanhaj.or.id/
http://melayuholykoran.blogspot.com/
http://qurangermany.blogspot.com/
http://holyquranurdu.blogspot.com/
http://coranspain.blogspot.com/
http://alquranserb.blogspot.com/
http://rusiaquran.blogspot.com/
http://holyquranhindi.blogspot.com/
http://coranfranche.blogspot.com/
http://al-quranbahasa.blogspot.com/
http://melayuholykoran.blogspot.com/
http://muqaddasquran.blogspot.com/
http://albamiaquran.blogspot.com/
http://kuran-kerimal.blogspot.com/
http://quranfarsi.blogspot.com/
http://qurangermany.blogspot.com/
http://holyquranurdu.blogspot.com/
http://coranspain.blogspot.com/
http://al-quranbahasa.blogspot.com/
http://www.allvoices.com/users/yusufagusno
http://holykoranenglish.blogspot.com/
http://kekabah.blogspot.com/
http://travelandhealthnews.blogspot.com
http://entertainmentandgetextramoney.blogspot.com
http://mjusuf.blogspot.com/
http://computer-internet-usaha.blogspot.com/
http://computer-internet-3d-animationsetc.blogspot.com/
http://newsvideo-photo.blogspot.com/
http://allsportcourseskursusolahraga.blogspot.com/
http://computer-internet-bussines.blogspot.com/
http://education-pendidikan-online.blogspot.com/
http://jobvacancieslowongankerja.blogspot.com/
http://soccercoursessepakbola.blogspot.com/
http://moviemusicfilmmusik.blogspot.com/
http://languagecourseskursusbahasa.blogspot.com/
http://cookreciperesepmasakan.blogspot.com/
http://clickbankbussinesbankdatabisnis.blogspot.com/
http://entertainmentandgetextramone.blogspot.com
http://al-quranbahasa.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment