Tuesday, July 2, 2013

SIFAT-SIFAT MUKMIN SEJATI DALAM AL-QUR`AN

SIFAT-SIFAT MUKMIN SEJATI DALAM AL-QUR`AN


Keimanan merupakan kunci kebaikan dan keberuntungan seseorang di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla sering sekali menyebutkan kata 'iman' ini dalam al-Qur'ân, baik dalam konteks perintah, larangan, anjuran, pujian dan lain sebagainya. Jika penyebutan lafazh 'iman' itu dalam konteks perintah, larangan atau penetapan hukum di dunia, maka itu berarti, ucapan itu diarahkan kepada seluruh kaum Mukminin, baik yang imannya sempurna ataupun kurang . Sedangkan, jika penyebutan kata 'iman' itu dalam konteks pujian kepada orang-orangnya dan penjelasan balasannya, maka itu berarti, ucapan itu diarahkan untuk orang-orang yang imannya sempurna. Kelompok yang kedua inilah yang hendak dijelaskan di sini.

Dalam al-Qur'ân, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa orang Mukmin yaitu orang yang mengakui dan mengimani semua pokok akidah, menginginkan dan melakukan apa Allâh Azza wa Jalla sukai dan ridhai, meninggalkan semua perbuatan maksiat dan bergegas untuk bertaubat dari perbuatan dosa yang dia lakukan. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan bahwa keimanan mereka memberikan dampak positif pada akhlak, perkataan dan tindak-tanduk mereka.

Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan sifat kaum Mukminin itu yaitu yang beriman kepada semua rukun iman, mendengar dan taat serta patuh, baik secara lahir maupun batin. Allâh Azza wa Jalla juga menyebutkan sifat mereka yang lain dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣﴾أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh , gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya keiman mereka bertambah, dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb mereka dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. [al-Anfâl/8:2-4]

Sifat-sifat lain yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan yaitu jika mendengar ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla dan mengingat Allâh Azza wa Jalla mereka gemetar, menangis namun hati mereka lembut dan tenang; mereka senantiasa takut kepada Rabb mereka; khusyu' dalam shalat, menjauh dari perbuatan sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kemaluan, memberikan persaksian yang benar dan menunaikan amanah.

Allâh Azza wa Jalla juga menyatakan bahwa diantara sifat kaum Mukminin adalah yakin dengan sepenuh hati tanpa ada ragu sedikitpun, berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan harta dan jiwa raga mereka dan mereka ikhlas dalam semua perbuatan mereka, cinta kepada sesama kaum Mukminin, mendoakan kebaikan untuk kaum Mukminin di masa lalu dan yang akan datang, berusaha menghilangkan kebencian terhadap kaum Muslimin dari hati mereka, senantiasa loyal kepada Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya dan kaum Muslimin serta berlepas diri dari semua musuh Islam, menyuruh melakukan yang ma'ruf dan meninggalkan kemungkaran dan mereka senantiasa taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dalam segala kondisi.

Inilah di antara sifat Mukmin sejati. Dalam diri mereka berpadu antara akidah yang benar, keyakinan yang sempurna dan keinginan kuat untuk senantiasa bertaubat. Ini semua melahirkan sikap patuh untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.

Semua sifat ini merupakan sifat Mukmin sejati yang akan terhindar dari siksa Allâh Azza wa Jalla , yang berhak mendapatkan pahala serta berhak meraih semua kebaikan yang merupakan buah dari keimanan.

Setelah mengetahui sifat-sifat ini, seyogyanya bagi seorang Mukmin mengintrospeksi dan melihat dirinya, sudahkah dia memiliki sifat ini? Jika sudah, sudahkah sifat-sifat terpuji ini sempurna ataukah masih banyak kekurangannya? Introspeksi seperti ini sangat urgens untuk memacu semangat memperbaiki diri. Kalau sebatas mengetahui sifat-sifat terpuji yang merupakan kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat ini tanpa ada tindak-lanjut dengan menilai diri, maka alangkah ruginya. Sebab, dengan menilai diri, dia akan mengetahui kekurangan-kekurangannya sehingga terpacu untuk menyempurnakannya dengan bertaubat dan istighfâr. Inilah yang menyebabkan proses introspeksi ini menjadi penting. Karena semua yang dijanjikan untuk kaum Mukminin itu akan bisa diraih hanya dengan iman yang sempurna.

Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan lebih dari seratus kebaikan yang bisa diraih dengan iman. Nilai satu kebaikan melebihi nilai dunia dan seisinya. Diantara kebaikan yang bisa diraih dengan keimanan yaitu ridha Allâh Azza wa Jalla yang merupakan karunia tertinggi. Iman juga bisa menyebabkan seseorang masuk surga, selamat dari siksa neraka, terhindar dari siksa kubur, terhindar dari berbagai kesulitan pada hari Kiamat, gembira di dunia dan akhirat, teguh dalam keimanan di dunia dan istiqamah dalam ketaatan dan ketika meninggal dan dikubur tetap diatas iman, tauhid dan bisa menjawab dengan benar.

Dengan iman seseorang bisa meraih kehidupan yang baik di dunia, rizki, kebaikan, kemudahan, terhindar dari berbagai kesulitan, ketenangan hati dan jiwa, qana'ah, hidup nyaman, anak keturunan yang baik dan menjadikan mereka sebagai penghibur bagi seorang mukmin, sabar ketika mendapat ujian dan musibah.

Dengan sebab keimanan, Allâh Azza wa Jalla menghilangkan berbagai beban dari kaum Mukminin, melindungi mereka dari berbagai keburukan, menolong mereka dalam menghadapi musuh, tidak menyiksa kaum Mukminin yang lupa, yang tidak tahu dan yang keliru. Allâh tidak memberikan beban kepada mereka bahkan Allâh Azza wa Jalla menghilangkannya dan tidak membebankan kepada mereka sesuatu diluar batas kemampuan mereka.

Dengan sebab iman, Allâh mengampuni dosa-dosa kaum Mukminin dan memberikan taufik kepada mereka untuk segera bertaubat.

Jadi keimanan merupakan sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , mendekat kepada rahmat Allâh Azza wa Jalla dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Iman juga merupakan sarana ampuh untuk meraih ampunan Allâh Azza wa Jalla dan menghilangkan atau meringankan semua kesulitan.

Secara rinci, manfaat yang bisa diraih dengan keimanan itu sangat banyak. Singkatnya, kebaikan dunia dan akhirat merupakan buah dari keimanan sebaliknya keburukan-keburukan itu ada akibat dari hilangnya keimanan. Wallâhu a'lam

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. 77-80)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

ALQUR'AN MEMBERIKAN PENGARAHAN AGAR TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN YANG MUBAH


Al-Qur'ân Memberikan Pengarahan Agar Tidak Melakukan Perbuatan Yang Mubah (Bersifat Boleh) Apabila (Hal Tersebut) Dapat Mengantarkan Kepada Perkara Haram Atau Meninggalkan Hal Yang Wajib

Kaidah ini telah tercantum dalam banyak ayat dalam al-Qur'ân, dan termasuk dalam kandungan kaidah al-wasâil lahâ ahkâmul maqâshid (sebuah perbuatan dihukumi berbeda tergantung tujuannya).

Yang termasuk dalam kaidah ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah engkau memaki sesembahan selain Allah yang mereka sembah karena nanti mereka akan mencela Allah dengan melampaui batas tanpa dasar ilmu pengetahuan" [al-An'âm/6:108][1]

Juga firman-Nya :

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

Dan janganlah mereka (kaum wanita) menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan [an-Nur/24:31][2]

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

Maka janganlah kalian (istri-istri Nabi) tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang di dalam hatinya ada penyakit [al-Ahzâb/33:32]

Dan firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Wahai orang-orang yang beriman apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum'at maka bersegeralah kamu mengingat Allâh dan tinggalkanlah perdagangan [al-Jumu'ah/62:9]

Masih banyak ayat lain yang menunjukkan kaedah yang agung ini. Maka, (hukum) perkara-perkara mubah itu tergantung pada tujuannya. Apabila menjadi perantara yang mengantarkan pada hal wajib ataupun sunnah, maka perbuatan tersebut (berubah hukumnya) menjadi hal yang diperintahkan. (Sebaliknya) jika perbuatan itu menjadi jembatan menuju perkara haram atau meninggalkan kewajiban, maka hal tersebut diharamkan dan terlarang (untuk dilakukan). Karena amal-amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat si pelaku, di awal dan akhirnya. Wallâhul muwaffiq.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. 131-132)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Allâh Azza wa Jalla melarang perbuatan mencela terhadap sesembahan kaum kafir, meskipun merupakan sesuatu yang mengandung kemaslahatan, karena dapat berdampak munculnya celaan terhadap Allâh dari mereka (kaum kafir) sebagai tindakan balasan. Dan celaan yang dialamtkan kepada Allâh Azza wa Jalla termasuk tindakan yang sangat buruk.
[2]. Pada asalnya, menghentakkan kaki ke tanah bagi seorang wanita diperbolehkan. Akan tetapi, bila menimbulkan mafsadah (bahaya) berupa isyarat yang berisi pemberitahuan apa yang disembunyikan oleh wanita dalam kakinya, maka hukum perbuatan ini dilarang. (Penjelasan Syaikh Khâlid bin ‘Abdullâah al-Muslih dalam syarahnya)


JANGAN TERBURU-BURU DAN JANGAN MENUNDA-NUNDA

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar (kita) memastikan kebenaran sesuatu dan tidak terburu-buru pada segala hal yang dikhawatirkan dampaknya. Dan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan (kita) untuk bergegas melakukan segala kebaikan yang dikhawatirkan akan luput

Kaedah ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an. Diantara contoh terapan untuk penggalan kaedah yang pertama yaitu :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allâh, maka telitilah ! [an-Nisâ’/4:94]

Maksudnya, ketika berjibaku dalam peperangan, jika ada orang yang mengucapkan salam, maka harus dicek kebenarannya, tidak terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa itu hanya tipu muslihat untuk melindungi diri, lalu orang yang mengucapkans alam itu tetap dibunuh. ini sebuah kekeliruan.

2. Firman Allâh Azza wa Jalla.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [al-Hujurât/49:6]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bergegas menyebarkan berita-berita besar yang justru dikhawatir akan tersebar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amridi antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). [an-Nisâ’/4:83]

Allâh juga berfirman,

بَلْ كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ

“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan Sempurna [ Yûnus/10:39]

Termasuk dalam kaidah ini yaitu perintah agar memusyarawahkan segala sesuatu, senantiasa waspada serta tidak mengucapkan sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti. Tentang hal ini, banyak ditemukan ayat-ayat yang menjelaskannya.

sedangkan diantara contoh terapan untuk potongan kedua dari kaidah diatas yaitu firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan bergegaslah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imrân/3:133), juga firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (al-Baqarah/2:148), dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang senada.

Apa yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan kepada para hamba-Nya ini merupakan kesempurnaan, agar para hamba senantiasa tegar, tidak kehilangan kesempatan untuk melakukan kebaikan dan senantiasa memastikan sesuatu karena khawatir akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan atau membahayakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
HUKUM BERSYARAT


Kaidah dasar pada ayat-ayat yang berisi hukum-hukum bersyarat adalah hukum-hukum itu tidak boleh ditetapkan kecuali setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Namun hukum asal ini tidak berlaku pada beberapa ayat.

Ini merupakan kaidah yang sangat jeli. Ketika Allâh Azza wa Jalla menetapkan hukum pada sesuatu dan juga menetapkan syarat, maka penetapan hukum ini sangat bergantung dengan syarat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla . Hukum seperti ini sangat banyak dalam al-Qur'ân. Misalnya firman Allâh Azza wa Jalla,

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. [an-Nisa'/4:12]

Suami akan mendapatkan setengah dari harta waris bila syaratnya terpenuhi, bila tidak terpenuhi maka dia tidak berhak mendapatkan setengah. Dan masih banyak contoh lain dalam al-Qur'ân yang tidak mungkin dibawakan satu persatu. Dan tujuan pembahasan kaidah ini bukan untuk membahas ayat-ayat atau hukum-hukum yang sejalan dengan kaidah diatas, namun sebaliknya yaitu membahas beberapa contoh hukum yang dalam penetapannya keluar dari kaidah diatas. Artinya syarat dalam hukum itu tidak menjadi patokan dalam penetapan hukumnya. Inilah yang dibahasakan para Ulama tafsir dengan istilah, " هَذَا قَيْدٌ غَيْرُ مُرَادٍ " (Sifat ini tidak diinginkan). Meski ucapan ini masih perlu dikritisi, karena semua kalimat dalam al-Qur'ân itu, pasti disengaja oleh Allâh untuk suatu hikmah yang terkadang diketahui manusia dan terkdang tidak. Maksud perkataan mereka, "tidak diinginkan" adalah tidak diinginkan sebagai syarat dalam penetapan hukum. Misalnya dalam beberapa ayat berikut :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allâh yang dia tidak memiliki satu dalilpun tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. [al Mukminûn/23:117]

Kalimat "…yang dia tidak memiliki satu dalilpun tentang itu…" bukan dimaksudkan sebagai syarat penetapan hukum kafir bagi pelakunya, karena sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa orang yang beribadah kepada selain Allâh itu telah kafir dan dia pasti tidak memiliki dalil. Allâh Azza wa Jalla mengaitkan hukum syirik atau kafir dalam ayat itu dengan syarat tidak memiliki dalil untuk memberikan gambaran betapa syirik itu sangat buruk dan sama sekali tidak memiliki dalil syar'i ataupun dalil akal.

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ

… Dan anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,.. [an-Nisâ'/4:23]

Kalimat ,".. yang ada dalam pemeliharaanmu.." bukan sebagai syarat penetapan hukum haram menikahi anak-anak tiri. Karena anak-anak tiri itu tetap haram dinikahi baik berada dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Lalu kenapa Allâh Azza wa Jalla membawakan kalimat yang seolah-oleh syarat ? Jawabnya, untuk memberikan gambaran betapa buruknya prilaku orang yang memperbolehkan menikahi anak-anak tiri.

3. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan [al-Isrâ'/17:31]

Kalimat ,"…karena takut kemiskinan" dalam ayat diatas bukan dimaksudkan sebagai syarat terlarangnya pembunuhan, karena membunuh tetap dilarang dalam kondisi takut miskin atau dalam kondisi lain. Namun takut miskin sering menjadi faktor pemicu pembunuhan, oleh karena itu disebutkan dalam ayat diatas.

Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

Dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa iddah (menanti) itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlâh. (al-Baqarah/2:228), sebagian para Ulama' memandang bahwa ayat ini termasuk kelompok ayat yang menerangkan syarat namun tidak menjadi patokan penetapan hukum, artinya si suami tetap berhak meruju' istri yang ditalaknya, baik dia ingin ishlâh atau tidak. Jadi penyebutan syarat " Jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlâh." hanya sebagai motivasi agar para suami konsisten dengan perintah Allâh yang salah satu diantara perinath itu adalah memiliki keinginan untuk ishlâh. Sementara sebagian lagi memandang bahwa syarat yang disebutkan dalam ayat di atas sebagaimana kaidah dasarnya, artinya si suami tidak berhak untuk meruju' istri yang masih dalam masa iddah kecuali jika dia berkeinginan untuk ishlâh. Dan jika ia tidak memiliki keinginan untuk ishlâh, maka dia tidak berhak untuk ruju'.

4. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang pencatat, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). [al-Baqarah/2:283]

Kalimat "Jika kamu dalam perjalanan.." bukan dimaksudkan sebagai syarat sah rahn (gadai), karena rahn akan tetap sah apabila dilakukan saat bepergian atau tidak.

5. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ

Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai [al-Baqarah/2:282]

Sekilas terpahami dari ayat ini bahwa saksi yang terdiri dari satu lelaki dan dua wanita itu boleh dipakai dan persaksiannya bisa diterima apabila tidak ada saksi lelaki yang berjumlah dua orang. Padahal yang benar tidak demikian, persaksiaan satu lelaki ditambah dua wanita tetap diterima, meskipun ada dua lelaki yang bisa menjadi saksi. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan metode diatas dalam rangka menerangkan cara terbaik menjaga hak.

Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla :

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَىٰ

Oleh sebab itu berikanlah peringatan ! jika peringatan itu bermanfaat, [al-'A'la/87:9]

Sebagian orang mengira bahwa syarat yang ada dalam ayat ini sama seperti syarat yang ada pada ayat sebelumnya. Artinya memberikan peringatan itu tetap wajib, tanpa peduli apakah peringatannya itu bermanfaat atau tidak. Ini adalah pendapat yang keliru, karena pemberian peringatan itu boleh dilakukan jika bisa mewujudkan manfaat. Jika aksi pemberian peringatan itu akan menimbulkan dampak buruk yang lebih kuat daripada kebaikan yang terwujud, maka dalam kondisi seperti ini dilarang memberikan peringatan. Sebagaimana terlarangnya mencela sesembahan orang-orang kafir dan musyrik jika celaan itu akan menjadi alasan bagi mereka untuk mencela Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana juga, amar bil ma’rûf (menyuruh orang melakukan kebaikan) itu dilarang bila berpotensi besar menimbulkan keburukan yang lebih buruk daripada manfaat yang diinginkan atau menghilangkan manfaat yang lebih besar daripada manfaat yang akan dianjurkan. Begitu pula dengan pemberian peringatan. ini semua termasuk perincian dari firman Allâh Azza wa Jalla :

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik [an-Nahl/16:125]

5. firman Allâh Azza wa Jalla :

وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

… dan mereka membunuh para nabi tanpa alasan yang dibenarkan. [al-Baqarah/2:61]

Seolah-olah terpahami dari ayat ini bahwa pembunuhan terhadap para nabi itu diperbolehkan kalau ada alasan yang dibenarkan. Ini adalah pemahaman yang salah, karena mereka tidak akan pernah memiliki alasan yang dibenarkan. Berbeda dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allâh (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar ( al-An’âm/6:151), syarat dalam firman ini bukanlah termasuk syarat yang tidak diinginkan. Kalimat “…kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar” merupakan syarat penetapan hukum, artinya pembunuhan itu haram bila dilakukan dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.

6. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih) [al-Mâidah/5:6]

Seakan terpahami dari ayat diatas bahwa tidak adanya air yang menyebabkan tayammum boleh dilakukan apabila itu terjadi dalam perjalanan, padahal tidak demikian. Ketika tidak ada air, maka tayammum boleh dilakukan baik saat perjalanan atau tidak. Kalimat “dalam perjalanan” disebutkan bukan sebagai syarat tidak ada air, namun untuk menjelaskan bahwa biasanya dalam perjalanan air susah didapatkan.

7. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar[1] shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. [an-Nisâ’/4:101]

Seakan terpahami bahwa takut merupakan syarat qashar, padahal para ulama sepakat, takut bukan syarat disyari’atkannya qashar, bukan pula syarat sah qashar.

inilah beberapa contoh ayat al-Qur'ân yang berisi syarat yang tidak ditujukan sebagai syarat penetapan hukum. wallahu a’lam

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, kaidah ke 26)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ?[al-Maidah/5:50]

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, kaidah ke 43)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Surat Yang Diakhiri Dengan Asmaul Husna

SURAT YANG DIAKHIRI DENGAN ASMAUL HUSNA (NAMA-NAMA-NYA YANG INDAH) MENUNJUKKAN BAHWA HUKUM YANG DISEBUTKAN DALAM AYAT MEMILIKI KETERKAITAN DENGAN NAMA ALLAH AZZA WA JALLA YANG MULIA ITU


Ini adalah kaidah yang sangat mendalam dan bermanfaat. Bila ditelusuri pada seluruh ayat yang diakhiri dengan nama-nama Allah Azza wa Jalla , niscaya akan kita dapati adanya kesesuaian yang sangat tepat; yang menunjukkan bahwa syariat, perintah dan penciptaan semua itu muncul dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sekaligus berkaitan erat dengannya.

Pembahasan tentang Allah Azza wa Jalla dan hukum-hukum-Nya termasuk pengetahuan dan ilmu yang paling mulia. Kita dapati ayat-ayat tentang rahmat Allah Azza wa Jalla , diakhiri dengan nama-nama-Nya yang mengandung sifat rahmat. Ayat-ayat hukuman dan adzab ditutup dengan nama-nama yang memuat sifat keperkasaan, kedigdayaan, kebijaksanaan, ilmu dan kekuasaan. Perkara ini menjadi semakin urgen karena jarang kitab kitab-kitab tafsir yang membahas kaidah ini. Berikut ini beberapa contoh untuk menjelaskan kaidah di atas:

Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

(Dia-lah Allah) yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu [al-Baqarah/2:29]

Penyebutan keluasan ilmu-Nya setelah menyebutkan penciptaan bumi dan langit menunjukkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala makhluk yang ada di dalamnya. Juga menunjukkan bahwa Dia Maha Bijaksana karena Allah Azza wa Jalla menjadikannya untuk para hamba-Nya dan telah memperindah bentuk penciptaannya dalam gambaran yang terbaik dan keteraturan yang sempurna. Demikian pula penciptaan langit dan bumi termasuk bukti keluasan ilmu Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [al-Mulk/67:14]

Jadi, penciptaan Allah Azza wa Jalla terhadap seluruh makhluk adalah dalil aqli (akal) paling kuat tentang ilmu-Nya, sebab bagaimana mungkin Dia Azza wa Jalla menciptakan sesuatu kalau Dia tidak mengetahuinya?

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:37]

Banyak ayat yang diakhiri dengan dua nama ini (Maha Penerima taubat dan Penyayang) setelah menyebutkan rahmat, maghfirah, taufik, serta kelembutan Allah Azza wa Jalla . Korelasinya akan nampak sekali bagi tiap orang. Dengan dua nama ini, Allah Azza wa Jalla memberi perhatian lebih terhadap hati orang-orang yang bertaubat kepada-Nya dan memberikan taufik kepada mereka untuk melakukan perkara-perkara yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menerima taubat dan merahmati mereka, dan kemudian mengampuni dan mengasihi mereka., Allah Azza wa Jalla pertama kali menerima taubat mereka dengan memberikan taufik kepada mereka agar bertaubat dan mengambil langkah-langkah menuju ke sana. Kemudian Allah Azza wa Jalla menerima taubat mereka kedua kalinya dengan berkenan menerima taubat mereka lagi dan memenuhi permohonan mereka. Oleh karenanya, Allah Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang lain:

ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا

Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya [at-Taubah/9:118]

Kalau bukan karena taufik-Nya dan mengarahkan hati-hati mereka untuk bertaubat, niscaya mereka tidak punya jalan menuju taubat manakala mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan, kecuali orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla dan dipelihara hawa nafsunya dan dari bisikan-bisikan setan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui [al-Baqarah/2:115]

Ini bermakna bahwa keutamaan dan kerajaan-Nya sangat luas, yang meliputi semua alam atas dan bawah. Selanjutnya, di samping luas dalam kerajaan dan keutamaan-Nya, ilmunya juga meliputi hal itu seluruhnya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara yang lampau dan yang akan datang; ilmu-Nya meliputi terhadap arah menuju kiblat-kiblat yang beragam dengan adanya hikmah; serta meliputi niat-niat orang-orang yang menghadap kiblat ke suatu arah jika mereka keliru dalam kiblat yang telah ditentukan. Lantas, dimana orang shalat itu menghadap? ia menghadap ke wajah Rabb-nya.

Adapun ucapan Nabi Ibrahim Alaihissallam dan Ismâ'îl Alaihissallam ketika keduanya mengangkat pondasi rumah Allah Azza wa Jalla :

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Rabb kami, terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2:127]

Sungguh, Nabi Ibrâhîm Alaihissallam bertawasul kepada Allah Azza wa Jalla dengan dua nama ini (as-Samî` dan al-Alîm) agar diterima amal mulia ini, dimana Allah Azza wa Jalla mengetahui niat dan maksud keduanya; mendengar pembicaraan keduanya, serta mengabulkan doa keduanya. Maka sungguh, yang dimaksud dengan as-Samî' (Yang Maha Mendengar dalam konteks doa -adalah doa ibadah dan doa permohonan-) bermakna Yang menjawab permohonan, sebagaimana perkataan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam dalam ayat yang lain:

إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ

Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. [Ibrâhîm/14:39]

Dan adapun firman Allah Azza wa Jalla :

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ

Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah) serta mensucikan mereka. [al-Baqarah/2:129]

Yang diakhiri dengan firman-Nya:

إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.[al-Baqarah/2:129]

Yakni; sebagaimana Aku telah mengutus Rasul ini, di dalamnya ada rahmat yang banyak, kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan kesempurnaan hikmah-Nya. Karena, sesungguhnya bukan termasuk hikmah bila Dia membiarkan makhluk-Nya begitu saja; tidak mengutus rasul kepada mereka Maka Allah Azza wa Jalla merealisasikan hikmah-Nya dengan mengutus rasul supaya manusia tidak memiliki hujjah lagi di hadapan Allah Azza wa Jalla . Segala urusan –yang qadari dan syar'inya- tidak akan tegak kecuali dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla dan terlaksana hukum-Nya.

Sungguh cukup bagi Allah Azza wa Jalla menyebutkan asmâ'ul husna tanpa penjelasan lagi; tetapi dengan hanya menyebutkan hukum-hukum dan balasan-Nya. Agar para hamba-Nya sadar bahwa jika mereka mengetahui Allah Azza wa Jalla dari nama yang agung tersebut, niscaya akan mengetahui apa yang diakibatkan dari hukum-hukumnya tersebut, seperti firman Allah Azza wa Jalla :

فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran. [al-aqarah/2:209]

Tidak mengatakan : "Maka kalian mendapatkan hukuman seperti ini dan itu" , namun berfirman;

فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah/2:209]

Apabila kalian mengetahui kekuasaan-Nya (yaitu keperkasaan, kehebatan, kekuatan dan pertahanan-Nya) dan mengetahui hikmah-Nya (yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menurunkannya pada tempatnya), tentu hal itu mengharuskan kalian takut untuk tetap berada di atas dosa-dosa dan kegelinciran-kegelinciran kalian, karena di antara bentuk hikmah-Nya ialah menghukum orang yang berhak dihukum –dia terus-menerus melakukan dosa padahal mengetahuinya-. Dan sesungguhnya kalian tidak akan bisa menolak-Nya, keluar dari garis hukum dan pembalasan-Nya, karena kesempurnaan kekuasaan dan keperkasaan-Nya.

Ketika menyebutkan hukuman pencuri, Dia berfirman di akhir ayat-Nya;

نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[al-Mâidah/5:38]

Yaitu; Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia potong tangan pencuri itu, dan Dia Yang Perkasa dan menghukumi, maka Dia menghukum orang-orang yang melampaui batas secara syariat, ketentuan takdir dan balasan.

Allah Azza wa Jalla berfirman ketika menyebutkan kisah-kisah para nabi bersama umat-umat mereka dalam surat as-Syu'arâ, Dia menutup setiap kisah dengan firman-Nya:

وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ

Dan Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. [asy-Syu'arâ/26; 9,68,104,122,140,159,175,191]

Sungguh, setiap kisah mengandung penyelamatan nabi dan para pengikutnya. Yang demikian itu berkat rahmat dan kasih sayang Allah Azza wa Jalla . Dan pembinasaan orang-orang yang mendustakannya, hal itu merupakan bentuk kekuasaan-Nya. Sesungguhnya Dia menyelamatkan Rasul dan para pengikutnya dengan kesempurnaan kekuatan, kekuasaan dan kasih sayangnya, dan membinasakan orang-orang yang mendustakan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Penyebutan rahmat menjadi konsekuensi besarnya kejahatan mereka, dan seandainya kejahatan mereka tidak besar; mereka menutup diri-diri mereka pintu-pintu rahmat, dan tidak ada jalan lagi untuk mereka kepadanya, niscaya mereka ditimpa adzab.

Adapun perkataan Nabi Isâ Alaihissallam :

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Mâidah/5:118]

Dan Allah Azza wa Jalla tidak mengatakan; Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Karena tempatnya adalah bukan tempat permintaan belas kasih ataupun rahmat, namun tempat marah dan membalas terhadap orang yang menjadikan tuhan bersama Allah Azza wa Jalla . Maka, menjadi pas penyebutan keperkasaan dan kebijaksanaan, sehingga menjadi lebih utama daripada penyebutan rahmat.

Di antara yang menarik dari tempat-tempat harapan: bahwa Dia menyebutkan sebab-sebab rahmat dan sebab-sebab adzab, kemudian menutupnya dengan sesuatu yang menunjukkan rahmat Allah Azza wa Jalla , seperti firman-Nya:

يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki; Dia menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imrân/3:129]

Dan firman-Nya:

لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:73]

Hal itu menunjukkan bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Kepada rahmat lah berujung setiap orang yang memiliki sebab-sebab rahmat yang paling rendah sekalipun. Oleh karenanya, akan keluar dari neraka orang yang di dalam hatinya masih terdapat keimanan meski seukuran biji sawi. Maka, kita cukupkan contoh-contoh ini, dan sesungguhnya dengan contoh-contoh ini sudah dapat diketahui cara pengambilan dalilnya.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, Hal 51 - 57)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



METODE AL QUR’AN DALAM MENYERU KAUM MUKMININ KEPADA HUKUM-HUKUM SYARIAT


Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan untuk berdakwah di jalan-Nya dengan cara paling baik yang mengantarkan kepada maksud dan tujuan yang diharapkan.Tidak diragukan lagi, bahwa metode Allah Azza wa Jalla dalam hal ini adalah yang paling baik dan paling tepat.

• Sering kali Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin untuk melakukan kebaikan atau melarang dari keburukan dengan menggunakan gelar iman yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada mereka. Misalnya, Allah Azza wa Jalla berfirman : ” Wahai orang-orang yang beriman, lakukanlah hal ini atau tinggalkanlah perkara ini...”

Seruan gaya ini berisi dua seruan sekaligus yaitu :
Pertama : seruan agar mereka melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi keimanan, syarat-syarat dan hal-hal yang dapat menyempurnakan keimanan mereka, berupa seluruh syariat agama. Oleh karena itu itu para ulama salaf sepakat bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang dan seluruh syari’at agama ini merupakan bagian dari iman. Salah satu buktinya yaitu Allah Azza wa Jalla memulai perintah-Nya kepada kaum Mukminin dengan mengggunakan kata-kata iman. Misalnya, `Wahai orang-orang yang beriman…`.

Kedua : seruan agar mereka mensyukuri karunia keimanan yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan, dengan menjelaskan cara bersyukur secara terperinci yaitu tunduk secara mutlak terhadap segala perintah dan larangan-Nya.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin kepada kebaikan dan melarang mereka dari keburukan dengan menjelaskan pengaruh dan balasan di dunia maupun di akherat dari perbuatan mereka.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin dengan menyebutkan karunia-Nya yang bermacam-macam, yang menuntut mereka agar bersyukur dengan cara melaksanakan konsekuensi keimanan.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin dengan memberikan dorongan ataupun ancaman, dengan menyebutkan apa yang Allah Azza wa Jalla sediakan bagi kaum Mukminin yang taat yaitu ganjaran; dan bagi selain mereka berupa hukuman.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin dengan menyebutkan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang indah (asmâul husnâ), dan hak-hak Allah Azza wa Jalla yang agung atas hamba-Nya. Sesungguhnya hak Allah Azza wa Jalla atas para hamba adalah agar mereka benar-benar beribadah kepada-Nya secara lahir maupun batin, beribadah dan berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang suci.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla menyeru kaum Mukminin agar mereka hanya menjadikan Allah Azza wa Jalla sebagai wali, tempat berlindung, tempat menyerahkan segala urusan dan menjadikan-Nya tempat kembali. Allah Azza wa Jalla memberitahu mereka bahwa inilah sumber kebahagiaan dan kesuksesan hamba. Sekiranya mereka tidak menjadikan Allah Azza wa Jalla sebagai tempat berlindung, mereka akan dikuasai oleh setan yang memberikan angan-angan semu dan tipu muslihat, sehingga lenyaplah berbagai kebaikan dari mereka serta akan menjerumuskan ke lembah kebinasaan.

• Terkadang Allah Azza wa Jalla mendorong kaum Mukminin kepada kebaikan dan memperingatkan mereka agar tidak bertasyabuh dengan orang-orang yang lalai, enggan dan penganut agama selain Islam, agar kaum Mukminin tidak tertimpa celaan atau lainnya yang menimpa orang-orang itu. Sebagaimana firman-Nya

فَتَكُونَ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Nanti kamu termasuk orang-orang yang merugi [Yunus/10:95]

فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ

Sehingga engkau termasuk orang-orang yang zhalim [al-An'am/6:52]

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik [al-Hadid/57:16]


METODE AL QUR’AN DALAM MENDAKWAHI ORANG-ORANG KAFIR

Al-Qur’ân mengajak mereka untuk masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyebutkan keindahan syariat dan agamanya. Al-Qur’ân juga menyebutkan bukti-bukti kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna memberi petunjuk bagi orang-orang yang menginginkan kebenaran dan keadilan, serta menegakkan hujjah bagi orang-orang yang menentang. Ini merupakan metode paling agung yang diserukan kepada semua orang yang menyelisihi agama Islam.

Sesungguhnya keindahan agama Islam dan kelebihan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tanda-tanda dan bukti-bukti beliau di dalamnya terdapat kesempurnaan dakwah, yaitu dengan cara berpaling dari kebathilan syubhat dan hujjah orang-orang yang menyelisihinya. Sesungguhnya apabila kebenaran telah jelas, maka dapat diketahui bahwa semua yang menyelisinya adalah kebathilan dan kesesatan.

Al-Qur’ân menyeru mereka dengan menyebutkan hal-hal yang menakutkan bagi mereka, berupa siksaan dunia dan akherat (yang menimpa) umat-umat terdahulu. Juga dengan menyebutkan berbagai kejelekan dan akibat buruk yang terdapat pada agama-agama bathil tersebut serta hukuman-hukuman yang hina. Al-Qur’ân memperingatkan mereka supaya tidak mentaati pemimpin-pemimpin sesat dan dai-dai penyeru kepada api neraka. Mereka harus meninggalkan ketaatan terhadap tokoh-tokoh tersebut. Sesungguhnya kelak di akherat mereka akan berandai-andai, sekiranya mereka dahulu di dunia mentaati Rasul n dan tidak mentaati pemimpin mereka yang sesat. Kelak kecintaan dan persahabatan dengan para pemimpin itu akan berubah menjadi kebencian dan permusuhan.

Sebagaimana seruan al-Qur’ân terhadap kaum Mukminin, al-Qur’ân juga menyeru mereka dengan menyebutkan karunia dan nikmat yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Sesungguhnya Dzat yang di-Esakan dalam hal mencipta, mengatur dan memberi nikmat lahir dan bathin, Dia-lah yang wajib ditaati dan dilaksanakan perintahnya dan dijauhi larangannya oleh segenap makhluk.

Al-Qur’ân juga menyeru mereka dengan menjelaskan kebathilan dan keburukan yang ada pada agama mereka, kemudian membandingkannya dengan agama Islam. Supaya jelas bagi mereka mana yang wajib diutamakan dan dipilih.

Al-Qur’ân menyeru mereka dengan cara yang paling baik. Apabila mereka semakin sombong dan menentang, maka al-Qur’ân mengancam mereka dengan siksa yang keras. Al-Qur’ân menjelaskan kepada manusia jalan yang telah mereka tempuh. Mereka tidak menyelisihi agama karena ketidak-tahuan atau karena syubhat yang menyebabkan mereka berhenti dari syariat. Akan tetapi, dikarenakan pengingkaran dan penentangan mereka.

Al-Qur’ân juga menjelaskan sebab-sebab yang menghalangi mereka dari mengikuti petunjuk, yaitu hawa nafsu. Tatkala mereka memilih kebatilan daripada kebenaran, hati mereka terkunci, jalan kebenaran pun tertutup, kemudian setan menguasai diri mereka hingga mereka tidak lagi memperoleh perlindungan dari Allah Azza wa Jalla .

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan memalingkan mereka jika mereka berpaling (dari kebenaran) karena mengikuti hawa nafsu mereka. Makna-makna ini banyak disebutkan dalam al-Qur’ân di berbagai tempat. Renungilah al-Qur’ân, agar engkau mendapatkan kejelasan dan keagungan.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, Hal 30-31, 33-34)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01-02/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


http://almanhaj.or.id/

1 comment: