Friday, July 19, 2013

KEINDAHAN ASMA-UL HUSNA


 KEINDAHAN ASMA-UL HUSNA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A


Berbicara tentang keindahan Asmâ-ul Husnâ (nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan dan terbetik oleh akal pikiran manusia.

Betapa tidak, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:

لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1]

Maka, sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya pun tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan dzat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allâh Jalla Jalaluhu lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2] .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur`ân bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu membatasi dan menuliskan dengan tuntas semua bentuk keagungan dan keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bagaimanapun besar dan luasnya makhluk tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) [al-Kahfi/18:109]

Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu juga berfirman:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Luqmân/31:27]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang keagungan, kebesaran dan kemuliaan-Nya, serta nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan kalimat-kalimat-Nya yang maha sempurna, yang tidak mampu diliputi oleh siapapun (dari makhluk-Nya), serta tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekat dan mampu membatasi (menghitung)nya, sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam…Kemudian Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan hadits di atas…Arti ayat ini adalah seandainya semua pohon (yang ada di) bumi dijadikan pena dan lautan (di bumi) dijadikan tinta dan ditambahkan lagi tujuh lautan (yang seperti itu) bersamanya, untuk menuliskan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya, serta (kesempurnaan) sifat-sifat-Nya, maka (niscaya) akan hancur pena-pena tersebut dan habis air lautan (tinta) tersebut (sedangkan kalimat-kalimat keagungan dan kemuliaan-Nya tidak akan habis)”[3] .

ARTI KEMAHAINDAHAN DALAM ASMA-UL HUSNA
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh-lah asmâ-ul husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]

Pengertian al-Husnâ (maha indah) dalam ayat ini adalah yang kemahaindahannya mencapai puncak kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan (kekurangan) sedikit pun dari semua sisi [4] .

Misalnya, nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala “al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), nama ini mengandung sifat kesempurnaan hidup yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Sifat hidup yang sempurna ini mengandung konsekwensi kesempurnaan sifat-sifat lainnya, seperti al-‘ilmu (maha mengetahui), al-qudrah (maha kuasa/mampu), as-sam’u (maha mendengar) dan al-basharu (maha melihat).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Maha Hidup (Kekal) dan tidak akan mati [al-Furqân/25:58]

Demikian pula nama Allâh Jalla Jalaluhu “al-‘Alîmu” (Yang Maha Mengetahui), nama ini mengandung sifat kesempurnaan ilmu (pengetahuan) yang tidak didahului dengan kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan sedikit pun, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Musa berkata: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku di dalam sebuah kitab, Rabbku (Allâh) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Pengetahuan-Nya maha luas dan meliputi segala sesuatu secara garis besar maupun terperinci, sebagaimana firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [al-An’âm/6:59]

Juga nama-Nya “ar-Rahmân” (Yang Maha Penyayang), nama ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) yang maha luas dan sempurna, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sungguh Allâh lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya”[5][6] .

SEGI-SEGI KEMAHAINDAHAN ASAMA-UL HUSNA
Dîbawakan keterangan beliau di sini beserta keterangan tambahan dari para ulama lainnya.

1. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semuanya mengandung pujian bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang tidak mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla seluruhnya maha indah, tidak ada sama sekali satu nama pun yang tidak (menunjukkan) kemahaindahan. Telah berlalu penjelasan bahwa di antara nama-nama-Nya ada yang dimutlakkan (ditetapkan) bagi-Nya ditinjau dari perbuatan-Nya, seperti ‘al-Khâliq’ (Maha Pencipta), ‘ar-Razzâq’ (Maha Pemberi rezki), ‘al-Muhyî’ (Maha menghidupkan) dan ‘al-Mumît’ (Maha Mematikan), ini menunjukkan bahwa semua perbuatan-Nya adalah kebaikan semata-mata dan tidak ada keburukan sama sekali padanya…”[7] .

2. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semua nama tersebut bukanlah sekedar nama semata, tapi juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Jalla Jalaluhu. Maka nama-nama tersebut semuanya menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masing mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[8] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah adalah a’lâm (nama-nama yang menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan (sekaligus) aushâf (sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dikandung nama-nama tersebut). Sifat-Nya tidak bertentangan dengan nama-Nya, berbeda dengan sifat makhluk-Nya yang (kebanyakan) bertentangan dengan nama mereka…”[9] .

3. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ , semua nama tersebut menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat itu pada dzat Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat paling sempurna, paling luas dan paling agung.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]

Artinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[10] .

4. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan nama-nama tersebut dan itu merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama-Nya, dan Dia k mencintai orang yang mencintai nama-nama tersebut, serta orang yang menghafalnya, mendalami kandungan maknanya dan beribadah kepada-Nya dengan konsekwensi yang dikandung nama-nama tersebut.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah Asmâul Husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Yang dimaksud dengan berdoa dalam ayat ini adalah mencakup dua jenis doa, yaitu doa permintaan dan permohonan, serta doa ibadah dan sanjungan [11] .

Pengertian doa permohonan (du’âut thalab) adalah berdoa dengan menyebutkan nama Allâh Jalla Jalaluhu yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya. Contohnya, kita berdoa: “Ya Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang)”; “Ya Allâh, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat)”. “Ya Allâh, limpahkanlah rezeki yang halal kepadaku, sesungguhnya Engkau adalah ar-Razzâq (Maha Pemberi rezki)”.

Adapun doa ibadah adalah dengan kita beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang maha indah. Konkretnya, kita bertaubat kepada-Nya karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat), kita berdzikir kepada-Nya dengan lisan kita karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah as-Samî’ (Maha Mendengar), kita melakukan amal shaleh dengan anggota badan kita karena mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Bashîr (Maha Melihat), dan demikian seterusnya[12] .

PENUTUP
Demikianlah penjelasan singkat tentang keindahan Asmâul Husnâ, dan tentu saja hakikat keindahannya jauh di atas apa yang mampu digambarkan oleh manusia.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk membantu mereka memahami keindahan dan kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itulah mereka bisa mewujudkan peribadahan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, karena landasan utama ibadah, yaitu kecintaan kepada-Nya, dan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya”[13] .

Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


AYAT TERBERAT UNTUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai


Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan [Hûd/11: 112]

RINGKASAN TAFSÎR[1]
(Maka tetaplah kamu [pada jalan yang benar]), yaitu beristiqomahlah kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu) di dalam kitab-Nya, ber‘aqîdahlah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam keadaan seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah bertaubat bersama kamu), yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Mukminin, agar kalian mendapatkan balasan yang baik kelak di hari Perhitungan (yaumul-hisâb) dan hari Pembalasan (yaumul-jazâ’).

(Dan janganlah kalian melampaui batas), dengan berlebih-lebihan dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam keyakinan maupun amal.

(Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan) Dia (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan dan Maha mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan, meskipun tidak tampak di hadapan manusia.

AYAT TERBERAT MENURUT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ayat di ataslah yang menurut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:

مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا

Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya[2]

MENGAPA AYAT TERSEBUT DIANGGAP SANGAT BERAT OLEH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Karena pada ayat tersebut mengandung perintah untuk beristiqomah. Sebenarnya seperti apakah istiqomah yang dimaksudkan, sehingga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai merasa sangat berat ketika mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian pembahasan artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar bisa beristiqomah, cara termudah untuk beristiqomah, hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi sikap istiqomah serta keutamaan orang yang beristiqomah.

PENGERTIAN ISTIQOMAH
Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini :

1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”[3]

2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]

3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]

4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”[6]

5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7]

HAKEKAT ISTIQOMAH
Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut:

1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik
2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq).
3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, secara lahir dan batin.
4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput.

Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat berpotensi melunturkan semangat beristiqomah.

KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allâh" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32]

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ } dan
firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }

Sungguh besar keutamaan istiqomah!

SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla
Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit [al-An’âm/6:125]

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita.

2. Doa
Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm (orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186]

3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah
Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka tetap dengan kebenarannya [11]

4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri)
Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk.

‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:

حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ

Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab)."[12]

5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk
Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk
[Hûd/11:114]

6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut:

عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13]

Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu sedikit, bukan kuantitasnya.

PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH
Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya, menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal Kepada Allâh Azza Wa Jalla
Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159)

2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14]

Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah.

3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif Mungkin
Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal (tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.

Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga.

Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya.

4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput
Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya.

5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah Dikerjakannya.
Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya.

6. Turut Andil Dalam Dakwah
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33]

Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan berdakwah.

6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama Bertahun-Tahun
Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata:

كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ

Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqomah [15]

HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH
1. Setan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ

Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus [al-A’râf/7:16]

2. HawaNafsu
3. Lemahnya Niat Untuk Berubah
4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing
Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan [16]

Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

(( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )).

Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.”

Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan pernyataan serupa.

5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ

Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api [18] [19]

6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan di dalam al-Qur’ân:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [asy-Syûrâ/42:52]

Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran.

7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85]

8. Teman Yang Jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah.

9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla , tidak akan menghiraukan hal tersebut.

10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga Tidak Mau Bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54]

Kesimpulan
1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk beristiqomah dalam surat Hûd.
2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat.
3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang mengantarkan kepadanya.
4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah
5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya.
6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a'lam

Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah sampai akhir hayat nanti. Âmîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT MAL

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,


Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat, yaitu :

1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [at-Taubah/9:54].

Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam, baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas Raudh al-Murbi’, 3/166].

2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dimerdekakan.[2]

3. Memiliki Nishâb
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta.

Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq; Juga pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta; Serta yang tidak mencapai lima auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb maka tidak diwajibkan berzakat.

4. Harta itu menjadi miliknya secara penuh
Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.[4]

Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri, karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya.

Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat selama memenuhi kreteria yang lainnya.[5]

5. Berlalu setahun lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, "Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Rasûlullâh bersabda, "Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun" [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki tersebut.

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]

YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:

a. al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); [al-‘An’âm/6:141].

b. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.

Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.

Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.

Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.

c. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishâb dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.

Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; di bulan Shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000; Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000; yaitu Rp. 1.875.000.

Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak nishâb sempurna.

d. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi].

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya

e. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9]

Imam al-Khiraqi menyatakan, "Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10]

TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.

2. Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
a. Pembayarnya tidak sejenis
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.

3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.

Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.

Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini:

a. Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul). Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli.

b. Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].

Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/44.

c. Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, "Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.[12]

d. Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, "Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.[13]

Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14]

Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.[15]

Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



http://almanhaj.or.id/
_______ KEINDAHAN ASMA-UL HUSNA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A


Berbicara tentang keindahan Asmâ-ul Husnâ (nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan dan terbetik oleh akal pikiran manusia.

Betapa tidak, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:

لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1]

Maka, sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya pun tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan dzat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allâh Jalla Jalaluhu lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2] .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur`ân bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu membatasi dan menuliskan dengan tuntas semua bentuk keagungan dan keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bagaimanapun besar dan luasnya makhluk tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) [al-Kahfi/18:109]

Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu juga berfirman:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Luqmân/31:27]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang keagungan, kebesaran dan kemuliaan-Nya, serta nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan kalimat-kalimat-Nya yang maha sempurna, yang tidak mampu diliputi oleh siapapun (dari makhluk-Nya), serta tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekat dan mampu membatasi (menghitung)nya, sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam…Kemudian Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan hadits di atas…Arti ayat ini adalah seandainya semua pohon (yang ada di) bumi dijadikan pena dan lautan (di bumi) dijadikan tinta dan ditambahkan lagi tujuh lautan (yang seperti itu) bersamanya, untuk menuliskan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya, serta (kesempurnaan) sifat-sifat-Nya, maka (niscaya) akan hancur pena-pena tersebut dan habis air lautan (tinta) tersebut (sedangkan kalimat-kalimat keagungan dan kemuliaan-Nya tidak akan habis)”[3] .

ARTI KEMAHAINDAHAN DALAM ASMA-UL HUSNA
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh-lah asmâ-ul husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]

Pengertian al-Husnâ (maha indah) dalam ayat ini adalah yang kemahaindahannya mencapai puncak kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan (kekurangan) sedikit pun dari semua sisi [4] .

Misalnya, nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala “al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), nama ini mengandung sifat kesempurnaan hidup yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Sifat hidup yang sempurna ini mengandung konsekwensi kesempurnaan sifat-sifat lainnya, seperti al-‘ilmu (maha mengetahui), al-qudrah (maha kuasa/mampu), as-sam’u (maha mendengar) dan al-basharu (maha melihat).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Maha Hidup (Kekal) dan tidak akan mati [al-Furqân/25:58]

Demikian pula nama Allâh Jalla Jalaluhu “al-‘Alîmu” (Yang Maha Mengetahui), nama ini mengandung sifat kesempurnaan ilmu (pengetahuan) yang tidak didahului dengan kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan sedikit pun, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Musa berkata: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku di dalam sebuah kitab, Rabbku (Allâh) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Pengetahuan-Nya maha luas dan meliputi segala sesuatu secara garis besar maupun terperinci, sebagaimana firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [al-An’âm/6:59]

Juga nama-Nya “ar-Rahmân” (Yang Maha Penyayang), nama ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) yang maha luas dan sempurna, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sungguh Allâh lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya”[5][6] .

SEGI-SEGI KEMAHAINDAHAN ASAMA-UL HUSNA
Dîbawakan keterangan beliau di sini beserta keterangan tambahan dari para ulama lainnya.

1. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semuanya mengandung pujian bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang tidak mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla seluruhnya maha indah, tidak ada sama sekali satu nama pun yang tidak (menunjukkan) kemahaindahan. Telah berlalu penjelasan bahwa di antara nama-nama-Nya ada yang dimutlakkan (ditetapkan) bagi-Nya ditinjau dari perbuatan-Nya, seperti ‘al-Khâliq’ (Maha Pencipta), ‘ar-Razzâq’ (Maha Pemberi rezki), ‘al-Muhyî’ (Maha menghidupkan) dan ‘al-Mumît’ (Maha Mematikan), ini menunjukkan bahwa semua perbuatan-Nya adalah kebaikan semata-mata dan tidak ada keburukan sama sekali padanya…”[7] .

2. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semua nama tersebut bukanlah sekedar nama semata, tapi juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Jalla Jalaluhu. Maka nama-nama tersebut semuanya menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masing mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[8] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah adalah a’lâm (nama-nama yang menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan (sekaligus) aushâf (sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dikandung nama-nama tersebut). Sifat-Nya tidak bertentangan dengan nama-Nya, berbeda dengan sifat makhluk-Nya yang (kebanyakan) bertentangan dengan nama mereka…”[9] .

3. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ , semua nama tersebut menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat itu pada dzat Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat paling sempurna, paling luas dan paling agung.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]

Artinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[10] .

4. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan nama-nama tersebut dan itu merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama-Nya, dan Dia k mencintai orang yang mencintai nama-nama tersebut, serta orang yang menghafalnya, mendalami kandungan maknanya dan beribadah kepada-Nya dengan konsekwensi yang dikandung nama-nama tersebut.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah Asmâul Husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Yang dimaksud dengan berdoa dalam ayat ini adalah mencakup dua jenis doa, yaitu doa permintaan dan permohonan, serta doa ibadah dan sanjungan [11] .

Pengertian doa permohonan (du’âut thalab) adalah berdoa dengan menyebutkan nama Allâh Jalla Jalaluhu yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya. Contohnya, kita berdoa: “Ya Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang)”; “Ya Allâh, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat)”. “Ya Allâh, limpahkanlah rezeki yang halal kepadaku, sesungguhnya Engkau adalah ar-Razzâq (Maha Pemberi rezki)”.

Adapun doa ibadah adalah dengan kita beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang maha indah. Konkretnya, kita bertaubat kepada-Nya karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat), kita berdzikir kepada-Nya dengan lisan kita karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah as-Samî’ (Maha Mendengar), kita melakukan amal shaleh dengan anggota badan kita karena mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Bashîr (Maha Melihat), dan demikian seterusnya[12] .

PENUTUP
Demikianlah penjelasan singkat tentang keindahan Asmâul Husnâ, dan tentu saja hakikat keindahannya jauh di atas apa yang mampu digambarkan oleh manusia.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk membantu mereka memahami keindahan dan kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itulah mereka bisa mewujudkan peribadahan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, karena landasan utama ibadah, yaitu kecintaan kepada-Nya, dan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya”[13] .

Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


AYAT TERBERAT UNTUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai


Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan [Hûd/11: 112]

RINGKASAN TAFSÎR[1]
(Maka tetaplah kamu [pada jalan yang benar]), yaitu beristiqomahlah kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu) di dalam kitab-Nya, ber‘aqîdahlah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam keadaan seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah bertaubat bersama kamu), yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Mukminin, agar kalian mendapatkan balasan yang baik kelak di hari Perhitungan (yaumul-hisâb) dan hari Pembalasan (yaumul-jazâ’).

(Dan janganlah kalian melampaui batas), dengan berlebih-lebihan dari batas-batas yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , baik di dalam keyakinan maupun amal.

(Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan) Dia (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan dan Maha mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan, meskipun tidak tampak di hadapan manusia.

AYAT TERBERAT MENURUT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ayat di ataslah yang menurut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:

مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ! فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا

Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya[2]

MENGAPA AYAT TERSEBUT DIANGGAP SANGAT BERAT OLEH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Karena pada ayat tersebut mengandung perintah untuk beristiqomah. Sebenarnya seperti apakah istiqomah yang dimaksudkan, sehingga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai merasa sangat berat ketika mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian pembahasan artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar bisa beristiqomah, cara termudah untuk beristiqomah, hal-hal yang dapat merusak dan menghalangi sikap istiqomah serta keutamaan orang yang beristiqomah.

PENGERTIAN ISTIQOMAH
Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini :

1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”[3]

2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]

3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]

4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”[6]

5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7]

HAKEKAT ISTIQOMAH
Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut:

1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik
2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq).
3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, secara lahir dan batin.
4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput.

Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat berpotensi melunturkan semangat beristiqomah.

KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allâh" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32]

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ } dan
firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }

Sungguh besar keutamaan istiqomah!

SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla
Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit [al-An’âm/6:125]

Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita.

2. Doa
Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm (orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186]

3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah
Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka tetap dengan kebenarannya [11]

4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri)
Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk.

‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:

حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ

Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab)."[12]

5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk
Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk
[Hûd/11:114]

6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut:

عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13]

Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu sedikit, bukan kuantitasnya.

PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH
Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya, menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal Kepada Allâh Azza Wa Jalla
Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159)

2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14]

Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah.

3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif Mungkin
Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal (tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.

Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga.

Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya.

4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput
Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya.

5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah Dikerjakannya.
Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya.

6. Turut Andil Dalam Dakwah
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33]

Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan berdakwah.

6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama Bertahun-Tahun
Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata:

كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ

Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqomah [15]

HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH
1. Setan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ

Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus [al-A’râf/7:16]

2. HawaNafsu
3. Lemahnya Niat Untuk Berubah
4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing
Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan [16]

Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

(( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )).

Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.”

Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan pernyataan serupa.

5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ

Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api [18] [19]

6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan di dalam al-Qur’ân:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [asy-Syûrâ/42:52]

Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran.

7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85]

8. Teman Yang Jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah.

9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla , tidak akan menghiraukan hal tersebut.

10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga Tidak Mau Bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54]

Kesimpulan
1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk beristiqomah dalam surat Hûd.
2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat.
3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang mengantarkan kepadanya.
4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah
5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya.
6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a'lam

Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah sampai akhir hayat nanti. Âmîn.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SYARAT-SYARAT WAJIB ZAKAT MAL

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc,


Masa melaksanakan zakat fithri sudah lewat seiring dengan berlalunya bulan Ramadhan. Semoga Allâh Azza wa Jalla menerima amal ibadah yang kita lakukan pada bulan tersebut. Namun selain zakat Fithri, masih ada zakat lain yang harus dikerjakan oleh kaum Muslimin yang sudah memenuhi syarat yaitu zakat mal (zakat harta). Zakat ini berbeda dengan zakat fithri dari sisi waktu pelaksanaannya, karena zakat ini tidak terikat dengan waktu tertentu, artinya bisa dikerjakan di semua bulan asalkan syaratnya sudah terpenuhi. Lalu, apakah syarat-syarat yang harus terpenuhi itu? Para Ulama menetapkan lima syarat, yaitu :

1. Islam.
Zakat mal ini hanya diambil dari kaum Muslimin dan tidak diambil dan tidak diterima dari kaum kafir[1] , baik kafir harbi maupun kafir dzimmi; karena firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan. [at-Taubah/9:54].

Ini juga didukung oleh pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke Yaman untuk mendakwahi mereka agar memeluk Islam terlebih dahulu. Jika sudah memeluk Islam, baru setelah itu, mereka diperintahkan untuk menunaikan zakat. Dengan demikian jelas bahwa Islam merupakan syarat wajib zakat. [lihat Hâsyiah Ibnu Qâsim atas Raudh al-Murbi’, 3/166].

2. Merdeka.
Zakat mal ini tidak dibebankan kepada hamba sahaya; karena ia tidak memiliki harta. Semua hartanya adalah harta majikan atau tuannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhuma, beliau berkata :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ, وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْداً وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِيْ بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjual kecuali bila pembeli mensyaratkannya. Barangsiapa yang membeli budak yang memiliki harta maka hartanya milik penjual kecuali pembeli mensyaratkannya. [Muttafaqun ‘Alaihi].

Ini juga dikuatkan dengan pernyataan sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

لَيْسَ فِيْ مَالِ العَبْدِ زَكَاةٌ حَتَّى يُعْتَقَ

Tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang budak sampai dia dimerdekakan.[2]

3. Memiliki Nishâb
Seorang Muslim yang merdeka wajib menunaikan zakat mal, apabila memiliki harta yang mencapai nishâb. Nishâb adalah ukuran standar (minimal) yang ditetapkan syariat untuk dikenai kewajiban zakat. Nishâb ini berbeda-beda sesuai dengan jenis harta.

Syarat ini disimpulkan dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلاَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقِيَّ صَدَقَةٌ

Tidak ada zakat (pada harta) yang tidak mencapai lima wasaq; Juga pada harta yang tidak mencapai lima ekor onta; Serta yang tidak mencapai lima auqiyah [Muttafaqun ‘alaihi]

Apabila seorang Muslim tidak memiliki harta yang mencapai nishâb maka tidak diwajibkan berzakat.

4. Harta itu menjadi miliknya secara penuh
Maksudnya, harta itu dimiliki secara penuh oleh seseorang[3] sehingga ia bebas mengelolanya dan tidak ada hubungan dengan hak orang lain.[4]

Dengan demikian, tidak ada kewajiban zakat pada harta seorang tuan yang masih dihutang atau belum diserahkan budaknya untuk membebaskan diri, karena harta ini masih belum menjadi milik tuan sepenuhnya.

Demikian juga tidak diwajibkan zakat pada harta wakaf yang tidak diberikan untuk individu tertentu, seperti wakaf harta untuk fakir miskin atau untuk masjid atau sekolahan. Sedangkan wakaf yang diserahkan untuk individu tertentu seperti wakaf untuk keluarga Fulan maka ia tetap kena kewajiban zakat selama memenuhi kreteria yang lainnya.[5]

5. Berlalu setahun lamanya
Syarat ini ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ : لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Aku telah mendengar Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada zakat pada harta sampai harta itu berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah rahimahullah , no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam shahih sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Juga hadits Ali Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, "Tidak ada zakat pada harta hingga harta itu berlalu setahun lamanya [HR Abu daud no. 1571 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud 1/346].

Demikian juga dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Rasûlullâh bersabda, "Barangsiapa memanfaatkan harta maka tidak ada zakat atasnya sampai harta itu berlalu setahun" [HR at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya no. 631 dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi 1/348].

Maksudnya adalah tidak ada zakat pada harta sampai kepemilikannya terhadap harta itu berlalu selama dua belas bulan. Jika sudah berlalu setahun sejak awal masa kepemilikannya, maka dia wajib mengeluarkan dari zakat yang dimiliki tersebut.

Syarat ini hanya berlaku pada tiga jenis harta; yaitu hewan ternak yang digembalakan, emas dan perak (atsmân) dan zakat barang perdagangan.[6]

YANG TIDAK DISYARATKAN HAUL.
Dengan demikian ada beberapa harta zakat yang tidak disyaratkan sempurna setahun, yaitu:

a. al-Mu’asyar yaitu harta yang diwajibkan padanya 10 % atau 5 %. Ini zakat pada hasil pertanian dan perkebunan; karena zakat ini diwajibkan ketika panen walaupun belum sampai setahun. Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); [al-‘An’âm/6:141].

b. Anak hewan ternak[7] karena haul (ukuran setahun) bagi anak-anak hewan ternak itu mengikuti hitungan haul induknya. Anak hewan ternak ini dihitung dalam zakat walaupun belum mencapai usia setahun apabila induknya telah mencapai nishab.

Contohnya seorang memiliki empat puluh ekor kambing. Lalu dalam setahun, masing-masing kambing tersebut melahirkan dua ekor kecuali seekor saja yang melahirkan tiga ekor. Dengan demikian, jumlah keseluruhannya adalah 121 ekor yang terdiri dari 40 ekor induk ditambah 81 ekor anak kambing. Berarti zakat yang harus dikeluarkan adalah dua ekor kambing, walaupun 81 kambing tersebut belum genap satu tahun.

Contoh lain : seorang memiliki 120 ekor kambing, seharusnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2 ekor kambing, namun sebulan sebelum sempurna haulnya, lahir 100 ekor kambing sehingga di akhir tahun (waktu sempurnanya haul) berjumlah 220 ekor. Dalam hal ini ia wajib mengeluarkan 3 ekor kambing walaupun yang 100 ekor belum mencapai usia setahun.

Apabila induk-induknya belum mencapai nishab, lalu induk-induk itu melahirkan anak-anaknya sehingga mencapai nishab. Saat mencapai nishâb itulah permulaan haulnya. Contohnya, seorang memiliki tiga puluh ekor kambing lalu kambing-kambing itu melahirkan sepuluh ekor, maka haul kambing-kambing tersebut dihitung sejak genap empat puluh ekor kambing.

c. Keuntungan perniagaan dari modal yang telah mencapai nishâb dan berlalu satu tahun. Seandainya, seorang memiliki uang mencapai nishâb dan digunakan untuk berdagang lalu mendapatkan keuntungan. Maka seluruh harta itu, modal dan keuntungannya terkena wajib zakat, meskipun keuntungannya belum mencapai setahun.

Contohnya, seorang memulai bisnis dengan modal 30 juta dibulan Muharram 1431 H , sementara nishâb untuk harta perniagaan adalah 85 gram emas dan harga emas 1 gramnya adalah Rp 350.000; sehingga 85 X 350.000 = 29.750.000. Kemudian di bulan Muharam tersebut, ia mendapat keuntungan Rp. 3.000.000; di bulan Shafar Rp. 2.000.000; dan seterusnya, sehingga di bulan Muharram 1432 H jumlah modal plus keuntungannya adalah Rp. 75.000.000; Maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 % dari Rp. 75.000.000; yaitu Rp. 1.875.000.

Apabila modalnya belum mencapai nishâb kemudian mendapatkan keuntungan sampai mencapai nishab, maka hitungan haulnya mulai dihitung sejak nishâb sempurna.

d. Rikâz atau harta karun adalah harta terpendam yang merupakan peninggalan jahiliyah atau zaman dahulu kala. Harta ini dikeluarkan zakatnya ketika barang itu ditemukan. Ini berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِي الرِّكَازِ الْخُمُسَ

Pada harta karun ada zakat seperlima (20 %). [Muttafaqun ‘Alaihi].

Juga karena keberadaannya menyerupai buah-buahan dan biji-bijian yang keluar dari tanah. Sehingga diwajibkan ketika mendapatkannya

e. Tambang (al-mi’dan) yaitu semua yang dikeluarkan dari bumi berupa barang-barang selain tanah yang dibuat di dalam tanah dan bernilai, seperti besi, batu permata (al-yaqût), batu aqiq, aspal, minyak bumi dan lain-lainnya yang dinamakan barang tambang. Apabila seorang mendapatkan barang tambang itu dan mencapai nishab, maka wajib ditunaikan zakatnya secara langsung ketika mendapatkannya. Tidak dikeluarkan zakatnya sampai diolah dan dibersihkan. Zakatnya adalah 2,5 %.[9]

Imam al-Khiraqi menyatakan, "Apabila dikeluarkan dari bahan tambang berupa emas duapuluh mitsqâl atau perak sejumlah duaratus dirham atau senilai tersebut dari seng (zenk), timbal, kuningan atau selainnya dari yang digali (ekploitasi) dari dalam bumi, maka diwajibkan zakat diwaktunya.[10]

TERPUTUSNYA HAUL
Haul terputus atau dianggap gagal dengan sebab-sebab berikut:
1. Apabila nishâb berkurang ditengah-tengah tahun sebelum sempurna haul, maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing dan sebelum sempurna setahun berkurang seekor, maka ia tidak wajib menzakati sisanya. Karena adanya nishâb dalam setahun adalah syarat wajib zakat.

2. Apabila menjual sebagian dari nishabnya dengan syarat:
a. Pembayarnya tidak sejenis
b. Bukan karena takut terkena zakat
c. Harta tersebut bukan termasuk barang yang diperdagangkan.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia tidak diwajibkan zakat. Cotohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum sempurna setahun ia jual dua ekor kambing dengan uang seharga 2 juta Rupiah bukan karena takut mengeluarkan zakat. Juga kambing tersebut bukan disiapkan untuk diperdagangkan. Maka terputuslah haulnya.

3. Apabila harta yang sudah masuk nishâb diganti dengan jenis lain ditengah-tengah haul bukan untuk menghindari kewajiban zakat maka terputuslah haul. Contohnya, seorang memiliki 40 ekor kambing lalu sebelum setahun masa nishâb tersebut ia ganti dengan onta atau sapi. Maka haul zakatnya terputus dan mulai baru lagi dengan haul onta atau sapi itu dimulai pada hari pergantian bila onta dan sapi itu mencapai nishâb.

Namun bila ia menjual sebagian nishabnya dengan yang sejenis maka haulnya tidak terputus. Contohnya, seorang memiliki emas berupa kalung sebesar nishâb (85 gram) berjumlah 5 buah lalu dijual dua buah dan ditukar dengan gelang emas dan berat keseluruhannya masih 85 gram maka haul gelang emas tersebut ikut haul kalung emas. Sehingga bila ia memiliki emas senishab tersebut pada 1 Ramadhan 1431 H, lalu ia tukar dengan gelang tersebut pada tanggal 6 Rajab 1432 H. Maka tetap membayar zakatnya secara keseluruhan pada tanggal 1 Ramadhan 1432 H.

Memang dalam permasalahan pertukaran harta zakat yang sudah mencapai nishâb dengan harta zakat lainnya yang juga senishab baik pertukaran biasa atau jual beli ada perbedaan pendapat para Ulama. Perbedaan pendapat ini dapat dijelaskan berikut ini:

a. Apabila dijual atau ditukar dengan harta lain sejenis yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka haulnya dihitung berdasarkan nishâb yang pertama, sehingga tetap wajib dizakati apabila sempurna setahun (haul). Inilah pendapat imam Mâlik dan Ahmad. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam Abu Hînifah pada barang berharga (al-atsmaan). Sedangkan dalam komoditi perniagaan maka haulnya tidak terputus sama sekali dengan pertukaran dan jual beli.

b. Apabila harta zakat yang sudah mencapai nishâb ditukar atau dijual dengan harta zakat jenis lain yang juga sudah mencapai nishâb atau lebih, maka terputuslah perhitungan haul dari harta zakat pertama dan dimulai hitungan haul baru untuk harta zakat kedua; Kecuali pada emas dengan perak atau sebaliknya, ada dua riwayat dari madzhab Ahmad bin Hambal. Pendapat pertama menyatakan tidak terputus haulnya dan inilah yang dirâjihkan oleh penulis kitab Zâdul Mustaqni’, karena emas ddan perak adalah harta yang sama sehingga seperti satu harta. Pendapat kedua menyatakan haulnya terputus dan tidak disamakan antara emas dan perak, karena keduanya jenis yang berbeda sebagaimana disampaikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, jewawut dengan jewawut, gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma serta garam dengan garam harus setara dan kontan. Apabila jenis-jenisnya berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat kontan. [HR. Muslim, no. 1587].

Pendapat keduan ini dirâjihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/44.

c. Sedangkan imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat, haul satu harta yang telah mencapai nishâb tidak digabung dengan haul harta yang lain sama sekali. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat dalam harta hingga berlalu setahun lamanya [HR. Ibnu Mâjah no. 1792 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 2/98].

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Qudâmah rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan, "Pendapat kami adalah harta yang telah mencapai nishâb digabungkan dengan haul harta pertumbuhannya dalam hitungan Haul, sehingga haul penggantinya yang sejenis dibangun diatas haul tersebut, sama seperti komoditi perniagaan. Hadits ditas dikhususkan dengan pertumbuhan, hasil keuntungan dan barang komoditi perniagaan. Sehingga kita qiaskan (analogikan) permasalahan ini kepadanya.[12]

d. Ada satu riwayat dari imam Ahmad yang menyatakan apabila harta zakat yang telah mencapai nishab dijual atau ditukar dengan harta baru yang telah mencapai nishab, maka haul harta yang kedua melanjutkan perhitungan haul harta pertama secara mutlak, baik sejenis atau berlainan jenis. Pendapat ini dirâjihkan oleh syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, "Yang benar adalah pendapat madzhab Imam Ahmad yang menyatakan bahwa pertukaran nishâb harta zakat dengan nishâb harta zakat lainnya tidak menghalangi kewajiban zakat dan tidak pula memotongnya, baik keduanya sejenis atau berlainan jenis. Pembedaan antara barang yang sejenis dan tidak sejenis tidak ada dalilnya. Hakekatnya adalah tidak ada perbedaan antara keduanya. Juga karena pendapat yang menyatakan memutus perhitungan haul apabila ditukar dengan harta zakat jenis lainnya mengakibatkan terbukanya pintu rekayasa untuk menghindari zakat.[13]

Adapun hitungan haul barang komoditi perniagaan maka tidak terputus haulnya dengan sebab pertukaran dan jual beli.[14]

Apabila ada keuntungan dalam perniagaan tersebut maka hitungan haul keuntungan dihitung dengan dasar hitungan haul modalnya. Demikian juga apabila terjadi kenaikan harga barang tersebut, maka zakatnya diwajibkan pada semua nilainya dan bila ada penurunan harga maka dizakati nilai barang yang ada sesuai harga yang ada tersebut.[15]

Demikian beberapa masalah seputar perhitungan Haul dalam zakat semoga bermanfaat dan bisa menjadi pencerahan kepada para wajib zakat dan amilnya.
Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



http://almanhaj.or.id/
_______

No comments:

Post a Comment