Tuesday, July 2, 2013

IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH, SATU TANDA KEKUASAAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA


IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH, SATU TANDA KEKUASAAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc


Allâh Azza wa Jalla memelihara dan menjaga agama ini dengan memunculkan orang-orang yang mentajdid agama-Nya dan menjaga atsar-atsar Rasul-Nya serta mengibarkan panji-panji Sunnah. Dia telah menentukan insan-insan terpilih yang 'uduul, yang menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , membela dan menyebarkannya di tengah umat. Mereka menjadi pelita yang menerangi jalan umat, dan menyinari hati kaum Mslimin dengan ilmu yang diwariskan, nasehat yang disampaikan, akhlak mulia yang dipraktekkan, dan ibadah yang ditekuni.

Tentang keutamaan Ulama, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam muqaddimah kitab tentang biografi Imam Syâfi'i rahimahullah yang berjudul Tawâli at-Ta`sîs li Ma'âli Muhammad bin Idrîs (hlm.25): "Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan bintang-bintang langit sebagai petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan arah di daratan dan lautan karena gelapnya malam, dan menjadikan bintang-bintang bumi – yaitu para ulama – petunjuk dari kegelapan jahl (kebodohan), dan mengutamakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain dalam tingkat pemahanan dan kecerdasan, sebagaimana Dia Azza wa Jalla mengutamakan sebagian bintang di atas bintang yang lain dalam keindahan dan terangnya cahaya". [Kutipan dari al-Imâmu al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar , Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan hlm. 8]

Pemaparan sejarah para ulama itu sangat bermanfaat bagi generasi yang datang belakangan sehingga dapat meneladani tokoh-tokoh umat tersebut. Ibnu Khalikân rahimahullah berkata dalam Wafayâtu al-A'yân (1/20): "Aku sebutkan (biografi) sejumlah orang yang aku lihat mereka langsung dan aku kutip berita tentang mereka, atau orang-orang yang hidup di masaku, akan tetapi aku tidak sempat menjumpai mereka tujuannya agar orang-orang (generasi) yang datang setelahku bisa mengetahui (baiknya) kondisi mereka". [Kutipan dari al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar hlm.7]

Dengan demikian, mengenal tarjamah (biografi) para Ulama bermanfaat sekali bagi umat, khususnya para thullâbul 'ilmi. Bila seorang Muslim menelaah biografi orang-orang yang mulia itu, pengetahuan itu akan membantu meluruskan jalan kehidupannya dan sekaligus sebagai bahan introspeksi diri dengan mengetahui kekurangan pada dirinya sendiri. Melalui buku-buku sejarah itulah para Ulama telah hidup dan hadir di masa sekarang lantaran seseorang dapat bergaul dan mendalami kehidupan mereka. yang sudah pergi ditampilkan kembali, sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah mengatakan:

مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناً فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ

“Barang siapa menulis sejarah seorang Mukmin, seolah-olah ia sedang menghidupkannya (kembali ke alam nyata)” [Nukilan dari Muqaddimah Adhwâul Bayân, ‘Athiyyah Sâlim hlm. Xii]

NASAB AMIRUL MUKMININ DALAM BIDANG HADITS
Bidang yang sangat pantas mendapatkan perhatian besar dan tercurahkannya segala kemampuan padanya - setelah Kitâbullâh – adalah Hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, jaminan aman dari kesesatan didapat dengan menjaga dan memelihara Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,sebagaimana disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِيْ

Aku tinggalkan di tengah kalian jika kalian memeganginya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnahku [HR. al-Hâkim, al-Mustadrak 1/93 dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no.1761 dan Shahîhul Jâmi' 1/39]

Di antara tokoh ternama lagi menonjol dengan khidmahnya dalam bidang ilmu hadits, yaitu Abu Abdillâh Muhammad bin Ismâil yang lazim dikenal dengan nama Imam al-Bukhâri. Sebuah nama yang sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits.

Beliau adalah Muhammad bin Ismâ'îl bin Ibrâhîm bin Mughîrah bin Bardizbah. Dilahirkan di Bukhara selepas shalat Jum'at, tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H. Ayah Imam al-Bukhâri, seorang yang bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Malik rahimahullah dan berjumpa Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubârak. Namun Allah berkehendak mewafatkannya Imam al-Bukhâri masih kanak-kanak. Karena itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang ibu.

Pada masa kanak-kanak, Muhammad bin Ismail sempat mengalami kebutaan Suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrâhîm al-Khalîl Alaihissallam dan berkata kepada ibunya, "Wahai wanita, Allâh telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (banyak berdoa)". Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal[1]

BENTUK FISIK IMAM AL-BUKHARI
Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, ‘Aku pernah mendengar Hasan bin Husain al-Bazzâz berkata, ‘Aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek’.[2]

BELAJAR SEJAK BELIA
Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau telah menghafalkan al-Qur`ân semenjak kecil juga. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beliau

Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan pada Muhammad bin Ismâ’îl kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Imam al-Bukhâri rahimahullah menceritakan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Daakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim… Maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin ‘Adi dari Ibrahiim..”. Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “Engkau benar”.
Abu ‘Abdillah juga pernah menceritakan, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”.

Demikianlah gambaran bakat keilmuannya telah tampak. Pada usia 16 tahun, beliau sudah menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Biikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya.

Bersama Ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Muhammad bin Ismâ’îl pergi haji ke Mekah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para Ulama di sana, sementara keluarga beliau pulang.

MENIMBA ILMU BERSAMA LEBIH DARI SERIBU GURU
Pertama, Imam al-Bukhâri menimba ilmu dari Ulama setempat. Beliau berguru kepada Muhammad bin Salam al-Biikandi, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Yamaan al-Ju’fi al-Musnidi, dan ulama lainnya. Selanjutnya, beliau keluar dari kampung halamannya dan mengembara mendatangi banyak kota untuk memperdalam ilmu hadits.

Kota Balkh, Naisabur, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, beliau datangi dalam rangka mencari dan mendatangi Syaikh-Syaikh mumpuni dalam bidang hadits. Tak pelak, syaikh (guru) beliau pun berjumlah banyak, bahkan beliau sendiri yang menyatakan hal ini, "Aku menulis (riwayat) dari seribu lebih syaikh. Dari setiap syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah ada hadits padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga)". [Lihat as-Siyar:12/407, al-Bidâyah 11/22]

Sebelum meninggal, Imam al-Bukhâri rahimahullah pernah menyatakan, “Aku telah menulis (hadits) dari 1080 orang. Semuanya adalah ahlul hadits. Mereka semua meyakini, ‘Iman adalah qaul dan amal, berrtambah dan berkurang’. [as-Siyar:12/395]

Kota Baghdad beliau masuki sampai delapan kali. Dan setiap memasukinya, beliau berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad menganjurkan beliau untuk bermukim di Baghdad saja, tidak di Khurasan.

Di antara nama Ulama besar yang menjadi guru beliau: Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyaabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam ‘Ali bin al-Madini, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibraahim al-Balkhi, Abdaan bi Utsmaan, Imam Abu Ashim an-Nabiil, Muhammad bin ‘Isaa ath-Thabbaa’, Khalid bin Yazid al-Muqri` murid Imam Hamzah, dan masih banyak lagi.[3]

Tidak mengherankan bila jumlah guru beliau sangat banyak. Tampaknya jumlah guru yang besar ini disebabkan oleh dua faktor: (1) Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan lmiahnya sejak beliau dan (2) Banyak kota yang beliau datangi untuk tujuan yang mulia tersebut.

KEKUATAN HAFALAN IMAM AL-BUKHARI
Kekuatan hafalan Imam al-Bukhâri sudah terakui oleh para Ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja.

Hasyid bin Ismâ’îl pernah menceritakan, “Dahulu Abu ‘Abdillâh bersama kami mendatangi para guru Bashrah. Waktu itu ia masih belia, dan tidak (tampak) mencatat apa yang telah didengar. Hal itu berlangsung beberapa hari. Kami pun bertanya kepadanya, “Engkau menyertai kami mendengarkan hadits, tanpa mencatatnya. Apa yang kamu perbuat sebenarnya?. Enam belas hari kemudian, Imam al-Bukhâri rahimahullah akhirnya menjawab, ‘Kalian telah sering bertanya dan mendesakku. Coba tunjukkanlah apa yang telah kalian tulis’. Maka kami mengeluarkan apa yang kami miliki yang berjumlah lebih dari 15 ribu hadits. Selanjutnya, ia menyebutkan seluruhnya dengan hafalan, sampai akhirnya kami membenahi catatan-catatan kami melalui hafalannya. Kemudian ia berkata, "Apa kalian sangka aku bersama kalian hanya main-main saja dan menyia-nyiakan hari-hariku?!” Maka, kami pun sadar, tidak ada seorang pun yang melebihinya’.[4]

Kehebatan hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu ‘Abdillâh ke kota mereka. Dengan sengaja, mereka itu mempersiapkan seratus hadits dan kemudian menukar dan merubah matan dan sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan dilontarkan kepada Abu ‘Abdillâh sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya.

Orang-orang pun berkumpul di dalam majlis. Orang pertama menanyakan kepada Imam al-Bukhâri sepuluh hadits yang ia miliki satu persatu. Setiap kali ditanya, Imam al-Bukhâri menjawab, sampai hadits yang kesepuluh, “Saya tahu mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan). Para Ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, “Orang ini (benar-benar) paham”. Sementara orang yang tidak tahu tujuan majlis itu diadakan menilai Imam al-Bukhâri sebagai orang yang lemah hafalannya.

Kemudian tampillah orang kedua, melakukan hal yang sama. Dan setiap kali mendengarkan satu hadits, beliau berkomentar sama, “Aku tidak mengenalnya”. Selanjutnya tampil orang ketiga sampai orang terakhir. Dan komentar beliau pun tidak lebih dari ucapan, “Aku tidak mengenalnya”.

Setelah semua selesai menyampaikan hadits-haditsnya, Imam al-Bukhâri menoleh ke arah orang pertama seraya meluruskan, “Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, sampai membenarkan hadits yang kesepuluh. Setiap hadits beliau satukan dengan matan-matannya yang benar. Beliau melakukan hal yang sama kepada para ‘pengujinya’ lainnya sampai pada orang yang terakhir. Akhirnya, orang-orang pun betul-betul mengakui akan kehebatan hafalan beliau.[5]

Di Samarkand, beliau pun menghadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijâl (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits plus sanad-sanadnya yang sudah campur-aduk ini ke hadapan Imam al-Bukhâri rahimahullah. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu dan menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para Ulama yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. [Lihat as-Siyar 12/411, al-Bidâyah 11/22]

Dua kejadian ini sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat Imam al-Bukhâri, sebab tanpa persiapan sedikit pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi , ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut.

Abu Ja'far pernah menanyakan kepada Abu Abdillah, "Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?". "Tidak ada yang kabur pada (hafalan)ku seluruhnya".[As-Siyar:12/403]

Abu Abdillah pernah bercerita tentang dirinya, “(Suatu ketika) aku mengingat-ingat murid Anas. Dalam sekejap 300 terbetik dalam ingatanku”.

Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata beliau:
لاَ أَعْلَمُ شَيْئًا أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ

ِAku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan)’[6]

BETAPA BANYAK HADITS YANG BELIU HAFALKAN
Gelar amirul mukminin dalam bidang hadits yang melekat pada Imam al-Bukhâri sudah tentu berlatar belakang akan kedalaman penguasaannya – yang mengungguli lainnya- terhadap hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; pemahaman, hafalan dan seluk-beluk terkait derajat rijâlul hadits (para perawi hadits). Aspek banyaknya hafalan beliau terhadap hadits pun pastilah sangat menonjol. Hal ini sudah diakui dan diceritakan oleh murid-murid beliau maupun Ulama lainnya.

Saking banyaknya hadits shahih yang beliau hafal, Imam Al-Fallâs t sampai berkata, “Setiap hadits yang tidak dikenal oleh al-Bukhâri rahimahullahbukanlah hadits shahîh”.[7]

Tidak hanya hadits shahih saja yang beliau hafalkan, hadits-hadis yang tidak shahih juga menjadi perhatian beliau. Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah berkata, “Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”.[8]

ANTARA ILMU DAN AMAL
Imam al-Bukhâri rahimahullahjuga menjadi teladan dalam ibadah dan akhlak sebagai bentuk pengamalan ilmunya. Setiap malam, beliau mengerjakan shalat malam sebanyak 13 rakaat, dan setiap malam dalam bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan bacaan al-Qur`ân. Beliau berinfak dan bersedekah di siang dan malam.
Beliau dikenal sebagai orang yang pemberani, pemaaf, banyak berderma, berbudi pekerti luhur, zuhud terhadap dunia dan hati-hati dalam berbicara. Termasuk saat melakukan jarh, beliau menggunakan ungkapan yang halus untuk menilai perawi yang bermasalah atau berderajat lemah.

Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah mengatakan, “Aku berharap berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla , tanpa ada seorang pun yang menuntutku karena aku telah menggunjingnya”.

PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AL-BUKHARI
Melihat reputasinya, pantaslah beliau mendapat pujian. Pujian mengalir kepada Imam al-Bukhâri dari para Ulama di masa itu, baik dari guru-guru maupun teman-temannya. Imam Ahmad bin Hanbal (salah seorang gurunya) mengatakan, ‘Negeri Khurasan tidak pernah melahirkan seperti dirinya’. Ini jelas merupakan syahadah (persaksian) yang sangat istimewa karena disampaikan oleh Imam Ahli Sunnah wal Jamaah.

Imam Ishaq bin Rahuyah (gurunya) berkata, “Seandainya dia (al-Bukhâri) hidup di masa Hasan al-Bashri pastilah orang-orang membutuhkannya karena penguasaan dan pemahamannya terhadap hadits”.

Muhammad bin Basysyaar (gurunya) berkata, “Huffaazh (Ahli Hadits) di dunia ada empat: Abu Zur’ah dari Ray, ad-Daarimi dari Samarkand, Muhammad bin Ismail dari Bukhara dan Muslim dari Naisabur”.

Imam Qutaibah berkata, “Seandainya Muhammad hidup di kalangan Sahabat maka ia adalah mukjizat”.

Imam Raja al-Haafizh mengatakan, “Ia adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang berjalan di atas bumi”.

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, ‘Aku belum pernah melihat di bawah langit orang yang lebih mengetahui hadits Rasûlullâh, lebih kuat hafalannya daripada Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri”.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, “Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang ‘ilal, tarikh dan pengetahuan mengenai sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Isma’il”.

Muhammad bin Munir, salah seorang gurunya, bahkan mengaku, “Aku termasuk murid Muhammad bin Isma’il (al-Bukhâri). Dia adalah seorang guru”. [As-Siyar:12/415]

MENJADI GURU PARA IMAM HADITS
Penguasaan Imam al-Bukhâri rahimahullahyang mendalam dalam bidang ilmu hadits, sudah menonjol sejak beliau remaja. Banyak orang datang berduyun-duyun mendatangi beliau baik di majlis maupun di tempat lainnya.

Pernah, orang-orang berilmu dari kota Basrah berjalan di belakang beliau untuk mendengarkan hadits dan akhirnya mereka bisa menghentikan beliau di satu jalan. Ribuan orang duduk berkumpul di dekat beliau. Kebanyakan dari mereka menulis riwayat dari beliau. Waktu itu, beliau masih seorang remaja yang belum tumbuh jenggotnya. Beliau dminta untuk duduk di satu jalan dan memperdengarkan riwayat-riwayat hadits.

Kedalaman ilmunya dalam bidang hadits yang didukung oleh intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman tentang kandungan hadits dan penguasan rijaalul hadits dan illah-illahnya membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang zaman. Kelebihan-kelebihan ini jelas menarik minat para penuntut ilmu untuk menghadiri majlis ilmunya.

Nama-nama terkenal menghiasai daftar orang-orang yang berguru pada Imam al-Bukhâri rahimahullah. Di antara mereka adalah, Imam Muslim rahimahullah, Imam at-Tirmidzi rahimahullah, Imam Abu Hâtim rahimahullah, Imam Ibnu Abi Dunya rahimahullah, Imam Ibrâhîm bin Ishâq al-Harbi rahimahullah, Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah.

DOANYA MUSTAJAB
Imam Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah (11/24) menyebutkan bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullahtermasuk orang yang mustajâbu da`wah, doanya dikabulkan. Kejadiannya, gubernur kota Bukhâra mengusirnya dari kota itu. Atas pengusiran yang tidak berdasar itu, Imam al-Bukhâri rahimahullahpun berdoa. Sebulan belum genap berjalan, sang gubernur diberhentikan dan dipenjarakan di Baghdad sampai meninggal di dalamnya. Orang-orang yang ikut berpran dalam pengusiran Imam al-Bukhâri pun mengalami musibah.

Beliau pun pindah menuju satu daerah bernama Khortank, tinggal bersama beberapa kerabat di sana.

IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH WAFAT
Usai mengisi hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), ajal yang telah ditentukan menjemput Imam al-Bukhâri. Beliau sempat sakit sebelum meninggal. Wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri, tahun 256H dalam usia 62 tahun. Jenazah beliau ditutup dengan tiga lembar kain putih, tanpa mengenakan qamis maupun imamah, sebagaimana isi wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu selama beberapa hari.

Banyak ilmu bermanfaat yang telah beliau wariskan bagi seluruh kaum Muslimin. Ilmu beliau tidak putus, tetap mengalir atas usaha-usaha baik yang telah curahkan dalam hidupnya. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَـطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : (مِنْهَا) عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ

Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: (diantaranya) ilmu yang bermanfaat

Kitab-kitab yang beliau wariskan kepada umat Islam yaitu Shahih al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, Khalqu Af’ali al-‘Ibaad, juz fi al-Qira`ah khalfal Imam.

PENUTUPYANG MA'SHUM HANYA NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari



Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapapan menuju cahaya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasehati umat.

Dan kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut umat untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh perkara yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Kedudukan ini tidak dimiliki oleh manusia siapapun selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4: 65]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib diikuti secara lahir dan batin. Oleh karena inilah Allâh berfirman, (yang artinya), "kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu dalam batin mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, serta menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33: 36)]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini umum (mencakup) segala perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan.” [Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Ahzâb/33:36]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata, “Bahwa tidak ada perbedaan antara keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan keputusan Rasul-Nya, orang mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya, dan bahwa maksiat kepada Rasul sama dengan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , itu merupakan kesesatan yang nyata.” [al-Hadîts Hujjatun Binafsihi, hlm. 33]

YANG MA’SHUM HANYA NABI
Dengan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwa derajat manusia yang ditaati secara mutlak hanyalah derajat kenabian. Seandainya seorang Nabi berbuat kesalahan, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala segera mengingatkannya, sehingga kesalahannya tidak diikuti oleh umat. Adapun selain Nabi, seperti para Ulama atau lainnya, maka mereka tidak ma'shûm, sehingga tidak semua perkataannya harus diikuti. Karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khâliq.

Kema'shuman adalah terjemah dari kata ‘ish-mah dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘ashoma (عَصَمَ). Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “’Ashama (عَصَمَ) artinya mana’a, darinya muncul kata ‘ish-mah (اَلْعِصْمَةُ) dalam agama, yaitu: terjaga dari kemaksiatan. [at-Taqrîb 1/324, karya imam Ibnu Qutaibah; Dinukil dari Kitab Naskh Aqîdatil Imam Ma'shûm, hlm. 3]

Menurut Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, kema'shûman adalah sifat para Nabi, yaitu mereka semua terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan agama. Mereka juga terjaga dari dosa-dosa besar. Adapun dosa-dosa kecil, atau lupa, atau keliru, maka para Nabi terkadang mengalaminya. Dan jika mereka berbuat kesalahan, maka Allâh Ta’ala segera meluruskannya.

Para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’ (Lembaga Tetap untuk Penelitian Ilmiyyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Para Nabi dan Rasul terkadang berbuat kesalahan, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkan mereka dalam kesalahan mereka, bahkan Allâh menjelaskan kesalahan mereka kepada mereka, karena kasih sayang (Nya) kepada mereka dan umatnya, dan Allâh memaafkan ketergelinciran mereka serta menerima taubat mereka, karena karunia dan rahmat dari-Nya, dan Allâh Maha Pengampun dan Pengasih.” [Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts al-'ilmiyyah wal Iftâ’, 3/264, fatwa no. 6290]

Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma'shûm ini hanya untuk para Nabi, bukan untuk manusia selainnya. Karena manusia selain Nabi sangat banyak berbuat kesalahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat. [HR. Ibnu Mâjah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ; dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam al Misykah dan Shahîh Sunan Ibni Mâjah]

Demikian juga Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma'shûm ini bagi umat Islam ketika mereka ijmâ’ dalam suatu perkara. Oleh karena itu ijma’ wajib diikuti, karena itu merupakan kebenaran.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِى - أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ - - عَلَى ضَلاَلَةٍ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak akan mengumpulkan umatku –atau umat Muhammad- di atas kesesatan”. [HR. Tirmidzi; dishahihkan oleh al-Albâni]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah tidak menjadikan perkataan seseorang dari mereka ini (yakni para Ulama seperti imam Mâlik, Syâfi’i, Ahmad, dan lainnya-pen) ma'shûm (terjaga dari kesalahan) yang wajib diikuti. Bahkan jika mereka berbeda pendapat tentang sesuatu, mereka mengembalikan kepada Allâh dan Rasul-Nya." [Minhâjus Sunnah an-Nabawiyah, 4/123]

Kalau dikalangan umat ini tidak ada seseorang yang ma'shûm selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ umat, maka perkataan siapa saja selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan umat ini, tidak harus diikuti secara mutlak. Jika perkataan itu sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka diterima, dan jika bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ditolak, siapapun orangnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahuhullah berkata, “Sesungguhnya perkataan seorang ma'shûm (orang yang terjaga dari kesalahan) tidak akan kontradiksi. Dan tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ma'shûm dalam perkara yang dia sampaikan dari Allâh Azza wa Jalla . Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ma'shûm dalam perkara yang beliau syari’atkan untuk umat dengan ijma’ kaum Muslimin. Demikian juga umat (Islam) ini ma'shûm dari bersepakat di atas kesesatan, berbeda dengan selainnya. Oleh karena itu pendapat imam-imam agama adalah setiap manusia, pendapatnya bisa diambil dan bisa ditinggalkan, kecuali Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allâh telah mewajikan kepada seluruh manusia beriman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentaatinya, juga (mewajibkan) menghalalkan apa yang beliau halalkan, dan mengharamkan apa yang beliau haramkan. Dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh memisahkan antara orang Mukmin dengan orang kafir, penduduk surga dengan penduduk neraka, petunjuk dengan kesesatan, dan antara ikut hawa nafsu dengan ikut kebenaran. Adapun orang-orang Mukmin, penduduk surga, orang yang mengikuti petunjuk dan kebenaran, mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan orang-orang kafir, penduduk neraka, orang yang mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam )." [Majmû’ Fatâwâ, 33/28]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mewajibkan taat kepada seseorang selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam seluruh perkara yang dia perintahkan; Dan mewajibkan orang meyakini kebenaran seluruh perkara yang dia beritakan; dan menetapkan sifat ma'shûm atau terjaga dari kesalahan dalam seluruh perkara yang dia perintahkan dan dia beritakan dari perkara agama, maka dia telah menjadikan pada orang tersebut tandingan dan keserupaan bagi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang menjadi kekhususan para rasul sesuai dengan kadarnya. Baik yang dijadikan tandingan bagi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah sebagian sahabat, atau kerabat Nabi, atau imam, atau syaikh, atau pemimpin dari kalangan para raja dan lainnya. [Jâmi’ur Rasâ'il, 1/273]

Beliau juga berkata, “Ini termasuk perkara yang disepakati oleh Ulama Islam: yaitu wajib mengimani semua Nabi, dan barangsiapa mengingkari satu orang Nabi maka dia kafir, dan barangsiapa mencela seorang Nabi, dia wajib dibunuh berdasarkan kesepakatan Ulama. Adapun kepada selain Nabi, maka tidak demikian, baik selain Nabi itu dinamakan wali, imam, orang bijak, Ulama’, atau lainnya. Barangsiapa menjadikan selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang ma'shûm, yang wajib diimani semua perkataannya, maka dia telah memberikan kepadanya makna/sifat kenabian, walaupun dia tidak memberikan lafazh kenabian kepadanya (yakni tidak menyebutnya sebagai Nabi-pen).” [Minhâjus Sunnah, 6/187-188]

TERMASUK KESESATAN RAFIDHAH
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, kita melihat bahwa berbagai firqah yang menyimpang memiliki keyakinan kema'shûman untuk selain para Nabi, dan mereka tidak mampu mendatangkan dalil yang shahih (kuat) dan sharîh (jelas) yang mendasari aqidah mereka ini. Dalil mereka hanya syubhat dan hawa nafsu belaka.

Di antara kelompok menyimpang itu adalah Syi’ah Imâmiyah. Mereka meyakini kema'shûman para imam dua belas mereka, bahkan mereka tinggikan derajat para imam itu melebihi derajat para Nabi dan malaikat. Mereka menyatakan bahwa ‘ishmah (kema'shûman) adalah, “Kekuatan dalam akal yang menghalangi pemiliknya dari menyelisihi beban (aturan syari’at) padahal dia mampu menyelisihi”. [asy-Syî’ah fii ‘Aqâidihim wa Ahkâmihim, hlm. 322; karya al-Kazhimi a-Qazwaini]

Khumaini menyatakan, “Sesungguhnya kema'shûman yang dimiliki oleh al-ma’shûm (imam dua belas menurut Syi’ah-pent) hanyalah karena sebab kedudukan yang tinggi dan maqâm yang terpuji yang tidak dicapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allâh) dan Nabi yang diutus. Juga dengan sebab kekuasaannya (imam ma'shûm) yang berkaitan dengan alam semesta, yang seluruh atom alam ini tunduk terhadap kekuasaannya.” [al-Hukûmah al-Islâmiyyah, hlm. 47]

Lihatlah bagaimana ghuluwnya kelompok Syi’ah ini, sampai mereka mengangkat derajat imam mereka ke derajat ketuhanan. Demi Allâh, ini adalah syirik yang nyata. Ya Allâh ! Tunjukkanlah dan tetapkanlah kami di atas jalan yang lurus.

TERMASUK KESESATAN SHUFI
Sebagaimana Syi’ah, maka kelompok shûfiyah juga menetapkan sifat ma'shûm kepada panutan mereka yang dianggap sebagai wali. Walaupun mereka mengecoh umat dengan mengunakan istilah hifzh (penjagaan) sebagai ganti istilah ‘ishmah (kema'shûman).

al-Qusyairi, seorang tokoh shûfi, menerangkan definisi wali sebagai berikut, “Orang yang selalu taat tanpa diselingi kemaksiatan, dan bahwa Allâh mengurusi hifzh (penjagaan) terhadapnya, sehingga Allâh tidak menciptakan khidzlân (penghinaan), yaitu kemampuan berbuat kemaksiatan.” [ar-Risâlah al-Qusyairiyah; dinukil dari Kitab Auliyâ'ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]

Karena keyakinan demikian, maka tidak aneh dalam praktek perbuatan di kalangan shufi seorang mursyid (pembimbing; syaikh; guru) dianggap memiliki sifat ma'shûm, sehingga seorang murid sama sekali tidak boleh membantah gurunya, walaupun di dalam hatinya! Sehingga tidak ada amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap guru.

Mereka mengatakan, “Diantara adab murid terhadap gurunya adalah tidak membantahnya dalam seluruh perkara yang dilakukan oleh guru, walaupun zhahirnya haram. Dan seorang murid di hadapan gurunya menjadi seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya.” [Tanwîrul Qulûb fii Mu’âmalati ‘Allâmil Ghuyûb, hlm. 479 dan 529; dinukil dari Kitab Auliyâ'ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]

Al-Qusyairi berkata, “Barangsiapa menemani seorang guru, kemudian dia membantahnya dengan hatinya, maka lepaslah perjanjian persahaatan (dengan gurunya itu).” [ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm. 150; dinukil dari Kitab Auliyâ'ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah]

Dengan penyimpangan pemahaman adanya selain Nabi yang memiliki sifat ma'shûm, kemudian diiringi dengan ketaatan mutlak untuknya, maka sesungguhnya hal ini akan memunculkan berbagai penyimpangan dalam beragama, fanatisme guru dan golongan, bahkan perpecahan dan keburukan lainnya. Maka tidak ada jalan selamat kecuali kembali kepada agama yang dibawa oleh Rasul yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang telah diamalkan oleh para muridnya yang utama, para sahabat yang setia, dengan meninggalkan seluruh bid’ah (perkara baru) di dalam agama, yang telah merusak keindahan Islam yang telah sempurna.

Semoga Allâh menunjukkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya. Dan semoga Allâh menampakkan kepada kita kebatilan sebagai kebatian dan memberikan kepada kita kekuatan untuk meninggalkannya. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Inilah sekelumit sejarah seorang yang berjuluk Amirul Mu`minin dalam bidang hadits. Sejarah seorang insan yang menakjubkan lagi sarat dengan 'ibrah (pelajaran) umat sepeninggalnya.
Syaikh 'Athiyyah Sâlim Rahimahullah berkata, “Aku betul-betul meyakini bahwa biografi para Ulama adalah madrasah (tempat pembinaan) bagi para generasi mendatang, yaitu melalui ilmu-ilmu dan sisi kehidupan mereka yang menonjol “ [Adhwâul Bayân 1/xii].

Semoga rahmat Allâh Azza wa Jalla selalu tercurahkan pada seluruh Ulama Islam di setiap masa dan tempat. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


IMAM KEDUA BELAS SYIAH, MANUSIA FIKTIF

Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc


KAUM SYIAH MENUNGGU KEDATANGAN IMAM KE DUA BELAS MEREKA
Mahdi Muntazhar (Imam Mahdi Syiah yang ditunggu-tunggu kedatangannya) termasuk pembahasan yang sering dibicarakan dalam buku-buku referensi Syiah. Yang mereka maksud dengan sebutan itu dalam pandangan Syiah adalah imam kedua belas yang bernama Muhammad bin Hasan al-‘Askari. Menurut versi mereka, ia dilahirkan pada hari Jum’at bulan Sya’ban pada tahun 255H.

Pada usia 5 tahun, ia bersembunyi di sirdaab (goa tempat perlindungan dari terik matahari) kota Surra man Ra`a, terletak antara kota Baghdad dan Tikrit, karena akan dibunuh oleh orang-orang zhalim.

Ath-Thusi , seorang tokoh Syiah masa lalu, mengatakan, “Tidak ada alasan yang menghalangi kemunculannya selain karena ia khawatir dibunuh. Sebab jika tidak ada kekhawatiran ini, ia tidak boleh menyembunyikan diri.” (Al-Ghaibah:199)

Keyakinan mereka dengan Imam Mahdi Syiah ini, membuat mereka menunggu-nunggu kemunculannya di mulut sirdaam dengan memanggil-manggil namanya untuk segera keluar dari persembunyiannya.

IMAM KESEBELAS TIDAK MEMILIKI KETURUNAN
Dengan sifat hikmah-Nya, Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui, menetapkan Hasan al-Askari – imam kesebelas menurut kalangan Syiah- meninggal tanpa memiliki anak dan keturunan. Tentu, realita ini menyulitkan tokoh Syiah, bagaimana seorang imam meninggal tanpa berputra seorang pun yang akan menggantikan posisi imamahnya?. Padahal keberadaan imam sangatlah penting dalam aqidah mereka, bahkan termasuk rukun Islam yang urgensinya mengalahkan shalat fardhu. (?!) Pengganti seorang imam haruslah keturunan imam sebelumnya. Setelah masa imamah Hasan Radhiyallahu anhu dan Husain Radhiyallahu anhu, seorang imam tidak boleh berasal dari saudara imam, harus dari keturunannya. Demikian keyakinan orang-orang Syiah.

Sejarah telah mencatat bahwa orang yang mereka anggap sebagai Imam Ke Sebelas, Hasan al-‘Askari , tidak memiliki anak. Penguasa khilafah ‘Abbasiyah waktu itu pun mengetahui perihal tersebut. Sebab, mereka mengikuti perkembangan Hasan al-Askari yang sedang sakit. Beberapa tabib diutus untuk memonitor kesehatannya. Penguasa menugaskan Hakim setempat untuk memilih 10 orang terpercaya untuk berada di rumah Hasan al-Askari. Mereka berada di sana sampai ajal menjemput Hasan al-‘Askari.

Setelah Hasan al-Askari wafat, utusan-utusan yang terpercaya itu memeriksa isi rumah dan kamar untuk mencari tahu apakah ia memiliki anak atau tidak. Mereka juga mendatangkan wanita-wanita yang tahu masalah kehamilan untuk memeriksa budak-budak wanita yang dimiliknya. Hasilnya, ada seorang budak perempuan yang sepertinya sedang mengandung. Maka, wanita ini pun ditempatkan di satu kamar dan dipersiapkan segala sesuatu untuk persalinannya.

Setelah Hasan dimakamkan, pihak penguasa tetap berusaha mencari-cari anak Hasan al-Askari. Harta warisan pun belum dibagikan. Namun setelah dipastikan bahwa kehamilan salah seorang budak itu kosong, maka warisan Hasan al-Askari dibagikan kepada Ibu dan saudara lelakinya Ja’far. Tidak ada seorang pun yang menentang pembagian ini.

Kejadian ini menunjukkan kebatilan keyakinan Imam Mahdi Syiah secara otomatis. Pihak Syiah pun tidak bisa mendustakan dan menghilangkan bukti sejarah ini. Menariknya, ternyata, kitab-kitab para petinggi agama Syiah menyebutkan realita ini, bahwa Hasan al-Askari memang wafat tanpa memiliki anak lelaki. Di antara mereka adalah :

1. al-Kulaini dalam al-Kâfi (1/505)
2. al-Mufîd dalam al-Irsyâd (hlm.338-339)
3. al-Majlisi dalam Jalâul ‘Ainain
4. Ibnu Shabbâgh dalam al-Fushûl al-Muhimmah fi Ma’rifati Ahwâlil Aimmah (hlm.288-289)
5. al-‘Abbas al-Qummi dalam Muntahal Amâl.

Fakta bahwa Hasan al-Askari tidak memiliki anak akan mengakibatkan keyakinan mereka hancur dengan sendirinya. Sebab, kelanjutan imamah secara otomatis berhenti. Tatkala sebagian penganut Syiah merasakan kekhawatiran aliran Syiah akan sirna karena ketiadaan imam ke dua belas, maka sejumlah orang dari mereka memikirkan cara untuk menyelamatkan aliran ini.

Akhirnya, mereka mendapatkan jalan keluar dari apa yang diyakini oleh kaum Majusi yang mempercayai mereka memiliiki manusia juru selamat yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Dari situ, seorang dari Syiah bernama Muhammad bin Nushair an-Namîri dan kawan-kawannya mendapatkan ide dengan klaim bahwa Hasan al-Askari memiliki anak yang ia sembunyikan di dalam sirdab karena khawatir akan dibunuh oleh orang-orang jahat dan zhalim. Tujuan mereka menggulirkan pernyataan ini adalah untuk mengelabui orang-orang awam Syiah sehingga para tokoh Syiah tetap bisa meminta setoran kekayaan dan zakat dari masyarakat awam atas nama Imam yang ditunggu-tunggu kedatangannya.

MISTERI SEMBUNYINYA IMAM MAHDI SYIAH
Anggap saja al-Mahdi pernah dilahirkan, maka tidak ada manfaatnya ia bersembunyi sekian lama di dalam gua. Orang-orang Syiah jika ditanya hikmah persembunyian al-Mahdi di dalam gua dan tidak menampakkan diri di hadapan khalayak, mereka akan beralasan karena ia mengkhawatirkan dirinya terbunuh. Itu saja. (!)

Alasan yang dikemukakan ath-Thusi ini dan orang-orang yang serupa dengannya jelas sangat lemah sekali. Kebatilan alasan mereka tampak pada beberapa point berikut:

1. Telah disebutkan dalam kitab-kitab referensi utama mereka bahwa al-Mahdi insan yang ditolong dan dibantu Allah, ia akan menguasai belahan bumi barat dan timur. Jika al-Mahdi akan ditolong dan dimenangkan oleh Allah, mengapa ia harus menyembunyikan diri dan tidak muncul di hadapan khalayak?!. Menghilangnya al-Mahdi dengan bersembunyi di sirdaab dalam jangka tempo yang sangat lama menyisakan dan memunculkan pertanyaan mengapa harus sembunyi? Bila al-Mahdi meyakini berita-berita kemenangannya terhadap musuh-musuhnya, mengapa ia harus takut?

2. Keyakinan Syiah bahwa Imam Mahdi Syiah khawatir akan terbunuh sehingga menyembunyikan diri, berkonsekuensi gugurnya imamahnya. Sebab, menurut Syiah, seorang imam haruslah manusia yang paling berani. Disebutkan dalam referensi mereka, “Seorang imam memiliki beberapa tanda: ia adalah orang yang paling alim, paling bijak, paling bertakwa dan paling berani”. (Al-Anwâr an-Nu’mâniyyah 1/34 , Ni’matullâh al-Jazâiri)

Sementara orang yang khawatir dirinya akan dibunuh sehingga menghilang dan menyembunyikan diri bukanlah manusia pemberani.

3. Keyakinan aneh tersebut juga berarti bahwa al-Mahdi tidak akan pernah muncul sampai negara-negara zhalim dan perusak lenyap, sehingga ia baru bisa merasa aman dari ancaman bunuh. Karena kezhaliman akan tetap ada berarti kemunculannya tidak dibutuhkan.

4. Sejarah mencatat, Syiah telah memiliki kekuasaan dan pemerintahan, seperti Iran sebagai contoh nyata. Negara itu tentu pasti akan berusaha melindungi al-Mahdi kalau mau memunculkan diri, akan tetapi kenapa tidak muncul-muncul juga?

5. Orang yang tidak bisa membela diri dan melindungi dirinya dari ancaman pembunuhan maka jelas tidak akan sanggup melindungi orang lain. Apakah masuk akal, orang-orang Syiah menunggu kedatangan orang yang katanya akan memberangus musuh-musuh mereka dengan gemilang?

Dengan demikian, alasan mereka untuk menutupi keanehan menghilang dan sembunyi Imam Mahdi mereka gugur dan selanjutnya hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Imam Mahdi mereka pada hakekatnya memang tidak ada dan tidak pernah ada.

KETIKA BERSEMBUNYI, UMAT TIDAK MENDAPATKAN MANFAAT APA-APA
Petunjuk lain yang menandakan kebatilan aqidah sembunyinya Imam Mahdi Syiah, bahwa tidak ada satu maslahat dan manfaat secuil pun yang didapatkan umat manusia termasuk kaum Muslimin, dan para penganut Syiah, baik berhubungan dengan maslahat duniawi atau agama yang didapatkan dari persembunyiaan Imam Mahdi Syiah itu.

Bisa dihitung sampai sekarang, Imam Mahdi Syi’ah sudah bersembunyi tidak kurang dari 1173 tahun lamanya (?!), karena menurut mereka ia memasuki gua pada tahun 260H saat berusia 5 tahun. Apakah manfaat dari keberadaannya yang bersembunyi kalau memang ia benar-benar ada dan masih hidup? Bagaimana bila ia sebenarnya tidak pernah ada. Bagi siapa saja yang meyakini dengan imam ke-12 ini, manfaat apakah yang ia dapatkan untuk agama dan dunianya. Maka, hanya ada dua kondisi, imam itu hilang atau memang tidak pernah ada. Dalam dua kondisi ini, tidak ada manfaat untuk agama atau dunia seseorang.

Berdasarkan pandangan Syiah yang menganggap imamah sebagai rukun agama, maka ketidakmunculan Imam Mahdi Syiah ini – bila dianggap ada - mengakibatkan lumpuhnya pelaksanaan syariat dan kemaslahatan agama lainnya. Pantas saja, shalat Jum’at dan jamaah tidak dilakukan di kantong-kantong Syiah, dengan alasan ketiadaan imam. (?!)

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kisah fiktif (khurofat) Imam Mahdi Syiah digulirkan untuk menutupi kekeliruan aqidah mereka yang memang sudah rusak sebelumnya dari asasnya. Walillâhil hamdi wal minnah ‘alal Islâm wal hidâyah.

KETIKA AKAL SEHAT HILANG, YANG PALING ANEH SEKALIPUN DIBENARKAN
Setelah secara yakin dapat disimpulkan bahwa Imam Mahdi Syiah memang tidak ada, dan keyakinan tentang itu lebih tepat masuk kategori cerita khurofat, ada baiknya kita simak komentar beberapa Ulama Islam tentang keyakinan rusak ini.

Usai mengungkap sifat-sifat Imam Mahdi Ahli Sunnah yang diterangkan oleh Rasûlullâh Muhammad dalam hadits-hadits shahihnya, Imam Ibnu Katsîr rahimahulla , seorang pakar tafsir, sejarah dan fikih, (wafat tahun H) menyimpulkan tentang Imam Mahdi Syiah yang telah bersembunyi lebih dari 100 tahun dalam gua dengan berkata, “Sesungguhnya (wujud Imam Mahdi Syiah) itu tidak ada hakekatnya, tidak ada mata yang pernah menyaksikannya juga tidak ada bukti yang menjelaskannya”. (al-Fitan wal Malâhim 1/23-24)

Di tempat lain beliau menyatakan, “Sesungguhnya keyakinan tersebut termasuk hadzayân (igauan belaka), bukti sangat jauh dari hidayah, sangat kuat kedekatannya dengan setan. Sebab, tidak ada dalil dan petunjuk (yang membenarkannya) baik dari al-Qur`an, Hadits (shahih), akal sehat dan istihsaan”. (al-Fitan wal Malâhim 1/29)

Sementara ‘Allamah Syaikh as-Safârîni rahimahullah juga menyebut keyakinan itu sebagai igauan belaka yang tidak ada hakekatnya. (Lawâmi’ul Anwâr 2/71)

Demikian pula, Syaikh Khâlid Muhammad ‘Ali al-Hâjj menyatakan, “Ringkasnya, klaim Syiah (bahwa Imam Dua Belas mereka bersembunyi) itu tidak ada dasarnya sama sekali. Tidak ada satu orang ulama besar (Ahli Sunnah) yang meriwayatkannya. Tidak ada unsur kebenarannya sedikit pun. Akan tetapi, bila akal (sehat) telah hilang, maka segala sesuatu (yang aneh) pun mungkin terjadi”. (al-Kasysyâful Farîdi ‘an Ma’âwil Hadmi wa Naqâidhi at-Tauhîd 1/123-124)

PEDNUTUP
Aqidah Imam Mahdi ala Syiah ini memperlihatkan dengan jelas sekali betapa merupakan aqidah yang rapuh, ganjil sekaligus aneh, tidak sepantasnya orang yang berakal meyakininya. Orang yang berakal sehat dan mencintai al-haq akan menolaknya mentah-mentah.

Kebenaran haqiqi sangat jelas, dan tidak kabur bagi orang yang mengetahuinya, sebagaimana seorang ahli emas tidak akan sulit membedakan antara emas murni dan emas palsu. Sementara bagi orang yang bodoh, buta, atau kurang tahu, bisa saja menganggap kesesatan, kemungkaran, dan penyimpangan sebagai al-haq yang harus diyakini, diamalkan dan dibela mati-matian.

Inilah yang mengakibatkan sebagian orang terjerumus dalam penyimpangan dan kesesatan yang terkadang tampak jelas tidak bisa diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu, kebatilan akan mudah menyebar dan laku di tengah orang-orang yang tidak berilmu, bodoh dan buta terhadap ilmu syar’i dan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta pengamalan Islam oleh para Sahabat.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menetapkan hidayahNya pada kita dan mewafatkan kita di atas Sunnah. Wallâhu a’lam.

MARAJI.
1. Badzlul Majhûdi fî Itsbâti Musyâbahati Râfidhati lil Yahûdi, ‘Abdullâh al-Jumaili, Maktabah al-‘Ghurâbâ al-Atsariyyah Madinah
2. Muqaddimah tahqîq kitab al-Imâmah fir raddi ‘alâ Râfidhah al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Asfahâni oleh DR. ‘Ali Muhammad Nâshir al-Faqîhi
3. Ash-Shawârifu ‘anil haqqi, Hamd al-‘Utsmân Cet. II Th1426H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


CURANG DALAM TIMBANGAN DAN TAKARAN MENGUNDANG KERUSAKAN DI DUNIA DAN CELAKA DI AHERAT

Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc


وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6)

PENJELASAN AYAT 1-3 :
Makna muthaffifîn
Kata wail (وَيْلٌ) artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”[1]

Sementara kata التَّطْفِيفُ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya sesuatu yang sedikit.[2] (Pelakunya-red) disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.[3]

Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[4]

Allâh Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan berfirman[5] yang artinya, "Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (al-Muthaffifîn/83:1-6)

Praktek kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allâh Azza wa Jalla , jika orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, maka mereka menuntut takaran dan timbangan yang penuh dan sekaligus meminta tambahan. Mereka meminta hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baiknya, bahkan minta dilebihkan. Namun apabila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi kadarnya sedikit, baik dengan cara menggunakan alat takar dan timbangan yang sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan timbangannya, atau dengan cara-cara curang lainnya.

Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).[6]

Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang dahsyat atau neraka Jahannam.

BAHAYA MENGURANGI TIMBANGAN DAN TAKARAN
Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.[7] Dengan demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak.

Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Jika demikian ancaman bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang lain, maka orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini daripada muthaffifîn.[8]

Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah mengatakan, “Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa bahayanya perilaku buruk ini. Dan memang betul, hal itu merupakan perbuatan berbahaya. Karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda perekonomian dunia dan asas dalam transaksi. Jika ada kecurangan di dalamnya, maka akan menimbulkan khalal (kekisruhan) dalam perekonomian, dan pada gilirannya akan mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan) hubungan transaksi. Ini salah satu bentuk kerusakan yang besar” [9]

PERINTAH MENYEMPURNAKAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu [ar-Rahmân/55:9].

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya [al-An’âm/6:152].

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, “Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya [al-Isrâ`/17:35].

Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan. [10]

Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai sekarang, praktek ini masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang maupun pembeli. Dengan mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi, dan ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya, melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup keuntungan lebih dari kecurangannya ini.
Sejarah telah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Syu’aib Alaihissallam kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. Nabi Syu’aib Alaihissallam sudah menyeru kaumnya, suku Madyan (penduduk Aikah), agar menjauhi kebiasaan buruk itu.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (Kiamat)”. Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu [Hûd/11:84-86]

Namun kaum Nabi Syu’aib menolak dan mengingkari dakwah beliau. Allâh Azza wa Jalla mengisahkan mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami” [Hûd/11:87]

Beliau menjawab: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali” [Hûd/11:88]

Akhirnya, Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka dengan siksa-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar [asy-Syu’arâ/26:189]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ﴿٩٤﴾كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا

Dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya . Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. [Hûd/11:94-95]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ

Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka [al-A’râf/7:91]

Kurangnya pengetahuan (jahâlah) tentang tata cara berniaga dan berdagang yang baik dan syar’i merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi praktek kecurangan dalam takaran dan timbangan (serta perdagangan secara umum). Maka, menjadi kewajiban orang yang terjun di dunia bisnis (perdagangan) untuk mendalami fiqh buyû (hukum-hukum jual-beli dan muamalah Islam). Tujuannya, agar terhindar dari berbuat kecurangan, riba, dusta, kezhaliman dan kehilangan berkah.

Khalifah ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memperingatkan, “Orang yang belum belajar agama, sekali-kali jangan berdagang di pasar-pasar kami”.

Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Pedagang bila (pelaku bisnis) tidak faqih (paham agama) maka akan terjerumus dalam riba, kemudian terjerumus dan terjerumus (terus)”.

PENJELASAN AYAT : 4
Meskipun orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran itu, telah diancam dengan siksa, kecurangan itu tetap saja mereka lakukan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidakkah orang-orang yang mengurangi hak-hak manusia dalam timbangan dan takaran itu meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka setelah mereka mati, pada suatu hari yang sangat penting, dahsyat lagi menakutkan?”.[11]

Tidakkah mereka takut kepada hari kebangkitan dan saat berdiri di hadapan (Allâh) Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan tertutupi pada hari yang sangat besar bahayanya, banyak menimbulkan kesedihan, dan agung urusannya. Barangsiapa merugi, pasti akan dijerumuskan ke api yang menyala-nyala ?[12]

Kalaupun mereka tidak meyakini adanya hari pembalasan, bukankah lebih baik menganggapnya ada, kemudian merenungkannya, mencari tahu tentangnya, dan akhirnya berhati-hati mengambil langkah selamat dengan tidak mengurangi hak orang lain.[13]

Orang-orang yang melakukan praktek kecurangan (dan para pelaku dosa lainnya) akan menghadapi hukuman Allâh Azza wa Jalla pada hari itu. Hari yang besar. Allâh telah menyebutkannya sebagai hari yang besar sehingga menunjukkan keagungan dan pentingnya hari tersebut. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan hari itu sebagai hari yang menakutkan, menyengsarakan, meresahkan dan mengiris perasaan. (Lihat surat at-Takwîr, al-Insyiqâq dan al-Infithâr).

Semua orang akan menghadap Rabbul ‘alamin dari seluruh belahan bumi Timur dan Barat, dibangkitkan di atas satu tempat yang lapang. Satu hari pada masa itu sepanjang 50 ribu tahun. Matahari sangat dekat dengan mereka. Tidak ada pepohonan, bangunan atau apa saja yang bisa dijadikan tempat berteduh, kecuali naungan dari Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada hari yang besar ini, muthaffifûn akan merasakan balasan hukuman. Hendaknya orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang takut terhadap hari itu, dan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla serta memberikan hak orang lain secara utuh (sempurna). Jika memberi tambahan, maka itu lebih baik. Hendaknya mereka juga mengambil hak mereka secara utuh, namun jika mau bertoleransi, maka itu lebih baik. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita.[14]

Di sini, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyimpulkan bahwa yang mendorong mereka berani berbuat kecurangan dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka tidak mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang besar maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktek curang itu dan kemudian bertaubat darinya.”[15]

PENGARUH AYAT PADA PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menceritakan, “Ketika pertama kali Nabi n datang ke (kota) Madinah, mereka (para penduduknya) termasuk manusia paling buruk dalam menakar. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan (ayat). Selanjutnya mereka memperbaiki cara penakaran.” (Riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân dan dishahîhkan oleh al-Albâni).

Al-Farâ` mengatakan, “Mereka menjadi orang yang paling menyempurnakan takaran (dan timbangan) sampai hari ini.”[16]

CATATAN PENTING
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah mengingatkan, “Ayat ini meskipun berhubungan erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh atau pegawai jika ia menginginkan honornya utuh, namun ia datang kerja terlambat atau pulang terlebih dahulu, ia termasuk muthaffifin yang Allâh ancam dengan kecelakaan. Sebab jika gajinya berkurang 1 riyal saja, pasti akan berkata, “Kok kurang?”.

PELAJARAN DARI AYAT-AYAT
1. Ancaman berat bagi orang-orang curang dalam jual-beli (transaksi).
2. Bahaya curang dalam takaran dan timbangan.
3. Kewajiban manusia, memberikan seluruh milik orang lain yang menjadi tanggungannya.
4. Pentingnya umat memahami agama.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran) sudah ada dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Kenekadan dalam berbuat maksiat bertolak dari tipisnya keimanan orang kepada Hari Akhir.
7. Semua orang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di hadapan Allâh Azza wa Jalla .
8. Setiap orang harus adil dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.
9. Penetapan adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan dan Hari Hisab.
10. Agungnya Hari Kiamat, hari manusia berdiri di hadapan Rabbul alamin untuk memperhitungkan amal hamba dan membalasnya.
11. Pentingnya pembinaan umat berbasis iman kepada Hari Akhir. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA JADIKAN SEBAB/PRANTARA SEBAGAI KABAR GEMBIRA


جَعَلَ اللهُ الأَسْبَابَ لِلْمَطَالِبِ الْعَالِيَةِ مُبَشِّرَاتٍ لِتَطْمِيْنِ الْقُلُوْبِ وَزِيَادَةِ الإِيْمَانِ

Allâh menjadikan prantara bagi semua tujuan yang tinggi sebagai mubassyirat (pembawa kabar gembira) agar hati menjadi tenang dan iman bertambah

Allâh Azza wa Jalla Mahakuasa untuk mewujudkan semua tujuan dan maksud yang diinginkan oleh para hamba-Nya tanpa melalui sebab atau prantara. Namun Allâh Azza wa Jalla sengaja menjadikan dan menetapkan prantara atau sebab bagi sebuah tujuan agar menjadi mubassyirat (pembawa kabar gembira), sehingga dengan demikian hati akan menjadi tenang dan keimanan akan bertambah.

Ini bisa ditemukan di banyak tempat, misalnya, ketika Allâh Azza wa Jalla menerangkan tentang pengiriman bala bantuan dalam perang Badr. Pengiriman bala bantun ini menjadi prantara atau penyebab kemenangan yang diinginkan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kaum Muslimin. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ

Dan Allâh tidak menjadikannya (maksudnya pengiriman bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya [al-Anfâl/8:10]

Allâh Azza wa Jalla mampu untuk memberikan kemenangan tanpa harus mengirimkan bala bantuan. Namun supaya ini menjadi isyarat kemenangan, maka bala bantuan dikirimkan. Jadi, pengiriman bala bantuan sebagai mubassyirat (pembawa kabar gembira) bahwa kemanangan akan segera tiba, sehingga hati kaum Muslimin menjadi tenang dan keimanan mereka bertambah.

Dalam ayat lain, ketika menjelaskan tentang penyebab dan prantara datangnya rizki dan turunnya hujan, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ وَلِيُذِيقَكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ

Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya; [ar-Rûm/30:46]

Rizki dan hujan termasuk tujuan yang diinginkan oleh manusia. Allâh Azza wa Jalla Yang Mahakuasa mampu mendatangkan itu semua tanpa prantara dan sebab. Namun Allâh Azza wa Jalla menjadikan sebab dan prantara bagi tujuan ini yaitu berupa tiupan angin. Allâh Azza wa Jalla meniupkan angin pertanda akan turun hujan itu sebagai mubassyirat (pembawa kabar gembira) bahwa hujan akan segera turun dan tumbuh-tumbuhan akan menghijau, sehingga hati orang yang berharap mendapatkan rizki bisa tenang dan imannya akan bertambah.

Makna yang lebih umum dari dua ayat diatas yaitu busyra [1] yang ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ﴿٦٢﴾الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ﴿٦٣﴾لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allâh. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. [Yûnus/10:62-64]

Busyra maksudnya semua isyarat yang menunjukkan kepada mereka bahwa Allâh Azza wa Jalla menginginkan kebaikan buat mereka atau isyarat yang menunjukkan bahwa mereka adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla . Dengan demikian, pujian yang baik, mimpi yang bagus, kelembutan Allâh Azza wa Jalla yang bisa mereka saksikan, juga taufiq, kemudahan yang Allâh berikan serta terhindarkan dari berbagai kesulitan dan lain sebagainya, ini semua merupakan busyra atau mubassyirat (pembawa kabar gembira) sebelum mereka mendapatkan tujuan akhir yaitu surga dengan beragam kenikmatannya.

Termasuk prantara dari sebuah tujuan yang Allâh Azza wa Jalla jadikan sebagai isyarat kabar gembira namun jarang diketahui orang yaitu Allâh Azza wa Jalla menjadikan kesusahan atau kesulitan sebagai isyarat datangnya jalan keluar atau solusi. Jika kita perhatikan dan merenungi kisah para nabi dan kesulitan mereka, yang Allâh Azza wa Jalla ceritakan dalam al-Qur'ân, maka tentu akan mendapatkan suatu yang sangat memukau.

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allâh?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allâh itu amat dekat. [al-Baqarah/2:214]

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴿٥﴾إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. [as-Syarh/94:5-6]

سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Allâh kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. [ath-Thalâq/65:7]

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

Ketahuilah, sesungguhnya kemenangan bersama kesabaran, dan sesungguhnya solusi itu bersama keusahan dan sesunggunya kemudahan it bersama kesulitan.[2]

Dan masih banyak contoh dari penerapan kaidah ini dalam al-Qur'an. Semoga ini bermanfaat.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. )

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



MEMBUANG MA'MUL[1] MENYEBABKAN MAKNANYA MENJADI UMUM


Kaidah ini merupakan salah satu dari kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika kaidah ini diterapkan oleh seorang dalam memahami ayat-ayat al-Qur'ân, maka dia akan memetik banyak manfaat. Karena sebuah kata kerja atau yang semisal dengannya, jika sudah dikaitkan dengan sesuatu, maka makna kata kerja itu terikat dengan sesuatu itu. Namun jika sesuatu yang menjadi pengikat itu dibuang, maka maknanya akan meluas. Sehingga terkadang membuang ma'mûl lebih baik dan lebih bermanfaat daripada disebutkan. Contoh penerapan kaidah dalam al-Qur'ân banyak sekali. Misalnya, dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

… agar kamu memahami. [An-Nûr/24:61]

لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

… agar kamu ingat. [al-An'âm/6:152]

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

… agar kamu bertakwa (menjaga diri-red), [al-Baqarah/2:21]

Dalam potongan ayat-ayat diatas, tidak disebutkan sesuatu yang menjadi ma'mûl (obyek)nya, sehingga makna potongan yang pertama menjadi agar kalian memahami semua yang Allâh Azza wa Jalla tunjukkan, ajarkan dan turunkan kepada kalian. Potongan yang kedua, maknanya menjadi agar kalian mengingat semua kebaikan dunia dan agama kalian. Potongan yang ketiga, maknanya menjadi agar kalian menjaga diri dari semua yang wajib dihindari seperti dosa dan maksiat.

Masuk dalam keumuman ini, semua yang terkait dengan kontek pembicaraan kalimat tersebut. Misalnya dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (menjaga diri), [al-Baqarah/2:183].

Kalimat, 'agar kalian bertakwa (menjaga diri)' maknanya luas. Maksudnya mencakup semua yang disebutkan sebagai hikmat puasa. Artinya agar kalian bisa menjaga diri dari semua yang diharamkan secara umum, juga agar menjaga diri dari segala yang diharamkan atas orang-orang yang berpuasa, juga agar kalian bisa memiliki karakter orang-orang yang bertakwa. Dan begitu selanjutnya, ini berlaku pada semua kontek yang disebutkan padanya kalimat ini.

Contoh yang lain, dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allâh, lalu ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya). [al-A'râf/7:201]

Dalam ayat ini, kaidah di atas bisa diterapkan pada tiga kalimat :
Pertama : Firman Allâh yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa (yang menjaga diri)" disini sesuatu yang menjadi ma'mûl (obyek) nya tidak disebutkan, sehingga maknanya menjadi umum. Artinya orang yang menjaga diri dari murka Allâh Azza wa Jalla ; menjaga diri dari api neraka; menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat dan segala hal yang harus dijauhi. Semua ini masuk dalam keumuman cakupan ayat diatas.

Kedua : Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, " Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat,"
Dalam potongan ayat ini, orang-orang yang bertakwa dan terbiasa meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla , ketika ada syaitan yang menghiasi dosa sehingga tampak indah baginya, dia akan segera ingat. Apa yang dia ingat ? Karena sesuatu yang menjadi ma'mûl (obyek) nya tidak disebutkan maka maknanya menjadi lebih umum yaitu dia ingat segala hal yang menyebabkan dia tergerak untuk segera bertaubat seperti ingat keagungan Allâh Azza wa Jalla ; ingat kepada apa yang menjadi tuntutan keimanan dan ketakwaannya; ingat akan adzab dan siksa-Nya; ingat akan akibat buruk dosa.

Ketiga : Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "… lalu ketika itu juga mereka melihat." Apa yang mereka lihat ? Maknanya luas, mencakup melihat kebenaran; melihat manfaat meninggalkan maksiat; melihat celah yang bisa dimanfaat syaitan untuk menggodanya; melihat jalan keluar yang bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa ini, sehingga dia bisa segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taubat nasuha. Dengan demikian, dia akan segera kembali ke derajatnya semula, sementara syaitan kembali dengan membawa kekecewaan.

Contoh yang lain yaitu dalam firman Allâh Azza wa Jalla berkaitan dengan kaum Muslimin, yang terkadang menggunakan lafazh al-Mukminûn atau terkadang INNAL LADZIINA AAMANUU tanpa menyebutkan apa yang harus diimani, maka maknanya juga menjadi luas, mencakup segala hal yang wajib diimani.

Termasuk juga kebaikan yang diperintahkan agar dikerjakan atau keburukan tyang harus dijauhi. Kalau tidak disebutkan jenis obyeknya, maka maknanya menjadi umum, mencakup semua kebaikan atau semua keburukan.

Begitu juga dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

… dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat baik. [al-Baqarah/2:195]

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya [Yûnus/10:26]

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) [ar-Rahmân/55:60]

Karena sesuatu yang menjadi ma'mûl (obyek) dari kata ihsân (melakukan kebaikan) tidak disebutkan, maka maknanya mencakup semua jenis ihsân, baik ihsân kepada Allâh Azza wa Jalla yang dijelaskan oleh Rasûlullâh n dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla melihatmu

Juga mencakup ihsân (berbuat baik) kepada makhluk, baik dengan perkataan, perbuatan, kedudukan, ilmu, harta dan lain sebagainya.

Keumuman makna karena ma'mûlnya dibuang juga bisa ditemukan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu [at-Takâtsur/102:1]

Dalam ayat ini tidak sebutkan apa yang dipergunakan untuk bermegah-megahan, sehingga maknanya mencakup segala yang biasa dipergunakan untuk berbangga diri seperti pepularitas, kekayaan, kedudukan, anak keturunan dan hal-hal lain yang menjadi incaran banyak orang serta melalaikan dari ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Inilah beberapa contoh penerapan kaidah ini dalam al-Qur'an dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Semoga dengan contoh-contoh ini, pemahaman dan penerapan kaidah menjadi lebih jelas. Wallahu a'lam.

(Dikutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa`di, halaman. )

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Secara bahasa, ma'mul fih adalah kalimat atau kata yang cara bacanya dipengaruhi oleh yang lain. Sesuatu yang mempengaruhi ini disebut âmil. Diantara contoh ma'mul adalah maf'ûl bih (obyek).

http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment