Wednesday, July 3, 2013

DAKWAH TIDAK HANYA DENGAN CERAMAH

DAKWAH TIDAK HANYA DENGAN CERAMAH

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin al-Qasim


Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar kepada seluruh umat manusia. Risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa ini akan kekal sampai hari kiamat. Risalah ini diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk demi menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al-Anbiyâ’/21:107]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalah Rabbnya dan memerintahkan kaum Muslimin untuk berjalan di atas manhajnya. Dakwah membimbing umatnya agar beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan berjalan diatas syari’at Allâh Azza wa Jalla adalah misi para Rasul. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Beribadahlah kalian kepada Allâh (saja), dan jauhilah thaghut itu" [an-Nahl/16:36]

Itu pulalah misi yang diembankan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ﴿٤٥﴾ وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا

Hai nabi ! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allâh dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. [al-Ahzâb/33: 45-46]

Perintah berdakwah dan terus-menerus berdakwah ini diulang beberapa kali dalam al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَادْعُ إِلَىٰ رَبِّكَ ۖ إِنَّكَ لَعَلَىٰ هُدًى مُسْتَقِيمٍ

Dan serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. [al-Hajj/22:67]

Juga firman-Nya :

قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا أُشْرِكَ بِهِ ۚ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ

Katakanlah, "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk beribadah kepada Allâh dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali" [ar-Ra’d/13:36]

Misi dakwah yaitu menyampaikan petunjuk Allâh Azza wa Jalla kepada manusia juga merupakan wasiat para Nabi dan Rasul kepada para pengikutnya, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ

Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah untuk bersyahadat (bersaksi ) bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allâh dan bahwasanya Aku (Muhammad) adalah utusan Allâh. [Muttafaq ‘alaih]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga telah memerintahkan kepada seluruh manusia secara umum untuk melaksanakan misi tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan [Ali Imrân/3:104]
.
Oleh Dan setiap pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selayaknya untuk mencontoh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajak kepada keimanan dan tauhid serta mengajak untuk mengamalkan syari’at Allâh Azza wa Jalla . Dan hal yang terbaik dalam memanfaatkan umur kita adalah dengan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan beribadah dengan mengikuti petunjuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dalam berdakwah mengajak manusia kepada agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan dalam mengerjakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla serta menolong mereka dalam menlakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat.

BAHAN RENUNGAN
Dari uraian di atas, kita ketahui betapa mulia dan pentingnya dakwah. Namun terkadang, ada kendala dalam melaksanakannya. Berikut ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan renungan bagi kita sehingga terpacu untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan kita.

Pertama : Amalan terbaik dan tertinggi di sisi Allâh adalah berusaha untuk membimbing manusia dari kegelapan menuju kepada petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Oleh Karen itu, ucapan seorang da’i yang berdakwah dijalan Allâh Azza wa Jalla adalah perkataan terbaik di sisi Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allâh, mengerjakan amal yang shaleh, dan mengatakan, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri" [Fusshilat/41:33]

Setiap amal yang dilakukan oleh orang yang mendapat petunjuk melalui seorang da’i maka si da’i senantiasa mendapat bagian pahala darinya tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya sedikitpun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya [HR.Muslim]

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِم شَيْئًا

Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala orang tersebut. [HR. Muslim]

Apa yang dipetik oleh seorang da’i dari dakwahnya lebih baik daripada perhiasan dunia, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَوَاللهِ لِأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ

Demi Allâh ! Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk (hidayah) kepada seorang laki-laki dengan perantaraanmu lebih baik bagimu daripada kamu mendapatkan unta merah (barang yang sangat berharga ). [HR. Bukhari dan Muslim]

Kedua : Kefasihan dan kepandaian mengolah kata-kata bukanlah syarat dalam berdakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla . Nabi Musa Alaihssallam mengalami kesulitan dalam memberi penjelasan kepada umatnya, sehingga beliau Alaihissallam berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan perkataannya :

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي ﴿٢٧﴾ يَفْقَهُوا قَوْلِي

Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku [Thâha/20:27-28]

Sementara Fir’aun jauh lebih fasih dalam berbicara dibandingkan Musa Alaihissallam, sebagaimana diceritakan oleh Allâh Azza wa Jalla :

أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ

Bukankah aku lebih baik daripada orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? [az-Zukhruf/43:52]

Meski demikian, kondisi ini tidak menjadi penghalang bagi Musa Alaihissallam untuk menyampaikan risalah Rabbnya, sehingga pengikut Nabi Musa Alaihissallam merupakan ummat terbesar kedua setelah ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, sampaikanlah ilmu yang telah kamu miliki ! Adapun kemampuan mengolah kata-kata, maka sesuai dengan kemampuanmu. Janganlah rasa malumu menjadi penghalang untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. [al-Mu’minûn/23:62])

Ketiga : Diantara tanda kasih sayang Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya adalah cara berdakwah di jalan Allâh itu tidak hanya terbatas pada pemberian nasehat di atas mimbar atau pada perayaan-perayaan tertentu saja. Seseorang yang mengingkari perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang lain secara sembunyi atau rahasia itu termasuk dakwah. Orang tua yang menasehati anaknya juga dakwah yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Membiayai suatu amal kebaikan serta mendukung orang lain untuk berdakwah adalah dakwah juga. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang professinya adalah kader-kader da’i yang mendakwahi manusia ke jalan Allâh, baik dengan harta, pena maupun dengan lisan.

Empat : Dalam mendakwahi keluarga, orang-orang di sekitarmu dan para hamba Allâh seluruhnya hendaklah kita menempuh cara yang pernah ditempuh oleh para Nabi dan Rasul dalam berdakwah. Awal dakwah mereka adalah dakwah menuju aqidah yang lurus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya , “Tidak ada ilah (yang haq) kecuali Aku, oleh karena itu beribadahlah kalian kepada-Ku". [al-Anbiyâ’/21:25]

Berdakwahlah kepada orang lain dengan cara yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Janganlah kamu nodai dakwahmu dengan perbuatan maksiat, sekalipun terbayang dalam benakmu bahwa perbuatan maksiat itu bisa menarik perhatian banyak orang. Karena agama ini adalah agama yang agung yang tertolong dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla . Janganlah kamu bersikap pura-pura menyetujui perbuatan maksiat orang yang kamu dakwahi saat berdakwah, karena itu adalah yang diinginkan oleh sebagian pelaku maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” [al-Qalam/68:9]

Kaum Muslimin wajib untuk selalu bahu-membahu dan tolong-menolong serta menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena perpecahan dan perselisihan hanya melahirkan kedengkian dan permusuhan, sementara musuh-musuh Islam tertawa gembira. Di mata non-muslim, kaum Muslimin adalah gambaran nyata agama Islam itu sendiri. Prilaku kaum Muslimin bisa menjadi daya tarik minat orang untuk memeluk Islam atau sebaliknya, membuat lari dan benci terhadap Islam. Karena orang yang kita dakwahi tentu tidak mau memeluk agama yang berisi kebencian, permusuhan, perpecahan serta merusak akal. Oleh karena itu, hendaknya kaum Muslimin bersatu dalam aqidah Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunah. Itulah sumber kebaikan dan kebahagiaan, sementara perpecahan dan perselisihan adalah pangkal kekalahan dan awal kehinaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا

Dan taatlah kepada Allâh dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. [al-Anfâl/8:46]

Kelima : Telah berlaku sunatullah bahwa pelaku maksiat itu lebih banyak jumlahnya dibanding orang-orang yang taat, sebagaimana firman-Nya :

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang Fasik [al-Mâidah/5:49]

Juga firman-Nya :

وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman [Hûd/11:17]

Juga dalam Surat al-An’âm/6:116 :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh

Oleh karena itu, janganlah kita pesimis dalam mendakwahi manusia kepada petunjuk (hidayah), meskipun banyak yang berpaling dari petunjuk tersebut. Janganlah berputus-asa dalam menempuh jalan dakwahmu, meskipun kebathilan itu bertambah kuat. Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah berkata, ”Janganlah kalian tertipu oleh kebathilan walaupun banyak orang yang celaka karenanya, dan janganlah takut memilih jalan kebenaran walaupun sedikit yang menempuhnya.”

Tegarlah diatas kebenaran karena kamu berada pada jalan yang lurus. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Engkau adalah umat, walaupun kamu seorang diri.”

Keenam : Jangan kamu lihat keberhasilan dakwahmu dengan banyaknya pengikutmu, karena terbukanya hati seseorang adalah perkara yang ghaib, sementara usahamu hanya sebatas menyampaikan penjelasan dan berdakwah. Tugasmu bukan untuk memberi hidayah dan membuka hati. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan [al-Mâidah/5:99]

Tugasmu hanyalah menjelaskan dan Rabblah yang memberi petunjuk :

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ

Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allâh-lah yang melempar [al-Anfâl/8:17]

Betapapun usaha Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mengislamkan pamannya Abu Thalib, akan tetapi keinginannya tidak tercapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allâh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya [al-Qashash/28:56]

Dan diantara para Nabi-Nabi ada yang bersungguh-sungguh dalam mendakwahi kaumnya selama bertahun-tahun, namun mereka tidak mendapat respon. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat yang terdahulu , maka aku melihat seorang Nabi bersama beberapa orang pengikutnya , dan seorang Nabi bersama seorang dan dua orang pengikutnya , dan ada Nabi yang sama sekali tidak punya pengikut [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Bekalilah dirimu dengan ilmu dan tempuhlah dengan jalan hikmah dan peringatan yang baik dalam menjalankan misi dakwahmu !

Ketujuh : Janganlah engkau merasa berat untuk berdakwah di segala waktu dan kondisi. Terkadang, satu ucapan akan mendatangkan kebahagiaan bagimu sepanjang masa. Lihat, Nabi Nuh Alaihissallam menyeru umatnya siang dan malam, baik secara sembunyi–sembunyi dan terang-terangan. Nabi Yusuf Alaihissallam meskipun berada dalam penjara, beliau menyeru kepada tauhid. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allâh yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” [Yûsuf/12:39]

Orang yang telah memperoleh cahaya hidayah berkewajiban untuk membimbing orang lain dengan cahaya hidayahnya. Hendaklah para ayah menjadi seorang da’i di rumahnya dengan memperbaiki keluarga !Dan hendaklah para istri menunaikan kewajibannya dalam mendidik anak-anak ! Ciptakanlah suasana kondusif yang mendukung untuk senantiasa taat kepada Allâh Azza wa Jalla ! Jauhkanlah mereka dari segala yang mengundang murka Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ , إِلاَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba yang diberi tanggung jawab kepemimpinan, kemudian dia tidak pernah memeliharanya dengan nasehat, kecuali diharamkan bagi masuk surga. [Muttafaq ‘alaih]

Kedelapan: Di antara tanda kejujuran dan kesungguhan seorang da’i adalah ia mendo’akan hidayah bagi orang yang didakwahinya tanpa sepengetahuan orang tersebut. Betapa banyak doa-doa yang dipanjatkan di akhir malam menjadi penyebab berubahnya keadaan kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, perbanyaklah do’a buat mereka yang masih bergelimang dengan dosa maksiat Supaya mendapat hidayah !

al-Muzâni rahimahullah berkata, “Tidaklah Abu Bakar Radhiyallahu anhu itu lebih unggul daripada Sahabat-Sahabat Rasûlullâh yang lain dengan sebab shalat dan puasanya. Namun beliau Radhiyallahu anhu unggul dengan sebab apa yang ada dalam hatinya. Dalam hati beliau Radhiyallahu anhu ada rasa cinta kepada Allâh dan suka memberi nasehat kepada orang lain.”

Kesembilan : Perbuatan baik yang kita lakukan kepada orang lain dapat menarik simpati hati orang lain kepada kita, demikian perkataan serta akhlak yang baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang da’i yang tercermin dalam akhlak dan pergaulannya. Dahulu ada seorang pemuda yahudi yang menjadi pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada suatu hari, dia sakit, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, yang artinya, “Masuk Islamlah kamu !’ Si pemuda tadi menoleh ke ayahnya. (Melihatnya) sang ayahnya berkata, “Taatilah Abul Qâsim (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ! Lalu pemuda tersebut masuk Islam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamkeluar dan berkata, “Alhamdulillah (segala puji hanya milik Allâh) Yang telah menyelamatkannya dari api neraka .” [HR. al-Bukhari]

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berusaha maksimal dalam memenuhi kebutuhan kaum Muslimin.”

Sejarah membuktikan telah banyak daerah yang ditaklukkan dengan perkataan dan perlakuan yang baik .

Kesepuluh : Ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan cahaya yang terpancar dalam dada yang dapat menggerakkan hati untuk menyambut panggilan dakwah. Oleh karena itu, wahai para da’i, perbanyaklah beribadah dan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Sebab, hal tersebut akan menjadi sarana pertolongan untuk mencapai apa yang kita inginkan. Dan hendaknya para da’i memperbanyak dzikir dan membaca al-Qur’an serta shalat malam. Jika hati itu bersih, maka akan memancarkan pengaruh yang baik, dan sebaliknya apabila hati itu kotor, maka akan mendatangkan pengaruh yang buruk. Dukunglah do’amu dengan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla supaya apa yang kamu lakukan diberkahi oleh Allâh Azza wa Jalla .

Semoga Allâh Azza wa Jalla meluruskan langkahmu dan janganlah kamu hanya bersandar pada sebab-sebab (usaha-usaha) yang nampak saja , dan perbanyaklah memuji Allâh Azza wa Jalla yang telah memilihmu dari sekian banyak manusia untuk menegakkan dakwah para rasul ini , dan menjadikanmu sebagai kunci hidayah bagi makhluk-Nya, sedangkan orang lain tidak bisa sepertimu.

(Diangkat dari al-Khuthabul Minbariyyah, Syaikh Abdul Muhsin al-Qasim hafizhahullah, Imam dan Khatib Masjid Nabawi Madinah, hlm. 146-151)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AL-BUKHARI DAN KITAB SHAHIHNYA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


NAMA BELIAU
Nama beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin al-Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhâri rahimahullah (wafat th. 256 H). Beliau rahimahullah adalah Imam, Syaikhul Islam, al-Hâfizh, Amîrul Mukminin dalam hadits. Beliau rahimahullah memiliki banyak karya tulis yang sangat bermanfaat bagi umat. Beliau rahimahullah lahir pada bulan Syawwal tahun 194H dan wafat pada tahun 256H. [Lihat, Siyar A’lâmin Nubalâ’, XII/391]

NAMA KITAB
Kitab beliau terkenal di kalangan para Ulama dan ditengah kaum Muslimin dengan Shahîh Bukhâri. Nama lengkap adalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah yaitu al-Jâmi’ al-Musnad ash-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlillâh Shallallahu 'alaihi wa sallam wa Sunanuhu wa Ayyâmuhu. [Lihat, Tahdzîbul Asmâ’ wal Lughât, I/77]

JUMLAH HADITS
Jumlah hadits dalam Kitab Shahîh al-Bukhâri yaitu tujuh ribu dua ratus tujuh puluh lima hadits. Ini termasuk beberapa hadits yang dibawakan ulang. Apabila pengulangan itu tidak dihitung, maka jumlahnya empat ribu hadits.” [Nukilan di atas bisa dilihat dalam Tahdzîbul Asmâ’ wal Lughât, I/77-78, karya Imam an-Nawawi rahimahullah]

Bab-bab yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri menunjukkan fiqh (pemahaman) Imam al-Bukhâri dan terkadang Beliau rahimahullahmengulang satu hadits dalam beberapa bab karena banyak faedahnya.

PUJIAN PARA ULAMA TERHADAP BELIAU DAN KITABNYA
• Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i rahimahullah (wafat th. 229 H) berkata, “Muhammad bin Ismâ’îl (al-Bukhâri) adalah orang yang faqih (faham ilmu agama) dari umat ini. [Siyar A’lâmin Nubalâ’, XII/419]

• Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata, “Belum pernah ada di Khurasan orang yang melahirkan anak seperti Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri. [Siyar A’lâmin Nubalâ’, XII/419]

• Abu Hâtim ar-Râzi rahimahullah (wafat th. 277 H) berkata, “Tidak ada orang yang keluar dari Khurasan yang lebih hafal dari Muhammad bin Ismâ’îl (al-Bukhâri) dan tidak ada yang datang ke Iraq yang lebih ‘alim dari al-Bukhâri rahimahullah. [Muqaddimah Fat-hil Bâri, hlm. 484, cet. Dârul Fikr]

• ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadhl bin Bahram ad-Dârimi rahimahullah (wafat th. 255 H) berkata, “Saya melihat Ulama di Haramain, Hijâz, Syâm, dan Iraq. Dan tidak ada yang lebih sempurna (ajma') daripada Muhammad bin Isma’il. Beliau (al-Bukhâri) adalah orang yang paling ‘alim diantara kami dan paling faqih serta paling banyak muridnya. [Muqaddimah Fat-hul Bâri, hlm. 484]

• Imamnya para imam yaitu Abu Bakr Muhammad bin Ishâq bin Khuzaimah rahimahullah (wafat th. 311 H) berkata, “Tidak ada di bawah langit ini orang yang lebih ‘alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismâ’il. [Muqaddimah Fat-hul Bâri, hlm. 485 dan Syarah ilal at-Tirmidzi, I/494, Karya Ibnu Rajab al-Hanbali]

• Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi rahimahullah (wafat th. 279 H) berkata, “Saya tidak melihat di Iraq dan Khurasan orang yang lebih ‘alim tentang ‘illat-illat hadits, târîkh dan sanad-sanad daripada Muhammad bin Isma’il al-Bukhâri. [Syarah ilal at-Tirmidzi, I/494, karya Ibnu Rajab al-Hanbali dan Muqaddimah Fat-hul Bâri, hlm. 485]

• al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni t (wafat th. 852 H) berkata dalam awal muqaddimahnya di Fat-hul Bâri, “Sungguh aku telah melihat bahwa Abu ‘Abdillah al-Bukhâri dalam Jâmi’ Shahîhnya telah mengambil penetapan dan pengambilan hukum dari cahaya yang indah –yakni al-Qur-an dan as-Sunnah-, mengambil dan menukil dari sumbernya, dan beliau dikaruniai niat yang baik dalam mengumpulkan hadits-hadits, sehingga orang-orang yang menyelisihi dan menyetujui mengakuinya, juga menerima pembicaraannya dalam Shahîhnya …” [Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 3]

• al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata, “Para Ulama telah bersepakat menerimanya –yakni Shahîh al-Bukhâri- dan keshahihan semua yang ada di dalamnya, begitu juga semua ummat Islam.” [al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/250, Cet. II, th. 1431 H, Daar Ibnu Katsir]

• Imam Tâjuddîn Abu Nashr Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Kâfi as-Subky rahimahullah (wafat th. 771 H) berkata, “Adapun kitabnya (al-Bukhari) al-Jâmi’ as-Shahîh adalah kitab Islam yang paling mulia setelah Kitâbullâh.” [Thabaqâtus Syâfi’iyyatil Kubra, I/424, Cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah, th. 1420 H]

• Abu ‘Amr bin Shalah rahimahullah (wafat th. 643 H) berkata setelah beliau menyebutkan bahwa yang pertama kali menyusun kitab Shahîh adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri al-Ju’fi, kemudian sesudahnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi al-Qusyairiy, Muslim mengambil riwayat hadits dari Bukhâri dan mengambil manfaat darinya dan juga banyak meriwayatkan dari syuyâkh (para guru) Imam Bukhari. “Kitab mereka berdua adalah kitab yang paling Shahîh setelah Kitabullâh yang mulia...” Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya kitab al-Bukhâri adalah kitab yang paling Shahîh di antara keduanya dan yang paling banyak faedahnya.” [Muqaddimah Ibnus Shalah fii ‘Ulûmil Hadîts, hlm. 19, cet.1, Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1416 H]

• Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa kitab yang paling Shahîh setelah al-Qur'ân adalah Shahîh al-Bukhâri dan Muslim, dan ummat pun telah menerimanya, kitab al-Bukhâri adalah paling Shahîh dari keduanya dan paling banyak faedah, pengetahuan yang tampak maupun yang tersembunyi, dan telah Shahîh juga bahwa Muslim-lah yang mengambil faedah dari al-Bukhâri, beliau juga mengaku bahwa dirinya tidak setara (dengan al-Bukhari) dalam ilmu hadits.” [Syarah Shahîh Muslim oleh Imam an-Nawawi, I/14, cet. Daarul Fikr]

• Imam al-Hâfizh Jamaluddin Abul Hajjaj bin Yusuf al-Mizzi rahimahullah (wafat th. 742 H) berkata, “Abu ‘Abdillah al-Ju’fi al-Bukhâri pemilik kitab Shahîh adalah imam dalam hal ini, yang patut diikuti, dan kitabnya menjadi rujukan bagi ummat Islam.” [Tahdzîbul Kamâl fii Asmâ-ir Rijâl, XXIV/431, cet. 1, Mu-assasah Ar-Risalah, th. 1422 H]

• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata, “Termasuk yang Shahîh adalah apa yang telah diterima oleh ummat, dan dibenarkan oleh ahlul ‘ilmi yang faham tentang hadits, seperti hadits-hadits al-Bukhâri dan Muslim, karena semua ahlul ‘ilmi yang faham tentang hadits menetapkan keshahihan seluruh hadits dalam kedua kitab tersebut (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim), dan seluruh manusia mengikuti mereka dalam mengenal hadits, maka ijma’ ahlul ‘ilmi dalam hadits bahwa khabar ini benar seperti ijma’ ahli fiqih bahwa perbuatan ini halal atau haram atau wajib. Jika ahlul ‘ilmi telah berijma’ (bersepakat) atas sesuatu, maka seluruh manusia mengikuti mereka. Ijma’ mereka adalah ma’shûm, tidak boleh berijma’ (bersepakat) atas kesalahan.” [Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islâm, XVIII/17]

• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata, “Tidak ada di bawah permukaan langit ini kitab yang lebih Shahîh setelah al-Qur'an dari Shahîh al-Bukhâri dan Muslim.” [Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islâm, XVIII/74]

• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bahkan kitab Shahîh al-Bukhâri adalah kitab yang paling mulia yang ditulis dalam bab ini. Dan imam al-Bukhâri makhluk Allah yang paling tahu tentang hadits dan ‘illat-‘illat (penyakit-penyakit) dan beliau orang yang paling faqih. Bahkan imam at-Tirmidzi menyebutkan bahwa ia belum pernah melihat seorang pun yang paling tahu tentang ’illat hadits daripada beliau. [Qâ’idah Jalîlah fit Tawassul wal Wasîlah, hlm. 171/no. 500, tahqiq Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali]

• Imam Muhamamd bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah (wafat th. 1250 H) berkata, “Ketahuilah bahwa apa-apa yang berasal dari hadits-hadits dalam Shahîhain atau salah satunya boleh dijadikan hujjah tanpa perlu diteliti, karena keduanya telah disepakati keshahihannya dan ummat telah menerimanya.” [Nailul Authâr, I/119, cet.1, Daar Ibnul Qayyim, th. 1426 H]

• Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah (wafat th. 1419 H) berkata, “Secara ringkasnya, bahwa apa yang diriwayatkan oleh Syaikhân [al-Bukhâri dan Muslim) telah diterima oleh ummat, maka tidak didengar lagi pembicaraan seseorang yang mencela keduanya, semoga Allah merahmati keduanya, selain yang telah dijelaskan oleh ahlul ‘ilmi seperti yang telah lalu, wallahu waliyyut taufiiq. [Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah, XXV/69-70]

• Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah (wafat th. 1420 H) berkata, “…Bagaimana sedangkan Shahîhân adalah kitab yang paling Shahîh setelah al-Qur-an menurut kesepakatan ulama kaum muslimin dari ahli hadits dan selain mereka. Kedua kitab tersebut berbeda dari kitab-kitab sunnah yang lainnya, karena keduanya menyendiri (foKus) dalam mengumpulkan hadits-hadits yang paling Shahîh, membuang hadits-hadits dha’if dan matan-matan yang tidak sesuai dengan qaidah matan dan syarat-syaratnya. Mereka telah bersepakat dalam hal ini dengan kesepakatan yang sangat berpengaruh, tidak ada yang bersepakat seperti ini setelah mereka dari orang yang mengikuti jejak mereka dalam pengumpulan hadits Shahîh, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan selain mereka, sampai menjadi kebiasaan yang umum bahwa hadits yang jika diriwayatkan oleh Syaikhân atau salah satunya maka telah melewati rintangan dan memasuki jalan yang Shahîh dan selamat, tidak ada keraguan dalam hal itu, dan itulah pokok kami.” [Syarhul ‘Aqîdah at-Thahâwiyyah, hlm. 22, takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Ke-9, al-Maktab al-Islamiy, th. 1408 H]

Wallaahu Waliyyut Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


MAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH, SATU TANDA KEKUASAAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc


Allâh Azza wa Jalla memelihara dan menjaga agama ini dengan memunculkan orang-orang yang mentajdid agama-Nya dan menjaga atsar-atsar Rasul-Nya serta mengibarkan panji-panji Sunnah. Dia telah menentukan insan-insan terpilih yang 'uduul, yang menghidupkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , membela dan menyebarkannya di tengah umat. Mereka menjadi pelita yang menerangi jalan umat, dan menyinari hati kaum Mslimin dengan ilmu yang diwariskan, nasehat yang disampaikan, akhlak mulia yang dipraktekkan, dan ibadah yang ditekuni.

Tentang keutamaan Ulama, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam muqaddimah kitab tentang biografi Imam Syâfi'i rahimahullah yang berjudul Tawâli at-Ta`sîs li Ma'âli Muhammad bin Idrîs (hlm.25): "Segala puji bagi Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan bintang-bintang langit sebagai petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan arah di daratan dan lautan karena gelapnya malam, dan menjadikan bintang-bintang bumi – yaitu para ulama – petunjuk dari kegelapan jahl (kebodohan), dan mengutamakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain dalam tingkat pemahanan dan kecerdasan, sebagaimana Dia Azza wa Jalla mengutamakan sebagian bintang di atas bintang yang lain dalam keindahan dan terangnya cahaya". [Kutipan dari al-Imâmu al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar , Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan hlm. 8]

Pemaparan sejarah para ulama itu sangat bermanfaat bagi generasi yang datang belakangan sehingga dapat meneladani tokoh-tokoh umat tersebut. Ibnu Khalikân rahimahullah berkata dalam Wafayâtu al-A'yân (1/20): "Aku sebutkan (biografi) sejumlah orang yang aku lihat mereka langsung dan aku kutip berita tentang mereka, atau orang-orang yang hidup di masaku, akan tetapi aku tidak sempat menjumpai mereka tujuannya agar orang-orang (generasi) yang datang setelahku bisa mengetahui (baiknya) kondisi mereka". [Kutipan dari al-Albâni durûs wa mawâqif wa ‘ibar hlm.7]

Dengan demikian, mengenal tarjamah (biografi) para Ulama bermanfaat sekali bagi umat, khususnya para thullâbul 'ilmi. Bila seorang Muslim menelaah biografi orang-orang yang mulia itu, pengetahuan itu akan membantu meluruskan jalan kehidupannya dan sekaligus sebagai bahan introspeksi diri dengan mengetahui kekurangan pada dirinya sendiri. Melalui buku-buku sejarah itulah para Ulama telah hidup dan hadir di masa sekarang lantaran seseorang dapat bergaul dan mendalami kehidupan mereka. yang sudah pergi ditampilkan kembali, sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah mengatakan:

مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِناً فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ

“Barang siapa menulis sejarah seorang Mukmin, seolah-olah ia sedang menghidupkannya (kembali ke alam nyata)” [Nukilan dari Muqaddimah Adhwâul Bayân, ‘Athiyyah Sâlim hlm. Xii]

NASAB AMIRUL MUKMININ DALAM BIDANG HADITS
Bidang yang sangat pantas mendapatkan perhatian besar dan tercurahkannya segala kemampuan padanya - setelah Kitâbullâh – adalah Hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, jaminan aman dari kesesatan didapat dengan menjaga dan memelihara Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,sebagaimana disabdakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ كِتاَبَ اللهِ وَسُنَّتِيْ

Aku tinggalkan di tengah kalian jika kalian memeganginya tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnahku [HR. al-Hâkim, al-Mustadrak 1/93 dari Abu Hurairah dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no.1761 dan Shahîhul Jâmi' 1/39]

Di antara tokoh ternama lagi menonjol dengan khidmahnya dalam bidang ilmu hadits, yaitu Abu Abdillâh Muhammad bin Ismâil yang lazim dikenal dengan nama Imam al-Bukhâri. Sebuah nama yang sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits.

Beliau adalah Muhammad bin Ismâ'îl bin Ibrâhîm bin Mughîrah bin Bardizbah. Dilahirkan di Bukhara selepas shalat Jum'at, tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H. Ayah Imam al-Bukhâri, seorang yang bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Malik rahimahullah dan berjumpa Hammad bin Zaid dan Ibnul Mubârak. Namun Allah berkehendak mewafatkannya Imam al-Bukhâri masih kanak-kanak. Karena itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang ibu.

Pada masa kanak-kanak, Muhammad bin Ismail sempat mengalami kebutaan Suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrâhîm al-Khalîl Alaihissallam dan berkata kepada ibunya, "Wahai wanita, Allâh telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (banyak berdoa)". Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal[1]

BENTUK FISIK IMAM AL-BUKHARI
Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, ‘Aku pernah mendengar Hasan bin Husain al-Bazzâz berkata, ‘Aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek’.[2]

BELAJAR SEJAK BELIA
Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau telah menghafalkan al-Qur`ân semenjak kecil juga. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beliau

Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan pada Muhammad bin Ismâ’îl kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Imam al-Bukhâri rahimahullah menceritakan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Daakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim… Maka aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin ‘Adi dari Ibrahiim..”. Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “Engkau benar”.
Abu ‘Abdillah juga pernah menceritakan, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”.

Demikianlah gambaran bakat keilmuannya telah tampak. Pada usia 16 tahun, beliau sudah menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Biikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya.

Bersama Ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Muhammad bin Ismâ’îl pergi haji ke Mekah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para Ulama di sana, sementara keluarga beliau pulang.

MENIMBA ILMU BERSAMA LEBIH DARI SERIBU GURU
Pertama, Imam al-Bukhâri menimba ilmu dari Ulama setempat. Beliau berguru kepada Muhammad bin Salam al-Biikandi, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Yamaan al-Ju’fi al-Musnidi, dan ulama lainnya. Selanjutnya, beliau keluar dari kampung halamannya dan mengembara mendatangi banyak kota untuk memperdalam ilmu hadits.

Kota Balkh, Naisabur, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, beliau datangi dalam rangka mencari dan mendatangi Syaikh-Syaikh mumpuni dalam bidang hadits. Tak pelak, syaikh (guru) beliau pun berjumlah banyak, bahkan beliau sendiri yang menyatakan hal ini, "Aku menulis (riwayat) dari seribu lebih syaikh. Dari setiap syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah ada hadits padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga)". [Lihat as-Siyar:12/407, al-Bidâyah 11/22]

Sebelum meninggal, Imam al-Bukhâri rahimahullah pernah menyatakan, “Aku telah menulis (hadits) dari 1080 orang. Semuanya adalah ahlul hadits. Mereka semua meyakini, ‘Iman adalah qaul dan amal, berrtambah dan berkurang’. [as-Siyar:12/395]

Kota Baghdad beliau masuki sampai delapan kali. Dan setiap memasukinya, beliau berjumpa dan berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad menganjurkan beliau untuk bermukim di Baghdad saja, tidak di Khurasan.

Di antara nama Ulama besar yang menjadi guru beliau: Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyaabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam ‘Ali bin al-Madini, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibraahim al-Balkhi, Abdaan bi Utsmaan, Imam Abu Ashim an-Nabiil, Muhammad bin ‘Isaa ath-Thabbaa’, Khalid bin Yazid al-Muqri` murid Imam Hamzah, dan masih banyak lagi.[3]

Tidak mengherankan bila jumlah guru beliau sangat banyak. Tampaknya jumlah guru yang besar ini disebabkan oleh dua faktor: (1) Imam al-Bukhâri rahimahullah memulai perjalanan lmiahnya sejak beliau dan (2) Banyak kota yang beliau datangi untuk tujuan yang mulia tersebut.

KEKUATAN HAFALAN IMAM AL-BUKHARI
Kekuatan hafalan Imam al-Bukhâri sudah terakui oleh para Ulama di masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja.

Hasyid bin Ismâ’îl pernah menceritakan, “Dahulu Abu ‘Abdillâh bersama kami mendatangi para guru Bashrah. Waktu itu ia masih belia, dan tidak (tampak) mencatat apa yang telah didengar. Hal itu berlangsung beberapa hari. Kami pun bertanya kepadanya, “Engkau menyertai kami mendengarkan hadits, tanpa mencatatnya. Apa yang kamu perbuat sebenarnya?. Enam belas hari kemudian, Imam al-Bukhâri rahimahullah akhirnya menjawab, ‘Kalian telah sering bertanya dan mendesakku. Coba tunjukkanlah apa yang telah kalian tulis’. Maka kami mengeluarkan apa yang kami miliki yang berjumlah lebih dari 15 ribu hadits. Selanjutnya, ia menyebutkan seluruhnya dengan hafalan, sampai akhirnya kami membenahi catatan-catatan kami melalui hafalannya. Kemudian ia berkata, "Apa kalian sangka aku bersama kalian hanya main-main saja dan menyia-nyiakan hari-hariku?!” Maka, kami pun sadar, tidak ada seorang pun yang melebihinya’.[4]

Kehebatan hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu ‘Abdillâh ke kota mereka. Dengan sengaja, mereka itu mempersiapkan seratus hadits dan kemudian menukar dan merubah matan dan sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan dilontarkan kepada Abu ‘Abdillâh sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya.

Orang-orang pun berkumpul di dalam majlis. Orang pertama menanyakan kepada Imam al-Bukhâri sepuluh hadits yang ia miliki satu persatu. Setiap kali ditanya, Imam al-Bukhâri menjawab, sampai hadits yang kesepuluh, “Saya tahu mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan). Para Ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, “Orang ini (benar-benar) paham”. Sementara orang yang tidak tahu tujuan majlis itu diadakan menilai Imam al-Bukhâri sebagai orang yang lemah hafalannya.

Kemudian tampillah orang kedua, melakukan hal yang sama. Dan setiap kali mendengarkan satu hadits, beliau berkomentar sama, “Aku tidak mengenalnya”. Selanjutnya tampil orang ketiga sampai orang terakhir. Dan komentar beliau pun tidak lebih dari ucapan, “Aku tidak mengenalnya”.

Setelah semua selesai menyampaikan hadits-haditsnya, Imam al-Bukhâri menoleh ke arah orang pertama seraya meluruskan, “Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, sampai membenarkan hadits yang kesepuluh. Setiap hadits beliau satukan dengan matan-matannya yang benar. Beliau melakukan hal yang sama kepada para ‘pengujinya’ lainnya sampai pada orang yang terakhir. Akhirnya, orang-orang pun betul-betul mengakui akan kehebatan hafalan beliau.[5]

Di Samarkand, beliau pun menghadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijâl (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits plus sanad-sanadnya yang sudah campur-aduk ini ke hadapan Imam al-Bukhâri rahimahullah. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu dan menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para Ulama yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. [Lihat as-Siyar 12/411, al-Bidâyah 11/22]

Dua kejadian ini sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat Imam al-Bukhâri, sebab tanpa persiapan sedikit pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi , ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut.

Abu Ja'far pernah menanyakan kepada Abu Abdillah, "Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?". "Tidak ada yang kabur pada (hafalan)ku seluruhnya".[As-Siyar:12/403]

Abu Abdillah pernah bercerita tentang dirinya, “(Suatu ketika) aku mengingat-ingat murid Anas. Dalam sekejap 300 terbetik dalam ingatanku”.

Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata beliau:
لاَ أَعْلَمُ شَيْئًا أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ

ِAku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan)’[6]

BETAPA BANYAK HADITS YANG BELIU HAFALKAN
Gelar amirul mukminin dalam bidang hadits yang melekat pada Imam al-Bukhâri sudah tentu berlatar belakang akan kedalaman penguasaannya – yang mengungguli lainnya- terhadap hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; pemahaman, hafalan dan seluk-beluk terkait derajat rijâlul hadits (para perawi hadits). Aspek banyaknya hafalan beliau terhadap hadits pun pastilah sangat menonjol. Hal ini sudah diakui dan diceritakan oleh murid-murid beliau maupun Ulama lainnya.

Saking banyaknya hadits shahih yang beliau hafal, Imam Al-Fallâs t sampai berkata, “Setiap hadits yang tidak dikenal oleh al-Bukhâri rahimahullahbukanlah hadits shahîh”.[7]

Tidak hanya hadits shahih saja yang beliau hafalkan, hadits-hadis yang tidak shahih juga menjadi perhatian beliau. Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah berkata, “Aku menghafal seratus ribu hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”.[8]

ANTARA ILMU DAN AMAL
Imam al-Bukhâri rahimahullahjuga menjadi teladan dalam ibadah dan akhlak sebagai bentuk pengamalan ilmunya. Setiap malam, beliau mengerjakan shalat malam sebanyak 13 rakaat, dan setiap malam dalam bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan bacaan al-Qur`ân. Beliau berinfak dan bersedekah di siang dan malam.
Beliau dikenal sebagai orang yang pemberani, pemaaf, banyak berderma, berbudi pekerti luhur, zuhud terhadap dunia dan hati-hati dalam berbicara. Termasuk saat melakukan jarh, beliau menggunakan ungkapan yang halus untuk menilai perawi yang bermasalah atau berderajat lemah.

Imam al-Bukhâri rahimahullahpernah mengatakan, “Aku berharap berjumpa dengan Allâh Azza wa Jalla , tanpa ada seorang pun yang menuntutku karena aku telah menggunjingnya”.

PUJIAN ULAMA TERHADAP IMAM AL-BUKHARI
Melihat reputasinya, pantaslah beliau mendapat pujian. Pujian mengalir kepada Imam al-Bukhâri dari para Ulama di masa itu, baik dari guru-guru maupun teman-temannya. Imam Ahmad bin Hanbal (salah seorang gurunya) mengatakan, ‘Negeri Khurasan tidak pernah melahirkan seperti dirinya’. Ini jelas merupakan syahadah (persaksian) yang sangat istimewa karena disampaikan oleh Imam Ahli Sunnah wal Jamaah.

Imam Ishaq bin Rahuyah (gurunya) berkata, “Seandainya dia (al-Bukhâri) hidup di masa Hasan al-Bashri pastilah orang-orang membutuhkannya karena penguasaan dan pemahamannya terhadap hadits”.

Muhammad bin Basysyaar (gurunya) berkata, “Huffaazh (Ahli Hadits) di dunia ada empat: Abu Zur’ah dari Ray, ad-Daarimi dari Samarkand, Muhammad bin Ismail dari Bukhara dan Muslim dari Naisabur”.

Imam Qutaibah berkata, “Seandainya Muhammad hidup di kalangan Sahabat maka ia adalah mukjizat”.

Imam Raja al-Haafizh mengatakan, “Ia adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang berjalan di atas bumi”.

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, ‘Aku belum pernah melihat di bawah langit orang yang lebih mengetahui hadits Rasûlullâh, lebih kuat hafalannya daripada Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhâri”.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah (salah seorang muridnya) berkata, “Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan, seseorang yang lebih paham tentang ‘ilal, tarikh dan pengetahuan mengenai sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Isma’il”.

Muhammad bin Munir, salah seorang gurunya, bahkan mengaku, “Aku termasuk murid Muhammad bin Isma’il (al-Bukhâri). Dia adalah seorang guru”. [As-Siyar:12/415]

MENJADI GURU PARA IMAM HADITS
Penguasaan Imam al-Bukhâri rahimahullahyang mendalam dalam bidang ilmu hadits, sudah menonjol sejak beliau remaja. Banyak orang datang berduyun-duyun mendatangi beliau baik di majlis maupun di tempat lainnya.

Pernah, orang-orang berilmu dari kota Basrah berjalan di belakang beliau untuk mendengarkan hadits dan akhirnya mereka bisa menghentikan beliau di satu jalan. Ribuan orang duduk berkumpul di dekat beliau. Kebanyakan dari mereka menulis riwayat dari beliau. Waktu itu, beliau masih seorang remaja yang belum tumbuh jenggotnya. Beliau dminta untuk duduk di satu jalan dan memperdengarkan riwayat-riwayat hadits.

Kedalaman ilmunya dalam bidang hadits yang didukung oleh intelegensi dan daya ingat yang luar biasa, serta pemahaman tentang kandungan hadits dan penguasan rijaalul hadits dan illah-illahnya membentuk beliau menjadi seorang pakar hadits terkemuka sepanjang zaman. Kelebihan-kelebihan ini jelas menarik minat para penuntut ilmu untuk menghadiri majlis ilmunya.

Nama-nama terkenal menghiasai daftar orang-orang yang berguru pada Imam al-Bukhâri rahimahullah. Di antara mereka adalah, Imam Muslim rahimahullah, Imam at-Tirmidzi rahimahullah, Imam Abu Hâtim rahimahullah, Imam Ibnu Abi Dunya rahimahullah, Imam Ibrâhîm bin Ishâq al-Harbi rahimahullah, Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah.

DOANYA MUSTAJAB
Imam Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah (11/24) menyebutkan bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullahtermasuk orang yang mustajâbu da`wah, doanya dikabulkan. Kejadiannya, gubernur kota Bukhâra mengusirnya dari kota itu. Atas pengusiran yang tidak berdasar itu, Imam al-Bukhâri rahimahullahpun berdoa. Sebulan belum genap berjalan, sang gubernur diberhentikan dan dipenjarakan di Baghdad sampai meninggal di dalamnya. Orang-orang yang ikut berpran dalam pengusiran Imam al-Bukhâri pun mengalami musibah.

Beliau pun pindah menuju satu daerah bernama Khortank, tinggal bersama beberapa kerabat di sana.

IMAM AL-BUKHARI RAHIMAHULLAH WAFAT
Usai mengisi hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), ajal yang telah ditentukan menjemput Imam al-Bukhâri. Beliau sempat sakit sebelum meninggal. Wafat pada malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri, tahun 256H dalam usia 62 tahun. Jenazah beliau ditutup dengan tiga lembar kain putih, tanpa mengenakan qamis maupun imamah, sebagaimana isi wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal. Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu selama beberapa hari.

Banyak ilmu bermanfaat yang telah beliau wariskan bagi seluruh kaum Muslimin. Ilmu beliau tidak putus, tetap mengalir atas usaha-usaha baik yang telah curahkan dalam hidupnya. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَـطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : (مِنْهَا) عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ

Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: (diantaranya) ilmu yang bermanfaat

Kitab-kitab yang beliau wariskan kepada umat Islam yaitu Shahih al-Bukhâri, al-Adabul Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, Khalqu Af’ali al-‘Ibaad, juz fi al-Qira`ah khalfal Imam.

PENUTUP
Inilah sekelumit sejarah seorang yang berjuluk Amirul Mu`minin dalam bidang hadits. Sejarah seorang insan yang menakjubkan lagi sarat dengan 'ibrah (pelajaran) umat sepeninggalnya.
Syaikh 'Athiyyah Sâlim Rahimahullah berkata, “Aku betul-betul meyakini bahwa biografi para Ulama adalah madrasah (tempat pembinaan) bagi para generasi mendatang, yaitu melalui ilmu-ilmu dan sisi kehidupan mereka yang menonjol “ [Adhwâul Bayân 1/xii].

Semoga rahmat Allâh Azza wa Jalla selalu tercurahkan pada seluruh Ulama Islam di setiap masa dan tempat. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______


http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment