Saturday, February 16, 2013

TAUHID, JALAN MENUJU KEADILAN DAN KEMAKMURAN




TAUHID, JALAN MENUJU KEADILAN DAN KEMAKMURAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas


KEDUDUKAN TAUHID DALAM ISLAM
Tauhid merupakan pangkal syukur bagi seorang muslim.[1]

اَلْحَمْدُ ِللهِ وَحْدَهُ، وَالصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَبَعْدُ:

Alhamdulillaah, tiada hentinya kita senantiasa memanjatkan rasa syukur kepada Allah -Rabb Yang Maha belas kasih lagi Maha Penyayang. Dia telah memberikan dua nikmat yang tiada bandingannya, yaitu nikmat Islam dan nikmat Sunnah. Dengan kedua nikmat itu, manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan diselamatkan dari siksa, baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, bagi para hamba Allah yang telah mendapatkan nikmat tersebut, harus mengikatnya dengan rasa syukur serta selalu memohon kepada Allah, agar menjadi hamba yang selalu bersyukur. Dan bukti syukur seorang muslim atas nikmat ini, yakni dengan menjadi muslim yang ridha bahwa Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad -penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahnya- yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanat, menasihati ummat, dan telah menunjuki ummat ke jalan yang terang serta lurus, yang sebelumnya mereka dalam kesesatan yang nyata.

Kewajiban seorang muslim sejati adalah menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang setia, mengikuti petunjuknya, mencontoh teladannya, melaksanakan Sunnah-sunnahnya dan membela Sunnahnya, serta menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah, untuk mengajak ummat manusia agar mentauhidkan Allah dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.

Kalimat tauhid bagi kaum Muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan kalimat yang sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka, sebagai suatu ibadah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang pertama kali didakwahkan sebelum lainnya.

Allah Ta’ala berfirman :

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

... Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)... [az Zumar/39 : 2, 3]

Allah Ta’ala juga berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya...[al Bayyinah/98 : 5].

Seluruh para nabi dan rasul عليهم الصلاة والسلام telah mendakwahkan tauhid kepada ummatnya di setiap kurun (generasi)nya. Sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, (untuk menyerukan) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkanNya) dan menjauhi thaghut… [an Nahl/16:36].

Dan firmanNya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya : "Bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) selain Aku, maka beribadahlah kamu sekalian kepadaKu". [al Anbiyaa’/21 : 25].

Juga firman-Nya:

فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata) : "Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada ilah yang haq bagimu selainNya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)?” [al Mukminun/23 : 32].

Semua rasul memulai dakwah mereka kepada kaumnya dengan tauhid Uluhiyyah, agar kaum mereka beribadah dengan benar hanya kepada Allah saja.

Seluruh rasul berkata kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja.[2]

Kemuliaan ilmu tergantung dari kemuliaan apa yang dikaji. Dan ilmu tauhid adalah semulia-mulia ilmu. Ilmu yang paling agung dan mulia adalah ilmu tauhid dan ushuluddin. Karena, atas tauhid itulah Allah menciptakan jin dan manusia, menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul, serta menciptakan surga dan neraka. Barangsiapa mempelajari ilmu tersebut dan mengamalkannya, maka dialah orang yang bertakwa lagi berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa mengabaikannya dan tidak mau mempelajarinya, maka dialah orang yang sengsara dan celaka.

Allah menyuruh hambaNya untuk menuntut ilmu syar’i, yang pertama harus dipelajari adalah ilmu tauhid, mengenal Allah, mengkaji bagaimana mentauhidkan Allah, beribadah kepadaNya dengan benar. Allah Ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggal-mu. [Muhammad/47 : 19].

Orang yang mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah, maka ia akan masuk surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.[3]

Dengan demikian, kedudukan tauhid adalah sebagai pondasi bagi bangunan amal seorang muslim. Perhatian seorang yang arif tentu senantiasa tertuju pada pembenahan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh, ia akan terus meninggikan bangunan, tanpa mengokohkan pondasi, sehingga robohlah bangunannya.

Keikhlasan dan tauhid, juga diibaratkan seperti sebatang pohon yang tumbuh dalam hati, amal perbuatan adalah cabang-cabangnya, kedamaian adalah buahnya yang dirasakan dalam kehidupan dunia ini, serta kenikmatan yang kekal di akhirat kelak. Sebagaimana buah-buahan surga, tidak akan terputus dan terlarang. Demikian pula halnya “buah” keikhlasan dan tauhid di dunia ini, tidak akan terputus dan terlarang. Kesyirikan, dusta dan riya’ bagaikan sebatang pohon yang tumbuh dalam hati manusia, buahnya di dunia adalah ketakutan, kekhawatiran, kebingungan dan kesempitan yang dirasakan dalam dada, serta kegelapan yang menimpa hati. Sedangkan di akhirat kelak akan membuahkan zaqqum [4] dan adzab yang kekal.[5]

DEFINISI TAUHID & MACAM-MACAMNYA [6]
Tauhid -dalam bahasa Arab- adalah mashdar dari وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا , artinya menjadikan sesuatu itu satu.

Tauhid -dalam ilmu syar’i (terminologi)- adalah mengesakan Allah k terhadap sesuatu yang khusus bagiNya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma' dan SifatNya. Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah saja.

Tauhid terdiri dari tiga macam : Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al Asma’ wash-Shifat.

Tauhid Rububiyyah, yaitu mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

... Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam. [al A’raf/7 : 54]

Tauhid Uluhiyyah, yaitu mengesakan Allah Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al Baqarah/2 : 163].

Tauhid Asma’ wash-Shifat Allah, yaitu menetapkan apa-apa yang Allah Ta’ala dan RasulNya n telah tetapkan atas DiriNya, baik berupa nama-nama maupun sifat-sifat Allah, serta mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya n . Dan kita wajib menetapkan Sifat-sifat Allah, baik yang terdapat di dalam al Qur`an maupun dalam as Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Firman Allah Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Men-dengar lagi Maha Melihat. [ asy Syura /42 : 11].

ISLAM ADALAH AGAMA TAUHID
Definisi Islam adalah :

َاْلإِسْتِسْلاَمُ ِللهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَاْلإِنْقِيَادُ لَهُ باِلطَّاعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.

(berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkanNya, tunduk patuh kepadaNya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan laranganNya), serta membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik).[7]

Jika kita kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid, dan dakwah mereka dimulai dengan tauhidullah, dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.

Maka, hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi (termasuk Nabi Muhammad) عليهم الصلاة والسلام adalah bagaikan pondasi sebuah bangunan (dan bagaikan ruh bagi badan). Karena jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, demikian pula seluruh Rasul. Di antara contohnya adalah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ketika diutus ke Yaman.[8]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya : Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata) (juga lafazh lainnya : Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi). Apabila mereka mentaatimu karena yang demikian itu (Dalam suatu riwayat : Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah. [9]

TAUHID DAN KEADILAN
Pertama. Allah memberitahukan bahwa tujuan dari penciptaan dan perintah adalah, agar makhluk mengetahui Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, agar mereka beribadah hanya kepada Allah saja, tidak dipersekutukan dengan makhlukNya, dan agar menusia berlaku adil. Keadilan adalah dasar tegaknya langit dan bumi, sebagaimana Allah berfirman:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan... [al Hadid/57 : 25].

Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkan Kitab-kitab-Nya adalah agar manusia menegakkan keadilan. Keadilan yang paling besar adalah tauhid (mentauhidkan Allah), dan tauhid merupakan pokok, asal, dan tonggak keadilan. Sedangkan syirik adalah kezhaliman. Allah berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya perbuatan syirik adalah kezhaliman yang paling besar. [Luqman/31 : 13].

Karena itulah, syirik (menyekutukan Allah) adalah kezhaliman yang paling zhalim, dan tauhid adalah keadilan yang paling adil.[10]

Kedua. ‘Aqidah tauhid membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk dengan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala saja, serta tidak mengikuti melainkan hanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
‘Aqidah tauhid, menuntut seorang muslim untuk meninggalkan segala bentuk penghambaan kepada selain Allah, karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menciptakan, mengabulkan permintaan dan berbagai sifat Ilahiyyah lainnya.

Sebaliknya, orang yang berbuat kemusyrikan, berarti dirinya telah berbuat zhalim -lawan dari adil- lagi ingkar. Bagaimana mungkin dia menyembah kepada sesuatu -yang tiada memiliki kekuasaan- padahal Allah yang menciptakan dirinya dan dia bersyukur kepada sesuatu itu, padahal Allah-lah yang memberinya rizki. Allah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak meng-hendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [adz Dzariyat/51: 56-58]

Ketiga. Perintah untuk berlaku adil.

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

…Berlaku adillah, karena (adil itu) lebih dekat kepada takwa…. [al Maa-idah/5 : 8].

Islam, sebagai agama tauhid, memerintahkan penganutnya untuk berakhlak mulia, bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan adil dan baik, serta melarang perbuatan yang buruk. Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an Nahl/16 : 90].

Bahkan Allah menyebut KitabNya (al Qur`an) sebagai kalimat yang adil. Allah Ta’ala berfirman :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (al Qur`an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ... -al An’am/6 ayat 115- maksudnya, benar dalam berita, serta adil dalam memerintah dan melarang.[11]

Keempat. Tauhid dan bersikap adil terhadap sesama muslim dan orang kafir.

TAUHID MEMISAHKAN ANTARA ORANG MUSLIM DENGAN ORANG KAFIR
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, bahwa orang yang mengucapkan dan meyakini kalimat tauhid (لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ), maka dia adalah seorang muslim yang berhak mendapatkan perlindungan dari penguasa kaum Muslimin dan mendapatkan janji surga. Seorang muslim berhak atas hak wala’ (loyalitas) dari kaum Muslimin lainnya karena tauhid dan ketaatannya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebaliknya, orang yang mengingkari kalimat tauhid dengan berbuat syirik -dengan kesyirikan yang membuatnya keluar dari Islam- maka orang tersebut harus diperangi dan berhak atas hak bara’ (kebencian) dari seluruh kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan al Kitab hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. [at Taubah/9:29].

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka ada pada Allah Ta’ala.[12]

Perintah memerangi kaum kafir dan musyrik adalah karena kekufuran dan kemusyrikan mereka terhadap Allah Dzat yang menciptakan mereka- serta karena ‘aqidah mereka yang menyimpang dari ‘aqidah tauhid; bukan karena dendam pribadi, memperebutkan negara atau wilayah kekuasaan. Demikianlah perintah Allah kepada RasulNya, juga ummat ini untuk memerangi kaum musyrikin, agar manusia berbondong-bondong masuk agama Allah dan mentauhidkanNya.

Perintah memerangi, melawan dan membunuh orang kafir, maksudnya adalah kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Adapun terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin, maka kita diperintahkan untuk berbuat adil terhadap mereka dan tidak boleh men-zhaliminya. Kalau mereka kafir dzimmi (mendapat perlindungan dari pemerintahan Islam), atau mu’ahad (mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam), atau musta’man (mendapat perlindungan keamanan dari pemerintahan Islam), maka mereka tidak boleh dibunuh. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al Mumtahanah/60 : 8].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang membunuh orang kafir mu’ahad atau dzimmi dengan hukuman yang keras. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat puluh tahun.[13]

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا.

Barangsiapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat puluh tahun.[14]

Hal ini menunjukkan bahwa, orang kafir saja tidak boleh ditumpahkan darahnya, apalagi terhadap seorang muslim.[15]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



TAUHID, JALAN MENUJU KEADILAN DAN KEMAKMURAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas



KEUTAMAAN TAUHID BAGI PRIBADI MUSLIM[1]
Pertama. Allah akan menghapus dosa-dosa orang yang bertauhid.
Dalilnya, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman:

...يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً َلأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.

"...Wahai Bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan memberikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula". [2]

Kedua. Allah Ta’ala akan menghilangkan kesulitan dan kesedihan di dunia dan akhirat bagi orang yang bertauhid.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka...” [ath-Thalaq/65: 2,3].

Seseorang tidak dikatakan bertakwa kepada Allah, jika ia tidak bertauhid. Orang yang bertauhid dan bertakwa, ia akan diberi jalan keluar dari berbagai problem hidupnya.[3]

Ketiga. Allah akan menjadikan dan menghiasi dalam hati seorang yang bertauhid dengan rasa cinta kepada iman, serta menjadikan di dalam hatinya rasa benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman itu) indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. [al Hujurat/49:7].

Keempat. Tauhid merupakan satu-satunya sebab untuk mendapatkan ridha Allah. Dan orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah orang yang mengucapkan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.

Orang yang paling berbahagia dengan mandapat syafa’atku pada hari Kiamat, yaitu orang yang mengucapkan "Laa ilaaha illallaah" secara ikhlas dari hatinya atau jiwanya. [4]

Kelima. Allah Ta’ala menjamin akan memasukkan seorang yang bertauhid ke Surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barang siapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.[5]

مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk Surga.[6]

Keenam. Allah Ta’ala akan memberikan kemenangan, pertolongan, kejayaan dan kemuliaan kepada orang yang bertauhid.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. [Muhammad/47:7].

Ketujuh. Allah Ta’ala akan memberikan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat bagi seorang yang bertauhid.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an Nahl/16:97].

Kedelapan. Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di neraka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟

"Setelah penghuni surga masuk ke surga, dan penghuni neraka masuk ke neraka, maka setelah itu Allah pun berfirman: 'Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi iman,’ maka mereka pun dikeluarkan dari neraka, hanya saja tubuh mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu mereka dimasukkan ke sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah) sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di tepian sungai. Tidakkah engkau perhatikan bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?" [7]

Kesembilan. Tauhid merupakan penentu bagi diterima atau ditolaknya amal manusia.
Sempurna atau tidaknya amal seseorang bergantung pada tauhidnya. Orang yang beramal, tetapi tidak sempurna tauhidnya, misalnya riya, tidak ikhlas, berbuat syirik, niscaya amalnya akan menjadi bumerang baginya, yakni tidak mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena itu, seluruh amal harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah, baik berupa shalat, zakat, shadaqah, puasa, haji dan lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [al Mulk/67:2].

Dalam ayat yang mulia tersebut, Allah menyebutkan dengan “amal yang baik”, tidak dengan “amal yang banyak”. Amal, disebut baik atau shalih, bila memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan ittiba’ kepada Nabi Muhammad n . Sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwa kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , pada hari Kiamat nanti, lebih berat timbangannya dibandingkan langit dan bumi dengan sebab ikhlas.

Kesepuluh. Orang yang bertauhid akan mendapatkan rasa aman dan petunjuk.
Orang yang tidak mentauhidkan Allah dengan sempurna, maka ia selalu was-was, ia selalu dalam keadaan takut dan tidak tenang. Mereka takut kepada hari sial, atau takut mempunyai anak lebih dari dua, takut terhadap masa depan, takut hartanya lenyap dan seterusnya.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al An’am/6:82].

KEUTAMAAN TAUHID BAGI MASYARAKAT MUSLIM[8]
Islam sebagai agama tauhid, adalah cocok dan sesuai di setiap masa, tempat, dan kondisi ummat. Maksudnya, berpegang teguh kepada Islam, tidak akan menghilangkan kemaslahatan ummat. Bahkan dengan agama tauhid ini, ummat akan menjadi baik, sejahtera, aman dan sentausa. Apabila ummat manusia menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka mereka harus masuk Islam dan tunduk dalam melaksanakan syari’at Islam. Tetapi harus diingat, kecocokan dan sesuainya Islam ini, bukan berarti Islam itu tunduk mengikuti perkembangan masa, tempat dan keadaan manusia sebagaimana dikehendaki oleh sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar, Allah Ta’ala menjanjikan kemenangan bagi orang-orang yang berpegang teguh kepada agama ini dengan baik, namun dengan syarat, mereka harus mentauhidkan Allah, menjauhkan segala (bentuk) perbuatan syirik, menuntut ilmu syar’i dan mengamalkan amal yang shalih. Allah Ta’ala berjanji, akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, meneguhkan agama mereka, serta menjadikan kehidupan mereka di dunia ini aman sentausa. Allah Ta'ala berfirman:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu apapun. Tetapi barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (an Nur/24:55). Lihat juga surat al A’raf ayat 96.

TASHFIYAH DAN TARBIYAH, KUNCI KEMBALINYA KEMULIAAN ISLAM[9]
Jalan untuk menuju kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan ummat ialah dengan mengadakan tashfiyah (pemurnian) dari sesuatu yang tidak dikenal dan telah menyusup masuk ke dalam syari’at Islam, seperti kesyirikan, pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala atau penakwilannya, penolakan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan ‘aqidah dan lainnya. Juga tashfiyah (pemurnian) ibadah dari berbagai macam bid’ah yang telah mengotori kesucian dan kesempurnaan agama Islam. Dan juga tashfiyah dalam bidang tafsir, fiqih, dan berbagai kemungkaran yang mengotori kesucian Islam.

Kemudian melakukan tarbiyah (pembinaan) generasi muslim di atas Islam yang telah bersih dari kemungkaran. Yakni dengan sebuah pembinaan secara Islam yang benar, sejak usia dini, dan tanpa terpengaruh oleh pendidikan ala barat yang kafir, kemudian menyatukan mereka dalam kesatuan ‘aqidah tauhid, yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah.

‘Aqidah Ahlus Sunnah merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan kekuatan kaum Muslimin dan kesatuan barisan mereka, untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia. Hal ini dikarenakan ‘aqidah Ahlus Sunnah mampu mengembalikan kaum Muslimin kepada al Qur`an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta mengembalikan jalannya kaum Mukminin, yaitu jalan para sahabat Radhyallahu anhum. Keistimewaan ini tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan manapun, atau lembaga da’wah manapun, atau organisasi manapun yang tidak menganut ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sejarah telah menjadi saksi dari kenyataan ini. Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada ‘aqidah Ahlus Sunnah sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum Muslimin yang berserakan. Hanya dengan ‘aqidah Salaf sajalah, maka jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak, dan tercapailah kemuliaan Islam.[10]

Dengan ‘aqidah Salaf ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu, sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik ummat. Hal ini, karena ‘aqidah Salaf ini berdasarkan al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman para sahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah Salaf, ia tidak akan mengantarkan tercapainya persatuan, bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Sehingga tidak diragukan lagi, jalan menuju kemenangan dan kejayaan kaum Muslimin, ialah dengan kembali kepada ‘aqidah dan manhaj yang haq, yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah; ‘aqidah dan manhaj Salaf.

Imam Malik rahimahullah berkata:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.

Tidak akan dapat memperbaiki ummat ini, melainkan dengan apa yang telah membuat baik generasi pertama ummat ini (yaitu, sahabat).[11]

KHATIMAH: KITA MEMOHON ISTIQAMAH DI ATAS ISLAM DAN AS SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH-SHALIH RADHIYALLAHU ANHUM
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, agar kita ditunjuki kepada jalan Islam dan as Sunnah mengikuti manhaj Salafush-Shalih dan istiqamah dalam keadaan mentauhidkan Allah Ta’ala, melaksanakan Sunnah Nabi n dan menjauhkan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan yang selamat mengikuti jejak para sahabat Radhiyallahu anhum . Dan mudah-mudahan Allah Ta’ala mengumpulkan kita di surga bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarganya, para sahabatnya Radhiyallahu anhum, dan orang-orang yang mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebaikan hingga akhir zaman. Dan akhir dari dakwah ini adalah segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam.

Kami tutup dengan do’a kaffaratul majelis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepada-Mu.

Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




PESAN MORAL DARI KISAH ASHABUL-KAHFI

Oleh
Ustadz Muhammad 'Ashim bin Musthofa


أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا

Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? [al-Kahfi/18:9].

PENDAHULUAN
Sangat banyak kisah dari umat terdahulu yang difirmankan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia, Al-Qur`ânil-Karim. Yang secara nyata menunjukkan betapa besar faidahnya untuk menuntun umat manusia kepada hidayah. Tidak mengherankan, karena paparan kisah termasuk media pembelajaran yang penting. Apalagi, biasanya seseorang mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk meresapi pesan-pesan moral dari sebuah cerita yang shahih.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyampaikan ada empat faktor yang telah menyebabkan kisah dari Allah Subhanahu wa Ta’alamenjadi sarana pelajaran yang terbaik lagi paling sempurna.[1] Yaitu: (1) karena kisah tersebut bersumber dari ilmu Allah, (2) berisi kejujuran, (3) diungkapkan dengan gaya bahasa sastra yang tinggi, jelas lagi terang. Tidak ada perkataan yang lebih jelas dibandingkan Kalamullah, kecuali bagi orang yang hatinya sudah disesatkan Allah, sehingga ketika mendengar kisah-kisah yang dituturkan Allah dalam kitab-Nya, ia mengatakan: “Ini adalah dongeng-dongeng masa lalu”. (4) muncul karena merupakan kehendak Allah. Dengan kisah-kisah tersebut, Allah tidak menginginkan kesesatan ada pada diri kita, atau berbuat curang terhadap hukum yang telah ditetapkan. Namun dengan kisah tersebut, Allah menginginkan agar kita mendapatkan hidayah dan berdiri tegak di atas keadilan.

KISAH ASH-HABUL-KAHFI, MERUPAKAN TANDA KEBESARAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Dalam surat Al-Kahfi, Allah menyampaikan salah satu kisah kehidupan masa lalu. Yakni yang dikenal dengan ashhabul-kahfi, yaitu para pemuda penghuni gua, yang dikisahkan secara global .

Dalam sebuah keterangan disebutkan, bahwa mereka memeluk agama Nabi ‘Isa bin Maryam. Akan tetapi, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan, bahwa pemuda-pemuda itu hidup sebelum perkembangan millah Nashraniyah. Seandainya mereka memeluk agama Nashrani, sudah tentuk para pendeta Yahudi tidak memiliki data tentang mereka. Sedangkan peristiwa ashhabul-kahfi, merupakan tema yang dikemukakan oleh Yahudi kepada kaum Quraisy untuk "menguji" kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain pertanyaan tentang Dzul-Qarna-in dan roh. Ini menunjukkan bila peristiwa tersebut sudah terbukukan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan terjadi sebelum kemunculan agama Nashrani. Wallahu a’lam. [2]

Bentuk istifham (kata tanya) pada ayat di atas, bermakna penafian dan larangan. Maksudnya, janganlah engkau menyangka kisah ashhabul-kahfi (penghuni gua) dan peristiwa yang terjadi pada mereka adalah perkara yang aneh untuk menjadi sebuah tanda kekuasaan Allah dan perkara yang mengagumkan pada ketentuan hikmah-Nya. Hingga beranggapan tidak ada kisah dan peristiwa lain yang sepadan dengannya.

Tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan lagi aneh, setaraf dengan tanda-tanda kebesaran-Nya pada ash-habul-kahfi, bahkan yang lebih besar dari peristiwa tersebut sangat banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memperlihatkan kepada para hamba-Nya tanda-tanda kebesaran-Nya di langit, bahkan pada diri mereka sendiri, sehingga kebenaran menjadi jelas dari kebathilan, menjadi jelas pula antara petunjuk dibandingkan dengan kesesatan. Penafian ini tidak ditujukan, kalau kisah ash-habul- kahfi ini termasuk perkara yang menakjubkan. Justru, kisah ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan.

Akan tetapi, sekali lagi maksud peniadaan ini ialah, bahwa peristiwa semacam itu sangat banyak. Jika kekaguman tersebut hanya terpaku dengan kisah ini saja, maka itu berarti mencerminkan kedangkalan ilmu dan akal. Karena seorang mukmin, semestinya merenungi seluruh tanda-tanda kekuasaan-Nya, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak para hamba-Nya agar memikirkannya. Karena, memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’alamerupakan kunci keimanan, jalan menuju ilmu dan keyakinan.[3]

Ibnu Katsir rahimahullah juga menuturkan pengertian yang tidak berbeda, yaitu: "Peristiwa yang terjadi terhadap diri mereka tersebut bukan sesuatu yang menakjubkan dalam kemampuan dan kekuasaan Kami. Sesungguhnya penciptaan langit, bumi, pergantian malam dan siang, pengendalian matahari, bulan, bintang-bintang dan lain sebagainya, (semua itu) termasuk tanda kebesaran (Allah) yang agung, yakni menandakan kekuasaan Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya, Ia Mahakuasa atas segala yang Ia kehendaki. Tidak ada suatu kejadian yang lebih mengagumkan dari kejadian-kejadian para penghuni gua yang dapat melemahkan (kekuasaan)-Nya”. Ungkapan ini, ialah sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Juraij dan Mujahid.[4]

Arti Al-Kahfi, yaitu sebuah gua di gunung, dan menjadi tempat pelarian para pemuda tersebut. Sedangkan Ar-Raqim, pengertiannya diperdebatkan oleh para ulama. Adapun pendapat yang menjadi pilihan Al-Imam Ath-Thabari, yang juga diikuti oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, Ar-Raqim adalah kitab yang berisi tulisan. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menambah dengan keterangan, yaitu sebuah kitab, yang di dalamnya telah tertulis nama-nama dan kisah-kisah mereka, dari awal sampai akhir.[5]

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". [al-Kahfi/18 : 10].

Al-Fityah jamak dari kata al fata, yaitu pemuda yang berada dalam puncak kekuatan dan ambisi.

Allah Ta’ala mengabarkan, mereka ialah para pemuda yang lari untuk menyelamatkan keyakinan dari kaum mereka yang sudah terjerat oleh kesyirikan dan pengingkaran terhadap hari Kebangkitan, supaya fitnah itu tidak menimpa mereka. Maka, mereka pun mengungsi ke sebuah gua yang berada di gunung, dengan maksud untuk menyembunyikan diri dari kaum mereka.[6]

Ketika memasuki gua tersebut, mereka berdoa kepada Allah memohon rahmat dan belas-kasih-Nya.

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً, memiliki arti, berilah kami rahmat dari sisi-Mu, agar Engkau mengasihi dan menjaga kami dari (fitnah yang menimpa) kaum kami.

وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا, maksudnya, tetapkanlah bagi kami hidayah. Yakni, jadikan kesudahan kami bermuara pada hidayah yang lurus.[7]

Dikatakan oleh Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah, bahwa permohonan mereka tersebut merupakan doa yang agung dan mencakup seluruh kebaikan.

Dari doa para pemuda itu, terdapat satu sisi yang ditekankan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah, yakni, mereka telah menggabungkan antara lari dari fitnah dengan menuju ke suatu tempat yang bisa menjadi persembunyian dengan ketundukan dan permintaan kepada Allah agar dimudahkan urusan-urusannya, dan tidak menyandarkan urusan-urusan kepada diri mereka sendiri dan kepada sesama makhluk lainnya.[8]

فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu) [al-Kahfi/18 : 11-12].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak agar mereka tertidur ketika memasuki goa tersebut. Mereka pun tidur di dalamnya selama bertahun-tahun. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka dari kelelapan. Selanjutnya, salah seorang dari mereka mengambil beberapa uang dirham untuk membeli makanan untuk mereka, yang nanti akan dijelaskan secara lebih terperinci.

Terbangunnya para pemuda tersebut dari tidur, diistilahkan dengan al ba’tsu (kebangkitan), karena seperti kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka untuk mengetahui siapakah yang lebih benar perhitungannya tentang masa tinggal mereka (di dalam goa). Sebab para pemuda itu telah berselisih pendapat mengenai lamanya mereka tinggal di dalam goa.[9]

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. [al-Kahfi/18 : 13]

Inilah kisah mereka. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada Nabi Muhammad n dengan benar sesuai kenyataan yang terjadi, tidak ada keraguan padanya, dan tidak pula terdapat kerancuan sedikit pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, mereka adalah sekumpulan pemuda yang menerima kebenaran dan lebih lurus jalannya daripada generasi tua dari kalangan mereka, yang justru menentang dan bergelimang dengan agama yang batil.

Pemuda-pemuda tersebut hanya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak seperti kaum mereka. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyukuri keimanan mereka, dan kemudian menambahkan hidayah atas diri mereka. Maksudnya, disebabkan hidayah kepada keimanan, maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka, yakni berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

dan Allah akan menambahi petunjuk kepada mereka yang telah mendapatkan petunjuk. [Maryam/19:76].[10]

Sebuah kesimpulan menarik dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, yaitu bertolak dari penegasan bahwa mereka merupakan sekumpulan pemuda, maka kata beliau rahimahullah : “Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menyambut dakwah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berasal dari kalangan para pemuda. Sedangkan para orang tua dari kaum Quraisy, kebanyakan masih memegangi agama mereka, tidak memeluk Islam kecuali sedikit saja. Demikianlah Allah mengabarkan, bahwa mereka itu adalah para pemuda”.[11]

Ayat ini termasuk yang dijadikan dalil oleh banyak ulama, seperti Al-Bukhari rahimahullah, untuk menunjukkan sebuah hakikat, yakni pertambahan dan tingkatan keimanan berbeda-beda, dan iman itu naik dan turun. [12]

وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: "Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". [al-Kahfi/18 : 14].

Tentang maksud ayat ini, Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah menyatakan: "Dan Kami (Allah) mengilhamkan kesabaran kepada mereka dan mengokohkan hati mereka dengan cahaya keimanan, hingga jiwa mereka berlepasa diri dari sebelumnya, yaitu kebiasaan hidup yang menyenangkan.[13]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkaruniakan atas mereka keteguhan dan kekuatan untuk bersabar, sehingga mereka berani memaklumatkan di hadapan orang-orang kafir: “"Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran “.[14]

Kemantapan dan keteguhan hati bagi mereka sangat dibutuhkan. Karena, seluruh penduduk memusuhi mereka, sedangkan usia mereka pada waktu itu masih muda, yang bisa saja dipengaruhi oleh orang tua. Akan tetapi Allah telah meneguhkan hati mereka. Demikian menurut tinjauan Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah [15].

Pengertian (إِذًا) pada ayat di atas, yaitu seandainya kami memohon kepada sesembahan selain Allah, niscaya perkataan kami telah menyimpang, dan kami terjermus ke dalam kekufuran. Mereka benar. Seandainya mereka berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti mereka telah mengucapkan dengan perkataan yang salah dan menjerumuskan kepada kekufuran. [16]

Dalam pernyataan itu, para pemuda tersebut telah memadukan antara ikrar terhadap tauhid rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah dan konsisten dengannya, disertai dengan penjelasan bahwa Allah-lah Dzat yang Haq, dan selain-Nya merupakan kebatilan. Ini menunjukkan, mereka benar-benar mengenal Rabb dan adanya tambahan hidayah pada mereka.[17]

هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah. [al-Kahfi/18 :15].

Para pemuda itu ingin menunjukkan argumentasi, mengapa mereka mengasingkan diri dari kaumnya. Kata mereka: "Orang-orang menjadikan sesembahan selain Allah, menyembah selain Allah. (Mengapa) mereka tidak membuktikan bahwa sesembahan itu benar, dan menunjukkan faktor yang menjadi penyebab mereka menyembahnya?"

Jadi, ada dua tuntutan pada kaum mereka. Yaitu: (1) meminta pembuktian bahwa sesembahan mereka adalah ilah (sesembahan yang haq), (2) meminta pembuktikan, bahwa ibadah yang mereka lakukan adalah benar. Dan dua hal ini, mustahil dapat dibuktikan oleh orang-orang tersebut.

Selanjutnya, kata مَنْ (man) dalam bentuk tanya pada ayat di atas bermakna naif (peniadaan). Maksudnya, tidak ada orang yang lebih aniaya dibandingkan orang yang memalsukan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, memuat unsur lain, yaitu berupa tantangan. Jadi, seolah-olah Anda menyatakan, beritahukan kepadaku, atau carikan bagiku orang yang lebih aniaya dari orang yang berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Siapakah orang yang paling aniaya dari orang yang berdusta atas nama Allah dengan menisbatkan sekutu bagi Allah dan lain sebagainya? Maka setiap orang yang berdusta atas nama Allah, maka tidak ada seorang pun yang melebihi kezhalimannya. Jika Anda berdusta atas nama seseorang, ini adalah kezhaliman. Bila Anda melakukan kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya, maka tentunya lebih berat tingkat kezhalimannya dari orang pertama. Bagaimana pula jika kedustaan ini Anda palsukan atas nama Allah? Niscaya tingkat kezhalimannya semakin tinggi.[18]

Dalam kondisi demikian, jika muncul fitnah yang mengancam agama seseorang, maka disyariatkan bagi seseorang untuk menyingkirkan diri dari khalayak demi keselamatan agamanya.[19] Itulah yang dilakukan oleh para pemuda tadi, sebagaimana disebutkan pada ayat berikut ini.

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. [16].

Sebagian pemuda berkata kepada yang lain: "Jika kalian berhasil mengasingkan diri dari kaum kalian dengan jasad-jasad dan agama, maka tidak tersisa (sikap) kecuali menyelamatkan diri dari keburukan mereka dan menempuh langkah-langkah yang dapat mewujudkannya. Lantaran para pemuda tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memerangi kaumnya, dan tidak mungkin pula mereka tinggal bersama di tengah kaumnya dengan keyakinan yang berbeda".[20] Sehingga cara yang mereka tempuh ialah berlindung di dalam goa[21] dengan harapan dapat mereguk rahmat dan kemudahan dari Allah.

Tidaklah disangkal, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alatelah mencurahkan sebagian rahmat-Nya dan memudahkan urusan mereka dengan petunjuk yang lurus dalam urusan mereka. Karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga agama dan fisik mereka, serta menjadikannya termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya di hadapan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebarluaskan citra yang baik bagi mereka yang termasuk curahan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan segala faktor pendukung bagi mereka. Bahkan tempat untuk tidur mereka, berada dalam pemeliharaan yang tinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. [al-Kahfi/18 :17]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka dari sengatan matahari, menyediakan sebuah gua. Dan apabila matahari terbit, posisinya menyerong ke arah kanan gua. Adapun ketika terbenam, pancaran sinar matahari menerpa sebelah kiri gua. Sehingga, sengatan panas matahari tidak menimpa mereka secara langsung, yang bisa menimbulkan kerusakan bagi tubuh-tubuh mereka.[23] Ini menunjukkan, pintu goa menghadap ke utara. Bila pintu goa menghadap ke arah timur, maka tidak akan ada sinar yang masuk saat matahari terbenam. Jika menghadap arah selatan, maka tidak ada pancaran sinar pada pagi dan sore hari. Jika menghadap arah barat, sudah tentu sinar tidak memasuki goa saat terbit matahari. [24]

Mereka berada dalam tempat yang luas dari goa itu. Keadaan demikian, supaya hawa dan arus udara mengenai mereka, dan kandungan udara yang buruk dapat keluar. [25]

Peristiwa tersebut termasuk tanda kebesaran Allah. Para pemuda tersebut mendapat bimbingan Allah untuk menuju goa tersebut, dan Allah menjadikan mereka tetap hidup, sinar matahari dan angin mengenai mereka, sehingga fisik mereka tetap terjaga. [26]

Melalui ayat ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah mengambil isthimbath, terdapat bukti kalau mataharilah yang bergerak. Disebabkan gerakan itu, matahari terbit dan terbenam. Berbeda dengan yang diyakini orang-orang sekarang bahwa yang bergerak adalah bumi, sementara matahari hanya diam. Kita mempunyai sebagian (ayat dari) Kalamullah yang harus kita tetapkan apa adanya, dan tidak meninggalkan makna yang eksplisit ini kecuali dengan dalil yang jelas. Bila terjadinya malam dan siang terbukti dengan fakta yang akurat karena peredaran bumi, maka di saat itu, kita mesti mentakwilkan ayat-ayat tersebut menuju makna yang sesuai dengan realita. [27]

Di akhir ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan bahwa Dia-lah yang memberi petunjuk kepada para pemuda itu menuju hidayah di tengah kaum mereka. Siapa saja yang dianugerahi hidayah, sungguh ia telah meraih petunjuk. Dan barang siapa disesatkan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup meluruskannya. [28]

Dalam kisah yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ini tersirat sebuah peringatan, bahwa kita tidak boleh meminta hidayah kecuali hanya kepada Allah. Begitu pula kita tidak perlu bimbang saat melihat ada orang yang tersesat. Karena kesesatan seseorang itu berada di tangan Allah. Kita mengimani takdir, tidak murka lantaran melihat kesesatan yang terjadi dari Allah. Kewajiban kita, mengarahkan mereka yang telah sesat.[29]

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. [al-Kahfi/18:18].

Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dengan mengutip keterangan para ulama tafsir, beliau mengatakan: "Hal itu karena mata mereka tetap terbuka supaya tidak rusak, sehingga orang yang melihat, menyangka mereka terjaga padahal sedang tidur. Ini juga merupakan pemeliharaan Allah terhadap tubuh-tubuh mereka. Karena umumnya gesekan bumi mampu menggerogoti tubuh yang bersentuhan dengannya. Di antara ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia membolak-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri,[30] sehingga tidak menyebabkan bumi merusak tubuh mereka, meskipun Allah Maha Kuasa menjaga tubuh mereka tanpa perlu membolak-balikannya. Akan tetapi, Allah Maha Bijaksana. Dia ingin memberlakukan sunnah-Nya di alam semesta dan mengaitkan faktor-faktor sebab dan akibat.

Anjing yang menyertai ashhabul kahfi, pun tertidur seperti mereka pada waktu berjaga-jaga. Anjing tersebut mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.

Adapun penjagaan mereka dari kalangan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa mereka dijaga dengan perasaan takut yang Allah tebarkan. Seandainya ada orang melihat mereka, niscaya hatinya akan sarat dengan rasa takut dan lari tunggang langgang. Inilah faktor yang menyebabkan mereka bisa tinggal lama, dan tidak ada seorang pun yang berhasil melacak mereka, padahal keberadaannya dari kota tersebut sangat dekat sekali. Dalil yang menunjukkan dekatnya tempat mereka, yaitu tatkala mereka terbangun, dan salah seorang mengutus temannya agar membeli makanan di kota, sedangkan yang lain menunggu kedatangannya. Ini menunjukkan betapa dekat goa yang mereka tempati dari kota.[31]

Wallahu a'lam.


Maraji`:
1. Al-Jâmi' li Ahkamil-Qur`ân, Abu 'Abdillâh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqîq: 'Abdur-Razzaq Al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
2. Tafsîr Ath-Thabari (Jami'ul-Bayani fi Ta`wîli Ayil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari (224-310 H), Dar Ibni Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M.
3. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, Tahqîq: Dr. As-Sayyid bin Muhammad As-Sayyid dkk., Daarul Hadiits, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425 – 2005 (5/146).
4. Tafsîr Sûratil-Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan I, Tahun 1423 H.
5. Taisirul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalamil-Mannan, 'Abdur-Râhman bin Nashîr As-Sa’di, Tahqîq: 'Abdur-Rahmân bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Dâr As-Salâm, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
6. Zâdul-Masir fî 'Ilmit-Tafsîr, Abul-Faraj 'Abdur-Rahmân bin 'Ali bin Muhammad Al-Jauzi (Ibnul- Jauzi), Al-Maktabul-Islami, Cetakan III, Tahun 1404 H 1984 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




PESAN MORAL DARI KISAH ASHABUL-KAHFI

Oleh
Ustadz Muhammad 'Ashim bin Musthofa



وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. [al-Kahfi/18:19].

Allah Azza wa Jalla mengabarkan pada ayat yang mulia ini, bahwa Dia membangunkan ash-habul kahfi dari tidur panjang mereka, dalam keadaan fisik, rambut dan kulit yang sehat seperti kondisi semula, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Tujuannya, supaya saling bertanya di antara mereka mengenai berapa lama mereka tidur. Sebagian menjawab, seharian penuh atau beberapa saat saja. Sebagian lain menyerahkan pengetahuan tentang waktu tersebut kepada Allah Azza wa Jalla.[1]

Lebih spesifik lagi Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan tujuan mereka dibangunkan ialah agar mereka mengetahui betapa agung kekuasaan Allah, keajaiban perbuatan-Nya atas makhluk ciptaan-Nya, pembelaan-Nya terhadap para wali-Nya, dan supaya mereka semakin mengetahui secara jelas kondisi mereka, yakni keberdaan mereka yang benar-benar berlepas diri dari peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata.[2]

Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menjelaskan masa yang mereka pertanyakan. Akan tetapi, di ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan masa tidur mereka selama 300 tahun berdasarkan peredaran matahari, atau 309 tahun berdasarkan peredaran bulan.

Selanjutnya mereka mengalihkan tema pembicaraan pada obyek yang lebih penting. Yaitu, kebutuhan terhadap makanan dan minuman. Maka diutuslah seseorang di antara mereka untuk pergi ke kota yang mereka tinggalkan dengan membawa uang perak yang pada waktu pergi dahulu dibawanya dari rumah[3].

Berkaitan dengan makna azka tha'aman, terdapat dua keterangan dari ulama.

Imam ath-Thabari rahimahullah, Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah merajihkan bahwa pengertian azka tha'aman adalah makanan halal, tidak mengandung barang haram atau syubhat. Karena inilah perintah dari Allah kepada para rasul dan kaum Mukminin. Sehingga, pilihan yang cocok dengan kondisi para pemuda pilihan lagi bertakwa itu dalam masalah makanan, yakni makanan halal dan yang bersih, baik makanan itu sedikit maupun banyak, sehingga tidak bermakna makanan dengan jumlah yang banyak, seperti dipegangi oleh sebagian orang.[4]

Sedangkan Syaikh as-Sa'di rahimahullah, beliau lebih condong memaknaninya dengan makanan yang paling bagus. Maksudnya, makanan terbaik dan paling lezat. Barangkali pendapatn inilah yang banyak dijadikan sandaran oleh kebanyakan ahli tafsir yang mengatakan bahwa mereka itu merupakan anak-anak raja. Karena itu, ia memerintahkan agar membeli makanan yang paling bagus yang menjadi kebiasaan santapan orang-orang kaya.[5]

Mereka juga berpesan agar ia berperilaku ramah ketika dalam perjalanan ke kota, saat membeli dan dalam perjalanan pulangnya. Begitu pula, mereka diperintahkan supaya menutup diri dalam urusannya, dan tidak menceritakan keadaan teman-temannya, jangan sampai membocorkannya kepada seorang pun.[6]

إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. [al-Kahfi/18:20]

Mereka menyebutkan mengapa pesan itu disampaikan. Alasannya, bila keberadaan mereka diketahui dan kemudian tertangkap, dikhawatirkan mereka akan menghadapi satu dari dua pilihan sulit. Dirajam dengan lemparan batu. Atau manusia akan menguji keteguhan dalam beragama dan memurtadkan mereka untuk kembali memeluk ajaran penduduk setempat, yaitu agama kekufuran. Apabila mereka (para pemuda itu) menyepakati keinginan pemerintah masa itu untuk kembali memeluk kepercayaan sebelumya, maka tidak ada keberuntungan sedikit pun bagi mereka baik di dunia maupun akhirat.[7]

Ancaman semacam itu, yaitu melancarkan gangguan dan siksaan, atau memaksa untuk murtad, sudah menjadi kebiasaan kaum kuffar terhadap kaum Muslimin. Allah juga telah menyebutkannya di ayat-ayat lain. Seperti firman-Nya :

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا ۖ فَأَوْحَىٰ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ

Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka:"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami". Maka Rabb mewahyukan kepada mereka :"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim itu, [Ibrahim/14:13] [8]

Dua ayat di atas menunjukan beberapa pelajaran penting, yaitu:
• Anjuran supaya berilmu dan mendiskusikannya,
• Etika bagi orang yang belum jelas baginya ilmu supaya menyerahkannya kepada orang yang berilmu, dan dia berdiam diri sesuai dengan kadar kemampuannya,
• Sahnya mewakilkan dalam urusan jual-beli, dan sahnya berpatungan dalam jual-beli,
• Bolehnya memakan makanan yang baik-baik dan makanan-makanan yang lezat, asalkan tidak mengandung pemborosan,
• Anjuran agar berhati-hati dan bersembunyi, serta menjauhi tempat-tempat fitnah yang mengancam agama, dan menyimpan rahasia seseorang dan saudara-saudaranya seiman,
• Besarnya kecintaan mereka terhadap agama, larinya mereka dari dari segala fitnah yang mengancam agamanya, serta meninggalkan kampung halaman karena Allah,
• Penyebutan adanya keburukan, yaitu berupa bahaya-bahaya dan kerusakan-kerusakan yang mendorong untuk menunjukkan kebencian terhadapnya dan meninggalkannya. Cara semacam ini adalah konsep kaum Mukminin terdahulu dan sekarang.

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka". Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". [al-Kahfi/18:21].

Syaikh Abdur-Rahman as-Sa'di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kalau berkehendak memperlihatkan keadaan ashhabul-kahfi kepada khalayak di masa itu. Kejadian itu –wallahu a’lam- setelah mereka terjaga, dan kemudian mengutus salah seorang di antara mereka untuk membeli makanan. Mereka memerintahkan temannya agar menyamar dan merahasiakan (perkara mereka). Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak terhadap satu kejadian yang berisi kemaslahatan bagi orang-orang dan tambahan pahala bagi para pemuda itu. Yaitu, ketika orang-orang menyaksikan salah satu tanda kebesaran- Allah pada mereka (ash-habul-kahfi) dengan mata mereka sendiri. Sehingga mereka pun menyadari bahwasanya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ada, tidak ada keraguan padanya, juga tidak ada lagi kemustahilan setelah dahulu berselisih tentang urusan para pemuda itu. Sebagian mengakui datangnya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Pembalasan. Sebagian lain meniadakannya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kisah ash-habul-kahfi sebagai tambahan ilmu dan keyakinan bagi kaum Mukminin dan hujjah (penggugat) bagi orang-orang yang menentang. Jadilah pahala dalam perkara ini untuk mereka.[9]

Selanjutnya, orang-orang yang berkuasa memiliki kehendak untuk mendirikan bangunan di atas makam mereka. Kata Abul-Faraj Ibnul-Jauzi rahimahullah, kalangan ulama tafsir mengatakan, yang dimaksud orang-orang yang memegang kendali urusan para pemuda itu, ialah raja dan bawahan-bawahannya dari kalangan kaum mukminin.[10] Mereka ini berniat untuk membangun tempat peribadahan di tempat makam para pemuda itu. Bangunan tersebut difungsikan untuk beribadah kepada Allah Ta'ala di dalamnya dan mengingat-ingat para pemuda tersebut serta peristiwa yang terjadi pada mereka. Jadi, bukan dari kalangan kaum kuffar, seperti diungkapkan sebagian orang. Karena membangun masjid termasuk sifat kaum mukminin.[11]

Namun perlu diperhatikan bahwa perbuatan tersebut tidak lantas bisa dijadikan landasan untuk melegalkan pembangunan masjid di (sekitar) kuburan, seperti yang terjadi di sebagian negeri kaum Muslimin. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan mencela para pelakunya. Jadi, membangun masjid di atas kuburan tetap saja tercela. Karena seperti yang dipaparkan Syaikh as-Sa'di rahimahullah, bahwa konteks pembicaraan ayat ini tentang ash-habul-kahfi dan pujian untuk mereka. Yakni pengagungan kepada ash-habul-kahfi, dan pengangunggan itu sehingga meninggi sampai orang-orang mengatakan "dirikanlah sebuah rumah peribadatan di atasnya". [12]

Persoalan membangun tempat ibadah di pekuburan, termasuk kuburan para nabi adalah terlarang dalam Islam. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan pengagungan terhadap penghuni kubur, namun lebih dikarenakan bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata: "Para ulama kami berkata,'Diharamkan atas kaum Muslimin menjadikan kubur para nabi dan ulama sebagai masjid'."

Para imam hadits meriwayatkan dari Abi Martsad al-Ghanawi, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا

Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya. [Ini lafazh Imam Muslim].

Maksudnya, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai kiblat, sehingga kalian menunaikan shalat di atasnya atau menghadapnya, seperti apa yang diperbuat oleh Yahudi dan Nashara. Akibatnya, perbuatan itu menyeret mereka pada penyembahan terhadap penghuni kubur, sehingga dahulu, tindakan itu telah menjadi penyebab penyembahan terhadap patung-patung. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dari perbuatan semacam itu dan menutup jalan yang dapat menyeret ke sana…[13]

Pelajaran dari ayat ini, bahwasanya orang yang menyelamatkan agamanya dari fitnah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , niscaya Allah akan melindunginya dan menjadikannya sebagai sumber hidayah bagi orang lain. Barang siapa menuai kehinaan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dalam mencari keridhaan-Nya, niscaya kesudahan bagi urusannya adalah kemuliaaan yang agung dari arah yang tidak dia sangka. Dan apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang patuh.

سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya", sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja, dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. [al-Kahfi/18:22].

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan perselisihan manusia mengenai jumlah ash-habul-kahfi. Siapakah mereka yang berselisih dalam masalah ini? Jawabnya, berdasarkan pandangan Syaikh as-Sa'di rahimahullah, mereka adalah Ahli Kitab.[14] Perselisihan bertolak dari dugaan mereka terhadap perkara ghaib dan pernyataan mereka yang mengada-adakan peristiwa yang tidak mereka ketahui.

Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menceritakan tiga pendapat, tidak ada pendapat lain. [15] Sebagian mereka mengatakan, 'jumlah mereka adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya'. Sebagian lain mengatakan, 'jumlah mereka adalah lima yang keenam adalah anjingnya'. Dua pendapat ini, Allah menilainya sebagai dugaan belaka dari mereka tentang perkara ghaib, yang berarti batil. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan pendapat ketiga, 'jumlah mereka tujuh orang yang kedelapan adalah anjingnya', dan kemudian mendiamkannya. Ini menunjukkan, bahwasanya perkataan terakhir tersebut –wallahu a'lam- merupakan pendapat yang benar. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menggugurkan dua pendapat pertama dan tidak mempermasalahkan perkataan berikutnya. Yang berarti menunjukkan kebenarannya dan yang sesuai dengan fakta sejarah.[16]

Imam Ibnu Jarir rahimahullah membawakan riwayat yang dinilai Ibnu Katsir rahimahullah sebagai isnad yang shahih, bahwa jumlah pemuda itu ialah tujuh orang, sama dengan penjelasan sebelumnya, bersesuaian dengan ayat. [17]

Perselisihan ini termasuk perbedaan pendapat yang tidak mengandung manfaat apapun. Begitu pula dengan pengetahuan jumlah mereka, tidak menghasilkan kemaslahatan bagi manusia, baik secara agama ataupun dunia.[18] Begitu pula dengan nama-nama para pemuda itu dan anjing yang menyertainya; masih dipertanyakan keabsahannya, lantaran kebanyakan berasal dari Ahli Kitab. Dan lagi, tidak ada faidah yang secara signifikan bisa diharapkan muncul dari pengetahuan tentang hal itu.[19]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Katakanlah: Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka, tidak ada orang yang mengetahui bilangan mereka kecuali sedikit". Dan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Aku termasuk dari yang sedikit itu". Mereka itulah orang-orang yang selaras dengan kebenaran dan mengetahui kebenaran pendapatnya. Allah melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdebat dan beradu argumenentasi dengan Ahli Kitab tentang mereka, kecuali pertengkaran lahir saja, yang berdasarkan ilmu dan keyakinan, dan juga mengandung faedah.

Adapun pertengkaran yang dilandasi kebodohan dan dugaan terhadap hal yang ghaib, atau yang tidak ada faedahnya, maka permasalahan itu tidak penting dan tidak menghasilan manfaat, baik dari sisi agama, maupun dengan mengetahuinya, seperti: pengetahuan tentang jumlah para penghuni gua dan perkara serupa lainnya. Dan sesungguhnya telah banyak diskusi dan pembahasan yang berlarut-larut tentang polemik itu yang hanya menyia-nyiakan waktu dan menggerogoti kecintaan hati kepada orang lain tanpa manfaat.[20]

Peringatan selanjutnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Muhammad n , agar beliau tidak bertanya-tanya kepada mereka mengenai ash-habul-kahfi. Karena landasan perkataan Ahli Kitab tentang para penghuni gua hanya rekaan dan prasangka belaka, tidak berdasarkan perkataan yang ma'shum, sehingga sedikit pun tidak berpengaruh terhadap kebenaran. Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membawa kebenaran kepadamu yang tidak ada keraguan dan kesangsian pun. Maka, itulah yang diutamakan untuk menjadi penengah atas kitab-kitab dan pernyataan-pernyataan yang ada sebelumnya. [21]

Petikan pelajaran dari ayat ini, yaitu adanya larangan meminta fatwa kepada seseorang yang tidak berkompeten untuk berfatwa, baik lantaran dangkalnya ilmu yang dimiliki dalam perkara yang ditanyakan, atau karena dia tidak peduli dengan apa yang telah ia ucapkan, tidak memiliki sifat wara' yang mengekangnya. Jika dilarang meminta fatwa kepada orang seperti ini, maka larangan terhadap dirinya untuk memberikan fatwa, tentu lebih ditekankan lagi. Dan bahwasanya ada seseorang yang tidak boleh dimintai fatwa dalam perkara tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan ia ditanya dengan permasalahan lain yang ia kuasai.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa, dan katakanlah: "Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini". [al-Kahfi/18:23-24].

Ayat ini merupakan sebuah petunjuk dari Allah kepada Rasul-Nya. Yakni, larangan kepada beliau, yang tentunya juga berlaku kepada semua kalangan mukallaf, jika hendak menyelesaikan urusan yang akan dating agar mengucapkan "sesungguhnya aku akan mengerjakan," tanpa mengaitkan dengan masyi`ah (kehendak) Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebagian ulama bahkan menilainya sebagai teguran terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar tidak terulang di kemudian hari. Demikian itu, karena sikap tersebut memuat sebuah larangan. Yaitu berbicara tentang perkara ghaib, sesuatu yang akan datang, tanpa mengetahui apakah dia akan mengerjakannya ataukah tidak? Apakah terjadi atau tidak? Selain itu, ini mencerminkan sikap percaya kepada diri sendiri secara berlebihan. Tindakan ini tentu saja dilarang, karena semua kehendak tergantung dari kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala , "dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam" -at Takwir/81-29/ : -, maka semua urusan harus dikembalikan kepada masyi'ah Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib. [22]

Sebab turunnya ayat ini, kaum Yahudi berkata kepada kaum Quraisy: "Tanyakanlah kepada Muhammad tentang ruh, laki-laki yang melanglang buana (yakni Dzul Qarnain), dan mengenai para pemuda yang mempunyai cerita menakjubkan pada masa lalu (yakni ash-habul-kahfi).

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Aku akan mengabarkan kepada kalian besok pagi, mengenai yang kalian tanyakan". Dan saat menjanjikan ini, beliau n tidak mengucapkan "Insya Allah," dan ternyata wahyu datang tersendat untuk beberapa saat. Keterlambatan ini membuat beliau sedih. Kemudian Allah menurunkan jawaban tiga persoalan itu. Tentang ruh di surat al Isra`. Lihat Adhwaul-Bayan (4/84-85).

Jadi, pengertian ayat tersebut, ialah jangan sekali-kali berkata untuk sesuatu, yang engkau berniat untuk mengerjakan nantinya "sesungguhnya aku akan mengerjakannya nanti". kecuali menyertainya dengan mengucapkan "kecuali Allah menghendaki yang lain" atau dengan ungkapan "jika Allah menghendakinya (insya Allah)".[23] Kalimat ini dapat membantu memudahkan urusan, tercapainya berkah, serta sebagai permohonan seorang hamba dalam meminta bantuan kepada Rabbnya.[24]

Lantaran seorang hamba adalah manusia biasa, yang pasti memiliki sifat lupa untuk mengingat kehendak Allah, maka Dia memerintahkan supaya menyampaikan pengecualian, yaitu bila ingat agar terwujud apa yang diinginkan dan bahaya dapat menyingkir darinya.

Dari keumuman perintah untuk mengingat Allah ketika lupa, dapat dipetik pelajaran adanya perintah untuk mengingat-Nya ketika mengalami lupa, karena dapat menghindarkannya dari kelupaan, kemudian mengingatkan kembali apa yang terlupakan. Lupa itu sendiri bersumber dari setan, dan sebaliknya, dzikrullah dapat menghalau setan. Bila setan pergi, maka lupa pun hilang. begitu juga bagi orang yang alpa lagi lupa (mengingat Allah), ia diperintahkan supaya menyebut nama Rabbnya agar tidak menjadi orang yang benar-benar lalai. [25]

Di akhir ayat surat al-Kahfi ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang hamba yang berkeinginan memperoleh kebenaran dan terjauh dari kesalahan, agar ia berdoa dan mengharap kepada-Nya, serta percaya kepada Allah, bahwa Dia akan menunjukkan kepadanya jalan paling mudah yang akan mengantarkan kepada kebenaran. Allah memerintahkan supaya hamba itu mengucapkan "mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini."

Demikianlah seharusnya keadaan seorang hamba. Dia harus selalu mencurahkan segenap kemampuan dan mengerahkan kesanggupannya dalam mencari petunjuk dan kebenaran, supaya dia mendapatkan taufik untuk tujuan itu, sampai datang pertolongan dari Rabbnya bagi dirinya dan meluruskan seluruh urusannya. [26]

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). Katakanlah :"Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". [al-Kahfi/18 :25-26]

Inilah pengetahuan yang diberikan Allah tentang masa tinggal pemuda ash-habul-kahfi di dalam goa, dan bukan pernyataan Ahli Kitab.[27] Dan hal ini disampaikan setelah Allah melarang Rasul-Nya bertanya kepada Ahli Kitab tentang ash-habul-kahfi, karena mereka tidak memiliki ilmu. Karena pengetahuan tentang hal itu hanya milik Allah, termasuk hal yang tersembunyi di langit dan di bumi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yang Mahamengetahui yang ghaib maupun yang nyata, dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu. Apa yang diberitakan oleh Allah melalui lisan-lisan Rasul-Nya, maka hal itu merupakan kebenaran yang diyakini, dan tidak ada keraguan padanya. Sedangkan berita yang tidak Allah beritahukan kepada para rasul-Nya, maka tidak ada seorang pun dari makhluk yang dapat mengetahuinya. [28]

Kemudian Allah memberitahukan betapa sempurna pendengaran dan penglihatan-Nya, serta betapa sempurna jangkauan-Nya terhadap seluruh perkara yang didengar maupun obyek yang terlihat, usai mengabarkan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu yang diketahui.

Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menutup ayat ini dengan menyatakan, bahwa Dialah yang mempunyai hak penciptaan, hak menangani urusan, dan tidak ada yang mampu menghadang keputusan-Nya. Dia tidak mempunyai pembantu, penolong, sekutu maupun pemberi pengarahan. Maha Tinggi lagi Maha Suci Allah.[29]

Demikian penjelasan ringkas dari kisah ash-habul-kahfi melalui keterangan para ulama tafsir. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam.


Maraji`:
1. Al-Jâmi' li Ahkamil-Qur`ân, Abu 'Abdillâh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqîq: 'Abdur-Razzaq Al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
2. Tafsîr Ath-Thabari (Jami'ul-Bayani fi Ta`wîli Ayil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari (224-310 H), Dar Ibni Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M.
3. Tafsîrul-Qur`ânil-'Azhîm, Tahqîq: Dr. As-Sayyid bin Muhammad As-Sayyid dkk., Daarul Hadiits, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425 – 2005 (5/146).
4. Tafsîr Sûratil-Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan I, Tahun 1423 H.
5. Taisirul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalamil-Mannan, 'Abdur-Râhman bin Nashîr As-Sa’di, Tahqîq: 'Abdur-Rahmân bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Dâr As-Salâm, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
6. Zâdul-Masir fî 'Ilmit-Tafsîr, Abul-Faraj 'Abdur-Rahmân bin 'Ali bin Muhammad Al-Jauzi (Ibnul- Jauzi), Al-Maktabul-Islami, Cetakan III, Tahun 1404 H 1984 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




MEWASPADAI BUDAYA-BUDAYA JAHILIYAH

Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam untuk nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia. Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab memiliki berbagai budaya dan kebiasaan yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebudayaan itu ada yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Adapun tujuan kita mengenal persoalan ini, ialah agar kita tidak terjerumus ke dalam budaya-budaya jahiliyah tersebut.

Pada abad globalisasi ini betapa cepat pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (متفق عليه).

"Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti," maka para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?" (Jawab Rasulullah): "Siapa lagi?!" [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Jika kita melihat ke tengah masyarakat, tentu kita akan mendapatkan sebagian besar mereka sudah terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban umat-umat lain. Baik dengan sengaja menirunya dengan alasan model dan gaya, atau karena bodoh terhadap ajaran agama kita sendiri, tidak menyadari bahwa kebiasaan dan gaya tersebut merupakan perilaku umat jahiliyah dahulu.

Tentang budaya dan kebiasaan orang-orang jahiliyah ini, maka Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat, dan begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, agar umat ini terhindar dan tidak menyerupai kebiasaan mereka yang menyimpang dari kebenaran. Yaitu sebagaimana yang telah diturunkan Allah Azza wa Jalla kepada para nabi dan rasul-Nya. Baik yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak maupun hukum kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`ân supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. [al-An'âm/6:55].

Allah menjelaskan jalan orang-orang yang berdosa agar kita menghindari dan menjauhinya, agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa, sekaligus menjauhi jalan dan sebab-sebab yang menimbulkan dosa. Diantara jalan-jalan dosa adalah meniru budaya dan peradaban orang-orang jahiliyah serta jalan umat yang dilaknat dan disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena ketidaktahuan terhadap sebab-sebab kebatilan bisa membawa seseorang kepada kebatilan itu sendiri. Sebaliknya jika seseorang mengetahui jalan dan sebab kebinasaan, maka ia akan selalu mawas diri. Di samping itu ia akan memberitahukan kepada orang lain agar menghindari sebab-sebab dan jalan kebinasaan tersebut.

Hal inilah yang diungkapkan sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي (صحيح البخاري برقم (7084) ، وصحيح مسلم برقم (1847).

Adalah para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal yang baik-baik saja, namun saya bertanya kepada beliau tentang hal yang jelek, karena saya takut akan terjerumus ke dalamnya. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu menggambarkan kepada kita, di antara faktor penyebab yang menjerumuskan seseorang ke dalam kejelekan adalah tidak mengetahui perihal kejelekan itu sendiri. Hal ini ditegaskan lagi oleh khalifah yang kedua, yaitu 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu dalam ungkapannya:

إِنَّمَا تَنْقُضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي اْلإِسْلاَمِ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةِ

(sesungguhnya putusnya tali Islam itu sedikit demi sedikit apabila tumbuh dalam Islam orang yang tidak mengenal jahiliyah), karena bila seseorang yang tidak mengetahui kebatilan, ia tidak akan mengingkari kebatilan tersebut. Bila demikian halnya, tentu kebatilan itu hari demi hari akan semakin meluas, hingga kemudian diangap sebagai kebenaran. Pada akhirnya, bila ada yang mengingkari, maka ia akan dianggap mengingkari kebenaran. Sehingga terjadi penilaian yang amat keliru, yang batil dianggap benar, dan yang benar dianggap batil.

Gejala ini sudah mulai nampak dalam kehidupan kita. Ketika ada perhatian dari sebagian orang yang peduli untuk menanggulangi berbagai penyimpangan moral dalam masyarakat, kemudian datang kelompok lain dengan menamakan diri pembela hak asasi dan kebebasan. Seolah yang memiliki kebebasan dan hak asasi hanyalah orang yang melanggar. Adapun orang yang patuh, kemanakah hak asasi dan kebebasan mereka? Semestinya yang mendapatkan hukuman ialah orang yang menyimpang, tetapi justru malah memproleh pembelaan. Sebaliknya, orang yang berjalan di atas kebenaran dianggap tidak berwawasan, tidak toleransi, tidak bisa berbeda pendapat, fanatik, mau menang sendiri, dan seterusnya berbagai celaan diarahkan kepada mereka.

Segala perkara jahiliyah dikubur di bawah telapak kaki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam agar tidak menggali kembali perkara-perkara jahiliyah tersebut, apalagi melestarikannya.

Sebagaimana dinyatakan dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ كُلًّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوْعٌ (رواه مسلم)

Katahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur. [HR Muslim]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam 'Seluruh perkara-perkara jahiliyah berada di bawah telapak kakiku,' termasuk dalam hal tersebut, ialah segala hal yang mereka lakukan dalam berbagai ibadah dan budaya, seperti hari-hari besar mereka dan lain-lain dari kebiasaan mereka, ... tidak termasuk kedalam hal itu budaya mereka yang diakui dalam Islam,seperti manasik dan diyat orang yang terbunuh, dan lain-lain. Karena yang dipahami dari ungkapan budaya-budaya jahiliyah, ialah hal-hal yang tidak diakui oleh Islam, dan termasuk juga di dalamnya yaitu kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus"[1].

Dalam sabda yang lain beliau tegaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ (رواه مسلم)

"Diriwayat dari sahabat Ibnu Abbas z bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya)". [HR Muslim]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Setiap orang yang ingin melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah, ia termasuk dalam hadits ini. Sunnah jahiliyah ialah segala kebiasaan (adat-budaya) yang mereka lakukan. Karena sunnah ialah adat, yaitu kebiasaan yang berulang agar bisa melingkupi semua orang. Yaitu hal-hal yang mereka anggap ibadah ataupun yang tidak mereka anggap ibadah ... Barang siapa yang melakukan sesuatu dari adat-adat mereka, maka sesungguhnya ia telah menginginkan sunnah jahiliyah. Hadits ini umum mewajibkan diharamkannya mengikuti segala sesuatu dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dalam hal perayaan hari-hari besar, dan juga di luar perayaan hari-hari besar".[2]

Beliau rahimahullah mengungkapkan lagi pada kitab lainnya: "Sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam 'Yang mencari dalam Islam sunnah jahiliyah,' termasuk ke dalamnya, yaitu segala kejahiliyahan secara mutlak; agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, agama penyembah berhala, agama syirik, atau adopsi dari sebagian ajaran-ajaran agama-agama jahiliyah tersebut, maka seluruh bid'ah dan ajaran yang telah mansukh (dihapus), telah menjadi jahiliyyah dengan diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekalipun kalimat jahiliyah lebih dominan penggunaannya kepada orang-orang Arab, tetapi maknanya sama".[3]

Berikut kami sebutkan di antara bentuk-bentuk budaya jahiliyyah yang berhubungan dengan keyakinan.

Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ (أخرجه البخاري و مسلم)

Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: "Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial". [HR al-Bukhâri dan Muslim].

زَادَ مُسْلِمٌ : « وَلَا نَوْءَ وَلَا غُولَ » .

Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan: "Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu".

Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ada beberapa kebiasan orang jahiliyah sebagaimana penjelasan para ulama dalam mengomentari maksud hadits tersebut.

Pertama : al-'Adwâ.
Yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat berpindah kepada orang lain dengan sendirinya tanpa ada takdir dari Allah.

Di antara budaya keyakinan orang-orang jahiliyah, yaitu mempercayai bahwa penyakit dapat berpindah dengan sendirinya kepada orang lain, tanpa ada takdir dari Allah. Hal ini dapat mengurangi atau membatalkan kemurnian tauhid seseorang kepada Allah. Karena yang dapat menimpakan penyakit dan musibah hanya Allah semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [al-Hadid/57:22-23].

Namun bukan berarti kita tidak boleh menghindari sebab-sebab yang dapat mencelakan ataupun yang membahayakan. Karena dalam melakukan sebab-sebab itu kita tidak boleh meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat menyelamat kita. Jika Allah berkendak, bisa saja Allah berbuat sesuatu pada kita tanpa ada sebab. Sebagian ulama mengatakan, meninggalkan sebab adalah menyalahi akal sehat, dan bergantung kepada sebab adalah kesyirikan.
Sebagai contoh, untuk mendapatkan anak maka kita harus menikah. Namun tidak berarti setiap orang yang menikah pasti mendapatkan anak. Karena ada orang yang beristeri empat tidak mempunyai anak. Oleh sebab itu, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفَرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ (رواه البخاري)

Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah (sendiri), tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial, dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga. [HR al-Bukhâri].

Penggalan terakhir dari hadits "dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singa" telah dibuktikan oleh ilmu medis modern kebenarannya. Tetapi Islam telah jauh lebih maju sebelum ahli medis membuktikannya. Ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti kebenaran Islam dan keagungannya.

Dalam hadits di atas terdapat keterangan tentang hukum mengambil sebab keselamatan dari penyakit menular. Dalam sabda lain beliau katakan:

لَا يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ (رواه مسلم)

Jangan campurkan onta yang sakit ke dalam onta yang sehat. [HR Muslim].

Sebagian ulama berpendapat, dua konteks hadits di atas tidak saling bertentangan. Konteks pertama ditujukan pada orang yang kuat iman dan tawakalnya kepada Allah, terutama bila ada maslahah yang lebih besar, seperti petugas kesehatan dan regu penyelamat. Maka hendaklah ia memantapkan keimanan dan tawakalnya kepada Allah jika situasi mengharuskannya untuk berkorban. Konteks hadits kedua ialah bagi orang yang kurang iman dan tawakalnya kepada Allah. Wallahu a'lam.[4]

Kedua : ath-Thiyarah.
Yaitu menebak apa yang akan terjadi dengan perantara burung. Atau mengundi nasib berdasarkan gerak-gerik binatang, seperti burung dan lainnya. Adakalanya disebut at- tathoyyur, namun maksudnya sama.

Di antara budaya orang-orang jahiliyah, yaitu jika akan berpergian atau melakukan sesuatu; ketika keluar dari rumah, mereka terlebih dahulu memperhatikan binatang yang melintas di hadapan mereka. Binatang yang sering dijadikan pegangan ialah burung. Jika binatang itu melintas dari arah kiri ke kanan mereka, menurut mereka hal itu pertanda perjalanan dan rencananya akan sukses, maka mereka pun melanjutkan perjalanan dan rencananya. Dan jika binatang tersebut melintas sebaliknya, maka ini pertanda sial atau malapetaka akan merintangi mereka. Sehingga mereka pun tidak melanjutkan perjalanan dan rencananya.[5]

Hal ini jelas bertentangan dengan akal sehat, dan apalagi dengan aqidah Islam. Karena binatang tersebut bergerak tanpa pertimbangan akal, dan tidak pula ditugaskan Allah untuk memberitahukan hal-hal yang ghaib kepada manusia.

Melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan karena faktor gerak-gerik binatang sebagai ukuran baik dan buruk adalah perbuatan syirik. Karena telah menggantungkan harapan kepada selain Allah. Hal tersebut hanyalah prasangka yang dibisikan setan untuk menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Disebutkan dalam sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قاَلَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ رواه مسلم.

Dari Sahabat Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu berkata: Aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Ya Rasulullah, saya baru saja meninggalkan kejahiliyahan. Sesunguhnya Allah telah mendatangkan Islam, dan sebagian kami (pada masa jahiliyah) ada yang mendatangi tukang tenung (dukun)," beliau menjawab, "Engkau jangan mendatangi mereka". "Dan di antara kami ada yang mengundi nasib dengan burung," beliau menjawab, "Yang demikian adalah sesuatu yang terbayang dalam dada kalian, maka janganlah hal itu menghambat kalian (dari melakukan sesuatu)". [HR Muslim].

Dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain disebutkan:

من حديث ا بْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوْعًا : الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلَّا ... وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
بْنِ مَسْعُودٍ (رواه أبو داود والترمذي وصححه . وجعل آخره من قول ابن مسعود)

Dari Sahabat Ibnu Mas'ud secara marfu' (langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) : "Mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik, mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik (beliau mengulanginya dua kali), tiada di antara kita kecuali (pernah terlintas dalam ingatannya), tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakkal kepada Allah". [HR Abu Dâwud dan at-Tirmidzi; dan at-Tirmidzi menshahîhkannya, dan menganggap akhir hadits tersebut merupakan ungkapan dari Ibnu Mas'ûd Radhiyallahu anhu].

Dalam dua hadits ini disebutkan, perasaan pesimis yang timbul dengan mendasarkan pada gerak-gerik burung merupakan sikap keraguan belaka. Cara untuk menghilangkan perasaan tersebut, ialah dengan bertawakkal kepada Allah. Karena Allah tidak menjadikan gerak-gerik binatang atau burung sebagai dalil dan tanda-tanda untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi.

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih senang kepada sikap optimis dari sikap pesimis, sebagaimana sabda beliau:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ

Dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: "Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, dan aku lebih suka kepada sikap pesimis," para sahabat bertanya: "Apa sikap pesimis itu?" Beliau menjawab,"Yaitu kalimat yang baik". [HR al-Bukhâri dan Muslim].

وَلأَبِي دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، قال : ذُكِرَتْ الطِّيَرَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلَا تَرُدُّ مُسْلِمًا فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ

Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Sahabat 'Uqbah bin 'Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Seseorang menyebut di hadapan Rasulullah tentang mempercayai gerak-gerik burung, beliau pun menyanggah; yang terbaik ialah bersikap optimis, jangan sampai hal itu mengembalikan seorang muslim (dari tujuannya); jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia berkata: 'Ya Allah, tiada yang mampu mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang mampu menolak kejelekkan kecuali Engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Engkau'."

Dalam sabda lainnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, barang siapa yang melakukan ath-thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Dan sebagai kafarat, ialah membaca do'a yang beliau sebutkan dalam hadits ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عْنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ (رواه أحمد، وصححه الألباني في "إصلاح المساجد": 116)

Dari sahabat Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Barang siapa yang dikembalikan ath-thiyarah dari keperluannya, maka ia telah berbuat syirik". Para sahabat bertanya: "Apa kafarah untuk itu, ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Dia mengucapkan,'Ya Allah, tiada ketentuan nasib kecuali ketentuan Engkau. Dan tiada (yang dapat memberi) kebaikan kecuali Engkau. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau'." [HR Imam Ahmad, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Islâhul-Masajid, 116].

Ketiga : al-Hâmah.
Yaitu meyakini bahwa burung hantu merupakan jelmaan dari seseorang yang dibunuh, dan pembunuhan itu tidak dibalas dengan pembunuhan pula.

Di antara budaya kaum jahiliyah, yaitu sebuah keyakinan barang siapa yang mati terbunuh lalu tidak dibalas dengan pembunuhan juga, maka ia akan menjadi burung hantu yang senantiasa meminta tolong dan menundukkan wajahnya sampai dibalas atas pembunuhannya.[6]

Keyakinan ini mirip dengan reinkarnasi yang diyakini orang-orang Hindu. Yaitu bila seseorang mati dan memiliki amal yang baik, maka ruhnya akan berpindah pada tubuh baru yang lebih baik. Sebaliknya jika amalnya jelek, maka ruhnya akan berpindah ke tubuh binatang. Keyakinan ini tanpa adanya hari berbangkit dan berhisab, karena mereka tidak mempercayai adanya hari akhirat.[7]

Hal ini banyak pula diyakini oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam. Mereka tidak sadar bahwa anggapan ini bertentangan dengan aqidah Islam. Dalam agama Islam, seseorang yang sudah meninggal, ruhnya tidak akan pernah kembali lagi ke dunia, tetapi berada di alam barzah. Keyakinan sebagian orang adanya orang jadi-jadian, seperti jadi ular, babi, harimau, pocong dan seterusnya, ini merupakan keyakinan batil dan kufur.

Sebetulnya yang menyerupai mayat atau yang jadi-jadian tersebur adalah qorin orang tersebut. Qorin, artinya malikat atau jin yang senantiasa bersama manusia semasa ia hidup. Setiap manusia memiliki dua qorin, satu dari malaikat dan satu lagi dari jin. Semasa hidup di dunia, qorin dari malaikat senantiasa memotivasi manusia ke arah yang baik. Adapun qorin dari jin, ia senantiasa memotivasi ke arah yang buruk. Maka yang menyerupai si mayat atau kadangkala berbentuk binatang, ialah qorin dari jin tersebut. Ia dapat menyerupai si mayat dalam bentuk dan suara. Hal ini disebutkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ (رواه مسلم)

Dari Sahabat 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu , ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Tidak seorang pun di antara kalian kecuali bersamanya ada qorinnya dari Jin". Para sahabat bertanya:"Engkau juga, ya Rasulullah?" Jawab Rasulullah, "Termasuk saya, tetapi Allah telah menolong saya di atasnya, maka saya selamat. Sehingga ia tidak menyuruhku kecuali kepada yang baik". [HR Muslim].

Kata-kata فَأَسْلَمَ dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Ada yang berpendapat bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam selamat darinya berkat bantuan Allah, dan sebagian ulama memahami bahwa qorin tersebut masuk Islam. Wallahu a'lam.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa qorin itu dua, satu dari jin dan satu lagi malaikat.

وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ مِنَ الْجِنِّ وَقَرِيْنُهُ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ (رواه مسلم)

Dan sesungguhnya bersamanya ada qorrin dari jin dan qorin dari malaikat. [HR Muslim].

Jadi tidak benar anggapan sebagian orang bahwa orang yang sudah mati bila ruh tidak diterima Allah ia akan gentayangan di muka bumi. Akan tetapi ruh yang tidak dibukakan pintu langit untuknya akan ditempatkan di sijjîn, yaitu salah satu bagian alam barzah. Sijjîn merupakan tempat ruh orang-orang kafir.[8]

Adapun ruh para syuhadâ`, mereka berada dalam perut burung surga, ia makan dan minum dari buah-buahan dan sungai-sngai surga, sampai kembali lagi kepada jasadnya yang asli setelah hari berbangkit tiba. Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْنَا عَبْدَ اللَّهِ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ قَالَ أَمَا إِنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ (رواه مسلم)

Dari Masrûq, ia berkata: Aku bertanya kepada 'Abullah bin Mas'ud tentang ayat "Janganlah kalian kira orang-orang yang mati (berjihad) di jalan Allah dalam keadaan mati, tetapi mereka dalam keadaan hidup diberi rizki di sisi Tuhan mereka," Ibnu Mas'ud menjawab: "Kami telah menanyakan tentang hal itu (pada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam )," beliau bersabda: "Ruh-ruh mereka dalam perut burung hijau, baginya lentera yang digantungkan dengan 'Arasy, ia berpergian dalam surga kemana saja ia suka". [HR Muslim].[9]

Keempat : Shafar
Yaitu meyakini bulan Shafar sebagai bulan sial.

Orang-orang jahiliyah memiliki budaya keyakinan bahwa sebagian hari atau bulan membawa kesialan dan malapetaka. Sebagaimana keyakinan mereka terhadap bulan Shafar dan Syawwal. Pada bulan tersebut, mereka meninggalkan urusan-urusan yang penting atau besar, seperti pernikahan, perniagaan dan perjalanan.

Keyakinan ini juga ditiru oleh sebagian orang-orang sekarang, seperti meyakini malam Jum'at Kliwon (penanggalan Jawa) adalah hari sial dan berbahaya jika pergi ke laut untuk menangkap ikan pada malam itu. Begitu pula meyakini hari Selasa sebagai hari api, maka tidak boleh berpergian pada hari itu, dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan lain yang dihubungkan dengan hari, bulan dan tahun. Begitu pula dengan keyakinan orang-orang Cina dalam menyebut nama-nama tahun. Tahun Naga adalah tahun yang kurang menguntungkan, tahun Kuda adalah tahun yang menguntungkan dan seterusnya.

Keyakinan semacam ini menunjukkan bahwa ada yang dapat mendatangkan mudharat selain Allah. Padahal hari dan bulan hanyalah sekedar tempat dan waktu melakukan aktifitas bagi manusia, sehingga sama sekali tidak ada hubungannya dengan bencana ataupun malapetaka. Semua yang terjadi itu sesuai dengan kehendak Allah dan ketentuan-Nya, tanpa ada campur tangan makhluk sedikit pun dalam mengatur alam raya ini. Oleh karena itu, barang siapa yang meyakini seperti kepercayaan orang jahiliyah tersebut, maka ia telah berbuat syirik dalam tauhid rububiyah. Kerena kebatilan keyakinan itu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya, sebagaimana terdapat dalam hadits yang sedang kita bincangkan ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]





MEWASPADAI BUDAYA-BUDAYA JAHILIYAH

Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra


Kelima, an-Nau'.
Yaitu mempercayai bintang.

Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah ialah mempercayai bintang-bintang. Di antara mereka bahkan ada yang menyembah bintang. Mereka meyakini ada bintang-bintang tertentu yang membawa keberkahan dan ada pula bintang-bintang tertentu membawa kesialan dan bencana. Keyakinan ini sangat mendominasi kehidupan orang-orang jahiliyah. Sebagaimana pula sebagian umat meyakini tentang bintang-bintang kelahiran. Mereka menggantungkan harapan dengan bintang-bintang tersebut, seperti mencari jodoh, menentukan pekerjaan yang cocok, dan seterusnya.

Juga di antara keyakinan mereka bila ada bintang jatuh (meteor), maka hal itu sebagai pertanda adanya orang penting yang lahir atau meninggal.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَّهُمْ بَيْنَمَا هُمْ جُلُوسٌ لَيْلَةً مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُمِيَ بِنَجْمٍ فَاسْتَنَارَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا رُمِيَ بِمِثْلِ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ كُنَّا نَقُولُ وُلِدَ اللَّيْلَةَ رَجُلٌ عَظِيمٌ وَمَاتَ رَجُلٌ عَظِيمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهَا لَا يُرْمَى بِهَا لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى اسْمُهُ إِذَا قَضَى أَمْرًا سَبَّحَ حَمَلَةُ الْعَرْشِ ثُمَّ سَبَّحَ أَهْلُ السَّمَاءِ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ التَّسْبِيحُ أَهْلَ هَذِهِ السَّمَاءِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ الَّذِينَ يَلُونَ حَمَلَةَ الْعَرْشِ لِحَمَلَةِ الْعَرْشِ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ فَيُخْبِرُونَهُمْ مَاذَا قَالَ قَالَ فَيَسْتَخْبِرُ بَعْضُ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ الْخَبَرُ هَذِهِ السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَتَخْطَفُ الْجِنُّ السَّمْعَ فَيَقْذِفُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ وَيُرْمَوْنَ بِهِ فَمَا جَاءُوا بِهِ عَلَى وَجْهِهِ فَهُوَ حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَقْرِفُونَ فِيهِ وَيَزِيدُونَ

Dari Sahabat 'Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata: Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kaum Anshar menceritakan padaku. Ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, ada bintang (mateor) jatuh memancarkan cahaya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: "Apa ucapan kalian pada masa jahiliyah ketika ada lemparan (mateor) seperti ini?" Mereka menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui, dulu kami katakan, 'pada malam ini telah dilahirkan seorang yang terhormat dan telah mati seorang yang terhormat,' lalu Rasulullah menjelaskan: "Sesunguhnya bintang itu tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang dan tidak pula karena kelahiran seseorang. Akan tetapi Tuhan kita Tabaaraka wa Ta'ala, apabila telah memutuskan sebuah perkara, bertasbihlah para malaikat yang membawa 'Arasy. Kemudian diikuti oleh para malaikat penghuni langit yang di bawah mereka, sampai tasbih itu kepada para malaikat penghuni langit dunia. Kemudian para malaikat yang di bawah para malaikat pembawa 'Arasy bertanya kepada para malaikat pembawa 'Arasy, Apa yang dikatakan Tuhan kita? Lalu mereka memberitahu apa yang dikatakan Tuhan mereka. Maka malaikat penghuni langit dunia saling bertanya pula di antara sesama mereka, sehingga berita tersebut sampai ke langit dunia. Maka para jin berusaha mencuri dengar, lalu mereka sampaikan kepada wali-walitnya (tukang sihir). Sehingga mereka dilempar dengan bintang-bintang tersebut. Berita itu mereka bawa dalam bentuk yang utuh, yaitu yang sebenarnya tetapi mereka campur dengan kebohongan dan mereka tambah-tambahkan". [HR Muslim].

Melalui hadits di atas, kita dapat mengetahui beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.

1. Menerangkan keyakinan orang-orang jahiliyah terhadap bintang-bintang.
2. Menerangkan kebatilan keyakinan tersebut.
3. Di antara kegunaan bintang. ialah untuk mengusir setan (jin) yang berusaha mencuri berita langit.
4. Tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung ialah wali-wali setan (jin).
5. Menerangkan bahwa tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung tidak mengetahui yang ghaib tetapi atas pemberitahuan setan (jin).
6. Haramnya mempercayai tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung,
7. Menerangkan bahwa setan (jin) mencampur berita tersebut dengan kebohongan.

Di samping itu orang-orang jahiliyah juga meminta hujan dengan perantaraan bintang-bintang. Semua itu diharamkan bagi setiap muslim karena merupakan kesyirikan yang nyata. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ فِي إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
رواه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح.

Dari Dzaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: Kami diimami Rasulullah shalat Shubuh di Hudzaibiyah pada bekas hujan yang turun pada malam hari. Tatkala Rasulullah selesai, beliau menghadap kepada para jama'ah, lalu bersabda: "Tahukah kalian apa telah dikatakan Rabb kalian?" Para sahabat menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui". Kata beliau: "Rabb kalian berkata,'Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman dengan-Ku dan ada pula yang kafir. Orang yang mengatakan kita diturunkan hujan berkat karunia Allah dan rahmat-Nya, maka orang itu beriman dengan-Ku dan kafir dengan bintang. Adapun orang yang mengatakan kita diturunkan hujan berkat bintang ini dan ini, maka orang itu kafir dengan-Ku, beriman dengan bintang'." [HR Abu Dawud. Dan Syaikh al-Albani menganggap hadits ini shahih].

Dalam sabda beliau yang lain disebutkan:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ (رواه مسلم)

Dari Abu Malik al-Asy'ari, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang, dan meratapi mayat". [HR Muslim].

Dalam hadits ini jelas dinyatakan beberapa kebiasaan jahiliyah, di antaranya meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Adapun kebiasaan lain yang disebutkan dalam hadits tersebut akan dijelaskan secara rinci pada poin ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa barang siapa yang mempelajari ilmu bintang, maka sesungguhnya ia mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ (قال الشيخ الألباني : حسن)

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata: Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Barang siapa yang mempelajari ilmu nujum, berarti ia telah mempelajari satu cabang dari sihir, akan selalu bertambah selama ia tetap mempelajarinya". [HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Menurut Syaikh al-Albâni, hadits ini hasan].

Yang dimaksud ilmu nujum ialah ilmu ramal dengan perantaraan bintang-bintang. Karena bintang memiliki kegunaan lainnya, yaitu sebagai penunjuk arah bagi nelayan di laut, atau bagi musafir ketika berada di tengah gurun pasir. Allah katakan dalam kitab suci Al-Qur`ân:

وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang mereka peroleh petunjuk (di malam hari). [an-Nahl/16:16]

Imam Qotâdah menerangkan: "Tujuan diciptakan bintang-bintang ada tiga; untuk hiasan bagi langit, sebagai penunjuk arah ketika malam hari, untuk mengusir setan yang mencuri berita-berita langit. Barang siapa yang melewati selain itu, maka ia telah berdusta, telah menghilangkan bagiannya, dan telah berlebih-lebihan untuk mengetahui sesuatu yang ia tidak memiliki ilmu tetangnya".[10]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah menerangkan, bahwa bintang yang dijadikan untuk melempar setan tidak sama dengan bintang yang menjadi penunjuk arah bagi pelaut atau bagi orang yang dalam perjalanan di gurun pasir. Karena bintang yang dijadikan untuk melempar setan pindah dari tempatnya, tetapi bintang yang menjadi penunjuk arah tetap di tempatnya, sekalipun semuanya disebut bintang. Sebagaimana penamaan hewan dan binatang yang melata, manusia, binatang ternak, serangga dan lain-lain.[11] Barang kali bintang yang menjadi pelempar setan, biasa kita kenal di negeri kita dengan sebutan meteor. Wallahu a'lam.

Keharaman ilmu nujum atau ilmu ramal, yaitu mempercayai bintang sebagai dalil untuk kejadian-kejadian di bumi tidak diragukan. Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً (رواه مسلم)

Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (peramal) untuk menanyakan tetang sesuatau, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. [HR Muslim].

Tukang ramal atau tukang tenung mencakup setiap orang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib yang akan terjadi, seperti dukun, ahli bintang, peramal, dan lain-lain.[12] Anehnya di tengah masyarakat, mereka digelari dengan sebutan orang pintar, untuk mengelabui orang-orang awam.

Keenam : al-Ghûl.
Yaitu mempercayai adanya hantu yang dapat menyesatkan dan mencelakakan manusia dalam perjalanannya.

Menurut anggapan tersebut, hantu itu muncul dalam bentuk berbeda-beda ketika melewati padang pasir lalu menyesatkan dan mencelakakan manusia. Maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan persangkaan tersebut tetapi tidak menafikan keberadaannya. Sedangkan orang-orang jahiliyah, mereka menyakini hantu itu bisa berubah bentuk dan mencelakakan manusia. Kepercayaan ini termasuk syirik, karena menakut-nakuti sesuatu yang ghaib selain Allah dan mempercayai memiliki kemudaratan.[13]

Oleh sebab itu, di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah apabila berhenti atau turun di suatu tempat, mereka berkata: "Aku berlindung dari jin penjaga tempat ini, dari kenakalan orang-orang bodoh mereka". Maka di antara setan ada yang mencuri barang bawaan mereka. Sehingga mereka memohon kepada jin di tempat tersebut: "Kami adalah tetanggamu," maka jin tersebut menyahut dan mengembalikan barang-barang mereka.[14]

Dalam hal ini Rasulullah mengajarkan, jika kita berhenti pada suatu tempat dalam suatu perjalanan hendaklah membaca doa berikut :

إِذَا نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلًا فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْهُ (رواه مسلم)

Apabila salah seorang kalian berhenti pada suatu tempat hendaklah ia membaca, a'udzu bi kalimatillahittammati min syarrima kholak (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekkan apa yang telah Dia ciptakan), maka sesungguhnya ia tidak akan diganggu oleh sesuatupun sampai ia meninggalkan tempat tersebut. [HR Muslim].

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ (رواه مسلم)

Dari Abu Malik al-Asy'ari, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang, dan meratapi mayat". [HR Muslim].

Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ada empat kebiasaan jahiliyah yang amat sulit ditinggalkan oleh sebagian umat ini. Dan agar lebih tertib dan lebih mudah untuk memahami dan menghitung kebiasaan orang-orang jahiliah yang bisa kita kupas dalam bahasan ini, kita lanjutkan nomor di atas sebagai berikut.

Ketujuh : Membanggakan Keturunan.
Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah, ialah senang membanggakan kebaikan dan kelebihan bapak-bapak mereka. Jelas hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia, karena ukuran kemuliaan dalam Islam bukan bentuk yang tampan, wajah cantik, harta banyak, jabatan tinggi, ataupun gelar yang melingkar, akan tetapi kemulian seseorang diukur dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahateliti. (Qs al-Hujurat/49:13).

Agaknya standar kemuliaan ini sudah mulai semu pada sebagian pandangan kita, sehingga sebagian memacu kemuliaan di luar ketakwaan. Ketika pandangan masyarakat mulai keliru dalam menilai, saat itu tujuan dan haluan hidup mulai bergeser. Sehingga berbagai penyelewengan terjadi dalam berbagai lini kehidupan. Ada yang menggapainya dengan ketampanan dan kecantikan, sekalipun mempertontonkan aurat di hadapan manusia. Ada pula yang menggapainya dengan harta, sekalipun mendapatkannya dengan cara haram. Ada pula yang menggapainya dengan pangkat dan jabatan, sekalipun memalsukan dokumen dan melakukan penyuapan. Ada lagi yang menggapainya dengan gelar, sekalipun dengan cara membeli. Na'udzubllah min dzalik.

Mudah-mudahan dengan adanya saling mengingatkan, maka pandangan tersebut dapat diluruskan kembali. Mari kita capai kemuliaan dengan ketakwaan kepada Allah. Harta bisa mengantarkan kepada ketakwaan jika dihasilkan dari jalan yang halal dan diinfaqkan pada yang halal. Begitu pula profesi lainnya, hendaklah dijadikan sebagai fasilitas untuk mencapai ketakwaan dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Begitu juga dengan keturunan. Demi mencari kemuliaan, sebagian orang ada yang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila pengakuan tersebut dimanfaatkan untuk melakukan legalitas perbuatan bid'ah dan kesesatan dalam agama. Sekalipun seseorang benar-benar keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi selama ia tidak benar-benar mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka sesungguhnya hubungan keturunan tidak bernilai di sisi Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)

Dan orang yang dilambatkan amalnya, tidak bisa dipercepat oleh hubungan keturunannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya kepada kedua paman dan putri beliau sendiri, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjaga mereka dari adzab Allah sedikitpun.

قال النبي : يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِي بِمَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا (متفق عليه)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai 'Abbas bin 'Abdul-Muthalib! Aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyah paman Rasulullah, aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Fathimah binti Rasulullah mintalah harta kepadaku apa saja yang kau mau, aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun". [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Oleh sebab itu, bila seseorang benar-benar dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jangan bergantung kepada hubungan keturunan semata. Hubungan keturunan itu akan menjadikan lebih mulia, bila diiringi dengan amal shalih. Sehingga mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari yang lainnya, bukan karena hubungan keturunan semata. Namun jika keluarga Nabi tersebut adalah seorang mukmin yang shalih, maka wajib bagi kita dalam mencintainya melebihi dari yang lainnya. Ini dikarenakan dua hal, karena ketakwaannya dan karena hubungan keturunannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi tidaklah benar, kalau ada sebagian orang menilai bahwa Ahlus-Sunnah tidak mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mencintai mereka bukan berarti dengan memberikan kedudukan kepada mereka melebihi dari hak yang diberikan Allah, seperti mengkultuskan mereka dan menganggap mereka maksum dari kesalahan.

Kedelapan, Mencela Keturunan Orang Lain.
Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah, ialah senang mencela keturunan orang lain. Barang kali perilaku ini dampak dari saling berbangga dengan keturunan. Sehingga untuk membela bahwa keturunannya lebih mulia, kemudian ia mencela keturunan orang lain. Misalnya mengingkari keturunan seseorang, mengingkari orang yang mengaku sebagai keturunan suku tertentu, atau menebarkan aib dan kejelekan keturunan seseorang atau suku tertentu. Ini semua merupakan kebudayaan dan kebiasaan jahiliyah yang harus dihindari oleh seorang muslim.

Pada masa sekarang sering terjadi adanya orang tua yang mengingkari anaknya. Perbuatan ini termasuk dalam larangan hadits tersebut. Sebaliknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang seseorang mengaku sebagai keturunan dari suku tertentu, padahal ia bukan dari mereka. Misalnya orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal ia bukan keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفِرَى أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ يُرِيَ عَيْنَهُ مَا لَمْ تَرَ أَوْ يَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَمْ يَقُلْ (رواه البخاري)

Sesungguhnya kebohongan yang amat besar di sisi Allah, yaitu seseorang yang mengaku kepada selain bapaknya. Atau mengaku matanya melihat apa yang tidak ia lihat. Atau mengatakan terhadap Rasulullah sesuatu yang tidak beliau katakan. [HR al-Bukhâri].

Dalam riwayat lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ (متفق عليه)

Barang siapa yang mengaku kepada selain bapaknya sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka diharamkan baginya surga. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Kesembilan : an-Niyâhah.
Yaitu meratapi mayat.

Di antara adat kebiasaan jahiliyah, yaitu meratapi mayat. Dalam Islam, perbuatan seperti ini diharamkan, karena seolah-olah ia menentang keputusan dan ketetapan Allah.

Pada masa jahiliyah, jika salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia, maka anggota keluarga yang masih hidup meratapinya dengan memukul-mukul muka dan merobek-robek pakaian. Bahkan ada pula yang mengurung diri di rumahnya dan senantiasa berpakaian kumuh sampai akhir hayatnya. Oleh sebab itu, datang ancaman bagi orang yang meratapi mayat di akhir hadits tersebut:

وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ (رواه مسلم)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wanita yang meratapi mayat bila tidak bertobat sebelum meninggal, ia dibanglitkan pada hari kiamat memakai baju dari timah panas dan mantel dari aspal panas. [HR Muslim].

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ (متفق عليه)

Dari 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Tidak termasuk golongan kami siapa yang memukul-mukul muka dan merobek-robek baju serta menyeru dengan seruan jahiliyah". [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Pada masa ini, kebiasaan itu masih ditiru oleh sebagian kecil umat ini. Dan yang lebih sesat lagi, mereka menjadikannya sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah Rafidhah setiap tahunnya pada tanggal sepuluh Muharram di padang Karbala. Kebiasaan ini sangat jelas merupakan penentangan yang nyata terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, sebagian lagi menilai bahwa kemajuan itu dicapai dengan mengabaikan norma-norma agama. Ada pula yang beranggapan, agama menjadi penghambat kemajuan, apalagi menjalankan ajaran agama dengan konsekwen dan istiqamah. Kebutuhan ekonomi harus menjadi prioritas utama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bahkan demi mengeruk income yang besar dari pariwisata, kebiasaan-kebiasaan kuno kembali dihidupkan sekaligus melestarikan segala budaya-budaya kuno. Misalnya kebiasaan suatu suku yang tidak berpakaian harus dilestarikan, perayaan pemberian sesajian ke gunung dan ke laut serta ke tempat-tempat yang dianggap keramat harus senantiasa dilakukan.

Bukankah ini suatu kekeliruan dalam berpikir dan beragama? Secara akal, perilaku ini bertentangan dengan slogan kehidupan, bahwa hidup ini harus maju dalam segala segi.

Begitu pula ditinjau dari sudut pandang agama, kebiasaan ini sangat bertentangan dengan tugas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merobohkan pondasi tauhid dan tiang-tiang agama. Oleh karena itu, kita harus mewaspadai dan selalu siaga dalam menjaga iman. Tidak tertipu dengan berbagai slogan yang seolah indah, tetapi hakikatnya menyesatkan. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memerangi segala perbuatan jahiliyah?

Wallahu a'lam, washalallahu 'ala Nabiyina Muhammad wa 'ala alihi washahbihi ajma'în.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber:   http://almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment