Saturday, February 2, 2013

SEBAB PENGAMPUNAN DOSA




SEBAB PENGAMPUNAN DOSA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً .

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , beliau berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi'."

TAKHRIJ HADITS[1]
Hadits ini diriwayatkan dari dua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu.

Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3540 (dalam Tuhfah 9/487-488), dan Imam at-Tirmidzi rahimahullah menilainya sebagai hadits hasan. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah menyatakan, para perawinya (hadits Anas) tsiqah, kecuali Katsîr bin Fâ`id yang hanya direkomendasikan oleh Ibnu Hibbân rahimahullah.

Dalam kitab at-Taqrîb, Ibnu Hajar rahimahullah menyebut Katsîr bin Fâ`id hanyalah perawi yang maqbûl.[2] Namun hadits ini hasan sebagaimana pendapat Imam at-Tirmidzi, karena memiliki hadits penguat dari sahabat lainnya, yaitu hadits Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu.

Hadits Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu diriwayatkan oleh ad-Dârimi dalam Sunan-nya (2/322) dan Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam Musnad-nya (5/172). Adapun al-Hâkim rahimahullah dalam al-Mustadrak (4/241) meriwayatkan hadits ini secara ringkas, dan adz-Dzahabi rahimahullah menyetujuinya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah juga menyatakan, ada hadits dari sahabat lainnya yang menguatkan hadits-hadits di atas. Yaitu sebagaimana diriwayatkan ath-Thabrâni rahimahullah di dalam kitab Mu'jam, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dan sudah ditakhrij dalam kitab ar-Raudh an-Nadhîr (432). Syaikh al-Albani rahimahullah memasukkan hadits ini ke dalam kitab Shahîh Sunan at-Tirmidzi. Sedangkan hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma ini diriwayatkan ath-Thabrani rahimahullah dalam Mu'jamul-Kabîr no. 12346 dan Mu'jamush-Shaghîr no. 820. Wallahu a'lam.

MUFRADÂT HADITS[3]
1. Pernyataan إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي , bermakna selama kamu berdoa dan berharap kepada-Ku.

2. Pernyataan غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ , bermakna Aku memberi ampunan atas semua kemaksiatan walaupun berulang-ulang dan banyak.

3. Pernyataan وَلَا أُبَالِي , bermakna Aku tidak meremehkan permohonan ampunanmu kepada-Ku, walaupun dosa yang engkau miliki besar atau banyak. Sedangkan Imam ath-Thibii rahimahullah memberi makna, tanpa dengan menanyakan apa yang ia kerjakan.

4. Pernyataan عَنَانَ السَّمَاءِ , bermakna awan. Tetapi ada juga yang menyatakan, maknanya adalah semua yang menutupi langit atau yang tampak bagimu dari langit apabila engkau mengangkat kepala ke langit.

5. Pernyataan بِقُرَابِ الْأَرْضِ , bermakna yang hampir sepenuhnya.

6. Pernyataan لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا , bermakna meninggal dalam keadaan bertauhid.

FAIDAH HADITS
Setiap orang pasti berbuat salah, dan betapa banyak kesalahan dan dosa yang diperbuat anak keturunan Adam. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan keadilan-Nya, niscaya setiap dosa dan kesalahan manusia tidak ada yang selamat dari siksaan-Nya. Namun rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat luas memenuhi seluruh makhluk-Nya.

Di antara wujud rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, yaitu pengampunan dosa dan kesalahan yang diperbuat hamba-hamba-Nya. Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ada tiga faktor yang menjadi penyebab dosa manusia mendapat ampunan.

Faktor pertama, yaitu doa dengan mengharap ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Sebagimana dijelaskan dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي

Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli.

Doa dengan mengharap ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala diperintahkan dan dijanjikan akan dikabulkan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu". [Ghâfir/40:60].

Juga dijelaskan dalam hadits an-Nu'mân bin Basyir Radhiyallahu anhuma , ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ ( وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ) رواه الترمذي

"Do'a itu adalah ibadah," kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah: Dan Rabbmu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina'." [HR Tirmidzi]

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan doa seorang muslim itu mustajab, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ

"Tidak ada seorang muslim di muka bumi ini berdoa kepada Allah dengan sebuah doa, kecuali Allah mengabulkannya, atau diselamatkan dari kejelekan seperti itu selama tidak berdoa dengan amalan dosa atau memutus kekerabatan". Seorang dari engkau berkata: "Kalau begitu kita perbanyak," Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Allah Subhanahu wa Ta’alaebih banyak lagi (mengabulkannya)".[4]

Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan rahmat-Nya kepada hamba yang berdoa memohon untuk dipenuhi kebutuhannya berupa masalah duniawi, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala alihkan darinya dan menggantinya dengan yang lebih baik. Terkadang dengan diselamatkan dari keburukan, atau dijadikan sebagai simpanan bagi dirinya di akhirat. Atau Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosanya dengan doa tersebut. Telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا:' إِذًا نُكْثِرُ' قَالَ: ) اللَّهُ أَكْثَرُ ) رواه أحمد.

"Tidak ada seorang muslim yang berdoa dengan satu doa yang tidak ada amalan dosa dan memutus tali kekerabatan, kecuali Allah memberikan salah satu dari tiga hal. Adakalanya doanya segera dikabulkan, atau dijadikan sebagai simpanan untuknya di akhirat, atau ia diselamatkan dari keburukan yang semisalnya". Mereka berkata: "Jika begitu, kami akan memperbanyak (untuk berdoa)?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak lagi (mengabulkannya)". [5]

Kesimpulannya, berdoa memohon ampunan dengan berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi penyebab seseorang itu mendapat ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala , walaupun dosanya sangat besar, sebab ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar lagi. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk meminta semua kebutuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ فَلَا يَقُلْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ وَلَكِنْ لِيَعْزِمْ الْمَسْأَلَةَ وَلْيُعَظِّمْ الرَّغْبَةَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ. رواه مسلم.

Apabila salah seorang dari kalian berdoa, jangan mengatakan, "wahai Allah, ampunilah aku jika Engkau suka," namun bersungguh-sungguhlah dalam meminta, dan mintalah yang terbaik. Karena benar-benar tidak ada sesuatu yang berat untuk Allah berikan. [6]

Semua dosa hamba itu masih kecil dibandingkan dengan ampunan Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu ada yang berkata:

يَا رَبِّ إِن عَظُمَت ذُنُوبِى كَثرَةً فَلَقَد عَلِمتُ بِأَنَّ عَفوَكَ أَعظَـمُ

(Wahai, Rabbku! Walaupun dosaku sangat besar, namun aku yakin bahwa ampunan-Mu lebih besar lagi).

إِن كَانَ لاَ يَرجُوكَ إِلاَّ مُحسِـنٌ فَمَن الَّذِى يَدعُو وَيرجو المُجرِمُ

(Bila tidak berharap kepada-Mu kecuali orang yang baik, maka orang jahat berdoa dan memohon kepada siapa?)

مَا لِى إِلَيكَ وَسِيلَةٌ إِلاَّ الـرَّجَـا وَجَمِيلُ عَفوِكَ ثُمَّ إِنِّى مُسـلـمُ

(Aku hanya memiliki wasilah harapan mendapatkan ampunan-Mu yang indah, kemudian sesungguhnya aku seorang yang berserah diri).

Faktor Kedua, Yaitu Istighfar.
Sebagaimana dijelaskan dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي

Wahai, anak Adam! seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli.

Hadits ini menjelaskan, bahwa istighfar menjadi salah satu faktor dosa-dosa terampuni, walaupun dosa tersebut setinggi awan di langit atau sepanjang mata memandang. Pengertian ini didukung dengan hadits lainnya yang berbunyi:

لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَمْلَأَ خَطَايَاكُمْ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتُمْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَغَفَرَ لَكُمْ. رواه أحمد.

Seandainya kalian melakukan kesalahan hingga kesalahan kalian memenuhi antara langit dan bumi, kemudian kalian memohon ampunan (istighfar) kepada Allah Azza wa Jalla , tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni kalian.

Pengertian Istighfar.
Kata اسْتَغْفَرَ (istighfar), dalam bahasa Arab bermakna meminta maghfirah (طَلَبُ الْمَغْفِرَةِ). Dan المَغْفِرَة , memiliki makna perlindungan dari keburukan dosa, atau penghapusan dari dosa, dan menggantikannya.

Pengampunan dosa ada dua jenis.
1. Penghapusan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan yang menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak mulia.

2. Penggantian, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِلاَّ مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

(kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka itu diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang). –al-Furqân/25 ayat 70- dan inilah yang disebut dengan tingkatan maghfirah (ampunan).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: "Kata الإسْتِغْفَارَ dalam bahasa Arab mempunyai makna meminta maghfirah ( طَلَبُ الْمَغْفِرَةِ ). Dan kata المَغْفِرَة , bermakna perlindungan dari kejelekan dosa.

Kata al-maghfirah ( المَغْفِرَة ) mempunyai makna tambahan dari kata السَّتْرُ , karena kata المَغْفِرَة bermakna perlindungan dari kejelekan dosa, sehingga seorang hamba tidak disiksa lagi. Orang yang diampuni dosanya tidak akan disiksa. Sedangkan jika sekedar ditutupi (dosa tersebut), maka masih ada kemungkinan disiksa dalam batin, dan orang yang masih disiksa dalam batin atau lahiriahnya, berarti ia belum diampuni.

Jenis Istighfar.
Jenis istighfar yang terbaik, ialah memulainya dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala , kemudian mengakui dosa, kemudian memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikianlah yang disampaikan dalam hadits Syaddad bin 'Aus z yang berbunyi:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ] رواه البخارى.

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berkata: "Sayyidul-istighfar, yaitu ucapan 'Wahai Allah, Engkaulah Rabbku yang tiada sesembahan yang benar kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku dan aku adalah hambu-Mu, dan berada di atas perjanjian dan janji-Mu semampuku. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan perbuatanku. Aku mengakui semua kenikmatan yang Engkau anugerahkan kepadaku dan mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang dapat mengampuni dosaku kecuali Engkau'." [HR Imam al-Bukhâri].

Ada beberapa jenis istighfar yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain di atas, di antaranya sebagai berikut.

1. Ucapan أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ , sebagaimana tersebut dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ رواه أبو داود والترمذى.

Barang siapa yang mengucapkan: "Aku memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung, yang tiada sesembahan yang benar kecuali Dia yang Maha Hidup dan Maha Qayyum, dan aku bertaubat kepada-Nya," maka Allah akan mengampuninya walaupun dosa karena melarikan diri dari medan perang.

2. Ucapan رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ , sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

كَانَ يُعَدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةُ مَرَّةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَقُومَ: ( رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ ) رواه أبوداود والترمذي وأحمد.

Sebelum bangkit dalam sebuah majlis, dihitung sebanyak seratus kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengatakan) "Wahai, Rabbku! Ampunilah aku dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Mahapengampun".[10]

Dengan demikian jelaslah, bahwa istighfar menjadi obat penawar dosa. Oleh karena itu, al-Hasan al-Bashri mengatakan, perbanyaklah istighfar di rumah-rumah, hidangan-hidangan makanan, jalan-jalan, pasar dan di majlis-majlis kalian, serta di manapun kalian berada, karena kalian tidak mengetahui kapan ampunan Allah itu turun.[11]

Faktor Ketiga, Yaitu Tauhid.
Sebagaiman dijelaskan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

(Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikitpun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi).

Syaikh 'Utsman bin 'Abdul-'Azîz bin Manshûr mengatakan, telah jelas bagimu dengan hadits ini, bahwa di antara faktor penyebab ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu memurnikan tauhid dari kesyirikan, dan inilah faktor yang paling agung dalam pengampunan dosa. Barang siapa yang kehilangan faktor penyebab ini, maka ia kehilangan ampunan. Dan barang siapa yang memilikinya, maka ia telah memiliki faktor yang agung bagi pengampunan dosanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. [an-Nisâ`/4:48].

Oleh karena itu, hadits ini secara jelas menerangkan bahwa seorang muwahhid yang melakukan perbuatan dosa hampir memenuhi bumi, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjumpainya dengan memberikan ampunan sebesar hampir sepenuh bumi juga. Namun ampunan ini dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala . Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendakinya, maka akan mengampuninya. Begitu pula jika Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin, maka akan menyiksanya disebabkan oleh dosa-dosanya. Kemudian akhirnya ia tidak kekal di neraka, bahkan akan keluar darinya dan masuk surga. [12]

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: "Apabila tauhid seorang hamba dan keikhlasannya kepada Allah telah sempurna, dan ia melaksanakan semua syarat-syaratnya dengan hati, lisan dan anggota tubuhnya, atau dengan hati dan lisannya ketika menjelang kematian, maka hal itu menjadi penyebab ampunan (Allah) terhadap semua dosa-dosanya yang telah lalu dan mencegahnya masuk neraka. Barang siapa yang hatinya terwujud dengan kalimat tauhid, maka kalimat tersebut akan mengeluarkan obyek apapun selain Allah dari dirinya dalam masalah yang berkait dengan kecintaan, pengagungan, penghormatan, rasa segan, takut dan tawakkal. Ketika itu dosa-dosa dan kesalahannya terhapuskan, walaupun seperti buih lautan".[13]

Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا merupakan syarat berat dalam janji mendapatkan ampunan. Yaitu selamat dari kesyirikan, baik banyak maupun sedikit, besar maupun kecil. Tidaklah selamat dari perbuatan syirik itu, kecuali orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan, dan itulah hati yang bersih, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya: (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, [asy-Syu'ara/26:88-89].[14]

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan pengertian hadits ini, bahwa orang-orang yang bertauhid murni -tidak mencampurkannya dengan kesyirikan- (ia) dimaafkan dalam hal-hal yang tidak dimaafkan bagi selain mereka. Seandainya seorang muwahhid - yang sama sekali tidak menyekutukan Allah - menemui Rabbnya dengan membawa hampir sepenuh bumi kesalahan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ampunan sebesar itu juga, dan ini tidak didapatkan oleh orang yang tauhidnya kurang. Karena tauhid sejati tanpa tercampur dengan kesyirikan, tidak akan menyisakan dosa. Sebab tauhid tersebut berisikan kecintaan, penghormatan, pengagungan, rasa takut dan harapan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadikanya bersih dari dosa-dosa walaupun sebesar hampir sepenuh bumi.[15]

Dari uraian tentang hadits ini, menunjukkan bahwa pahala tauhid itu sangat besar. Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki keluasan sifat dermawan dan rahmat-Nya kepada para hamba-Nya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita memperhatikan perkara tauhid ini dan tidak meremehkannya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita, dan menjadikan diri kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid sejati. Wallahu a'lam.

Maraji`:
1. An-Nubadz al-Mustathâbah fil-Da'wah al-Mustajabah, Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali, tanpa cetakan dan tahun, Dar Ibnul-Jauzi.
2. Fathul-Hamîd fî Syarh at-Tauhîd, 'Utsmân bin 'Abdul-'Azîz bin Manshûr at-Tamîmi, Tahqiq: Sa'ud bin 'Abdil-'Aziz al-'Arifi dan Husain bin Julai'ib as-Sâ'idi, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H, Dar 'Âlam al-Fawâ`id, Mekkah.
3. Fathul-Majid li Syarhi Kitâb at-Tauhîd, Syaikh 'Abdur-Rahmân bin Hasan 'Alu Syaikh, Tahqiq: al-Walid bin 'Abdur-Rahmân bin Muhammad 'Alu Fariyân, Cetakan Kedua, Tahun 1417 H, Dar ash-Shumai'i, Riyadh.
4. Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah.
5. Syarhu 'Aqîdah ath-Thahâwiyah, Ibnu 'Abil 'Izz, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Cetakan Kedua, Tahun 1413H, Muassasah ar-Risalah.
6. Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jâmi' at-Tirmidzi, Syaikh Muhammad 'Abdur-Rahmân bin Abdur-Rahîm al-Mubarakfûri, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H, Dar Ihya`ut-Turats al-'Arabi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat takhrîj Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah, hadits no. 127 (1/250). Juga takhrij Syaikh al-Walid 'Alu Fariyân atas kita Fathul-Majîd (1/149).
[2]. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab at-Taqrib, derajat maqbul sejajar dengan perawi majhûl-hâl, yang riwayatnya ditolak, bila tidak ada yang menguatkannya.
[3]. Diambil dari Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jâmi' at-Tirmidzi (9/488).
[4]. HR at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali dalam Shahîh Kitab al-Adzkâr wa Dha'îfuhu dan kitab an-Nubadz al-Mustathâbah fid-Da'wah al-Mustajâbah, hlm. 16.
[5]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (3/18), dan dishahihkan Syu'aib al-Arnauth dalam tahqiqnya atas kitab Syarhu 'Aqidah ath-Thahâwiyah, hlm. 682.
[6]. HR Muslim, kitab al-Dzikr wad-Du'a wat-Taubah wal-Istighfâr, Bab: al-'Azm bid-Du'a, no. 4838.
[7]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (3/238) dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits al-Shahîhah, no. 1951.
[8]. Lihat Majmu’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyyah (10/317).
[9]. HR Abu Dawud no. 1517, at-Tirmidzi no. 3577, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits al-Shahîhah, no. 2727.
[10]. HR Ahmad dalam Musnad-nya 2/21, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan dishahihkan Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits al-Shahîhah, no. 556
[11]. Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu'abul-Imân. Dinukil dari kitab Fathul-Hamid fî Syarh at-Tauhîd, karya 'Utsmân bin 'Abdul-'Azîz at-Tamîmi (1/298).
[12]. Fathul-Hamid fî Syarh at-Tauhid, karya 'Utsman bin 'Abdul-'Aziz at-Tamimi (1/300).
[13]. Diringkas dari kitab Fathul-Majid, lihat 1/151.
[14]. Bada`i al-Fawa`id, Ibnul-Qayyim (2/133).
[15]. Dinukil Syaikh 'Abdur-Rahman 'Alu Syaikh dalam Fathul-Majid (1/151-152).


MENGGEMARKAN SHALAT SUNNAH RAWATIB

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.[1] Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.[2]

Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat memperhatikannya?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb k berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian. [HR at-Tirmidzi][3].

Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang. Terlebih lagi harus diakui sangat sulit mendapatkan kesempurnaan tersebut, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya. [HR Abu Dawud dan Ahmad][4].

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan keutamaan shalat sunnah Rawâtib secara umum, dan ada juga yang khusus pada satu shalat sunnah Rawatib tertentu, seperti keutamaan shalat sunnah sebelum Subuh.

Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga. [5]

Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, yang berbunyi:

قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Ummu Habibah berkata,"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh'."

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga. [HR an-Nasâ-i][6].

Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut. Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini.

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Aku hafal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at.[7]

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh:

وَسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ فَفِي بَيْتِهِ

Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya.[8]

Dalam riwayat Muslim berbunyi:

فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ وَالْجُمُعَةُ فَصَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ

Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya.[9]

JUMLAH RAKA'AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.

Pertama, menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar z tersebut, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]

Kedua, menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]

Ketiga, menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.

Keempat, menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam asy-Sya-irazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka." [12]

Juga hadits yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at"[13].

Menurut Imam Nawâwi, beliau rahimahullah mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Sya-irazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]

Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.

Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?

Dalam persoalan ini, pendapat yang rajih ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin,[15] yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ

Sesungguhnya dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur.[16]

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu yang menerangkan bahwa beliau Radhiyallahu anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".[17]

Adapun Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."[18]

FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Sebagaimana telah diuraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu. Demikian Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".[19]

Sedangkan Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu. Sehingga Syaikh al-Basâm mengingatkan, menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan dan menjaga kesinambungannya.

Wallahul-Muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SHALAT SUNNAH RAWATIB SUBUH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Pada edisi terdahulu kami telah menjelaskan shalat Sunnah Rawâtib, yang pelaksaannya sangat dianjurkan. Karena Sunnah Rawâtib itu sebagai pelengkap shalat fardhu lima waktu secara umum.

Untuk mengetahui kedudukan dan jenis-jenis shalat Rawâtib, kami mencoba untuk membahasnya secara menyeluruh meskipun singkat, insya Allah.

Berikut kami mulai dengan pembahasan seputar shalat Rawâtib Subuh.

HUKUM SHALAT RAWATIB SUBUH
Shalat sunnah Rawâtib Subuh termasuk shalat sunnah yang paling ditekankan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya dan tidak meninggalkannya, baik saat bepergian ataupun tidak.

Di antara dalil yang menunjukkannya, yaitu hadits Abu Maryam yang berbunyi:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِي وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ

Kami dahulu pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzin (untuk beradzan), lalu ia pun mengumandangkan adzan. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka`at sebelum shalat Subuh, kemudian memerintahkan sang muadzin beriqamah, lalu beliau mengimami orang-orang (shalat Subuh). [1]

Demikian juga Imam al-Bukhâri telah menyebutkan dalam kitabnya:

بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ فِي غَيْرِ دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

[Bab orang yang melakukan shalat tathawu' (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya)].[2]

Ibnul-Qayyim berkata,"Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawâtib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawâtib Subuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqîm (tidak sedang bepergian) maupun saat bepergian".[3]

Hal ini, juga sebagaimana nampak pada pernyataan 'Aisyah yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat Rawatib) Subuh".[4]

Sehingga Ibnul-Qayyim pun berkata, "Kesinambungan dan penjagaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sunnah Rawâtib Subuh melebihi seluruh shalat sunnah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sunnah Rawâtib Subuh dan shalat Witir dalam safarnya maupun saat muqîm. Dalam safar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa disiplin melaksanakan sunah Rawâtib Subuh dan Witir melebihi seluruh shalat-shalat sunnah dan Rawâtib lainnya. Tidak ada dinukilkan dari beliau dalam safarnya melakukan shalat Rawâtib selain Rawâtib Subuh. Oleh karena itu, dahulu Ibnu 'Umar tidak menambah dari dua raka'at, dan ia berkata,'Saya telah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan 'Umar. Mereka semua dalam safarnya tidak melebihi dua raka'at'."[5]

Dengan demikian jelaslah, bahwasanya hukum sunnah Rawâtib Subuh adalah sunnah muakkadad, dan termasuk Rawâtib yang sangat dianjurkan.

KEUTAMAAN SHALAT RAWÂTIB SUBUH
Keutamaan shalat Sunnah Rawâtib Subuh, secara umum dapat dilihat dalam hadits-hadits tentang keutamaan shalat Sunnah Rawâtib, namun ada juga beberapa hadits yang secara khusus menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib Subuh ini. Di antaranya:

1. Hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا. أخرجه مسلم.

Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,"Dua raka'at fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya." [6]

2. Hadits 'Aisyah Radhyallahu anhuma lainnya yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ أخرجه الشيخان

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua raka'at (shalat Rawâtib) Subuh"[7].

Dalam dua hadits di atas, nampak adanya pernyataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang secara langsung menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib ini.

3. Hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّه عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ أخرجه البخاري

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.[8]

TATA CARA SHALAT RAWATIB SUBUH
1. Shalat Rawâtib Subuh dua raka'at, dilakukan sebelum shalat fardhu Subuh sebagaimana shalat dua rakaat lainnya dengan satu salam.

2. Shalat Rawâtib Subuh dilakukan dengan meringankannya/agak cepat.
Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua raka'at Rawâtib Subuh, ialah dengan meringankannya, tidak memanjangkan bacaannya, dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat.

Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini.

• Hadits Ummul-Mukminin Hafshah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ أخرجه الشيخان

Dari Ibnu 'Umar, beliau berkata, bahwasanya Hafshah Ummul-Mukminin telah menceritakan kepadanya, sesungguhnya dahulu, bila muadzin selesai dari mengumandangkan adzan shalat Subuh dan waktu Subuh sudah nampak, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan sebelum iqamat shalat.[9]

• Hadits Ummul-Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ

Dari 'Aisyah, beliau berkata: "Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka'at yang ringan antara adzan dan iqamat shalat Subuh".[10]

• Demikian juga beliau Radhiyallahu anhuma menjelaskan ringannya shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disini dengan perkataanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟". أخرجه الشيخان

Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua raka'at yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku bertanya: "Apakah beliau membaca al-Fatihah?"[11]

Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh.[12]

3. Bacaan setelah membaca surat al-Fatihah.
Sebagian orang berdalih dengan riwayat 'Aisyah di atas, yang menunjukkan tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Anggapan ini tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua raka'at sebelum shalat fardhu Subuh ini. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan adanya bacaan ayat sesudah membaca al-Fatihah.

• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kâfirûn dan al- Ikhlâsh dalam dua raka'at al-Fajr (dua raka'at Rawâtib Subuh).[13]

• Hadits Ibnu 'Abbas yang berbunyi:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Dari Sa'id bin Yasaar, bahwasanya Ibnu 'Abbas mengabarkan kepadanya, sesungguhnya dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr; pada rakaat pertama membaca ayat:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا yang terdapat dalam al-Baqarah/2 (ayat 136), dan pada raka'at kedua آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali 'Imran/3 ayat 52). [14]

• Hadits Ibnu Abas yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua raka'at al-Fajr firman Allah: قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا (al-Baqarah/2 ayat 136), dan yang terdapat dalam Ali 'Imran/3 (ayat 64): (تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ). [15]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Sunnah (Rawâtib) Subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Sunnah (Rawâtib) Subuh dan witir dengan membaca surat al-Kaafirun dan al-Ikhlas. Kedua surat ini mengandung tauhid al-Ilmi wal-'Amal (tauhid Rububiyah), tauhid al-Ma'rifah (tauhid al-Asma wash-Shifat) dan tauhid al-I'tiqaad wal-Qashdu (tauhid al-Uluhiyah)".[16]

4. Berbaring Setelah Shalat Rawatib Subuh.
Di antara yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu setelah shalat Rawatib Subuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring miring di atas bagian kanan tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى شَقِّهِ الأَيْمَنِ. أخرجه الترمذي.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila salah seorang kalian mengerjakan dua rak'at al-Fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian kanannya".[17]

Dalam masalah berbaring ini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Mereka terbagi dalam enam pendapat.[18]

1. Berbaring ini disyari'atkan secara sunnah.
Demikian ini pendapat Abu Musa al-Asy'ari, Râfi' bin Khadîj, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirîn, Sa'id bin al-Musayyib, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdur-Rahman bin 'Auf, Khârijah bin Zaid bin Tsâbit, 'Ubaidillah bin 'Abdillah bin 'Utbah, Sulaiman bin Yasâr, dan begitu pula di kalangan madzhab Syâfi'i dan Hambali. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah tersebut, dan membawa makna perintah dalam riwayat tersebut kepada sunnah (istihbab) dengan didukung hadits 'Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ ، وَ إِلاَّ ؛ اضْطَجَعَ حَتىَّ يُؤَذَّنَ بِالصَّلاَةِ. أخرجه البخاري

Sesungguhnya dahulu, jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai melakukan shalat sunnah Subuh, apabila aku terjaga (tidak tidur-red) maka beliau mengajakku berbicara, dan bila (aku) tidak (sedang terjaga) maka beliau berbaring hingga shalat diiqamati.[19]

Dalam hadits ini dapat diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbaring apabila 'Aisyah telah bangun, sehingga hadits ini bisa merubah makna perintah yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari bermakna wajib berubah menjadi sunnah. Demikian juga, hadits 'Aisyah ini menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang tidak berbaring setelah melakukan Rawâtib Subuh. Seandainya wajib, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan meninggalkannya.

2. Berbaring itu wajib dan harus dilakukan, bahkan beranggapan berbaring itu sebagai syarat sah shalat Subuh.
Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu diatas yang berisi perintah dan sifat perintah menunjukkan makna wajib.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini. Syaikhul-Islam berkata : "Ini merupakan pendapat beliau seorang diri yang menyelisihi umat".[20]

3. Makruh dan bid'ah.
Ini pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar sebagaimana terdapat dalam satu riwayat, dan al-Aswad bin Yazîd, serta Ibrahim am-Nakhâ-i. Mereka berdalil, bahwa berbaring itu tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Seandainya pernah dilakukan, tentu akan dinukil secara mutawâtir.

4. Menyelisihi yang lebih utama.
Demikian yang riwayat yang datang dari al-Hasan al-Bashri.

5. Berbaring ini disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam pada hari itu, agar ia dapat beristirahat, dan tidak disyari'atkan pada selainnya.
Demikian yang dirajihkan Ibnul-'Arabi dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, juha Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn.

Syaikh al-'Utsaimin berkata,"Pendapat yang râjih dalam masalah ini, ialah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang menegakkan malamnya, karena ia membutuhkan istirahat. Namun, bila termasuk orang yang bila berbaring di tanah dapat tidur dan tidak bangun kecuali setelah waktu yang lama, maka ini tidak disunnahkan baginya, karena dapat menyebabkannya meninggalkan kewajiban".[21]

6. Berbaring bukanlah inti yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud ialah memisahkan antara shalat Rawâtib dengan shalat Fardhu.
Demikian yang diriwayatkan dari pendapat asy-Syâfi'i. Tetapi, pendapat ini terlalu lemah, sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.

Menurut penulis, dari keenam pendapat di atas, yang rajih ialah yang dirajihkan oleh Imam an-Nawawi, sebagaimana beliau t telah berkata: "Yang terpilih adalah berbaring dengan dasar zhahir hadits Abu Hurairah".[22]

Demikian juga keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani, dan juga Syaikh al-Albâni.

JIKA SESEORANG TIDAK SEMPAT SHALAT RAWATIB SUBUH PADA WAKTUNYA
Jika keadaanya seperti di atas, maka disyari'atkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat Rawâtib qabliyah Subuh, untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu Subuh, atau setelah terbit matahari.

Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللّه عَنْهُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ". أخرجه الترمذي.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah Subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari".[23]

Perintah dalam hadits ini dialihkan maknanya kepada makna istihbaab dengan hadits lainnya yang berbunyi:

عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِي اللّه عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ ". أخرجه الترمذي

Dari Qais bin Qah-din Radhiyallahu anhu, sesungguhnya ia shalat Subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat dua raka'at qabliyah Subuh. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka iapun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabiyah Subuh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya dan tidak mengingkarinya.[24]

Jelas hadits ini menunjukkan boleh mengqadha dua raka'at qabliyah Subuh setelah shalat fardhu.

Demikian beberapa hukum seputar shalat Rawâtib Subuh. Mudah-mudahan bermanfaat.

Washalallahu 'ala Nabiyina Muhammad, wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


SHALAT SUNNAH RAWATIB ZHUHUR

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Sebagaimana telah dijelaskan pada edisi terdahulu, berikut kami lanjutkan pembahasan mengenai shalat sunnah rawâtib Zhuhur. Mudah-mudahan bermanfaat dan memacu semangat kita untuk mengamalkannya.

HUKUM SHALAT SUNNAH RAWÂTIB ZHUHUR
Shalat sunnah rawâtib Zhuhur termasuk shalat sunnah muakkad (sangat ditekankan) yang dilakukan dan dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang mendasarinya, yaitu keumuman hadits-hadits yang menjelaskan shalat sunnah rawâtib, seperti hadits Ummu Habîbah dan Ibnu 'Umar.[1]

JUMLAH RAKAAT SUNNAH RAWÂTIB ZHUHUR
Beberapa riwayat yang menjelaskan jumlah rakaat shalat sunnah rawâtib Zhuhur, ialah sebagai berikut.

1. Dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, sebagaimana dalam hadits Ibnu 'Umar yang berbunyi:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Aku hafal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah 'Isya dan dua rakaat sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepadaku bahwa bila muadzin beradzan dan terbit fajar beliau shalat dua rakaat.[2]

2. Empat rakaat sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, sebagaimana dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ

Sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dahulu tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur.[3]

Hadits 'Abdullah bin Syaqîq Radhiyallahu anhu ketika bertanya kepada 'Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sunnah yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, shalat di rumahnya sebelum Zhuhur empat rakaat, kemudian keluar dan shalat mengimami manusia. Kemudian masuk (rumah lagi) dan shalat dua rakaat.[4]

3. Empat rakaat sebelumnya dan empat rakaat setelahnya, sebagaimana terdapat dalam hadits Ummu Habîbah yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari neraka".[5]

Dengan demikian, siapa saja yang menunaikan seluruhnya, maka ia telah melaksanakan sunnah. Namun yang muakkad (yang ditekankan), ialah empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, sebagaimana telah dirajihkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin.[6]

KEUTAMAAN SUNNAH RAWÂTIB ZHUHUR
Shalat rawâtib Zhuhur termasuk yang tidak pernah ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kecuali ketika dalam keadaan bersafar. Shalat ini memiliki keutamaan seperti keumuman shalat rawâtib lainnya. Namun ada beberapa hadits yang menjelaskan keutamaannya, khususnya seperti hadits Ummu Habîbah yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari neraka".

Dan hadits yang berbunyi:

أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ قَبْل الظُّهْرِ يَعْدَلْنَ بِصَلاَةِ السَّجَرِ

Empat rakaat sebelum Zhuhur menyamai shalat as-Sahar (menjelang terbit fajar).[7]

TATA CARA SUNNAH RAWÂTIB ZHUHUR
Empat rakaat sunnah rawâtib Zhuhur dapat dilakukan dengan dua cara.

1. Dilakukan dengan dua kali salam, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى

Shalat malam dan siang adalah dua rakaat dua rakaat.[8]

2. Dilakukan dengan satu salam dan dua tasyahud, dengan dasar hadits yang berbunyi:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ لَيْسَ فِيهِنَّ تَسْلِيمٌ تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

Dari Abu Ayyub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: "Empat rakaat sebelum Zhuhur, tidak ada padanya salam, maka dibukakan karenanya pintu-pintu langit".[9]

Imam Abu 'Isa at-Tirmidzi berkata: "Kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah mereka mengamalkan hadits ini. Mereka merajihkan seorang shalat sebelum Zhuhur empat rakaat. Inilah pendapat Sufyân ats-Tsauri, Ibnul-Mubârak, Ishâq dan ahli Kufah. Sebagian ulama mengatakan, shalat malam dan siang dua rakaat dua rakaat. Mereka memandang pemisahan antara setiap dua rakaat. Demikian inilah pendapat asy-Syafi'i dan Ahmad.[10]

SESEORANG TIDAK SEMPAT MELAKUKAN SHALAT SUNNAH EMPAT RAKAAT SEBELUM ZHUHUR
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan satu kaidah tentang mengqadha shalat sunnah ini dengan pernyataan sebagai berikut:

Seseorang yang tidak sempat melakukan shalat-shalat rawâtib ini pada waktunya, maka disunnahkan mengqadhanya, dengan syarat karena udzur. Dasarnya, yaitu hadits Abu Hurâirah dan Abu Qatadah dalam kisah tidurnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam suatu perjalanan sehingga terlambat shalat Subuh, lalu beliau melakukan shalat rawatib Subuh dahulu, baru kemudian shalat Subuh.

Demikian juga hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zhuhur dan mengqadhanya setelah shalat 'Ashr. Ini adalah nash dalam qadha shalat sunnah rawâtib. Begitu juga keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang berbunyi):

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Barang siapa yang ketiduran dari shalat atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.

(Pengertian) ini mencakup shalat fardhu dan nafilah (sunnah), dan ini bila ditinggalkan karena udzur seperti lupa, ketiduran dan sibuk dengan yang lebih penting. Adapun bila ditinggalkannya dengan sengaja sehingga kehilangan waktunya, maka ia tidak mengqadhanya. Kalaupun ia mengqadhanya, maka tidak sah sebagai rawâtib darinya. Karena shalat rawâtib merupakan ibadah dengan waktu tertentu. Ibadah yang memiliki ketentuan waktu, bila seseorang sengaja melakukan keluar dari waktunya, maka (ibadah itu) tidak diterima. Dasarnya, ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia tertolak. [HR Muslim].

Demikianlah ibadah yang memiliki ketentuan waktu; (sehingga) bila engkau keluarkan darinya dengan sengaja, maka engkau telah melakukan amalan yang tidak ada perintah dari Allah l dan Rasul-Nya n . Sebab Allah l dan Rasul-Nya n memerintahkan untuk engkau kerjakan pada waktu tersebut, sehingga tidak diterima (selainnya). Juga sebagaimana tidak sah shalat sebelum waktunya, maka tidak sah pula shalat setelah keluar waktunya, karena hakikinya tidak ada perbedaan antara engkau kerjakan sebelum masuk waktunya, maupuan setelah keluar waktunya apabila tanpa udzur.[11]

Dengan dasar ini, apabila seseorang tidak dapat melakukan shalat sunnah rawatib sebelum Zhuhur karena udzur, maka ia boleh mengqadhanya. Yaitu dilakukan setelah shalat Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam hadits 'Aisyah yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلَّاهُنَّ بَعْدَهُ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, bila tidak shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, maka beliau lakukan setelahnya.[12]

SESEORANG TIDAK SEMPAT MELAKUKAN SHALAT SUNNAH DUA RAKAAT SETELAH DZUHUR
Demikian pula jika seseorang tidak dapat melakukan shalat sunnah rawatib sebelum Zhuhur karena udzur, maka ia boleh mengqadhanya setelah hilang udzurnya, walaupun setelah shalat 'Ashar. Hal ini didasarkan pada hadits yang berbunyi:

عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَزْهَرَ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَرْسَلُوهُ إِلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنَّا جَمِيعًا وَسَلْهَا عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَقُلْ إِنَّا أُخْبِرْنَا أَنَّكِ تُصَلِّينَهُمَا وَقَدْ بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهُمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَكُنْتُ أَضْرِبُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا قَالَ كُرَيْبٌ فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا وَبَلَّغْتُهَا مَا أَرْسَلُونِي بِهِ فَقَالَتْ سَلْ أُمَّ سَلَمَةَ فَخَرَجْتُ إِلَيْهِمْ فَأَخْبَرْتُهُمْ بِقَوْلِهَا فَرَدُّونِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ بِمِثْلِ مَا أَرْسَلُونِي بِهِ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْهُمَا ثُمَّ رَأَيْتُهُ يُصَلِّيهِمَا أَمَّا حِينَ صَلَّاهُمَا فَإِنَّهُ صَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ دَخَلَ وَعِنْدِي نِسْوَةٌ مِنْ بَنِي حَرَامٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَصَلَّاهُمَا فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ الْجَارِيَةَ فَقُلْتُ قُومِي بِجَنْبِهِ فَقُولِي لَهُ تَقُولُ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُكَ تَنْهَى عَنْ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ وَأَرَاكَ تُصَلِّيهِمَا فَإِنْ أَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخِرِي عَنْهُ قَالَ فَفَعَلَتْ الْجَارِيَةُ فَأَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخَرَتْ عَنْهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالْإِسْلَامِ مِنْ قَوْمِهِمْ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ

Dari Kuraib Maula Ibnu 'Abbas, bahwasanya 'Abdullah bin 'Abbas, 'Abdur-Rahman bin Azhar dan al-Miswar bin Makhramah mengutusnya menemui 'Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka berkata: "Sampaikan kepada beliau salam dari kami semua dan tanyakan tentang dua rakaat setelah shalat 'Ashar. Juga katakan, bahwa kami menerima berita bahwa engkau melakukan shalat dua rakaat (setelah 'Ashar) tersebut, padahal telah sampai kapada kami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya".
Ibnu 'Abbas berkata: "Aku, dahulu bersama 'Umar bin al-Khaththab memukul orang yang melakukannya".
Kuraib berkata: "Lalu aku menemui beliau ('Aisyah) dan menyampaikan semua pesan mereka," lalu beliau berkata: 'Tanyakanlah kepada Ummu Salamah,' lantas aku berangkat kepada mereka dan memberitahukan mereka tentang jawaban beliau. Kemudian mereka menyuruhku pergi ke Ummu Salamah dengan pesan-pesan yang dibawa kepada 'Aisyah".
Kemudian Ummu Salamah menjawab: "Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari keduanya, kemudian aku melihat beliau mengerjakannya. Adapun waktu beliau melakukannya, yaitu setelah shalat 'Ashar kemudian masuk, dan bersamaku ada beberapa orang wanita kalangan Anshar dari Bani Harâm, lalu beliau melakukan shalat dua rakaat tersebut. Maka aku menyuruh seorang anak perempuan menemui beliau (dan) aku katakan, 'Berdirilah engkau disamping beliau dan katakan kepadanya bahwa Ummu Salamah bertanya: 'Wahai Rasulullah! Aku telah mendengar engkau melarang dari dua rakaat tersebut dan melihatmu melakukannya'. Apabila beliau memberi isyarat dengan tangannya, maka mundurlah (engkau) darinya".
Kuraib berkata: "Anak perempuan itupun melakukannya, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangannya, maka iapun mundur dari beliau".
Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai, maka berkata: "Wahai, bintu Abi Umayyah! Engkau telah bertanya tentang dua rakaat setelah shalat 'Ashr?! Sesungguhnya telah menemuiku beberapa orang dari 'Abdul-Qais masuk Islam dari kaum mereka, sehingga menyibukkanku dari melakukan dua rakaat (shalat rawatib) setelah Zhuhur. Maka, inilah dua rakaat itu".[13]

Demikianlah beberapa permasalahan seputar shalat sunnah rawatib Zhuhur yang dapat kami jelaskan. Semoga bermanfaat dan dapat kita amalkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Shalat Sunah Rawâtib 'Ashar, Maghrib dan 'Isya

Minggu, 3 Februari 2013 06:25:54 WIB

SHALAT SUNNAH RAWATIB 'ASHAR, MAGHRIB, 'ISYA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Dua edisi lalu telah dijelaskan mengenai shalat sunnah rawâtib Subuh dan Zhuhur. Untuk melengkapi penulisan shalat sunnah rawâtib yang menyertai shalat-shalat fardhu, berikut ini kami angkat berkaitan dengan shalat sunnah rawâtib 'Ashar, Maghrib dan 'Isya. Semoga penjelasan ini memberikan faidah bagi kita, dan selanjutnya kita mampu memeliharanya dengan cara mengamalkannya.

SHALAT SUNNAH RAWATIB 'ASHAR
Shalat sunnah rawâtib 'Ashar merupakan salah satu dari shalat-shalat rawâtib pendamping shalat fardhu, sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan pada edisi sebelumnya.[1] Imam asy-Syaukani, ketika menyampaikan rincian shalat-shalat sunnah setelah menyampaikan rawâtib Zhuhur, beliau berkata: "Dan empat raka'at sebelum shalat 'Ashar".[2]

Demikianlah anjuran yang disampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamalkannya. Oleh karena itu, menjaga kesinambungannya merupakan perkara yang dianjurkan, meskipun hukum shalat sunnah rawâtib 'Ashar ini tidak sampai pada sunnah muakkad. Dikatakan oleh penulis kitab Shahîh Fiqih Sunnah, XXX : "Tidak ada untuk shalat 'Ashar shalat sunnah rawâtib yang muakkad".[3]

1. Keutamaan Shalat Sunnah Rawâtib 'Ashar.
Shalat sunnah rawâtib ini dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disampaikan Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at.[4]

2. Tata Cara Shalat Sunnah Rawâtib 'Ashar.
Shalat sunnah rawâtib 'Ashar dilakukan sebanyak empat raka'at secara bersambung dengan dua tasyahhud sebagaimana shalat fardhu yang empat raka'at, salam di akhir rakaat keempat. Adapun pelaksanaanya dilakukan sebelum shalat fardhu 'Ashar.

Dijelaskan dalam hadits 'Ashim bin Dhamrah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُؤْمِنِينَ

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebelum 'Ashar empat raka'at dipisah antaranya dengan taslîm kepada Malaikat Muqarabin, dan orang yang bersama mereka dari kaum muslimin dan mukminin.[5]

Dalam riwayat Ibnu Majah berbunyi:

سَأَلْنَا عَلِيًّا عَنْ تَطَوُّعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّهَارِ فَقَالَ إِنَّكُمْ لَا تُطِيقُونَهُ فَقُلْنَا أَخْبِرْنَا بِهِ نَأْخُذْ مِنْهُ مَا اسْتَطَعْنَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى الْفَجْرَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا - يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ- بِمِقْدَارِهَا مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ هَا هُنَا - يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَغْرِبِ- قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا - يَعْنِي مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ - مِقْدَارَهَا مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ مِنْ هَا هُنَا قَامَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَأَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَأَرْبَعًا قَبْلَ الْعَصْرِ يَفْصِلُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ وَالنَّبِيِّينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُؤْمِنِينَ قَالَ عَلِيٌّ فَتِلْكَ سِتَّ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّهَارِ وَقَلَّ مَنْ يُدَاوِمُ عَلَيْهَا

"Kami bertanya kepada 'Ali tentang shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari".
Maka ia menjawab: "Kalian tidak akan mampu melakukannya".
Sehingga kami jawab: "Beritahukan kepada kami, nanti kami akan mengamalkan yang kami mampu".
Beliau berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Subuh, (beliau) memperlambat hingga matahari dari sebelah sini –yaitu dari arah timur- seukuran dari shalat 'Ashar dari arah sini –yaitu dari arah barat- maka beliaupun bangkit lalu shalat dua raka'at, kemudian memperlambat hingga matahari dari arah sini –yaitu arah timur- seukuran dari shalat Zhuhur, dari sini beliau bangkit lalu shalat empat raka'at dan empat raka'at sebelum Zhuhur apabila matahari telah tergelincir dan dua raka'at setelahnya, dan empat raka'at sebelum Ashar (dengan) memisah antara dua rakaatnya dengan taslim kepada Malaikat Muqarrabin, para nabi dan pengikut mereka dari kaum muslimin dan mukminin".
Ali berkata: "Itulah enam belas raka'at shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari, dan sedikit yang terus-menerus melakukannya".[6]

Setelah menyampaikan hadits 'Âshim bin Dhamrah ini, Abu Isa at-Tirmidzi berkata: "Hadits Ali adalah hadits hasan. Ishâq bin Ibrahim tidak memisah dalam empat raka'at sebelum 'Ashar, dan (ia) berargumen dengan hadits ini. Ishâq mengatakan, bahwa pengertian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antaranya dengan taslîm adalah tasyahud. Sedangkan asy-Syafi'i dan Ahmad perpandangan shalat malam dan siang ialah dua raka'at dua raka'at. Keduanya memilih memisahkan pada empat raka'at sebelum 'Ashar".[7]

Adapun yang râjih berkenaan dengan pengertian hadits di atas, yaitu yang disampaikan Imam Ishâq bin Ibrahim. Dan hal ini dikuatkan dengan riwayat hadits 'Âshim bin Dhamrah, sebagaimana terdapat pada riwayat an-Nasâ`i berikut ini.

عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّهَارِ قَبْلَ الْمَكْتُوبَةِ قَالَ مَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَخْبَرَنَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حِينَ تَزِيغُ الشَّمْسُ رَكْعَتَيْنِ وَقَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَجْعَلُ التَّسْلِيمَ فِي آخِرِهِ

Dari 'Âshim bin Dhamrah, ia berkata: "Aku bertanya kepada 'Ali bin Abi Thalib tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada siang hari sebelum shalat fardhu. Dia menjawab,'Siapa yang mampu melakukannya?' Kemudian ia menceritakan kepada kami. Dia berkata,'Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ketika tergelincir matahari dua rakaat, dan sebelum tengah hari empat rakaat menjadikan taslîmnya di akhirnya'." [8]

Demikian juga pengertian taslîm dalam hadits ini, seandainya merupakan salam penutup shalat, maka tentunya harus ada niat dari orang yang shalat untuk salam kepada malaikat, para nabi dan pengikutnya, dan hal ini jelas tidak ada syari'atnya. Sehingga pernyataan Ishâq bin Ibrahim bahwa pengertian taslîm adalah tasyahud itulah yang râjih. Apalagi dalam tasyahud terdapat ucapan salam (taslîm) kepada hamba Allah yang shalih, baik di langit maupun di bumi.

Oleh karena itu, hadits ini mengkhususkan keumuman shalat malam dan siang itu dua raka'at-dua raka'at.
Wallahu a'lam.

SHALAT SUNAH RAWÂTIB MAGHRIB
Shalat sunnah rawâtib Maghrib merupakan salah satu shalat rawâtib yang muakkad. Pensyari'atan dan keutamaannya telah dijelaskan dalam hadits Ummu Habibah dan Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu.[9]

1. Tata Cara Shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Shalat sunnah rawâtib Maghrib dilakukan sebanyak dua raka'at setelah shalat fardhu Mahgrib.

2. Tempat Pelaksanaan Shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Di antara contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat sunnah ialah di rumah, kecuali jika terdapat halangan. Namun untuk shalat sunnah rawâtib Maghrib ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melakukannya di masjid.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan sebagian besar shalat sunnah, dan shalat sunnah yang tidak memiliki sebab khusus (pengerjaaannya) di rumah, apalagi shalat sunnah rawâtib Maghrib, karena sama sekali tidak pernah dinukilkan beliau mengerjakannya di masjid".[10]

Demikianlah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah rawâtib Maghrib di rumah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.

• Hadits Mahmûd bin Labîd Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَصَلَّى بِهِمْ الْمَغْرِبَ فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ ارْكَعُوا هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ

Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Bani 'Abdulasy-hal, lalu memimpin shalat Maghrib mereka. Ketika salam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Shalatlah dua raka'at ini di rumah-rumah kalian".[11]

• Ka'ab bin 'Ujrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى مَسْجِدَ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ فَصَلَّى فِيهِ الْمَغْرِبَ فَلَمَّا قَضَوْا صَلَاتَهُمْ رَآهُمْ يُسَبِّحُونَ بَعْدَهَا فَقَالَ هَذِهِ صَلَاةُ الْبُيُوتِ

Sesungguhnya dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi masjid Bani 'Abdulasy-hal lalu shalat Maghrib di masjid tersebut. Ketika selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka melakukan shalat sunnah setelahnya, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Ini adalah shalat rumah".[12]

• Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمْعَةِ وَ لاَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ إِلاَّ فِيْ أَهْلِهِ

Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak shalat dua raka'at sesudah Jum'at dan dua raka'at setelah Maghrib, kecuali di rumahnya.[13]

Demikian pula menurut Imam Ahmad, bahwa sunnah mengerjakan dua raka'at setelah maghrib ialah di rumah.[14] Ibnul-Qayyim menyatakan: Dalam sunnah rawâtib Maghrib ada dua sunnah, salah satunya tidak dipisah antara Maghrib dengan pembicaraan, … sunnah kedua yaitu dikerjakan di rumah.

3. Bacaan Dalam shalat Sunnah Rawâtib Maghrib.
Dalam mengerjakan shalat sunnah rawâtib Maghrib ini, pada dua raka'atnya disunnahkan membaca, yaitu surat al-Kâfirun dan al-Ikhlas, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas'ud:

مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ

Saya tidak dapat menghitung apa yang saya telah dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca dalam dua raka'at setelah Maghrib dan dua raka'at sebelum shalat Subuh dengan surat al-Kâfirun dan al-Ikhlas.[15]

SHALAT SUNAH RAWÂTIB 'ISYA
Shalat sunnah rawâtib 'Isya merupakan salah satu shalat rawâtib yang muakkad. Pensyariatan dan keutamaannya telah dijelaskan dalam hadits Ummu Habibah dan Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu terdahulu.

Shalat rawâtib 'Isya ini dilakukan di rumah sebanyak dua raka'at. Yaitu dilakukan setelah shalat fardhu 'Isya. Sebagaimana disampaikan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu dan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ تَطَوُّعِهِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَيُصَلِّي بِالنَّاسِ الْعِشَاءَ وَيَدْخُلُ بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Dari 'Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: "Aku telah bertanya kepada 'Aisyah tentang shalat sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?" Maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab: "Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat di rumahku sebelum Zhuhur empat raka'at kemudian keluar dan shalat mengimami manusia, kemudian masuk dan shalat dua raka'at. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengimami manusia shalat Maghrib, kemudian masuk (rumah) lalu shalat dua raka'at, dan mengimami manusia shalat 'Isya dan masuk rumahku lalu shalat dua raka'at".[16]

Demikianlah penjelasan secara ringkas tentang shalat sunnah rawâtib yang mendampingi shalat lima waktu. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya, dan menjadikannya sebagai amalan harian.

Wabillahit-taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber:   http://almanhaj.or.id/

No comments:

Post a Comment