Saturday, February 16, 2013

Syarah Nama Allah Al-Fattâh, Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah kepadanya dengan nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah orang-orang yang menyimpang dalam (memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan dibalasi terhadap apa yang mereka lakukan. [al-A'râf/07:180]


Syarah Nama Allah Al-Fattâh, Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah kepadanya dengan nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah orang-orang yang menyimpang dalam (memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan dibalasi terhadap apa yang mereka lakukan. [al-A'râf/07:180]


Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra


ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MEMPUNYAI NAMA-NAMA YANG INDAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat mulia dan indah. Kemuliaan dan keindahan tersebut ditinjau dari dua segi, yaitu segi lafazh dan segi maknanya. Makna dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menunjukkan sifat Allah yang Maha Sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah kepadanya dengan nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah orang-orang yang menyimpang dalam (memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan dibalasi terhadap apa yang mereka lakukan. [al-A'râf/07:180]

Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas.

Pertama : Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan, begitu banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sangat erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri.

Kedua : Nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna yang sangat sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini tentang sifat yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan penyimpangan dalam beriman kepada Allah.

Ketiga : Berdoa dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama mulia itu. Untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , ialah dengan memahami makna nama-mana Allah tersebut. Sehingga menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena saat beribadah seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kita merasa sedang dilihat oleh-Nya.

KEUTAMAAN MENGHAFAL 99 NAMA-NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA YANG INDAH
Setelah memperhatikan perihal di atas, semakin jelaslah bagi kita betapa penting mempelajari makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala . Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan pula dalam sabdanya:

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ (متفق عليه).

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kecuali satu, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. [HR al-Bukhâri Muslim]

Kata الإِحْصَاء (menghafal) dijelaskan oleh para ulama, memiliki beberapa tingkatan. Pertama, menghafalnya dengan lisan. Kedua, memahami makna yang terkandung di dalam nama-mana Allah tersebut. Ketiga, mengaplikasikan makna nama-nama Allah dalam doa dan ibadah, atau dengan kata lain menghafalnya dalam bentuk amalan.[1]

Hadits di atas tidak menunjukkan pembatasan jumlah keseluruhan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala . Tetapi, membatasi jumlah nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mesti dihafalkan untuk memperoleh keutamaan seperti disebutkan dalam hadits, yaitu masuk surga. Sebab, telah dijelaskan dalam hadits lain, bahwa jumlah keseluruhan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahuinya secara pasti, seperti tersurat pada doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ رواه أحمد وغيره.

Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama dengannya diri-Mu, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu di alam ghaib. [HR Ahmad dan lainnya, dishahîhkan oleh Ibnul Qayyim dan Syaikh al-Albâni].[2]

Dalam hadits ini disebutkan tiga bagian dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala .
1. Bagian pertama, nama yang Allah beritahukan kepada sebahagian makhluk-Nya, baik dari kalangan malaikat atau lainnya, tetapi tidak menyebutkannya di dalam kitab suci Allah.

2. Bagian kedua, nama yang Allah turunkan dan menyebutkannya di dalam kitab suci-Nya.

3. Bagian ketiga, nama yang Allah sembunyikan di sisi-Nya di alam ghaib.

Dari penjelasan ini, maka nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dapat kita ketahui melalui kitab Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh. Dalam hal ini, menurut pendapat ulama yang telah melakukan penelitian, mereka menyatakan bahwa nama-nama Allah yang terdapat di dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits shahîh jumlahnya lebih dari sembilan puluh sembilan nama.[3]

Lalu, bagaimana memahami kedua hadits di atas? Kedua hadits tersebut tidak saling bertentangan. Hal tersebut bisa dipahami dengan contoh berikut.

Umpamanya, jika seseorang mengatakan "saya memiliki uang sejumlah 99.000 rupiah untuk saya infakkan". Tentu, perkataan ini tidak akan dipahami bahwa ia tidak memiliki uang yang lain. Boleh jadi, ia memiliki 200.000 rupiah, tetapi yang diinfakkan hanya 99.000 rupiah. Dengan demikian, kedua hadits tersebut sangat mudah untuk ditemukan. Yang penting, ialah menghafal 99 nama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tebusan untuk mendapatkan surga. Nama-nama yang dihafal mungkin saja berbeda lafazhnya, tetapi jumlahnya sama. Karena nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dari 99.

PENJELASAN TENTANG MAKNA-MAKNA AL FATTAH
Secara etimologi (bahasa) makna kata (الفتّاح) dalam bahasa Arab berarti "al-Hâkim" (yang memutuskan perkara dengan adil), sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil)[4], dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. [al-A'râf/07: 89].

Kata "al-Fath" (الْفَتْحُ), juga berarti kemenangan atau pertolongan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ

Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08: 19]

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata: "Asal kata al-Fattâh dalam bahasa Arab berarti النَّصْرُ (kemenangan, pertolongan), الْقَضَاءُ (keputusan) dan الْحُكْمُ (hukum). Bila ada orang mengatakan "ya Allah, bukakanlah antara aku dan si Fulan," itu maknanya "berilah keputusan antara aku dan dia"[5].

Adapun makna al-Fattâh (الفتّاح) secara syar'i, ialah sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam Al-Qur`ân dan Hadits disertai dengan penjelasan para ulama. Nama ini terdapat dalam surat Saba' ayat 26 :

وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ

Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Menetapkan Keputusan
Para ulama menjelaskan, nama Allah al-Fattâh memiliki makna yang sangat sempurna dari segala segi. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi keputusan dengan adil dalam segala perkara yang terjadi antara sesama makhluk, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan saksi-saksi dalam menetapkan keputusan hukum. Karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang lahir (tampak) maupun yang tersembunyi. Karena itu, nama "al-Fattâh" dalam ayat di atas digandengkan dengan nama Allah "al-'Alîm" (Yang Maha Mengetahui).

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam menjelaskan maksud ayat di atas: "Katakanlah kepada mereka: Rabb akan mengumpulkan kita pada hari Kiamat di hadapan-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkan keputusan antara kita secara adil. Sehingga akan jelas ketika itu siapa yang mendapat petunjuk diantara kita dan siapa yang sesat. Dia Maha Pemberi keputusan dan Maha Mengetahui, Yang Maha Tahu dengan keputusan diantara makhluk-Nya, Yang tidak tersembunyi bagi-Nya sekecil apa pun. Dan Dia l tidak membutuhkan saksi-saksi untuk memberi tahu siapa yang benar dan siapa yang salah".[6]

Allah-lah yang memberi keputusan antara ahlul-haq dan ahlul-batil, antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Di antara keputusan Allah terhadap antara ahlul-haq dan ahlul-batil, antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir ketika di dunia, ialah membela dan menolong para ahlul haq, para rasul dan orang-orang beriman dalam menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh-musuh mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kemenangan yang dibukakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman ketika perang Badr.[7]

إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ

Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08:19].

Allah Subhanahu wa Ta’ala Menolong Kaum Mukminin yang Berjuang Menaklukkan Negeri-Negeri Kaum Kuffar
Pengertian al-Fattâh yang lain, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong orang-orang beriman dalam berjuang membuka (menaklukkan) negeri-negeri kaum kuffâr. Seperti dibukanya negeri Khaibar melalui Khalifah 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى يَدَيْهِ (متفق عليه)

dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu perang Khaibar: "Saya akan berikan bendera perang kepada seseorang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuka kemenangan melalui tangannya". [HR Bukhâri dan Muslim].

Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan janji kepada kaum mukminin dengan penaklukan kota Makkah dalam beberapa firman-Nya:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) .[al-Fath/48: 18]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membuktikan janji kemenangan yang tersebut pada ayat di atas dengan dibukanya kota Makkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. [al-Fath/48:1].

Menurut pendapat sebagian ulama tafsir, ayat ini mengisahkan tentang penaklukan kota Makkah [8], setelah sebelumnya kaum kuffar Quraisy mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin dari kota Makkah. Karena itu, para nabi dan rasul berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong mereka dan memberi keputusan terhadap kaum mereka yang menentang. Nabi Syu'aib Alaiissallam memanjatkan doa berikut :

رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. [al-A'râf/07: 89]

Begitu pula Nabi Nuh Alaihissallam berdoa:

قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin yang bersamaku. [Asy-Syu'arâ`/26: 116-118].

Keputusan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuh Alaihissallam, ialah dengan dibukanya pintu adzab untuk mereka dari langit sebagaimana yang terdapat dalam kalam Allah:

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. [al-Qamar/54:11].

Demikian, keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap setiap kaum yang menentang kebenaran dan melupakan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan mendatangkan adzab yang sangat pedih untuk mereka. Seketika itu, mereka berputus-asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.[al-An'âm/06: 44].

Di antara keputusan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Rasul n dan kaum mukminin, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka rahasia kemunafikan yang tersembunyi dalam diri orang-orang munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ

Maka, kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. [al-Mâ`idah/05:52].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain disebutkan (artinya): (Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat, dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. [an-Nisâ`/04:141]
.
Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keputusan dengan seadil-adilnya terhadap hamba-Nya yang berbantah-bantah di hadapan-Nya di akhirat kelak. Disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ

Katakanlah: "Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar (adil). Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". [Saba/34:26].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain dinyatakan, yang artinya: Kemudian, sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Rabbmu. [az-Zumar/39:31].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Maksud ayat ini; sesungguhnya kalian pasti akan berpindah dari dunia ini. Kalian akan berkumpul di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat. Kemudian kalian berbantah-bantah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara tauhid dan syirik waktu di dunia. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keputusan dengan haq (adil). Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan orang-orang mukmin, orang-orang yang bertauhid serta orang-orang yang ikhlas. Dan mengadzab orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari (ayat-ayat Allah), dan orang-orang musyrik serta orang-orang yang mendustakan (kebenaran)"[9].

Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Segala Kunci Kebaikan
Al Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka segala kunci kebaikan atas seluruh hamba-Nya. Baik berupa iman, ilmu dan hidayah. Barang siapa dibukakan baginya kebaikan, maka tidak seorang pun yang dapat menghalanginya. Demikian pula, barang siapa yang ditutup dan dikunci hatinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka tidak seorang pun dapat membuka dan menunjukinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa yang dibukakan Allah kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Fâthir/35:2].

Syaikh Hâfizh al-Hakami rahimahullah berkata: "Al Fattâh, adalah Dzat Yang Membuka bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, untuk memperoleh karunia-karunia-Nya yang luas sesuai yang diinginkan-Nya pula. Seseorang dibukakan kekayaan baginya. Sementara orang lainnya dibukakan kekuasaan. Dan orang satu lagi dibukakan ilmu dan hikmah. Demikianlah, karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang besar. (Allah berfirman, yang artinya), 'apa yang dibukakan Allah kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana'." [10]

Oleh sebab itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sebuah doa ketika akan memasuki masjid:

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ (رواه مسلم)

Ya Allah bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu [HR Muslim].

Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Pintu-Pintu Rejeki dan Rahmat Bagi Hamba-Nya Yang Bertakwa
Al-Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka pintu-pintu rizki dan rahmat untuk para hamba-Nya yang bertakwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [al-A'râf/07:96].

Segala kunci yang ghaib hanya berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Tidak ada yang dapat membuka dan mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri... [al-An'âm/6:59].

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sebagian dari hal yang ghaib bagi hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. [Ali 'Imrân/03:179].

Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengajarkan Puji-Pujian Kepada Rasulullah Untuk Memuji-Nya
Di padang mahsyar, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membukakan (mengajarkan) kalimat-kalimat pujian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memuji kepada-Nya. Hingga membuka pintu syafa'at untuk seluruh umat manusia saat menjalani hisab (perhitungan amal). Kalimat-kalimat pujian tersebut belum pernah diketahui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya ketika di dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Apabila hari Kiamat telah terjadi, (saat itu) manusia akan saling berdesak-desakan. Mereka mendatangi Adam Alaihissallam seraya berkata: 'Mintakanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kami'. Adam menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Ibraahiim. Sesungguhnya dia adalah Khaliilullah,' maka mereka mendatangi Ibraahiim. (Dan) Ibraahiim pun menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Musa, sesungguhnya dia adalah Kaliimullah,' kemudian Musa menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Cobalah datangi Isa, sesungguhnya dia Ruhullah,' maka, Isa pun menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Muhammad,' kemudian mereka datang kepadaku. Aku pun menjawab: 'Saya yang berhak untuk itu,' lantas saya memohon izin kepada Rabbku, lalu aku diberi idzin. Dan Allah mengilhamkan kepadaku puji-pujian sebagai pujianku pada-Nya yang tidak aku ketahui sekarang. Selanjutnya aku memuji-Nya dengan puji-pujian tersebut". [HR Bukhâri dan Muslim].

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI NAMA ALLAH "AL FATTAH"
Sebetulnya, inilah tujuan sesungguhnya bagi seorang muslim dalam mengetahui nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Pengenalan terhadap nama Allah al-Fattâh beserta makna-maknanya, memberikan pengaruh positif pada iman dan ibadah serta akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan memahami makna nama Allah al-Fattâh, akan menumbuhkan sifat-sifat mulia dalam diri seorang muslim. di antaranya sebagai berikut.

1. Menumbuhkan sifat tawakkal dalam diri seorang mukmin, terutama bagi seorang da'i dalam menghadapi tantangan di medan dakwah. Sebagaimana dahulu para nabi dan rasul bertawakal dalam dakwah mereka. Dengan keyakinan, bahwa Allah Maha Pemberi keputusan dengan adil terhadap hamba-hamba-Nya. Ibnul Qayyim t menerangkan, sikap tawakkal sangat erat hubungannya dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, di antaranya nama "al-Fattâh".[11]

2. Menumbuhkan sifat ikhlas dalam meminta petunjuk dan rizki kepada Allah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa membuka hati seseorang untuk menerima petunjuk. Allah jugalah yang berkuasa membukakan pintu rizki bagi seorang hamba. Bila hal ini dapat ditanamkan dalam diri kita, tentu kita tidak akan meminta sekalipun kepada sang kiyai atau wali yang sudah mati. Kita tidak meminta kecuali hanya kepada Allah semata.

3. Menumbuhkan sikap rajâ` (berharap-harap akan rahmat dan pertolongan Allah) dalam diri seorang muslim. Karena segala kunci rahmat dan kebaikan berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala . Tidak ada yang mampu membuka pintu-pintu rahmat tersebut kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala . Pintu-pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan terbuka di dunia ini bagi hamba-hamba yang bertakwa. Rahmat di sini dalam arti luas, yakni bisa berupa iman, ilmu, petunjuk, rizki, kesehatan, kesuksesan dan lain-lain. Adapun rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, tentunya jauh lebih luas dan lebih besar bila dibandingkan dengan yang ada di dunia.

4. Menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membuka hati kita untuk beriman, bertauhid dan beribadah kepada-Nya. Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka pintu-pintu nikmat lainnya untuk kita. Mulai dari nikmat sewaktu kita dalam rahim ibu, terlahir dengan selamat tanpa cacat, kemudian pintu nikmat dan rahmat senantiasa dibukakan Allah di hadapan kita. Tidakkah selayaknya kita bersyukur kepada Allah?! Kita tidak pernah terlepas dari nikmat Allah walau satu detik saja.

5. Memupuk rasa ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa terbuka untuk orang-orang yang bertakwa. Kesulitan mendapatkan pekerjaan, harga barang yang senantiasa melonjak naik, musibah yang tak henti-hentinya, semua itu tidak ada yang sanggup mengeluarkan kita dari pintu kesulitan menuju pintu yang luas penuh kebahagiaan dan ketentraman, kecuali Allah al-Fattîh (Dzat Yang Maha Pembuka segala kesulitan). Mari kita simak kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". [al-A'rîf/07:96].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya". [ath-Thalâq/65: 2-3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". [ath-Thalâq/65:4].

Demikianlah bahasan kita berkaitan dengan nama Allah, al-Fattâh. Semoga Allah senantiasa membuka pintu hati kita dengan iman, ilmu dan amal, serta membuka pintu-pintu rizki untuk kita, anak kita dan saudara-saudara kita seiman. Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Al-Jamil Yang Maha Indah


Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

AL-JAMIL, YANG MAHA INDAH

DASAR PENETAPAN
Nama Allah Azza wa Jalla ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahîh, dari ‘Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: "Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain[1] .

MAKNA AL-JAMIL SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah indah/bagus [2]. Adapun al-Fairûz Abâdi rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa asal kata nama ini mengandung pengertian keindahan dalam tingkah laku dan rupa.[3] Sementara itu, pakar bahasa yang lain yang bernama Ibnul Atsîr rahimahullah lebih lanjut menjelaskan bahwa al-Jamîl berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya [4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-JAMIL
Nama Allah Azza wa Jallaal-Jamîl ini menunjukkan kesempurnaan keindahan Allah Azza wa Jalla pada semua nama, sifat, dzat dan perbuatan-Nya.[5] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas dengan mengatakan, “Semua urusan Allah Azza wa Jalla itu indah dan baik, dan Dia Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang Maha Indah serta sifat-sifat yang Maha Bagus dan Sempurna”.[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini secara lebih terperinci pada keterangan berikut, “Keindahan Allah Azza wa Jalla ada empat tingkatan; Pertama: keindahan dzat, kedua: keindahan sifat, ketiga: keindahan perbuatan dan keempat: keindahan nama. Atas dasar itu, semua nama Allah Azza wa Jalla Maha Indah, seluruh sifat-Nya Maha Sempurna, dan semua perbuatan-Nya mengandung hikmah, kemaslahatan (kebaikan) dan keadilan serta rahmat (kasih-sayang). Adapun keindahan dzat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain Allah Azza wa Jalla. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullâh n dari Allah Azza wa Jalla(hadits qudsi): "Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…"[7] . Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan yang dibalut dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?

Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian dari arti keindahan dzat-Nya, karena seorang hamba akan terus meningkat pengetahuannya tentang Allah Azza wa Jalla, mulai dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya meningkat menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya meningkat menjadi mengenal dzat-Nya. Jika dia menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (landasan) yang menunjukkan keindahan dzat-Nya.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa segala pujian hanya milik Allah Azza wa Jalla. Tidak ada seorang makhluk-pun yang mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya. Dia k adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak diibadahi, dicintai dan disyukuri karena dzat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya merupakan pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya). Maka Allah Azza wa Jalla adalah seperti pujian yang ditujukan untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian yang ditujukan para makhluk kepada-Nya; dan Dia Azza wa Jalla dicintai dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun di antara obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya. Namun, tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satu pun di alam ini yang dicintai, dipuji karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla. Semua yang dicintai selain Allah Azza wa Jalla, jika kecintaan tersebut mengikuti kecintaan kepada-Nya Azza wa Jalla, yaitu mencintainya karena Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil (salah).

Inilah hakikat ilâhiyyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karena itu, dzat yang diibadahi dengan sebenarnya, dialah yang dicintai dan dipuji dzat-Nya. Terlebih lagi, jika semua itu dihubungkan dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.

Untuk itu, hendaknya seorang hamba meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla, kemudian mencintai dan memuji-Nya karena dzat dan kesempurnaan-Nya. Selanjutnya, hendaknya dia meyakini bahwa pada hakekatnya tidak ada yang memberikan kebaikan berupa berbagai macam kenikmatan, yang lahir maupun dan batin, kecuali Allah Azza wa Jalla. Karena itu, dia mencintai-Nya dan serta memuji-Nya atas semua itu. Dengan itu, dia mencintai Allah Azza wa Jalla dari kedua segi itu secara bersamaan.

Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya. Kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakekat) penghambaan diri kepada-Nya, yang merupakan tujuan penciptaan makhluk-Nya. Karena ubûdiyyah (penghambaan diri) merupakan bentuk kecintaan yang utuh, disertai ketundukan yang sempurna, yang tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Sehingga, menyekutukan Allah Azza wa Jallatermasuk perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya"[8].

Di tempat lain, beliau t berkata, "Kecintaan itu memiliki dua sebab yang membangkitkannya, yaitu keindahan dan pengagungan, dan Allah Azza wa Jallamemiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla"[9].

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-JAMIL
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, "Di antara bentuk pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal sifat Allah Azza wa Jallaal-jamâl (Maha Indah). Ini adalah pengetahuan istimewa yang dimiliki hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Semua dapat manusia mengenal-Nya dengan satu sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya (tentang Allah Azza wa Jalla) adalah yang mengenal-Nya dengan sifat kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Seandainya semua makhluk memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin itu dibandingkan dengan keindahan Allah Azza wa Jalla, maka sungguh (perbandingannya) lebih rendah daripada perbandingan pelita yang redup cahayanya dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari. Cukuplah (yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan dzat yang bersumber dari-Nya (semua) keindahan ini?"[10].

Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung ini sebenarnya dapat kita ambil melalui penjelasan makna hadits di atas.

Sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan” mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Azza wa Jalladan pengamalan konsekuensi sifat tersebut. Yang pertama, kita mengenal Allah Azza wa Jalladengan sifat Maha Indah yang tidak diserupai oleh satu makhluk-pun, kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Azza wa Jalladengan sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.

Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba yang menghiasi ucapannya dengan kejujuran, menghiasi hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal kepada-Nya, menghiasi anggota badannya dengan ketaatan kepada-Nya, dan menghiasi tubuhnya dengan memperlihatkan nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya, seperti dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan sebagainya. Jadi, hamba yang dicintai Allah Azza wa Jalla adalah hamba yang mengenal Allah Azza wa Jalla dengan sifat-Nya yang Maha Indah, selanjutnya beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.

Pengertian hadits di atas, selain keindahan pada pakaian dan alas kaki yang ditanyakan oleh Sahabat di atas, secara umum juga menyangkut keindahan pada segala sesuatu. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلىَ عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya. [11]

Allah Azza wa Jalla suka melihat terlihatnya bekas nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang dicintai-Nya, dan ini juga termasuk bentuk syukur kepada-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan batin. Karena itu, Allah Azza wa Jalla suka melihat keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.

Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, dan Dia Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar bertakwa, karena ini akan memperindah batin mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang lebih baik [al-A'râf/7:26]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang keadaan penduduk surga yang Allah Azza wa Jalla anugerahi keindahan lahiriyah dan batiniyah :

وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا

Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan (hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera [al-Insân/76:11-12]

Allah Azza wa Jallamenghiasi wajah mereka dengan kecerahan, menghiasi batin mereka dengan kegembiraan, dan menghiasi tubuh mereka dengan pakaian sutera.[12]

Penutup
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar. Sesungguhnya Dia Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




Kaidah-Kaidah Ibadah Yang Benar


Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari



Sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba, ialah dengan beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Jika seorang hamba semakin menambah ketundukan dan peribadahannya kepada Allah, maka semakin bertambah pula kesempurnaan dan derajatnya.

Ibadah adalah hak Allah yang menjadi kewajiban hamba. Kebaikannya akan kembali kepada hamba itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan hambaNya.

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (seluruh makhluk). [al 'Ankabut/29 : 6].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau tentang ayat ini: "Yaitu, barangsiapa melakukan amal shalih, maka sesungguhnya manfaat amal shalihnya akan kembali kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Cukup (yakni tidak membutuhkan) dari perbuatan-perbuatan hamba. Walaupun mereka semua berada pada hati hambaNya yang paling bertakwa, hal itu tidaklah menambah sesuatupun dalam karajaanNya"[1].

Walaupun manusia dengan akalnya dapat memahami mengenai kewajiban beribadah kepada Rabb-nya, namun dia tidak mungkin mengetahui cara beribadah kepada Allah secara benar hanya dengan melandaskan pada akal dan perasaannya. Sehingga Allah mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya untuk memberikan petunjukNya.

Allah berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

… Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dariKu, lalu barangsiapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thaha/20 : 123].

Adapun sebelum diutus rasul dan tanpa petunjuk Rasul, maka manusia itu di dalam keadaan jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [al Jumu'ah/62 : 2].

KAIDAH-KAIDAH IBADAH
Ibadah yang benar kepada Allah dibangun di atas dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang kokoh. Ini semua dijelaskan oleh Allah di dalam kitabNya, dan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya, serta oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

1. Ibadah adalah tauqifiyah.
Maknanya, ibadah tidak dilakukan kecuali dengan apa yang diperintahkan atau dituntunkan wahyu Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya akal semata-mata tidak dapat menjangkau perincian masalah ibadah, masalah halal-haram, dan masalah-masalah yang dibenci atau dicintai oleh Allah Ta'ala.

Allah berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Hud/11:112].

Ayat ini dengan tegas menyatakan, beribadah harus mengikuti perintah Allah dan tidak boleh melewati batas. Tatkala orang-orang musyrik mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya, maka Allah membantah mereka dengan firmanNya:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَٰذَا ۚ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

"Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [al An’am/6:144]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir beliau: “(Firman Allah: Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu?") Allah mengejek orang-orang musyrik tentang perkara yang mereka buat-buat dan mereka adakan secara dusta atas (nama) Allah, yaitu pengharaman yang mereka lakukan. (Firman Allah: Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?), yaitu tidak ada seorangpun yang lebih zhalim daripada mereka.” [2]

Setelah menjelaskan ayat-ayat tentang batilnya anggapan orang-orang musyrik yang mengharamkan sebagian binatang ternak dan menghalalkan sebagian lainnya dengan tanpa hujjah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata: “Tidak tersisa bagi kamu kecuali dakwaan semata, tidak ada jalan bagi kamu untuk menetapkan kebenarannya dan keabsahannya. Dakwaan itu adalah bahwa kamu mengatakan: 'Sesungguhnya Allah telah mewasiatkan kami tentang ini, dan Allah telah memberikan wahyu kepada kami sebagaimana Dia telah memberikan wahyu kepada para rasulNya. Bahkan telah diwahyukan kepada kami sebuah wahyu yang berbeda dengan apa yang diserukan oleh para rasul dan apa yang diturunkan kitab-kitab'. Tetapi kedustaan tersebut pastilah diketahui oleh setiap orang. Oleh karena itulah Allah berfirman: 'Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?' Yaitu, bersamaan kedustaannya dan berdusta (atas nama Allah), dia berniat menyesatkan hamba-hamba Allah dari jalan Allah, dengan tanpa bukti dari Allah, tanpa penjelasan, tanpa akal, dan tanpa riwayat (dari Rasul)”.[3]

Setelah menyebutkan ayat 59 dan 60 surat Yunus, juga ayat 116 dan 117 surat an Nahl, Syaikh Muhamad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: Sesungguhnya termasuk kejahatan yang besar, yaitu :

1. Seseorang mengatakan tentang sesuatu itu halal, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

2. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu haram, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

3. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu wajib, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

4. Atau seseorang mengatakan tentang sesuatu itu tidak wajib, padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang sesuatu yang ia sebutkan itu.

Demikian ini merupakan kejahatan dan adab yang buruk terhadap Allah Azza wa Jalla. Wahai hamba Allah, engkau mengetahui bahwa hukum adalah milik Allah, tetapi bagaimana kemudian engkau mendahuluiNya? Engkau berkata tentang sesuatu yang tidak engkau ketahui tentang agama dan syari’atNya? Sesungguhnya Allah telah merangkaikan (larangan) berbicara tentang Allah tanpa ilmu dengan syirik [surat al A’raf/7 ayat 33].[4]

2. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas, bersih dari noda-noda syirik.
Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan. Adapun menurut syara', yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allah, semata-mata mencari ridha Allah, menginginkan wajah Allah, dan mengharapkan rahmatNya, takut terhadap siksaNya, dan mencari pahala (keuntungan) akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasaa-i, no. 3140]. [5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersamaKu pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR Muslim no. 2985].

Jika ibadah dicampuri dengan syirik, maka syirik itu menggugurkan ibadah tersebut, betapa pun banyak ibadah yang telah dilakukan. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az Zumar/39:65].

Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah, di dalam tafsirnya mengenai ayat ini, beliau berkata: “Dalam nubuwah seluruh nabi, bahwa syirik itu melenyapkan amalan, sebagaimana Allah telah berfirman di dalam surat al An’am”.[6]

Syaikh Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz rahimahullah berkata,"Telah maklum berdasarkan dalil-dalil syar’i dari al Kitab dan as Sunnah, bahwa seluruh amalan dan perkataan hanyalah sah dan diterima jika muncul dari aqidah shahihah (yang benar). Jika aqidah tidak shahihah, maka seluruh amalan dan perkataan yang muncul pun menjadi batal.”[7]

3. Ibadah harus mutaba’ah, yaitu meneladani Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam .
Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah, maka syahadat tersebut memuat kandungan: meyakini berita beliau, mentaati perintah beliau, menjauhi larangan beliau, dan beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [al Ahzab/33 : 21].

Sehingga, siapapun yang beribadah dengan tidak mengikuti Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam, maka ibadahnya tersebut tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini (agama), apa-apa yang bukan padanya, maka urusan itu tertolak. [HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]

4. Ibadah yang telah ditetapkan, meliputi sebabnya, jenisnya, kadarnya, caranya, waktunya, dan tempatnya, maka wajib dilakukan sebagaimana yang dituntunkan. Tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Sehingga, barangsiapa beribadah kepada Allah, namun ibadahnya itu tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syari'at, maka ibadahnya tersebut tertolak.
Contoh:

a). Sebab. Orang yang bertahajjud pada malam 27 Rajab dengan sebab anggapan bahwa malam itu adalah malam Isra' Mi'raj.
Sebagaimana sudah diketahui, tahajjud termasuk ibadah sunnah, namun ketika dia menghubungkan dengan sebab yang tidak benar menurut syari'at, maka ibadahnya tersebut menjadi bid'ah.

b). Jenis. Ibadah qurban telah ditetapkan jenisnya dengan binatang ternak, yaitu onta, sapi, atau kambing. Jika ada orang berqurban dengan kuda, kelinci atau ayam, maka qurban itu tertolak.

c). Kadar/ukuran. Shalat subuh telah ditetapkan dua raka'at. Sehingga barangsiapa sengaja menambahnya, maka shalatnya tidak sah, karena menyelisihi kadar yang telah ditetapkan syari'at.

d). Cara. Barangsiapa mengubah tertib atau cara-cara wudhu' atau shalat, maka ibadahnya tersebut tidak sah, karena telah menyelisihi cara yang ditetapkan syari'at.

f). Waktu. Jika seseorang menyembelih qurban pada bulan Rajab, atau puasa Ramadhan pada bulan Syawwal, atau wukuf di 'Arafah pada tanggal 9 Dzul qa'dah, maka itu semua tidak sah, karena menyelisihi waktu ibadah yang benar.

d). Tempatnya. Orang yang i'tikaf di rumahnya, atau wukuf di Mudzalifah, maka itu tidak sah, karena menyelisihi tempat ibadah yang telah ditetapkan.[8]

5. Ibadah harus dilakukan dengan dasar kecintaan, mengharapkan rahmat Allah, takut siksaNya dan disertai ketundukan dan pengangungan kepada Allah.

Ketika Allah memuji Nabi Zakaria sekeluarga, Dia berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka (Nabi Zakaria sekeluarga) adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. [al Anbiya’/21: 90].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,"Ibadah, menggabungkan kesempurnaan (puncak) kecintaan dan kesempurnaan ketundukan. Orang yang beribadah adalah orang yang mencintai dan tunduk. (Ini) berbeda dengan orang yang mencintai seseorang, yang ia tidak tunduk kepadanya, tetapi ia mencintainya karena menjadikannya sebagai perantara kepada perkara lain yang ia cintai. Dan (juga) berbeda dengan orang yang tunduk kepada seseorang, yang ia tidak mencintainya, seperti orang yang tunduk kepada seorang zhalim. Maka keduanya ini bukanlah ibadah yang murni." [9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata: Ibadah, asal maknanya adalah kerendahan (ketundukan) juga (seperti makna din). Tetapi ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) mengandung makna kerendahan (ketundukan) dan makna kecintaan. Sehingga ibadah yang diperintahkan (oleh Allah) itu mengandung sifat puncak kerendahan (ketundukan) kepada Allah disertai puncak kecintaan kepadaNya.

Barangsiapa tunduk kepada seorang manusia disertai kebenciannya kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Dan seandainya seseorang mencintai sesuatu dan ia tidak tunduk kepadanya, maka ia tidak menjadi seorang yang beribadah kepadanya. Sebagaimana seseorang mencintai anaknya, dan kawannya.

Oleh karena itu, dalam beribadah kepada Allah tidak cukup dengan salah satu dari kedua sifat itu saja. Tetapi seorang hamba, (ia) wajib menjadikan Allah sebagai yang paling dicintai daripada segala sesuatu, dan menjadikan Allah yang paling diagungkan daripada segala sesuatu. Bahkan tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan yang sempurna, kecuali Allah. Sehingga apa saja yang dicintai bukan karena Allah, maka kecintaannya itu rusak. Dan apa saja yang diagungkan bukan dengan perintah Allah, maka pengagungannya itu batil.[10]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam sya'irnya, beliau menjelaskan tonggak ibadah, sebagai berikut:

Dan ibadah kepada (Allah) Yang Maha Pemurah,
adalah puncak kecintaan kepadaNya bersama kepatuhan
dari orang yang beribadah kepadaNya.
Itulah dua kutub yang orbit ibadah beredar pada keduanya.
Orbit itu tidak akan beredar sampai kedua kutubnya tegak.
Dan beredarnya dengan perintah. Yaitu perintah RasulNya.
Tidak dengan (perintah) hawa nafsu, kemauan diri sendiri, dan setan. [11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Di antara Salaf mengatakan, 'Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan kecintaan, maka dia seorang zindiq (munafik). Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan harapan, maka dia seorang Murji'ah.[12] Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka dia seorang Haruri. [13] Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kecintaan, rasa takut, dan harapan, maka dia seorang yang beriman, bertauhid".[14]

6. Kewajiban ibadah tidak gugur dari hamba, semenjak baligh sampai meninggal dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imran/3:102].

Manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah ialah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau berkewajiban beribadah sampai wafatnya. Maka orang-orang yang derajatnya di bawah beliau, tentu lebih wajib untuk beribadah kepada Allah sampai matinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadahlah kepada Rabb-mu (Penguasamu) sampai al yaqin (kematian) datang kepadamu. [al Hijr/15:99]

Para ulama ahli tafsir bersepakat, makna al yaqin dalam ayat ini adalah kematian. Hal ini, sebagaimana tersebut dalam firman Allah pada ayat lain, yang memberitakan pertanyaan penduduk surga kepada penduduk neraka:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka (penduduk neraka) menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami al yaqin (kematian)". [al Muddatstsir/74: 42-47].

Setelah kita mengetahui kaidah-kaidah tentang ibadah ini, maka ketahuilah, seseorang yang memiliki anggapan bahwa “kewajiban beribadah kepada Allah dengan syari’at Nabi Muhammad gugur atas diri seseorang yang telah mencapai hakikat atau ma’rifat", sungguh anggapan ini bertentangan dengan al Qur`an, al Hadits dan kesepakatan umat Islam, semenjak dahulu sampai sekarang.

Demikianlah enam kaidah penting berkaitan dengan masalah ibadah, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



Al 'Uluw, Apa Arti Allah Maha Tinggi?



Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin


Salah satu di antara nama Allah yang sangat indah adalah al 'Aliyy. Makna yang terkandung dalam nama ini merupakan sifat-Nya, yaitu Maha Tinggi. Sifat Maha Tinggi Allah merupakan salah satu di antara sifat sempurna-Nya yang jumlahnya tanpa batas. Namun apa yang dimaksud Allah bernama al 'Aliyy dan bersifat Maha Tinggi?

Sebelum memaparkan jawaban dari pertanyaan di atas, sebaiknya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil tentang nama Allah al 'Aliyy dan sifat Maha Tinggi-Nya.

DALIL DARI KITABULLAH
Berikut ini adalah beberapa dalil tersebut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [al Baqarah/2:255]

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Maka putusan (sekarang ini) hanyalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghafir/40 :12).

Ayat ini dengan tegas menjelaskan nama Allah 'Aliyy, 'Azhim dan Kabir, yang maknanya Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Besar. Makna ini sekaligus menunjukkan sifat-Nya.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. [al A'la/87:1]

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]

Dari penggalan empat ayat di atas, dua di antaranya menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah melalui tadhammun al ismi laha (penjelasan sifat yang terkandung dalam nama-Nya). Dan dua berikutnya melalui tashrih bish-shifah (penegasan langsung dengan sifat). Maksudnya, sifat Maha Tinggi Allah pada penggalan dua ayat pertama dapat diketahui melalui makna yang terkandung dalam nama-Nya. Dan pada penggalan dua ayat berikutnya dapat diketahui dengan lafazh yang langsung menunjukkan sifat-Nya.

Jadi beberapa ayat di atas menjelaskan dua metode di antara tiga metode al Qur`an dan Sunnah di dalam menetapkan sifat Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , ada tiga cara al Qur`an dan Sunnah di dalam memberikan pembuktian mengenai penetapan sifat Allah Azza wa Jalla, [1] yaitu:

Pertama, tashrih bish sfifah (penegasan langsung dengan lafazh yang menunjukkan sifat Allah). Misalnya, sifat al 'Izzah (perkasa), al Quwwah (kuat), ar-Rahmah (kasih sayang), al Bath-syu (sifat menyiksa), al Wajhu (wajah), al Yadain (dua tangan) dan sifat-sifat lainnya.

Kedua, tadhammun al ismi laha (sifat Allah yang dikandung dalam nama-Nya). Contohnya, nama Allah al-Ghafur mengandung sifat Maha Pengampun, as-Sami' mengandung sifat Maha Mendengar dan seterusnya.

Ketiga, tashrih bil fi'li aw al washfi dallin 'alaihima (penegasan sifat melalui kata kerja atau kata yang menunjukkan sifat). Contohnya, Allah bersemayam di atas 'Arsy. Sifat bersemayam ini disebutkan dalam ayat dengan bentuk fi'il (kata kerja). Misalnya kata istawa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Allah Yang Maha Penyayang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20 : 5]

Contoh lainnya, sifat memberikan balasan siksa yang keras. Sifat ini tersebut dalam al Qur`an dengan bentuk kata yang menunjukkan sifat, yaitu berbentuk isim fa'il. Misalnya kata muntaqimun dalam firman Allah Ta'ala:

إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ

Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan siksa kepada orang-orang yang berdosa. [As-Sajdah/32 : 22]

Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan sifat Maha Tingginya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segenap makhluk-Nya.

Sesungguhnya, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah,[2] dalil tentang sifat Maha Tinggi Allah sangat banyak; dari al Qur`an, Sunnah, Ijma', akal dan fithrah. Sementara itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al 'Aqidah al Wasithiyah [3] mengelompokkan dalal-dalil itu secara terpisah, kelompok dalil dari al Qur`an sendiri dan kelompok dalil dari Sunnah Nabawiyah sendiri.

Adapun dalil dari al Qur`an dan Sunnah, hampir tidak bisa dibatasi. Disamping ayat yang sudah dipaparkan di atas, juga beberapa ayat berikut ini:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

Dan Dialah yang berkuasa, berada di atas sekalian hamba-hamba-Nya. [al An'am/6:18]

Kata fauqa menunjukkan, Allah Maha Tinggi berada di atas seluruh makhluk.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. [al Mulk/67:16-17].

Kata man fis-sama` pada ayat di atas memiliki makna Allah yang di atas langit. Fis-sama`, artinya 'alas-sama` (di atas langit), ini bila yang dimaksud dengan sama` (langit) adalah langit dalam bentuk bangunan fisik. Namun bila yang dimaksud dengan sama` adalah segala yang bersifat atas, maka fi, artinya untuk menunjukkan tempat. Maksudnya Allah Maha berada di atas.[4]

Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal shalih menaikkan perkataan yang baik tersebut kepada-Nya. [Fathir/35:10].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tingginya Allah di atas segenap makhluk-Nya, karena sebutan naik dan diangkat, menunjukkan ke arah atas.[5]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَأَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Ilahnya Musa, dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". [al Mu'min/40:36-37].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tinggi Allah di atas segenap makhlukNya, sebab Nabi Musa Alaihissallam telah mengkhabarkan kepada Fir'aun tentang itu, namun Fir'aun berupaya mendustakannya.[6] Dan masih sangat banyak dalil dari al Qur`an yang menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Intinya, dalil-dalil dari al Qur`an memiliki beragam pembuktian. Kadang-kadang dengan sebutan 'uluw, fauqiyah, istiwa' 'ala al Arsy atau sebutan fis-sama`, yang semuanya menunjukkan Allah Maha Tinggi, Maha di atas, bersemayam di atas Arsy, dan Maha di atas langit.

Atau Kadang-kadang dengan sebutan shu'ud al asy-ya`, 'uruj al asy-ya` dan raf'uha ilaihi, yang artinya, naiknya pelbagai perkara atau makhluk kepada Allah. Misalnya firman Allah:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. –Fathir/35 ayat 10- dengan sebutan shu'ud (naik)nya perkataan-perkataan yang baik kepada Allah.

Juga firman Allah:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb. -al Ma'arij/70 ayat 4- dengan sebutan 'uruj (naik)nya para malaikat kepada Allah.

Demikian pula firmanNya:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai 'Isa, sesungguhnya Aku akan menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku. –Ali Imran/3 ayat 55- dengan sebutan raf'u (mengangkat) Isa naik kepada Allah.

Dan kadang-kadang dengan sebutan nuzul al asy-ya` minhu (turunnya pelbagai hal dari Allah) atau sebutan sejenisnya. Hal yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas, sebab kata turun dari sisi-Nya hanya terjadi dari atas. Misalnya firman Allah Ta'ala:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ

Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al Qur`an itu dari Rabbmu". –an-Nahl/16 ayat 102- dengan sebutan menurunkan al Qur`an dari sisi Allah.

Demikian juga firman-Nya:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi. [as-Sajdah/32:5][7].

DALIL DARI SUNNAH NABAWIYAH
Adapun dalil-dalil dari Sunnah Nabawiyah, jumlahnyapun sangat banyak dan mencapai tingkatan mutawatir, serta dengan pendalilan yang juga beragam.[8] Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ .متفق عليه

Apakah kalian tidak memberikan kepercayaan kepadaku, sedangkan aku adalah orang kepercayaan Allah, Dzat yang ada di atas langit? [9]

Begitu juga hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَصْعَدُ إِلَى اللَّهِ إِلَّا الطَّيِّبُ فَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang bersodaqoh senilai satu biji korma dari hasil usaha yang baik (halal) –sedangkan tidak akan ada yang naik kepada Allah kecuali yang baik saja-, niscaya Allah akan menerimanya dengan Tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kamu memelihara anak kudanya yang masih kecil. Sehingga sodaqoh tadi akan menjadi besar laksana gunung".[10]

Juga jawaban seorang budak perempuan milik Mu'awiyah bin al Hakam as-Sulami yang dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertanya kepada budak tersebut tentang di mana Allah. Beliau bersabda:

أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ .رواه مسلم

"Di mana Allah?" Budak wanita itu menjawab: "Di atas langit," Beliau bertanya lagi: "Siapa aku?" Ia menjawab,"Engkau adalah Rasul Allah," maka Beliaupun bersabda: "Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mu'minah!" [11]

Dalam hadits ini, budak wanita milik Mu'awiyah bin al Hakam menjawab bahwa Allah ada di atas langit. Dan jawabannya dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan beliau, bahwa ia merupakan wanita mu'minah.

Hadits yang lain ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa sujudnya:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى .رواه مسلم

Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.[12]

Demikian pula hadits yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya pada hari Arafah, yaitu saat beliau meminta kesaksian kepada mereka; apakah beliau sudah menyampaikan risalah Allah? Lalu mereka menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan dan telah memberikan nasihat," maka beliau mengangkat tangannya memberikan isyarat ke arah atas, lalu tangan yang mulia itu di turunkan menunjuk ke arah para sahabatnya seraya bersabda:

اللَّهُمَّ اشْهَدْ! اللَّهُمَّ اشْهَدْ! ثلاث مرات.رواه مسلم

Ya Allah saksikanlah (mereka), saksikanlah (mereka)! Beliau mengucapkannya tiga kali.[13]

Hadits ini menegaskan bahwa Allah ada di atas segenap makhluk-Nya, karena Nabi mengangkat tangan beliau ke arah atas ketika meminta kesaksian mereka tentang risalah yang diembannya. Dan masih banyak hadits lain, yang seluruhnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas dan Maha Tinggi.

DALIL AKAL
Akal yang sehat menunjukkan kepastian, bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan tidak mungkin Allah memiliki sifat-sifat kurang. Sifat Maha Tinggi dan Maha di atas adalah sifat sempurna, sedangkan sifat rendah dan sifat bawah adalah sifat kurang. Dengan demikian, secara akal, pasti Allah bersifat Maha Tinggi dan Dia Maha Suci dari sifat sebaliknya.

DALIL FITHRAH
Secara fithrah, tidak ada seorangpun yang berdoa kepada Allah atau meminta pertolongan kepada-Nya dari segala yang menakutkannya, kecuali pasti hatinya mengarah ke atas. Tidak mungkin ketika ia memohon kepada Allah, hatinya tertuju ke arah samping kanan atau kiri, tetapi ke atas.

DALIL IJMA'
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, sesungguhnya para ulama telah menyebutkan adanya Ijma' (kesepakatan) para sahabat, tabi'in dan para imam Islam, bahwa Allah berada di atas seluruh langit milik-Nya, Dia bersemayam di atas Arsy. Perkataan mereka tentang ini sudah sangat masyhur.

Imam al Auza'i mengatakan: "Kami dahulu, ketika jumlah para tabi'in sangat banyak, mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada di atas Arsy-Nya. Kami mengimani berita tentang sifat Allah apa saja yang datang di dalam Sunnah".[14]

Imam adz-Dzahabi (673-748 H) bahkan menyusun kitab khusus tentang Sifat Maha Tingginya Allah dengan judul al 'Uluwwu lil 'Aliyyi al Ghaffar, yang kemudian di-mukhtashar (diringkas) oleh Syaikh al Albani rahimahullah. Isinya menegaskan semua pemaparan di atas, termasuk menyebutkan banyak sekali riwayat dari para salaf tentang itu.

Intinya, merupakan hal yang pasti, bahwa di antara nama Allah adalah al 'Aliyy, dan di antara sifat-Nya adalah Maha Tinggi berada di atas segenap makhluk-Nya. Mengingkari sifat ini adalah kufur.

Namun Apa Arti Nama Allah; Al 'Aliyy Dan Sifat Maha TinggiNya?
Setiap nama Allah pasti menunjukkan maknanya. Makna dari setiap nama Allah adalah sifat-Nya. Jadi nama-nama Allah bukanlah sekedar nama-nama kosong tanpa makna sebagaimana anggapan orang-orang Jahmiyah. Maka nama al 'Aliyy adalah nama bagi Dzat Allah Azza wa Jalla , dan sekaligus merupakan pensifatan bagi-Nya. Sebab semua nama-Nya merupakan a'lam wa aushaf (nama-nama dan pensifatan bagi Dzat-Nya).[15]

Berbeda dengan manusia, maka setiap nama manusia kecuali Nabi, hanya sekedar nama belaka sebagai panggilan bagi dirinya dan tidak menunjukkan sifatnya. Dengan demikian, nama al 'Aliyy benar-benar menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak dan hakiki. Dan sifat Maha Tinggi Allah meliputi:

1. Maha Tinggi Dzat-Nya, karena Dia berada di atas semua makhluk-Nya.
2. Maha Tinggi kedudukan-Nya, sebab hanya kepunyaan Dia saja segala sifat sempurna.
3. Dan Maha Tinggi kekuasaan-Nya, sesab Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu.[16]

Kemudian, harus pula difahami bahwa Maha Tinggi dan Maha di atas ini tidak bertentangan dengan Maha dekatnya Allah yang senantiasa menyertai makhluk-Nya. Allah Maha dekat, tetapi Dia tetap Maha di atas Arsy. Maha di atas segenap makhluk-Nya, tetapi Dia Maha dekat.[17] Dan ini tidak sulit dimengerti oleh akal sehat.

Demikianlah, dengan memahami sifat-sifat Allah secara benar seperti yang ada di dalam al Qur`an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush-Shalih, niscaya orang akan semakin mengagungkan Allah, semakin cinta kepada-Nya, semakin bersemangat beribadah hanya kepada-Nya dan takut akan siksaanNya. Sebab ia tahu bahwa Allah Maha Sempurna dalam segala nama dan sifat-Nya. Allah Maha Tinggi secara mutlak, dan Dia bersemayam di atas Arsy, namun Dia Maha dekat dan selalu menyertai setiap makhluk dengan pengawasan, ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuasaan dan kadang dengan pertolongan-Nya kepada hamba yang dikasihi. WAllahu waliyyu at-Taufiq.

Maraji':
1. Al Qowa'idul Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Tahqiq & Takhrij: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur-Rahim, Cetakan I – 1411 H/1990 M, Maktabah as-Sunnah.
2. Fat-hul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Tarqim wa tabwib Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Tash-sih wa tahqiq wa isyraf wa muqobalah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh
3. Mukhtashor al 'Uluw li al 'Aliyyi al Ghoffar, Imam adz-Dzahabi, diringkas dan ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Cetakan II (copy), Tahun 1412 H/1991 M, al Maktab al Islami,
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha, Dar al Ma'rifah.
5. Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al Ma'arif, Riyadh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]



sumber:      http://almanhaj.or.id/c

No comments:

Post a Comment