Wednesday, April 18, 2012

Shalat-Shalat Sunnah


Shalat-Shalat Sunnah



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” [1]

B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah
Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ نُوْرًا

“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” [2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.

“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” [3]

C. Macam-Macamnya
Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah
Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya', serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at." [4]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan 'Isya'.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.

“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.

“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun." [11] (Ali ‘Imran: 52).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh." [12]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), Sunan an-Nasa-i (I/232).

Shalat Sunnah Witir



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



A. Hukum dan Keutamaannya
Shalat sunnah Witir termasuk sunnah muakkadah. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkannya

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ.

“Sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai orang yang shalat Witir.” [1]

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Sesungguhnya shalat witir itu tidak wajib. Dan tidak sebagaimana shalat kalian yang wajib. Namun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Witir kemudian berkata:

يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوْا، فَإِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ.

“Wahai ahlul Qur-an, shalat witirlah. Karena sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai orang yang shalat Witir.” [2]

B. Waktunya
Boleh mengerjakan shalat Witir setelah shalat 'Isya' hingga terbit fajar. Sedangkan pada sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling utama.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat witir pada setiap bagian malam, baik di awal waktu, pertengahan, ataupun akhir malam. Shalat Witir beliau selesai di waktu sahur.” [3]

Disunnahkan menyegerakan shalat witir pada awal malam bagi yang takut tidak bisa bangun pada akhir malam. Sebagaimana disunnahkan mengakhirkannya pada akhir malam bagi yang merasa yakin akan bangun di akhir malam.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab: ‘Aku shalat Witir sebelum tidur.’ Beliau lalu bertanya pada ‘Umar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab, ‘Aku tidur kemudian shalat Witir.’” Dia (Abu Qatadah) berkata, “Beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan hati-hati.’ Dan berkata kepada ‘Umar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan kekuatan.’ [4]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat, sedangkan aku tengah tidur terlentang di atas ranjang. Jika ingin shalat Witir, beliau membangunkan aku, dan aku pun shalat Witir.” [5]

C. Bilangan Raka’at dan Tata Cara Shalat Witir
Jumlah raka’at shalat witir paling sedikit adalah satu raka’at.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَـى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى.

“Shalat malam itu dikerjakan dua raka’at dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu Shubuh, maka hendaklah ia berwitir dengan satu raka’at sebagai penutup bagi shalat yang telah dikerjakan.”[6]

Boleh berwitir dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan raka’at.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Beliau shalat empat raka’at. Janganlah engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat raka’at lagi. Dan jangan engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Setelah itu beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm shalat tiga raka’at.” [7]

Juga dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Beliau berwitir dengan lima raka’at dan tidak duduk kecuali pada raka’at terakhir.” [8]

Darinya juga, ia berkata, “Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudhu' untuk beliau. Lalu Allah membangunkan beliau pada malam hari sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu beliau bersiwak dan berwudhu'. Kemudian beliau shalat sembilan raka’at. Beliau tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Setelah itu bangkit dan tidak salam. Lalu beliau berdiri dan mengerjakan raka’at yang kesembilan. Kemudian beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Lantas beliau mengucap salam dan memperdengarkannya kepada kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sesudah salam sambil duduk. Itulah berjumlah sebelas raka’at, wahai anakku. Tatkala Nabiyyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semakin tua dan gemuk, beliau berwitir dengan tujuh raka’at. Lalu beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana yang pertama. Itu semua berjumlah sembilan raka’at, wahai anakku.” [9]

Jika berwitir dengan tiga raka’at, maka membaca surat yang disebutkan dalam hadits berikut ini

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca pada shalat witir: Sabbihisma Rabbikal A’laa (Al-A'laa), Qul yaa ayuhal kaafiruun (Al-Kaafiruun), dan Qul huwallaahu Ahad (Al-Ikhlash), masing-masing untuk setiap raka’at.”[10]

D. Qunut Dalam Witir
Dari al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ahuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku bacaan yang kuucapkan pada shalat Witir:

اَللّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِـيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

“Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau menunjuki orang yang mendapat petunjuk-Mu. Jagalah aku sebagaimana Engkau menjaga orang yang mendapat penjagaan-Mu. Peliharalah aku sebagaimana orang yang mendapat pemeliharaan-Mu. Berkahilah apa yang Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan, dan tidak ada sesuatu yang (dapat) mengatur-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang mentaati-Mu. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, ya Allah.” [11]

Menurut Sunnah, qunut ini dilakukan sebelum ruku’.

Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan Qunut dalam shalat Witir sebelum ruku’.” [12]

Tidak disyari'atkan qunut dalam shalat wajib kecuali jika terjadi musibah dan bencana. Ketika itu, Qunut dilakukan setelah ruku’, dan tidak dikhususkan untuk shalat wajib tertentu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak mendo’akan keburukan atau kebaikan bagi seseorang, maka beliau melaksanakan qunut setelah ruku’.” [13]

Adapun qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh secara terus menerus, maka itu adalah bid'ah

Sebagaimana dijelaskan oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Malik al-Asyja’i dari Sa’ad bin Thariq, ia berkata, “Aku berkata pada ayahku, ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali di Kufah ini kira-kira selama lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?” Dia berkata: “Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).” [14]

Mustahil Rasulullah Shallallahu mengucapkan:

اَللّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ.

Pada setiap Shubuh setelah bangkit dari ruku' sambil mengeraskan suaranya, lalu para Sahabat mengamininya, secara terus-menerus hingga beliau wafat. Lantas hal ini tidak diketahui umat sesudah beliau. Bahkan ditinggalkan oleh mayoritas umatnya, jumhur Sahabat, bahkan oleh mereka semua. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Sahabat berkata, ‘Sesungguhnya itu adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).’ Sebagaimana yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i.” [15]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/214 no. 6410)], Shahiih Muslim (IV/2062 no. 2677).

Qiyamul Lail (Shalat Malam)


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [Adz-Dzaariyaat: 15-19]

Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur." [1]

A. Semakin Dianjurkan Pada Bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” [2]

B. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit satu raka’at. Dan paling banyak sebelas raka’at. Sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.”

C. Disyari'atkan Melakukannya Secara Berjama'ah Pada Bulan Ramadhan
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.

‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’

Saat itu pada bulan Ramadhan.” [3]

Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru). Namun, orang-orang yang tidur pada saat ini lebih baik daripada yang sedang shalat’ -maksudnya, melaksanakan shalat di akhir malam lebih baik- karena saat itu orang-orang mengerjakannya di awal malam." [4]

D. Disunnahkan Agar Seseorang Shalat dengan Isterinya (Keluarga) di Luar Bulan Ramadhan
Dari Abu Sa’id, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَـا -أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

“Jika seorang laki-laki membangunkan isterinya di malam hari, lalu keduanya shalat -atau shalat dua raka’at secara berjama’ah-, niscaya Allah mencatat keduanya sebagai para hamba laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah." [5]

E. Mengqadha Shalat Malam
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu, jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau sebab lain, maka beliau shalat dua belas raka’at pada siang harinya.” [6]

Dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَـامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.

“Barangsiapa tertidur sehingga tidak membaca wirid (shalat)nya di malam hari atau sebagian darinya, lalu membaca (melaksanakan)nya pada waktu antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat sebagaimana ia membacanya di malam hari." [7]

F. Dimakruhkan Meninggalkan Shalat Malam Bagi yang Telah Terbiasa Mengerjakannya
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:

يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat malam." [8]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2123)].

Shalat Dhuha (Shalat al-Awwaabiin), Shalat Setelah Bersuci (Shalat Sunnah Wudhu'), Shalat Istikharah



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Pensyari’atannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kekasihku Shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan tiga perkara kepadaku: puasa tiga hari pada tiap bulan (tanggal 13, 14, 15 pada bulan Hijriyyah), dua raka’at shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur." [1]

B. Keutamaannya
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً، فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَـدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٍ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِى مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهَا مِنَ الضُّحَى.

“Pada masing-masing ruas jari kalian terdapat hak shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah. Setiap tahmid adalah shadaqah. Setiap tahlil adalah shadaqah. Setiap takbir adalah shadaqah. Memerintah kebaikan adalah shadaqah. Mencegah kemunkaran adalah shadaqah. Semua itu tercukupi dengan mengerjakan shalat Dhuha dua raka’at." [2]

C. Bilangan Raka’atnya
Paling sedikit dua raka’at. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan paling banyak delapan raka’at.

Dari Ummu Hani' Radhiyallahu anhuma, bahwa pada hari Fat-hu Makkah (penaklukan kota Makkah), Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi di rumahnya lalu shalat delapan raka’at." [3]

D. Waktunya Yang Paling Utama
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui penduduk Quba' yang sedang shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda:

صَلاَةُ اْلأَوَّبِيْنَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ مِنَ الضُّحَى.

"Waktu shalat al-awwaabiin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan di pagi hari." [4]

SHALAT SETELAG BERSUCI (SHALAT SUNNAH WUDHU)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga.’ Dia menjawab, ‘Tidaklah aku melakukan amalan yang paling kuharapkan (pahalanya). Hanya saja aku tidak bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat sunnah dengannya apa-apa yang telah ditetapkan bagiku untuk shalat.’” [5]

SHALAT ISTIKHARAH
Disunnahkan bagi yang sedang menghadapi suatu masalah agar beristikharah (meminta petunjuk) kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam al-Qur-an: ‘Jika salah seorang di antara kalian menghadapi perkara, maka shalatlah dua raka’at, selain shalat wajib. Kemudian ucapkanlah:

"اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ."

“Ya Allah, sesungguhnya aku minta petunjuk-Mu melalui ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dari-Mu melalui kekuatan-Mu. Aku memohon karunia-Mu yang agung. Karena Engkau-lah Yang Mahakuasa sedangkan aku tidak berdaya. Engkaulah Yang Mahatahu sedangkan aku tidak mengetahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui alam ghaib. Ya Allah, jika menurut-Mu perkara ini baik bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Bagi dunia dan akhiratku.’- , maka takdirkanlah ia bagiku. Namun, jika menurut-Mu perkara ini buruk bagi agamaku, dunia, dan akhir kesudahanku -atau mengatakan: ‘Dunia dan akhiratku,’- maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Takdirkanlah kebaikan bagiku, apa pun ia, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.”

Setelah itu, hendaknya ia menyebutkan keinginannya.[6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 367)], Shahiih Muslim (I/499 no. 721), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/310 no. 1419).

Sujud Sahwi



Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah lupa dalam shalat. Terdapat juga riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku.”[1]

Beliau mensyari'atkan sujud sahwi bagi umatnya dalam beberapa hukum sebagaimana kami ringkaskan sebagai berikut:[2]

1. Jika bangkit dari raka’at kedua pada shalat wajib tanpa tasyahhud awal
Dari ‘Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat wajib. Pada dua raka’at (pertama) beliau bangkit tanpa duduk (tasyahhud awal). Orang-orang lantas ikut berdiri mengikutinya. Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, sedang kami menunggu beliau salam, beliau bertakbir lalu sujud dua kali dalam keadaan duduk. Setelah itu, beliau mengucapkan salam. [3]

Dari al-Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلاَ يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَي السَّهْوِ.

"Jika salah seorang di antara kalian bangkit dari dua raka’at, dan belum berdiri dengan sempurna, maka hendaklah ia duduk. Namun, jika ia telah berdiri dengan sempurna, maka janganlah ia duduk. Dan hendaklah ia melakukan sujud sahwi dua kali."[4]

2. Jika shalat lima raka’at
Dari 'Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur lima raka’at. Lalu ada yang berkata pada beliau, ‘Apakah terjadi penambahan dalam shalat?’ Beliau berkata, ‘Mengapa?’ Dia menjawab, ‘Engkau shalat lima raka’at.’ Beliau kemudian sujud dua kali setelah salam.” [5]

3. Jika salam pada raka’at kedua atau ketiga
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah salam pada raka’at kedua. Lalu berkatalah Dzul Yadain, "Apakah engkau mengqashar shalat atau lupa, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Apakah benar yang dikatakan oleh Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Benar.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bangkit dan shalat dua raka’at lagi. Setelah itu beliau salam lalu bertakbir dan sujud sebagaimana sujudnya (dalam shalat), atau lebih panjang. Kemudian beliau bangun."[6]

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Ashar. Kemudian beliau salam pada raka’at ketiga lalu masuk ke rumahnya. Seorang laki-laki yang dipanggil al-Khirbaq lalu mendatanginya. Dia memiliki tangan yang panjang. Lalu dia menyebutkan apa yang telah beliau lakukan. Beliau lantas keluar dengan marah sambil menyeret selendangnya hingga tiba di tempat orang-orang. Beliau bertanya, ‘Apakah benar yang dikatakan orang ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau shalat satu raka’at kemudian salam. Setelah itu beliau sujud dua kali lalu salam lagi.” [7]

4. Jika lupa bilangan raka’at shalat
Dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, ia mengatakan bahwa ‘Abdullah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat.” Ibrahim berkata: ‘Beliau menambah atau mengurangi [8].’ Ketika selesai salam, ada yang berkata kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah telah terjadi perubahan dalam shalat?’ Beliau bertanya, ‘Mengapa?’ Mereka menjawab, ‘Anda shalat sekian raka’at.’ Dia berkata, ‘Beliau lalu memutar kakinya dan menghadap Kiblat. Kemudian beliau sujud dua kali dan salam. Setelah itu beliau menghadap kami dan bersabda:

إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ أَنْبَأْتُكُمْ بِهِ وَلكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ
فِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ، فَلْيَتِمْ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ.

“Sesungguhnya, jika terjadi sesuatu pada shalat, niscaya kalian aku beritakan. Akan tetapi aku hanyalah seorang manusia. Aku lupa sebagaimana kalian juga lupa. Jika aku lupa, maka ingatkanlah aku. Jika salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha mencari mana yang benar. Lalu menyempurnakannya, setelah itu hendaklah dia sujud dua kali.” [9]

“Mencari yang benar,” bisa dengan cara mengingat-ingat apa yang telah ia baca dalam shalat. Bisa jadi dia ingat telah membaca dua surat dalam dua raka’at. Akhirnya dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, bukan satu raka’at. Terkadang dia teringat telah melakukan tasyahhud awal. Sehingga dia mengetahui bahwa dia telah shalat dua raka’at, tidak satu raka’at. Dan dia telah shalat tiga raka’at, bukan dua raka’at. terkadang, dia ingat telah mem-baca al-Faatihah saja pada satu raka’at dan juga raka’at berikutnya. Akhirnya dia sadar bahwa dia telah shalat empat raka’at, tidak tiga raka’at. Dan begitulah seterusnya. Jika dia mencari yang benar dengan cara mengambil yang lebih dekat pada yang benar, maka hilanglah keraguan tadi. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara menjadi imam ataupun shalat sendiri. [10]

Jika dia telah berusaha mencari yang benar, namun dia belum bisa menentukan suatu kecenderungan, maka dia harus menguatkan perkara yang yakin, yaitu yang paling sedikit. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى؟ ثَلاَثًا أَوْ أَرْبَعًـا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَـا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ. فَإِنْ كَـانَ صَلَّى خَمْسًا شَفِعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا ِلأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ.

“Jika salah seorang di antara kalian ragu dalam shalatnya. Sehingga dia tidak tahu berapa raka’at yang telah dia kerjakan. Tiga raka’at ataukah empat raka’at. Maka hendaklah ia tepis keraguan itu, dan ikutilah yang dia yakini. Setelah itu, hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia mengerjakan lima raka’at, maka dia telah menggenapkan shalatnya. Namun, jika dia mengerjakan empat raka’at, maka dua sujud tadi adalah penghinaan bagi syaitan.” [11]

A. Hukum Sujud Sahwi
Hukum sujud sahwi adalah wajib. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits tadi. Dan juga karena beliau senantiasa melakukannya ketika lupa. Beliau tidak pernah meninggalkannya sama sekali.

B. Letak Sujud Sahwi
Pendapat yang paling baik adalah pembedaan antara menambah dan mengurangi, antara ragu dan berusaha mencari yang benar, juga antara ragu dan mengikuti yang diyakini. Semua nash-nash ini bisa diterapkan. Dan pembedaan ini sangat masuk akal.

Jika ada yang kurang dalam shalat, seperti meninggalkan tasyahhud awal, maka shalat memerlukan penambahan. Agar shalat menjadi sempurna, maka penambahannya dilakukan sebelum salam. Karena salam adalah penutup shalat.

Jika terjadi penambahan, seperti kelebihan satu raka’at -tidak pernah terkumpul dua tambahan dalam satu shalat-, maka sujud dilakukan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan. Ia memiliki kedudukan sebagai satu shalat yang terpisah, yang dengannya shalat yang kurang menjadi sempurna. Sebab, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan dua sujud seperti halnya satu raka’at.

Begitupula jika dia ragu dan berusaha mencari yang benar, maka dia harus menyempurnakan shalatnya, dan kedua sujud tadi sebagai penghinaan bagi syaitan. Maka, kedua sujud tadi dilakukan setelah salam. Demikian pula ketika dia selesai salam, sedangkan sebagian shalatnya belum dikerjakan kemudian dia menyempurnakannya, maka dia telah menyempurnakan shalatnya tadi sedangkan salam pada shalat tersebut merupakan tambahan. Sujud dalam kondisi semacam ini dikerjakan setelah salam. Karena ia merupakan penghinaan bagi syaitan.

Adapun jika dia ragu dan tidak bisa menentukan mana yang benar, maka dalam kondisi semacam ini bisa jadi dia shalat empat raka’at atau lima raka’at. Jika dia shalat lima raka’at, maka kedua sujud tadi telah menggenapkan shalatnya. Dengan begitu dia seolah-olah shalat enam raka’at, bukan lima. Sujud ini dilakukan sebelum salam.

Pendapat yang kita kuatkan ini merupakan penerapan dari semua hadits-hadits tadi. Tidak ada satu hadits pun yang ditinggalkan. Sekalipun dengan menggunakan kias yang benar dalam masalah yang tidak terdapat nashnya. Juga dengan mengaitkan yang bukan nash dengan nash yang mirip dengannya.[12]

C. Sujud Sahwi Karena Meninggalkan Salah Satu Sunnah
Barangsiapa meninggalkan salah satu sunnah karena lupa, maka dia harus sujud sahwi.

Dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِكُلِّ سَهْوٍ سَجْدَتَانِ.

“Jika terjadi kelupaan dalam shalat, maka harus sujud dua kali.” [13]

Hukum sujud dalam kondisi ini adalah sunnah, bukan wajib. Agar far'i (cabang) tidak bertambah dari hukum asalnya.[14]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2339)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 339).

Shalat Berjama'ah


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Hukumnya
Hukum shalat berjama'ah adalah fardhu ‘ain bagi pria yang telah terkena kewajiban shalat, kecuali ada halangan:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبُ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan untuknya. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama'ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat 'isya'."[1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki buta. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.’ Kemudian dia meminta keringanan untuk shalat di rumahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun memberinya keringanan. Ketika dia berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata, "Apakah engkau mendengar adzan shalat?" Dia berkata, "Ya." Beliau lantas berkata, "Kalau begitu datanglah (untuk shalat berjama’ah)."[2]

Dari 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang suka bila kelak menemui Allah dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia senantiasa menjaga shalat-shalat (wajib) ini ketika diseru kepadanya. Sesungguhnya Allah telah mensyari'atkan petunjuk kebenaran bagi Nabi kalian. Dan shalat berjama’ah termasuk petunjuk kebenaran. Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang ketinggalan ini shalat di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, niscaya sesatlah kalian. Tidaklah seorang laki-laki berwudhu' lalu ia menyempurnakan wudhu'nya lantas ia menuju salah satu masjid, kecuali Allah mencatat setiap langkah yang ia jalani sebagai satu kebaikan. Dengan langkah itu Allah mengangkatnya satu derajat. Dan dengannya pula Allah menghapuskan satu keburukan darinya. Sungguh, telah kuamati keadaan kami (para Sahabat). Dan tidak ada yang ketinggalan dari shalat jama’ah melainkan orang munafiq yang telah dikenal kemunafikannya. Sungguh, dulu pernah ada seorang laki-laki yang diapit (dituntun) oleh dua orang laki-laki hingga didirikan pada shaff.”[3]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.

“Barangsiapa mendengar adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak sempurna shalatnya-ed.) kecuali ia memiliki halangan.”[4]

B. Keutamaannya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةُ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.

“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.”[5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوْقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضَعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ: "اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ،" وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ.

“Shalat seorang laki-laki dengan berjama'ah lebih utama (dilipatgandakan ganjarannya) dua puluh lima kali lipat dibandingkan shalatnya di rumah dan di pasarnya. Karena jika dia berwudhu' lalu menyempurnakan wudhu'nya. Kemudian keluar menuju masjid hanya untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat. Dan dengan langkah itu satu kesalahannya dihapuskan. Jika dia shalat, maka Malaikat senantiasa mendo’akannya selama dia berada di tempat shalatnya: ‘Ya Allah, selamatkanlah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian senantiasa (dianggap) dalam shalat selama dia menunggu shalat."[6]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm, beliau bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نَزْلَهُ مِنَ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.

“Barangsiapa pergi ke masjid lalu kembali, maka Allah menyediakan karunia-Nya dari Surga baginya saat pergi dan kembali."[7]

C. Apakah Wanita Juga Menghadiri Shalat Jama'ah?
Dibolehkan bagi wanita mendatangi masjid dan mengikuti shalat jama'ah. Dengan syarat menghindari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menimbulkan fitnah, seperti perhiasan dan parfum.[8]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

“Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian mendatangi masjid. Sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بُخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْنَ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.

“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia shalat 'Isya' di waktu akhir bersama kami."[10]

Dan darinya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، لكِنْ وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.
“Janganlah kalian halangi para hamba wanita Allah menghadiri masjid-masjid Allah. Jika mereka hendak keluar juga, maka hendaknya mereka tidak mengenakan wangi-wangian.” [11]

Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.
Sekalipun wanita diperbolehkan mendatangi masjid, hanya saja shalat mereka di dalam rumah-rumah mereka lebih utama.

Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyyah Radhiyallahu anha. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senang shalat bersamamu.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya saya mengetahui bahwa engkau senang shalat bersamaku. Namun, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di tempat tinggalmu. Dan shalatmu di tempat tinggalmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku."[12]

D. Adab Berjalan ke Masjid
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang. Tatkala beliau selesai shalat, beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami mendatangi shalat dengan tergesa-gesa.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya lagi. Jika kalian mendatangi shalat, maka bersikap tenanglah. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang terlewatkan oleh kalian, maka sempurnakanlah.’”[13]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَـامَةَ فَامْشَوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوِقَارِ، وَلاَ تَسْرَعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا.

“Jika kalian mendengar iqamat, maka datangilah shalat dengan tenang, santai, dan tidak tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” [14]

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُـوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَـامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَشْبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِيْ صَلاَةٍ.

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu' lalu menyempurnakan wudhu'nya. Kemudian keluar menuju masjid, maka janganlah ia menyilangkan jari-jemarinya, karena dia sedang dalam shalat."[15]

1. Do’a keluar rumah
Bacaan yang diucapkan ketika keluar rumah.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ -يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ- "بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ"، يُقَالُ لَهُ: هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ.

“Barangsiapa yang ketika keluar rumahnya mengucap: ‘Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.’ Maka dikatakan padanya, ‘Engkau telah diberikan petunjuk, tercukupi, terlindungi, dan syaitan menjauhimu.”[16]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia tidur di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia menggambarkan shalat malam beliau. Dia berkata, “Lalu mu-adzin mengumandangkan adzan dan beliau keluar untuk shalat sambil mengucap:

"اَللّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِي نُوْرًا، وَفِيْ لِسَانِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِـي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ بَصَرِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُوْرًا وَمِنْ أَمَـامِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا، اَللّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْرًا."

“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, lisan, pendengaran, dan penglihatanku. Jadikanlah cahaya dari belakangku, depan, atas, dan bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” [17]

2. Do’a masuk masjid
Bacaan yang diucapkan ketika memasuki masjid:
Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Jika beliau masuk masjid beliau mengucap:

"أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ."

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan Wajah-Nya Yang mulia, dan dengan kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan syaitan yang terkutuk.” [18]

Dari Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk masjid, beliau mengucap:

بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Dengan Nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu rahmat-Mu bagiku.”

Dan apabila keluar, beliau mengucap:

"بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.

“Dengan nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu karunia-Mu bagiku.” [19]

3. Shalat Tahiyyatul Masjid
Jika seseorang masuk masjid, maka dia wajib shalat dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk terlebih dahulu sampai ia melaksanakan shalat dua raka’at.” [20]

Saya katakan bahwa hal ini wajib, disebabkan zhahir perintah dalam hadits di atas, dimana tidak terdapat indikasi yang memalingkannya dari zhahir tersebut. Kecuali hadits Thalhah bin 'Ubaidillah, "Seorang Arab Badui menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan rambut acak-acakan. Dia kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang shalat yang diwajibkan Allah bagiku.’ Beliau menjawab, "Shalat lima waktu, kecuali jika engkau menambah (dengan shalat sunnah)…”

"Menurut saya, menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi tidak wajibnya shalat yang baru saja disebutkan masih harus ditinjau kembali, karena apa yang terjadi pada awal pembelajaran tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk memalingkan (wajibnya) perkara-perkara yang datang sesudahnya. Jika tidak demikian, maka kewajiban-kewajiban syari’at hanya terbatas pada shalat lima waktu yang disebutkan saja. Ini menyelisihi ijma' dan meniadakan mayoritas ajaran agama. Yang benar adalah mengambil dalil yang terakhir jika memang ada dalil yang shahih. Setelah itu mengamalkan isinya, baik itu wajib, sunnah, atau yang semisalnya. Dalam masalah ini memang terdapat khilaf. Namun, inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada.” [21]

Sebagai penguat kewajiban hukumnya adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya sekalipun imam sedang khutbah.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki masuk (ke masjid) pada saat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang khutbah Jum’at. Lalu beliau bertanya, "Hai Fulan, apakah engkau sudah shalat?" Dia menjawab, "Belum." Beliau berkata, "Berdiri dan shalatlah."[22]

Jika memang tahiyyat boleh ditinggalkan pada suatu keadaan tersebut, maka pada saat ini dia boleh ditinggalkan. Karena orang tadi telah duduk, sedangkan shalat tersebut disyari'atkan sebelum duduk. Dan juga karena orang tadi tidak mengetahui hukumnya. Ditambah lagi karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memotong khutbahnya, berbicara dengannya, lalu menyuruhnya shalat tahiyyat. Sekiranya bukan karena perhatian beliau yang sangat besar terhadap tahiyyat pada semua waktu, niscaya beliau tidak akan menaruh perhatian sebesar ini." [23]

Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ.

"Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib."[24]

Dari Malik bin Buhainah Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang shalat dua raka’at pada saat iqamat telah dikumandangkan. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selesai, orang-orang lalu mengerumuninya. Kepada orang tadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah shalat Shubuh empat raka’at? Apakah shalat Shubuh empat raka’at?’ [25]

4. Keutamaan mendapati takbir bersama imam
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.

"Barangsiapa shalat jama'ah ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama, maka dibebaskan dari dua perkara: dari Neraka dan kemunafikan." [26]

Barangsiapa datang ke masjid sedangkan imam telah shalat
Dari Sa'id bin al-Musayyib rahimahullah, dia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan Anshar sedang dalam keadaan sakaratul maut, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku akan memberitahu kalian sebuah hadits. Aku tidak memberitahu kalian kecuali hanya mengharap pahala dari Allah. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ، لَمْ يَرْفَعْ قَدَمَهُ الْيُمْنَى إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ حَسَنَةً، وَلَمْ يَضَعْ قَدَمَهُ الْيُسْرَى إِلاَّ حَطَّ اللهُ عَنْهُ سَيِّئَةً، فَلْيَقْتَرِبْ أَحَدُكُمْ أَوْ لِيُبَعِّدْ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى فِيْ جَمَاعَةٍ غُفِرَ لَهُ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ صَلَّى مَا أَدْرَكَ وَأَتَمَّ مَا بَقِيَ، كَـانَ كَذلِكَ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا فَأَتَمَّ الصَّلاَةَ كَانَ كَذلِكَ.

“Jika salah seorang dari kalian wudhu' lalu menyempurnakan wudhu'nya. Setelah itu pergi keluar untuk shalat (berjama'ah), maka tidaklah ia mengangkat kaki kanannya melainkan Allah Azza wa Jalla mencatat sebuah kebaikan baginya. Dan tidaklah ia me-letakkan kaki kirinya melainkan Allah Azza wa Jalla menghapuskan sebuah kesalahan darinya. Hendaklah salah seorang di antara kalian (memilih antara) memperpendek atau memperpanjang langkahnya. Jika dia datang ke masjid kemudian shalat berjama'ah, maka diampunilah dosanya. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan beberapa raka’at dan masih tersisa beberapa raka’at, lalu dia ikut shalat dan menyempurnakan raka’at yang tersisa, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan shalat, lantas dia menunaikan shalatnya, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi." [27]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا، أَعْطَاهُ اللهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلاَّهَا وَحَضَرَهَا، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا.

"Barangsiapa wudhu' lalu membaguskan wudhu'nya. Kemudian menuju masjid tapi dia dapati orang-orang telah selesai shalat, maka Allah Azza wa Jalla memberinya pahala orang yang melaksanakan dan menghadiri shalat jama’ah tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun." [28]

5. Memasuki shalat dengan mengikuti imam dalam keadaan apa pun
Dari ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal, mereka mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَاْلإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ اْلإِمَامُ.

"Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat jama'ah pada saat imam sedang berada pada suatu keadaan, maka hendaklah ia melakukan gerakan sebagaimana yang sedang dilakukan imam."[29]

Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan satu raka’at?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا، وَلاَ تَعَدُّوْهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.

“Jika kalian mendatangi shalat jama'ah pada saat kami sedang sujud, maka sujudlah dan itu jangan dihitung (satu raka’at). Dan barangsiapa mendapati (imam) sedang ruku', maka dia mendapat satu raka’at shalat." [30]

Tentang orang yang ruku' sebelum sampai di shaff
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia mendapati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang ruku', ia lantas ruku' sebelum sampai di shaff. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberitahu akan hal tersebut. Lalu beliau bersabda, “Semoga Allah menambah semangatmu, namun janganlah engkau mengulanginya lagi.” [31]

Dari ‘Atha' Radhiyallahu anhu, ia mendengar Ibnu az-Zubair berkhutbah di atas mimbar, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid pada saat orang-orang ruku', maka hendaklah dia ruku' hingga masuk. Setelah itu, hendaklah dia berjalan sambil tetap ruku' sampai tiba di shaff. Karena yang seperti itu adalah Sunnah.” [32]

Dari Zaid bin Wahb rahimahullah, ia berkata, “Aku keluar bersama 'Abdullah -maksudnya, ‘Abdullah bin Mas’ud- dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai di pertengahan masjid, imam ruku’. ‘Abdullah lalu bertakbir dan ruku', lantas aku pun ikut ruku' bersamanya. Setelah itu kami berjalan hingga sampai di shaff, ketika itu orang-orang tengah mengangkat kepala mereka. Pada waktu imam telah menyelesaikan shalatnya, aku bangkit. Aku mengira belum mendapat satu raka’at. 'Abdullah langsung menarik tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendapat satu raka’at.” [33]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/125 no. 644)], ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/451 no. 651), dengan lafazh yang mirip. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/251 no. 544), Sunan Ibni Majah (I/259 no. 791), tidak terdapat kalimat terakhir pada riwayat ini, Sunan an-Nasa-i (II/107), dengan lafazh al-Bukhari.
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 320)], Shahiih Muslim (I/452 no. 653), Sunan an-Nasa-i (II/109).

Shalat Orang Yang Melakukan Safar

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Orang yang Sedang Safar Wajib Mengqashar Shalat Zhuhur, 'Ashar, dan 'Isya'
Allah berfirman:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” [An-Nisaa': 101]

Dari Ya'la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Dia berkata:

إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“... jika kamu takut diserang orang-orang kafir...” [An-Nisaa: 101]
.
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. 'Umar berkata, "Dulu, aku juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakannya pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.

"Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya." [1]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Melalui lisan Nabi kalian, Allah mewajibkan shalat empat raka’at dalam keadaan mukim, dua raka’at ketika safar, dan satu raka’at ketika dalam keadaan takut." [2]

Dari 'Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Shalat dalam safar dua raka’at, shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adh-ha dua raka’at. Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam." [3]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Pertama kali, shalat diwajibkan dua raka’at. Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. Sedangkan pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka’at)." [4]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menemani perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian bersama 'Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama 'Utsman, dia tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi kalian...” [Al-Ahzaab: 21] [5]

B. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda dalam menentukan batasan jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-sampai Ibnu al-Mundzir dan yang lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat dalam masalah ini. Yang rajih (kuat) adalah, "Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali yang disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang digunakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan mereka (orang-orang Arab). Jika memang safar mempunyai batasan selain dari apa yang baru saja kami kemukakan, tentu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para Sahabat pun tidak akan lalai menanyakan hal tersebut pada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka juga tidak akan bersepakat untuk mengabaikan penukilan riwayat yang menjelaskan batasan tersebut kepada kita." [6]

C. Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat ketika telah meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat tinggal. Ini adalah syarat. Dan tidaklah disempurnakan shalat (4 raka’at) sampai memasuki rumah pertama (di dalam tempat tinggalnya). Ibnul Mundzir berkata, "Aku tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qashar dalam beberapa safarnya kecuali beliau telah keluar dari Madinah. Anas Radhiyallahu anhu berkata, "Aku shalat Dzuhur empat raka’at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah. Sedangkan di Dzul Hulaifah dua raka’at." [7]

Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar hingga meninggalkan daerah tersebut.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengqashar shalat."[8]

Ibnul Qayyim berkata, "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan pada umat, ‘Janganlah seseorang mengqashar shalat jika tinggal lebih lama dari itu.’ Hanya kebetulan saja lama tinggal beliau bertepatan dengan masa tersebut."[9]

Jika seseorang berniat mukim, maka dia shalat secara lengkap setelah sembilan belas hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal selama sembilan belas hari sambil melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama sembilan belas hari, maka kami melakukan qashar. Dan jika lebih dari itu, maka kami menyempurnakan shalat." [10]

D. Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebabnya:

1. Safar
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur hingga waktu 'Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu menjama' keduanya. Dan jika matahari sudah tergelincir sebelum melakukan perjalanan, maka beliau shalat Zhuhur lalu naik kendaraan." [11]

Dari Mu'adz Radhiyallahu anhu: "Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau akhirkan Zhuhur sampai waktu 'Ashar. Kemudian beliau menjama' kedua shalat tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir, beliau menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar lalu berangkat. Bila bepergian sebelum Maghrib, beliau akhirkan Maghrib hingga menjama'nya dengan 'Isya. Bila bepergian setelah Maghrib, beliau mengawalkan waktu 'Isya dan menjama'nya dengan Maghrib." [12]

Masih dari Mu’adz: "Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya'." Dia berkata lagi: "Pada suatu hari beliau mengakhirkan shalat. Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan 'Ashar dengan dijama'. Setelah itu beliau masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi lalu shalat Maghrib dan 'Isya dengan dijama'."[13]

2. Hujan
Dari Nafi' Radhiyallahu anhu, "Jika 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma mengumpulkan para amir (gubernur) antara Maghrib dan 'Isya' ketika hujan, maka dia menjama' shalat bersama mereka."

Dari Hisyam bin 'Urwah: "Ayahnya -'Urwah-, Sa'id bin al-Musayyib, dan Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' pada suatu malam ketika hujan turun. Mereka menjama' kedua shalat tersebut tanpa ada yang mengingkari." [14]

Dari Musa bin 'Uqbah, "Ketika turun hujan, ‘Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' di akhir waktu. Sedangkan Sa'id bin al-Musayyib, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin 'Abdurrahman, beserta para ulama zaman itu bermakmum di belakangnya. Namun, mereka tidak mengingkari perbuatan tersebut." [15]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya', tidak dalam keadaan takut maupun safar."[16]

Dia juga berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar dan shalat Maghrib dengan 'Isya di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan." [17]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma memberikan indikasi bahwa menjama' shalat ketika hujan sudah diketahui pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika tidak demikian, maka tidak ada gunanya menyebutkan kalimat "tanpa hujan" sebagai alasan dibolehkannya menjama' shalat." [18]

3. Kebutuhan Mendesak
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun dalam perjalanan." Abu az-Zubair berkata, Lalu aku bertanya pada Sa'id, ‘Kenapa beliau melakukannya?’ Dia menjawab, ‘Aku pernah bertanya hal yang sama kepada Ibnu 'Abbas. Lalu dia berkata, ‘Beliau tidak ingin memberatkan salah seorang pun dari umatnya.’" [19]

Masih dari Ibnu ‘Abbas, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan." Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya, "Apa maksud di balik perbuatan beliau itu?" Dia menjawab, "Beliau tidak ingin memberatkan umatnya."

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (V/219), "Sejumlah imam berpendapat tentang bolehnya menjama' shalat dalam keadaan mukim bagi orang yang tidak menjadikannya kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, pengikut Imam Malik. Al-Khaththabi meriwayatkan pendapat ini dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabiir, pengikut imam asy-Syafi'i, dari Abu Ishaq al-Marwazi, dari mayoritas kalangan ahli hadits. Ibnul Mundzir juga memilih pendapat ini. Pendapat ini diperkuat oleh zhahir perkataan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : "Beliau tidak ingin memberatkan umatnya." Dia tidak menyebutkan alasan sakit atau yang lainnya. Wallaahu a’lam."

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Shalat Jum’at


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Melaksanakan shalat Jum’at adalah fardhu 'ain bagi setiap muslim, kecuali lima orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang sakit, atau musafir. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jumu'ah: 9].

Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ.

"Shalat Jum’at dengan berjama'ah wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, atau orang sakit." [1]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ.

"Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir." [2]

A. Anjuran Untuk Melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّيْ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.

"Barangsiapa mandi, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah bersamanya, maka diampunilah dosanya ketika itu hingga Jum’at yang akan datang, dan dilebihkan tiga hari."[3]

Dan juga darinya, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسِ، الْجُمُعَةُ إِلَـى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَـانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.

"Shalat lima waktu, dari (shalat) Jum’at ke (shalat) Jum’at yang lain, dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar."[4]

Peringatan agar tidak menyepelekannya
Dari Ibnu 'Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, mereka berdua mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar kayunya:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَـاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.

"Hendaklah orang-orang benar-benar berhenti meninggalkan shalat Jum’at. Atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka benar-benar menjadi orang-orang yang lalai."[5]

Dari 'Abdullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّيْ بِالنَّـاسِ، ثُمَّ أَحْرِقُ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوْتَهُمْ.

"Aku benar-benar ingin menyuruh seseorang agar mengimami manusia. Kemudian aku bakar rumah seluruh laki-laki yang meninggalkan shalat Jum’at." [6]

Dari Abu Ja'd adh-Dhamri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَْنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ.

"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena menyepelekannya, Allah akan menutup hatinya." [7]

Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ.

"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa 'udzur, maka dia dicatat dalam golongan orang-orang munafik." [8]

B. Waktunya
Waktunya sebagaimana shalat Zhuhur, namun dibolehkan sebelumnya
Dari Anas Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari sedang tergelincir." [9]

Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia ditanya, "Kapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at?" Dia menjawab, "Setelah beliau melakukan shalat tersebut, lantas kami mendatangi unta-unta kami. Lalu kami menjalankannya sedang matahari tergelincir."[10]

C. Khutbah
Hukumnya wajib. Karena beliau senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Juga berdasarkan sabda beliau:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ.

"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat."[11]

1. Petunjuk beliau dalam khutbah
Beliau pernah bersabda:

إِنًَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.

"Sesungguhnya panjang shalat dan singkatnya khutbah seseorang menunjukkan kefaqihannya (kefahamannya). Maka panjangkan shalat dan persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah ibarat sihir." [12]

Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, "Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selama beberapa kali. Shalat dan khutbah beliau seimbang." [13]

Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya meninggi, dan semangatnya berkobar. Seolah-olah beliau memperingatkan pasukan sambil berkata, "Musuh kalian akan datang pada pagi dan petang!" [14]

2. Khutbatul Haajah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah, nasihat, dan ceramah, serta berbagai pelajarannya dengan khutbah ini, yaitu yang dikenal dengan khutbatul Haajah. Bunyinya sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِـاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْـكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah. Kami memujinya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kami, serta keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali 'Imran: 102]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." [An-Nisaa': 1].

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]

أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنًَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama). Karena setiap pekara yang diada-adakan adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

"Barangsiapa merenungkan khutbah-khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para ٍSahabatnya, maka dia akan mendapatkan banyak pelajaran tentang petunjuk, tauhid, sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, pokok-pokok iman secara menyeluruh, dan dakwah ke jalan Allah. Begitupula nikmat-nikmat-Nya yang membuat para makhluk cinta kepada-Nya, juga hari pembalasan beserta adzab-adzab yang menakutkan. Terdapat juga perintah terhadap makhluk agar senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Hal ini membuat mereka dicintai Allah. Sehingga mereka selalu ingat dengan keagungan Allah, sifat-sifat, dan asma'-Nya yang membuat-Nya cinta kepada para hamba-Nya. Lalu mereka pun diperintahkan agar taat, bersyukur, dan berdzikir. Hal ini membuat mereka cinta kepada-Nya. Setelah itu para pendengar akan pulang dengan perasaan cinta kepada Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali menyampaikan khutbah dengan al-Qur-an dan surat Qaaf." [15]

Ummu Hisyam binti al-Harits bin an-Nu'man Radhiyallahu anhu berkata, "Tidaklah aku menghafal surat Qaaf melainkan dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyampaikan khutbah dengan surat tersebut di atas mimbar." [16]

3. Wajibnya diam dan larangan berbicara ketika khutbah berlangsung
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قُلْتَ لِصَـاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَـامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.

"Jika pada hari Jum’at, saat khatib sedang khutbah engkau berkata pada temanmu "diam!", maka engkau telah mengucapkan kata yang sia-sia (perkataan yang bathil)." [17]

4. Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at?
Shalat Jum’at terdiri dari dua raka’at yang dikerjakan secara berjama’ah. Barangsiapa meninggalkan jama’ah shalat Jum’at karena memang tidak wajib baginya atau ada halangan, maka dia shalat Zhuhur empat raka’at. Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at bersama imam, maka dia telah mendapatkan shalat Jum’at.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.

"Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at, maka dia telah mendapatkan shalat." [18]

5. Shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ أَتَـى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّـى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.

"Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah dengannya, maka di-ampunilah dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain, dan dilebihkan tiga hari." [19]

Barangsiapa datang sebelum shalat Jum’at dimulai, maka hendaklah shalat sunnah semampunya hingga imam tiba. Adapun yang pada zaman ini dikenal sebagai shalat sunnah qabliyyah Jum’at, maka tidak ada dasarnya sama sekali. Sesungguhnya yang dikenal adalah: "Jika Bilal selesai adzan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai khutbah. Tidak seorang pun melakukan shalat dua raka’at. Tidak pula terdapat adzan melainkan satu kali. Jadi, kapan mereka melakukan shalat sunnah tersebut?" [20]

Adapun seusai shalat Jum’at, maka boleh shalat empat atau dua raka’at sesuai keinginan.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.

"Jika salah seorang di antara kalian telah melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya." [21]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak shalat setelah Jum’at hingga beliau pulang dan shalat dua raka’at di rumahnya."[22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Shalat Dua Hari Raya


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


A. Hukumnya
Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan orang-orang mendatanginya.

Dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id)."[1]

Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, "Dahulu, ketika hari raya, kami pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,"Kami mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka." Dia berkata lagi,"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bolehkah salah seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?" Beliau bersabda, "Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman."[2]

B. Waktunya
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, dia berkata, “'Abdullah bin Busr, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluar bersama orang-orang pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Kemudian dia mengingkari keterlambatan imam. Dia berkata, ‘Dahulu kami selesai pada saat seperti ini, yaitu ketika tasbih.’” [3]

C. Keluar ke Tanah Lapang
Dari beberapa hadits terdahulu, diketahui bahwa tempat shalat ‘Id adalah tanah lapang, bukan masjid. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke sana dan orang-orang setelah beliau pun melakukan hal yang sama.

Apakah terdapat adzan dan iqamat?
Dari Ibnu 'Abbas dan Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhum, mereka berkata, "Tidak pernah terdapat adzan pada waktu (shalat) hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.”[4]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, “Tidak ada adzan, iqamat, seruan tertentu atau apa saja untuk shalat ‘Idul Fithri, baik ketika imam keluar, ataupun setelah selesai. Pada hari tersebut tidak ada adzan dan iqamat." [5]

D. Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat ‘Id terdiri dari dua raka’at. Pada kedua raka’at tersebut terdapat dua belas takbir. Tujuh pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum memulai bacaan, dan lima pada raka’at kedua sebelum memulai bacaan.

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya: "Ketika melaksanakan dua shalat ‘Id, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at terakhir."[6]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Pada waktu shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh dan lima kali, selain dua takbir ruku'."[7]

E. Surat Yang Dibaca
Dari an-Nu'man bin Basyir: "Pada waktu shalat dua hari raya dan shalat Jum’at, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca sabbihisma rabbikal
a'laa dan hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah." [8]

Dari 'Ubaidullah bin 'Abdillah, dia berkata, "'Umar keluar pada hari raya. Lantas dia mengirim surat ke Abu Waqid al-Laitsi yang isinya, "Pada waktu hari raya seperti ini, (surat) apa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Dia menjawab, "(Surat) Qaaf dan Waqtarabat." [9]

F. Khutbah Setelah ‘Id
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman Radhiyallahu anhum. Masing-masing melaksanakan shalat sebelum khutbah." [10]

G. Shalat Sunnah Sebelum Dan Sesudahnya
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at. Beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya."[11]

H. Hal-Hal Yang Disunnahkan Pada Waktu Hari Raya
1. Mandi
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia ditanya tentang mandi, lalu dia berkata: "(Ketika) hari Jum’at, hari 'Arafah, hari raya ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adh-ha."(*)

2. Mengenakan Pakaian Terbaik
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengenakan pakaian merah bermotif pada waktu hari raya." [12]

3. Makan Sebelum Keluar Pada Waktu Hari Raya ‘Idul Fithri
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di pagi hari raya Idul Fithri melainkan makan beberapa buah kurma terlebih dahulu." [13]

4. Mengakhirkan Makan Ketika Hari Raya ‘Idul Adh-ha Hingga Makan dari Sembelihannya.
Dari Abu Buraidah Radhiyallahu anhu, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di hari raya ‘Idul Fithri (untuk melakukan shalat ‘Id) melainkan makan terlebih dahulu. Dan tidaklah beliau makan pada waktu
hari raya ‘Idul Qurban kecuali setelah menyembelih." [14]

5. Menempuh Jalan yang Berbeda (Ketika Pergi dan Pulang)
Dari Jabir : "Ketika hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil jalan yang berbeda."[15]

6. Bertakbir pada Kedua Hari Raya
Allah berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“... dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185].

Ayat ini berkenaan dengan ‘Idul Fithri.

Mengenai 'Idul Adh-ha, Allah berfirman:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang...” [Al-Baqarah: 203].

Dan firman-Nya:

كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ

“... Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu...” [Al-Hajj: 37]

Waktu bertakbir pada hari raya ‘Idul Fithri semenjak keluar menuju tanah lapang sampai shalat akan ditegakkan

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata [16] , “Yazid bin Harun meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi'b, dari az-Zuhri, ‘Ketika hari raya 'Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sambil bertakbir hingga tiba di tanah lapang. Bahkan hingga ketika akan shalat. Seusai beliau shalat, beliau hentikan takbir.’”

Al-Albani rahimahullah berkata,(*) "Sanadnya shahih mursal. Diriwayatkan pula dari jalur lain, dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma secara marfu' yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi (III/279), dari jalan 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nafi', dari 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada waktu dua hari raya bersama al-Fadhl bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Abbas, 'Ali, Ja'far, al-Hasan, al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengeraskan tahlil dan takbir. Beliau menempuh jalan al-Hadzdzaa'iin hingga tiba di tempat shalat. Tatkala selesai, beliau pulang melalui al- Hadzdzaa'iin hingga sampai di rumah." Al-Baihaqi berkata, "Riwayat ini lebih baik daripada yang pertama tadi."

Saya (al-Albani) berkata, "Para perawinya terpercaya. Mereka adalah para perawi Muslim, kecuali 'Abdullah Ibnu 'Umar, yaitu al-'Umari. Adz-Dzahabi berkata, "Tepercaya tapi ada masalah dalam hafalannya." Adz-Dzahabi dan selainnya dalam rumusnya menyatakan bahwa dia termasuk perawi Muslim. Perawi semisal ini dapat dijadikan sebagai penguat. Dia adalah penguat yang bagus untuk hadits mursal dari az-Zuhri. Menurut saya hadits tersebut shahih, baik secara mauquf maupun marfu, wallahu a'lam."

Waktu takbir hari raya ‘Idul Adh-ha dari shubuh hari 'Arafah hingga 'Ashar di akhir hari tasyriiq (13 Dzul Hijjah, yaitu saat terbenamnya matahari-ed.)

Berdasarkan hadits shahih dari 'Ali, Ibnu 'Abbas, dan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu.[17]

Lafazh takbir banyak ragamnya. ‘Riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma menyebutkan dengan lafazh genap. Dia bertakbir pada hari tasyriiq dengan lafazh, "Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaah, Allaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil hamd."

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan lafazh tersebut (II/167) dengan sanad shahih. Akan tetapi dia menyebutkannya di tempat lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Al-Baihaqi (III/ 315) juga meriwayatkannya dari Yahya bin Sa'id dari al-Hakam, yaitu Ibnu Farwah Abu Bakar dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dengan takbir tiga kali. Sanadnya juga shahih."[18]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]



1 comment: